1. Jelaskan hal-hal yang harus diketahui lebih awal agar lebih mudah dalam
memahami keberadaan hukum adat suatu daerah di Indonesia, menurut Van
Vollenhoven.
Mengenai definisi hukum adat, C. Van Vollenhoven berpendapat bahwa
apabila seorang hakim menghadapi kenyataan bahwa ada peraturan tingkah laku yang
oleh masyarakat dianggap patut dan mengikat para warga masyarakat serta ada
perasaan umum peraturan-peraturan itu harus dipertahankan oleh para penjabat
hukum, maka peraturan-peraturan adat tadi bersifat hukum.1
Van Vollenhoven menempatkan hukum adat ke dalam suatu sistematika yang
merupakan suatu ilmu pengetahuan tersendiri. Dari sekian banyak usaha serta hasil-
hasilnya, ada beberapa hal yang perlu mendapat perhatian dari karya-karyanya yaitu :
Pertama, van Vollenhoven telah berhasil menghilangkan kesalahpahaman yang
menyatakan bawha hukum adat adalah identik dengan hukum agama (dalam hal ini
hukum Islam). Kecuali daripada itu, van Vollenhoven telah membela hukum adat
terhadap ancaman pembuat undang-undang yang mendesak atau bahkan berusaha
melengyapkan hukum adat. Untuk itu dia telah meyakinkan pembuat undang-
undang, bahwa hukum adat merupakan hukum yang hidup dan memiliki sistem
tersendiri.
Kedua, van Vollenhoven telah membagi wilayah hukum adat Indonesia ke dalam 19
lingkungan hukum adat atau adatrechtskringen. Pembagian tersebut sangat
mempermudah untuk mempelajari hukum adat masing-masing daerah yang masing-
masing memiliki ciri khas, sehingga diperoleh suatu ikhtisar yang sistematis dari
hukum adat di Indonesia.2 Dengan membentangkan secara luas dan mendalam
tentang sistem hukum adat, van Vollenhoven telah meletakkan dasar bagi penelitian
lebih lanjut terhadap hukum adat.
1
C. van Vollenhoven, Het Adatrecht cab Bederkandsch-Indie, Dell III, hlm. 398 dalam bukunya Mr.
Soekanto dan Soerjono Soekanto, 1981, Pokok-Pokok Hukum Adat, Alumni, Bandung, hlm. 15.
2
Ibid, hlm. 55.
a. Faktor Geanologis (Keturunan)
2. Terkait dengan pertanyaan nomor 1 di atas, hal-hal apa yang perlu diketahui
lebih awal untuk memahami hukum adat Bali ?
Untuk memahami hukum adat Bali menurut Van Vollenhoven, terdapat
beberapa hal yang terlebih dahulu harus diketahui adalah susunan masyarakat Bali,
sistem kekerabatan masyarakat desa adat bali, sistem kasta masyarakat desa adat bali,
dan agama Hindu yang dianut masyarakat desa adat bali.
a. Susunan masyarakat desa adat bali
Untuk mengetahui tentang lembaga hukum yang ada dalam suatu masyarakat,
seperti lembaga hukum tentang perkawinan, warisan, jual beli tanah, dan lain – lain
harus mengetahui struktur masyarakat yang bersangkutan. Struktur masyarakat
menentukan sistem (struktur) hukum yang berlaku dimasyarakat yang bersangkutan.
Dengan demikian pemahaman mengenai masyarakat hukum adat di Bali sangat
penting untuk dapat memahami hukum adat bali.3 Di Provinsi Bali dikenal ada dua
bentuk (pemerintahan) desa yang masing – masing mempunyai fungsi, sistem, atau
struktur organisasi berbeda. Dua bentuk desa yang lazim dibentuk dualism desa di
Bali itu adalah:
(1) Desa Dinas (desa dan kelurahan), dan
(2) Desa Pakraman atau desa adat.
Dari dua bentuk desa di atas, desa pakraman adalah lembaga yang
melaksanakan hukum adat. Dalam Pasal 1 angka 4 Peraturan daerah Nomor 3 Tahun
2001 tentang Desa Pakraman, disebutkan penertian Desa Pakraman, yaitu Kesatuan
masyarakat hukum adat di propinsi bali yang mempunyai satu kesatuan tradisi dan
tata karma pergaulan hidup masyarakat umat Hindu secara turun temurun dalam
ikatan, Kahyangan Tiga atau Kahyangan Desa yang mempuyai wilayah tertentu dan
hata kekayaan sendiri serta berhak mengurus rumah tangganya sendiri. 4
Sedangkan
desa dinas adalah organisasi pemerintahan di desa yang menyelenggarakan fungsi
3
Wayan P. Windia dan Ketut Sudantra, 2016, Pengantar Hukum Adat Bali; Cetakan Kedua, Lembaga
Dokumentasi dan Publikasi Fakultas Hukum Universitas Udayana, Bali, hlm. 49-50.
