Anda di halaman 1dari 8

NAMA : ADITHYA DWI PRAWIRA NPM : 110110100049 MATA KULIAH : HUKUM ADAT

BAB V TATA SUSUNAN RAKYAT DI INDONESIA


1. PERSEKUTUAN HUKUM Van Vollenhoven dalam orasinya pada tanggal 2 Oktober 1901 menegaskan, bahwa untuk mengetahui hukum, maka adalah terutama perlu diselidiki pada waktu apa pun dan di daerah mana juga pun, sifat dan susunan badan-badan persekutuan hukum, di mana orangorang yang dikuasai oleh hukum itu hidup sehari-hari. Dalam tiap uraian tentang hukum adat dari sesuatu lingkaran hukum (rechtskring), susunan badan-badan persekutuan hukum yang bersangkutan perlu dikemukakan juga. Ter Haar dalam Asas-asas dan susunan hukum adat Indonesia halaman 15-16, menegaskan sebagai berikut: Di seluruh kepulauan Indonesia pada tingkatan rakyat jelata, terdapat pergaulan hidup di dalam golongan-golongan yang bertingkah laku sebagai kesatuan terhadap dunia lahir dan bathin. Jadi persekutuan hukum itu merupaka kesatuan-kesatuan yang mempunyai tata susunan yang teratur dan kekal serta memilik pengurus sendiri dan kekayaan sendiri, baik kekayaan yang materiil maupun immateriil. 2. STRUKTUR PERSEKUTUAN HUKUM Faktor teritorial, yaitu faktor terikat pada suatu daerah tertentu, ternyata merupakan faktor yang mempunyai peranan yang terpenting dalam tiap timbulnya persekutuan hukum. Faktor genealogis, yaitu faktor yang melandaskan kepada pertalian darah pertalian suatu keturunan, dalam kenyataanya tidak menduduki peranan yang penting dalam timbulnya suatu persekutuan hukum. Maka struktur persekutuan-persekutuan hukum di Indonesia ini dapat digolongkan menjadi dua, yaitu :

a. Genealogis (berdasar pertalian suatu keturunan) b. Teritorial (berdasat lingkungan daerah) Maine; dalam bukunya yang berjudul Ancient law menamakan dasar keturunan ini tribal constitution sedangkan dasar daerah disebutnya territorial constitution. Menurut Maine tribal constitution adalah semula merupakan satu-satunya dasar, sedangkan territorial constitution baru kemudian timbulnya. Persekutuan genealogis, apabila seseorang menjadi anggota persekutuan tergantung daripada pertanyaan, apakah orang itu masuk suatu keturunan yang sama. Dalam hal ini ada 3 macam dasar pertalian keturunan sebagai berikut : a. Pertalian darah menurut garis bapak (patrilineal), seperti pada suku Batak, Nias, Sumba b. Pertalian darah menurut garis ibu (matrilineal), seperti di Minangkabau c. Pertalian darah menurut garis ibu dan bapak (parental) , seperti pada suku Jawa, Sunda, Aceh, Dayak; Persekutuan teritorial, apabila keanggotaan seseorang tergantung daripada bertempat tinggal di dalam lingkungan daerah persekutuan itu atau tidak. Ada 3 jenis persekutuan hukum teritorial yaitu : a. Persekutuan desa : Apabila ada segolongan orang terikat pada satu tempat kediaman; juga apabila di dalamnya termasuk dukuh-dukuh yang terpencil yang tidak berdiri sendiri. b. Persekutuan daerah : Apabila di dalam suatu daerah tertentu terletak beberapa desa yang masing-masing mempunyai tata susunan dan pengurus sendiri-sendiri yang sejenis, berdiri sendiri-sendiri tetapi semuanya merupakan bagaian bawahan dari daerah c. Perserikatan (beberapa kampung) Apabila beberapa persekutuan kampung yang terletak berdekatan mengadakan permufakatan untuk memelihara kepentingan-kepentingan bersama Namun pada saat ini, persekutuan hukum yang melulu berdasarkan atas faktor daerah saja (teritorial), juga sudah amat sukar dicari.

