Orang yang pertama kali meggunakan istilah adatrecht adalah Snouk Hurgronje. Kata adat berasal dari
bahasa Arab yang berarti kebiasaan. Kemudian kata Adatrecht digunakan oleh Van Vollenhoven untuk
membahas dan mengkaji secara ilmiah hukum adat. Penyebutan adat di berbagai daerah, di Sulawesi
Tengah disebut “hadat”, di Gayo disebut “odot”, di Jawa disebut “ngadat”, dan lain-lain.
Ter Haar (Teori Beslissingenleer/Teori Keputusan): hukum adat yang berlaku itu hanyalah yang dikenal
dari keputusan-keputusan fungsionaris hukum dalam masyarakat itu, kepala-kepala, hakim-hakim, rapat-
rapat desa, dan pejabat-pejabat desa.
Teori yang menunjukkan adanya hubungan antara pengaruh agama (hukum islam) dengan hukum adat
sebagai berikut:
1. Teori Recetio in Complexu (C.F Winterm & Salomon Keyzer, diikuti oleh Van den Berg)
Adat istiadat dan hukum adat suatu golongan masyarakat adalah resepsi seluruhnya dari agama yang
dianutnya oleh golongan masyarakat itu.
2. Teori Receptio (Snouk Hurgronje dan Van Vollenhoven)
Hukum Agama (Islam) meresepsi ke dalam dan berlaku sepanjang dikehendaki oleh hukum adat.
Merupakan sanggahan dari teori receptio in complexu.
3. Teori Receptio a Contrario (Hazairin)
Hukum adat adalah sesuatu yang berbeda dan tidak boleh dicampuradukan dengan hukum agama
(Islam) sehingga keduanya mesti tetap terpisah.
Dasar berlakunya hukum adat adalah UUD 1945 pada ketentuan Aturan Peralihan Pasal II menyatakan
bahwa “Segala badan negara dan peraturan yang ada masih berlangsung berlaku sebelum diadakan yang
baru menurut Undang-Undang Dasar ini”.
KEGIATAN BELAJAR 2
CIRI-CIRI HUKUM ADAT
Van Vollenhoven membagi atau mengelompokkan wilayah Indonesia dalam 19 Lingkungan Hukum Adat
(Adat Rechtkringen). Beberapa contoh:
1. Di daerah Tapanuli
• Persekutuan daerah disebut ‘negeri’, di daerah selatan disebut ‘kuria’, di padang lawas disebut
‘luhas’.
• Persekutuan hukum disebut ‘huta’
• Kepada negeri/kuria/luhas dan kepala huta disebut ‘Raja Panusunan’
2. Di Daerah Minangkabau
Persekutuan hukum disebut ‘Nagari’ terdiri atas famili-famili yang dikepalai oleh ‘Penghulu Andiko’
3. Di Pulau Ambon
• Famili di daerah Ambon disebut ‘tau’ di kepalai oleh kepala famili
• Famili terikat dengan famili besar (clan), kepala clan disbut ‘lalu’
4. Di Daerah Bolaang Mongondow
• Pesekutuan disebut ‘Desa’, kepala desa disebut ‘Kimelaha’
• Pembantu disebut ‘Probis’ dan anggota famili disebut ‘gihangia’
5. Di Daerah Banten
Kampung (ampian) dikepalai oleh ‘Kokolot’ atau Tua-Tua, yang membentuk desa dan kepala desa
disebut ‘Jaro’
KEGIATAN BELAJAR 3
MASYARAKAT HUKUM ADAT DI Indonesia
Pengertian Masyarakat Hukum Adat
Soekanto:
Sistem sosial yang menjadi wadah dari pola-pola interaksi sosial
Hazairin:
Masyarakat hukum adat seperti desa di jawa, marga di sumatera selatan, nagari di minangkabau, kuria di
Tapanuli, wanua di Sulawesi Selatan adalah kesatuan-kesatuan yang mempunyai kelengkapan untuk
sangguh berdiri sendiri....
