Anda di halaman 1dari 19

BAB I

PENGERTIAN DASAR HUKUM ADAT

1. Istilah
Istilah hukum adat merupakan terjemahan dari istilah Belanda “Adat-Recht”
yang pertama kali dipergunakan oleh SnouckHergronje yang kemudiam dipakai
dalam bukunya yang berjudul “De Atjehers”.

A. Istilah Hukum adat dalam Perundang-undangan


1. Dalam A.B (Alegemene Bepalingen Van Wetgeving) atau Ketentuan-
ketentuan Umum Tentang Perundang-undangan Pasal 11 dipakai istilah
Godsienstiege Wetten, Volksinstellingen En Gebruiken (Peraturan-peraturan
Keagamaan, Lembaga-lembaga Rakyat dan Kebiasaan-kebiasaan).
2. Dalam R.R 1854 pasal 75 ayat 3 disebutkan juga tentang Godsienstiege
Wetten, Volksinstellingen En Gebruiken (Peraturan-peraturan Keagamaan,
Lembaga-lembaga Rakyat dan Kebiasaan-kebiasaan).
3. Dalam I.S (Indische Staatsregeling) atau Peraturan Hukum Negara Belanda
Semacam undang-undang dasar Bagi Hindia belanda, pasal 128 ayat 4 juga
menyebutkan Instellingen Des Volks atau Lembaga-lembaga dari Rakyat.

B. Dikalangan Para Penulis


Sebelum dipakai dalam Perundang-undangan, Adat-recht sudah dipakai
dalam literatur para penulis, antara lain:
1. Nederburch : Wet En Adat.
2. Juynboll : Handleiding Tot De Kenn Is Van De hohammedaanse Wet.
3. Scheuer : Het Personenrecht Voor De Inlanders Op Java En Madura.

C. Dikalangan Rakyat
Dikalangan rakyat jarang dipakai istilah hukum adat, tetapi lazimnya dipakai
istilah adat saja.

1
2. Unsur-unsur Pembentuk Hukum adat
Pada abad ke-19 kita jumpai istilah peraturan-peraturan keagamaan yang
pemakaiannya mencapai kejayaannya pada bagian ke-2 abad 19. Ini merupakan
akibat dari pengaruh teori Van Den berg dan Salmon Keyzer yang mengemukakan
teorinya tentang receptio In Complexu atau penerimaan dalam keseluruhan.

Menurut teori ini, adat-istiadat dan hukum adat suatu golongan hukum
masyarakat adalah receptio seluruhnya dari agama yang dianut oleh golongan
masyarakat itu, suatu golongan masyarakat adalah hasil penerimaan bulat-bulat
dari hukum agam yang dianut oleh golongan masyarakat itu. Menurut Snouck
Hugronje, tidak semua bagian hukum agam diterima oleh hukum adat, hanya
beberapa bagian tertentu saja, yaitu bagian yang hidup dari manusia yang sifatnya
sangat pribadi yang hubungannya erat dengan kepercayaan dan kehidupan rohani
seseorang.

Adapun unsur-unsur hukum adat antara lain unsur asli dan unsur keagamaan.
Unsur asli yang dimaksud adalah hukum yang tidak tertulis yang memberi
pedoman kepada masyarakat dalam kehidupan sehari-hari, dalam hubungan antara
satu dengan lainnya baik di kota maupun di desa. Dibandingkan dengan unsur
yang tidak tertulis, maka bagian unsur yang tertulis ini sangat kecil, tidak
berpengaruh dan sering diabaikan.

Dari uraian diatas, dapat kita definisikan bahwa hukum adat itu adalah
keseluruhan aturan tingkah laku positif yang disatu pihak mempunyai sanksi dan
dipihak lain dalam keadaan tidak dikodifikasikan. Sedangkan menurut Bushar
Muhhamad, menyebutkan hukum adat itu sangat sulit untuk didefinisikan karena
hukum adat itu masih dalam pertumbuhan, hukum adat secara langsung membawa
kita kepada dua keadaan yang justru yang merupakan sifat dan pembawaan
hukum adat itu sendiri, yaitu tertulis atau tidak tertulis, pasti atau tidak pasti, dan
hukum raja atau hukum rakyat.

2
BAB II

DASAR PERUNDANG-UNDANGAN BERLAKUNYA HUKUM ADAT

1. Undang-undang Dasar Republik Indonesia 1945


Dalam UUD 1945 yang dinyatakan berlaku kembali dengan Dekrit Presiden
Tanggal 5 Juli 1959, tidak ada satu pasalpun yang memuat dasar berlakunya
hukum adat. Menurut Aturan Peralihan pasal 2 UUD 1945 tersebut dinyatakan
bahwa “Segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku
selama belum diadakan yang baru menurut UUD 1945”.