Ada pula yang berdasarkan kedua faktor, genealogis dan sekaligus juga teritorial. Jadi untuk menjadi anggota persekutuan yang demikian ini wajib dipenuhi dua syarat sekaligus, yaitu : a. Harus masuk dalam satu kesatuan genealogi dan b. Harus berdiam di dalam daerah persekutuan yang bersangkutan Dalam garis besarnya prinsip penggolongan di sebagian besar daerah-daerah adalah seabgai berikut : a. Termasuk golongan pertama = pemilik sawah/ladang/tegalan dengan pekarangan b. Termasuk golongan kedua = pemilik pekarangan saja c. Termasuk golongan ketiga = orang-orang yang tidak memiliki tanah atau pekarangan Jadi dasar daripada prinsip penggolongan itu adalah milik atas tanah. Di Jawa, tata susunan penduduknya deibeda-bedakan dalam penggolongan sebagai berikut: a. Golongan pertama Orang-orang yang membuka tanah, orang-orang keturunan para pembuka desa/tanah, pada umumnya orang-orang yang memiliki tanah-tanah asal. b. Golongan kedua Orang-orang yang hanya memiliki pekarangan atau rumah dan tenggalan saja; mereka disebut juga lindung indung, kuli gundul c. Golongan ketiga Orang-orang yang tidak memiliki pekarangan atau tanah, melainkan yang bertempat tinggal di pekarangan orang lain; mereka ini disebut penumpang, numpang 3. LINGKARAN HUKUM ADAT ATAU LINGKUNGAN HUKUM ADAT Van Vollenhoven dalam Adatrecht I menyebut suatu daerah di dalam daerah mana garis-garis besar, corak dan sifatnya hukum adat yang berlaku disitu seragam rechtskring, yang kalau disalin dalam bahasa Indonesia menjadi lingkaran hukum atau ada juga yang menyebut lingkungan hukum. 4. TATA SUSUNAN PERSEKUTUAN HUKUM Van Vollenhoven dalam bukunya Adatrecht I menguraikan dengan panjang lebar keadaan tata susunan dan persekutuan-persekutuan hukum dari masing-masing lingkaran hukum, sedangakan Ter Haar dalam bukunya Beginselen en stelsel van het Adatrecht menguraikan keadaan tata-susunan persekutuan-persekutuan hukum menurut berbagai bentuk yang didapati pada berbagai susunan rakyat di seluruh daerah Indonesia.

Dari uraian-uraian kedua sarjana tersebut di atas, dapat diketemukan garis-garis ataupun dasar-dasar umum sebagai berikut: a. Segala badan persekutuan hukumini dipimpin oleh kepala-kepala rakyat b. Sifat dan susunan pimpinan itu erat hubungannya dengan sifat serta susunan tiaptiap jenis bdan persekutuan hukum yang bersangkutan Ditinjau dari tata susunan-susunan beberapa persekutuan hukum di beberapa lingkaran hukum, maka akan didapat gambaran-gambaran sebagai berikut: Di daerah Tapanuli : Persekutuan daerah disebut negeri, di sebelah selatan disebut kuria, sedangkan di Padanglawas disebut luhas. Di daerah Minangkabau : Di sini pun tersusun secara organis, yaitu pimpinan terdiri dari perwakilan fungsional, pemimpin bersifat representatif; persekutuan hukum diseebut nagari Di pulau-pulau Ambon dan Uliasser : Para famili yang di daerah ini disebut ruma atau tau dipimpin oleh seorang kepala famili; Di Pulau Bali : Desa di Bali merupakan persekutuan teritorial warga suatu desa disebut krama desa, kanoman dan sebagainya, sebutan yang sering berubah-ubah. Di Aceh : Persekutuan hukumnya disini merupakan persekutuan teritorial. Di Aceh pun terdapat persekutuan-persekutuan daerah yang diketuai oleh seorang ullebalang atau tjiq. Seorang kepala desa dalam tugasnya sehari-hari dibantu oleh orang teungku atau imeum yang melakukan tugas-tugas keagamaan. Di daerah Bolaang Mongondow : Desa di sini juga merupakan persekutuan teritorial serta dikepalai oleh seorang kepala desa yang disebut kimelaha yang dibantu oleh beberapa pembantu, disebut probis serta disokong oelh anggota-anggota famili yamng merupakan sesepuh famili. Di Sumatera Selatan : Di daerah ini persekutuan daerahnya yang sifatnya teritorial disebut marga. Di daerah Banten :

Desa di sini merupakan persekutuan teritorial serta terdiri atas beberapa ampian atau kampung. Ampian atau kampung dikepalai oleh kokolot atau tua-tua, desa dikepalai oleh kepala desa yang disebut jaro. Di Jawa Tengah dan Timur Desa merupakan persekutuan teritorial; kepala daerah disebut lurah, kuwu, bekel atau petinggi yang dalam melakukan tugasnya sehari-hari didampingi oleh perabot desa. Dan perabot desa ini terdiri atas : Kamituwo : wakil kepala Carik : panitera Kebayan : pesuruh Modin,lebe,alim,ketib : petugas dalam keagamaan Jogo-boyo : petugas dalam kepolisian