Ter Haar:
Kesatuan manusia sebagai satu kesatuan, menetap didaerah tertentu, mempunyai penguasa-penguasa,
mempunyai kekayaan yang berwujud atau tidak berwujud.
MODUL 2
KEGIATAN BELAJAR 1
PERKEMBANGAN HUKUM ADAT SEBELUM KEMERDEKAAN RI
Sebelum adanya pengaruh agama Hindu telah ada hukum adat yang oleh para ahli hukum adat disebut
adat Melayu Polinesia
KEGIATAN BELAJAR 2
PROSES PERKEMBANGAN HUKUM ADAT
Pada kongres Pemuda Indonesia tahun 1928, hukum adat diterima sebagai hukum, yang merupakan nilai
hukum bersama dari seluruh rakyat dan yang megikat seluruh bangsa Indonesia menjadi satu bangsa.
Dicantumkannya Pancasila secara konstitusionl dalam pembukaan UUD 1945 merupakan pengakuan
terhadap Pancasila sebagai dasar negara RI yang merupakan cita-cita dan pedoman bagi tercapainya cita-
cita masyarakat. Pancasila selain sebagai cita hukum juga sebagai norma hukum yang tertingi, sebagai
norma dasar, yaitu suatu aturan, atau standar yang harus ditaati yang bersifat mengatur dan memerintah.
Pada Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 yang menyatakan bahwa “Segala badan negara dan peraturan
yang ada masih langsung berlaku selama belum diadakan yang baru menurut undang-undang dasar ini”.
Artinya bahwa lembaga hukum yang telah ada dan peraturan-peraturan yang telah ada masih tetap
diperlakukan seperti Pasal 131 dan 163 I.S yang menetapkan bahwa bagi warga negara Indonesia asli tetap
berlaku hukum adat, sedangkan untuk keturunan Eropa dan Tionghoa berlaku hukum perdata Eropa.
Di Sulawesi Selatan terdapat persatuan kampung yang disebut ‘wanua’, masyarakat adatnya cenderung
bersifat Genealogist-Bilateral, terdiri atas 4 suku:
a. Suku Toraja: berada di Kabupaten Tana Toraja, Mamasa, dan Sulawesi Tengah.
b. Suku Mandar: berada di Kabupaten Mamuju dan Majene.
c. Suku Makassar: berada di Kabupaten Gowa, Takalar, Jeneponto, Bantaeng, Maros, dan Pangkajene.
d. Suku Bugis: berada di Kabupaten Bulukumba, Sinjai, Bone, Soppeng, Wajo, Sidrap, Pare-Pare, Polmas,
Enrekang, Luwu.
Sedangkan di wilayah Sulawesi Utara, sebagian Sulawesi Tengah, Ambon Maluku dan Irian bersifat
Genealogist-Patrilineal, oleh karena itu didaerah ini masyarakatnya menggunakan nama clan atau fam
(family) di belakang nama mereka.
KEGIATAN BELAJAR 3
HUKUM ADAT DALAM PEMBANGUNAN NASIONAL
Dari sudut pandang modernisasi, suku bangsa adalah komunitas lokal dengan identitas kultural
tradisional, bahkan sering disebut masyarakat adat, masyarakat tradisional, masyarakat asli, atau
penduduk asli.
Berbagai model hubungan antara negara dan masyarakat dalam negara modern:
1. Model Komunitarian
Negara dipahami sebagai komunitas yang berorientasi pada nilai-nilai tertentu dan memiliki identitas
yang kolektif dan homogen. Negara ibarat sebuah kelurga besar, masyarakat bersifat plural oleh
karena itu negara cenderung mengambil nilai-nilai suku bangsa (masyarakat hukum adat) yang
dominan untuk mendefinisikan kepentingan rakyat secara umum.
2. Model Liberal
Bahwa negara adalah suatu totalitas politis yang terintegrasi lewat hukum positif modern yang netral
dari orientasi nilai-nilai suku bangsa. Ada pemisahan abstrak antara negara dan antara ruang publik
dan ruang privat.
