Anda di halaman 1dari 8

Political Systems

Politik selalu ada di sekitar manusia. Politik dalam artian ilmu politik berfokus pada
negara. Namun, masyarakat nonindustri pun juga “merasakan” politik. Baik negara
modern ataupun masyarakat nonindustri memiliki metodenya dalam mengatur social
order. Oleh karena itu, antropologi juga ikut mengkaji mengenai sistem politik dalam
masyarakat.

What kinds of political systems have existed worldwide and what are their social-
economic correlates?
Pertama, apa yang dimaksud dengan “politik”? Ada banyak definisi mengenai politik,
tetapi menurut Morton Fried, politik merupakan: “Political organization comprises those
portions of social organization that specifically relate to the individual or groups that
manage to affairs of public policy or seek to control the appointment or activities of
those individual or groups.”

Singkatnya ialah politik merupakan bagian dari sistem sosial yang berfungsi untuk
mengatur kebijakan publik. Definisi ini, walaupun benar, terbatas pada negara modern
yang kita kenal sekarang. Alhasil, antropolog lebih menggunakan pendekatan sosial-
politik—melihat hubungan sosial dengan politik alih-alih melihat politik sebagai
badan/institusi tersendiri yang terpisah dari masyarakat—untuk menjelaskan politik.

Sistem politik yang ada


Dalam antropologi, dikenal 4 macam sistem politik, yaitu bands, tribes, chiefdoms,
dan state. Perlu diketahui bahwa 3 macam pertama sudah langka dan jika pun masih
eksis terpengaruh oleh regulasi yang dibentuk oleh negara. Oleh karena itu, antropolog
sebetulnya belum pernah meneliti bands, tribes, dan chiefdoms dalam bentuk “murni”
nya karena ilmu antropologi belum ada saat itu.

Keempat sistem politik ini berkaitan dengan sistem ekonomi yang mereka anut.
Semakin kompleks sistem ekonominya, semakin kompleks masyarakat yang perlu
diregulasi. Karena regulasi masyarakat semakin kompleks, sistem politik pun ikut
berkembang menjadi semakin kompleks pula.

Bands
Bands merupakan sistem politik yang paling sederhana. Ia merupakan kelompok
kecil (terdiri dari 10-50 orang) yang didasari oleh keluarga/kekerabatan. Umumnya
ditemukan pada masyarakat yang memiliki sistem ekonomi forager. Masyarakat
forager cocok dengan sistem ini karena untuk kemudahan berburu perlu masyarakat
yang kecil jumlahnya. Selain itu, jumlah kecil ini juga memudahkan mereka untuk
berpindah mencari bahan buruan lain. Kelompok yang kecil juga lebih erat jika didasari
oleh keluarga/kerabat sehingga masyarakat forager mengembangkan sistem bands.

Masyarakat bands merupakan masyarakat yang egaliter. Tidak ada orang yang
dianggap memiliki kekuasaan—dalam artian politik—yang lebih. Ada orang yang di-
respect umumnya, tetapi tidak memiliki otoritas untuk meng-enforced opininya atau
“suruhannya”.

Masyarakat San (Bushmen) misalnya. Ini merupakan kelompok masyarakat di Afrika


bagian selatan. Masyarakat ini bersifat nomaden—beberapa di antaranya. Ia juga
memiliki sistem ekonomi yang forager sehingga masyarakat ini menganut sistem politik
bands.

Dalam masyarakat San, terdapat “ketua” meskipun sebatas formalitas saja. Ia tidak
memiliki kekuatan lebih karena masyarakat San merupakan masyarakat egaliter.
Hubungan sosial—layaknya bands—didasari oleh kekerabatan. Oleh karena itu,
resiprositas dan berbagi merupakan hal yang normal dalam masyarakat San. Hidup
yang berpindah-pindah memaksa masyarakat San untuk hidup dalam kondisi
egalitarian guna memenuhi kebutuhan seluruh anggotanya.

