Anda di halaman 1dari 29

STRUKTUR SOSIAL

Oleh: Herman J. Seran

1.

1. Struktur Sosial
Struktur sosial adalah organisasi suatu kelompok atau masyarakat yang dilihat

sebagai struktur kedudukan dan peranan: abstraksi formal dari hubungan-hubungan


sosial yang berfungsi dalam komunitas (Kessing, Roger M., 1992: 113). Struktur sosial
dapat juga didefenisikan sebagai suatu jaringan dari kedudukan-kedudukan sosial
yang diserahi tugas-tugas, tanggung jawab dan saluran-saluran komunikasi yang
secara relatif bersifat tetap (Lundberg, George A., CS., 1963: 141).
Struktur sosial pada Ema Tetun di Kabupaten Belu pada umumnya dan di kerajaan
Fehalaran pada khususnya pada dasarnya terdiri dari fukun-fukun, uma manaran atau
uma hun (secara harafiah, ruas buku bambu, uma suku yang bernama, uma inti atau
uma asal usul; secara simbolis artinya klan, suatu komunitas kerabat seketurunan).
Uma manaran, uma hun dan uma fukun (disingkat, uma) adalah pusat kehidupan suatu
kelompok kerabat yang berdasarkan ikatan darah dan kesamaan keturunan karena
mempunyai seorang tokoh leluhur pendiri uma tersebut. Keanggotaan suatu uma
manaran biasanya didasarkan pada sistem perkawinan patrilineal berdasarkan adat
kebiasaan pemberian belis putus yang disebut, faen kotu (secara harafiah,
menggoyang kesana kemari sampai tercabut dari akar-akarnya; secara simbolis
artinya, mengalihkan status seorang isteri dengan anak-anaknya dari uma asalnya ke
uma sang suami).
Dengan upacara faen kotu maka belis sebagai sistem pertukaran sosial untuk
menghargai martabat dan kedudukan sosial seorang perempuan dipandang sebagai
suatu upacara pengukuhan adat untuk mengalihkan status, hak-hak dan kewajibankewajiban seorang perempuan atau isteri dan anak-anaknya dari uma asalnya dan
memberikannya status serta peranan penuh untuk menjadi anggota uma suku
suaminya. Dengan cara demikian maka lama kelamaan terbentuklah suatu komunitas
genealogis atau persekutuan kelompok sosial awal yang masih bersifat primordial dan

berorientasi ethnosentrime yang disebut, uma manaran. Setiap uma manaran


berpotensi untuk menjadi umamane ( artinya, uma suku pemberi isteri) atau fetosawa
(uma suku pengambil isteri).
Pada waktu-waktu lalu, perkawinan di wilayah Fehalaran dilaksanakan secara
khusus, yakni melalui pola pertukaran sosial yang bersifat diadic (artinya, hubungan
dua segi yang bersifat dwitunggal atau berpasangan). Sistem perkawinan diadic yang
asimetrik ini dikenal sebagai, inuk tuan-dalan tuan (secara harafiah, sarang lama-jalan
lama; arti simbolis, dua uma suku yang sudah mempunyai pola hubungan perkawinan
berpasangan tetap).Setiap penyimpangan dari sistem ini haruslah dilakukan dengan
persetujuan pihak umamane. Istilah umamane menunjuk kepada uma suku atau uma
manaran yang berstatus sebagai uma di mana seorang laki-laki boleh mengambil atau
mempersunting seorang gadis sebagai isterinya. Sedangkan istilah fetosawa artinya
uma manaran yang berstatus sebagai uma yang mempersunting atau menerima
seorang gadis sebagai isteri. Perkawinan di luar saluran ini boleh direstui atas dasar
persetujuan oleh kedua uma manaran yang bersangkutan yang masih secara langsung
termasuk dalam ikatan kekerabatan hubungan darah karena keterikatan pada seorang
leluhur pendasar uma yang sama. Jadi kadang-kadang terjadi semacam perkawinan
campuran yang disebut, isin babilak-diin babilak (arti hafiahnya, membalik badan dan
membalik rebis badan; arti simbolis, perkawinan yang menyimpang dari pola yang
sudah baku atau bertukar pasangan pengantin) di mana seorang jejaka atau laki-laki
dari satu umamane menikah dengan seorang gadis atau perempuan dari fetosawa,
walaupun pernikahan semacam ini jarang terjadi. Jadi, ciri utama dari pesekutuan
ikatan kekerabatan antara Ema Tetun dari masyarakat hukum adat Fehalaran, ternyata
mereka adalah penganut ikatan persekutuan kekerabatan yang bersifat patrilineal yang
disebut, fetosawa, karena menghitung garis keturunannya menurut ayah, sedang
kelompok kekerabatan yang menghitung garis keturunan menurut pihak perempuan
disebut, umamane. Tetapi di kalangan Ema Tetun di Kabupaten Belu pada umumnya,
terdapat juga semacam unsur yang tidak lazim seperti pada sistem kekerabatan suku
Lio di Flores, sebagaimana yang pernah diteliti oleh Howell. Dalam penelitiannya
Howell menemukan bahwa ada persekutuan-persekutuan kekerabatan seketurunan
pada dua belah pihak, yakni yang menghitung garis keturunan baik menurut garis

keturunan ayah maupun ibu (Howell,Signe,1996: 257).Dalam adat kebiasaan Ema


Tetun Fehalaran, kelompok kerabat seketurunan dihitung menurut garis keturunan ayah
(patrilineal), sedang di kalangan Ema Tetun Fehan di kerajaan Wesei-Wehali dan
kerajaan Waiwiku di Belu selatan, persekutuan kerabat seketurunan dihitung menurut
garis keturunan ibu (matrilineal). Adat kebiasaan inilah yang juga diketemukan oleh
Howell, seorang ahli Anthropologi Sosial dari Universitetet Oslo, Norwegia, di Lio utara,
Flores pada tahun 1966.
Selanjutnya anggota-anggota suatu uma manaran dibagi dan diklasifikasikan ke
dalam

tingkatan-tingkatan

sosial

atau

kelas-kelas

sosial.

Penggolongan

atau

pengklasifikasian sosial secara hirarkhis tersebut mengacu kepada kedudukan dan


peranan sosial anggota-anggota yang dikenal dalam Sosiologi sebagai stratifikasi
sosial[1]. Menempatkan anggota-anggota suatu masyarakat ke dalam pelapisanpelapisan sosial secara hierarkhis dan yang saling melengkapi pada umumnya menjadi
ciri khas masyarakat tradisional berdasarkan faktor keturunan. H.J.Grijzen, seorang
Controleur atau Kepala Daerah pemerintahan Hindia-Belanda dari Onderafdeeling
(wilayah administrasi pemerintahan Hindia-Belanda setingkat Kabupaten) Beloe dalam
tahun 1904, mengemukakan bahwa pada waktu dulu ketika kekuasaan adat yang
bersifat feodal masih dominan, masyarakat Timor pada umumnya dibagi atas tiga
pelapisan atau kelas sosial, yakni, Dasi atau kelas bangsawan yang menduduki
pelapisan sosial yang paling tinggi atau yang inti/paling dalam; Renu atau rakyat jelata
yang merdeka menempati pelapisan sosial sesudah Dasi; Klosan atau Ata, yakni,
hamba sahaya yang tidak merdeka menempati pelapisan sosial yang paling bawah
atau lingkaran sosial paling luar.
Untuk memudahkan proses analisis, maka ketiga pelapisan sosial ini akan
dibahas dalam urutan sebagai berikut: 1) Klosan atau Ata, hamba-hamba; 2) Renu,
rakyat jelata yang bebas atau orang kebanyakan; 3) Dasi, bangsawan. Untuk
mendapatkan suatu gambaran yang lebih jelas tentang sistem pelapisan sosial yang
bersifat hierarkhis di pulau Timor pada umumnya dan pada Ema Tetun yang mendiami
Kabupaten Belu khususnya, kita harus menelusuri kembali asal usul tentang
terbentuknya kelas-kelas sosial ini sejak awal mula lahirnya masyarakat yang teratur
melalui pengaruh-pengaruh dari luar sampai ke waktu ketika H.J.Grijzen menulis

bukunya pada tahun 1904, yakni sesudah bangsa Belanda menjajah Belu lebih dari
empat puluh tahun lamanya (Parera, A.D.M., 1994).
Ketika Orang Timor mulai mengorganisasikan dirinya selama masa masyarakat
yang masih tertutup pasti yang berlaku adalah hukum alam yang dikenal sebagai,
survival of the fittest and the elimination of the unfit (artinya, yang paling unggullah yang
akan bertahan hidup dan yang tidak unggul akan tersisihkan). Persekutuan hidup
mereka hanya mengenal dua bentuk hubungan: pertama, berteman dan hidup bersama
dalam satu kesatuan yang sangat tertutup atau yang bersifat ethnosentrisme, yang
saling melindungi dan bahu membahu; kedua, saling bermusuhan dan bunuh
membunuh. Setiap hubungan pribadi di luar kehidupan masyarakat yang tertutup
artinya permusuhan dan kematian.
Dengan demikian kesatuan sosial yang paling mendasar adalah klan, yang
dikenal sebagai, fukun atau uma, di kalangan Ema Tetun di Kabupaten Belu. Fukun
adalah unit kesatuan sosial yang bersifat genealogis, primordial-ethnosentris, yang
berfungsi untuk menjamin seluruh kebutuhan hidup baik jasmaniah maupun rohaniah
anggota-anggotanya melalui tanggung jawab, hak-hak dan kewajiban-kewajiban
bersama di bawah pimpinan kepala uma suku yang disebut, matas kawaik uma
manaran (orang yang tertua dalam uma) dan yang juga dapat bergelar dato. Dato
berasal dari kata datuk dalam bahasa Melayu. Kedudukan dato biasanya sebagai orang
yang terpenting dari mereka yang sama kedudukan atau derajatnya. Dia adalah primus
inter pares, yang paling utama dari yang lain sesamanya. Seringkali dia juga disapa
sebagai dato fukun, kepala atau ketua uma fukun yang bergelar dato. Para dato tidak
membentuk kelas sosial lain di atas renu atau rakyat jelata karena dalam kehidupan
dato sehari-hari dia senantiasa berhubungan sangat erat dengan anggota-anggota
umanya. Keadaan Sangat memungkinkan untuk membentuk suatu persatuan di antara
beberapa fukun untuk memperoleh seorang dato sebagai peminpinnya. Anggotaanggota sebuah fukun biasanya dibagi dalam dua kelas atau lapisan, yakni renu atau
rakyat jelata yang merdeka, dan klosan atau ata, yakni hamba-hamba sahaja yang tidak
merdeka.
1.1 Klosan atau Ata

