Anda di halaman 1dari 28

BAB I

PENDAHULUAN
1. MENGENAL ADAT
Adat terambil dari bahasa arab yang memiliki arti “ kebiasaan yang dilakukan secara
terus menerus yang menjadi kepribadian sesuatu bangsa. Yang menjilma menjadi jiwa bangsa
yang bersangkutan itulah dari abad ke abad. Sehingga setiap bangsa di dunia ini memiliki
adat istiadat kebiasaan kebiasaan dan budaya sendiri sendiri yang satu dengan yang lainnya
tidak sama.
Di negara RI ini yang memiliki 37 propinsi dan berbagai kepulauan yang terdiri dari
berbagai suku-suku bangsa yang berbeda-beda, namun memiliki kesamaan sifat yang satu
yaitu ke-Indonesiaan. Oleh karena itu, adat bangsa nusantara ini di katakan “ Bhinneka “
(berbeda-beda di daerah suku-suku bangsanya), tapi tetap “tunggal ika” (tetap satu juga, yaitu
dasar dan sifat ke- indonesiaannya).
Adat bangsa nusantara yang “ Bhinneka tunggal ika “ ini tidak pernah mati, melainkan
selalu berkembang dinamis, bergerak, berivolusi mengikuti proses perkembangan peradapan
bangsanya. Hal inilah yang justru menjadi sumber kekuatan yang menjadi daya tarik yang
mengagumkan bagi hukum adat kita. Sehingga dapat disimpulkan bahwa adat kebiasaan itu
merupakan hukum rakyat nusantara yagn dipatuhi demi tertibnya pergaulan masyarakat.
Hukum rakyat pribumi tersebut tidak dibuat (by Design), tetapi lahir, tumbuh dan
berkembang dari suatu masyarakat sederhana yang tercermin pada sikap tingkah laku
individu – individu ke masyarakat kompleks, yang memiliki akibat hukum (sanksi) bagi para
pelanggarnya.

2. APAKAH HUKUM ADAT ITU?


Ada beberapa pendapat oleh ahli hukum adalah sebagai berikut :
a. Prof. Dr. Supomo, SH. :
“ hukum yang tidak tertulis dalam peraturan-peraturan legislatif (unstatutory law).
Namun ditaati dan di dukung oleh rakyat berdasar keyakinan, bahwasanya peraturan-
peraturan tersebut mempunyai kekuatan hukum.
b. Dr. Sukanto :
“ kompleks adat-adat yang kebanyakan tidak ditabkan, tidak di kodifikasi dan
bersifat paksaan, mempunyai sanksi, jadi memiliki akibat hukum.
c. Prof. M.M Djojodogoeno. SH. :
“ hukum yang tidak bersumber pada peraturan-peraturan resmi “.
d. Prof. Mr. C. Van Volenhoven.
“ Hukum yan tidak bersumber kepada peraturan-peraturan yang di buat oleh
pemerintah Hindia Belanda dahulu atau alat-alat kekuasaaan lainnya yang menjadi
kekuasaan belanda dahulu”.

1
3. UNSUR-UNSUR HUKUM ADAT
Hukum adat memiliki dua unsur yaitu :
1. Unsur kenyataan : bahwa adat itu dalam keadaan yang sama selalu di indahkan oleh
rakyat.
2. Unsur psykologis, bahwa terdapat adanya keyakinan pada rakyat, bahwa adat
dimaksud mempunyai kekuatan hukum.
Kedua unsur inilah yang mendorong timbulnya adnya kewajiban hukum ( opinio
Yuris Necessitatis ).

4. BIDANG-BIDANG HUKUM ADAT


Hukum adat meliputi :
a. Hukum negara
b. Hukum tata usaha negara
c. Hukum pidana adat
d. Hukum perdata adat
e. Hukum antar bangsa adat.
Dari semua macam hukum adat tersebut di atas, hanya hukum perdata adat materiil
lah yang tidak terdesak- terdepak oleh kolonial penjajah belanda dan jepang, yang
hingga kini masih eksis berlaku, meski mengalami pengaruh yang tidak sedikit dari
arus modernisasi.

5. TIMBULNYA HUKUM ADAT.


Mulai kapan suatu peraturan adai-istiadat ( Tradisi ) yang hidup di dalam masyarakat itu
dapat diakui sebagai peraturan hukum adat ??
Van Volenhoven pendapat :
“ apabila peraturan-peraturan adat, tindakan-tindakan yang oleh masyarakat adat
dianggap patut dan mengikat para penduduk “serta ada” perasaan umum yang
menyatakan, bahwa peraturan-peraturan itu harus dijaga dan dipertahankan oleh kepala
adat dan petugas lainnya, “maka sejak itulah peraturan adat itu bersifat hukum adat”.
Sementara Ter Haar berpendapat :
“ sejak adanya “ penetapan-penetapan oleh para petugas hukum” itulah suatu peraturan
adat/ kebiasaan mendapatkan sifat hukum, maka saat penutupan itulah “ esistential
momentnya (lahirnya hukum itu).
Jadi bedanya antara pendapat Vollenhoven dengan Ten Haar adalah suatu norma itu
memiliki sifat hukum atau tidak? Tergantung kriterianya dan syarat-syaratnya.
Vollenhoven syarat yang harus terpenuhi adalah :
1. Kebiasaan/ tradisi tersebut harus sudah diikuti dan dipatuhi oleh setiap orang.
2. Adanya keyakinan, bahwa kebiasaan/ tradisi tersebut memiliki dampak kekuatan
hukum.

Sementara Ten Haar berpendapat cukuplah apabila terpenuhi syarat :

1. Adanya sebuah penetapan-penetapan oleh petugas hukum adat, atau petugas hukum
lain yang berwenang.

2
6. SEJAK MULAI KAPAN ISTILAH “ HUKUM ADAT “ ITU DIPAKAI?
Sejarah mencatatnya sejak tahun 1747 – pada waktu VOC ( vereenigde – Oostindische
compagnie atau perserikatan perusahaan hindia timur) sudah ada upaya-upaya serius
untuk mengakui hukum adat dari kaum pribumi atau bumi putra sebagai hukum aslinya
pribumi.
Namun secara resmi pada tahun 1929 pemerintah belanda mulai mengakui eksestensi
hukum adat nusantara ini dan bahkan mulai menggunakan istilah hukum adat dengan
sebutan “ adat recht “ yang masuk dalam peraturan perundang-undangan bangsa eropa di
indonesia ini, dalam indeshc staats regiling (IS) pasal 134 (2).

BAB II
3
SEJARAH HUKUM ADAT
Berbicara tentang sejarah hukum adat, maka kiranya dapat di klasifikasikan sebagai berikut :

a. Sejarah proses pertumbuhan (perkembangan) hukum adat itu sendiri.


b. Sejarah kedudukan hukum adat, sebagai masalah politik hukum, ke dalam
pembangunan hukum nasional.

Proses perkembangan hukum adat.

Pada hakekatnya peraturan adat-istiadat nusantara ini, sudah terdapat sejak jaman
kuno, zaman pra hindu yang oleh para pakar hukum adat disebutnya “ adat-adat melayu –
polinesia “. Sebagai cikal bakal rumusan asli penduduk pribumi pertiwi ini.

Namun lambat laun, mulai berdatangan di kepulauan kita inil. Bangs india dengan
kultur hindunya, kemudian bangsa gujarat dengan kultur ke islamannya, dilanjut kemudian
bangsa kolonial eropa inggris dan belanda dengan kultur kristennya, yang masing-masing
berasimilasi mempengaruhi kultur asli tersebut. Dan justru pengaruh kultur-kultur para
pendatang sebagai tersebut diatas yang sangat besar dan mendominasi, sehingga akhirnya
kultur asli yang sejak lama menguasai tata kehidupan masyarakat indonesia ini, terdesak,
terdepak dan tersingkirkan oleh kultur para tamu-tamu nusantara ini.

Prof. Mr. C. Van Volenhoven, dalam bukunya “ het adatrecht van nederland indie”

Mengambarkan huku madat beserta unsur-unsurnya sebagai berikut :

“inlands recht”

(Hukum adat atau hukum pribumi)

Yang tidak ditulis yang di tulis


(jus non-scriptum) (jus-scriptum)

Hukum asli penduduk ketentuan-ketentuan hukum agama

Berbeda dengan pendapat Van Volenhoven, adalah pendapat ahli hokum Mr. L.W.C. Van
den berg yang menjabat sebagai penasihat pemerintah kolonial belanda yang juga sebagai
guru besar di Delft, ia menengahkan suatu teori tentang hokum adat yang terkenal dengan
“Teori Receptio in Complexu” yang menyatakan “ selama bukan sebaliknya dapat
dibuktikan, menurut ajaran teori ini, hokum pribumi ikut agamanya, dengan alas an karena
memeluk agama harus pula mengikuti hukum-hukum agama itu dengan setia dan tulus.
Kalau ada hal-hal menyimpang daripada hukum agama yang bersangkutan, maka hal itu
dianggapnya sebagai “ perkecualian/ penyimpangan, daripada hukum agama yang telah
dianut dan di terima secara keseluruhan itu.