Selain itu, untuk menyelesaikan konflik, masyarakat bands tentu berbeda dengan
negara modern yang memiliki hukum yang terkodifikasi. Pada masyarakat Inuit, mereka
memiliki caranya sendiri dalam menyelesaikan konflik.

Masyarakat Inuit juga merupakan masyarakat bands dengan sistem ekonomi forager—
terutama dengan berburu ikan karena kondisi lingkungan yang dingin. Kondisi geografi
yang “seram” menyebabkan banyak kelompok laki-laki dari Inuit kehilangan nyawanya.
Oleh karena itu, populasi laki-laki lebih sedikit dibandingkan dengan perempuannya.
Alhasil, laki-laki dapat memiliki lebih dari satu istri. Kepemilikan istri yang “banyak” ini
sering melahirkan polemik, terutama dengan “mencuri” istri orang.

Untuk menyelesaikan hal ini, ada dua cara yang biasanya digunakan oleh masyarakat
Inuit. Yang pertama ialah dengan membunuh orang yang mencuri istrinya. Akan tetapi,
mengingat bands merupakan masyarakat yang didasari oleh kekerabatan, kerabatnya
yang memiliki hubungan yang erat biasanya akan datang membalas dengan
membunuh orang yang membunuh tersebut dan siklus akan terbentuk. Oleh karena itu,
metode ini lebih jarang digunakan.

Metode yang kedua ialah dengan “song battle”. Kedua pihak yang berkonflik akan
menciptakan lagu yang mengejek pihak lawan dan pemuenang ditentukan oleh
penonton. Namun, hal ini tidak menjamin istrinya akan kembali.
Tribes
Bentuk sistem politik selanjutnya adalah tribes, yaitu kelompok yang relaitf lebih
besar dibandingkan dengan bands, hidup cenderung menetap di desa, dan
memiliki sistem ekonomi hortikultur atau pastoralis. Ia juga didasari oleh
kekerabatan dan juga keturunan. Ia juga cenderung egalitarian.

Masyarakat dengan ekonomi hortikultur/pastoralis cocok dengan sistem ini karena


masyarakatnya yang lebih kompleks. Dengan sistem hortikultur, masyarakat
mengembangkan desa-desa sehingga pengaturan distribusi menjadi lebih kompleks
dibanding dengan foragers. Begitu pula pada masyarakat pastoralis. Masyarakat
pastoralis, terutama yang transhumance, melahirkan sistem distribusi yang lebih
kompleks.

Meskipun cenderung egalitarian, masyarakat tribes mengenal stratifikasi—meskipun


tidak sekuat negara modern. Stratifikasi atas gender yang membagi terhadap akses
sumber daya. Selain itu, masyarakat tribes juga mengenal kepala desa yang didasari
oleh personalitas, umur, dan gender.

Masyarakat Yanomami misalnya. Ia merupakan masyarakat tribes dan mengenal


adanya kepala desa. Namun, kekuasaanya—dan juga pada kepala desa masyarakat
tribes lainnya—terbatas. Ia tidak bisa meng-enforced kehendaknya. Ia harus memberi
contoh kepada masyarakat baru masyarakat akan mengikutinya.

Ia juga harus dermawan kepada masyarakat dengan meredistribusi hasil panen.


Umumnya seseorang dapat menjadi kepala desa apabila ia memiliki perilaku yang
dianggap baik oleh masyarakat. Dengan demikian, ia akan memiliki pendukung yang
mendukungnya menjadi kepala desa. Apabila dianggap sudah “tidak baik” maka
masyarakat akan mencari kepala desa lain.

Bentuk orang “terhormat” lain adalah big man, yaitu orang yang dermawan dan
didukung berbagai desa. Berbeda dengan kepala desa yang hanya mengepalai satu
desa, big man dapat mengepalai berbagai desa sekaligus. Status ini didapat melalui
kerja keras. Dari kerja keras tersebut ia akan mengakumulasi kekayaan. Dengan
kekayaan tersebut, ia mulai menarik beberapa pendukung. Ketika ia mulai membagikan
kekayaannya, maka banyak yang akan mendukungnya sehingga ia dikenal sebagai big
man. Selain itu, ia juga memiliki beberapa kualitas personal seperti, keberanian,
kedermawanan, kelancaran berbicara, dst.