Klosan atau ata merupakan lapisan atau kelas hamba-hamba setempat. Mereka
adalah para tawanan perang tanding antar suku, dan juga mereka yang dijual oleh
sukunya karena tidak melaksanakan kewajiban adat yang dibebankan kepadanya.
Mereka seharusnya dihukum mati tetapi ditebus oleh seseorang yang berpunya.
Hamba-hamba yang baru saja ditawan dari satu kemenangan perang biasanya
diperlakukan secara kejam. Mereka dapat dihukum secara fisik atau dibunuh. Tetapi
kalau mereka bertingkah laku baik, biasanya mereka akan mendapat perlakuan yang
baik pula, dipercayai dan diperlakukan secara manusiawi dari tuan mereka. Hambahamba adalah milik pribadi bukannya milik suatu suku. Biasanya mereka yang baik dan
setia, khususnya anak-anak para hamba yang dilahirkan dalam suku itu mendapatkan
perlakuan yang sama bahkan kadang-kadang lebih baik dari perlakuan yang diberikan
kepada anggota-anggota uma. Seringkali terjadi hubungan seks antara hamba-hamba
setempat itu dengan tuannya, dan anak-anak yang lahir akibat hubungan itu pada
umumnya mendapatkan perlakuan yang baik, bahkan kadang-kadang mendapatkan
hak-hak dan kewajiban-kewajiaban yang sama seperti anggota-anggota uma lainnya.
Sebenarnya semua hamba aslinya adalah tawanan politik atau orang hukuman perang,
yang sekarang dipersiapkan untuk mendapatkan status sebagai anggota-anggota uma
suku sebagai rumah mereka yang baru, guna memperkuat garis depan dari uma suku
tuan-tuan mereka.
Tetapi ketika masyarakat yang selama ini bersifat tertutup secara bertahap mulai
mengenal segi-segi kehidupan ekonomi dan hubungan-hubungan sosial dengan
masyarakat yang lebih luas, maka praktek perbudakan diarahkan ke arah tujuan
perdagangan. Perdagangan budak di pulau Timur disemarakkan dengan datangnya
Orang Barat. Peperangan antar suku mendapatkan sebuah insentif baru untuk
melakukan penculikan dan penjualan manusia dari suku-suku lain. Anggota-anggota
uma fukunpun sangatlah bersemangat untuk mengambil tindakan terhadap anggotaanggota uma fukun tetangganya yang belum membayar seluruh utang-piutang atau
kewajiban-kewajibann adat menurut adat-istiadat atau hukum adat yang berlaku.
Dengan cara demikian maka banyak anak perempuan yang dijual (dinikahkan) atau
terpaksa dinikahkan dan dialihkan statusnya ke uma suku laki-laki. Biasanya karena
alasan sistem adopsi atau kaba dalam hubungan ikatan fetosawa-umamane melalui

perkawinan antar uma suku, maka situasi pemaksaan adapt semacam itu agaknya
telah menimbulkan kemarahan dan balas dendam dari fukun-fukun lain yang sudah
punya ikatan hubungan tetap.
Dalam catatan-catatan Controleur H.J.Grijzen (dalam, Mededeelingen Omterent
Beloe in Hidden Timor, 1904: Bab IV), dikatakan bahwa Resident Minister Ter
Herbruggen (+ 1761) memburu dan menangkap Orang-Orang Timor untuk dijadikan
budak-budak dengan menggunakan anjing pemburu. Penggunaan cara ini dapat
dibandingkan dengan praktek penangkapan budak-budak Negro dulu. Resident Minister
van Aste (1784-1789) membutuhkan 1000 budak untuk pemasaran. Dalam permainan
politik yang dilakukan oleh seorang Resident Minister dalam menciptakan siasat
pertentangan antara suku-suku di Timor, yang paling berhasil adalah Resident Hazaert
(1808-1833) yang memberikan insentif tambahan untuk setiap peperangan dan
pemberontakan antara raja-raja Timor. Hal ini berarti bahwa semakin meningkat
terjadinya pertentangan antar suku-suku dan perdagangan budak Timor.
Ini adalah fakta sejarah mengenai apa yang pernah ditafsirkan secara amat sinis
oleh penulis-penulis Barat yang mengatakan bahwa penduduk pulau Timor adalah
manusia buas, tidak berperadaban dan pemakan manusiaanurackgenogen in die
Bohlern der Felsen.immer in Waffern, immer in Kriege. Menschenfrasser (dalam
Algenemen archiv fur Ethnographie und Linguistik, 1806, yang dikutip dari laporanlaporan perjalanan dari Peron dan Freycinet).
Setelah Belanda mendukung dan meningkatkan perdagangan budak di Pulau
Timor selama bertahun-tahun lamanya, maka melalui politik Pax Neerlandica atau Pax
Nederlandica (artinya, perdamaian di bawah Belanda), pemerintah Hindia-Belanda
sendirilah yang menghentikan perdagangan budak-budak pada permulaan abad keDua Puluh (XX) (Widyiosiswoyo, Supartono, 1992).
1.2 Renu
Renu berarti, orang kebanyakan atau rakyat jelata. Pada dasarnya mereka adalah
anggota anggota suatu uma manaran yang merdeka. Ada dua jenis uma manaran
yakni, 1). uma labis atau uma yang tergolong kerabat suku bangsawan; 2). uma usi

atau uma golongan rakyat biasa. Anggota-anggota suku adalah mereka yang lahir di
dalam sebuah fukun atau uma manaran dari orang tua yang adalah anggota uma
manaran tersebut, atau mereka yang diadopsi dari fukun-fukun lain yang masih
mempunya ikatan hubungan sebagai fetosawa-umamane, atau juga melalui upacara
pengadopsian yang disebut, kaba. Upacara kaba dilakukan dengan pengurapan air sirih
dan pinang yang dilaksanakan oleh kepala-kepala uma manaran yang terjalin
hubungannya

sebagai

fetosawa-umamane.

Selesai

melantungkan

doa-doa

permohonan kepada arwah para leluhur, maka seorang anggota fukun yang baru
diterima itu akan dipangku oleh kepala atau ketua uma manaran sebagai tanda
penerimaan. Dia akan diurapi dengan air sirih-pinang pada dahinya dan pusarannya
yang menandakan bahwa sejak waktu itu dia akan meninggalkan kampung lamanya
dan berpindah ke kampung halaman yang baru dimana dia diadopsi.Upacara semacam
ini sangatlah cocok pada waktu itu, ketika setiap suku masih mempunyai wilayah yang
garis-garis batasnya masih sangat jelas. Pada waktu sekarang ketika batas-batas
wilayah itu secara praktis sudah kabur, malah di beberapa tempat dimana batas-batas
wilayah itu sudah hilang sama sekali maka upacara semacam itu hanyalah sebuah
upacara yang tidak bermakna sama sekali.
Seorang asingpun yang walaupun tidak mempunyai ikatan hubungan fetosawaumamane boleh mendapatkan asylum atau suwaka/perlindungan di dalam sebuah suku
sebagai seorang pengungsi yang disebut, helin an; malah dia dapat pula diterima
sebagai seorang anggota uma secara penuh melalui sebuah upacara sederhana
dengan melantungkan doa-doa permohonan kepada arwah para leluhur disertai dengan
pemberian persembahan yang disebut, kukun etun (perayaan arwah leluhur). Mereka
semuanya yang berstatus sebagai anggota suku mempunyai hak dan kewajiban yang
dilindungi dan diperlakukan sama dalam hukum adat. Semua kebutuhan rohaniah dan
jasmaniah, entah dalam segi politik, ekonomi, sosial dan budaya, kesemuannya itu
sangat diperhatikan di bawah pimpinan kepala suku yang dikenal sebagai, matas
kawaik uma manaran. Mereka yang telah memperoleh kaba atau pengadopsian ke
dalam lingkungan fukun maupun mereka yang mendapatkan perlindungan (asylum)
pada fukun itu mempunyai hak dan kewajiban yang sama dengan anggota-anggota
fukun atau uma manaran yang telah menjadi anggota sejak lahir menurut status orang