4
Maka Vanden berg mengambarkan hukum adat sebagai berikut :
Hukum adat

Hukum agama Penyimpang-Penyimpangannya

Faktor-faktor yang mempengaruhi proses perkembangan hukum adat.


Disamping iklim dan kondisi alam juga watak bangsa yang bersangkutan, maka faktor-faktor
terpenting yang mempengaruhi proses perkembangan hukum adat adalah :
1. Magi dan animisme
2. Agama
3. Kekuasaan-kekuasaan yang lebih tinggi dari persekutuan hukum adat
4. Hubungan dengan orang-orang ataupun kekuasaan asing

BAB III
SEJARAH HUKUM ADAT DALAM POLITIK HUKUM DAN DALAM
PEMBANGUNAN HUKUM NASIONAL

5
1. HUKUM ADAT ERA KOLONIALISME BELANDA
Suasana disekitar tahun 1848, adalah sangat dikuasai oleh trend pemujaan nilai dan
kepentingan kodifikasi. Hal inilah yang mendorong dan menjadi sebab utama adanya gagasan
permulaan untuk mengantikan hukum adat ke hukum kodifikasi barat. Orang pertama yang
mendapat tugas itu dari pemerintahan kolonial belanda adalah Mr. Wirhers, presiden
mahkamah agung hindia belanda saat itu. Namun upaya-upaya wacana kadifikasi tersebut
gagal, karena hukum barat tidak cocok dengan bagi bangsa indonesia.
Pada tahun 1914 pemerintahan belanda dengan tidak menghiraukan amandemen
insinga, mengumumkan wacana KUH perdata bagi seluruh golongan penduduk di indonesia,
namun wacana tersebut mendapat tentangan keras oleh Van Vollenholen.menurut Van
Vollenholen “ hukum bumi pertiwi ini tidak perlu diperbaharui, karena hanya bumi putra
sendiri yang memahami hukumnya mereka sendiri”, dimana hukum adat telah mendarah –
mendaging – menjiwai perilaku mereka sehari-hari. Berkali-kali hukum adat nusantara ini
mendapati dan menerima percobaan-percobaan yagng bertubi-tubi namu nsemuanya berakhir
dengan kegagalan. Pertanyaannya apa sebab semua upayanya tersebut?
Sebab kegagalan semua rencana dan upayanya tersebut diatas adalah karena
kenyataan, bahwasanya tidak mungkin, bangsa indonesia yang merupakan bagian terbesar
dari penduduk nusantara ini, harus tunduk kepada hukum yang sebagian besar disesuaikan
pada kebutuhan bangsa eropa, dimana bangsa eropa ini hanya merupakan bagian terkecil saja.
Hingga bangsa indonesia ini tidak bisa dimasukkan dalam golongan eropa di lapangan hukum
privat.
Pandangan dari Van Vollenholen dan kawan-kawannya, akhirnya di akomodir oleh
pemerintah kolonial belanda dengan tetap memberi ruang bagi hukum adat untuk hidup bagi
bangsa pribumi asli ini. Hingga kini, pandangan Van Vollenholen ini dipertahankan sebagai
wujud gagasan yang berpihak pada hukum pribumi ini.
Dari sini study politic tampaknya menyimpulkan, bahwa pemerintah hindia belanda
tidak pernah berkehendak melindungi masyarakat hukum adat. Pengakuan terhadap hukum
adat, sesungguhnya masih dalam skenario politic “ devide et impera “ (memecah belah dan
menguasai), untuk menundukkan masyarakat pribumi. Misal pengakuan hukum adat dengan
cara tidak mengkadifikasikannya, adalah strategi terbaik yang harus mereka pilih, agar
terhindar dari biaya yan tinggi dan aman gejolak sosial dari bangsa pribumi. Hal ini di
kuatkan oleh tulisan-tulisan Van Vollenholen sendiri yang secara tegas menyatakan “
pengakuan terhadap hukum adat adalah merupakan pilihan yang beresiko lebih rendah, dari
pada mengkai islam yang secara kelembagaan memiliki kekuatan politik yang lebih solid
( hukum bergerak : 227 )

2. HUKUM ADAT DI ERA KEMERDEKAAN


Setelah indonesia merdeka tepatnya tanggal 17 agustus 1945, keesokan harinya di
undangkan UUD 1945, sebagai landasan pijak bernegara dan berpemerintahan RI, yang

6
terdiri 37 pasal dan 2 aturan peralihan, dan ketentuan yang terakhir ( pasal 11 aturan
peralihan ) UUD 1945 inilah yang menjadi dasar hukum formal berlakunya hukum adat di
indonesia ini : “ segala badan negara dan peraturan yang ada masih berlaku, selama belum
diadakan yang baru menurut UUD ini”.
Pada era orla, keberadaan hukum adat belumlah mendapatkan tempat teristimewa di
negeri ini, politic hukum yang diaplikasikan masih identik dan melanjutkan pada era-era
sebelumnya, yaitu komonitas tua seperti masyarakat adat, dianggap melebar ke dalam negara
baru indonesia (state) karena di ilustrasikan sebagai bangsa (nation) yang bersatu, sehingga
berkonsekwensi logis hukum adat tentang konsep hak ulayat masyarakat adat, dianggap dan
di angkat menjadi “ ulayat nasional ”, lewat konsep hak menguasai negara. Artinya ketika
negara hadir, ulayat komunal harus diam, bungkam, beralih dan bergeser ke pemerintah pusat
selaku penguasa pemerintahan tertinggi.
Begitu halnya pada era orba, adat hanya sebagai ideologi untuk menyokong paham
integnalistic negara NKRI, sehingga hanya negaralah yang memiliki kesempatan hak
(hukum yang bergerak :230), namun demikian era orba ini masih memberikan ruang untuk
hidup bagi hukum adat yaitu dengan diundangkannya UUD 14 th 1970 tentang ketentuan
pokok-pokok kehakiman, dimana dalam Ps 230) dan Ps 27(1) memberikan ruang segar bagi
eksestensi keberlangsungan hidup hukum adat pribumi ini.
a) Ps 230) “ segala putusan pengadilan selain harus memuat alasan-alasan dan pasal-
pasal putusan itu, juga harus memuat pada pasal-pasal tertentu dari peraturan yang
bersangkutan atau sumber hukum “tak tertulis” yang dijadikan dasar untuk
mengadili ”
b) Ps 27(1) “ hakim sebagai penegak hukum dan keadilan, wajib menggali,
mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat “.
Dimana dalam penjelasan umum uu no 14/1970. Bagian 7 memberi petunjuk,
bahwa yang dimaksudkan dengan hukum tak tertulis dalam uu tersebut adalah
hukum adat.
Dan Ps 2(1) UU. No.1/ 1974 tentang perkawinan yang menyebutkan: perkawinan
adalah sah apabila dilakukan menurut hukum agama dan kepercayaan masing-masing.

Sementara era pasca reformasi, trend arus globle dan seiring dengan tuntutan politic
lokal maupun nasional, memaksa rezim ini untuk dapat membalik arah bandul system
pemerintahan dari sentralistic ke desentralistic (otonomi daerah), dimana pada sistem beru
pemerintahan ini dapat mengakomodasi tuntutan masyarakat adat dan nilai-nilai hukum
adatnya ke dalam instrumen-instrumen kebijakannya.
Era reformasi ini sedikit memberikan responsifnya, yang sekurang-kurangnya di
tandai :
Pertama : dengan disebutkannya “hukum adat” dalam UUD 1945 yang menjadi konstitusi di
republik ini : pertama Ps 18 B (2) UUD 1945 “ negara mengakui dan menghormati kesatuan-
kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan
sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip NKRI, yang diatur dalam UU dan Jo Ps
281(3) UUD 1945”
“ identitas budaya dan hak masyarakat tradisional di hormati selaras dengan perkembangan
zaman dan peradaban “.

