Anda di halaman 1dari 18

MODUL 1 KEGIATAN BELAJAR 1

ISTILAH, PENGERTIAN, MANFAAT, DAN DASAR BERLAKUNYA HUKUM ADAT

Orang yang pertama kali meggunakan istilah adatrecht adalah Snouk Hurgronje. Kata adat berasal dari
bahasa Arab yang berarti kebiasaan. Kemudian kata Adatrecht digunakan oleh Van Vollenhoven untuk
membahas dan mengkaji secara ilmiah hukum adat. Penyebutan adat di berbagai daerah, di Sulawesi
Tengah disebut “hadat”, di Gayo disebut “odot”, di Jawa disebut “ngadat”, dan lain-lain.

Ter Haar (Teori Beslissingenleer/Teori Keputusan): hukum adat yang berlaku itu hanyalah yang dikenal
dari keputusan-keputusan fungsionaris hukum dalam masyarakat itu, kepala-kepala, hakim-hakim, rapat-
rapat desa, dan pejabat-pejabat desa.

Teori yang menunjukkan adanya hubungan antara pengaruh agama (hukum islam) dengan hukum adat
sebagai berikut:
1. Teori Recetio in Complexu (C.F Winterm & Salomon Keyzer, diikuti oleh Van den Berg)
Adat istiadat dan hukum adat suatu golongan masyarakat adalah resepsi seluruhnya dari agama yang
dianutnya oleh golongan masyarakat itu.
2. Teori Receptio (Snouk Hurgronje dan Van Vollenhoven)
Hukum Agama (Islam) meresepsi ke dalam dan berlaku sepanjang dikehendaki oleh hukum adat.
Merupakan sanggahan dari teori receptio in complexu.
3. Teori Receptio a Contrario (Hazairin)
Hukum adat adalah sesuatu yang berbeda dan tidak boleh dicampuradukan dengan hukum agama
(Islam) sehingga keduanya mesti tetap terpisah.

Dasar berlakunya hukum adat adalah UUD 1945 pada ketentuan Aturan Peralihan Pasal II menyatakan
bahwa “Segala badan negara dan peraturan yang ada masih berlangsung berlaku sebelum diadakan yang
baru menurut Undang-Undang Dasar ini”.

KEGIATAN BELAJAR 2
CIRI-CIRI HUKUM ADAT

Corak dan sifat Hukum Adat Menurut F.D Hollemann:


1. Magis religious
Pola pikir religious serta berkeyakinan adanya sesuatu yang bersifat sacral. Sebelum mengenal agama
diwiujudkan dengan pemikiran yang tidak logis, animisme, dan kepercayaan pada hal-hal yang bersifat
ghaib.
2. Komunal (Kebersamaan)
Anggota masyarakat merupakan bagian integral dari masyarakat secara keseluruhan. Djojodinegoro
memangan masyarakat sebagai paguyuban artinya sebagai satu kesatuan hidup bersama.
3. Konkret (visual)
Jelas, nyata, berwujud, artinya dapat dilihat, tampak, terbuka, dan tidak tersembunyi.
4. Kontan (Tunai)
Serba konkret terutama dalam hal pemenuhan prestasi
Sifat Khas Lain Hukum Adat
1. Tradisional
Terun-temurun masih tetap berlaku dan dipertahankan
2. Dinamis
Dapat berubah menurut keadaan waktu dan tempat
3. Terbuka
Dapat menerima sistem hukum lain
4. Sederhana
Tidak tetulis dan mudah dimengerti
5. Musyawarah dan Mufakat
Mengutamakan musyawarah dan mufakat

Sistem hukum adat mencakup hal-hal sebagai berikut:


1. Tidak membedakan hukum public dan hukum privat
2. Tidak membedakan hak kebendaan dan hak perseorangan
3. Tidak membedakan pelanggaran perdata dan pidana

Perbedaan antara hukum adat dengan hukum barat diakibatkan:


1. Corak serta sifat yang berlainan antara hukum adat dengan hukum barat
2. Pandangan hidup yang mendukung kedua macam hukum itu pun berbeda.

Van Vollenhoven membagi atau mengelompokkan wilayah Indonesia dalam 19 Lingkungan Hukum Adat
(Adat Rechtkringen). Beberapa contoh:
1. Di daerah Tapanuli
• Persekutuan daerah disebut ‘negeri’, di daerah selatan disebut ‘kuria’, di padang lawas disebut
‘luhas’.
• Persekutuan hukum disebut ‘huta’
• Kepada negeri/kuria/luhas dan kepala huta disebut ‘Raja Panusunan’
2. Di Daerah Minangkabau
Persekutuan hukum disebut ‘Nagari’ terdiri atas famili-famili yang dikepalai oleh ‘Penghulu Andiko’
3. Di Pulau Ambon
• Famili di daerah Ambon disebut ‘tau’ di kepalai oleh kepala famili
• Famili terikat dengan famili besar (clan), kepala clan disbut ‘lalu’
4. Di Daerah Bolaang Mongondow
• Pesekutuan disebut ‘Desa’, kepala desa disebut ‘Kimelaha’
• Pembantu disebut ‘Probis’ dan anggota famili disebut ‘gihangia’
5. Di Daerah Banten
Kampung (ampian) dikepalai oleh ‘Kokolot’ atau Tua-Tua, yang membentuk desa dan kepala desa
disebut ‘Jaro’

KEGIATAN BELAJAR 3
MASYARAKAT HUKUM ADAT DI Indonesia
Pengertian Masyarakat Hukum Adat
Soekanto:
Sistem sosial yang menjadi wadah dari pola-pola interaksi sosial
Hazairin:
Masyarakat hukum adat seperti desa di jawa, marga di sumatera selatan, nagari di minangkabau, kuria di
Tapanuli, wanua di Sulawesi Selatan adalah kesatuan-kesatuan yang mempunyai kelengkapan untuk
sangguh berdiri sendiri....
Ter Haar:
Kesatuan manusia sebagai satu kesatuan, menetap didaerah tertentu, mempunyai penguasa-penguasa,
mempunyai kekayaan yang berwujud atau tidak berwujud.