5. SIFAT PIMPINAN KEPALA-KEPALA RAKYAT Kepala-kepala Rakyat yang bertugas memelihara jalannya hukum adat sebagaimana mestinya. Pengulu yang memegang adat kata orang Minang, Ompu ni saksi kata suku Batak (=ia menegakkan hukum). Sifat pimpinan kepala rakyat adalah sangat erat hubungannya dengan sifat, corakserta suasana masyarakat di dalam badan-badan persekutuan hukum tersebut. Persekutuan hukum bukan persekutuan kekuasaan (gezagsgemeenschap). Dalam aliran pikiran tradisional Indonesia, persekutuan hukum itu adalah sebagai suatu kolektivitas di mana tiap warga merasa dirinya satu dengan golongan seluruhnya. Kepala persekutuan adalah kepala rakyat dan bapak masyarakat; ia mengetuai persekutuan sebagai ketua suatu keluarga yang besar. Aktivitas kepala rayat pada pokoknya meliputi 3 hal sebagai berikut: a. Tindakan-tindakan mengenai urusan tanah berhubung dengan adanya pertalian yang erat antara tanah dan persekutuan yang menguasai tanah itu b. Penyelenggaran hukum sebagai usaha untuk mencegah adanya pelanggaran hukum; supaya hukum dapat berjalan sebagaimana mestinya c. Menyelenggarakan hukum sebagai pembetulan hukum setelah hukum itu dilanggar Apabila kepala rakyat menolak bantuan yang diminta, maka perbuatan hukum yang dilakukan itu, pada umumnya akan merupakan perbuatan yang melanggar hukum adat. Kewajiban kepala rakyat dalam menyelenggarakan hukum adat itu adalah sepenuhnya memperhatikan adanya perubahan-perubahan pertumbuhan-pertumbuhan hukum adat, memperhatikan lahirnya kebutuhan-kebutuhan baru, adanya perubahan-perubahan keadaan, timbulnya perasaan-perasaan hukum baru berhubung dengan kebutuhan hukum baru. 6. SUASANA TRADISIONAL MASYARAKAT DESA

a. Religious Bersifat kesatuan bathin, orang segolongan merasa satu dengan golongan seluruhnya, bahkan seorang individu dalam persekutuan itu merasa dirinya hanya sebagai suatu bagian saja dari alam lingkungan hidupnya. Jadi sebuah persekutuan desa dengan demikian merupakan suatu kesatuan hidup bersama antara mereka yang masih hidup dengan arwaharwah nenek moyangnya serta dengan segala hidup lingkungannya di alam ini. Menurut kepercayaan tradisional Indonesia, tiap-tiap masyarakat diliputi oleh kekuatan gaib yang harus dipelihara agar supaya masyarakat itu tetap bahagia. Kekuatan yang gaib di Jawa disebut sekti atau kasekten, di tanah Batak disebut tondi dan di kepulauan Melanesia dan Polynesia disebut mana, terletak di dalam barang-barang yang keramat. Upacara pembersihan desa bermaksud memulihkan atau memperbaiki kekuatan gaib persekutuan yang mungkin terganggu oleh perbuatan-perbuatan batal. Dr, Kuntjaraningrat di dalam tesisnya menulis : Alam pikiran religiomagis itu mempunyai unsur-unsur sebagai berikut : a. Kepercayaan kepada makhluk halus , roh-roh dan hantu-hantu yang menempati seluruh alam semesta, dan khusus gejala-gejala Alam, tumbuh-tumbuhan, binatang, tubuh manusia dan benda-benda b. Kepercayaan kepada kekuatan sakti yang meliputi seluruh alam semesta dan khusus terdapat dalam peristiwa-peristiwa luar biasa, tumbuh-tumbuhan yang luar biasa, binatang-binatang yang luar biasa, benda-benda yang luar biasa dan suara yang luar biasa c. Anggapan bahwa kekuatan sakti yang pasif itu dipergunakan sebagai magischekracht dalam berbagai perbuatn ilmu gaib untuk mencapai kemauan manusia atau untuk menolak bahaya gaib d. Anggapan bahwa kelebihan kekuatan sakti dalam alam menyebabkan keadaan krisis dan menyebabkan timbulnya berbagai macam bahaya gaib yang hanya dapat dihindari atau dihindarkan dengan berbagai macam pantangan