2. UUDS 1950
Sebelum berlakunya UUDS 1950, di dalam pasal 104 ayat (1) dinyatakan
bahwa “Segala keputusan pengadilan harus berisi alasab-alasannya dan dalam
perkara hukum tersebut harus memuat aturan-aturan undang-undang dan atau
aturan-aturan adat yang dijadikan dasar hukuma itu”. Tetapi ketentuan yang
memuat dasar konstitusional berlakunya hukum adat itu sampai sekarang belum
diberi peraturan penyelenggaraannya.

3. Indische Staatregeling (IS) pasal 131 jis Regelings Reglement (RR) pasal 75
Baru dan Lama
I.S (Indische Staatregeling) adalah singkatan dari Undang-undang yang
selengkapnya berbunyi: “Wet op de staatsinrichting van nederlands-indie”.
Stb.1925 no.415 jo.no.577 berlaku mulai tanggal 1 Januari 1926.
Regelings reglement (RR) adalah singkatan dari Undang-undang yang
selengkapnya berbunyi: “reglement op het beleid der regering van nederlans-
indie”. Staatblad negara Belanda tahun 1854 no.2, Staatblad Belanda tahun 1855
no.2 jo. No.1.
Dasar perundang-undangan berlakunya hukum adat yang berasal dari zaman
kolonial dan yang pada masa sekarang masih berlaku adalah I.S. pasal 131 ayat
(2) sub.b, yang berbunyi: “Menurut ketentuan tersebut maka bagi golongan
hukum Indonesia asli dan golongan hukum Timur Asing berlaku hukum adat
mereka, tetapi bilamana kepentingan sosial mereka membutuhkannya, maka

3
pembuat ordonansi (yaitu suatu peraturan hukum yang dibuat oleh badan legislatif
pusat/gubernur jendral bersama-sama denagn volksragen) dapat menentukan bagi
mereka:
1. Hukum Eropa
2. Hukum Eropa yang telah dirubah
3. Hukum bagi beberapa golongan bersama-sama, dan apabila kepentingan
umum memerlukannya, dapat pula digunakan
4. Hukum baru (yaitu hukum yang merupakan synthese antara hukum adat
dengan hukum eropa)

Mengenai I.S pasal 131 ayat (2) sub.b ini harus dikemukakan 2 hal, yaitu
ketentuan-ketentuan tersebut adalah suatu pasal kodifikasi, yaitu ketentuan yang
memuat suatu tugas kepada pembuat undang-undang untuk mengadakan
kodifikasi hukum privat bagi golongan hukum Indonesia asli dan golongan hukum
Timur Asing.

Tetapi selama redaksi pasal 131 ayat (2) sub.b I.S ini berlaku sejak 1 Januari
1920 sampai 1 Januari 1926, maka kodifikasi hukum yang diperintahkan kepada
pembuat undang-undang itu belum dilaksanakan.

4
BAB III

HUKUM ADAT SEBAGAI ASPEK KEBUDAYAAN

Dalam wilayah yang sangat luas ini, hukum adat tumbuh dan berkembang,
dianut dan dipertahankan sebagai peraturan penjaga tata tertib sosial dan tata tertib
hukum diantara manusia yang bergaul didalam suatu masyarakat, agar dapat
dihindarkam dari segala masalah dan bahaya yang mungkin atau telah
mengancam.

Hukum adat itu senantiasa tumbuh dari suatu kebutuhan hidup yang nyata,
cara hidup dan pandangan hidup yang keseluruhannya merupakan kebudayaan
masyarakat tempat hukum adat itu berlaku.

Jadi jelaslah sudah bahwa didalam suatu masyarakat terdapat suatu realitas
bahwa suatu proses atau perkembangan mengatur kembali yang lama dan yang
baru, sesuai dengan kehendak, kebutuhan, dan cara hidup serta pandangan hidup
suatu rakyat.

F.D Holleman dalam pidato inagurasinya yang berjudul “De Commune Trek
in het Indonesiche Rechtssvelen” atau Corak kegotong-royongan didalam
kehidupan hukum Indonesia, yang menyimpulkan adanya empat sifat umum
hukum adat Indonesia, yang hendaknya dipandang juga segagai suatu kesatuam.
Adapun keempat sifat tersebut adalah sifat religio-magis, sifat komun, sifat
kontant, serta sifat konkrit.