7
Rezim ini pun hadir dengan memberi isyarat-isyarat bagi eksistensi masyarakat hukum adat,
paling tidak dengan empat (4) hal :
1. Sepanjang masih ada ;
2. Sesuai dengan perkembangan zaman ;
3. Dalam NKRI ;
4. Berdasarkan UU yang berlaku.
Kedua : ketetapan MPR no. XVII/ MPR/1998 tentang hak asasi manusia dimana ketetapan ini
mengakui dan melindungi eksistensi masyarakat hukum adat, sebagaimana tertuang dalam
pasal 32 yang menyebutkan : setiap orang berhak mempunyai hak milik dan pasal 41
disebutkan bahwa identitas budaya masyarakat tradisional termasuk hak ulayat, dilindungi
selaras dengan perkembangan jaman.
Ketiga : UU no. 4/ 2004 tentang kekuasaan kehakiman pada Ps 28(1) dan Ps 16(1) yang
berbunyi sebagai berikut :
Ps 28(1) “ hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa
keadilan yang hidup dalam masyarakat “
Ps 16(1) “ pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu
perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan
wajib untuk memeriksa dan mengadilinya ”.
Prinsip di balik pasal-pasal tersebut di atas adalah bahwa hakim wajib memriksa dan
mengadili perkara perdata/ perdata adat yang di ajukan kepadanya, meskipun hukum belum
mengaturnya secara kongkrit.
keempat : UU no. 22/ 2001 tentang minyak gas bumi dan UU no. 27/ 2003 yang juga
menggunakan istilah kata “ masyarakat adat “
kelima : UU no. 24/ 2003 tentang MK pada pasal 51(1) huruf B juga menggunakan kata
hukum adat. B, kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan
perkembangan masyarakat dan prinsip NKRI.
keenam : UU no. 32/ 2004 tentang PEMDA pada PS 203(3) : Pemilihan kepala desa dalam
kesatuan masyarakat hukum dapat beserta hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan
yang diakui keberadaanya berlaku ketentuan, “Hukum adat setempat“, yang ditetapkan dalam
PERDA dengan berpedoman pada peraturan pemerintah.
ketujuh : UU no. 10/ 2009 tentang kepariwisataan pada pasal 25 huruf a dan PS 26 huruf a, “
setiap wisata berkewajiban menjaga dan menghormati norma-norma agama, adat-istiadat,
budaya, dan nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat “. Dan masih banyak lagi di dalam UU
organik lainnya.

3. NILAI-NILAI UNIVERSAL DALAM HUKUM ADAT.


Adapaun nilai-nilai tradisional yang terdapat dalam hukum adat adalah sebagai berikut :
a. Asas gotong royong
b. fungsi sosial manusia dan hak milik dalam masyarakat

8
c. asas persetujuan sebagai dasar kekuasaan umum
d. asas perwakilan dan permusyawaratan dalam sistem pemerintahan.

BAB IV
SISTEM HUKUM ADAT

9
1. SENDI-SENDI (ASAS-ASAS) HUKUM YANG MENJADI LANDASAN
HUKUM ADAT
Tiap-tiap hukum merupakan suatu sistem atau kompleks norma yang menjadi
pengejawen takan daripada kesatuan alam pikiran yang hidup dalam mesyarakatnya
(volks geist) jiwa-semangat rakyatnya. Sedang sistem hukum adat Nusantara, tentu
bersendikan alam pikiran yang menjiwai bangsa ini yaitu “ Pancasila “ yang sudah
barang tentu pula berlainan dengan alam pikiran bangsa-bangsa eropa (barat), yang
liberalistic – individualistic - modern itu, hukum adat pribumi ini memiliki corak-corak
dan karakteristik sebagai berikut :
a. Mempunyai sifat kebersamaan atau komunal yang kuat. Artinya, bahwa manusia
menurut hukum adat merupakan dalam ikatan kemasyarakatan yang sangat erat,rasa
kebersamaan ini meliputi seluruh lapangan hukum adat. Contoh : Gugur Gunung.
b. Mempunyai corak religius magis tradisional yang berhubungan dengan pandangan
hidup alam indonesia, misal : Sesajen, Ruwatan Desa dll.
c. Hukum adat di liputi oleh pikiran penataan serba kongkrit; artinya hukum adat sangat
memperhatikan kualitas banyaknya dan berulang-ulangnya perhubungan-
perhubungan hidup yang kongkrit, misal : jual, apabila ada tindakan pembayaran
kontan dan penyerahan barang.
d. Hukum adat mempunyai sifat visual, artinya bahwa perbuatan dan perhubungan
hukum, dianggap hanya terjadi, oleh karena ditetapkan dengan suatu ikatan yang
dapat di lihat mata, misalanya : Paningsit – Panjer – Ijab - Qobul dll.
Yang membedakan tajam sistem hukum barat eropa dengan hukum adat timur
adalah disebabkan karena :
a. Corak serta sifat yang berlainan antara hukum adat (timur) dan hukum barat.
Hukum barat itu Formal (Negara), Nasional, Moderat Globalisme, terstruktur-
prosedural dan canggih (modern) serta keras (lex dura), sementara hukum adat itu
tradisional, akomodatif, rekonsiliatif dan keintegratif (mendamaikan), sehingga
mengurangi stigma yang keras dalam penghukuman. (Satjipta Rahardjo, Membedah
Hukum Progresif :108)
b. Pandangan hidup yang mendukung (volksgeist) kedua macam hukum tersebut
berlainan : liberalis, individualis modern dengan religius- sosialis- tradisional.

2. CORAK CIRI KHAS SISTEM HUKUM ADAT.


Untuk memahami sistem hukum adat, maka perlu memahami corak dan ciri
khasnya, adapun ciri khas dari hukum adat adalah sebagai berikut :
a. Tradisional
b. Keagamaan ( magis religius)
c. Kebersamaan – kegotong royongan
d. Kongkrit dan visual, terang dan tunai
e. Terbuka dan sederhana
f. Lentur dan menyesuaikan diri
g. Tidak kodifikasi
h. Musyawarah dan mufakat.

10
3. PERAN DAN FUNGSI HUKUM ADAT DALAM PEMBANGUNAN
HUKUM NASIONAL.
Indonesia memang pernah dijajah oleh belanda ± 350 Tahun, dimana kolonial
belanda, bukan saja monopoli SDA dan perdagangan, tapi juga politic, agama dan
budaya tak luput dari jangkauan powernya, tidak terkecuali bidang hukum warisan
dengan asas konkondasinya, sehingga tidak dapat tidak, indonesiapun menganut civil law
system yang menempatkan per-UUan sebagai sumber hukum yang utama. Sehingga
segala bentuk pengembangan hukum, baik itu pembentukan hukum (richts vorming)
yang dibuat oleh legislatif bersama eksekutif, maupun penemuan hukum (richts vinding)
yang di produksi oleh majelis hakim-MA, maka pertama kali (utama) yang dijadikan
acuan adalah peraturan Per-UUan sebagai hukum tertulis, baru ketika peraturan Per-
Uuan tidak mengaturnya, maka hukum adat dijadikan sebagai sumber hukum, begitu
pula halnya ketika terjadi pertentangan antara pengaturan dalam peraturan Per-UUan
dengan hukum adat, maka yang diberikan Prevelage (keistimewaan) sebagai rujukan
adalah peraturan Per-UUan.
Namun demikian esensi dan eksistensi Hukum Adat mendapat tempat yang
begitu penting dalam proses pembangunan Hukum Nasional di negeri ini, mengapa
demikian? Karena peraturan Per-UUan hanya berlaku efektif dan baik, apabila sekurang-
kurangnya harus memiliki tiga landasan (kaedah) peraturan Per-UUan yaitu landasan
(Kaidah), Yuridis, Filosofis dan Sosiologis. Yang terakhir inilah yang memberikan ruang
msuknya nilai-nilai Hukum Adat ke dalam sistem Per-UUan nasional kita, dengan kata
lain selain logika yuridis, filosofis ada pula yang tak kalah pentingnya yaitu “Logika
Kepatuhan Sosial”, sebagaimana bunyi Ps 2 UU pembentukan peraturan Per-Uuan
No.12/ 2011 “Pancasila merupakan sumber segala sumber hukum negara” dimana
Pancasila adalah jiwa dan filiosofi bagi bangsa indonesia yang bahan materiilnya
terambil dari budaya dan adat istiadat pribumi ini dan nilai-nilai luhur pendangan Bangsa
Indonesia ini, secara otomatis pancasila adalah manivestasi dan jilmaan serta ekspresi
dari hukum adat, budaya nusantara itu sendiri.

BAB V
TATA SUSUNAN RAKYAT (TATA NEGARA) DI INDONESIA

11
Hukum adat mengenai tata negara (Tata Susunan Rakyat) ini mengatur tentang
susunan dari dan ketertiban dalam persekutuan-persekutuan hukum (rechts gemeen schap)
serta susunan dan lingkungan kerja alat-alat perlengkapan, jabatan dan pejabat agar
persekutuan-persekutuan yang manakah di indonesia ini yang bersifat persekutuan hukum??