tuanya. Selanjutnya mengenai implikasi tentang pelaksanaan hak dan kewajiban antara
saudara-saudara sekandung yang menjadi anggota suku lain dapat dijelaskan
disebagai berikut..
Misalnya, dalam suku atau fukun X ada tiga orang bersaudara kandung, A, B, C,
dan suku Y terdapat juga tiga orang yang bersaudara kandung, D, E, F, maupun
anggota yang lain yang diterima dalam perlindungan (swaka) atau helin an yang disebut
G. Sekarang, D, E, dan F dari lapisan suku yang kedua tidak mempunyai hubungan
darah dengan A, B, dan C, karena orang tua mereka telah diadopsi atau dipelihara dari
fukun Z. Akibatnya, A dari suku X diadopsi ke dalam suku Y untuk menjadi anggota
suku dari D, E, F dan G. Misalnya B dalam suku X mendapatkan sebuah kesulitan
besar mengenai sebuah tuntutan perkara hukum menyangkut sebuah denda adat; lalu
saudara kandugnya A, yang sekarang sudah berada dalam suku Y, tidak boleh
memberikan atau mempunyai kewajiban apapun untuk membantunya. A boleh merasa
husar moras (secara harafiah, husar=pusaran; moras=sakit; secara simbolis, sakit hati),
yang artinya, perasaan kasihan seorang saudara karena melihat saudaranya berada
dalam kesulitan. Secara pribadi dia boleh secara sukarela memberikan bantuan yang
disebut, harik kotuk sorin, yang artinya, berdiri di samping belakangnya. Mungkin dia
boleh meminta bantuan dari kelompok alin maun (artinya, saudara-saudaranya).
Sebaliknya, jika anggota-anggota sesuku A, yakni, D, E, F dan G terhimpit dalam
sebuah perkara. A mempunyai kewajiban yang positif atau tegas untuk membantu
mereka.
Kepala fukun atau uma suku bertanggung jawab untuk semua anggota uma di
bawah pimpinannya terlepas dari asal-usul mereka. Kewajiban-kewajiban dibagi secara
adil kepada semua anggota fukun atau uma melalui sebuah upacara sederhana dengan
cara memberikan kepada setiap anggota sejumlah biji jagung atau beberapa potong lidi
dari daun kelapa atau gebang yang masing-masingnya menunjukkan sebuah tugas.
Anggota-anggota yang tidak hadir bebannya dikirim kepada mereka masing-masing.
Seorang anggota yang tidak mampu menyelesaikan tanggung jawab yang dibebankan
kepadanya akan diberikan sanksi adat, misalnya pemecatan dari suku yang disebut,
lelen. Dalam situasi semacam itu, anggota suku yang tidak dapat dipaksa dengan
kekerasan untuk mendapatkan pertolongan atau kontribusi dari seorang saudarinya

atau seorang keponakan perempuannya, atau karena khawatir bila semua kerabat
perempuan tidak mampu membantunya maka dia boleh menjual seorang anaknya
untuk menjadi hamba sebagaimana telah diuraikan di atas.
Grijzen dalam tulisannya tentang Belu dan Steinmets tentang Timur Tengah Utara
(TTU) menjelaskan bahwa kampung-kampung di pulau Timor pada umumnya terletak di
atas bukit-bukit dan puncak-puncak dataran tinggi yang dikelilingi dengan tanamantanaman berduri dan batu-batu yang sulit dicapai dengan berjalan kaki. Kampungkampung ini selanjutnya dipagari dengan batu-batu atau rumpun-rumpun bambu yang
berduri atau tanaman kaktus. Tujuannya ialah untuk menghindari peperangan yang
sering terjadi antar kampung-kampung. Kampung-kampung itu disebut, leo atau kanua
(ucap, knua) dalam lia tetun atau kuan dalam uab meto, yang merupakan wilayah
pusat hunian suku.
Jika situasi keamanan memungkinkan maka anggota sebuah uma suku dapat
berpindah ke tempat lain yang berdekatan untuk mengerjakan kebun. Tempat dimana
terletak kebun itu disebut, loo. Wilayah di sekitar kanua dan loo menjadi milik suku
yang bersangkutan. Tanah yang telah diusahakan oleh salah satu anggota suku
menjadi hak milik suku berdasarkan hak pendudukan/penempatan (right of occupancy).
Sementara itu, hubungan-hubungan fetosawa-umamane antar uma-uma manaran akan
tetap berlangsung terus. Dengan demikian, lahan atau tanah yang sudah dikerjakan
(Bah. Belanda, roofbouw) secara periodik atau sesering mungkin harus ditinggalkan
untuk beberapa tahun lamanya supaya menjadi hutan kembali. Jika lahan yang semula
telah menjadi hutan kembali, maka hak milik berdasarkan penempatan dapat beralih
kembali secara adil kepada semua anggota kedua uma, fetosawa dan umamane.
Dengan demikian lama kelamaan batas-batas tanah menjadi kabur dalam ingatan
setiap orang hingga akhirnya dilupakan atau hilang sama sekali. Oleh karena itu,
Grijzen mengatakan bahwa dalam mengerjakan sebuah kebun, setiap orang
seharusnya bebas untuk mengerjakan sebidang tanah tanpa perlu mendapatkan isin
dari seseorang. Maksud atau keinginan untuk mengerjakan sebuah kebun pada lahan
yang bebas atau masih kosong biasanya ditandai dengan menggantungkan daun-daun
atau menempatkan beberapa ranting pohon sekitar lahan itu yang disebut, tara horak
(secara harafiah, memberi tanda larangan). Jika orang lain ingin mengerjakan sebidang

tanah yang sama maka perlu diadakan suatu pembahasan bersama mengenai
keinginan tersebut. Jika sesudah itu tidak tercapai suatu keputusan maka haruslah
dibicarakan dengan kepala suku atau matas kawaik uma manaran/fukun.Di Belu hampir
tidak terdengar adanya percecokan mengenai batas-batas tanah, terutama pada waktu
dulu.
Ada satu istilah khusus mengenai kepemilikan tanah, yakni rai nain yang secara
harafiah artinya pemilik tanah atau tuan tanah. Tuan tanah atau rai nain (rai=tanah;
nain= pemilik) dalam pengertian ini mengacu kepada fukun atau suku yang telah
mengusahakan sebidang tanah sebagai pemiliknya secara turun temurun. Istilah rai
nain dapat juga ditujukan kepada jin-jin atau roh-roh halus penunggu tempat-tempat
yang dianggap keramat seperti, pohon-pohon besar, gunung-gunung, batu-batu
besar,dll. menurut kepercayaan asli yang masih bersifat animisme-dinamisme.
Istilah rai oan (rai=tanah; oan=anak) artinya anak tanah atau penduduk asli. Grijzen
mengemukakan bahwa jika seorang asal Tetun ditanya, milik siapakah tanah seluas itu
yang tidak diolah? Dia akan menjawab secara samar-samar, pemilik lahan atau tanah
itu adalah Nai (raja) dan Dato (gelar untuk kepala suku), karena merekalah yang
mempunyai kewenangan penuh terhadap semua urusan rakyat termasuk hak untuk
mengolah tanah. Namun demikian di Belu ada banyak ceritera seputar kepemilikan
tanah. Ada juga orang yang menamakan dirinya sebagai tuan tanah atau pemilik tanah
karena leluhur mereka berasal dari tanah itu yang dikenal dengan istilah: Moris lake rai,
tubu lake rai ( secara harafiah, moris lake rai= hidup keluar dari dalam tanah; tubu lake
rai= timbul dari dalam tanah) artinya, kami telah hidup dan bertumbuh dewasa di tanah
ini dan telah mengerjakan tanah ini sejak dulu kala. Ada juga mereka yang
mengajukkan tuntutan bahwa leluhur mereka telah turun dari langit di atas puncak
gunung atau bukit-bukit (turu monu); dan ada juga yang mengatakan bahwa mereka
berasal dari tempat lain (bada-dina). Berbagai tuntutan terhadap kepemilikan semacam
ini memang mempunyai hak kepemilikan yang sah menurut hukum adat tetapi tidak
mempunyai kekuatan hukum menurut Undang-Undang Pokok Agraria Republik
Indonesia.
Dengan semakin meningkatnya jumlah anggota-anggota uma-suku dan masuknya
banyak pendatang baru dari luar Kabupaten Belu pada dewasa ini, maka masalah

mengenai hak kepemilikan tanah semakin rumit dan kompleks. Seringkali terjadi
pencaplokan tanah milik satu uma suku oleh anggota uma suku lainnya. Tanah yang
telah dicaplok itu kerapkali diperjual-belikan oleh pencaploknya kepada pihak ketiga
tanpa sepengetahuan pemiliknya yang sah. Ada juga kejadian dimana anggota satu
suku menjual tanah milik sukunya tanpa sepengetahuan dan persetujuan anggotaanggota uma suku lainnya. Situasi ini akan menjadi lebih kompleks lagi karena kadangkadang Pemerintah Daerahpun mengabaikan hak-hak milik atas tanah suku sesuai
hukum adat yang berlaku dan mengambil alih tanah milik suku-suku tertentu tanpa
suatu imbalan dengan alasan tanah itu adalah milik negara dan akan digunakan untuk
membangun prasarana atau sarana umum seperti jalan raya, perumahan instansi,
gedung sekolah, dll. demi kepentingan umum. Namun dalam kenyataannya seringkali
dimanfaatkan sebagai milik pribadi.Untuk menghindari pertentangan atau konflik antara
pemilik-pemilik tanah suku yang sah dengan mereka yang sama sekali tidak berhak
atasnya sesuai hukum adat yang berlaku dan demikian pula antara para pemilik tanah
baik tanah suku maupun perorangan dengan Pemerintah maka sebaiknya perlu lebih
diefektifkan lagi berlakunya hukum agraria dengan menegaskan bukti hak milik atas
tanah milik perorangan maupun suku-suku dengan sertifikat hak kepemilikan.
1.2.1