Sifat religio-magis yang dimaksudkan adalah pembulatan atau perpaduan kata


yang mengandung unsur beberapa sifat atau cara berpikir seperti prelogika,
animisme, pantangan, ilmu gaib, dll.

Sifat komun adalah sifat yang mendahulukan kepentingan umum daripada


kepentingan diri sendiri.

Sifat kontant tersebut diartikan sebagai prestasi dan kontraprestasi yang


dilakukan bersama-sama pada waktu yang bersamaan.

5
Sifat konkrit, pada umumnya dalam masyarakat Indonesia jika melakukan
perbuatan hukum itu selalu konkrit, misalnya dalam perjanjian jual-beli. Jadi sifat
konkrit itu adalah suatu sifat nyata yang dimiliki oleh Hukum Adat Indonesia.

6
BAB IV

PERHATIAN TERHADAP HUKUM ADAT MASA LALU


DAN MASA KINI

Sejarah perhatian terhadap hukum adat itu dilukiskan secara lengkap oleh
Van Vollenhoven dalam bukunya yang berjudul “De Otdekking van het
Adatrecht” tahun 1928. Dalam bukunya itu, Van Vollenhoven memberitahukan
bahwa para sarjan telah menyadari bahwa rakyat Indonesia telah memiliki
sekumpulan peraturan-peraturan yang mengatur tingkah laku, dan juga mengatur
tata hidup dalam bermasyarakat yang menentukan serta mengikat karena memiliki
sanksi.

Bushar Muhammad berpendapat bahwa menyelidiki hukum adat adalah suatu


usaha yang jauh lebih sukar daripada menyelidiki evolusi dalam perhatian dalam
hukum tersebut. Perhatian dalam hukum adata itu tidak hanya terwujud dalam
lahirnya suatu ilmu hukm adat semata, melainkan juga terjelma dalam
dijalankannya suatu politik hukum adat. Pertam oleh VOC kemudian oleh
gouverment Hindia-Belanda dahulu. Yang disebutkan pertama belum mengenal
istilah hukum adat, tetapi telah mengetahui bahwa orang-orang Indonesia tunduk
pada peraturan-peraturan tradisional yang khas, meskipun peraturan-peraturan itu
dianggap peraturan-peraturan agam khususnya agama Islam. Sedangkan yang
kedua pada abad ini baru mengenal istilah Adatrecht. Suatu sejarah politik hukum
yang adat dari tahun 1609 sampai 1928 ditulis lebih luas oleh para sarjana hukum
Indonesia yang sangat terkenal, yaitu Supomo dan Djoko Sutono.

Dari uraian diatas, dapat kita pahami bahwa sejarah perkembangan hukum
adat di Indonesia sangat panjang. Namun selain daripada itu semua, kita jiga harus
mengetahuai ruang lingkup berlakunya hukum adat. Adapaun lingkungan hukum
adat yang berlaku di Indonesia adalah sebagai berikut:
1. Aceh (yang meliputi Aceh Besar, Pantai Barat, Singkel, dan Simeulue).
2. Tanah Garo, Alas dan Batak, Tangah Garo meliputi Garo Lueus, sedangkan
Tanah Batak (Tapanuli) meliputi Tapanuli Utara (Batak Pakpak, Batak Karo,

7
Batak Simelungun, Batak Toba). Sedangkan untuk Tapanuli Selaan meliputi
Padang Lawas, Angkola, dan Mandailing.
3. Nias.
4. Minangkabau dan Mentawai.
5. Sumatera Selatan (yang meliputi Bengkulu, Lampung, Palembang dan
Jambi).
6. Enggano.
7. Tanah Malaju.
8. Bangka dan Belitung.
9. Kalimantan.
10. Minahasa.
11. Gorontalo.
12. Tanah Toraja.
13. Sulawesi Selatan.
14. Kepulauan Ternate.
15. Maluku dan Ambon.
16. Papua.
17. Kepulauan Timor.
18. Bali dan Lombok.
19. Daerah Kerajaan (Surakarta dan Jogjakarta).
20. Jawa Barat (Priangan, Sunda, Jakarta dan Banten).

8
BAB V

SEJARAH POLITIK HUKUM ADAT

Perhatian terhadap hukum adat bermanifestasi kedalam lahirnya suatu ilmu


hukum adat dan pelaksanaan suatu politik hukum adat.

