Anda di halaman 1dari 27

MASYARAKAT HUKUM

Rechtsgemeenschap
DAN
MASYARAKAT HUKUM ADAT
Adatrechtsgemeenschap

Kahar Lahae
 yaitu suatu masyarakat yang menetapkan tata
hukumnya bagi masyarakat itu sendiri dan oleh
karena itu turut serta sendiri dalam berlakunya
tata hukum itu, artinya tunduk sendiri kepada
tata hukum itu. (Kusumadi Pudjosewojo (1975:
50)
Menurut uraian tersebut, ciri-ciri masyarakat hukum itu ialah
(a) adanya kelompok manusia,
(b) kelompok itu merupakan pergaulan hidup,
(c) tata hukum kelompok itu dibuat dan ditetapkan
oleh kelompok itu sendiri, dan
(d) kelompok itu tunduk kepada tata hukum yang
ditetapkannya.
 Ciri-ciri masyarakat hukum tersebut selain
terdapat pada desa dan negara, juga terdapat
pada propinsi dan kabupaten/kota (sebagai
daerah otonom), atau swapraja, zelfbestuur
dan landschap (Iman Sudiyat dkk., 1975:51).
 Iman Sudiyat (1978:7),
 masyarakat hukum sebagai terjemahan dari
gemeenschap adalah suatu kelompok
manusia yang anggota-anggotanya merasa
terikat satu sama lain karena adanya
kesadaran tanggungjawab bersama.
 GEMEENSCHAP
 persekutuan atau persekutuan hukum
sebagai terjemahan dari rechtsgemeenschap,
yang berarti suatu kelompok manusia yang
kecuali anggotanya merasa terikat satu sama
lain karena ada kesadaran tanggungjawab
bersama hidup dalam tata hukum yang sama.
Menurut van Vollenhoven sebagaimana dikutip
oleh Soepomo (1966: 41), mengemukakan
bahwa:
 “…untuk mengetahui hukum, maka terutama
yang perlu diselidiki buat waktu apabila di
daerah mana juga, sifat dan susunan dari badan
persekutuan hukum, dimana orang-rang yang
dikuasai oleh hukum itu, hidup sehari-hari”.
Selanjutnya dikemukakan pula bahwa:
 “Penguraian tentang badan-badan persekutuan
itu harus tidak didasarkan atas dogmatik,
melainkan harus berdasarkan kehidupan yang
nyata dari masyarakat yang bersangkutan”.
 Menurut Ter Haar dalam Soepomo (1966: 41)
bahwa diseluruh kepulauan Indonesia pada tingkatan
rakyat jelata, terdapat pergaulan hidup di dalam
golongan-golongan yang bertingkah laku sebagai
kesatuan terhadap dunia luar, lahir bathin.
◦ Golongan-golongan itu mempunyai tata susunan yang tetap
dan kekal, dan orang-orang segolongan itu masing-masing
mengalami kehidupannya dalam golongan sebagai hal yang
sewajarnya, hal yang mengatur kodrat alam.
◦ Tidak ada seorangpun dari mereka mempunyai pikiran akan
kemungkinan pembubaran golongan itu.
◦ Golongan manusia tersebut mempunyai harta benda milik
keduniaan dan milik gaib. Golongan yang demikianlah yang
bersifat perrsekutuan hukum.
1) Ada Kesatuan manusia yang teratur;
2) Hidup berdasarkan kodrat alam;
3) Menetap disuatu daerah tertentu;
4) Mempunyai pengurus/penguasa-penguasa;
5) Mempunyai kekayaan yang berwujud dan tidak berwujud; dan
6) Mempunyai tata susunan yang tetap dan kekal.

Bilamana dicermati pendapat Ter Haar tersebut di atas, maka dapat


dikatakan bahwa masyarakat hukum adat itu merupakan suatu
masyarakat yang swasembada.
Misalnya famili di Minangkabau dan Desa di Jawa dan Bali.