3. Model Multikultural.
Model ini mengakui adanya keberagaman budaya atau asal usul (pluralisme kultural) dengan tetap
melindungi hak-hak dari kelompok kultural untuk mempertahankan tradisinya. Artinya negara tetap
bersikap liberal, di mana suku bangsa memiliki posisi struktural, yakni sejajar dengan kelompok-
kelompok lain, seperti kelompok gender, religius, dan sebagainya.
4. Model Deliberatif
Menurut model ini, demokrasi dalam masyarakat yang majemuk bertolak dari asumsi bahwa warga
negara dan kolompok-kelompok sosial termasuk masyarakat hukum adat, berdiri setara dalam
proses komunikasi politis unntuk mengabil keputusan publik. Artinya nilai-nilai masyarakat hukum
adat yang dominan pun dalam partisipasi demokratis harus dianggap setara dengan kelompok kultural
atau kelompok agama lain.
Posisi struktural masyarakat yang paling sesuai dengan asumsi demokrasi adalah model deliberatif di
mana unsur-unsur etnis berdiri sejajar dengan unsur-unsur lain, seperti unsur-unsur sosial dan politis.
MODUL 3
KEGIATAN BELAJAR 1
SUBJEK HUKUM MENURUT HUKUM ADAT
Di Jawa Tengah, perkumpulan-perkumpulan yang mempunyai organisasi yang dinyatakan dengan tegas
dan rapi dinyatakan sebagai badan hukum, begitu juga di Bali dijumpai badan hukum seperti subak dan
banjar.
Pengertian Wakaf menurut Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 adalah perbuatan hukum seseorang
atau sekelompok orang atau badan hukum yang memisahkan sebagian dari harta dan melembagakannya
untuk selama-lamanya guna kepentingan ibadah atau keperluan lainnya yang sesuai dengan ajaran Islam.
KEGIATAN BELAJAR 2
CAKAP DAN DEWASA DALAM HUKUM ADAT
Menurut Ter Haar pengertian dewasa menurut hukum adat adalah pada saat pria atau wanita menikah
dan memisahkan diri dari rumah tangga orang tuanya atau mertuanya, dan mempelai tersebut
mempunyai rumah tangga yang berdiri sendiri.
Menurut Soepomo ciri-ciri seseorang yang dianggap dewasa menurut hukum adat adalah:
1. Kuat gawe (mampu bekerja sendiri);
2. Cakap mengurus harta benda dan lain-lain keperluan sendiri;
3. Cakap melakukan segala pergaulan dalam kehidupan kemasyarakatan serta
mempertanggungjawabkan sendiri segala-galanya itu.
Djojodigoeno berpendapat bahwa hukum adat tidak mengenal perbedaan yang tajam antara orang yang
sama sekali tidak cakap melakukan perbuatan dan cakap melakukan perbuatan hukum. Peralihan dari
tidak cakap menjadi cakap dalam kenyataannya berlangsung sedikit demi sedikit menurut keadaan.
Dalam perspektif adat Jawa istilah kedewasaan relevan dengan kemandirian yang diartikan dengan
“mencar dan kuat gawe”
KEGIATAN BELAJAR 3
PENGERTIAN CAKAP DAN DEWASA MENURUT UNDANG-UNDANG
MODUL 4
KEGIATAN BELAJAR 1
PENGERTIAN HUKUM KELUARGA MENURUT HUKUM ADAT
Hukum adat keluarga atau hukum adat kekerabatan adalah hukum adat yang mengatur tentang
bagaimana kedudukan pribadi seseorang sebagai anggota kerabat (keluarga), kedudukan anak terhadap
orang tua dan sebaliknya, kedudukan anak terhadap kerabat dan sebaliknya, dan masalah perwalian anak.
Hukum adat keluarga atau hukum adat kekerabatan mengatur tentang pertalian anak, berdasarkan
pertalian darah, pertalian karena perkawinan dan pertalian adat.