Karya-karya politik hukum itu berupa perundang-undangan mengenai hukum


adat. Sejarah politik hukum adat itu dapat dibagi kedalam 7 periode. Adapun
ketujuh periode tersebut adalah:
1. Masa pendudukan V.O.C (1595-1808)
2. Masa pemerintahan Daendels (1808-1811)
3. Masa pemerintahan Raffles (1811-1816)
4. Masa 1816-1848
5. Masa 1848-1928
6. Masa 1928-1945
7. Masa 1945 samapai sekarang

A. Masa pendudukan V.O.C (1595-1808)


Dipusat pemerintahan dinyatakan berlaku satu stelsel hukum untuk semua
orang dari golongan bangsa manapun, yaitu hukum Belanda, baik hukum tata
negara, hukum privat, maupun hukum pidana. Diluar wilayah itu hukum adat
pribumi tidak diindahkan sama sekali.

Keadaan itu menggambarkan prinsip yang hendak dipertahankan oleh V.O.C


yaitu di wilayah yang dikuasai V.O.C harus berlaku hukum V.O.C juga, baik bagi
orang pibumi maupun orang V.O.C tersebut.

Namun kenyataannya membuktikan bahwa hukum yang berlaku bagi orang


Indonesia asli di wilayah yang dikuasai V.O.C pada umumnya adalah hukum adat,
terkecuali di kota Batavia dan sekitarnya. Dalam resolusi tanggal 21 Desember
1708, pimpinan V.O.C mengakui bahwa prinsip tersebut diatas tidak dapat
dipertahankan dalam praktiknya karena politik yang dititikberatkan pada
pengerukan keuntungan materiil yang sebesar-besarnya itu tidak memungkinkan

9
bagi V.O.C untuk melengkapi aparatur pemerintahannya. Isi resolusi itu
menunjukkan dengan jelas bahwa peradilan asli masih tetap berlaku.

Pembuatan peraturan-peraturan tersebut memperlihatkan bahwa V.O.C masih


belum menentukan hukum adat sebagai hukum rakyat, mengira bahwa hukum
adat itu terdapat dalam tulisan-tulisan berupa kitab-kitab hukum serta
menjalankan politik hukum adat yang oportunistis. Selain daripada itu V.O.C
menganggap bahwa hukum adat itu derajatnya lebih rendah daripada hukum
Belanda. Ini terbukti dari isi resolusi tanggal 30 November 1747 yang
menentukan bahwa Landraad Semarang berwenang mengadili perkara sipil atau
pidana dikalangan orang-orang Jawa.

B. Masa pemerintahan Daendels (1808-1811)


Sesudah V.O.C dibubarkan maka pengurusan atas harta kekayaan Belanda di
Asia ditentukan oleh Dewan Asia. Tugas dewan tersebut diliputi oleh semangat
baru, yaitu harapan bahwa politik pemerintahan akan dilakukan terlepas dari
perhitungan komersil dan akan diadakan perubahan-perubahan untuk
memperbaiki tanah jajahan beserta penduduknya.

Dasar peradilan bagi orang Indonesia ditentukan dalam pasal 86 dari Charter
(peraturan pemerintah) untuk harta kekayaan di Asia yang disahkan oleh
pemerintah Belanda pada tanggal 28 September 1804. Pasal itu menyebutkan
bahwa “Susunan pengadilan untuk golongan Bumiputra akan tetap tinggal
menurut hukum adat mereka”.

Pada pokoknya hukum adat akan diperlakukan untuk bangsa Indonesia.


Namun hukum adat tidak boleh diterapkan jika bertentangan dengan perintah
kemudian dan perintah umum dari penguasa dan dengan asas-asas keadilan serta
kepatutan ataupun bila karenanya dalam perkara-perkara pidana kepentingan dari
keamanan umum tidak terpelihara.

C. Masa pemerintahan Raffles (1811-1816)


Raffles termasuk salah satu perintis penemu hukum adat bersama dengan
Marsden dan Crawfurd. Sejak menjadi petugas Kompeni Hindia-Timur Inggris di

10
Pulau Pinang, Raffles tertarik oleh keindahan dan kekayaan Nusantara beserta
penduduknya, dengan hukum adat serta lembaga-lembaga sosila lainnya.
Pengetahuan yang diperolehnya berdasarkan penyelidikan setempat menjadika
Raffles diangkat menjadi agen politik dalam rangka rencan Inggris untuk merebut
Pulau Jawa dari tangan pemerintahan Belanda. Adapun tugas dari Raffles adalah
mengumpulkan bahan-bahan info yang berguna untuk maksud tersebut,
khususnya mengenai watak penduduk, sumber-sumber kemakmuran dan kadar
pengaruk kekuasaan Belanda, serta mendesa-desuskan isu yang menimbulkan
keonaran diseluruh Nusantara.

