Anda di halaman 1dari 6

Nama: Yunita Astuti

NIM : 2013110103
Bab 1
Pendahuluan
Para ahli filsafat dan analis sosial mengemukakan bahwa masyarakat merupakan struktur yang terdiri
dari keluarga. Dalam semua masyarakat yang dikenal, hampir semua orang hidup terikat dalam jaringan
kewajiban dan hak keluarga yang disebut dengan hubungan peran (role relation). Keluarga juga merupakan
pemelihara suatu kebudayaan bersama yang dimiliki oleh masyarakat tempat keluarga tersebut berada. Karena
keluarga merupakan salah satu wadah yang dapat mewarisi nilai-nilai budaya dan diajarkan secara turun
temurun dari satu generasi ke generasi lain. Dalam tradisi masyarakat jepang interaksi sosial didasari oleh
hubungan manusia yang bersifat budaya. Yaitu hubungan sosial yang tidak hanya dilatarbelakangi oleh nilai-nilai
yang memperhitungkan untung rugi, melainkan diikat oleh sifat shinzoku teki atau ikatan kekerabatan semu
dalam kehidupan kelompok. “ie” yang secara harfiah diterjemahkan menjadi family dalam bahasa inggris,
sebenarnya tidak bermakna sama dengan family baik secara politik, ekonomi, maupun budaya, meskipun
didalam sistem ie sendiri terdapat bentuk keluarga atau family (yaitu ayah, ibu, dan anak-anak).
Ie dijadikan mekanisme ekonomi dan politik jepang sejak jepang memasuki periode-pramodern sampai
periode modern. Pada tahun 1898 dikeluarkan meiji minpo atau undang-undang perdata meiji yang antara lain
menetapkan shinto sebagai ideologi negara .undang-undang tersebut secara politik melahirkan sistem kazoku
kokka (negara keluarga) yaitu sistem pemerintahan yang diatur berdasarkan sistem ie yang menempatkan tenno
(kaisar) sebagai kacho (kepala keluarga/kepala ie) selanjutnya untuk memantapkan sistem kazoku kokka,
diberlakukan pula kebijakan kyoiku chokugo (‘sabda kaisar’) yang mengharuskan setiap anggota masyarakat
untuk loyal dan patuh kepada kaisar. Kebijaksanaan kyoikuchokugo tersebut secara langsung maupun tidak
langsung memengaruhi interaksi antara orang tua dengan anak dalam lingkungan ie-nya.
Ketika meiji minpo direvisin dan ditetapkan UUD baru yaitu “showa minpo” atau “shin minpo” pada
tanggal 6 maret 1947, kazoku kokka sebagai kebijakan pemerintahan yang disahkan dalam meiji minpo juga ikut
dihapuskan. Namun meskipun meiji minpo direvisi pranata kehidupan masyarakat pada umumnya seolah tidak
terpengaruh oleh dihapuskannya kebijakan kazoku kokka. Upacara-upacara pemujaan leluhur disaat O-bon
maupun higan sebagai suatu ungkapkan akan keberadaan ie tidak mengalami perubahan. Pada waktu perayaan
oshogatsu (tahun baru) atau pada perayaan O-bon (pemujaan arwah leluhur) pada bulan juni atau pada waktu
pergantian musim. Hubungan sosial yang penting dan lazim terjadi dalam interaksi masyarakat jepang disebut
dengan oyabun-kobun. Oyabun adalah orang yang memiliki status oya, yaitu dianggap sebagai orang tua dalam
kehidupan kelompoknya. Sedangkan kobun adalah orang yang berstatus ko, yaitu berstatus seperti anak dalam
kehidupan keluarga. Ie sebagai unit kekerabatan dibedakan fungsinya dari ie sebagai seikatsu kyodotai atau unit
yang mengatur usaha bersama (befu 1971:38). Bentuk keluarga yang ada dalam masyarakat jepang sebelum
Perang Dunia II dikenal sebagai daikazoku (keluarga besar), yang anggotanya terdiri dari kakek-nenek, ayah-ibu,
dan anak-anak yang sudah menikah dan tinggal secara bersama-sama. Bentuk keluarga jepang mengalami
perubahan dari daikazoku menjadi shokazoku (keluarga kecil) atau kaku kazoku (keluarga nuklir atau keluarga
batih). Masyarakat jepang juga masih mendambakan jocho yaitu hubungan kekerabatan yang hangat dan intim
di antara anggota keluarganya.
Hak menjadi kacho tidak selalu harus dipegang oleh “chonan” tetapi dapat diserahkan kepada
mukoyoshi (menantu laki-laki). Yang penting bagi mereka adalah kesinambungan ie itu tidak punah dan harta
warisan ie masih dipelihara dari generasi ke generasi. Mereka mengangkat yoshi (anak angkat) atau mengambil
mukoyoshi untuk dapat melanjutkan usaha ie dan mempertahankan harta warisan ie. Choshu (dalam Robert
J.smith, 1974:125-130) menjelaskan bahwa tradisi untuk meneruskan nama keluarga bagi orang jepang
berkaitan erat dengan tradisi sosen suhai, yaitu pemujaan arwah leluhur. Sosen suhai bagi orang jepang
merupakan suatu kewajiban moral terhadap arwah leluhurnya yang dilakukan secara individu maupun
berkelompok. Dalam tradisi keagamaan orang jepang, sosen berarti orang yang sudah meninggal. Ie
mempunyai pengertian ganda yaitu secara etis dan secara religius. Yang dimaksud secara etis adalah setiap
anggota ie diwajibkan untuk menjaga kelangsungan ie-nya dan juga membawa nama baik leluhur. Pengertian
secara religius adalah setiap anggota ie diwajibkan untuk menghormati dan memuja leluhurnya karena para
leluhur tersebut memperhatikan kesejahteraan dan kebahagiaan keturunannya serta memberikan perlindungan.
Oleh karenanya, hubungan antara arwah leluhur dengan anggota ie yang masih hidup terus berlangsung. Arwah
leluhur ini disebut juga dengan shugo-jin atau dewa pelindung keluarga. Hubungan antara arwah pendiri ie
dengan anggota ie terjalin dalam pelaksanaan upacara pemujaan arwah leluhur yang selalu berlangsung pada
setiap pergantian musim dan utamanya pada upacara O-bon yang biasanya dilaksanakan antara bulan juni dan
juli.