Perkembangan Fukun

Istilah Fukun (secara harafiah, ruas buku bambu) mengungkapan arti simbolik dari
sebuah uma manaran (secara harafiah, uma=rumah; manaran=bernama. Jadi, uma
manaran artinya rumah yang bernama, disingkat :uma) sebagai sebuah persekutuan
komunitas basis dari sebuah kekerabatan seketurunan. Basis kekerabatan yang terikat
pada sebuah uma manaran ini biasanya bersifat eksogam dan unilateral. Setiap fukun
atau uma, maupun sekumpulan uma-uma yang pertalian hubungannya sebagai
fetosawa-umamane biasanya mendiami satu kampung tradisional yang disebut, kanua
atau leo. Sebuah kanua sebagaimana telah digambarkan oleh Grijzen di atas biasanya
berbentuk sirkular atau bulat telur dan terletak di atas bukit atau tempat yang berada
pada ketinggian dan yang dikelilingi oleh pagar batu berlapis, di atasnya ditanami
dengan tanaman yang berduri seperti kaktus.Penataan lingkungan kampung ditata

demikian agar lingkungan hidup mereka ini terhindar dari serangan-serangan musuh,
mengingat pada waktu lampau biasanya terjadi peperangan antar suku-suku untuk
mendapatkan kekuasaan dan kepemilikan atas tanah wilayah. H.J.Grijzen yang adalah
seorang controleur (kepala pemerintahan Hindia-Belanda) dari onderafdeeling (wilayah
pemerintahan setara dengan Kabupaten) Beloe pada awal abad ke-Dua Puluh,
menjelaskan bahwa mereka yang kalah dalam perang tanding biasanya menjadi
tawanan perang dan dipekerjakan sebagai hamba-hamba (klosan atau ata) atau
diperdagangkan.
Dalam tradisi Ema Tetun, sebuah keluarga rumah tangga yang disebut, uma kain,
merupakan sebuah unit keluarga yang terkecil atau keluarga inti yang tidak dapat
dipisahkan keberadaannya dengan sebuah kelompok kerabat seketurunan yakni fukun
atau yang biasanya dikenal sebagai uma fukun, uma hun atau uma manaran. Fukun
sama artinya dengan istilah deu dalam bahasa Bunaq, huun dalam bahasa Kemak,
kanaf dalam bahasa Meto, klan atau suku rumah dalam bahasa Indonesia. Uma
manaran yang artinya rumah suku yang bernama merupakan lambang pusat
kehidupan sebuah komunitas kekerabatan yang seasal seketurunan. Pusat kehidupan
komunitas ini merupakan sebuah Institusi atau Lembaga yang tanggung jawabnya
mencakup semua aspek kebutuhan manusia, yakni ekonomi, sosial, budaya dan
spiritualitas. Uma manaran adalah sebuah Pranata/Institusi dasar yang berfungsi untuk
mensosialisasikan, menanamkan dan mengendapkan nilai-nilai luhur dalam adat
istiadat dan tradisi, basis pembentukan nilai-nilai moral dan spiritual untuk
memperkokoh kepribadian anggota-anggota uma.
Sebagai pusat kehidupan kebudayaan maka pendidikan karakter adalah wahana
yang paling penting dan sangat ampuh untuk membentuk karakter dan jatidiri anakanak anggota uma sejak dini dimana mereka belajar tentang adat sopan santun,
praktek-praktek hidup tentang keramahan, kesantunan dalam kebersamaan, seluruh
sistem kaidah-kaidah mengenai adat istiadat dan tradisi. Pembelajaran tentang
kesemuanya ini dilakukan melalui proses sosialisasi dan pengendapan terhadap nilainilai budaya yang berlangsung seumur hidup melalui partisipasi penuh dalam kegiatankegiatan dan peristiwa-peristiwa penting menyangkut kehidupan uma. Dengan demikian
uma manaran dan uma kain menjalankan fungsi utama sebagai pranata basis untuk

menjamin kesejahteraan hidup anak-anak, membentuk karakternya dan menanamkan


prinsip-prinsip atau kaidah-kaidah moral-etika, etos dan keterampilan bekerja dan nilainilai lainnya yang berguna, serta memberikan dukungan kuat tentang afinitas
kekeluargaan sejati.
Sebagaimana telah diutarakan di atas bahwa uma manaran juga berfungsi sebagai
pusat kehidupan moral dan spiritualitas, karena di uma manaran juga dilaksanakan
upacara-upacara pemujaan kepada arwah para leluhur. Arwah para leluhur ini diyakini
telah beristirahat dalam satu dunia abadi yang digambarkan sebagai dunia yang sakral
penuh kedamaian dan ketenangan, yang diungkapkan dalam bahasa adat sebagai,
kukun sia mak iha kukun ba, iha roman ba, iha metin ba. Pemujaan kepada leluhur
biasanya dilakukan di bawah tiang agung, dalam uma manaran atau uma kukun, untuk
nenek laki-laki yang disebut, kakuluk atau ri manaran bodik bei mane, karena di tiang
agung inilah biasanya digantungkan dan disimpan semua harta peninggalan milik para
leluhur pendiri uma dan para anggota uma yang dipandang telah mempunyai kekuatan
magis. Harta milik peninggalan utama adalah tempat sirih-pinang para leluhur baik lakilaki maupun perempuan yang disebut, kakaluk matebian no koe matebian; harta
kekayaan perorangan yang sudah diserahkan sebagai milik kekayaan suku, barangbarang lain yang sudah mempunyai kekuatan magis seperti pedang atau tombak yang
pernah digunakan oleh pahlawan suku atau meo untuk memenggal kepala musuh
dalam perang tanding antar suku. Tiang agung itu sendiri melambangkan sebuah fungsi
media komunikasi antara kepala suku atau matas kawaik uma manaran dengan Wujud
atau Dewa Tertinggi (the Highest atau the Supreme being), Pencipta dan
Penyelenggara segala sesuatu yang ada melalui arwah para leluhur. Doa-doa yang
dilantungkan kepada Wujud Tertinggi melalui arwah para leluhur bertujuan untuk
meminta perlindungan dan keselamatan bagi anggota-anggota suku agar mereka
terhindar dari penyakit, musibah dan bahaya-bahaya lainnya.
Upacara lain yang juga dilakukan di bawah tiang agung adalah perkawinan adat yang
disebut, hakur fahi ran, artinya melanggar darah babi. Tindakan melanggar darah babi
ini melambangkan suatu ikrar janji sumpah setia sampai mati sebagai suami-isteri
antara seorang laki-laki dan seorang perempuan. Peristiwa ini biasanya disaksikan baik
oleh arwah para leluhur yang sudah berada di dunia sana maupun oleh para tua-tua

adat dari pihak umamane-fetosawa dan para orang tua, sanak saudara serta kaum
kerabat dari kedua belah pihak yang masih berada di dunia sini.
Oleh karena itu dapatlah dipahami bahwa uma manaran bukannya saja berfungsi
sebagai sebuah bangunan semata tetapi juga sebagai sebuah pusat jaringan
hubungan timbal balik antara struktur-struktur, manusia dan ide-ide atau pandangan
hidup manusia (Carstan,Janet, et al., 1995: 5). Levi Strauss, seorang Anthropolog tua
dari Perancis menamakan uma manaran dengan istilah, la maison societe (Idem, 1995:
5) atau rumah sebuah komunitas. Jadi uma manaran dapatlah digambarkan sebagai
pusat kehidupan dari sebuah komunitas atau persekutuan kelompok yang bersifat
genealogis karena komunitas ini didasarkan pada ikatan hubungan darah, hubungan
keturunan dan hubungan-hubungan kekerabatan. Di dalam lingkungan uma manaran
setiap anggota uma suku merasakan suasana ketenteraman hidup karena disinilah
kebutuhan-kebutuhan fisiologis, material, sosial dan psikologis dapat terpenuhi. Karena
itu keterikatan batinnya dengan

uma manaran adalah suatu ikatan afinitas

kekeluargaan sejati.
Atas dasar keyakinan akan ikatan afinitas kekeluargaan sejati itu pula maka
perkunjungan-perkunjungan secara periodik ke uma manaran dan uma lulik atau uma
kukun (rumah suku/rumah pemali suku) memiliki arti yang penting sekali berdasarkan
dua alasan, pertama, karena pada kesempatan-kesempatan semacam itu Ema Tetun
merasakan bahwa mereka mendapatkan kesempatan yang baik sekali untuk
memperoleh matak no malirin (secara harafiah, kesegaran dan kesejukan; arti
simboliknya, rahmat dan anugerah) melalui berbagai upacara adat seperti, tau manas
atau kaba (artinya, memberikan kehangatan atau pengurapan). Pada tataran filosofis,
matak no malirin, melambangkan kesehatan dalam arti yang seluas-luasnya. Secara
Anthropologis, matak no malirin dapatlah diterjemahkan dengan berbagai pengertian
seperti kekuatan hidup, semangat hidup, sumber kehidupan, kekuatan kosmos,
dan motivasi. Karena itu dalam ungkapan Ema Tetun, ba uma (mengunjungi rumah)
secara filosofis artinya kembali ke tempat asal usul seseorang, kembali ke sumber
kehidupan, kembali kepada jatidiri atau kepribadian yang asli dari kehidupan komunitas.
Alasan kedua, ialah bahwa perkunjungan-perkunjungan secara periodik ke Uma (Uma
Manaran/Uma Hun/Uma Lulik/ Uma Kukun) memberikan satu kesempatan khusus