Famili di Minangkabau diketuai oleh Penghulu Andiko dan terdiri atas


beberapa bagian yang disebut rumah atau jurai yang dikepalai oleh
seorang Tungganai atau Mamak Kepala Waris (Taneko, 1987: 38).
 Desa di Jawa, Marga di Sumatera Selatan,
Nagari di Minangkabau, Kuria di Tapanuli,
Wanua di Sulawesi Selatan
 Adalah kesatuan-kesatuan kemasyarakatan
yang mempunyai kelengkapan-kelengkapan
untuk sanggup berdiri sendiri, yaitu
mempunyai kesatuan hukum, kesatuan
penguasa dan kesatuan lingkungan hidup
berdasarkan hak bersama atas tanah dan air
bagi semua anggotanya.
Persekutuan hukum Indonesia dapat dibagi
atas dua golongan besar menurut dasar
susunannya, yaitu :
(1) berdasar atas pertalian atau keturunan
(genealogis); dan
(2) berdasar atas lingkungan teritorial.

Namun terdapat pula persekutuan hukum


adat yang meliputi keduanya (teritorial-
genealogis).
Masyarakat hukum adat genealogis, yaitu
berdasar atas pertalian suatu keturunan.
Ada DUA macam pertalian keturunan, yaitu
1. UNILATERAL
a. Patrilineal (garis bapak) misalnya Batak, Gayo,
Nias, Ambon, Bali, sebagian Lampung, dan
lain-lain;
b. Matrilineal (garis ibu), mis. Minangkabau;
Krinci, dan Semendo.
2. BILATERAL
Parental (garis bapak-ibu), misalnya di Jawa,
Sunda, Aceh, Sulawesi dan lain-lain.
 Masyarakat hukum adat teritorial berdasar
atas lingkungan teritorialnya.
 Seseorang itu bertempat tinggal dalam satu
lingkungan persekutuan tertentu, misalnya
orang-orang yang tinggal bersama-sama
dalam Desa di Jawa dan Bali.
a. persekutuan desa/dusun (de Dorpsgemeenschap):
Desa di Jawa dan Bali
b. persekutuan daerah /masyarakat wilayah (de
Streekgemeenschap) :Kuria di Angkola dan
Mandailing (yang mempunyai hutan di dalamnya);
Marga di Sumatera Selatan (dengan dusun-dusun
di dalam daerahnya)
c. perserikatan beberapa desa/dusun (de
Dorpenbond); Perserikatan Huta-Huta di Batak,
Subak di Bali
yaitu suatu masyarakat hukum adat yang
mendiami suatu wilayah atau teritorial yang
berasal dari clan yang sama.
PERTAMA
Suatu daerah atau kampung yang dipakai
sebagai tempat kediaman hanya oleh satu
bagian golongan. Tidak ada golongan lain yang
tinggal di daerah itu. Jenis ini terdapat di
pedalaman Pulau-pulau Enggano, Buru, Seram
dan Flores.
Bagian-bagian clan (marga) masing-masing
mempunyai daerah sendiri, tetapi di dalam
daerah tertentu dari suatu marga, misalnya di
dalam huta-huta yang didirikan oleh marga
tersebut.
Ada juga terdapat satu atau beberapa marga
lain yang masuk menjadi anggota badan
persekutuan hukum huta di daerah tersebut.
Jenis ini terdapat di Tapanuli.
 Terdapat suatu clan yang mula-mula mendiami
suatu daerah yang tertentu dan berkuasa di
daerah itu, tetapi kekuasaan itu kemudian
berpindah kepada clan lain yang masuk ke
daerah tersebut dan merebut kekuasan
pemerintah dari clan asli. Kedua clan itu
kemudian berdamai dan bersama-sama
merupakan kesatuan badan persekutuan daerah.
Kekuasan pemerintah dipegang oleh clan yang
datang kemudian, sedangkan clan asli tetap
menguasai tanah-tanah di daerah itu sebagai
wali.
 Jenis ini terdapat di Sumba Tengah dan Sumba
Timur.
 Pada suatu teritorial tidak ada golongan yang
berkuasa memerintah dan menumpang ataupun
golongan yang menguasai tanah, tetapi segala
golongan suku yang bertempat tinggal di dalam
daerah nagari berkedudukan sama (setingkat)
dan bersama-sama merupakan suatu badan
persekutuan teritorial (nagari), sedangkan daerah
nagari itu terbagi dalam daerah-daerah dolongan
(daerah suku) dimana setiap golongan (suku)
mempunyai daerah sendiri-sendiri. Jenis ini
terdapat di beberapa nagari di Minangkabau dan
beberapa marga (drop) di Mengkulu.
KELIMA
 Jenis yang terakhir terdapat di nagari-nagari
lain di Minangkabau dan dusun di daerah
Rejang (Bengkulu), dimana dalam suatu
nagari atau dusun berdiam beberapa clan,
yang satu sama lain tidak bertalian famili.
 Seluruh daerah nagari atau dusun menjadi
daerah bersama (yang tidak dibagi-bagi) dari
segala bagian clan pada badan persekutuan
nagari (dusun) itu.
 Masyarakat hukum adat dikepalai oleh
seorang Kepala Adat yang memiliki
kewenangan untuk mengatur penyediaan,
penggunaan dan pemeliharaan hak ulayat
sebagai lebensraumnya.
 Kepala Adat (Soepomo/Kepala-kepala Rakyat)
mempunyai fungsi untuk memelihara
jalannya hukum adat sebagaimana mestinya.
 Fungsi tersebut diungkapkan sebagai “penghulu
yang memegang adat” (Minangkabau),
 “ompu ni saksi, harambir namuba sabiet, babiat
namauba bolang” (Batak) yang berarti “ia
menegakkan hukum, ia harus memperhatikan
segala perubahan pada sabut kelapa dan segala
perbedaan pada belang kulit harimau” (ia harus
mengikuti segala perkembangan hukum adat).
 Soepomo (1966: 53-55)
Soepomo membagi aktivitas kepala rakyat, yaitu:
1) Tindakan-tindakan mengenai urusan tanah
berhubungan dengan adanya pertalian yang erat
antara tanah dan persekutuan (golongan
manusia) yang menguasai tanah itu.
2) Penyelenggaraan hukum sebagai usaha untuk
mencegah adanya pelanggaran hukum
(preventieve rechtzorg), supaya hukum dapat
berjalan semestinya.
3) Menyelenggarakan hukum sebagai pembetulan
hukum, setelah hukum dilanggar (repressieve
rechtzorg).
 Van Vollenhoven membagi Indonesia
(Hindia Belanda) ke dalam 19 wilayah
hukum
 Dengan memperlihatkan potensi dan skala perubahannya
terdapat tiga kelompok masyarakat hukum adat
(Sumardjono dan Tim, 1995).