Bab II
Struktur Sosial Masyarakat Jepang Ditinjau dari Perjalanan Sejarah
Dalam perjalanan sejarah jepang, pada zaman heian muncul suatu kebijaksanaan mengenai bentuk
pemilikan tanah pribadi keluarga bangsawan, penguasa-penguasa di daerah, serta pengelola kuil. Kebijakan
tersebut disebabkan hancurnya sistem kochi komin yaitu suatu sistem pemilikan tanah pribadi bagi rakyat yang
dicetuskan oleh pangeran shotoku namun sistem ini mengalami kehancuran pada zaman Nara. Memasuki
zaman kamakura (1185-1333) muncul peraturan pemilikan tanah. Tanah tersebut disebut “shoen” berdasarkan
sistem feodalisme disebut dengan “feodalisme shoen” yang memunculkan kelas masyarakat samurai dan bushi.
Munculnya kelas samurai terjadi karena adanya jalinan kekuasaan anatar militer daerah dengan para
bangsawan di pedesaan. Secara politik munculnya shoen dan bushi saling berkaitan. Pejabat yang menduduki
jabatan di shoen dengan penguasaan militer yaitu golongan bushi. Munculnya kelas militer ini membentuk
pemerintah militer yang disebut bakufu yang dipimpin oleh kelas samurai dan dibagi dua yaitu zaman feodal
awal yang terdiri dari zaman kamakura (1185-1333), muromachi (1333-1573), dan azuchi momoyama (1573-
1603) serta zaman feodal akhir yaitu zaman Edo yang berlangsung selama 250 tahun. Pemerintahan oleh kelas
samurai berlangsung kurang lebih 700 tahun. Pembentukan bakufu ini menandai dimulainya zaman feodalisme
jepang, dalam dunia politik jepang pada masa itu pemerintahan dikendalikan oleh shogun. Dalam pemerintahan
bakufu, shougun (jendral) sebagai pucuk pimpinan tertinggi dan dibantu oleh daimyo (yang berkuasa di daerah-
daerah dan para daimyo dibantu oleh para bushi. Para penguasa feodal bercita-cita ingin menyatukan seluruh
jepang namun tidak berhasil dikarenakan beberapa shogun yang memerintah sebelum keluarga tokugawa
berkuasa.
Beberapa kebijakan tokugawa yaitu daimyo hanya dibagi atas 3 golongan berdasarkan hubungan
keluarga (dengan tokugawa), kesetiaan, dan pengabdian yang pernah diberikan oleh anak buah tokugawa
dalam pertempuran. Tokugawa juga menciptakan batasan dalam ruang gerak daimyo beserta anak buahnya
agar tidak terjadi persekutuan dengan para bushi untuk melawan shogun. Sistem stratifikasi sosial jepang
dijalankan dengan sangat ketat dalam masa pemerintahan tokugawa berhasil mengalami masa damai yang
cukup panjang.