kepada semua anggota uma suku untuk memperbaharui dan mempererat kembali
ikatan tali persaudaraan dan kekerabatan karena mereka ini berasal dari asal usul yang
sama. Dalam Lia Tetun (bahasa Tetun) perkunjungan-perkunjungan semacam itu
digambarkan sebagai, kalibur uma hun ida (arti harafiahnya, menghimpun mereka dari
asal usul yang sama), dan untuk mengenang kembali asal usul mereka dengan
ungkapan dalam Lia Tetun, hodi tatoli malu, hodi hatutan husar binan ba malu (artinya,
untuk menjalin hubungan satu sama lain melalui ikatan tali persaudaraan mereka
karena mereka berasal dari tali pusar yang sama).
Semua anggota uma suku yang terhisap dalam satu uma fukun terdiri dari mereka
yang diyakini berasal atau berketurunan dari seorang leluhur pendasar uma yang sama.
Ada beberapa cara yang bisa ditempuh agar seseorang bisa menjadi dan dianggap
sebagai anggota satu uma suku sangatlah penting. Cara yang pertama yang ditempuh
ialah melalui kelahiran seseorang dari satu perkawinan adat yang bersifat patrilineal
dengan belis putus, dimana seorang anak dapat menjadi anggota uma suku ayahnya
apabila semua persyaratan tentang belis ibunya telah diselesaikan seluruhnya menurut
ketentuan dan kesepakatan adat antara uma suku kedua belah pihak sebagai
fetosawa-umamane. Apabila semua kewajiban tersebut belum terpenuhi seluruhnya
maka sang isteri dan anak-anaknya masih tetap menjadi anggota uma suku ibunya dan
sang suami harus bertempat tinggal di uma suku sang isteri atau dalam satu tata aturan
tentang kediaman yang bersifat uxorilocal (bertempat tinggal di uma suku sang isteri).
Cara yang kedua untuk menjadi anggota satu uma suku ialah melalui upacara
pengadopsian yang disebut, kaba, yang artinya pengurapan.
Ema Tetun Fehan yang mendiami dataran rendah tanah Malaka atau Belu selatan
dari kabupaten Belu menganut sistem kekerabatan matrilineal. Yang berlaku di wilayah
ini ialah sistem perkawinan matrilineal dengan pola kediaman yang bersifat uxorilocal
atau matrilocal (artinya, sang suami bertempat tinggal di lingkungan uma sang isteri
atau ibu), dimana sang suami beralih statusnya menjadi anggota uma suku sang isteri.
Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan ini berada dalam kewenangan saudara lakilaki sang isteri, sedangkan sang suami yang bertempat tinggal di dalam suku isterinya
memikul tanggung jawab untuk mengurus kesejahteraan isteri, anak-anak dan bahkan
semua mantunya. Karena itu tidak dituntut penyerahan belis. Yang dituntut hanyalah

pengiriman barang-barang (sasolok) sebagai lambang pertukaran sosial (Lihat, uraian


tentang sistem perkawinan matrilineal menurut adat sabete-saladi pada bab III). Untuk
tetap melangsungkan hubungan ikatan persaudaraan maka seorang anak yang disebut,
mata-musan (arti simboliknya, pengganti biji mata) diserahkan kepada uma suku
ayahnya untuk menggantikan kedudukan dan tempat ayahnya yang sudah lowong demi
menjaga keseimbangan kosmis dan meneruskan keturunan di uma suku sang ayah.
Seringkali seorang anak perempuan yang paling disukai untuk memenuhi tuntutan adat
mata-musan ini.
Untuk meredam berbagai ketegangan atau pertentangan antara uma-uma suku
dan mempertahankan kelangsungan perdamaian, maka strategi yang biasanya
ditempuh dalam kearifan-kearifan lokal ialah dengan melangsungkan perkawinan antar
uma-suku melalui sistem perkawinan adat fetosawa-umamane berdasarkan ikatan
perkawinan yang sudah berpola atau menurut kebiasaan yang sudah berlangsung
secara turun temurun yang dikenal dengan istilah, dalan tuan, inuk tuan (jalan lama,
sumber lama) Fetosawa adalah uma suku pengambil atau penerima isteri, sedangkan
Umamane adalah uma suku pemberi isteri atau uma dimana seorang laki-laki boleh
mempersunting calon isterinya.(Lihat penjelasan selanjutnya di Bab III).
Dalam jaringan hubungan yang lebih luas sifatnya misalnya, antara kerajaan
dengan kerajaan atau antara kelompok-kelompok etnik, maka strategi dalam kearifankearifan budaya lokal yang biasanya ditempuh adalah melalui pembentukan suatu
ikatan persekutuan sosial sebagai hubungan persaudaraan melalui upacara sumpah
adat yang dikenal sebagai, hemu moruk metan (arti harafiahnya, meminum minuman
keras yang sifatnya pemali; arti simbolik, mengikrarkan janji sumpah setia) yang
melambangkan ikrar sumpah setia satu sama lain sebagai hubungan adik dan kakak
atau hubungan persaudaraan alin-maun. Sumpah adat berdasarkan darah ini dilakukan
oleh pihak-pihak yang bersumpah setia dengan cara meminum dari tempat minum yang
sama yang berisikan kepala sopi dicampur dengan setetes darah yang diambil dari jari
tangan kepala-kepala suku yang mau berikrar sumpah setia. Melalui minuman yang
dianggap pemali ini mereka bersumpah untuk membentuk satu ikatan persaudaraan.
Barang siapa yang melanggar sumpah ini misalnya, berkelahi, bertengkar atau saling
menghojat dan menghina akan langsung dirundung oleh malapetaka dengan sendirinya

berupa kematian yang mendadak atau bentuk musibah lainnya. Barang siapa yang
melanggar sumpah akan dimakan oleh sumpah itu yang telah diikrarkannya sendiri
secara sukarela. Pada dewasa ini sumpah setia sebagai alin-maun (adik-kakak) masih
dipertahankan dengan baik di antara tiga kelompok etnik di pulau Timor yang berasal
dari Belu, Sabu dan Rote Tii. Sumpah setia tiga serangkai ini dikenal dengan ungkapan,
Belu Mau, Sabu Mau, Tii Mau, yang artinya, kakak dari Belu, kakak dari Sabu dan
kakak dari Rote Tii.(Penjelasan terinci di Bab III).
Sebuah Fukun lama kelamaan sesuai dengan peredaran jaman akan berkembang
menjadi lebih luas dan semakin berkuasa. Karena kepadatan penduduk atau karena
sebab yang lain, beberapa anggotanya mungkin akan berpindah ke wilayah yang masih
kosong yang berdekatan untuk berkebun. Di tempat yang baru ini yang masih berada
dalam lingkungan sebuah Loo tetapi yang agak jauh dari kanua atau kampung, mereka
boleh membentuk cabang uma fukun atas inisiatif mereka sendiri. Namun karena dalam
upacara-upacara adat mereka harus berdialog langsung dengan cara melantungkan
doa-doa permohonan serta melakukan uapacara pemujaan langsung dengan arwah
para leluhurnya, sedangkan tempat yang baru itu agak jauh dari uma suku asalnya
yang disebut, uma hun, di kanua atau kampung asal maka mereka dapat membangun
sebuah cabang uma manaran (arti harafiahnya, uma suku yang bernama) misalnya,
Uma Leowes, Uma Astalin,Uma Leoklaran, Uma Mane Sanulu, dan sebagainya. Dalam
memutuskan masalah-masalah penting menyangkut urusan-urusan adat istiadat,
mereka harus bergabung dengan Uma Hun atau uma asal-usulnya. Suatu
perkembangan keadaan yang semakin maju dapat saja menyebabkan terjadinya
pemisahan sebuah ranting dari cabangnya. Dalam hal ini ranting adalah apa yang
disebut ri manaran (arti harafiahnya, sebuah tiang yang bernama). Setiap uma
manaran dan ri manaran dapat berkembang lebih lanjut dan lama kelamaan akan
berpisah sama sekali dari suku induk atau uma suku asal usulnya. Sebaliknya ada
fukun-fukun, uma-uma manaran dan ri manaran yang telah tersisihkan dan hilang
lenyap.
Beberapa fukun atau uma suku memiliki sebuah rumah pemali yang disebut, uma
kukun, uma lulik atau uma kakaluk. Pada dasarnya Uma kukun adalah tempat keramat
yang merupakan sumber dimana setiap anggota uma fukun atau perorangan dapat

memperoleh matak no malirin atau kekuatan magis. Uma kukun adalah rumah pemali
dimana tersimpan semua benda-benda keramat seperti, semua harta peninggalan
leluhur, berupa tempat sirih-pinang milik nenek laki-laki (kakaluk matebian) dan milik
nenek perempuan (koe matebian) yang telah berpulang ke alam baka, semua harta
peninggalan kekayaan lainnya, kekayaan dari fukun-fukun atau uma-uma suku baik
yang diwarisi dari para leluhur atau yang diperoleh sebagai pampasan perang maupun
melalui cara-cara lainnya. Semua perlengkapan dan perhiasan-perhiasan ini tersimpan
rapih di rumah pemali dan berada di bawah tanggung-jawab seorang kepala suku atau
dapat diserahkan kepada seorang anaknya apabila kepala suku atau matas kawaik
uma ini sudah lanjut usianya atau meninggal dunia.
1.2.2

