NIM : 2013110103
Bab 1
Pendahuluan
Para ahli filsafat dan analis sosial mengemukakan bahwa masyarakat merupakan struktur yang terdiri
dari keluarga. Dalam semua masyarakat yang dikenal, hampir semua orang hidup terikat dalam jaringan
kewajiban dan hak keluarga yang disebut dengan hubungan peran (role relation). Keluarga juga merupakan
pemelihara suatu kebudayaan bersama yang dimiliki oleh masyarakat tempat keluarga tersebut berada. Karena
keluarga merupakan salah satu wadah yang dapat mewarisi nilai-nilai budaya dan diajarkan secara turun
temurun dari satu generasi ke generasi lain. Dalam tradisi masyarakat jepang interaksi sosial didasari oleh
hubungan manusia yang bersifat budaya. Yaitu hubungan sosial yang tidak hanya dilatarbelakangi oleh nilai-nilai
yang memperhitungkan untung rugi, melainkan diikat oleh sifat shinzoku teki atau ikatan kekerabatan semu
dalam kehidupan kelompok. “ie” yang secara harfiah diterjemahkan menjadi family dalam bahasa inggris,
sebenarnya tidak bermakna sama dengan family baik secara politik, ekonomi, maupun budaya, meskipun
didalam sistem ie sendiri terdapat bentuk keluarga atau family (yaitu ayah, ibu, dan anak-anak).
Ie dijadikan mekanisme ekonomi dan politik jepang sejak jepang memasuki periode-pramodern sampai
periode modern. Pada tahun 1898 dikeluarkan meiji minpo atau undang-undang perdata meiji yang antara lain
menetapkan shinto sebagai ideologi negara .undang-undang tersebut secara politik melahirkan sistem kazoku
kokka (negara keluarga) yaitu sistem pemerintahan yang diatur berdasarkan sistem ie yang menempatkan tenno
(kaisar) sebagai kacho (kepala keluarga/kepala ie) selanjutnya untuk memantapkan sistem kazoku kokka,
diberlakukan pula kebijakan kyoiku chokugo (‘sabda kaisar’) yang mengharuskan setiap anggota masyarakat
untuk loyal dan patuh kepada kaisar. Kebijaksanaan kyoikuchokugo tersebut secara langsung maupun tidak
langsung memengaruhi interaksi antara orang tua dengan anak dalam lingkungan ie-nya.
Ketika meiji minpo direvisin dan ditetapkan UUD baru yaitu “showa minpo” atau “shin minpo” pada
tanggal 6 maret 1947, kazoku kokka sebagai kebijakan pemerintahan yang disahkan dalam meiji minpo juga ikut
dihapuskan. Namun meskipun meiji minpo direvisi pranata kehidupan masyarakat pada umumnya seolah tidak
terpengaruh oleh dihapuskannya kebijakan kazoku kokka. Upacara-upacara pemujaan leluhur disaat O-bon
maupun higan sebagai suatu ungkapkan akan keberadaan ie tidak mengalami perubahan. Pada waktu perayaan
oshogatsu (tahun baru) atau pada perayaan O-bon (pemujaan arwah leluhur) pada bulan juni atau pada waktu
pergantian musim. Hubungan sosial yang penting dan lazim terjadi dalam interaksi masyarakat jepang disebut
dengan oyabun-kobun. Oyabun adalah orang yang memiliki status oya, yaitu dianggap sebagai orang tua dalam
kehidupan kelompoknya. Sedangkan kobun adalah orang yang berstatus ko, yaitu berstatus seperti anak dalam
kehidupan keluarga. Ie sebagai unit kekerabatan dibedakan fungsinya dari ie sebagai seikatsu kyodotai atau unit
yang mengatur usaha bersama (befu 1971:38). Bentuk keluarga yang ada dalam masyarakat jepang sebelum
Perang Dunia II dikenal sebagai daikazoku (keluarga besar), yang anggotanya terdiri dari kakek-nenek, ayah-ibu,
dan anak-anak yang sudah menikah dan tinggal secara bersama-sama. Bentuk keluarga jepang mengalami
perubahan dari daikazoku menjadi shokazoku (keluarga kecil) atau kaku kazoku (keluarga nuklir atau keluarga
batih). Masyarakat jepang juga masih mendambakan jocho yaitu hubungan kekerabatan yang hangat dan intim
di antara anggota keluarganya.