Hasil karyanya itu dilaporkan dalam bentuk memories kepada Lord Minto,
perencana dan pelaksana ekspedisi tentara Inggris yang berhasil memancangkan
Union Jack di Pulau Jawa pada tahun 1811.

Yang terpenting dari hubungan ini adalah usul Raffles mengenai


Pemerintahan Inggris agar menempuh cara politik lunak, murah hati dan
menciptakan suasana damai dengan anak negeri, agar mereka tertambat hatinya
kep[ada Pemerintahan Ingrris serta supaya pengaruh Inggris ditingkatkan di
kepulauan ini, sehingga kedudukannya makin kuat, dan juga kalau jajahan
Belanda ini harus dikembalikan sesudah perdamaian Eropa tercapai.

D. Masa 1816-1848
Pada pertengahan tahun 1816 kekuasaan atas Indonesia dipindahkaN dari
tangan pemerintahan Inggris ke tangan pemerintahan Belanda. Penguasa Hindia-
Belanda berpendapat bahwa dalam masa peralihan itu segera akan dapat diadakan
perubahan-perubahan definitif dilapangan kehakiman.

Pemerintah pusat di Belanda sedang sibuk berusaha memenuhi ketentuan


dalam pasal 100 Grondwet yang berbunyi “Akan diadakan sebuah kitab undang-
undang umum tentang ketentuan hukum perdata, hukum pidana dan hukum
dagang serta tentang susunan kehakiman dan hukum acara”. Karena usaha tadi
belum berhasil, maka Komasirasir Jendral berpendapat bahwa lebih baik

11
menunggu berlakunya peraturan hukum di Belanda itu, sebelum mengadakan
perubahan-perubahan yang definitif.

E. Masa 1848-1928
Pada tahun 1983 hasil kodifikasi di Belanda telah menjadi hukum positif
disana. Jadi tahun 1838 itu adalah saatnya bagi penguasa Hindia-Belanda untuk
memulai berusaha membuat peraturan tetap-konkordant untuk kodifikasi di
Belanda yang akan menggantikan peraturan lama dan peraturan sementara dalam
periode di atas. Untuk dapat melaksanakan usaha itu, Hageman, Presiden Hoor-
Gerechtshof pada tahun 1830 diberi tugas istimewa untuk mempersiapkan suatu
rencana kodifikasi hukum bagi Hindia-Belanda.

Tetapi hasrat itu tinggalah hasrat, karena masa tugasnya berakhir tanpa
menghasilkan sesuatu yang positif.

F. Masa 1928-1945
Dalam karangannya “Setengah Jalan Politik Hukum Adat Baru”, Ter Haar
menggambarkan hasil perundang-undangan dilapangan hukum adat itu sebagai
berikut:
1. Peradilan adat di daerah yang diperintah secara langsung, diberi beberapa
aturan dasar dalam ordonansi dan dalam peraturan pelaksanaannya yang
dibuat oleh residen setempat.
2. Peradilan Swapraja diberi beberapa aturan dasar dalam Zelfbestuursregelen
1938, dalam kontrak dan dalam peraturan daerah Swapraja yang
bersangkutan serta peraturan yang dibuat oleh residen setempat.
3. Hakim desa diberi pengakuan perundang-undangan dalam Staatblad 1935-
102 yang menyisipkan pasal 3a ke dalam R.O.
4. Sebagai salah satu hasil usaha untuk memperbaiki peradilan agama, dalam
pasal 134 I.S (vide ayat (2)) diadakan perubahan menurut Staatblaad 1929-53
yang direalisasikan pada tahun 1973. Pada tanggal 1 Januari 1938 didirikan
Mahkamah Urusan Agama Islam sebagai pengadilan banding atas putusan
Pengadilan Agam yang dikenal dengan nama Raad Agama.

12
5. Tanggal 1 Januari 1938 merupakan hari bersejarah bagi hukum adat, karena
pada waktu itu dalam Raad Van Justitie mendirikan Adatkamer (kamar adat)
di kota Jakarta, yang bertugas mengadili dalam tingkat banding perkara-
perkara hukum privat adat yang telah diputuskan oleh Landraden di jawa,
Palembang, Jambi, Bangka-Belitung, Kalimantan, dan Bali. Pembentukan
Adatkamer itu memberi jaminan lebih baik kepada penerapan hukum adat,
sebab persoalan hukum adat tidak lagi dititipkan kepada Civile Kamer di
Raad Van Justitie, sehingga perhatian terhadap hukum adat itu dapat
dicurahkan secara khusus.