Masyarakat adat memiliki kriteria:


1. Ada sekelompok orang yang terikat dengan tatanan hukum adatnya;
2. Ada warga masyarakat merupakan warga bersama Masyarakat Hukum Adat;
3. Masyarakat hukum yang didasarkan atas tempat tinggal atau dasar keturunan.

Unsur utama keberadaan Masyarakat Hukum Adat:


1. Adanya sekelompok orang yang hidup bersama teratur sebagai satu kesatuan bersama;
2. Sekelompok orang tersebut terikat dan tunduk pada tatanan hukum adatnya;
3. Adanya pimpinan/penguasa dari kelompok tersebut;
4. Adanya wilayah dengan batas-batas tertorial; dan
5. Keterikatan kelompok tersebut didasarkan pada kesamaan tempat tinggal atau keturunan.

Dasar dan Bentuk Masyarakat Hukum Adat


1. Masyarakat Hukum Genealogis
Anggotanya terikat dengan garis keturunan yang sama, pertalian genealogis ini dibedakan menjadi 3:
a. Patrilineal: menurut garis keturunan laki-laki, terdapat pada masyarakat Batak, Lampung, Bali,
NTT, Maluku, dan Irian.
b. Matrilineal: menurut garis keturunan perempuan, terdapat dalam masyarakat Minangkabau,
Kerinci, Semendo di Sumsel, dan beberapa suku di Timor.
c. Bilateral/parental: menurut garis keturunan orang tua, terdapat pada masyarakat suku Bugis,
Dayak, dan Jawa.
2. Masyarakat Hukum Teritorial
Anggotanya terikat pada daerah tempat tinggal yang sama
a. Persekutuan desa: desa di Jawa
b. Persekutuan daerah: nagari di Minangkabau, marga di Sumatera Selatan dan Lampung, Kuria di
Tapanuli.
c. Perserikatan desa: subak di Bali
3. Masyarakat Hukum Genealogis-Teritorial
Anggotanya terikat pada wilayah dan kekerabatan. Misalnya masyarakat Kuria dengan huta-huta di
Tapanuli Selatan, Umi di Mentawai, euri di Nias, Nagari di Minangkabau, Marga di dusun-dusun di
Sumatera Selatan, Marga dengan tiyuh-tiyuh di Lampung.
PENGAKUAN TERHADAP MASYARAKAT HUKUM ADAT
Pasal 18 ayat 2 UUD 1945
“Negara mengakui, menghormati, dan mengakui kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-
hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip
Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-Undang”.

Penjelasan Pasal 18 UUD 1945


“Dalam teritorial negara Indonesia terdapat leih kurang 250 Zelfbesturende Landschappen dan
volksgemeenschappen, seperti desa di Jawa dan Bali, negeri di Minangkabau, dusun dan marga di
Palembang, dan sebagainya. Daerah-daerah itu mempunyai susunan yang asli, dan oleh karenanya dapat
dianggap sebagai daerah yang besifat istimewa”.

Pasal 28 I ayat 3 UUD 1945


Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman dan
peradaban.

MODUL 2
KEGIATAN BELAJAR 1
PERKEMBANGAN HUKUM ADAT SEBELUM KEMERDEKAAN RI

Sebelum adanya pengaruh agama Hindu telah ada hukum adat yang oleh para ahli hukum adat disebut
adat Melayu Polinesia

Teori Hubungan Antara Hukum Agama Dengan Hukum Adat


1. Teori Receptio in Complexu (C.F Winter dan Salomon)
Hukum yang berlaku bagi golongan pribumi bukanlah hukum asli, tetapi hukum agamanya karena
dengan masuknya seseorang ke dalam agamanya, ia akan tunduk pada hukum agama tersebut.
2. Teori Receptio (Snouck Hurgronje) di sepakati oleh Van Vollenhoven
Hukum Islam merespsi ke dalam dan berlaku sepanjang dikehendaki hukum adat.
3. Teori Receptio a Contrario (Hazairin)
Hukum adat berbeda dengan hukum agama tidak dapat dicampuradukkkan, keduanya tetap terpisah.
Hukum adat baru berlaku jika tidak bertentangan dengan hukum agama yang dianut oleh masyarakat
tersebut.
4. Teori Sinkritisme
Eratnya hubungan antara hukum adat dengan hukum agama menghasilan suatu sikap yang saling
memberi dan menerima dalam bentuk tatanan baru, yaitu Sinkritisme.

KEGIATAN BELAJAR 2
PROSES PERKEMBANGAN HUKUM ADAT

Pada kongres Pemuda Indonesia tahun 1928, hukum adat diterima sebagai hukum, yang merupakan nilai
hukum bersama dari seluruh rakyat dan yang megikat seluruh bangsa Indonesia menjadi satu bangsa.
Dicantumkannya Pancasila secara konstitusionl dalam pembukaan UUD 1945 merupakan pengakuan
terhadap Pancasila sebagai dasar negara RI yang merupakan cita-cita dan pedoman bagi tercapainya cita-
cita masyarakat. Pancasila selain sebagai cita hukum juga sebagai norma hukum yang tertingi, sebagai
norma dasar, yaitu suatu aturan, atau standar yang harus ditaati yang bersifat mengatur dan memerintah.

Pada Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 yang menyatakan bahwa “Segala badan negara dan peraturan
yang ada masih langsung berlaku selama belum diadakan yang baru menurut undang-undang dasar ini”.
Artinya bahwa lembaga hukum yang telah ada dan peraturan-peraturan yang telah ada masih tetap
diperlakukan seperti Pasal 131 dan 163 I.S yang menetapkan bahwa bagi warga negara Indonesia asli tetap
berlaku hukum adat, sedangkan untuk keturunan Eropa dan Tionghoa berlaku hukum perdata Eropa.