1. Struktur sosial masyarakat feodal jepang masa pemerintahan keluarga tokugawa


Pada masa pemerintahan keluarga tokugawa, dikeluarkan kebijakan politik yang dikenal dengan politik sakoku
(penutupan negara). Sakoku adalah kebijaksaan politik yang dilakukan oleh pemerintah tokugawa untuk tidak
melakukan hubungan dengan negara asing dalam segala bidang kehidupan. Zaman Edo diawali dengan
diangkatnya tokugawa ieyasu sebagai seii tai shogun oleh kaisar, setelah pada tahun 1600 tokugawa
memenangkan peperangan sekigahara. Kebijakan pada masa pemerintahan tokugawa disebut dengan bakuhan
taisei yaitu kepemerintahan pusat yang didukung oleh kepemerintahan otonomi yang dijalankan oleh daimyo dan
diawasi dengan ketat oleh kepemerintahan bakufu yang dikepalai oleh bakufu. Untuk mengawasi dan
membatasi kekuasaan daimyo sebagai wakil tokugawa di daerah, para daimyo diwajibkan untuk melaksanakan
sankin kotai yaitu para daimyo selain berkedudukan di wilayahnya masing-masing secara berkala juga harus
tinggal di Edo (tokyo). Pemerintahan tokugawa juga menerapkan kebijakan stratifikasi sosial yang
menggolongkan masyarakat secara vertikal berdasarkan tingkat kedudukan sosial bertujuan agar kelas samurai
dapat dipisahkan dari kelas petani, serta mempertahankan penguasa dari kedudukannya dan memiliki kekuatan
untuk dapat menekan kelas di bawahnya. Stratifikasi masyarakat jepang dibagi menjadi 4 yaitu shi, no, ko, dan
sho. Shi adalah bushi (samurai dan keluarganya), no adalah nomin (keluarga petani), ko dari kosakunin
(golongan pengrajin), dan sho dari shonin (golongan pedagang).
1. Kelas samurai, sebagai penguasa, dianggap sudah sewajarnya memiliki status dan kedudukan sosial
yang tertinggi. Pada masa sengoku keturunan yang telah membunuh banyak orang disebut keturunan
“bushi” dan yan telah membunuh beberapa puluh dan beberapa ratus orang disebut “hatamoto” dan
“shogun” yang telah membunuh beribu-ribu orang yang tak terhitung. Golongan samurai mendominasi
politik kebanyakan dari mereka bertempat tinggal di wilayah perkotaan atau jokamachi (kota benteng).
2. Kelas petani yang disebut nomin merupakan kelas dari orang-orang yang menghasilkan sesuatu yang
merupakan sumber negara oleh karena itu petani memiliki kedudukan sosial yang cukup tinggi satu
tingkat dibawah samurai, namun dalam realitas status mereka lebih rendah dari pedagang karena
dianggap pemenuh ekonomi golongan penguasa.
3. Kelas pengrajin disebut kosakunin. Kelas ini menghasilkan sesuatun meskipun bukan kebutuhan pokok.
4. Kelas shonin atau pedagang dianggap masyarakat yang tidak menghasilkan apa-apa, keuntungannya
diperoleh hanya dari hasil karya orang lain, hal ini dianggap pekerjaan rendah, pedagang berada di
kelas tingkat paling bawah.
Pembagian kelas ini disusun oleh tokugawa berdasarkan ajaran konfusius yang mempunyai prinsip kerja
keras. Dalam stratifikasi golongan juga terdapat batasan dalam ruang gerak setiap golongan yaitu terdapat pada