G. Masa 1945 sampai sekarang


Sesudah proklamasi kemerdekaan, oleh beberapa sarjan hukum kita yang
terkemuka dibuat spekulasi-spekulasi tentang sifat dan corak hukum yang akan
berlaku di kemudian hari. Sebagian dari mereka menginginkan supaya diadakan
suatu unifikasi hukum modern.

Para sarjana hukum ini menegaskan pentingnya hukum eropa dalam proses
modernisasi masyarakat kita dalam segala segi, sebab hukum itulah tang
merupakan jembatan bagi bangsa dan negara dalam hubungan keluarnya, dan
hukum eropa yang berlaku di Indonesia harus dipandang sebagai hukum nasional,
sebab ia berlaku atas sebagian rakyat yang bukan hanya penduduk tetapi juga
warga negar, termasuk pula bangsa Indonesia asli, serta proses asimilasi ke arah
kebudayaan dan tekhnik barat tidak dapat dihindari lagi. Tetapi dalam proses
asimilasi itu diberikan suatu peranan yang lebih besar kepada hukum adat.

Diantara peraturan-peraturan hukum karya penguasa nasional kita sejak


proklamasi kemerdekaan yang berhubungan dengan hukum adat itu perlu
dikemukakan bahwa antara tahun 1945-1960 terciptanya UU No. 22 Tahun 1946
yang menggantikan “Ordonansi Perkawinan” (Staatblaad 1929-348) yang
mengubah ordonansi perkawinan untuk orang-orang muslim di Jawa dan Madura
serta dibuatnya UU No. 13 Tahun 1948 jo. UU No. 5 Tahun 1950 tentang
“Perubahan Reglemen Sewa Tanah Kerajaan” (Jogjakarta dan Surakarta) yang

13
mana undang-undang ini berbunyi “Menghapuskan tentang hak kebendaan yang
dapat dibebani hipotik” yang berdasarkan Staatblaad 1918-21 jo. 22 dapat
diberikan kepada pengusaha perkebunan yang menjalankan perusahaannya diatas
tanah swapraja Jogjakarta dan Surakarta.

Sedangkan pada tahun 1960 sampai 1961 juga telah diciptakan peraturan
perundang-undangan yang menggantikan rezim hukum tanah yang lama yang
berdasarkan peraturan perundang-undangan agraria tahin 1870. Yang terpenting
diantaranya adalah UU No. 2 Tahun 1960 tantang perjanjian bagi hasil, UU No. 5
Tahun 1960 tentang peraturan dasar pokok-pokok agraria (Undang-undang Pokok
Agraria), dan Perpu No. 56 Tahun 1960 tentang penetapan luas tanah pertanian,
serta P.P No. 10 Tahun 1961 tantang pendaftaran tanah.

14
BAB VI

PENGGOLONGAN RAKYAT

Lingkungan kuasa hukum adat yang berbatasan dengan badan pribadi itu
pada pokoknya mengikuti batasan penggolongan rakyat. Oleh karena itu untuk
memperoleh gambaran yang jelas mengeanai luas lingkungan berlakunya hukum
adat terlebih dahlu kita harus mengetahui persoalan penggolongan rakyat tersebut.

Masalah penggolongan rakyat tersebut tidak diatur dalam UUD 1945,


melainkan dalam I.S pasal 163. Menurut I.S pasal 163, di dalam hukum Indonesia
terdapat 3 golongan rakyat yaitu golongan bumiputera, golongan eropa dan
golongan timur asing.

Yang termasuk dalam golongan bumiputera adalah mereka yang terhitung


rakyat asli Indonesia, yang tidak pernah berpindah ke golongan lain. Dan mereka
yang semula golongan lain, tetapi telah menyatu ke dalam golongan bumiputera.

Yang termasuk golongan eropa adalah orang-orang Belanda, orang bukan


Belanda yang berasal dari eropa, oarang Jepang, dan orang-orang lainnya yang di
negara asalnya berlaku hukum keluarga yang pokoknya berdasarkan asas yang
sama dengan asas hukum keluarga Belanda, yaitu asas perkawinan monogami dan
terlaksana atas persetujuan kedua belah pihak serta keturunan orang-orang
tersebut yang sah atau diakui oleh undang-undang, yang dilahirkan di Indonesia.