 Pertama, masyarakat yang masih mampu


mempertahankan eksistensi nilai-nilai ketradisionalannya
dan berusaha menghindari adanya adopsi nilai dari luar.
◦ Kelompok masyarakat hukum adat yang demikian sudah semakin
terbatas, bahkan dengan semakin menyebarnya kegiatan
pembangunan ke seluruh wilayah Indonesia, kelompok
masyarakat yang cenderung terisolir ini semakin tersentuh dengan
nilai dari luar.
◦ Dalam masyarakat ini, norma adat pertanahan yang dipunyai
masih dipertahankan secara ketat seperti pembukaan dan
pemanfaatan tanah hanya diberikan kepada warga masyarakat
adat yang bersangkutan, peralihan tanah hanya diperbolehkan
kepada warga persekutuan, dan penjualan tanah masih dipandang
sebagai suatu perbuatan hukum yang ditabukan.
 masyarakat yang masih mempertahankan nilai-
nilai dan norma-norma tradisionalnya, tetapi
sudah mulai membuka diri terhadap pengaruh
nilai-nilai dari luar.
◦ Dampaknya dapat terlihat dari semakin terbukanya bagi
orang luar untuk menguasai tanah meskipun dengan
status hak yang lemah seperti hanya menggunakan atau
memakai untuk waktu tertentu, longgarnya pengertian
“orang dalam” yaitu mencakup juga mereka yang
diangkat saudara oleh warga persekutuan yang
bersangkutan dan semakin longgarnya bagi orang luar
untuk membeli tanah terutama mereka yang sudah
diterima sebagai warga.
 Pengaruh dari luar ini dapat dilihat pengurangan
terhadap kekuasaan Kepala Persekutuan.
 masyarakat yang sudah terbuka dan norma
tradisionalnya sudah semakin ditinggalkan dan
mulai terintegrasi pada norma yang datangnya
dari luar.

 cirinya sebagai masyarakat hukum adat yang


mempunyai otonomi dalam pengaturan
kehidupan warganya sudah tidak tampak lagi.
Pemilikan tanah secara individual sudah semakin
menguat baik yang dimiliki oleh warga asli
masyarakat tersebut maupun orang dari luar.
Masyarakat Jawa merupakan contoh dari
kelompok masyarakat yang terakhir yang tidak
mengenal lagi hak ulayat karena sudah
terintegrasi ke dalam ketentuan UUPA (Soehardi,
1979).
TERIMA KASIH

Anda mungkin juga menyukai