penampilan, pakaian, tutur kata, etiket, tata rambut, serta pemakaian pedang yang hanya boleh dimiliki oleh
golongan samurai saja. Penguasa tokugawa menggunakan teori status sosial yang di landasi oleh ajaran
konfusianisme. Okada akio (1975:32) menjelaskan bahwa perbedaan kelas shi, no, ko, dan sho merupakan hal
yang tidak dapat dihindari, dan timbul bersamaan dengan kemajuan umat manusia. Dasarnya adalah teori gogyo
yang berasal dari ajaran konfusianisme. Kedudukan (chii) seseorang dalam masyarakat ditentukan oleh status
(mibun). Ada dua macam penggolongan dalam menentukan status seseorang yaitu berdasarkan pekerjaan dan
tempat tinggal. Shi, no, ko, sho merupakan pembagian status berdasarkan perkerjaan, sedangkan bushi, nomin,
dan chonin berdasarkan tempat tinggal.
Bushi dibagi lagi kedalam bushi tingkatan atas, mulai dari shogun dan daimyo, sampai bushi kelas rendahan.
Hal ini juga berlaku bagi kelas nomin, kosakunin, dan shonin. Dalam tingkatan kelas samurai juga terdapat
tingkatan sosial. Jabatan dalam pemerintah daerah ada tiga yakni daimyo, gokenin, dan hatamoto. Pengikut
shogun yang mempunyai status yang lebih rendah dari daimyo adalah hatamoto dan di bawahnya adalah
gokenin. Jika seorang samurai tidak mempunyai peran dalam pemeritahan, ia tidak mempunyai status yang
cukup tinggi. Jumlah penduduk jepang yang tercatat pada zaman Edo adalah kurang lebih 26 juta org atau 80
persen adalah kelompok keluarga petani yang tinggal di desa. Sistem ie sebagai adat kebiasaan yang ada
dalam masyarakat dijalankan dengan ketat. Perkawinan hanya dapat dilakukan antara orang-orang yang berada
dalam kelas yang sama dan sedapat mungkin mempunyai kedudukan yang sama.

Kelas Masyarakat Bushi (militer)


Di dalam hirarki masyarakat Tokugawa, kelas yang memiliki hak-hak istimewa adalah kelas bushi. Para
bushi tidak hanya pandai dalam seni berperang, tetapi juga harus mempunyai pendidikan,khususnya pendidikan
moral konfusianisme. Yang termasuk kedalam kelas militer adalah semua keturunan keluarga bushi (samurai)
yaitu keluarga besar pemimpin perang sampai anggota keluarga yang berasal dari samurai miskin. Namun
karena pada zaman edo jepang dalam keadaaan damai maka mereka dilibatkan kedalam pemerintahan.
Shogun adalah penguasa tertinggi yang mengatur negara dan menjalankan kekuasaannya.pejabat yang berada
di bawah kekuasaan shogun adalah tairo (menteri senior), rochu (sekertaris jendral), wakil rochu (toshi yori).
Daimyo adalah kepala pemerintahan daerah. Daimyo dibagi tiga yaitu kelompok shimpan, fudai, dan tozama.
Shimpan masih mempunyai hubungan darah dengan tokugawa, fudai daimyo yang di angkat atas kesetiaan dan
loyalitas yang diberikan kepada tokugawa, dan tozama adalah daimyo yang menjadi pengikut toyotomi
hideoyoshi. Pengikut shogun yang memiliki kedudukan lebih rendah dari daimyo adalah hatamoto dan gokenin.
Hatamoto hanya berpenghasilan lebih dari 10.000 koku beras ( 1 koku sama dengan 1 liter beras) dan gokenin
memperoleh penghasilan tidak lebih dari 10.000 koku beras.