Hak menjadi kacho tidak selalu harus dipegang oleh “chonan” tetapi dapat diserahkan kepada
mukoyoshi (menantu laki-laki). Yang penting bagi mereka adalah kesinambungan ie itu tidak punah dan harta
warisan ie masih dipelihara dari generasi ke generasi. Mereka mengangkat yoshi (anak angkat) atau mengambil
mukoyoshi untuk dapat melanjutkan usaha ie dan mempertahankan harta warisan ie. Choshu (dalam Robert
J.smith, 1974:125-130) menjelaskan bahwa tradisi untuk meneruskan nama keluarga bagi orang jepang
berkaitan erat dengan tradisi sosen suhai, yaitu pemujaan arwah leluhur. Sosen suhai bagi orang jepang
merupakan suatu kewajiban moral terhadap arwah leluhurnya yang dilakukan secara individu maupun
berkelompok. Dalam tradisi keagamaan orang jepang, sosen berarti orang yang sudah meninggal. Ie
mempunyai pengertian ganda yaitu secara etis dan secara religius. Yang dimaksud secara etis adalah setiap
anggota ie diwajibkan untuk menjaga kelangsungan ie-nya dan juga membawa nama baik leluhur. Pengertian
secara religius adalah setiap anggota ie diwajibkan untuk menghormati dan memuja leluhurnya karena para
leluhur tersebut memperhatikan kesejahteraan dan kebahagiaan keturunannya serta memberikan perlindungan.
Oleh karenanya, hubungan antara arwah leluhur dengan anggota ie yang masih hidup terus berlangsung. Arwah
leluhur ini disebut juga dengan shugo-jin atau dewa pelindung keluarga. Hubungan antara arwah pendiri ie
dengan anggota ie terjalin dalam pelaksanaan upacara pemujaan arwah leluhur yang selalu berlangsung pada
setiap pergantian musim dan utamanya pada upacara O-bon yang biasanya dilaksanakan antara bulan juni dan
juli.
Bab II
Struktur Sosial Masyarakat Jepang Ditinjau dari Perjalanan Sejarah
Dalam perjalanan sejarah jepang, pada zaman heian muncul suatu kebijaksanaan mengenai bentuk
pemilikan tanah pribadi keluarga bangsawan, penguasa-penguasa di daerah, serta pengelola kuil. Kebijakan
tersebut disebabkan hancurnya sistem kochi komin yaitu suatu sistem pemilikan tanah pribadi bagi rakyat yang
dicetuskan oleh pangeran shotoku namun sistem ini mengalami kehancuran pada zaman Nara. Memasuki
zaman kamakura (1185-1333) muncul peraturan pemilikan tanah. Tanah tersebut disebut “shoen” berdasarkan
sistem feodalisme disebut dengan “feodalisme shoen” yang memunculkan kelas masyarakat samurai dan bushi.