Dan yang termasuk golongan timur-asing adalah semua orang lainnya seperti
orang cina, arab, india, pakistan, siam , dll.

Dalam golongan orang timur asing terdapat orang-orang yang termasuk


warganegara Indonesia dan ada pula yang termasuk orang asing.

15
BAB VII

LUAS BERLAKUNYA HUKUM ADAT

Untuk mengetahui luas berlakunya hukum adat, berturut-turut akan ditinjau


isi kedua ketentuan hukum positif di masa berlakunya masing-masing, beserta
pelaksanaannya.

Dalam Indische Staatregeling pasal 131memerintahkan kodifikasi untuk


seluruh rakyat. Sifat kodifikasi itu diserahkan kepada pembuat ordonantie (pasal
1). Perintah itu belum terlaksana sepenuhnya, pada saat jatuhnya pemerintah
Hindia-Belanda, disamping hukum kodifikasi, juga masih berlakunya hukum adat
bagi golongan bumiputera dalam seluruh lapangan hukumprivat, bagi golongan
timur asing bukan cina (dalam beberapa lapangan hukum tertentu dari hukum
privat).

Di lapangan hukum materiil terdapat beberapa kodifikasi di bidang hukum


privat, antara lain dalam Burgelijk Wetboek (S.1847-23), Wetboek van
Koophandel (S. 1847-23) dan Faillinssements-Verordening (S.1905-217 jo. 1906-
348).

Sedangkan di lapangan hukum pidana, juga terdapat beberpa kodifikasi


hukum, antara lain Wetboek van Strafrecht (S.1915-735) jis. 1917-497, 645.
Kodifikasi ini berlaku untuk semua golongan rakyat bersama-sama kecuali di
daerah-daerah yang telah mempunyai peradilan sendiri. Wetboek van Strafrecht
itu dibuat tahun 1915 sebagai satu kodifikasi ketunggalan dari semua golongan
rakyat, menjelang berlakunya pasal 75 R.R yang kemudian menjadi pasal 131 I.S
yang telah dimuat dalam Staatblaad 1907-204 tetapi baru mulai berlaku pada
tanggal 1 Januari 1920, sedangkan Wetboek van Strafrecht sendiri mulai berlaku
pada tanggal 1 Januari 1918, jadi mendahului berlakunya pasal 75 R.R yang
memungkinkan adanya kodifikasi ketunggalan tersebut.

Pada tanggal 1 Januari 1920, saat mulai berlakunya pasal 75 baru R.R
penetapan bagian hukum benda, hukum perutangan, hukum bukti, hukum akibat

16
lampaunya waktu dan hukum kepailitan tidak berlaku lagi bagi golongan timur
asing di daerah Jawa dan Madura, Sumatera Barat, Tapanuli, Bengkulu, Sumatera
Timur, Manado, sulawesi dan Ambon, serta Ternate.

Adapun alasan dari tidak berlakunya Staatblaad 1855-79 adalah karena


peraturan Staatblaad 1855-79 sejak 1 Maret 1925 berlaku untuk daerah-daerah
yang tidak disebutkan tadi, kecuali untuk Kalimantan bagian barat karena
peraturan tersebut sudah mulai berlaku tanggal 1 September 1925 dan juga karena
untuk orang timur asing bukan cina diadakan penerapan baru dengan peraturan
Staatblaad 1924-556 yang mulai berlaku 1 Maret 1925.

Menurut bab I pasal 1 peraturan Staatblaad 1917-129 (jis. 1919-81, 1924-


557, 1925-92) kepada orang cina diterapkan peraturan sebagai berikut yaitu B.W,
WvK, Rv, beberapa ketentuan dari Ov, dan Fv. Penerapan tersebut disertai
beberapa pengecualian, dari BW yang dikecualikan penerapannya adalah buku I
bab 2 dan bab 4 bagian 2 dan 3, pasal 71 nomor 6, pasal 74 dan 75 yang
digantikan dengan 3 ketentuan lain, pasal 52 dan 75 (berdasarkan penunjukan oleh
pasal 99), pasal 258/2 (yang digantikan dengan ketentuan lain) dan pasal 1853/2
(yang digantikan dengan ketentuan lain).

Selain daripada pengecualian tersebut diatas, golongan timur asing diberikan


beberapa aturan istimewa antara lain kongsi dan pemungutan anak atau adopsi
yang merupakan kebutuhan nyata bagi golongan timur asing cina.