Keluarga Nomin atau Petani


Kelas petani dianggap sebagai kelas produktif dan sebagai tiang atau sumber ekonomi negara.
Pekerjaan itu tidak saja dilakukan orang dewasa, tetapi juga oleh anak-anak. “Kemi” yang bertugas menetapkan
pajak tahunan akan berkeliling untuk melihat hasil panen di setiap desa. Pemerintah juga menempatkan
“muryakunin” untuk mengawasi kegiatan para petani dalam mengolah sawah ladangnya, karena ada kalanya
banyak petani yang membohongi “kemi” yang bertugas menghitung pajak berdasarkan hasil panennya. Dalam
kelas petani juga terdapat tingkatan yang ditetapkan berdasarkan kepemilikan tanah yang diolahnya,yaitu:
1. Hombyakusho (petani pemilik tanah) yang diijinkan memiliki sebidang tanah “yashiki” (sebidang tanah
kosong untuk membuat rumah atau sawah, yang terdiri atas dua kelas,yaitu jinushi (tuan tanah yang
dapat menyewakan tanahnya atau jisakuno (petani yang memiliki tanah garapan bersama keluarganya.
2. Mizunomiyakusho (petani penggarap tanah) atau disebut juga kusakuno. Petani golongan ini tidak
memiliki tanah sendiri dan hidup dari hasil tanah yang disewakan jinushi.

Dalam keluarga petani, sistem “ie” tidak dijalankan seketat dalam keluarga samurai. Hokonin yang merupakan
pembantu yang telah lama bekerja dan mengabdi dalam ie kacho akan diangkat sebagai anggota ie yang tidak
mempunyai hubungan darah (hiketsuen kankei). Dalam kelompok ini, sistem perkawinan dijalankan tidak seketat
dalam keluarga hombyakusho ataupun keluarga samurai.

Keluarga shokunin (kosakunin) atau pengrajin


Dalam sistem pemerintahan tokugawa ada anggapan bahwa seseorang yang berasal dari golongan
yang tidak menghasilkan ataupun menciptakan barang dianggap sebagai keturunan dari kelas yang tidak
produktif sehingga mereka dianggap memiliki kedudukan rendah. Kelas pengrajin dapat dibagi menjadi dua
kelas, yaitu :
1. Goyo shokunin yakin pengrajin terhormat. Sebutan ini diberikan kepada mereka yang diberikan
kepercayaan untuk bekerja dan melayani pesanan barang-barang yang dibutuhkan pemerintah pusat
(bakufu) ataupun pemerintah daerah (han) yang berupa perlengkapan perang untuk kelas samurai,
misalnya tameng dan pedang. Pengrajin yang memiliki hubungan dengan kelas penguasa, khususnya
shogun dan daimyo, memperoleh status sosial yang tinggi.
2. Pengrajin biasa, yang disebut hira shokunin. Pengrajin yang mengerjakan pesanan masyarakat umum.
Tenaga pekerja ini jumlahnya cukup banyak, sehingga mereka diawasi oleh penguasa daerah.
Golongan pengrajin biasa membawahi satu tingkat golongan lagi yaitu desshokunin (pekerja harian).
Interaksi yang terjadi antara majikan dan anak buahnya didasarkan atas sistem joge kankei yaitu hubungan
atasan-bawahan yang ketat dan layak terjadi di dalam masyarakat feodal. Hanya hokonin yang sudah magang
selama 7-10 yang dilepaskan atau diberikan usaha baru oleh majikannya. Anggota ie yang ketsuen kankei
maupun hiketsuen kankei mulai dididik antara usia 10-11 tahun dalam pendidikan magang, dan pada tingkatan
ini mereka disebut dengan kozo atau desshi. Tugas mereka adalah membantu senior yang disebut shujin atau
tanna (senior yang sudah menyelesaikan masa magang), mengikuti magang dengan baik naik satu tingkat
menjadi tedai. Jika sudah melewati tedai naik menjadi banto dan jika telah mampu menyelesaikan satu barang
disebut obanto.