Dalam hukum Islam anak dikatakan anak sah apabila anak tersebut dilahirkan paling cepat 6 bulan
setelah bapak dan ibunya mengadakan akad nikah, apabila anak tersebut dilahirkan sebelum 6 bulan
maka anak tersebut anak tidak sah. Namun dalam hukum adat tidak ada jangka waktu seperti ini.
Akan tetapi di beberapa daerah lainnya ada pendapat yang wajib mencela keras si ibu yang tidak
kawin itu berserta anaknya. Untuk mencegah nasib sial si Ibu dan anaknya ada Tindakan adat yang
mewajibkan pria yang menyebabkan wanita tersebut melahirkan anak untuk menikahi wanita
tersebut. Di sumatera selatan tindakan tersebut dilakukan oleh rapat marga. Demikian pula di Bali
bahwa di daerah ini apabila pria yang dimaksud tidak mau mengawini maka akan dijatuhi hukuman.
Ada juga tradisi adat di suatu daerah yang mengawinkan wanita hamil tersebut dengan laki-laki yang
bukan bapak biologis anak tersebut, tujuannya agar anak dilahirkan dari perkawinan yang sah
sehingga anak tersebut menjadi anak sah:
• Di Jawa disebut Nikah Tambelan
• Di Suku Bugis disebut Pattongkog Sirik
c. Anak Tiri
Anak tiri adalah anak kandung bawaan istri atau bawaan dari suami duda yang mengikat tali
perkawinan. Pada masyarakat Jawa dengan sistem kekeluargaan yang bersifat parental, anak tiri
adalah ahli waris dari orang tua yang menyebabkan kelahirannya, kecuali anak-anak tiri tersebut
diangkat oleh bapak tiri sebagai penerus keturunannya.
KEGIATAN BELAJAR 2
PERWALIAN ANAK DAN PENGANGKATAN ANAK
Secara etimologi (bahasa), kata wali berasal dari bahasa arab yang berarti teman, klien, sanak, pelindung.
Anak yang berada di bawah perwalian:
1. Anak sah yang kedua orang tuanya telah dicabut kekuasaannya sebagai orang tua.
2. Anak sah yang orang tuanya telah bercerai.
3. Anak yang lahir di luar perkawinan (naturalijke kind)
Pada umumnya dalam setiap perwalian hanya ada seorang wali saja, kecuali apabila seorang wali ibu
(moerdervoogdes) kawin lagi, dalam hal suaminya menjadi medevoogd. Jika salah satu dari orang tua
tersebut meninggal maka menurut undang-undang orang tua yang lainnya dengan sendirinya menjadi
wali bagi anak-anaknya. Perwalian ini dinamakan perwalian menurut undang-undang (wetelijke Voogdij).
PENGANGKATAN ANAK
Wignyodipoero: pengambilan anak orang lain sehingga timbul suatu hubungan hukum kekeluargaan.
Hadikusuma: anak orang lain yang dianggap anak sendiri dengan resmi menurut hukum adat setempat.
Pengangkatan anak umumnya ditujukan pada keponakan sendiri berdasarkan beberapa alasan:
1. Untuk memperkuat pertalian kekeluargaan dengan orang tua anak yang diangkat.
2. Untuk menolong anak yang diangkat atau adanya kepercayaan masyarakat bahwa dengan
mengangkat anak kedua orang tua angkat akan dikaruniai anak sendiri.
3. Untuk membantu meringankan pekerjaan sehari-hari dari orang tua angkat.
KEGIATAN BELAJAR 3
HAK WARIS BAGI ANAK ANGKAT DAN ANAK TIRI DALAM HUKUM ADAT
Anak angkat adalah ahli waris orang tua kandung, namun di berbagai daerah terdapat variasi, misalnya di
Jawa anak angkat hanya mewarisi harta gono gini orang tua angkat dan ahli waris orang tua kandung
karena tidak terputus hubungan darah dengan orang tua kandung.