Faktor-faktor yang membentuk perkumpulan atau masyarakat hukum adat Indonesia:


1. Faktor Teritorial
Adanya rasa keterikatan pada suatu daerah tertentu sehingga membentuk suatu masyarakat hukum:
a. Desa: desa di Jawa dan Bali, Kampung di Sulawesi, Gampong di Aceh.
b. Gabungan beberapa desa: Marga di Sumatera, Kuria di Mandailing.
c. Gabungan beberapa desa membentuk persekutuan untuk mengatur kepentingan bersama.
2. Faktor Campuran
Perpaduan antara faktor teritorial dan genealogis.
Uma di Mentawai, Nagari di Minangkabau, Marga dengan Dusun-Dusun di Sumatera Selatan.
3. Persekutuan Hukum Genealogist
Berlandaskan pertalian darah atau keturunan, dibagi 3 macam:
a. Pertalian darah menurut garis bapak (patrilineal): Batak, Nias, Sumba.
b. Pertalian darah menurut garis ibu (Matrilineal): Minangkabau.
c. Pertalian darah menurut garis bapak dan ibu (Unilateral): Jawa, Aceh, Dayak.

Di Sulawesi Selatan terdapat persatuan kampung yang disebut ‘wanua’, masyarakat adatnya cenderung
bersifat Genealogist-Bilateral, terdiri atas 4 suku:
a. Suku Toraja: berada di Kabupaten Tana Toraja, Mamasa, dan Sulawesi Tengah.
b. Suku Mandar: berada di Kabupaten Mamuju dan Majene.
c. Suku Makassar: berada di Kabupaten Gowa, Takalar, Jeneponto, Bantaeng, Maros, dan Pangkajene.
d. Suku Bugis: berada di Kabupaten Bulukumba, Sinjai, Bone, Soppeng, Wajo, Sidrap, Pare-Pare, Polmas,
Enrekang, Luwu.

Sedangkan di wilayah Sulawesi Utara, sebagian Sulawesi Tengah, Ambon Maluku dan Irian bersifat
Genealogist-Patrilineal, oleh karena itu didaerah ini masyarakatnya menggunakan nama clan atau fam
(family) di belakang nama mereka.

Bentuk Perkawinan Pada Masyarakat Yang Ada di Indonesia:


1. Masyarakat dengan sistem kekeluargaan patrilineal
Dalam bentuk perkawinan ini terjadi penarikan perempuan ke dalam klan pihak laki-laki disertai
dengan pemberian ‘jujur’, yaitu barang-barang suci yang dianggap memiliki nilai magis kepada
keluarga pihak perempuan.
2. Masyarakat dengan sistem kekeluargaan matrilineal
Ada 3 bentuk perkawinan:
a. Kawin bertandang, suami-istri tidak hidup bersama, masing-masing berada dalam lingkungan
klannya, suami berkedudukan seperti tamu yang bertandang ke keluarga istri, dan tidak berhak
atas anak, harta benda istri dan segala sesuatu yang berkaitan dengan rumah tangga.
b. Perkawinan menetap, suami istri dalam satu rumah, dan mengurus anak-anak dan harta kekayaan
secara mandiri.
c. Perkawinan bebas, yaitu pasangan bebas memilih pasangan masing-masing biasanya dilakukan
oleh mereka yang sudah merantau.
3. Bentuk perkawinan parental
Setiap orang dapat memilih pasangannya secara bebas sepanjang tidak bertentangan dengan hukum
adat atau hukum agama.

KEGIATAN BELAJAR 3
HUKUM ADAT DALAM PEMBANGUNAN NASIONAL

Dari sudut pandang modernisasi, suku bangsa adalah komunitas lokal dengan identitas kultural
tradisional, bahkan sering disebut masyarakat adat, masyarakat tradisional, masyarakat asli, atau
penduduk asli.

Berbagai model hubungan antara negara dan masyarakat dalam negara modern:
1. Model Komunitarian
Negara dipahami sebagai komunitas yang berorientasi pada nilai-nilai tertentu dan memiliki identitas
yang kolektif dan homogen. Negara ibarat sebuah kelurga besar, masyarakat bersifat plural oleh
karena itu negara cenderung mengambil nilai-nilai suku bangsa (masyarakat hukum adat) yang
dominan untuk mendefinisikan kepentingan rakyat secara umum.
2. Model Liberal
Bahwa negara adalah suatu totalitas politis yang terintegrasi lewat hukum positif modern yang netral
dari orientasi nilai-nilai suku bangsa. Ada pemisahan abstrak antara negara dan antara ruang publik
dan ruang privat.
3. Model Multikultural.
Model ini mengakui adanya keberagaman budaya atau asal usul (pluralisme kultural) dengan tetap
melindungi hak-hak dari kelompok kultural untuk mempertahankan tradisinya. Artinya negara tetap
bersikap liberal, di mana suku bangsa memiliki posisi struktural, yakni sejajar dengan kelompok-
kelompok lain, seperti kelompok gender, religius, dan sebagainya.
4. Model Deliberatif
Menurut model ini, demokrasi dalam masyarakat yang majemuk bertolak dari asumsi bahwa warga
negara dan kolompok-kelompok sosial termasuk masyarakat hukum adat, berdiri setara dalam
proses komunikasi politis unntuk mengabil keputusan publik. Artinya nilai-nilai masyarakat hukum
adat yang dominan pun dalam partisipasi demokratis harus dianggap setara dengan kelompok kultural
atau kelompok agama lain.