Kemudian, ada yang namanya pantribal sodalities, yaitu kelompok yang meluas ke
seluruh tribes yang tidak didasari oleh kekerabatan. Secara kasarnya, ia adalah
tribes yang tidak melihat kekerabatan atau keturunan. Suatu suku atau tribes umumnya
menyebar dalam suatu wilayah. Saat ada keperluan tertentu—perang pada umumnya—
bagian-bagian tersebut dapat bersatu, meskipun tidak satu keluarga atau satu
keturunan.

Pada masyarakat pastoralis, yang hidup berpindah atau semi-berpindah, mereka juga
mengembangkan tribes guna merespon terhadap kompleksitas masyarakatnya. Mereka
juga memiliki kepala desanya masing-masing. Seperti masyarakat Basseri dan
Qashqai. Kedua masyarakat ini merupakan masyarakat pastoralis. Mereka sepakat
memiliki jadwal penggembalaan. Bashari memiliki kepala desa dengan kekuasaan yang
relatif lebih lemah dibanding dengan Qashqai karena kompleksitas masyarakatnya juga
lebih rendah.

Qashqai di lain pihak memiliki kepala desa dengan kekuasaan yang lebih kuat. Bahkan,
masyarakatnya tidak mempertanyakan keputusan yang diambil oleh kepala desa ini.

Chiefdoms
Selanjutnya ada bentuk sistem politik chiefdoms, yaitu sistem transisi dari tribes
menuju state. Ia memiliki ciri dari tribes, terutama basis kekerabatan. Namun, ia sudah
menunjukkan ciri dari state, yaitu posisi penguasa yang permanen (office) dan hukum
yang lebih formal. Sistem yang lebih teregulasi dan permanen ini menyebabkan umur
dari chiedoms relatif lebih panjang.

Chiefdoms umum ditemui di masyarakat Polynesia. Chief atau pemimpinnya mengatur


perekonomian (produksi-distribusi-konsumsi) dengan menggunakan berbagai cara
(bahkan hal-hal yang tabu menjadi instrumen). Ia juga umumnya menggunakan sistem
ekonomi hortikultur dan agrikultur. Mengingat sistem cocok tanam menyebabkan
penduduk menjadi padat sehingga masyarakat menjadi kompleks menyebabkan sistem
ini cocok.

Status pemimpin atau chief didasari oleh senioritas keturunan. Artinya yang paling tua
dalam suatu garis keturunan adalah yang berhak memegang status chief. Akan tetapi,
ini tidak menjadikannya ia elit karena chiefdoms masih didasari kekerabatan sehingga
chiefs masih seperti masyarakat pada umumnya, tetapi dengan hak-hak spesial.

Akan tetapi, apabila chiefs mencoba menghilangkan basis kekerabatan dengan


menjauhkan kerabat jauh dan melarang pernikahan masyarakat biasa dengan pihak
yang lebih “spesial” dan hal itu diterima oleh masyarakat, maka stratifikasi akan lahir
dan berpotensi lahir menjadi suatu state.

How does the state differ from other forms of political organization?
State
Bentuk sistem politik yang terakhir adalah negara. Negara dibagi menjadi dua, yaitu
negara archaic—nonindustri— dan negara industri atau negara modern yang umum kita
kenal. Negara sendiri merupakan badan politik yang otonom yang diisi oleh
beragam kelompok masyarakat dan memiliki pemerintahan terpusat dengan
kekuasaan yang luas. Di dalam negara, bisa ditemukan hal-hal ini, yaitu population
control, judiciary, enforcement, dan fiscal support. Hal-hal ini merupakan hal yang dapat
membedakan state dengan bentuk sistem politik lainnya.