1. PENGERTIAN PERSEKUTUAN HUKUM


Persekutuan hukum adalah kesatuan-kesatuan yang mempunyai tata susunan yang
teratur dan kekal serta memiliki pengurus sendiri dan kekayaan sendiri, baik kekayaan
materiil maupun inmateriil, contoh : Famili di Minangkabau, mengapa disebut
persekutuan hukum ?? Karena memiliki :
a. Tata susunan yang tetap, yaitu terdiri atas beberapa bagian yang disebut “ rumah “
atau “Jurai” yang selanjutnya Jurai ini terdiri atas beberapa nenek dengan anak-
anaknya laki-laki dan perempuan.
b. Pengurus sendiri, yaitu yang diketuai oleh seorang penghulu “Andiko” sedang Jurai
dikepalai oleh seorang “Tungganai” atau “Mamak” Kepala waris.
c. Harta pusaka sendiri yang diurus dan kelola oleh penghulu Andiko.
Disamping itu, Famili (di Minangkabau), kalau di Jawa disebut “Desa”, ini
bertindak sebagai kesatuan terhadap Famili lain, terhadap orang-orang asing, serta
terhadap pemerintah atasannya, karena :
a. Memiliki wilayah sendiri.
b. Tata susuna nyang tetap.
c. Pengurus sendiri.
d. Harta kekayaan sendiri.

2. STRUKTUR PERSEKUTUAN HUKUM


Perlu dipahami lebih dulu, arti dan pengaruh faktor-faktor teritorial dan
genealogis dalam permulaan timbulnya persekutuan-persekutuan yang bersangkutan.
Factor teritoroal yaitu faktor terikat pada suati lingkungan daerah tertentu, ternyata hal
ini merupakan factor yang mempunyai peranan yang terpenting dalam setiap timbulnya
persekutuan hukum.
Factor genealogis, yaitu factor yang melandaskan kepada pertalian darah pertalian
suatu keturunan, namun dalam realitanya tidak menduduki peranan yang penting dalam
timbulnya suatu persekutuan hukum.
Adapun jenis persekutuan hukum teritorial terbagi 3 jenis yaitu :
1). Persekutuan Desa, Misal: desa di Jawa dan desa di Bali
2). Persekutuan Daerah, contoh: marga di sumatera selatan dengan dusun-dusun di dalam
daerahnya.
3). Perserikatan (beberapa kampung) contoh: perserikatan huta-huta di suku Batak
Sementara persekutuan genealogis, terbagi 3 macam jenis pertalian keturunan
sebagai berikut :
a). Pertalian darah menurut garis Bapak( Patrilineal) seperti pada suku batak, nias, sumba
b). Pertalian darah menurut garis Ibu (Matrilineal) seperti di minangkabau.
c). pertalian menurut garis ibu dan bapak(parental) seperti pada suku jawa, sunda, Aceh,
dayak, suku madura ; disini untuk menentukan hak-hak dan kewajiban seseorang,

12
maka famili dari pihak Bapak adalah sama artinya dengan Famili dari pihak Ibu.
Namun terdapat juga persekutuan yang berdasarkan kedua faktor tersebut yaitu
genealogis dan teritorial sekaligus. Jadi untuk menjadi anggota persekutuan yang model
demikian ini wajib dipenuhi dua syarat sekaligus, yaitu :
a). Harus masuk dalam satu kesatuan genealogis dan
b). Harus berdiam di dalam lingkungan daerah persekutuan yang bersangkutan
contoh : di pulau mentawai (uma), di pulau nias (euri), di Tapanuli ( kuria dan hita), di
Minangkabau (nagari), di Maluku (negori) di Palembang (marga).
Dalam garis besarnya penduduk persekutuan hukum, baik genealogis, maupun
teritorial, dapat di bedakan atas digolongkan menjadi 3 golongan sebagai berikut :
a). Golongan pertama - pemilik sawah/ ladang/ tegalan dengan pekarangan.
b). Golongan kedua - pemilik pekarangan saja.
c). golongan ketiga - orang-orang yang tidak memiliki tanah atau pekarangan.
Adapun seorang pemimpin dalam persekutuan hukum adat tersebut, di Jawa disebut
dengan sebutan “ Petinggi “, Lurah, Kuwu, Bekel yang dalam melakukan tugasnya
sehari-hari didampingi oleh perabot desa, dan perabot desa ini terdiri atas :
- Kami Tuwo = wakil kepala
- Carik = Panitera/ Sekdes
- Kebayan = Pesuruh
- Modin, Labe, Alim, Ketib = Petugas dalam keagamaan
- Jogo Boyo = Petugas dalam Kepolisian (Kampung)

3. CARACTER MASYARAKAT DESA


Persekutuan desa sebagai suatu kesatuan hidup bersama (leven-sqemeensehep)
bercorak sebagai berikut :
a. Religius
Bersifat kesatuan batin, orang segolongan merasa satu dengan golongan yang lain
seluruhnya, bahkan individu-individu dalam persekutuan Hukum Adat tersebut
merasa dirinya sebagai suatu bagian dari alam lingkungan hidupnya. Kebahagiaan
masyarakat di dalam persekutuan hukum adat akan tetap terjamin manakala
keseimbgnagan tersebut dipelihara dengan semestinya.
Adanya upacara-upacara pembersihan desa (sedekah desa/ ruwat desa) dengan
maksud meulihkan atau memperbaiki kekuatan gaib persekutuan hukum adat yang
mungkin terganggu oleh perbuatan-perbuatan batal/ dosa, baik yang di sengaja
maupun tidak.

b. Kemasyarakatan (komunal)
Masyarakat dalam persekutuan hukum adat adalah orang yang terikat kepada
masyarakat hukum adat tersebut, mereka jawa sekali tidak bebas tanpa batas dalam
segala hal perbuatannya. Menurut paham tradisional hukum adat, tiap warga
mempunyai hak-hak dan kewajiban-kewajiban menurut jenjang status kedudukannya
di dalam golongan persekutuan hukum adat tersebut.
c. Demokratis

13
Dalam kehidupan kesatuan masyarakat hukum adat ini berlaku asas-asas
“ kepentingan bersama wajib di utamakan daripada hak-hak dan kepentingan
perseorangan”.
Di dalam tata ulasan kekuasaan umum/ Desa selalu di dasarkan pada asas
“ musyawarah dan mufakat serta perwakilan “ sebgai sistem dan mekanisme dalam
menjalankan roda pemerintahannya. Bahkan konon sebelum era kolonial belanda
menjajah negeri nusantara ini, Desa/ Negeri di Nusantara ini sudah menerapkan
sistem pemilihan umum desa/ negeri dengan pilihan langsung – bebas – rahasia
(Luber).

BAB VI
HUKUM PERORANGAN

14
1. SUBJEK HUKUM ADAT.
Dalam hukum adat disamping manusia sebagai person (pribadi) maupun anggota
masyarakat adalah telah dapat memperoleh status badan pribadi, sejak kapan ia
manusia mempunyai hak, yaitu sejak ia dilahirkan, secara otomatis ia memiliki segala
hak yang dpat di punyai orang, tapi ia hanya tidak “ cakap berbuat hukum “ karena
belum mencapai “ Kerampungan “ atau kelengkapan ( minderjarig), juga dikenal pula
badan hukum sebagai subjek hukum. Badan-badan hukum yang ada ialah antara lain :
desa, suku, nagari dan yayasan.
Bahkan di jawa tengah masyarakat hukum adat, mengakui perkumpulan-perkumpulan
yang mempunyai organisasi yang dinyatakan dengan tegas, jelas dan rapi.

2. MANUSIA SEBAGAI SUBJEK HUKUM.


Meski pada prinsipnya semua orang dalam hukum adat diakui memiliki
wewenang hukum (Kecakapan berhak) yang sama, tetapi dalam kenyataanya di
beberapa daerah ada juga terdapat perkecualian-perkecualian sebagai berikut :
a. Di jawa tengah dalam tahun 1934 - 1938 di dalam beberapa desa, hanyalah orang
laki-laki saja yang berhak (berpeluang) menjadi Kepala Desa.
b. Di Minangkabau orang perempuan tidak berhak untuk menjadi penghulu Andiko
atau Mamak – Kepala – Waris.
Menurut hukum adat “ cakap melakukan perbuatan hukum “ adalah seorang-
orang yang di anggap “dewasa”. Hak kapan seseorang itu diangap dewasa dalam
hukum adat ?? kriteria (ukuran) dewasa dalam hukum adat berbeda dengan yang
digunakan dalam hukum perdata barat. Dalam hukum seseorang dianggap dewasa
apabila ia memiliki kenyataan-kenyataan ciri-ciri tertentu yaitu :
a. Kuat gawe ( dapat/ mampu bekerja sendiri )
Cakap untuk melakukan segala pergaulan dalam kehidupan kemasyarakatan serta
mempertanggung jawabkan sendiri segala-galanya itu.
b. Cakap mengurus harta bendanya serta lain-lain keperluannya sendiri.
Pada umumnya menurut hukum adat jawa seseorang cakap penuh melakukan
perbuatan hukum, apabila sudah hidup mandiri (Mentas) berkeluarga sendiri
(Mencar).
Road Van Justitic (Pengadilan tinggi), Jakarta masa hindia belanda tanggal 16
Oktober 1908 menetapkan khusus bagi kaum wanita, untuk dapat di anggap “cakap
menyatakan kehendak sendiri” harus memenuhi syarat sebagai berikut :
a. Umur 15 tahun
b. Masak untuk hidup sebagai istri dalam rumah tangganya.
c. Cakap untuk melakukan perbuatan-perbuatan sendiri.