Posisi struktural masyarakat yang paling sesuai dengan asumsi demokrasi adalah model deliberatif di
mana unsur-unsur etnis berdiri sejajar dengan unsur-unsur lain, seperti unsur-unsur sosial dan politis.
MODUL 3
KEGIATAN BELAJAR 1
SUBJEK HUKUM MENURUT HUKUM ADAT

Di Jawa Tengah, perkumpulan-perkumpulan yang mempunyai organisasi yang dinyatakan dengan tegas
dan rapi dinyatakan sebagai badan hukum, begitu juga di Bali dijumpai badan hukum seperti subak dan
banjar.

Pengertian Wakaf menurut Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 adalah perbuatan hukum seseorang
atau sekelompok orang atau badan hukum yang memisahkan sebagian dari harta dan melembagakannya
untuk selama-lamanya guna kepentingan ibadah atau keperluan lainnya yang sesuai dengan ajaran Islam.

KEGIATAN BELAJAR 2
CAKAP DAN DEWASA DALAM HUKUM ADAT

Menurut Ter Haar pengertian dewasa menurut hukum adat adalah pada saat pria atau wanita menikah
dan memisahkan diri dari rumah tangga orang tuanya atau mertuanya, dan mempelai tersebut
mempunyai rumah tangga yang berdiri sendiri.

Menurut Soepomo ciri-ciri seseorang yang dianggap dewasa menurut hukum adat adalah:
1. Kuat gawe (mampu bekerja sendiri);
2. Cakap mengurus harta benda dan lain-lain keperluan sendiri;
3. Cakap melakukan segala pergaulan dalam kehidupan kemasyarakatan serta
mempertanggungjawabkan sendiri segala-galanya itu.

Djojodigoeno berpendapat bahwa hukum adat tidak mengenal perbedaan yang tajam antara orang yang
sama sekali tidak cakap melakukan perbuatan dan cakap melakukan perbuatan hukum. Peralihan dari
tidak cakap menjadi cakap dalam kenyataannya berlangsung sedikit demi sedikit menurut keadaan.

Harsanto Nursadi menerangkan kedewasaan berdasarkan hukum adat didasarkan pada:


1. Penilaian masyarakat menyatakan demikian;
2. Kemampuan berburu dan mencari makan;
3. Kemampuan memimpin teman-temannya;
4. Melihat kondisi fisik seseorang.

Dalam perspektif adat Jawa istilah kedewasaan relevan dengan kemandirian yang diartikan dengan
“mencar dan kuat gawe”

KEGIATAN BELAJAR 3
PENGERTIAN CAKAP DAN DEWASA MENURUT UNDANG-UNDANG

Beberapa ketentuan Undang-Undang tentang batas usia kedewasaan:


1. Pasal 330 ayat (1) KUHPerdata: belum dewasa adalah belum genap dua puluh satu tahun dan tidak
lebih dahulu kawin.
2. Pasal 45 KUHP dianggap belum dewasa jika belum berumur 16 tahun.
3. Pasal 171 KUHAP: belum cukup 15 tahun.
4. Pasal 13 UU Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum: 17 Tahun
5. Pasal 50 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan: belum mencapai umur 18 tahun dan
belum pernah melangsungkan perkawinan.
Pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan: perkawinan hanya diizinkan jika pria sudah berusian 19 tahun dan
wanita 16 tahun
6. Pasal 1 angka 1 UU Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak: belum dewasa adalah belum
mencapai umur 18 tahun.
7. Pasal 1 angka 1 UU Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak: anak adalah seorang yang
belum berusia 18 tahun.
8. Pasal 39 ayat (1) UU Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris: umur 18 tahun.

MODUL 4
KEGIATAN BELAJAR 1
PENGERTIAN HUKUM KELUARGA MENURUT HUKUM ADAT

Hukum adat keluarga atau hukum adat kekerabatan adalah hukum adat yang mengatur tentang
bagaimana kedudukan pribadi seseorang sebagai anggota kerabat (keluarga), kedudukan anak terhadap
orang tua dan sebaliknya, kedudukan anak terhadap kerabat dan sebaliknya, dan masalah perwalian anak.
Hukum adat keluarga atau hukum adat kekerabatan mengatur tentang pertalian anak, berdasarkan
pertalian darah, pertalian karena perkawinan dan pertalian adat.

Menurut Soekanto secara luas ruang lingkup hukum keluarga meliputi:


1. Perkawinan;
2. Keturunan;
3. Kekuasaan orang tua;
4. Perwalian;
5. Pendewasaan;
6. Curatele, dan
7. Orang hilang.

Hubungan Anak dan Orang Tuanya


a. Anak Sah
Anak sah adalah anak yang dilahirkan dari perkawinan yang sah, Ketika anak tersebut dilahirkan,
kedua orang tuanya (bapak dan ibu yang melahirkannya terikat dalam perkawinan yang sah), anak
yang lahir di dalam hubungan perkawinan disebut anak kandung.

Dalam hukum Islam anak dikatakan anak sah apabila anak tersebut dilahirkan paling cepat 6 bulan
setelah bapak dan ibunya mengadakan akad nikah, apabila anak tersebut dilahirkan sebelum 6 bulan
maka anak tersebut anak tidak sah. Namun dalam hukum adat tidak ada jangka waktu seperti ini.

b. Anak Tidak Sah


Di Mentawai, Timor, Minahasa dan Ambon, Wanita yang melahirkan anak diluar nikah tetap dianggap
sebagai ibu anak yang bersangkutan, biasa seperti kejadian normal seorang Wanita melahirkan anak
dalam perkawinan yang sah. Di Minahasa hubungan antara anak dengan pria yang tidak mengawini
ibu yang melahirkan adalah biasa seperti hubungan anak dan bapak. Bila ayah ingin menghilangkan
kesangsian maka si ayah akan memberikan lilikur (hadiah) kepada ibu si anak.