Population control
Berbeda dengan sistem politik lainnya yang didasari kekerabatan, negara diisi oleh
orang-orang yang beragam yang tidak semuanya berbagi keturunan. Oleh karena itu,
negara umumnya memastikan secara rutin siapa saja yang mereka perintahi—melalui
sensus. Hal ini dilakukan untuk “membatasi” masyarakat negara tersebut dengan
masyarakat lain. Selain itu, untuk kemudahan administrasi mengingat kompleksnya
masyarakat suatu negara, ia dibagi lagi ke beberapa subdivisi.

Karena masyarakatnya yang kompleks, negara umumnya memudahkan mobilisasi


masyarakat agar hubungan masyarakat tetap kuat. Selain itu, dengan kompleksitas
tersebut, status masyarakat menjadi lebih beragam dan masyarakat dapat lebih mudah
mendapatkan status baru.

Judiciary
Berbeda dengan sistem politik lainnya yang belum memiliki hukum secara rapih dan
sistematis, negara memilikinya sehingga proses hukum lebih rumit daripada bentuk
masyarakat yang lain (melalui pengadilan dan sebagainya).

Selain itu, negara umumnya mengatur beberapa urusan privat masyarakat. Hal ini tidak
ditemukan pada bentuk masyarakat lainnya mengingat kebanyakan mereka tidak
memiliki penguasa yang terpisah dari masyarakat.

Enforcement
Negara memiliki kekuasaan untuk memaksakan hukumnya, berbeda dengan bentuk
masyarakat lain yang “penguasa” nya hanya bisa memberi saran. Negara bisa
menjatuhkan hukuman, memungut denda, menilang seseorang, dst.

Fiscal support
Untuk menjalankan negara, negara membutuhkan bantuan dana. Pada masyarakat
bukan negara, hal ini tidak diperlukan mengingat mereka menjalankan masyarakat
secara bersama-sama. Oleh karena itu, negara akan memungut pajak dari masyarakat.
Gaji yang dihasilkan masyarakat, barang yang masuk dan bergerak di area negara
tersebut, merupakan subjek dari pajak. Produksi juga tidak lepas dari regulasi negara.
Dari pajak tersebut, akan diredistribusikan kepada masyarakat, dalam bentuk lain.

Bentuk lain umumnya dalam bentuk pembangunan fasilitas umum untuk masyarakat
luas. Selain itu, ia juga diberikan kepada orang-orang yang bekerja untuk negara. Akan
tetapi, pada negara nonindustri, terkadang pembangunannya merupakan
pembangunan yang tidak ada “manfaat” nya bagi masyarakat luas dan hanya
merupakan “beban” bagi masyarakat.

Dari keempat hal ini, stratifikasi merupakan hal yang dominan. Oleh karena itu,
kehadiran stratifikasi yang nyata dan jelas dalam negara merupakan pembeda utama
antara negara dengan bentuk sistem politk lainnya yang cenderung egalitarian.

What is social control and how is it established and maintained in various


societies?
Kontrol sosial merupakan upaya untuk mengatur dan menjaga norma serta
meregulasi konflik di masyarakat. Singkatnya, ia merupakan upaya untuk menjada
masyarakat tetap teratur. Setiap masyarakat memiliki caranya masing-masing dalam
menjaga masyarakat agar tetap teratur.

Hegemony and resistance


Hegemoni merupakan konsep yang dikembangkan oleh Gramsci yang
menyatakan bahwa stratifikasi dapat eksis karena adanya internalisasi nilai-nilai
pihak superior oleh pihak inferior. Oleh karena itu, stratifikasi dianggap sebagai hal
yang wajar dan natural, padahal ia merupakan hasil pembentukan oleh pihak yang
memiliki kekuasaan.

Menurut Gramsci dan Foucault, hal ini dapat berjalan lebih efektif dengan memengaruhi
pikiran masyarakat alih-alih menggunakan kekerasan fisik. Selain dengan “memaksa”
internalisasi nilai-nilai, mengisolasi masyarakat dan mengawasinya serta memberikan
janji masyarakat akan berkuasa suatu hari nanti merupakan cara lain yang dapat
digunakan untuk menumbuhkan hegemoni. Ini semua dilakukan untuk menghindari
adanya resistensi dari masyarakat.