Tata Susunan Uma Manaran dan Arti Simboliknya

Dalam uraian-uraian terlebih dahulu telah dijelaskan bahwa kehidupan Ema


Tetun sangatlah bertautan erat dengan atau berfokus pada Uma. Istilah ini merupakan
sebuah pandangan hidup yang sangat khas tentang suatu kehidupan antara fukun dan
uma manaran. Dalam hubungan dengan pandangan hidup ini maka dalam paparan
selanjutnya akan disajikan sebuah gambaran singkat tentang tata susunan dan
pengorganisasian, arti simbolis dan jenis-jenis rumah-rumah yang dikenal pada Ema
Tetun. Istilah umum dari rumah dalam Lia Tetun disebut, uma. Istilah ini mengacu
kepada bentuk fisik bangunan sebagai tempat tinggal manusia agar mereka dapat
terlindungi dari ketidaknyamanan hidup yang disebabkan oleh kepanasan terik matahari
atau udara yang sangat dingin dan musibah-musibah alam serta ancaman-ancaman
bahaya dari manusia. Sejauh ini istilah uma bermakna sebagai sebuah tempat tinggal
yang biasanya disebut uma tur fatin, sebuah tempat tinggal yang biasanya dihuni oleh
sebuah keluarga rumah tangga atau uma kain.
Sebuah uma dapat juga berbentuk sebuah bangunan yang berfungsi sebagai
Uma-Manaran atau uma fukun/uma suku. Sebagai sebuah bangunan maka rangkarangkanya uma biasanya terbuat dari kayu-kayu balok, bambu betung yang besar,
atapnya dari alang-alang atau hae manlain (Imperata cylindrica Beauv L). Tiang
agungnya yang disebut, kakuluk/ri manaran, yang tingginya sekitar 10 meter haruslah

diambil dari batang pohon yang sudah tua dan terpilih dari hutan adat. Tiang agung ini
haruslah berjumlah dua buah. Sebuah tiang diperuntukkan bagi seorang tokoh leluhur
laki-laki pendasar uma yang disebut, kakuluk/ri manaran bei mane, sedangkan yang
satunya diperuntukkan bagi nenek perempuan yang disebut, kakuluk/manaran bei feto.
Karena tiang-tiang agung ini mempunyai arti simbolik bagi keselamatan dan kerukunan
hidup dalam kehidupan anggota-anggota uma suku secara keseluruhan maka kedua
tiang agung itu haruslah dipikul bersama oleh semua anak laki-laki dan para menantu
laki-laki dari anggota uma suku bersangkutan. Kegiatan ini haruslah diawali dengan
satu upacara adat yang bertujuan untuk memberikan sasajen dan meminta ijin dari rohroh halus yang disebut, rai nain, sebagai penunggu hutan tersebut sehingga usaha uma
suku ini dapat terhindar dari berbagai halangan. Seusai upacara adat maka dapatlah
diadakan penebangan pohon yang sudah dipilih. Kedua tiang agung ini haruslah dihias
lalu dipikul oleh semua anak-anak laki-laki termasuk para menantu laki-laki dari uma
suku bersangkutan menuju tempat pembangunan uma manaran. Kelompok anak-anak,
perempuan dan para menantu perempuan mengiringi arakan ini dengan tarian likurai,
sedangkan para orang tua dan laki-laki yang lainnya menyanyikan lagu, leho berulangulang. Dengan demikian maka arakan ini merupakan satu upacara adat yang
melambangkan suatu penghormatan khusus kepada arwah para leluhur pendiri uma
agar mereka selalu mau menunggal dengan semua anak cucu dan turunannya yang
tergabung dalam persekutuan uma tersebut.
Ketika pekerjaan pembangunan uma manaran akan dimulai maka kegiatan ini
haruslah diawali dengan sebuah upacara untuk menentukan pusaran yakni titik pusat
dari bangunan itu. Upacara penentuan pusaran ini haruslah dilakukan oleh seorang
makdok (artinya, seorang dukun peramal atau orang yang bermata terang). Pada titik
yang telah ditentukan oleh makdok itu dibuatlah sebuah lubang sebagai tempat untuk
meletakkan

satu

kepala

karau

(kerbau) yang

dikorbankan

sebagai

upacara

persembahan. Kepala kerbau itu melambangkan kekuatan agar uma manaran itu dapat
berdiri kokoh. Pembangunan setiap uma manaran atau pembangunan rumah tempat
tinggal lainnya selalu dikerjakan secara hakawak atau gotong royong oleh semua
anggota uma suku dan penduduk dalam kampung seluruhnya. Hakawak merupakan
sarana kerja sama atau gotong royong dalam budaya masyarakat adat yang paling

efektif untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan yang membutuhkan banyak tenaga


manusia. Setelah rampungnya pembangunan uma manaran itu maka dilakukanlah
sebuah upacara untuk pendinginan rumah adat yang disebut, ha uma wen (arti
harafiahnya, menyantap hidangan karena kecapaian membangun uma manaran ini; arti
simbolis, mendinginkan uma). Pada dewasa ini semua penghuni kampung dan daerah
sekitarnya yang masih mempunyai hubungan ikatan sebagai fetosawa-umamane atau
rumpun uma suku lainnya yang masih terkait biasanya diundang seluruhnya untuk
menghadiri upacara ini. Banyak hewan berupa sapi dan babi biasanya disembelih pada
kesempatan yang penting menyangkut kehidupan uma ini dengan tujuan untuk memuja
arwah para leluhur dan memohonkan keselamatan serta kerukunan hidup bagi semua
anggota uma manaran yang bersangkutan. Kesempatan semacam ini biasanya
digunakan juga untuk menyelesaikan berbagai persoalan berupa perselisihan,silang
sengketa dan sikap permusuhan antara kerabat anggota-anggota uma manaran serta
mempertautkan kembali seluruh rumpun keluarga uma dengan tali ikatan afinitas
kekeluargaan sejati.
Pada umumnya sebuah bangunan uma manaran di wilayah kerajaan adat
Fehalaran, yang sejak usainya Perang Dunia Kedua (II) hingga ke dewasa ini lebih
dikenal sebagai kerajaan Tasifeto, berbentuk bulat telur atau perahu terbalik, bertumpu
diatas tonggak-tonggak, diatap dengan alang-alang atau hae manlain dari atap rumah
sampai menyentuh tanah. Penataannya adalah sebagai berikut. Bangunan uma ini
mempunyai dua pintu, sebuah menghadap ke arah matahari terbit yang disebut, oda
matan lor yang diperuntukkan bagi tamu dan kaum laki-laki; dan pintu yang lain
menghadap ke arah matahari terbenam yang disebut, oda matan rae, yang
diperuntukkan khusus bagi anggota-anggota rumah tangga dari uma manaran itu dan
kaum perempuan pada umumnya. Oda matan lor harus menghadap ke sebelah Timur
atau sebelah matahari terbit karena jurusan ini dianggap sebagai posisi yang membawa
keberuntungan, kesejahteraan material, kehidupan, kebaikan dan prospek yang cerah
dalam hidup sebagaimana sang surya yang mulai menyinyari bumi dengan sinarnya
yang terang benderang dan terik panasnya. Oda matan rae biasanya menghadap ke
arah Barat ke jurusan terbenamnya matahari sebagai pintu yang melambangkan waktu
senja dari kehidupan seseorang di dunia ini. Keadaan ini adalah saat-saat ketika

seseorang berhadapan dengan banyak kesulitan, penyakit, kesengsaraan, kesepian


dalam hidupnya dan pada akhirnya meninggal dunia.
Bangunan sebuah uma manaran mempunyai dua buah tiang agung sebagai
kakuluk/ri manaran (artinya, tiang agung yang bernama), yang satu melambangkan
leluhur laki-laki dan disebut kakuluk/ri bei mane (artinya, tiang agung untuk nenek lakilaki), dan yang satunya lagi untuk leluhur perempuan yang disebut, kakuluk/ri bei feto
(artinya, tiang aguang untuk nenek perempuan). Pada kakuluk bei mane biasanya
digantungkan dan disimpan semua harta kekayaan yang diwariskan oleh para leluhur
seperti tempat sirih-pinang dan semua harta peninggalan lainnya yang sudah dianggap
keramat. Tiang agung ini juga melambangkan sebuah media komunikasi dengan arwah
para leluhur dimana kepala uma suku biasanya melantungkan doa-doa permohonan
untuk keselamatan, kesejahteraan dan lain-lain bagi semua anggota uma.
Karena atap rumah menyentuh tanah maka bagian dalam rumah itu gelap gulita
tetapi sejuk rasanya. Suasana gelap dan sejuk melambangkan bahwa manusia itu lahir
dari satu dunia yang suci (gelap) dan penuh ketenangan (sejuk). Dari tempat yang
gelap dan sejuk ini manusia akan keluar ke dalam satu dunia yang nyata pada waktu
diadakan upacara, koi ulun atau pencukuran rambut, saat sang bunda selesai
melakukan hatuka hai (beristirahat total selama empat puluh hari untuk memulihkan
kesehatan di dalam rumah setelah melahirkan).
Bagian-bagian penting dalam sebuah uma manaran adalah:
a. Salak atau bale-bale besar yang terdapat di oda matan lor. Salak dimaksudkan
untuk menerima tamu, sebagai tempat untuk bermusyawarah dan sebagai
tempat tidur pada malam hari bagi kaum laki-laki yang masih layang.
b. Uma laran atau bagian dalam rumah yang terdiri dari sebuah bale-bale besar
yang biasanya digunakan sebagai tempat tidur bagi kaum perempuan layang
dan anak-anak. Bagian dalam ini juga digunakan sebagai tempat untuk
melakukan upacara-upacara adat untuk memuja arwah para leluhur, perkawinan
adat dan mengadopsi anak sebagai anggota uma yang baru.