17
BAB IX

POLA DASAR ORGANISASI MASYARAKAT

Fungsi dan organisasi masyarakat hukum itu merupakan suatu peranan vital
dalam keberlangsungan hukum adat di Indonesia. Fungsi dan organisasi
masyarakat hukum itu selaku bingkai yang turut menentukan kepribadian
kesatuan hukum adat setempat yang dipagarinya, ataupun selaku peta denah dari
halaman kerjanya.

Jadi dapat disimpulkan bahwa masyarakat hukum adalah suatu kesatuan


kemasyarakatan yang mempunyai kewibawaan didalam pembentukan,
pelaksanaan dan pembinaan hukum itu sendiri. Dan daripada itu semua yang
dikemukakan sebagai masyarakat hukum didalam uraian Van Vollenhoven
mengenai hukum adat Jawa pusat adalah masyarakat yang membentuk sendiri,
sebagai contoh nyatanya adalah perhimpunan bumiputera atau pesamuan kristen
bumiputera.

Suatu masyarakat pastilah memiliki unsur-unsur pembangun organisasi


masyarakat. Adapun unsur-unsur pembangun organisasi masyarakat ada 3 jenis,
yaitu organisasi desa, ketunggalan silsilah, dan paguyuban hidup.

Organisasi desa dapat diartikan sebagai suatu kesatuan kemasyarakatan


berdasarkan ketunggalan wilayah dalam hal ini desa, yang organisasinya
didasarkan atas tradisi yang hidup dalam suasana rakyat dan mempunyai suatu
badab tata urusan pusat yang berwibawa diseluruh lingkungan wilayahnya. Ia
merupakan kesatuan wilayah terbesar dalam suasana rakyat dan merupakan
organisasi pemerintahan sepanjang dalam organisasi tersebut terdapat
pemerintahan. Adapun jenis-jenis dari organisasi desa tersebut adalah desa
bersentralisasi, desa berdesentralisasi dan serikat desa.

Ketunggalan silsilah lazimnya diartikan sebagai kewangsaan. Namun makna


dari ketunggalan silsilah itu dapat diselidiki dari hal-hal berikut:

18
1. Ketunggalan silsilah ini dapat dilacak dari satu orang leluhur saja, yaitu sang
pemuka yang menjadi peletak garis dasar keturunan.
2. Ketunggalan silsilah ini juga dapat dilacak dari seorang yang terkemuka tanpa
pembatasa beberapa generasi jauhnya.
3. Ketunggalan silsilah ini lazimnya diperhitungkan melalui suatu rantai
keturunan istimewa yang menuju kepada satu leluhur saja.
4. Dimungkinkan juga garis keturunan yang menetukan ketunggalan silsilah itu
dilacak melalui garis keturunan yang tidak berkententuan.

Ketunggalan silsilah umumnya menggabungkan para anggotanya dalam suatu


kolektivitas. Masing-masing dari kesatuan silsilah itu tidak mempunyai organisasi
yang pasti namun merupakan golongan yang nyata karena menimbulkan rasa
solidaritas dari para anggotanya. Lazimnya ketunggalan silsilah ini dapat kita
jumpai di Sumatera dan indonesia bagian timur (dikalangan suku bangsa Batak, di
Pasemah-Lebar dan Pasemah Ulu-Lencang, serta di Pulau Buru, Seram dan timor)
di kalangan suku bangsa Minangkabau, dan di Kalimantan khususnya dikalangan
suku bangsa Dayak dan Toraja di Sulawesi.

Paguyuban adalah suatu hubungan dimana orang yang satu mengahadapi


yang lain sebagai tujuan. Perekat dalam hubungan itu adalah berbagai perasaan
seperti cinta, kasih, sayang, solidaritas, dll terlepas dari perhitungan laba-rugi
untuk diri sendiri.

Sedangkan paguyuban hidup adalah suatu paguyuban dimana perhatian orang


yang satu dengan orang yang lain ditujukan kepada hal yang penting baginya
dalam kehidupan dan penghidupannya dan pada hakikatnya tanpa pengecualian.
Atau dengan kata lain suatu paguyuban hidup adalah suatu kebulatan
kemasyarakatan dimana masing-masing anggotanya merasa saling membutuhkan,
karena para anggotanya merasa dapat memenuhi segala tuntutannya dan merasa
memperoleh jaminan bahwa segala hasrat dan kebutuhannya yang wajar akan
memperoleh perhatian yang sepadan serta akan dipenuhi menurut kemungkinan
yang ada.

19

Anda mungkin juga menyukai