Keluarga shonin atau pedagang


Keluarga pedagang dianggap memiliki status yang paling rendah karena mereka hanya mendapat
keuntungan dari hasil orang lain. Dalam kehidupan sehari-hari dapat terlihat dari penampilan sehari-hari yang
dibedakan dengan kelompok keluarga lain baik dalam cara berpakaian, potongan rambut dan lain-lain.
para pedagang tidak dituntut untuk membayar pajak tinggi. Dengan perkembangan usaha dagang tersebut maka
terbentuk kelompok dozoku. Kelompok itu terlihat dengan adanya pembagian noren. “Noren” baru dapat
diberikan setelah anggota ie bunke ataupun ie bekke mengikuti pendidikan yang berhubungan dengan
pendidikan menjalankan usaha dagang. Khusus bagi bunke yang dibentuk atas dasar hiketsuen kankei (bunke
yang tidak mempunyai hubungan darah) yang disebut bekke, pendidikan yang diberikan ditambah dengan adat
istiadat dari honke-nya. Setelah semua tingkat selesai maka diangkat menjadi bunke atau bekke. Sama seperti
keluarga pengrajin, anggota ie pedagang dididik dari usia 10-11 tahun dalam tingkatan ini mereka disebut kozo
dan desshi.

2.Struktur Sosial Masyarakat Jepang dalam Era Sebelum Berakhirnya Perang Dunia II
Sejak tahun 1635-1853 jepang menjalankan politik sakoku atau politik isolasi yang akhirnya runtuh
akibat masuknya kekuatan imperalisme barat ke jepang, yaitu dengan datangnya komodor perry dari Amerika
yang memaksa Jepang untuk mengadakan hubungan dagang dengan pihak barat. Sejak saat itu jepang
melangkah ke politik kaikoku atau membuka negara dengan melakukan hubungan dengan negara barat. Zaman
itu disebut Era Meiji tahun 1868. Periode meiji berlangsung dari tahun 1868-1912 dengan berbagai aspek
kebijakan aspek kehidupan yang baru dan dimulainya pembangunan secara besar-besaran untuk menjadikan
jepang menjadi negara modern. Perjanjian dagang yang terjadi pada akhir zaman Edo dengan negara barat
tidak seimbang sehingga jepang kehilangan terhadap penentuan tarif dan dipaksa untuk memberikan wilayah
tambahan kepada pihak barat. Kondisi ini menimbulkan pemberontakan yang disebut gerakan sonnojoi
“Muliakan kaisar dan usir orang-orang asing”.
Restorasi Meiji merupakan kembalinya nasionalism jepang yang sebenarnya sudah ada sejak zaman
Edo yang berlangsung dalam dua sisi yaitu secara internal (nasionalisme secara ofensif untuk menciptakan
bangsa yang modern) dan eksternal (nasionalisme yang defensif untuk menandingi negara-negara maju dari
barat) ini merupakan awal nasionalisme jepang bersifat modern. Pemerintah Meiji menerapkan modernisasi
dengan membangun perekonomian modern sebagai tujuan nasional dan mengumandangkan slogan fukoku
kyohei artinya “negara kaya milik militer” serta shokusan kogyo yaitu meningkatkan produktifitas dengan
menggalakkan industrialisasi. Konsep kokutai adalah prinsip-prinsip kekeluargaan, politik, dan keagamaan yang
dipahami oleh bangsa jepang sebagai hubungan yang terjadi antara manusia dan tuhan, terwujud dalam