Akan tetapi di beberapa daerah lainnya ada pendapat yang wajib mencela keras si ibu yang tidak
kawin itu berserta anaknya. Untuk mencegah nasib sial si Ibu dan anaknya ada Tindakan adat yang
mewajibkan pria yang menyebabkan wanita tersebut melahirkan anak untuk menikahi wanita
tersebut. Di sumatera selatan tindakan tersebut dilakukan oleh rapat marga. Demikian pula di Bali
bahwa di daerah ini apabila pria yang dimaksud tidak mau mengawini maka akan dijatuhi hukuman.

Anak yang lahir di luar perkawinan disebut:


• Jawa: anak haram
• Lampung: anak kappang
• Di beberapa daerah disebut anak tidak berbapak

Ada juga tradisi adat di suatu daerah yang mengawinkan wanita hamil tersebut dengan laki-laki yang
bukan bapak biologis anak tersebut, tujuannya agar anak dilahirkan dari perkawinan yang sah
sehingga anak tersebut menjadi anak sah:
• Di Jawa disebut Nikah Tambelan
• Di Suku Bugis disebut Pattongkog Sirik

c. Anak Tiri
Anak tiri adalah anak kandung bawaan istri atau bawaan dari suami duda yang mengikat tali
perkawinan. Pada masyarakat Jawa dengan sistem kekeluargaan yang bersifat parental, anak tiri
adalah ahli waris dari orang tua yang menyebabkan kelahirannya, kecuali anak-anak tiri tersebut
diangkat oleh bapak tiri sebagai penerus keturunannya.

d. Memelihara anak (anak piaraan)

Hubungan Anak dengan Keluarga (Kerabat)


a. Hubungan anak dengan keluarga pada masyarakat matrilineal
Di Minangkabau keluarga pihak bapak disebut bako-baki sebagai “anak pisang”. Bako-baki berperan
sebagai berikut:
1) Mewakili berbagai upacara
2) Membantu dalam memelihara anak
3) Mendapat prioritas dalam memilih jodoh
4) Dapat mengoper harta kekayaan dari kerabat yang akan punah dengan mendahului orang-orang
lainnya.
b. Hubungan anak dengan keluarga pada masyarakat patrilineal
Di Tapanuli pada masyarakat suku Batak, keluarga dari pihak ibu disebut hula-hula, sedangkan
keluarga dari pihak bapak disebut boru.
Perkawinan dalam masyarakat yang patrilineal bersifat eksogami, di mana istri masuk dalam kerabat
suami.
c. Hubungan anak dengan keluarga pada masyarakat parental (garis keturunan bapak ibu).

KEGIATAN BELAJAR 2
PERWALIAN ANAK DAN PENGANGKATAN ANAK

Secara etimologi (bahasa), kata wali berasal dari bahasa arab yang berarti teman, klien, sanak, pelindung.
Anak yang berada di bawah perwalian:
1. Anak sah yang kedua orang tuanya telah dicabut kekuasaannya sebagai orang tua.
2. Anak sah yang orang tuanya telah bercerai.
3. Anak yang lahir di luar perkawinan (naturalijke kind)

Pada umumnya dalam setiap perwalian hanya ada seorang wali saja, kecuali apabila seorang wali ibu
(moerdervoogdes) kawin lagi, dalam hal suaminya menjadi medevoogd. Jika salah satu dari orang tua
tersebut meninggal maka menurut undang-undang orang tua yang lainnya dengan sendirinya menjadi
wali bagi anak-anaknya. Perwalian ini dinamakan perwalian menurut undang-undang (wetelijke Voogdij).

Dalam KUHPerdata, setidaknya terdapat 3 (tiga) macam perwalian, yaitu:


1. Perwalian oleh suami atau istri yang hidup lebih lama: berdasarkan Pasal 345 KUHPerdata
2. Perwalian yang ditunjuk oleh bapak atau ibu dengan surat wasiat atau akta tersendiri: pasal 355 ayat
(1) KUHPerdata
3. Perwalian diangkat oleh hakim: berdasarkan pasal 359 KUHPerdata

PENGANGKATAN ANAK
Wignyodipoero: pengambilan anak orang lain sehingga timbul suatu hubungan hukum kekeluargaan.
Hadikusuma: anak orang lain yang dianggap anak sendiri dengan resmi menurut hukum adat setempat.

Pengangkatan anak umumnya ditujukan pada keponakan sendiri berdasarkan beberapa alasan:
1. Untuk memperkuat pertalian kekeluargaan dengan orang tua anak yang diangkat.
2. Untuk menolong anak yang diangkat atau adanya kepercayaan masyarakat bahwa dengan
mengangkat anak kedua orang tua angkat akan dikaruniai anak sendiri.
3. Untuk membantu meringankan pekerjaan sehari-hari dari orang tua angkat.

Seorang anak angkat mempunyai hak-hak yuridis:


1. Hak dan kewajiban material: rumah, sawah, kebun, dan lain-lain
2. Hak dan kewajiban immaterial: gelar adat, kedudukan adat, dan matabat keturunan
3. Hak dan kewajiban sosial: menghadiri upacara adat, cara berpakaian tertentu di tempat tertentu yang
berkaitan dengan penghormatan.

Pengangkatan anak di lakukan dengan pemberian imbalan dan pembayaran:


1. Di Bali dengan pembayaran benda magis, pembayaran adat “seribu kepeng”, dan satu stel pakaian
perempuan. Pengangkatan anak dalam lingkungan besar clan di Bali disebut nyentanayang. Anak
angkat yang akan menjadi ahli waris di Bali disebut sentang.
2. Di Jawa Timur dengan pembayaran sejumlah uang rong wang sagobang.
Motif atau Alasan Pengangkatan Anak
a. Untuk melanjutkan keturunan
b. Supaya ada yang melanjutkan untuk mengurus harta benda
c. Untuk memberi kedudukan kepada anak