c. Kahak atau loteng di atas salak yang digunakan sebagai gudang makanan
seperti jagung dan kacang-kacangan dan tempat untuk penyimpanan warisan
harta kekayaan.
d. Sete adalah sebuah tempat yang agak tinggi seperti sebuah loteng kecil yang
terletak di antara tempat tidur kaum wanita layang dan tungku api yang terletak
disebelah tempat tidur kaum wanita. Loteng kecil ini digunakan untuk menaruh
sasajen kepada arwah para leluhur atau anggota uma yang sudah meninggal.
e. Hai matan atau tungku api letaknya bersebelahan dengan tempat tidur kaum
wanita dan anak-anak. Hai matan ini digunakan sebagai dapur. Karena atap
rumah sampai menyentuh tanah dan tidak ada ventilasi lain selain dua pintu
rumah itu maka suasana rumah itu gelap dan asap api tidak bisa keluar secara
leluasa. Namun demikian, asap api itu sangat berguna untuk mengasapi jagung
yang tersimpan di atas loteng sehingga bahan makanan ini tidak terserang dan
dirusak oleh serangga.
f. Uma ain (arti harafiah, kaki rumah) mengacu kepada ruang tidur yang berada
dibagian paling belakang rumah yang telah dipisahkan oleh dinding bambu atau
papan dari bagian dalam rumah. Biasanya kepala uma suku dengan isterinya
menempati ruangan ini. Bila kepala suku tidak menggunakannya maka ruangan
tersebut biasanya digunakan oleh seorang pemudi yang telah kehilangan
keperawanannya sehingga dia dapat dengan leluasa berhubungan dengan
kekasih gelapnya pada malam hari (Lihat penjelasan di Bab III tentang
perkawinan adat pada Ema Tetun yang berstruktur sosial patrilineal). Jika
ruangan ini telah beralih fungsinya sebagai tempat berpacaran pada malam hari
maka tempat ini disebut, loka (ruangan kecil).
(Gambaran visual tentang tata susunan Uma Manaran dapat dilihat pada akhir Bab
VII tentang lampiran foto-foto, denah-denah dan peta-peta)
Uma Manaran sebagai pusat kehidupan sebuah komunitas uma suku memiliki arti
simbolis yang menunjukkan suatu hubungan saling ketergantungan antara bangunan,
manusia dan ide-ide atau pandangan hidup. Uma Manaran melambangkan kehidupan
suatu kelompok sosial dan dunia sekitarnya (Carsten, Janet (ed) et al, 1995: 1).

Karena itu dalam makna simbolis, uma manaran berperan sebagai sebuah simbol
kesatuan afinitas kekerabatan, sebagai pusat kehidupan suku dalam bidang
kebudayaan, sosial, pendidikan, ekonomi rumah tangga, moral dan religiositas. Uma
manaran bersifat genealogis karena anggota-anggotanya memiliki seorang tokoh
leluhur pendasar uma yang sama. Sebuah uma manaran (arti harafiah, rumah yang
bernama) atau uma hun (rumah asal usul) seperti uma Leowes, uma Astalin, uma
Leoklaran, uma Beitula, uma Manesanulu, dan sebagainya adalah lambang pusat
kehidupan sebuah uma manaran dalam berbagai bidang kehidupan.

Berbagai jenis istilah uma dapat dijelaskan sebagai berikut:


a. uma tur fatin adalah rumah tempat tinggal sebuah keluarga rumah tangga atau
keluarga inti yang disebut, uma kain.
b. uma manaran/ uma fukun/ uma hun (arti harafiah, rumah yang bernama, rumah
suku, rumah asal usul) artinya rumah sebagai pusat kehidupan suatu komunitas
kekerabatan yang seasal-seketurunan.
c. uma lulik/ uma kukun/ uma kakaluk (arti harafiah, rumah pemali, rumah gelap,
rumah sirih-pinang) adalah jenis rumah pemali dimana tersimpan semua harta
kekayaan peninggalan para leluhur seperti tempat sirih-pinang, gelang, morten,
pelat-mas, destar, penutup kepala dan penata rambut; benda-benda lainnya
seperti kapak, tombak, panah, kelewang yang pernah digunakan untuk
membunuh musuh oleh meo atau pahlawan suku. Berbagai harta peninggal dan
benda-benda kesemuanya itu dianggap pemali karena telah memiliki kekuatan
magis. Di tempat inilah biasanya dilakukan upacara kaba atau hasae kakaluk
d. uma metan (secara harafiah, rumah hitam) adalah istana raja. Istilah Metan
atau hitam melambangkan kesucian dan keagungan.
a. uma loo, artinya rumah tempat kediaman sementara bagi anggota uma suku
yang mengerjakan lahan atau berkebun di tempat yang agak jauh dari kanua,
kampung asal

a. uma toos, artinya pondok tempat berteduh di kebun untuk menjaga tanaman
agar hasil tanaman di kebun tidak dicuri atau dirusak oleh hewan.
b. umamane, artinya pihak uma suku dimana seorang jejaka atau laki-laki boleh
mempersunting seorang pemudi sebagai calon isterinya. Dapat juga disebut,
uma suku pemberi gadis atau isteri. Pasangannya ialah uma-fetosawa, artinya
uma suku pengambil gadis atau isteri.
1.3

1.3. Dasi
Setelah menelusuri perkembangan sebuah fukun dan hubungan antar uma suku

atau uma manaran sebagai akibat dari hubungan fetosawa-umamane maupun alinmaun (lihat penjelasan selanjutnya) maka kebutuhan akan sebuah koordinator atau
pimpinan umum sangatlah dirasakan. Koordinasi pemerintahan ini dilakukan oleh
seorang Nai atau bangsawan setempat yang harus berasal dari keturunan Dasi atau
berdarah bangsawan. Nai adalah sebuah istilah sapaan kehomatan, sedangkan Dasi
adalah nama untuk kelas yang berdarah bangsawan.
Seorang ahli hukum adat Indonesia yang berkebangsaan Belanda, B.Ter Haar,
mengemukakan pendapatnya bahwa diri pribadi seorang raja itu sendiri bersama
dengan segala perlengkapan kekuasaan dan perhiasan upacaranya yang merupakan
sumber dari kekuatan magis, sebagai satu keharusan atau persyaratan mutlak yang
menyangkut kepemimpiannya (B.Ter Haar, Adat Law in Indonesia, Bharatara, 1990).
Namun di Belu dan banyak tempat di pulau Timor, masalah mengenai kepribadian
pemimpin merupakan tempat yang kedua. Jika di dalam sebuah fukun atau uma suku
ada seorang kepala atau seorang yang tertua di antara yang lain yang sama posisinya,
sama halnya juga dalam hubungan-hubungan antara suku ada seorang anggota fukun
yang telah ditentukan sebagai yang tertua dari sesama lainnya (primus inter pares)
maka seorang itu yang dinamakan fukun dasi yang berdarah bangsawan atau kelas
bangsawan, dialah yang menjadi kepalanya dan diakui sebagai Dasi atau Nai.
Dalam keputusan fukun tentang siapa yang akan memegang kekuasaan maka
syarat-syarat yang harus dipertimbangkan bukan saja mengenai kelengkapankelengkapan dan perhiasan-perhiasan kebesaran yang dimiliki; persyaratan yang lebih

penting ialah kewibawaan dan kedudukan fukunnya serta hubungan-hubungannya


dengan semua uma-uma suku lainnya. Kekuasaan ini pada umumnya ditentukan oleh
kedudukannya sebagai umamane atau uma suku pemberi isteri. Semakin besar jumlah
fetosawa (suku pengambil isteri) yang diaturnya maka semakin aman pula
kedudukannya. Untuk memperkuat persyaratan-persyaratan tersebut di atas maka
dirajutlah mitos-mitos untuk memberikan sifat keagungan bagi kepemimpinan fukun
dasi, misalnya bahwa kepala suku itu adalah titisan dewata dari langit, dan sebagainya.
Keutamaan atau kebangsawanan kedudukan suku diterima sebagai sebuah warisan
turunan hingga kebangsaan itu melemah dan jatuh karena sesuatu sebab.
Apabila persyaratan-persyaratan tentang kebangsawan tersebut di atas telah
terpenuhi, barulah diselidiki kualifikasi untuk menjadi Loro atau Nai, antara lain
persyaratan yang paling utama ialah bahwa calon itu haruslah berdarah bangsawan
murni{dasi-ran) dalam artian bahwa dalam diri calon itu haruslah terkandung unsurunsur warisan turunan murni. Dengan demikian maka persyaratan-persyaratan yang
dituntut boleh dianggap sudah lengkap. Dalam kenyataannya bahwa kemampuan
sebagai salah satu persyaratan ditempatkan di urutan terakhir karena didasarkan pada
pertimbangan bahwa seorang Loro atau Nai hanyalah seorang koordinator yang tidak
memiliki banyak tanggungjawab aktif sebab segala sesuatunya sudah ditangani oleh
pembantu-pembantunyanya.
Bila pada suatu saat, seorang suku bangsawan tidak mampu lagi mengajukkan
seorang calon yang dapat diterima oleh rakyat dan tidak mampu lagi menjabat atau
memerintah maka keadaan ini dikatakan bahwa garis keturunan bangsawan sudah
berakhir. Oleh karena itu masyarakat mengadakan musyawarah adat, mon metan,
untuk mempertimbangkan

calon-calon

musyawarah

lembaga

adat

dalam

dari suku bangsawan lainnya. Apabila

adat

yang

disebut,

mon

metan

(artinya

bermusyawarah secara terbuka untuk mencapai kesepakatan yang adil dan benar)
pada akhirnya telah mencapai kata sepakat maka uma suku bangsawan yang
bersangkutan haruslah diberitahukan tentang hasil musyawarah adat tersebut. Bila
segala sesuatu yang menyangkut persiapan telah berjalan mulus maka rakyat
seluruhnya akan mengumpulkan uang sebanyak mungkin sesuai dengan apa yang
dituntut oleh suku bangsawan sebagai sumber pendelegasian kewenangan dari hasil