interaksi antar bangsawan jepang dan tenno yang dipercaya sebagai wakil kamisama (tuhan) di dunia.
Semua perintah kaisar harus dipatuhi dan dijalankan dengan dilandasi oleh ajaran shinto, ajaran shinto sudah
ada sejak masa pemerintahan tokugawa (bukan muncul pada zaman meiji) yang terwujud pada kesetiaan
partikularistik yang kemudian diperkuat oleh ajaran konfusianisme. Kaisar jepang merupakan keturunan kaisar
jinmu yang dalam buku abad jepang kojiki dan nihonshoki dikatakan sebagai nihingi no mikoto artinya cucu dari
amaterasu omikami ‘dewa matahari’. Karena kaisar merupakan keturunan dewa, maka pemerintahan bersifat
absolut.
Kaisar meiji menghapuskan sistem stratifikasi sosial shi, no, ko dan sho yang tertera dalam ikrar kaisar
yang dikenal dengan gokajono goseimon “lima ikrar kaisar”. Murakami (1977:14) menguraikan isi dari gokajono
goseimono sebagai berikut ;
1. Segala sesuatu harus diputuskan melalui musyawarah untuk mencapai mufakat.
2. Harus diadakan kebijaksanaan untuk menata negara dengan menyatukan yang atas dan yang bawah.
3. Sipil dan bushi ‘militer’ harus bersama-sama menata negara dan membuang tujuan pribadi menuju satu
tujuan.
4. Tradisi yang buruk dibuang dan diganti dengan menanamkan rasa saling menghormati.
5. Ilmu dikejar sampai ke ujung dunia dan penghormatan kepada tenno harus diperkuat.
Pada tahun 1891 atas perintah kaisar diumumkan kyoiku chokugo yakni metode dasar pendidikan sekolah yang
berlandaskan pada ideologi sistem tenno (tennosei). Rakyat dididik untuk setia terhadap pemerintah, mengabdi
kepada orangtua, dan hidup rukun antara suami istri. Berdasarkan buku ajar kesadaran bernegara (kokutei
shushin kyokasho) secara resmi mengumumkan teori kazoku kokka atau negara keluarga. Berdasarkan buku
ajaran itu agama budha dihapuskan dari buku-buku pelajaran maupun teori pendidikan, sedangkan shinto
sebagai agama negara “kokka shinto” atau shinto negara.
Stratifikasi sosial yang dibentuk oleh kaisar disebut shimin byodo. Stratifikasi itu terdiri atas 3 lapisan, yaitu :
1. Kazoku, lapisan masyarakat yang terdiri dari keluarga bangsawan dan bekas daimyo,
2. Shizoku, lapisan masyarakat yang terdiri dari bekas samurai,
3. Heimin, lapisan masyarakat yang terdiri dari rakyat biasa.
Kelas kazoku dan shizoku umumnya duduk sebagai elite pemerintahan sedangkan kelas heimin, khususnya
bekas lekas pedagang,merupakan alat pemerintahan untuk menjalankan roda perekonomian pada masa itu.
Pemerintah meiji pada tahun 1882 mengukuhkan bahwa seorang laki-laki harus berkabung selama 13
bulan apabila orangtuanya meninggal, tetapi apabila istrinya meninggal,ia hanya berkabung selama 3 bulan saja.
Selain itu, hak perlindungan bagi istri yang diberikan suaminya dalam hukum sipil ditempatkan pada urutan
ketiga, yaitu setelah orang tua dan anak-anaknya. Sistem ie dianggap pemerintah sebagai alat pemersatu yang
efektif yang sudah dibuktikan oleh keluarga tokugawa dan mengalami masa damai yang cukup panjang selama
masa pemerintahan keluarga tokugawa.