BENTUK PENGANGKATAN ANAK


a. Pengangkatan anak langsung
Makahidangraga (Bali), ngaranan anak (Minahasa): perjanjian antara seseorang yang sudah tua untuk
mengurus dan memeliharanya karena tidak ada lagi yang mengurus.
Orang yang menerima penyerahan tersebut wajib melakukan:
1) Mengurus pemakaman
2) Membayar mayat untuk kremasi
3) Membayar hutang-hutangnya
4) Penerima berhak atas harta peninggalannya
b. Pengangkatan anak tidak langsung
Mengangkat anak tiri menjadi anak angkat unutk melanjutkan keturunan, kadang-kadang juga sebagai
ahli waris.
• Suku Rejang di Bengkulu: mulang jurai, bisa dilakukan jika bapak biologis dari anak angkat masih
hidu dan dapat izin dari bapak biologisnya.
• Suku Dayak Mangyang: ngkup anak
• Lampung: tegak tegi/kawin tambiq

KEGIATAN BELAJAR 3
HAK WARIS BAGI ANAK ANGKAT DAN ANAK TIRI DALAM HUKUM ADAT

Anak angkat adalah ahli waris orang tua kandung, namun di berbagai daerah terdapat variasi, misalnya di
Jawa anak angkat hanya mewarisi harta gono gini orang tua angkat dan ahli waris orang tua kandung
karena tidak terputus hubungan darah dengan orang tua kandung.

Dalam hukum adat Melayu Jambi, harta peninggalam menurut hukum adat dibagi menjadi dua yakni:
1. Harta peninggalan menurut asal-usulnya, terdiri atas:
a. Harta bawaan (harta bawoan) adalah harta suami yang dibawa ke dalam pernikahan
• Harta bujang adalah harta yang diperoleh suami pada saat sebelum menikah.
• Harta pusaka adalah harta yang diterima suami dari harta peninggalan orang tuanya setelah
meninggal.
b. Harta depatan adalah kepunyaan istri pada saat sebelum menikah. Adat Melayu Jambi menganut
sistem matrilokal, yakni suami tinggal di rumah keluarga istri sebelum mereka memiliki rumah
sendiri.
c. Harta bersama (pencarian basamo)
Merupakan harta yang diperoleh oleh suami istri selama masa perkawinan.
2. Harta peninggalan menurut nilai ekonomis terdiri dari tiga macam:
a. Harta berat: rumah kediaman, sawah, tanah, dan lumbung padi untuk anak perempuan.
b. Harta ringan: seperti kerbau, kambing, motor, dan lain-lain.
c. Seko: peninggalan berupa gelar dipegang oleh anak laki-laki tertua.

ANAK TIRI
Dalam hukum adat anak tiri bukanlah ahli waris kedua orang tuanya, melainkan hanya ahli waris dari
bapak kandung atau ibu kandungnya saja.

Perkawinan levirat adalah janda bercerai mati yang dikawini oleh kakak/adik dari mendiang suaminya.

KEGIATAN BELAJAR 1
PENGERTIAN PERKAWINAN DAN BENTUK-BENTUK PERKAWINAN MENURUT HUKUM ADAT

Pengertian Perkawinan Dalam Hukum Adat


Hadikusuma
Dalam hukum adat perkawinan adalah aturan-aturan hukum adat yang mengatur tentang bentuk-bentuk
perkawinan, cara-cara pelamaran, upacara perkawinan dan putusnya perkawinan di Indonesia.
Ter Haar
Perkawinan adalah suatu usaha atau peristiwa hukum yang menyebabkan terus berlangsungnya golongan
atau keturunnan secara teratur dan merupakan suatu syarat yang menyebabkan terlahirnya angkatan
baru yang meneruskan golongan tersebut.
Saragih
Hukum perkawinan adat adalah keseluruhan kaidah hukum yang menentukan prosedur yang harus
ditempuh oleh dua orang yang bertalian kelalmin dalam menciptakan kehidupan bersama dalam suatu
rumah tangga dengan tujuan untuk meneruskan keturunan.
Hazairin
Peristiwa perkawinan adalah tiga buah rentetan perbuatan-perbuatan magis yang bertujuan unutk
menjamin ketenangan, kebahagiaan, dan kesuburan.
Djojodiguno
Hubungan suami-istri setelah perkawinan bukanlah merupakan hubungan perikatan yang berdasarkan
perjanjian atau kontrak, tetapi merupakan suatu paguyuban. Paguyuban ini adalah paguyuban hidup yang
menjadi ajang pokok, ajang hidup suami-sitri bersama anak-anaknya. Paguyuban hidup tersebut lazimnya
disebut “somah” (istilah Jawa artinya keluarga).

Bentuk-Bentuk Perkawinan Dalam Hukum Adat


1. Bentuk perkawinan dalam masyarkaat patrilineal
Dalam masyarakat patrilineal (Gayo, Batak, Nias, Lampung, Bali, Timor, dan Maluku) bentuk
perkawinannya adalah perkawinan jujur yakni perkawinan dengan memberikan uang ataupun barang
dari pihak pengantin laki-laki kepada pihak keluarga perempuan.
Fungsi jujur menurut Saragih:
a. Secara yuridis mengubah status keanggotaan dari clan pengantin perempuan.
b. Secara ekonomis membawa pergeseran dalam kekayaan (adanya pertukaran barang).
c. Secara sosial-politis, tindakan penyerahan jujur mempunyai arti pihak wanita mempunyai
kedudukan yang dihormati (mempererat hubungan antar-clan, hubungan kekeluargaan, dan
menghilangkan permusuhan).
Sebutan Jujur Diberbagai Daerah:
1) Pada masyarakat Tapanuli (Batak) pembayaran Jujur disebut dengan Boli, Tuho, Parunjuk, Pangoli,
Sinamot.
2) Maluku disebut Beli atau Wilin
3) Bali disebut Patunkun-luh

Dalam masyarakat Batak perkawinannya menganut eksogami marga yakni tidak diperbolehkannya
menikah sesama marga. Pada zaman dahulu keutamaan menikah antar lintas sepupu yakni dengan
anak saudara laki-laki ibu yang disebut pariban atau boru tulang.