3. BADAN HUKUM SEBAGAI SUBJEK HUKUM ADAT


Sebagaimana di jelaskan di muka, badan-badan hukum yang dapat bertindak
sebagai subjek hukum adalah persekutuan masyarakat hukum adat seperti : Desa,
Nagari, Famili, Marga dll. Sebagainya, dan juga perkumpulan-perkumpulan yang

15
memiliki organisasi yang tegas, jelas, rapi seperti Subak (di Bali), Mapulas (di
Minahasa), Jula-jula (di Minangkabau), Mohakka (di Salayar Sulawesi), namun
demikian perkembangan selanjutnya, masyarakat hukum adatpun memasukkan badan-
badan baru seperti :
- Wakaf
- Yayasan
- Koperasi

BAB VIII
HUKUM KEKELUARGAAN

16
1. KETURUNAN
Keturunan adalah ketunggalan leluhur, artinya ada perhubungan darah antara
orang yang seorang dengan orang lain. Dua orang atau lebih yang mempunyai
hubungan darah. Yang menjadi pertanyaan adalah apakah keturunan ini mempunyai
akibat-akibat kemasyarakatan?
Jawabnya adalah ya! Pada umumya kita melihat adanya hubungan hukum yang di
dasarkan kepada hubungan kekeluargaan antara orang tua dengan anak-anaknya, juga
terdapat pula akibat-akibat hukum yang berhubungan dengan keturunan, berkaitan
dengan ketunggalan leluhur, meski berbeda-beda penerapannya di seluruh daerah-
daerah di nusantara ini.
Individu-individu sebagai keturunan (Anggota keluarga) mempunyai hak-hak dan
kewajiban-kewajiban tertentu yang berkaitan dengan kedudukannya dalam keluarga
yang bersangkutan, misalnya :
- Boleh ikut menggunakan nama keluarga.
- Boleh ikut menggunakan dan berhak atas bagian kekayaan keluarga.
- Wajib saling pelihara-memelihara, bantu-membantu dan saling mewakili dalam
melakukan perbuatan dengan pihak ketiga dan lain sebagainya.

Keturunan

Bercabang lurus
(menyimpang)

Keatas kebawah

Apa pentingnya keturunan/ silsilah bagi masyarakat hukum adat? Pentingnya


adalah hubungan “kekeluargaan”, adanya kejelasan silsilah keluarga, sudah barang
tentu berkaitan pula dengan urusan-urusan sebagai berikut :
a. Masalah perkawinan; yaitu untuk meyakinkan apakah hubungan kekeluargaan
yang menjadi pantangan (larangan) untuk menjadi pasangan suami istri.
b. Masalah waris; hubungan kekeluargaan merupakan dasar pembagian harta
peninggalan.
c. Masalah Hutang; begitu pula hubungan kekeluargaan merupakan hal penting bagi
ahli waris (keluarga), jika terjadi dengan masalah hutang-piutang.

2. HUBUNGAN ANAK DENGAN ORANG TUA


Anak kandung memiliki kedudukan yang sangat penting dalam sawah masyarakat
adat karena ia dianggap sebagai :
- Generasi penerusnya (keluarga)

17
- Sebagai wadah tumpuan dimana semua harapan orang tuanya di kemudian
harinya.
- Sebagai pelindung, pemelihara orang tuanya kelak bilamana orang tua tersebut
sudah tidak lagi mampu secara fisik untuk mencari nafkah sendiri.
Oleh karena hal itu, maka sejak anak itu dalam kandungan hingga ia dilahirkan,
bahkan setelah dan masa pertumbuhannya. Masyarakat adat banyak melakukan
upacara-upacara adat yang bersifat “Religius-Magic” yang bertujuan untuk
melindungi anak tersebut dari segala mara bahaya dan gangguan-gangguan lainnya,
sehingga anak itu menjadi harapan orang tuanya.
Upacara-upacara adat tersebut, tentu berbeda-beda di setiap daerah, untuk di jawa
secara kronologis adalah sebagai berikut :
a). Tingkepan : anak yang masih dalam kandungan umur ke 7 bulan.
b). “Penanaman ari-ari” : pada saat kelahiran.
c). Putus Tali Ari : yaitu ritual saat putusnya tali ari dari pusar perut si bayi.
d). Aqiqah/ Selapan : yaitu ritual setelah anak berumur 40 hari yang biasanya
sekaligus di umumkan nama si bayi tersebut.
e). Nurunken/ Mudun lema : yaitu setelah anak mulai, berangkang, natah turun kaki
menyentuh tanah.
f). Khitanan/ Sunatan yaitu anak laki-laki yang besudah beranjak remaja/ baliqh
dilakukan pemotongan ujung kulit penis( agar sterilisasi dari penyakit).

Hal tersebut di atas, adalah perkawinan yang dilakukan secara sah dan normal,
namun kita juga melihat dalam masyarakat hukum adat, adanya kejadian-kejadian
yang abnormal (kawin paksa) sebagai berikut :
a. Anak lahir di luar pernikahan
Dalam hal ini, tidak semua daerah hukum adat memiliki pandangan yang sama,
di mentawai, timor, minahasa dan ambon misalnya wanita yang melahirkan anak itu
tetap dianggap sebagai ibu anak yang bersangkutan, jadi biasa seperti kejadian
perkawinan normal.
Tapi di beberapa daerah lain, seperti di sumatera selatan, bali dan jawa,
disamping harus melakukan “Kawin paksa” bagi laki-laki yang menghamilinya, jika
lelaki tersebut mengelak, maka lelaki tersebut harus menerima sanksi di jatuhi
hukuman oleh tokoh adat tersebut. Dan wanita yang hamil tersebut di nikahkan
dengan lelaki lainnya, dengan terkandung maksud supaya anak yang di lahirkan dapat
lahir dalam masa perkawinan yang sah, sehingga anakpun menjadi anak yang sah. Hal
semacam ini disebut dengan “ nikah tambelan” dan di bugis sulawasi disebut dengan
“pattongkoq siriq”.
Akan tetapi meskipun telah dilakukan berbagai upaya hukum adat seperti tersebut
diatas, semua itu tidak dapat menghilangkan rasa dan pandangan masyarakat yang
tidak sedap dan mengenakkan terhadap ibu dan bayi yang di lahirkan tersebut. Dan
anak demikian itu di jawa disebut dengan “anak haram jadah”, di bali disebut “astra”.
b. Anak lahir karena hubungan jinah.
Apabila seorang istri melahirkan anak karena hubungan gelap dengan seorang
pria lain yang bukan suaminya, maka menurut hukum adat, suaminya itu menjadi

18
bapak dari anak yang dilahirkan tersebut. Kecuali apabila suaminya ini berdasar
alasan-alasan yang dapat di terima, dapat menolak menjadi bapak anak yang
dilahirkan oleh istrinya karena jinah ini. Untuk menutup aib keluarga si wanita
tersebut dengan perangkat desa setempat atau sembarang pria supaya kelahiran
bayinya nanti terjadi dalam ikatan perkawinan yagn sah.
c. Anak lahir setelah perceraian.
Anak yang lahir sesudah perkawinan putus, tetap ber-ayah suami dalam
perkawinan tesebut, bila ia dilahirkan selama masa hamil (masih dalam batas-batas
waktu mengandung).