Munculnya kelas samurai terjadi karena adanya jalinan kekuasaan anatar militer daerah dengan para
bangsawan di pedesaan. Secara politik munculnya shoen dan bushi saling berkaitan. Pejabat yang menduduki
jabatan di shoen dengan penguasaan militer yaitu golongan bushi. Munculnya kelas militer ini membentuk
pemerintah militer yang disebut bakufu yang dipimpin oleh kelas samurai dan dibagi dua yaitu zaman feodal
awal yang terdiri dari zaman kamakura (1185-1333), muromachi (1333-1573), dan azuchi momoyama (1573-
1603) serta zaman feodal akhir yaitu zaman Edo yang berlangsung selama 250 tahun. Pemerintahan oleh kelas
samurai berlangsung kurang lebih 700 tahun. Pembentukan bakufu ini menandai dimulainya zaman feodalisme
jepang, dalam dunia politik jepang pada masa itu pemerintahan dikendalikan oleh shogun. Dalam pemerintahan
bakufu, shougun (jendral) sebagai pucuk pimpinan tertinggi dan dibantu oleh daimyo (yang berkuasa di daerah-
daerah dan para daimyo dibantu oleh para bushi. Para penguasa feodal bercita-cita ingin menyatukan seluruh
jepang namun tidak berhasil dikarenakan beberapa shogun yang memerintah sebelum keluarga tokugawa
berkuasa.
Beberapa kebijakan tokugawa yaitu daimyo hanya dibagi atas 3 golongan berdasarkan hubungan
keluarga (dengan tokugawa), kesetiaan, dan pengabdian yang pernah diberikan oleh anak buah tokugawa
dalam pertempuran. Tokugawa juga menciptakan batasan dalam ruang gerak daimyo beserta anak buahnya
agar tidak terjadi persekutuan dengan para bushi untuk melawan shogun. Sistem stratifikasi sosial jepang
dijalankan dengan sangat ketat dalam masa pemerintahan tokugawa berhasil mengalami masa damai yang
cukup panjang.
Dalam keluarga petani, sistem “ie” tidak dijalankan seketat dalam keluarga samurai. Hokonin yang merupakan
pembantu yang telah lama bekerja dan mengabdi dalam ie kacho akan diangkat sebagai anggota ie yang tidak
mempunyai hubungan darah (hiketsuen kankei). Dalam kelompok ini, sistem perkawinan dijalankan tidak seketat
dalam keluarga hombyakusho ataupun keluarga samurai.
2.Struktur Sosial Masyarakat Jepang dalam Era Sebelum Berakhirnya Perang Dunia II
Sejak tahun 1635-1853 jepang menjalankan politik sakoku atau politik isolasi yang akhirnya runtuh
akibat masuknya kekuatan imperalisme barat ke jepang, yaitu dengan datangnya komodor perry dari Amerika
yang memaksa Jepang untuk mengadakan hubungan dagang dengan pihak barat. Sejak saat itu jepang
melangkah ke politik kaikoku atau membuka negara dengan melakukan hubungan dengan negara barat. Zaman
itu disebut Era Meiji tahun 1868. Periode meiji berlangsung dari tahun 1868-1912 dengan berbagai aspek
kebijakan aspek kehidupan yang baru dan dimulainya pembangunan secara besar-besaran untuk menjadikan
jepang menjadi negara modern. Perjanjian dagang yang terjadi pada akhir zaman Edo dengan negara barat
tidak seimbang sehingga jepang kehilangan terhadap penentuan tarif dan dipaksa untuk memberikan wilayah
tambahan kepada pihak barat. Kondisi ini menimbulkan pemberontakan yang disebut gerakan sonnojoi
“Muliakan kaisar dan usir orang-orang asing”.
Restorasi Meiji merupakan kembalinya nasionalism jepang yang sebenarnya sudah ada sejak zaman
Edo yang berlangsung dalam dua sisi yaitu secara internal (nasionalisme secara ofensif untuk menciptakan
bangsa yang modern) dan eksternal (nasionalisme yang defensif untuk menandingi negara-negara maju dari
barat) ini merupakan awal nasionalisme jepang bersifat modern. Pemerintah Meiji menerapkan modernisasi
dengan membangun perekonomian modern sebagai tujuan nasional dan mengumandangkan slogan fukoku
kyohei artinya “negara kaya milik militer” serta shokusan kogyo yaitu meningkatkan produktifitas dengan
menggalakkan industrialisasi. Konsep kokutai adalah prinsip-prinsip kekeluargaan, politik, dan keagamaan yang
dipahami oleh bangsa jepang sebagai hubungan yang terjadi antara manusia dan tuhan, terwujud dalam
interaksi antar bangsawan jepang dan tenno yang dipercaya sebagai wakil kamisama (tuhan) di dunia.