Jenis-jenis perkawinan jujur:


a. Perkawinan mengabdi
Pembayaran jujur ditunda, suami hidup bersama istrinya dan bekerja pada mertuanya sampai
jujurnya lunas.
• Perkawinan mengabdi di Batak disebut Mangdingding
• Bali disebut nunggonin
• Lampung disebut erring beli
b. Perkawinan meneruskan
Perkawinan seorang laki-laki dengan saudara perempuan istri yang sudah meninggal. Tidak ada
jujur dalam perkawinan ini.
• Batak disebut mangabia
• Jawa disebut karang wulu
c. Perkawinan mengganti
Perkawinan seorang janda dengan saudara laki-laki suami yang sudah meninggal.
• Batak disebut Pareakhon
• Palembang disebut ganti tikar
• Jawa disebut medun ranjang
d. Perkawinan mengambil anak

2. Bentuk Perkawinan pada Masyarakat Matrilineal


Bentuk perkawinan pada masyarakat matrilineal adalah perkawinan semendo, yaitu bentuk
perkawinan yang bertujuan mempertahankan garis keturunan pihak ibu. Semendo berarti laki-laki
dari luar.
Bentuk-bentuk perkawinan semendo:
a. Semenda rajo-rajo: suami-istri berkedudukan sama
b. Semenda bebas: suami menetap pada kerabatnya, ia hanya urang semendo.
c. Semenda menetap: suami mengikuti tempat kediaman istri.
d. Semenda nunggu: menunggu adik istri sampai dapat mandiri.
e. Semenda nangkit: istri menjadi penerus keturunan suami karena ibu suami tidak memiliki anak
perempuan.
f. Semenda anak gadang: suami datang sewaktu-waktu lalu pergi (sementara).
g. Semenda bertandang: suami tidak bertempat tinggal yang sama.
h. Semenda ambil anak: mengambil anak laki-laki sebagai menantu untuk menjadi ahli waris
mertuanya.
i. Semenda beradat: pihak pria membayar uang adat kepada pihak wanita
j. Semenda tidak beradat: pihak pria tidak membayar uang adat karena biaya perkawinan
ditanggung pihak suami.

3. Bentuk perkawinan dalam susunan kekeluargaan parental


Pada masyarakat parental (jawa, sunda, aceh, melayu, Kalimantan, dan sulawesi) sistem
perkawinannya disebut perkawinan bebas. Dalam perkawinan bebas tidak mengenal persoalan
eksogami dan endogami, orang bebas kawin dengan siapa saja asal tidak melanggar ketentuan agama
dan kaidah kesusilaan.

Dalam susunan kekeluargaan parental terdapat kebiasaan pemberian dari pihak laki-laki yang bukan
berarti itu adalah uang jujur akan tetapi hanya sebagai hadiah perkawinan. Beberapa istilah hadiah
perkawinan diberbagai tempat:
a. Sulawesi selatan: Sundrang atau Sompa
b. Minahasa: Hako
c. Dayak: Pekain
d. Jawa tengah dan Jawa Timur: Tukon, selain Tukon ada juga Petuken yakni pemberian pakaian dan
perhiasan untuk calon istri.

Variasi perkawinan pada masyarakat dengan susunan kekeluargaan parental:


a. Perkawinan medun ranjang
Janda menikah dengan saudara laki-laki suami yang sudah meninggal
b. Perkawinan karang wulu
Duda menikah dengan saudara perempuan istri yang sudah meninggal
c. Perkawinan manggih kaya atau ngalindung kagelung
Perkawinan manggih kaya yakni perkawinan antara pria kaya dengan wanita miskin
Ngalindung kagelung yakni perkawinan antara wanita kaya dengan pria miskin
d. Perkawinan gantung atau kawin ngarah gawe
Perkawinan antara pria dan wanita yang belum dewasa atau dibawah umur.

4. Perkawinan Campuran
Perkawinan campuran adalah perkawinan yang terjadi antara suami dan istri yang berbeda suku,
budaya, dan agama.
Akan tetapi Pasal 57 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengartikan Perkawinan Campuran
sebagai perkawinan antara dua orang yang memiliki perbedaan kewarganegaraan.

Masyarakat batak menyebut perkawinan campuran antar suku dengan istilah marsileban yakni laki-
laki atau perempuan yang bukan dari suku Batak.
Laki-laki atau perempuan yang bukan dari suku Batak diangkat terlebih dahulu sebagai warga adat
Batak dalam lingkup dalihan tolu. Calon pengantin pria diangkat ke dalam warga adat hula-hula.
Sedangkan calon pengantin wanita diangkat ke dalam warga namboru (saudara perempuan dari
bapak). Dengan demikian perkawinan adat tersebut tetap dalam jalur assymetrich connubium.
Di lampung:
Laki-laki dari luar suku: dijadikan warga adat kelana (kerabat laki-laki saudara ibu) atau dimasukkan
dalam warga adat kenubi (saudara ibu)
Perempuan dari luar suku: dimasukkan ke dalam keluarga kenubi dan perkawinannya disebut ngakuk
menulung.

5. Perkawinan Lari
Kawin lari terdapat dalam masyarakat Batak, Bugis, Lampung, dan Bali.
Kawin lari dapat dibedakan atas 2:
a. Kawin lari bersama
• Batak: disebut manguluwa
• Sumatera Selatan: belarian
• Bali: ngeroroat/merangkat
• Bugis: silariang
• Ambon: lari bini
• Flores: disebut kawin roko, kawin roko biasanya dengan alasan tidak mampu membayar mas
kawin (pacca) yang tinggi
b. Kawin lari paksaan

Beberapa alasan melakukan perkawinan lari:


a. Syarat-syarat pembayaran dari upacara perkawinan yang diminta pihak perempuan tidak dapat
dipenuhi pihak laki-laki;
b. Si perempuan belum diizinkan orang tuanya untuk bersuami, tetapi karena keadaan si perempuan
bertindak sendiri;
c. Orang tua atau keluarga perempuan menolak lamaran pihak laki-laki, akhirnya si perempuan
bertindak sendiri;
d. Si laki-laki dan perempuan telah berbuat yang bertentangan dengan hukum adat atau hukum
agama (misalnya hamil dan lain-lain).