3. HUBUNGAN ANAK DENGAN KELUARGA/ WANGSANYA.


Pada umumya hubungan anak dengan keluarga ini sangat tergantung dari keadaan
sosial dalam masyarakat yang bersangkutan.
Perlu diketahui bahwa di indonesia ini terdapat persekutuan-persekutuan yang
susunannya berlandaskan tiga (3) macam garis keturunan yaitu : garis keturunan ibu
(Matrilineal), garis keturunan Bapak (Patrilineal) dan garis keturunan Bapak - Ibu
(Bilateral).
Dalam persekutuan Bilateral (Bapak-Ibu), maka hubungan anak dengan keluarga
dari bapak maupun ibu adalah sama-sama eratnya ataupun derajadnya. Begitu juga
dalam masalah-masalah tentang larangan kawin, warisan, kewajibang memelihara dan
lain-lain hubungan hukum terdapat kedua belah pihak keluarga garis keturunan ibu-
bapak adalah sama.
Tentu lain halnya dengan persekutuan yang sifat susunan kekeluargaanya adalah
milateral, yaitu Patrilineal, maupun yang Matrelineal yaitu dengan di lebih-lebihkan
peningkatan hubungannya terhadap salah satu pihak kekeluargaannya saja. Seperti di
Minangkabau yang Matrilineal dan di Tapanuli dengan Patrilineal.

4. KONSEP ANAK, ANAK LUAR KAWIN, ANAK PUNGUT DAN ANAK


KUWALON.
Dalam masyarakat indonesia, pengertian anak dibedakan menjadi sebagai berikut:
a. Anak Kandung ; yaitu anak yang lahir dalam ikatan perkawinan yang sah.
b. Anak luar kawin ; yaitu anak yang di benihkan di luar perkawinan yang sah.
c. Anak Pungut ; yaitu sebuah pengambilan (pengangkatan) anak sebagai upaya
menarik anak orang lain baik yang ada hubungan kekerabatan (Darah) maupun
tidak, untuk menjadi keluarga orang yang mengangkat tersebut. Dimana biasanya
dilakukan karena keluarganya tersebut, belum memiliki anak ataupun sudah
memiliki anak, tapi tidak dapat memutuskan proses keturunan marganya.
d. Anak Kuwalon/ Tiri : yaitu anak bawan dari suami atau istri yang hidup dalam
satu atap dengan ibu kandung atau bapak kandungnya.
BAB VIII
HUKUM PERKAWINAN

19
Menurut hukum adat, perkawinan adalah suatu peristiwa yang sangat penting dan
sakral dalam penghidupan masyarakat kita, sebab perkawinan bukan hanya menyangkut
pelampiasan hasrat seksual antara wanita dan pria bakal mempelai saja, tapi juga merupakan
urusan orang tua, kerabat, persekutuan, marga dan martabat masing-masing keluarga.
Oleh karena perkawinan itu mempunyai arti yang demikian sangat pentingnya, maka
pelaksanaannya senantiasa di mulai dan seterusnya di sertai dengan berbagai-bagai upacara
ritual adat yang bersifat magis dengan tujuan menjamin ketenangan (koelte), kebahagiaan
(welvaart) dan kesuburan (vrucht baar heid).
Seorang ahli sosiologi Perancis A.Van Gennep menamakan semua prosesi upacara-
upacara perkawinan itu “Rites de Passage”(upacara-upacara peralihan) yaitu perubahan status
dari para mempelai berdua, dari tadinya hidup membujang/ perjaka atau perawan/ gadis, yang
hidup sendiri menjadi hidup bersatu dalam suatu kehidupan bersama sebagai suami-istri,
keluarga sendiri yang hidup mandiri.
Ikatan hubungan suami dan istri tersebut dalam adat jawa disebutnya dengan istilah
“Garwo” yang berasal dari kata-kata “Sigaraning nyowo”(belahan jiwa), sedang harta benda
yang di dapat danperoleh selama perkawinannya disebut dengan “Harta Gono-Gini”.

1. PERSIAPAN-PERSIAPAN KE ARAH PERKAWINAN


Sebelum digelarnya acara inti perkawinan, menurut tradisi hukum adat di mulai
terlebih dahulu dengan acara-acara pra-nya yaitu :
a. Pertunangan ; (Jawa: Lamaran), Sumatra=Pinang= Pacangan, (Bali= Mamupuk)
yaitu hubungan hukum yang dilakukan antara orang tua-tua pihak pria dengan
orang tua-tua pihak wanita untuk maksud mengikat tali perkawinan anak-anak
mereka dengan jalan pertunangan yang biasanya ditandai, disertai dengan sebuah
pemberian hadiah, baik cincin, gelang, kalung, maupun alat perlengkapan yang
lain dari orang tua pihak laki-laki terhadap pihak orang tua perempuan.

2. ALASAN MOTIF PERTUNANGAN


Dasar kelaziman acara pertunangan antara lain adalah :
- Karena ingin menjamin perkawinan yang di kehendaki itu dapat sangat di
langsungkan dalam waktu dekat.
- Untuk membatasi pergaulan bebas-sebebasnya antara muda-mudi yang telah di
ikat oleh pertunangan itu.
- Memberi kesempatan kepada kedua belah pihak untuk saling lebih mengenal,
carakter, sehingga mereka kelak sebagai suami istri dapat di harapkan menjadi
suatu pasangan yang harmoni dan bahagia, rukun hingga “Kaken Ninen”.

3. AKIBAT PERTUNANGAN (PACANGAN)


Akibat-akibat pertunangan antara lain adalah :
a. Orang terikat (terkunci) untuk kawin dengan pihak lainnya, meski ikatan ini tidak
bearti, bahwa kedua belah pihak, tidak boleh tidak, harus melakukan perkawinan.
b. Lahirnya kewajiban memberikan hadiah-hadiah dengan pengertian : pertunangan
itu akan putus, bila hadiah tersebut tidak di berikan.

20
c. Perlindungan si pemudi terhadap kekebalan hubungan seksual seperti halnya
terhadap wanita bersuami.
d. Timbulnya hubungan special yang diliputi rasa segan (sungkan) antara calon
menantu pria dengan mertuanya atau kewajiban bekerja bagi menantu tersebut
untuk kepentingan mertua.

4. PUTUSNYA PERTUNANGAN.
Pertunangan itu masih mungkin di batalkan (putus) dalam hal-hal yang berikut :
a. Kalau pembatalan itu memang menjadi kehendak kedua belah pihak yang baru
timbul setelah pertunangan berjalan beberapa waktu lamanya.
b. Kalau salah satu pihak tidak memenuhi janjinya ; kalau yang menerima tanda
tunangan tidak memenuhi janjinya, maka tanda itu harus di kembalikan sejumlah
atau berlipat lebih dari yang di terimanya, sedangkan kalu pihak yang lain tidak
memenuhi janjinya maka tanda tunangan tersebut tidak perlu di kembalikan.

5. PELANGSUNGAN PERKAWINAN.
Upacara perkawinan di langsungkan pada hari yang telah di tentukan dan
mendapatkan kesepakatan bersama keluarga para pihak. Di beberapa daerah indonesia
terdapat beberapa peristiwa yang dianggap dan dipandang sebagai pengukuhan
seremonial ikatan perkawinan itu, diantaranya :
a. Penyerahan hadiah-hadiah perkawinan tertentu (ternak – perabot dll).
b. Perarakan pengantin pria ke rumah pengantin wanita, yang biasanya di iring-
iringan (pengikut rombongan) beserta aneka barang bawaannya,
c. Pertemuan upacara antara mempelai berdua (midodaren).
d. Persembahan sekapur sirih, serah dan terima oleh kedua orang tua para pihak atau
yang mewakili.
e. Santapan bersama/ ramah tamah.
f. Berkumpul sebagai suami istri.

6. MACAM-MACAM BENTUK PERKAWINAN


a. Perkawinan patrilineal dengan perkawinan matrilineal.
Yaitu perkawinan dimana mempelai pria membayar uang (jujur)nya kepada
keluarga mempelai istri dengan tujuan : memasukkan di istri (wanita) ke dalam
bagian gens suaminya, demikian pula anak-anaknya yang selaku warga generasi
termuda bertugas melanjutkan garis hidup clan ayahnya.
Konsekwensinya, harta benda hasil perkawinan tunduk kepada hukum adat
suaminya, kecuali ada ketentuan lain yang menyangkut barang bawaan istri
tertentu.

b. Perkawinan ganti suami


Adalah sebuah perkawainan, dimana sang suami pertamanya telah wafat, maka
sang istri harus kawin dengan saudara pria sesuai yang telah wafat, dengan tanpa
pembayaran jujur, pembayaran adat dll. Perkawinan seperti ini di batak disebut