Dalam hukum adat Melayu Jambi, harta peninggalam menurut hukum adat dibagi menjadi dua yakni:
1. Harta peninggalan menurut asal-usulnya, terdiri atas:
a. Harta bawaan (harta bawoan) adalah harta suami yang dibawa ke dalam pernikahan
• Harta bujang adalah harta yang diperoleh suami pada saat sebelum menikah.
• Harta pusaka adalah harta yang diterima suami dari harta peninggalan orang tuanya setelah
meninggal.
b. Harta depatan adalah kepunyaan istri pada saat sebelum menikah. Adat Melayu Jambi menganut
sistem matrilokal, yakni suami tinggal di rumah keluarga istri sebelum mereka memiliki rumah
sendiri.
c. Harta bersama (pencarian basamo)
Merupakan harta yang diperoleh oleh suami istri selama masa perkawinan.
2. Harta peninggalan menurut nilai ekonomis terdiri dari tiga macam:
a. Harta berat: rumah kediaman, sawah, tanah, dan lumbung padi untuk anak perempuan.
b. Harta ringan: seperti kerbau, kambing, motor, dan lain-lain.
c. Seko: peninggalan berupa gelar dipegang oleh anak laki-laki tertua.
ANAK TIRI
Dalam hukum adat anak tiri bukanlah ahli waris kedua orang tuanya, melainkan hanya ahli waris dari
bapak kandung atau ibu kandungnya saja.
Perkawinan levirat adalah janda bercerai mati yang dikawini oleh kakak/adik dari mendiang suaminya.
KEGIATAN BELAJAR 1
PENGERTIAN PERKAWINAN DAN BENTUK-BENTUK PERKAWINAN MENURUT HUKUM ADAT
Dalam masyarakat Batak perkawinannya menganut eksogami marga yakni tidak diperbolehkannya
menikah sesama marga. Pada zaman dahulu keutamaan menikah antar lintas sepupu yakni dengan
anak saudara laki-laki ibu yang disebut pariban atau boru tulang.
Dalam susunan kekeluargaan parental terdapat kebiasaan pemberian dari pihak laki-laki yang bukan
berarti itu adalah uang jujur akan tetapi hanya sebagai hadiah perkawinan. Beberapa istilah hadiah
perkawinan diberbagai tempat:
a. Sulawesi selatan: Sundrang atau Sompa
b. Minahasa: Hako
c. Dayak: Pekain
d. Jawa tengah dan Jawa Timur: Tukon, selain Tukon ada juga Petuken yakni pemberian pakaian dan
perhiasan untuk calon istri.
4. Perkawinan Campuran
Perkawinan campuran adalah perkawinan yang terjadi antara suami dan istri yang berbeda suku,
budaya, dan agama.
Akan tetapi Pasal 57 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengartikan Perkawinan Campuran
sebagai perkawinan antara dua orang yang memiliki perbedaan kewarganegaraan.
Masyarakat batak menyebut perkawinan campuran antar suku dengan istilah marsileban yakni laki-
laki atau perempuan yang bukan dari suku Batak.
Laki-laki atau perempuan yang bukan dari suku Batak diangkat terlebih dahulu sebagai warga adat
Batak dalam lingkup dalihan tolu. Calon pengantin pria diangkat ke dalam warga adat hula-hula.
Sedangkan calon pengantin wanita diangkat ke dalam warga namboru (saudara perempuan dari
bapak). Dengan demikian perkawinan adat tersebut tetap dalam jalur assymetrich connubium.
Di lampung:
Laki-laki dari luar suku: dijadikan warga adat kelana (kerabat laki-laki saudara ibu) atau dimasukkan
dalam warga adat kenubi (saudara ibu)
Perempuan dari luar suku: dimasukkan ke dalam keluarga kenubi dan perkawinannya disebut ngakuk
menulung.
5. Perkawinan Lari
Kawin lari terdapat dalam masyarakat Batak, Bugis, Lampung, dan Bali.