musyawarah yang telah menyetujui pengadopsian atau membeli putus (artinya,


mengalihkan status) Loro atau Nai yang baru bagi mereka. Mendapatkan seorang raja
dengan cara ini disebut faen atau hafoli yang artinya mengadopsi atau mengangkat.
Selain daripada itu kecuali kedua istilah tersebut dibatasi penggunaannya hanya untuk
faen atau hafoli dasi dan faen atau hafoli feto (arti harafiahnya, mengadopsi seorang
raja dan mengambil seorang perempuan/ isteri). Untuk membeli barang-barang pada
umumnya maka istilah yang digunakan ialah sosa. Kedudukan seorang perempuan
yang dibeli melalui cara ini yakni dengan cara memperisterikannya merupakan
sesuatu tindakan yang terhormat. Kedudukannya adalah uma nain atau nyonya rumah.
Demikianpun halnya seorang Nai yang dibeli untuk menjadi pemimpin atau penguasa
dari kerajaan yang mengadopsinya. Raja yang dibeli ini diambil ke dalam suku
bangsawan utama dan biasanya dinikahkan dengan salah seorang anggota suku itu.
Grijzen mengatakan bahwa seorang bangsawan biasanya disapa dengan istilah
Nai memang benar; tetapi mengenai apa yang dikatakannya bahwa untuk
mengungkapkan rasa lebih hormat maka istilah-istilah yang digunakan adalah rai nain
dan ata nain adalah suatu penjelasan yang keliru. Sebenarnya istilah Nai lulik (nai=raja
dan lulik=suci) digunakan sebagai penyebutan terhadap seorang pemimpin agama
Katholik yang dipandang saleh atau Imam (Pastor). Rai nain (rai=tanah dan
nain=pemilik atau tuan) sebagaimana telah dijelaskan di atas ditujukan kepada roh
halus penunggu pohon, batu besar atau tempat-tempat keramat. Ata nain (secara
harafiah, ata= hamba dan nain=tuan; artinya, tuan dari hamba) adalah siapa saja yang
memiliki hamba-hamba. Bila seseorang berbicara di depan seorang Nai maka untuk
menyatakan rasa merendah mereka menyebutkan dirinya sebagai, itan ata, artinya
hambamu.
Penjelasan Grijzen bahwa anak-anak yang lahir dari perkawinan antara seorang
bangsawan dengan seorang perempuan yang lebih rendah statusnya memperoleh
gelar dato tidaklah tepat. Dato adalah gelar untuk kekuasaan pemerintahan.
Sebagaimana telah dijelaskan di atas bahwa tidak ada kelas dalam diri dato-dato. Telah
diakui bahwa dato adalah seorang pemimpin yang mendapatkan penghormatan dari
rakyatnya dan juga mendapatkan keistimewaan-keistimewaan, tetapi dia tidak memiliki
status sosial yang harus lebih tinggi daripada rakyatnya. Dia tidak disapa dengan

bahasa adat khusus seperti bahasa adat halus untuk tingkatan Dasi. Sebagaimana
dalam bahasa Jawa yang mengenal tiga tingkatan bahasa yakni, ngoko, kromo dan
kromo inggih, demikian juga dalam bahasa Tetun (Lia Tetun) ada tiga tingkatan bahasa
yakni, lia sasokar atau bahasa adat halus atau bahasa santun dalam urusan-urusan
adat atau pertemuan-pertemuan resmi; lia hakneter atau bahasa santun terhadap
seorang dasi (raja) atau orang tua dan yang dituakan; lia dale atau bahasa sehari-hari
yang digunakan oleh masyarakat umum. Kedudukan yang lebih rendah dari bangsawan
sebagaimana yang dikemukakan oleh Grijzen memang telah memunculkan istilah dasi
alin, (secara harafiah, bangsawan lebih muda atau bangsawan rendah) namun
demikian orang yang bersangkutan haruslah tergolong dalam satu uma suku atau uma
manaran tertentu dan dia tidak mungkin akan terpilih sebagai Nai secara otomatis.
N. Th. Overaher, controleur dari Belu, dalam memorinya pada tahun 1927,
membedakan golongan dasi alin, dasi ran, dato dan renu. Istilah dasi ran diartikannya
sebagai bangsawan asli yang belum mempunyai darah campuran dengan golongan
yang lebih rendah; dasi alin merupakan sebuah keturunan yang kurang penting dari
dasi sebagaimana telah dijelaskan di atas. Mengenai golongan renu dan dato
penjelasannya

telah

dijelaskan

di

atas.

Penulis

juga

merasa

perlu

untuk

mengemukakan pendapatnya tentang dasi ran dan dasi yang biasa, berdasarkan
informasi yang pernah dikemukakan oleh seorang tokoh peradatan, ama Alfons Mau.
Setiap fukun mempunyai hubungan-hubungan keterkaitan timbal balik dengan
fukun-fukun lainnya, baik mereka yang punya hubungan sebagai fetosawa-umamane
maupun hubungan sebagai alin-maun. Hubungan-hubungan pada tingkat pertama
yang terjadi antara fukun-fukun membentuk jaringan-jaringan hubungan yang tidak
berkeputusan namun selalu ada satu uma suku utama yakni fukun dasi. Di tempat lain
pada waktu yang bersamaan terdapat juga hubungan-hubungan semacam itu di antara
fukun-fukun yang sama. Hal ini mengakibatkan adanya banyak fukun bangsawan, baik
pada masing-masing maupun seluruhnya terdapat satu yang terkemuka, yang berbeda
dan terpisah secara genealogis, membentuk kelompok-kelompok keturunan yang
sama. Mereka ini dapat di klasifikasikan dalam kategori sebagai bangsawan menengah.
Dengan timbulnya banyak dasi atau bangsawan kelas menengah, yang semuanya
mempunyai jalinan hubungan sebagai fetosawa-umamane antar setiap fukun, maka

seharusnya ada koordinator-koordinator pada tingkatan yang lebih tinggi, yang dalam
hal ini ditempati oleh mereka yang berdarah bangsawan murni (dasi ran). Karena itu,
penulis sependapat dengan ADM. Parera yang mengatakan bahwa dasi ran selayaknya
mengacu kepada bangsawan tinggi dan bukan hanya yang berdarah biru asli semata.
Setiap orang mulai dari dasi ran turun ke renu di uma-uma manaran mempunyai
pertalian hubungan sebagai fetosawa-umamane yang berlangsung dalam bentuk dua
lingkaran. Karena itu dapatlah dipahami bagaimana sulitnya untuk menghilangkan
perasaan-perasaan sebagai turunan golongan bangsawan pada banyak kalangan
masyarakat di pulau Timor. Hal ini bukannya saja bersumber dalam diri Nai atau raja
saja tetapi juga muncul dalam masyarakat luas, karena mereka semuanya memiliki
ikatan hubungan keturunan darah atau jalinan hubungan genealogis.
Dalam sistem politik kekuasaan asli pada jaman dulu sebelum munculnya jaman
pemerintahan Belanda, telah dikenal luas di seluruh pulau Timor dan pulau-pulau
sekitarnya tentang kerajaan Fehalaran atau Manuaman Lakan yang berkedudukan di
Natarmeli Bauho, sebuah tempat yang letaknya di antara wilayah KeNaian DualasiLasiolat dan Halimodo-Takirin. Selain itu telah dikenal pula kerajaan Wesei-Wehali,
wilayah kekuasaan di bawah keser Maromak Oan (Kaiser turunan Putera Dewata) yang
berkedudukan di Laran, dataran rendah Belu Selatan. Di antara kedua kerajaan yang
sangat kenamaan ini terdapat jalinan hubungan fetosawa-umamane karena putera raja
Wesei dari Fehalaran telah mempersunting dan memperisterikan puteri raja dari Wehali
sebuah kerajaan yang berkedudukan di Laran, Belu selatan. Hubungan sebagai
fetosawa-umamane antara kerajaan Fehalaran dan Wesei-Wehali ini seringkali
dilambangkan sebagai hubungan uma hae (artinya, uma fukun yang beratapkan rumput
alang-alang atau hae manlain) dan uma tali (artinya, uma fukun yang beratapkan daun
gebang). Hae manlain atau alang-alang (Imperata cylindrical Beauv L.} banyak terdapat
di wilayah kerajaan Fehalaran sedangkan pohon gebang tersebar luas di dataran
rendah Belu selatan, wilayah kekuasaan kerajaan Wehali dan Waiwiku.
Menurut H.J.Grijzen sebagaimana yang dikutip oleh Koentjarabinggrat (1986)
bahwa tipe struktur sosio-politik kerajaan Fehalaran, yang juga dikenal sebagai
Natarmeli Bauho, adalah sebuah replika dari sistem politik asli yang masih bisa dilihat
hingga ke saat ini. Berdasarkan pendapat ini maka pembicaraan selanjutnya hanyalah

difokuskan pada sebuah gambaran atau deskripsi ethnografis mengenai kerajaan


Fehalaran atau Manuaman Lakan yang berpusat di Natarmeli Bauho sebagai sebuah
tipe integral dari sistem politik tradisional yang sampai sekarang masih berfungsi dan
berlaku dalam hukum adat dari masyarakat adat yang bersangkutan. Sebagian besar
informasi mengenai kerajaan Fehalaran di bawah kekuasaan Loro Fehalaran dari
jaman lampau yang menjadi pokok bahasan dalam tulisan ini diperoleh dari informan
tetap penulis yakni, ama Alfons Mau dan ama dato Moruk, yang dipandang sebagai
tokoh peradatan dari keNaian Dualasi-Lasiolat. Selain daripada itu penulis juga sangat
berutang budi kepada Bapak Drs. Paul Y. Asa, ketua Yayasan Budaya Tetun, karena
melalui karya-karya tulisnya penulis telah memperoleh banyak gambaran-gambaran
ethnografis tentang genealogi (silsilah keturunan) para penguasa asli kerajaan
Fehalaran, tentang tanah asal usul dan arus gelombang migrasi penduduk yang
mendiami Kabupaten Belu pada dewasa ini, sistem politik kekuasaan asli dan catatancatatan penting lainnya. http://manuamanlakaan.over-blog.com

Anda mungkin juga menyukai