b. Kemasyarakatan atau komunal Hak-hak subyektif (=hak atas harta benda) berfungsi sosial. Kepentingan bersama lebih diutamakan daripada hak-hak perseorangan c.Demokratis Suasana demokratis di dalam kesatuan masyarakat hukum ini adalah selaras dengan sifat komunal dan gotong-royong daripada kehidupan masyarakat Indonesia di mana kepentingan bersama wajib lebih diutamakan daripada hak-hak dan kepentingan-kepentingan perseorangan. Suasana demokratis di dalam kehidupan masyarakat adat ditandai serta dijiwai oleh asas-asas hukum adat yang mempunyai nilai universal. Di dalam alam kehidupan

masyarakat tradisional Indonesia sifat diktatoris, sifat yang mendasarkan segala keputusan atas kehendak dan kepentingan sendiri itu. 7. PERUBAHAN-PERUBAHAN DI DALAM SUASANA DESA Pada zaman pra-kolonial di daerah kerajaan-kerajaan Para kerajaan meliputi seluruh lingkungan desa di dalam kerajaan masing-masing Raja bersemayam di istana Ibukota Negara; sekitar raja adalah para famili raja (putro dan sentono dalem) dan para pegwai kerajaan yang tertinggi. Desa dibiarkan untuk mengurus kehidupannya sendiri menurut hukum adat. (Nagoro mowo toto, dessa mowo coro). Desa wajib membayar pajak sebagai persekutuan hukum , juga wajib mengerahkan tenaga pekerja (krigaji,rojokaryo) untuk keperluan kerajaan. Yang mempengaruhi tata kehidupan desa sebagai persekutuan hukum khususnya desa-desa di sekeliling ibukota kerajaan adalah yang berikut : a. Penggantian kepala desa dengan seorang pegawai kerajaan b. Tanah desa diambil dan diurus oleh pegawai kerajaan c. Dalam pemberian pilungguh kepada famili raja atau pegawai kerajaan, tidak diperhatikan sama sekali batas-batas desa-desa yang tersangkut Pengaruh yang merusak tata susunan kehidupan di desa demikian ini terdapat di Jawa (Kerajaan Mataram) , di kerajaan-kerajaan di Bali dan Lombok, di Kasultanan aceh, Palembang,Jambi, Sumatera Timur, Sulawesi Selatan, dan Tidore. Pada zaman pemerintah kolonial Belanda Pengaruh tata administrasi jaman kolonial Belanda dahulu atas tata kehidupan desa sebagai persekutuan hukum adalah: a. Yang merusak ialah misalnya yang di dapat di kota-kota besar seperti Jakarta,Surabaya, Bandung, Medan, Makasar dan lain sebagai persekutuan hukum menjadi lenyap b. Di luar kota-kota besar pengaruh yang menekankan penduduk desa untuk mempererat kehidupannya dalam persekutuan hukum sangat terasa, sebab pemerintah kolonial Belanda menganggap dirinya sebagai pengganti para raja dahulu c. Sejak tahun 1930 pemerintah kolonial melakukan politik hukum hendak memberi kesempatan kepada hukum adat untuk berkembang dengan pesatnya. Kehidupan desa sebagai persekutuan hukum diperkuat dengan diakuinya peradilan desa dalam Stbl. 1935 No.102 (periksa artikel 3.a.R.0.) Pada zaman Republik Indonesia Peradilan desa tetap dihormati; dalam Undang-Undang Darurat No.1 Tahun 1951 hak kekuasaan yang telah diberikan kepada hakim-hakim perdamaian desa sebagaimana tercantum dalam pasal 3.a.R.0. tidak sedikitpun juga dikurangi.

Profesor Soepomo dalam pidato Dies Natalis pada tanggal 17 Maret 1947 di Balai Perguruan Tinggi Gajah Mada di Yogyakarta tentang hal ini menegaskan sebagai berikut : Pembangunan Negara Indonesia berarti, sebagai kita semua telah maklum pembentukan negara modern, susunan pembentuk undang-undang modern, susunan pengadilan dasar demokrasi yang sehat Hanya dalam proses modernisasi itu kita tidak perlu membuang segala aliran-aliran Timur , sebaliknya kita sebagai bangsa Timur yang mempunyai jiwa dan kebudayaan Timur, kita harus dapat membawa aliran-aliran Timur dan aliran-aliran Barat bersama-sama ke arah kesatuan yang harmonis.

Anda mungkin juga menyukai