3.Struktur Sosial Masyarakat Jepang Modern (sesudah tahun 1945)


Dengan kalahnya jepang dalam Perang Dunia II sejak tanggal 30 agustus 1945 jepang berada di
bawah kekuasaan pemerintahan sekutu. Pihak sekutu membawa tiga program bagi bangsa jepang yaitu
demiliterisasi, demokratisasi, dan perbaikan ekonomi. Pemerintah sekutu juga mengadakan perubahan dari
undang-undang dasar meiji menjadi undang-undang baru yang disebut dengan shin minpo atau undang-undang
Showa. Dengan adanya paham demokrasi, sistem tennosei tidak lagi dilaksanakan dalam kehidupan
masyarakat jepang. Tenno tidak lagi memiliki kekuasaan mutlak dan tidak ada lagi sistem kazoku kokka atau
negara keluarga jepang. UUD yang ditetapkan pada 1946 tersebut menekankan pentingnya kebebasan individu
dalam kehidupan bermasyarakat. Tercantum dalam pasal 24 yang dikutip oleh Chie Nakane (1978:19) bahwa
“tidak ada diskriminasi dalam hubungan politik, ekonomi, atau sosial berdasarkan jenis kelamin. Perkawinan
hanya akan berdasarkan persetujuan bersama kedua pihak dan akan dipertahankan dengan saling kerjasama
berdasarkan persamaan hak dari suami-istri. Mengenai pilihan jodoh, hak-hak milik, warisan, pilihan tempat,
kediaman, perceraian, dan hak-hak lain perkawinan dan keluarga akan berlaku undang-undang yang betitik tolak
dari martabat individu dan persamaan hakiki kedua jenis kelamin”.
Perang dunia kedua menahan pertambahan penduduk kota karena selama perang arus penduduk yang
kembali ke daerah pedesaan mencapai lebih dari 30 persen dari jumlah penduduk kota. Sekitar pertengahan
tahun 50-an jumlah penduduk kota sedikit demi sedikit mulai meningkat. Industrialisasi di jepang semakin maju
sehingga penduduk desa melakukan urbanisasi dan membentuk rumah tangga baru. Sesuai dengan ajaran
konfusius yang diartikan sebagai pelayanan dan pengabdian anak kepada orang tuanya. Simbol-simbol ie yang
penting berfungsi untuk memperkuat kesadaran anggota keluarga untuk melaksanakannya, misalnya “kagyo”
artinya rumah warisan untuk dihuni secara turun temurun,dan “kasan” (harta warisan) atau makam. Makam
leluhur adalah salah satu warisan yang harus selalu dijaga. Kehidupan sebelum berakhirnya Perang Dunia II
disebut “kamei” yaitu nama keluarga sekaligus kehormatan keluarga. Istilah “maihomushugi” yang berarti
kecintaan pada kehidupan keluarga cenderung mengalihkan perhatian seseorang seolah-olah dia menentang
atau tidak tertarik dengan masalah-masalah nasionalisme. Faktor non-pertanian, yakni industri dan teknologi
yang tumbuh pesat juga menjadi penyebab lahirnya dua jenis usaha tani yaitu ;
1. Sengyonoka, usaha tani yang dilakukan purna waktu sehingga hanya bergantung pada pendapatan
dari sektor pertanian, dan
2. Kengyonoka, usaha tani yang dikerjakan secara paruh waktu dan orang yang mengerjakannya
mempunyai dua sumber pendapatan, dari sektor pertanian dan non-pertanian.
Kengyonoka terbentuk oleh kondisi perginya tenaga kerja laki-laki muda dewasa ke sektor pekerjaan non-
pertanian, yang menyebabkan usaha pertanian keluarga hanya dikerjakan oleh para wanita dan para lanjut usia.
Sementara sengyonoka merupakan rumah tangga pertanian yang tidak seorang pun dari anggota keluarganya
bekerja di luar sektor non-pertanian. Selain itu terdapat yang namanya “kisetsurodosha” (pekerja musiman) yaitu
mereka yang bermigrasi untuk bekerja lebih dari 30 hari dan pulang apabila kontrak kerja mereka telah selesai.
Kisetsurodosha dapat dijumpai didaerah pertanian yang musim dinginnya cukup panjang dan dengan salju yang
tebal, sehingga lahan pertaniannya akan menjadi pasif dalam waktu yang relatif lama. Pekerja musiman non-
pertanian tidak bekerja di desanya melainkan pergi ke kota untuk mencari pekerjaan tersebut.

Anda mungkin juga menyukai