KEGIATAN BELAJAR 2
PELAMARAN DAN SISTEM PERKAWINAN

Perkawinan dilakukan dengan dua cara, yakni perkawinan dengan melamar/meminang dan perkawinan
yang dilakukan dengan tidak melamar/meminang.

1. Perkawinan dengan melamar/meminang


Pertunangan adalah hubungan hukum yang dilakukan antara orang tua pihak pria dan orang tua pihak
wanita untuk mengikatkan tali perkawinan anak-anak mereka dengan jalan meminang.
Istilah meminang/melamar di berabagai daerah:
• Batak: magelean tanda
• Karo: tagih-tagih
• Sunda: payangsang
• Toraja: pujompo
• Jawa: panjer/peningset kemudian dilanjutkan dengan pertunangan disebut sebagai pancangan.
• Bali: base panglarang kemudian dilanjutkan dengan pertunangan yang disebut bincing.
• Pertunangan disuku Dayak disebut sebagai Ngajuh

2. Perkawinan dengan tidak melamar/meminang

Sistem Perkawinan
1. Sistem Endogami
Perkawinan hanya dari suku sendiri, terdapat pada Suku Toraja dan masyarakat Ngadhu-bhaga di
Flores Nusa Tenggara Timur.
2. Sistem Eksogami
Perkawinan dilakukan dengan orang dari luar suku keluarganya. Terdapat pada masyarakat Gayo,
Alas, Tapanuli, Minagkabau, Sumatera Selatan, Buru, dan Seram.
3. Sistem Eleutrogami
Tidak mengenal larangan-larangan seperti pada sistem eksogami dan endogami. Larangan
perkawinan atas pertimbangan larangan agama dan kesusilaan.

Larangan Perkawinan
1. Larangan perkawinan menurut Hukum Adat
a. Karena hubungan kekerabatan
b. Karena perbedaan kedudukan
2. Larangan perkawinan menurut hukum agama
a. Karena pertalian darah
b. Karena pertalian perkawinan
c. Karena pertalian sepersusuan

KEGIATAN BELAJAR 3
HARTA PERKAWINAN MENURUT HUKUM ADAT

Hadikusuma
Harta perkawinan adalah semua harta yang dikuasai suami istri selama mereka terikat dalam ikatan
perkawinan, baik harta kerabat yang dikuasai maupun harta perseorangan yang berasal dari harta
warisan.

Pasal 35 UU No. 1 Tahun 1974


Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama, sedangkan harta bawaan dari
masing-masing suami dan istri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau
warisan adalah di bawah pengawasan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.

Macam-Macam Harta Perkawinan


1. Harta Warisan
Istilah harta warisan diberbagai daerah:
• Dayak: pimpit
• Makassar: silsila
• Bali: babakan
• Jawa/jambi/riau: asal/asli/pusaka

Di minangkabau harta warisan disebut harta pusaka tidak dapat diwariskan kepada anggota kerabat
hanya boleh dipakai dengan hak memakai disebut dengan ganggam bantiq

2. Harta yang diperoleh atas usaha sendiri dan untuk diri sendiri
a. Di Sumatera Selatan
• Harta pambujang: harta yang diperoleh suami sebelum perkawinan
• Harta penantian: harta yang diperoleh istri sebelum perkawinan
b. Di Minangkabau
Harta pencaharian adalah harta yang diperoleh atas usaha sendiri

Pengeculian terhadap harta bersama:


a. Di Aceh penghasilan suami menjadi miliknya sendiri jika istri tidak memberikan dasar material
dalam bentuk kebun atau pekarangan halaman.
b. Di Jawa Barat jika perkawinannya nyalindung kagelung maka penghasilan yang diperoleh semasa
perkawinan menjadi milik istri sendiri.
c. Di Kudus Kulon (Jateng) dalam lingkungan para pedagang, suami-istri masing-masing tetap
memiliki barang yang mereka peroleh masing-masing selama perkawinan.
3. Harta Bersama
4. Harta Hadiah Perkawinan

MODUL 6
KEGIATAN BELAJAR 1
PENGERTIAN DAN ISTILAH-ISTILAH HUKUM WARIS ADAT

Waris berasal dari bahasa arab Warisa yang artinya mempusakai harta, dan waris artinya adalah ahli
waris. Jadi pengertian waris yang sebenarnya adalah orang yang menerima atau mempusakai harta dari
orang yang telah meninggal dunia.

Ter Haar
Aturan-aturan hukum yang mengenai cara bagaimana dari abad ke abad penerusan dan peralihan harta
kekayaan yang berwujud dan tidak berwujud dari generasi ke generasi.
Soepomo
Memuat peraturan-peraturan yang mengatur proses meneruskan, serta mengoperkan barang-barang
harta benda dan barang-barang yang tidak berwujud benda (immaterial goederen) dari suatu angkatan
manusia (generatie) kepada keturunannya.
Hadikusuma
Hukum waris adat adalah hukum adat yang memuat garis-garis ketentuan tentang sistem dan asas-asas
hukum waris tentang warisan, pewaris dan waris, serta cara bagaimana harta warisan itu dialihkan
penguasaan dan pemilikannya dari pewaris kepada waris.
Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa hukum waris adat merupakan pengaturan tata cara
pengurusan dan pengalihan harta kekayaan dari pewaris yang masih hidup atau yang sudah meninggal
kepada ahli warisnya.

Anda mungkin juga menyukai