Semua perintah kaisar harus dipatuhi dan dijalankan dengan dilandasi oleh ajaran shinto, ajaran shinto sudah
ada sejak masa pemerintahan tokugawa (bukan muncul pada zaman meiji) yang terwujud pada kesetiaan
partikularistik yang kemudian diperkuat oleh ajaran konfusianisme. Kaisar jepang merupakan keturunan kaisar
jinmu yang dalam buku abad jepang kojiki dan nihonshoki dikatakan sebagai nihingi no mikoto artinya cucu dari
amaterasu omikami ‘dewa matahari’. Karena kaisar merupakan keturunan dewa, maka pemerintahan bersifat
absolut.
Kaisar meiji menghapuskan sistem stratifikasi sosial shi, no, ko dan sho yang tertera dalam ikrar kaisar
yang dikenal dengan gokajono goseimon “lima ikrar kaisar”. Murakami (1977:14) menguraikan isi dari gokajono
goseimono sebagai berikut ;
1. Segala sesuatu harus diputuskan melalui musyawarah untuk mencapai mufakat.
2. Harus diadakan kebijaksanaan untuk menata negara dengan menyatukan yang atas dan yang bawah.
3. Sipil dan bushi ‘militer’ harus bersama-sama menata negara dan membuang tujuan pribadi menuju satu
tujuan.
4. Tradisi yang buruk dibuang dan diganti dengan menanamkan rasa saling menghormati.
5. Ilmu dikejar sampai ke ujung dunia dan penghormatan kepada tenno harus diperkuat.
Pada tahun 1891 atas perintah kaisar diumumkan kyoiku chokugo yakni metode dasar pendidikan sekolah yang
berlandaskan pada ideologi sistem tenno (tennosei). Rakyat dididik untuk setia terhadap pemerintah, mengabdi
kepada orangtua, dan hidup rukun antara suami istri. Berdasarkan buku ajar kesadaran bernegara (kokutei
shushin kyokasho) secara resmi mengumumkan teori kazoku kokka atau negara keluarga. Berdasarkan buku
ajaran itu agama budha dihapuskan dari buku-buku pelajaran maupun teori pendidikan, sedangkan shinto
sebagai agama negara “kokka shinto” atau shinto negara.
Stratifikasi sosial yang dibentuk oleh kaisar disebut shimin byodo. Stratifikasi itu terdiri atas 3 lapisan, yaitu :
1. Kazoku, lapisan masyarakat yang terdiri dari keluarga bangsawan dan bekas daimyo,
2. Shizoku, lapisan masyarakat yang terdiri dari bekas samurai,
3. Heimin, lapisan masyarakat yang terdiri dari rakyat biasa.
Kelas kazoku dan shizoku umumnya duduk sebagai elite pemerintahan sedangkan kelas heimin, khususnya
bekas lekas pedagang,merupakan alat pemerintahan untuk menjalankan roda perekonomian pada masa itu.
Pemerintah meiji pada tahun 1882 mengukuhkan bahwa seorang laki-laki harus berkabung selama 13
bulan apabila orangtuanya meninggal, tetapi apabila istrinya meninggal,ia hanya berkabung selama 3 bulan saja.
Selain itu, hak perlindungan bagi istri yang diberikan suaminya dalam hukum sipil ditempatkan pada urutan
ketiga, yaitu setelah orang tua dan anak-anaknya. Sistem ie dianggap pemerintah sebagai alat pemersatu yang
efektif yang sudah dibuktikan oleh keluarga tokugawa dan mengalami masa damai yang cukup panjang selama
masa pemerintahan keluarga tokugawa.