21
“mahkabia” di jawa “karang wulu” di banten disebutnya “naik ranjang” jika
kawin dengan kakak suami atau istri, tapi disebut “turun ranjang” jika kawin
dengan adik suami atau istri.
c. Perkawinan mengabdi
Adalah perkawinan dimana pada waktu lamaran si laki-laki, tanpa memberikan
hadiah apapun kepada keluarga istrinya, karena tidak mampu memnuhi syarat-
syarat permintaan dari pihak istri, sehingga setelah perkawainan seang suami akan
terus menerus mengabdi kepada keluarga si istri dan berdiam atau berkedudukan
di pihak kerabat istri, hingga dianggap pengabdiannya telah melunasi sebagai
persyaratan permintaan istrinya.
d. Perkawainan ambil beri.
Adalah perkawinan yang terjadi di antara kerabat yang sifatnya symetris, dimana
pada suatu masa kerabat A mengambil istri dari kerabat B, sebaliknya di masa
yang lain, kerabat B mengambil istri dari kerabat A, perkawinan semacam ini di
minangkabau disebut “ngejak” di irian disebut “mommoits”.
e. Perkawinan ambil anak.
Perkawinan model ini terjadi karena keluarga wanita hanya memiliki anak tunggal
satu-satunya (wanita), maka keluarga ini mengambil menantu pria dari anggota
kerabatnya, untuk menjadi suami dari anaknya, dan mengikati keluarga istri untuk
selamanya sebagai penerus keturunan keluarga istri. Dalam bentuk perkawinan ini
yang berkuasa adalah istri, di lampung disebut “negikan”.
f. Perkawinan semenda.
Adalah mirip dengan bentuk perkawinan ambil anak, yaitu perkawinan yang di
lakukan tanpa pembayaran “jujur” lamaran karena hal tertentu, perkawinan bentuk
ini si suami lepas dan putus dari marga asalnya-beralih ke marga pihak istri
(matrilineal), atau sebaliknya dalam sistem patrilineal dengan segala
konsekwensinya.
g. Perceraian.
Sebab-sebab yang oleh hukum adat di benarkan untuk melakukan perceraian
adalah :
1. Istri berzinah.
2. Kemandulan istri.
3. Impotens suami.
4. Suami meninggalkan istri yang cukup lama, ataupun istri berkelakuan tidak
sopan.
5. Adanya keinginan bersama dari kedua belah pihak (persetujuan antara suami
dan istri) untuk bercerai.
6. Tidak memberi nafkah.
7. Penganiayaan berat.

BAB IX
HUKUM WARIS

22
1. PENGERTIAN/ KONSEP HUKUM ADAT WARIS
Hukum waris adat meliputi aturan-aturan dan keputusan-keputusan hukum yang
bertalian dengan proses penerusan/ pengoperan dan peralihan/ perpindahan harta
kekayaan baik materiil dan non materiil dari generasi ke generasi.
Konsep hukum waris tersebut memperlihatkan adanya tiga unsur penting, yang
masing-masing unsur merupakan esensial (mutlak), yaitu :
a. Seorang peninggal warisan yang pada wafatnya meninggalkan harta kekayaan.
b. Seorang atau beberapa orang ahli waris yang berhak menerima kekayaan yang
ditinggalkan itu.
c. Harta warisan/ harta peninggalan, yaitu kekayaan “ in concreto” yang ditinggalkan
dan sekali beralih kepada ahli waris itu.

2. SISTEM KEWARISAN ADAT.


Dalam hukum adat dapat kita jumpai tiga sistem kewarisan sebagai berikut :
a. Sistem kewarisan individual.
Cirinya harta peninggalan dapat di bagi-bagi diantara ahli waris seperti dalam
masyarakat (bilateral) di jawa.
b. Sistem kewarisan kolektif.
Cirinya harta peninggalan itu diwarisi oleh sekumpulan ahli waris yang bersama-
sama, semacam badan hukum, dimana harta pusaka itu, tidak boleh di bagi-
bagikan pemiliknya diantara para ahli waris, dan hanya boleh di bagi-bagikan
pemakaiannya saja kepada mereka (hak pakai) seperti dalam masyarakat
matrilineal di minangkabau.
c. Sistem kewarisan mayorat.
Ciri harta peninggalan di wariskan secara keseluruhan, maupun sebagian besar
(dari harta pokok keluarga) oleh seorang anak saja yatitu anak tertua. Kalau di bali
jatuh kepada anak laki-laki yang tertua, sedang di tanah semendo sumatra,
menjadi hak mayorat anak perempuan tertua.

3. HARTA PENINGGALAN YANG TIDAK DAPAT DI BAGI-BAGI.


Dalam hukum adat, terdapat pada ketentuan, harta peninggalan yang tidak dapat di
bagi-bagikan kepada para ahli warisnya, karena sifatnya yang memang tidak memberi
kemungkinan untuk tidak memiliki barang itu bersama-sama dengan para ahli waris
lainnya, sebab harta tersebut merupakan satu kesatuan yang tidak dapat di bagi-bagi,
atau merupakan lambang serta kesatuan dari pada keluarga yang bersangkutan.
Contoh :
a). Harta pusaka keraton solo-cirebon-minangkabau.
b). Tanah-tanah di semenanjung hitu (Ambon).

4. HARTA PENINGGALAN.
a. Barang-barang kerabat (barang-barang famili)
b. Barang-barang pusaka yang keramat.
c. Barang-barang sawah atau Barang-barang keluarga.

23
d. Barang-barang yang belum bebas dari hak pertuanan, hak ulayat.
e. Barang-barang dengan wujud tertentu.
f. Hutang-hutang.
g. Biaya mengubur mayat dan upacara-upacara kematian lainnya.

5. AHLI WARIS.
Siapa yang berhak menjadi ahli waris dalam masyarakat hukum adat itu ?
Pada umunya yang menjadi ahli waris ialah para warga yang paling karib di dalam
generasi berikutnya, yaitu anak-anak yang di besarkan di dalam keluarga ibarat si
pewaris : yang pertama-tama mewarisi adalah anak kandungnya.
Namun di dalam masyarakat indonesia tidak hanya di kenal anak kandung saja,
melainkan juga : a. Anak angkat, b, anak tiri (kuwalon), dan anak yang lahir di luar
perkawinan. Lalu bagaimana kedudukan hukum mereka itu dalam masalah warisan
ini?
Anak yang lahir di luar nikah.
Menurut hukum adat waris jawa, anak seperti ini hanya akan menjadi pewaris dalam
harta peninggalan ibunya saja serta juga di dalam harta peninggalan kerabat. Famili
dari pihak ibu.
Anak angkat (pungut).
Kedudukan hukum anak angkat ini, di beberapa daerah lingkungan hukum adat
bervariasi dan berbeda-beda, dalam hukum yang sifat susunan kekeluargaannya
parental seperti di jawa tengah- jawa barat, dan di masyarakatadat bali yang susunan
kekeluargaanya patriachaat.
Di bali anak angkat, menjadi terputus hubungan dengan keluarga dan orang tuanya
sendiri, ia menjadi masuk ke keluarga bapak angkatnya yang selanjutnya menjadi
penerus turunan bapak angkatnya.
Sementara di jawa tengah-jawa barat, tidak demikian, ia tidak putus hubungan dengan
bapak dan keluarganya aslinya, hanya ia masuk menjadi rumah tangga bapak
angkatnya saja, jadi anak ini tidak mempunyai kedudukan sebagai anak kandung, juga
tidak berperan sebagai penerus turunan orang tua angkatnya.
Anak tiri (kuwalon).
Anak tiri (kuwalon) adalah merupakan warga serumah dalam rumah tangga bapak tiri,
maupun ibu tiri, terhadap ibu atau bapak kandungnya sendiri adalah merupakan ahli
warisnya, tetapi terhadap ibu tiri atau bapak tirinya, ia bukanlah ahli warisnya.
Tetapi anak tiri, dapat mengambil bagian hasil dari harta peninggalan bapak tirinya
yang diberikan kepada ibu kandungnya sebagai nafkah janda dari bapak tirinya itu.
Posisi janda.
Prinsip hukum adat bertitik tolak dari asas bahwa wanita sebagai seorang asing yang
tidak berhak mewarisi, namun selaku istri turut memiliki harta yang diperoleh selama,
karena dan untuk ikatan perkawinan (harta kebersamaan) ; disamping itu ia berhak
atas nafkah seumur hidupnya dari harta peninggalan suaminya. Kecuali hukum adat
wilayah setempat menentukan lain.
Posisi duda.

24
Posisi kedudukan duda ini di masing-masing daerah dengan sifat kekeluargaanya
yang matrilineal, patrilineal atau pariental tidak sama. Di dalam sistem matrilineal,
karena suami tidak masak dalam keluarga istri, akibat hukumnya ia tidak berhak
menerima apa-apa dari harta warisan istri seperti di minangkabau.
Di pulau bali yang sifat kekeluargaanya patriachaat, duda ini dapat mendapat bagian
dari harta warisan istrinya, yaitu dari barang-barang yang dulu oleh istrinya di bawa
dari rumah keluarga suaminya di waktu nikah. Barang-barang pencarian bersama dan
barang istri dari harta bersama waktu selama perkawinan.
Sedangkan di pulau jawa posisi kedudukan janda dan duda sama, yaitu berhak
mendapatkan nafkah dari harta kekayaan rumah tangga sesudah istrinya (atau
suaminya) meninggal dunia.