Suatu hegemoni dapat terguncang apabila terdapat resistensi dalam masyarakat. Oleh
karena itu, pihak yang memegang hegemoni akan mempertahankan hegemoninya
dengan berbagai cara. Yang paling penting ialah mencegah masyarakat dapat bersatu.
Oleh karena itu, kehidupan masyarakat diatur sedemikian rupa agar potensi bersatu
mereka kecil.
Faktor geografis dan budaya juga dapat mendukung upaya pencegahan resistensi.
Masyarakat dengan budaya berbeda umumnya sulit untuk bersatu. Begitu pula
masyarakat yang berada di lingkungan geografis yang berbeda. Ini semua dapat
digunakan oleh pemegang hegemoni untuk mempertahankan hegemoninya.

Weapons of the weak


Akan tetapi, meski pemegang hegemoni memiliki berbagai cara untuk mempertahankan
hegemoninya, masyarakat tetap punya cara sebagai bentuk kritik atau protes. Meski
pada permukaan masyarakat terlihat nyaman dengan hegemoni yang ada—yang
disebut sebagai public script—jika ditelisik lebih lanjut, terdapat kritikan dan protes yang
dipendam masyarakat—yang disebut hidden script. Hidden script ini umumnya naik ke
permukaan di saat-saat tertentu seperti festival di mana masyarakat dengan mudah
berkumpul. Masyarakat biasanya memiliki cara-cara sebagai bentuk protes yang
bersifat kecil yang disebut sebagai weapons of the weak oleh James Scott.

Shame and gossip


Selain bentuk kontrol dari pemegang hegemoni yang formal, ada juga bentuk kontrol
yang informal. Umumnya dalam bentuk gosip. Gosip merupakan metode kontrol yang
efektif, terutama pada masyarakat kecil. Gossip umumnya dapat berujung pada rasa
malu sehingga membuat rasa tidak nyaman seseorang.

Masyarakat biasanya membicarakan hal yang menjadi “larangan” dalam masyarakat


dengan tujuan menumbuhkan rasa malu apabila seseorang benar-benar melakukan
“larangan” tersebut. Hal ini umum ditemukan pada masyarakat non-barat.

Igbo Women’s War


Perang perempuan terhadap laki-laki di Nigeria pada masa pemerintahan kolonial
Inggris ini merupakan contoh dari weapons of the weak. Pada 1914, Inggris
memberikan posisi kepada laki-laki sebagai warrant chief. Posisi ini digunakan secara
sewenang-wenang oleh laki-laki. Selain itu, terdapat pajak yang diberikan kepada pasar
perempuan. Hal ini sangat memberatkan perempuan. Oleh karena itu, perempuan
Nigeria pada masa itu melakukan bentuk protes.

Perempuan melakukan nyanyian meledek terhadap laki-laki yang menjadi chief dan
mendekati chief-chief ini sampai-sampai “menginvasi privasi”. Lama-kelamaan ini
menjadi hal yang tidak nyaman sehingga banyak yang meninggalkan posisi chief nya
dan pajak tersebut dihiraukan begitu saja.

Social media
Pada era modern, peran dari media sosial sebagai kontrol sosial tentu tidak bisa
diragukan lagi. Perkembangan berbagai macam platform, mulai dari Facebook, Twitter,
dsb., memiliki andil dari kontrol sosial.

Penanyangan isu-isu tertentu misalnya, dapat menyebabkan masyarakat bergerak


untuk meluruskan isu-isu tersebut. Penyebaran informasi juga menyebabkan
masyarakat menjadi sadar apa yang harus dilakukan dan tidak dilakukan. Penyebaran
tersebut juga dapat menggerakkan masyarakat untuk ikut meluruskan berbagai macam
isu yang ada—meskipun terkadang dapat diinterpretasi dengan cara yang berbeda.

Anda mungkin juga menyukai