Kawin lari dapat dibedakan atas 2:
a. Kawin lari bersama
• Batak: disebut manguluwa
• Sumatera Selatan: belarian
• Bali: ngeroroat/merangkat
• Bugis: silariang
• Ambon: lari bini
• Flores: disebut kawin roko, kawin roko biasanya dengan alasan tidak mampu membayar mas
kawin (pacca) yang tinggi
b. Kawin lari paksaan
KEGIATAN BELAJAR 2
PELAMARAN DAN SISTEM PERKAWINAN
Perkawinan dilakukan dengan dua cara, yakni perkawinan dengan melamar/meminang dan perkawinan
yang dilakukan dengan tidak melamar/meminang.
Sistem Perkawinan
1. Sistem Endogami
Perkawinan hanya dari suku sendiri, terdapat pada Suku Toraja dan masyarakat Ngadhu-bhaga di
Flores Nusa Tenggara Timur.
2. Sistem Eksogami
Perkawinan dilakukan dengan orang dari luar suku keluarganya. Terdapat pada masyarakat Gayo,
Alas, Tapanuli, Minagkabau, Sumatera Selatan, Buru, dan Seram.
3. Sistem Eleutrogami
Tidak mengenal larangan-larangan seperti pada sistem eksogami dan endogami. Larangan
perkawinan atas pertimbangan larangan agama dan kesusilaan.
Larangan Perkawinan
1. Larangan perkawinan menurut Hukum Adat
a. Karena hubungan kekerabatan
b. Karena perbedaan kedudukan
2. Larangan perkawinan menurut hukum agama
a. Karena pertalian darah
b. Karena pertalian perkawinan
c. Karena pertalian sepersusuan
KEGIATAN BELAJAR 3
HARTA PERKAWINAN MENURUT HUKUM ADAT
Hadikusuma
Harta perkawinan adalah semua harta yang dikuasai suami istri selama mereka terikat dalam ikatan
perkawinan, baik harta kerabat yang dikuasai maupun harta perseorangan yang berasal dari harta
warisan.
Di minangkabau harta warisan disebut harta pusaka tidak dapat diwariskan kepada anggota kerabat
hanya boleh dipakai dengan hak memakai disebut dengan ganggam bantiq
2. Harta yang diperoleh atas usaha sendiri dan untuk diri sendiri
a. Di Sumatera Selatan
• Harta pambujang: harta yang diperoleh suami sebelum perkawinan
• Harta penantian: harta yang diperoleh istri sebelum perkawinan
b. Di Minangkabau
Harta pencaharian adalah harta yang diperoleh atas usaha sendiri
MODUL 6
KEGIATAN BELAJAR 1
PENGERTIAN DAN ISTILAH-ISTILAH HUKUM WARIS ADAT
Waris berasal dari bahasa arab Warisa yang artinya mempusakai harta, dan waris artinya adalah ahli
waris. Jadi pengertian waris yang sebenarnya adalah orang yang menerima atau mempusakai harta dari
orang yang telah meninggal dunia.
Ter Haar
Aturan-aturan hukum yang mengenai cara bagaimana dari abad ke abad penerusan dan peralihan harta
kekayaan yang berwujud dan tidak berwujud dari generasi ke generasi.
Soepomo
Memuat peraturan-peraturan yang mengatur proses meneruskan, serta mengoperkan barang-barang
harta benda dan barang-barang yang tidak berwujud benda (immaterial goederen) dari suatu angkatan
manusia (generatie) kepada keturunannya.
Hadikusuma
Hukum waris adat adalah hukum adat yang memuat garis-garis ketentuan tentang sistem dan asas-asas
hukum waris tentang warisan, pewaris dan waris, serta cara bagaimana harta warisan itu dialihkan
penguasaan dan pemilikannya dari pewaris kepada waris.
Dari pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa hukum waris adat merupakan pengaturan tata cara
pengurusan dan pengalihan harta kekayaan dari pewaris yang masih hidup atau yang sudah meninggal
kepada ahli warisnya.