BAB X
HUKUM TANAH

25
1. KEDUDUKAN TANAH.
Dalam hukum adat,tanah mempunyai kedudukan yang sangat penting dan berarti dalam
masyarakat diakrenakan :
a. Karena sifatnya :
Yaitu merupakan satu-satunya benda kekayaan yang bersifat tetap dalam keadannya,
bahkan terkadang lebih menguntungkan dan subur misal : erupsi gunung, pembakaran
semak belukar dll.
b. Karena fakta :
Yaitu suatu realita, bahwa tanah itu :
- Merupakan tempat tinggal persekutuan adat.
- Memberikan penghidupan kapada masyarakat adat.
- Memberikan tempat dimana para warga persekutuan yang meninggal dunia di
kebumikan.

2. HAK PERSEKUTUAN ATAS TANAH.


Hukum tanah adat atau dikenal dengan hak ulayat/ pertuanan atau pula disebut hak purba
(besehkingrecht), yaitu hak yang di punyai oleh suku/ clan sebuah serikat/ persekutuan
desa yang di pergunakan untuk menguasai seluruh tanah seisinya dalam wilayahnya.
Apakah yang menjadi objek hak ulayat itu?
Yang menjadi objek hak ulayat itu meliputi :
a. Tanah (daratan).
b. Air (perairan misalnya : kali, danau, pantai beserta perairannya).
c. Tumbuh-tumbuhan yang hidup secara liar (pohon buah-buahan, pohon untuk kayu
pertukangan, maupun untuk kayu bakar).
d. Binatang yang hidup liar.
Bagaimanakah caranya persekutuan memlihara serta mempertahankan hak-hak ulayanya
itu?
Pertama-tama, persekutuan berusaha memasang batas-batas di sekeliling tapal batas
wilayah kekuasaanya tersebut. Namun biasanya tradisi ini sulit dilaksanakan dengan
sempurna, lebih-lebih jika masyarakat tersebut tempat tinggalnya tersebar dalam
pedukuhan-pedukuhan kecil, maupun tanah kosong yang sangat luas.
Kedua, menunjuk pejabat-pejabat khusus yang bertugas mengawasi wilayah lingkungan
persekutuan yang bersangkutan, pejabat ini disebut “jaring” (minangkabau), “teterusan”
(minahasa), “kepala kewang” (ambon), “lilipis lembukit” (bali).,

3. HAK PERSEORANGAN DAN HAK ULAYAT.


Problema negara agraris seperti indonesia adalah bagaimana cara memelihara,
menganutkan, memperuntukkan, mengusahakan, mengurap dan membagi tanah serta
hasilnya, sedimikian sehingga menguntungkan bagi kesejahteraan rakyat dan negara, oleh
karena itu perhatiannya difocuskan pada :
 Faktor adanya hubungan antara manusia dengan tanah yang realitanya akan
selamanya ada ;

26
 Faktor manusia dari sudut politis, sosial, ekonomi, kultural dan mental.
 Faktor alam khusus tanah.
Adapun hubungan manusia dengan tanah dalam hukum adat memiliki hubungan yang
“kosmis-magis-religius”, artinya tidak hanya hubungan ini tidak hanya dengan tanah saja,
tetapi juga hubungan antar kelompok anggota masyarakat persekutuan hukum adat dalam
hubungan dengan hak ulayat.
Dalam kaitan dengan bentuk kepemilikan tanah, dapat di klasifikasikan menjadi
dua(2) yaitu :
a. Hak milik turun temurun (erfelijk individual bezit)
b. Hak milik komunal (gemeen bezit)

4. TRANSAKSI-TRANSAKSI TANAH
Terdapat dua (2) macam transaksi tanah yang di kenal dalam hukum adat, yaitu :
a. Merupakan bersifat perbuatan hukum sepekak.
 Pendirian desa :
Sekelompok orang yang mendiami suatu tempat, membuat perkampungan di
atas tanah itu, membuka tanah pertanian, mengubur mayat orang setempat
hingga menjadi sebuah desa. Ada hubungan religius-magis desa dengan tanah,
tumbuh persekutuan yaitu “hak ulayat”
 Pembukaan tanah oleh warga persekutuan.
Sekelompok orang, warga persekutuan dengan ijin suku (kepala adat)
membuka tanah di wilayah persekutuan, maka dengan menggarap tanah terjadi
suatu hubungan hukum, sekaligus juga hubungan religius-magis antara warga
tersebut dengan tanah dimaksud. Lazimnya warga yang membuka tanah itu
kemudian menanam (Rajek) randa-tanda p0elarangan pada tanah yang ia
kerjakan itu.
b. Merupakan perbuatan hukum dua pihak.
Inti pada transaksi ini adalah pengoperan/ penyerahan dengan disertai pembayaran
kontan, dari pihak lain pada saat itu juga, yang disebut dengan “jual” (adal)/ sade.
Transaksi jual ini menurut isinya dapat di bedakan dalam 3 macam sebagai berikut :
a. Transaksi jual gadai.
Yaitu penyerahan tanah dengan pembayaran kontan disertai ketentuan-ketentuan,
bahwa yang mengesahkan (pemilik tanah) mempunyai hak mengambil kembali
tanahnya itu dengan pembayaran uang yang sama jumlahnya.
b. Transaksi jual lepas (adol plas).
Yaitu penyerahan tanah untuk selama-lamanya dengan menerima pembayaran
sejumlah uang, yang sepenuhnya atau sebagian bayar tunai (cicil) secara tunai
disini tidak diartikan lunas, tapi walaupun baru di bayar sebagian sudah dikatakan
tunai.
Ada tiga unsur jual lepas yang dilakukan dalam satu tahapan :
 Unsur perjanjian.
 Unsur pembayaran/ tunai.
 Unsur pengalihan kebendaan.

27
c. Transaksi jual tahanan/ oyodan.
Yaitu penyerahan sebidang tanah milik seseorang, kepada orang lain untuk
mengerjakan, memanfaatkannya sementara waktu (1 kali atau 2 kali musim
panen). Dengan pembayaran sejumlah uang tunai yang di bayar di muka. Jika
tidak di perpanjang lagi oleh si pemilik tanah, jika waktu yang ditentukan sudah
berakhir, maka tanah itu akan kembali kepada pemilik tanah tersebut.

5. TRANSAKSI YANG BERHUBUNGAN DENGAN TANAH.


Dalam transaksi-transaksi ini objeknya bukan tanah, tetapi hanya mempunyai hubungan
dengan tanah, dalam hukum adat di kenal transaksi-transaksi yang ada hubungannya
dengan tanah, dalam tiap-tiap daerah mempunyai istilah-istilah yang berbeda-beda :
a. Memperdua (minangkabau), maroh (jawa), toyo (minahasa), nengah (priangan),
tesang (sulawesi selatan).
Dasar daripada transaksi demikian ini adalah pemilik tanah ingin memungut hasil dari
tanahnya, namun ua tidak ingin atau tidak dapat mengerjakan/ mengelola sendiri
dengan tanahnya tersebut.
Jadi objek transaksinya adalah tenaga dan atau tanaman, karena objeknya adalah
tenaga dan tanaman, maka kepala suku (desa) tidak perlu mengesahkan perjanjian
demikian itu.
b. Sewa.
Yaitu perjanjian yang memberikan ijin kepada orang lain untuk mengerjakan tanah
miliknya, atau tinggal di tanahnya dengan membayar sesudah panen/ tahun sesuai
kesepakatan.
c. Tanggungan (jenggolan).
Transaksi ini terjadi apabila seseorang yang hutang kepada orang lain, berjanji kepada
si pemberi pinjaman tersebut. Bahwa ia selama belum melunasi hutangnya, ia tidak
akan mengadakan transaksi tentang tanahnya, kecuali dengan si pemberi hutang
tersebut.
Akibat hukumnya, kalau waktu yang di janjikan sudah lampau dan hutang belum di
lunasi juga, maka tanah yang menjadi objek transaksi tersebut wajib di korbankan
untuk melunasi sejumlah hutangnya.
d. Numpang/ magersari.
Apabila seorang pemilik tanah yang bertempat tinggal di tanah itu memberi ijin
kepada orang lain, untuk membuat rumah di atas pekarangannya, maka sudah terdapat
sebuah perjanjian yang disebut “numpang” atau “magersari”.

28

Anda mungkin juga menyukai