4
Ibid, hlm. 54.
administratif, seperti mengurus kartu tanda penduduk, dan lain – lain persoalan
kedinasan (pemerintahan).5
b. Sistem kekerabatan masyarakat desa adat Bali
Sistem kekerabatan yang dikenal di Indonesia meliputi 3 sistem, yaitu Sistem
kekerabatan patrilineal, sistem kekerabatan matrilineal, dan sistem kekerabatan
parental. Sistem garis keturunan dan hubungan kekerabatan orang Bali berpegang
kepada prinsip patrilineal (purusa) yang amat dipengaruhi oleh sistem keluarga luar
patrilineal yang mereka sebut dadia dan sistem pelapisan sosial yang
disebut wangsa (kasta). Sehingga mereka terikat ke dalam perkawinan yang bersifat
endogami dadia dan atau endogami wangsa. Orang-orang yang masih satu kelas
(tunggal kawitan, tunggal dadia dan tunggal sanggah) sama-sama tinggi tingkatannya.
Dalam perkawinan endogami klen dan kasta ini yang paling ideal adalah antara
pasangan dari anak dua orang laki-laki bersaudara.
c. Sistem kasta masyarakat desa adat Bali
Sebagaimana diketahui, masyarakat Bali terbagi atas empat kasta atau wangsa
atau soroh dengan sub – sub wangsa dan gelar masing – masing. Empat kasta tersebut
adalah Brahmana, Ksatria, Wesya, dan Sudra. Tiga kasta yang pertama lazim disebut
golongan triwangsa atau menak, sedangkan kasta sudra lazim disebut jaba.6
d. Dasar-Dasar Agama Hindu yang dianut masyarakat desa adat Bali
Ajaran Agama Hindu dibangun dalam tiga kerangka dasar, yaitu tatwa, susila
dan acara (upacara/upakara). Ketiganya merupakan satu kesatuan integral yang tidak
dapat dipisahkan serta mendasari tindak keagamaan umat Hindu. Tatwa adalah aspek
pengetahuan agama atau ajaran-ajaran agama yang harus dimengerti dan dipahami oleh
masyarakat terhadap aktivitas keagamaan yang dilaksanakan. Susila adalah aspek
pembentukan sikap keagamaan yang menuju pada sikap dan perilaku yang baik sehingga
manusia memiliki kebajikan dan kebijaksanaan, wiweka jnana. Sementara itu aspek acara
adalah tata cara pelaksanaan ajaran agama yang diwujudkan dalam tradisi upacara sebagai
wujud simbolis komunikasi manusia dengan Tuhannya. Acara agama adalah wujud bhakti
kehadapan Ida Sang Hyang Widdhi Wasa dan seluruh manifestasi-Nya. Pada dasarnya acara
agama dibagi menjadi dua, yaitu upacara dan upakara. Upacara berkaitan dengan tata cara
ritual, seperti tata cara sembahyang, hari-hari suci keagamaan (wariga), dan rangkaian
upacara (eed). Sebaliknya, upakara adalah sarana yang dipersembahkan dalam upacara
keagamaan.
5
ibid, hlm. 52.
6
Ibid, hlm. 107.
3. Perbedaan tugas pokok dan fungsi Desa Adat dan Desa Dinas di Bali.
a) Desa Adat (Desa Pakraman)
Tugas pokok
Dalam Peraturan Daerah Provinsi Bali No. 3 Tahun 2001 tentang Desa
Pakraman, tugas Desa Pakraman diatur dalam Pasal 5 yang menyatakan bahwa
Desa Pakraman mempunyai tugas sebagai berikut:
a. membuat awig-awig;
b. mengatur krama desa;
c. mengatur pengelolaan harta kekayaan desa;
d. bersama-sama pemerintah melaksanakan pembangunan di segala
bidang terutama di bidang keagamaan, kebudayaan, dan kemasyarakatan;
e. membina dan mengembangkan nilai-nilai budaya Bali dalam rangka
memperkaya, melestarikan, dan mengembangkan mengembangkan
kebudayaan nasional pada umumnya dan kebudayaan daerah pada
khususnya, berdasarkan "paras-paros, sagilik- saguluk, salunglung-
sabayantaka" (musyawarah-mufakat);
f. mengayomi krama desa.
Undang Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa7 yang disahkan pada
tanggal 15 Januari 2014 dalam BAB XIII memuat ketentuan khusus Desa Adat,
tidak mengatur mengenai tugas pokok desa adat, akan tetapi hanya mengatur
mengenai kewenangan Desa Adat melalui Pasal 103 yang menyatakan bahwa “
kewenangan Desa Adat berdasarkan hak asal usul sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 19 huruf a meliputi :
a. pengaturan dan pelaksanaan pemerintahan berdasarkan susunan asli;
b. pengaturan dan pengurusan ulayat atau wilayah adat;
c. pelestarian nilai sosial budaya Desa Adat;
d. penyelesaian sengketa adat berdasarkan hukum adat yang berlaku di Desa
Adat dalam wilayah yang selaras dengan prinsip hak asasi manusia dengan
mengutamakan penyelesaian secara musyawarah;
e. penyelenggaraan sidang perdamaian peradilan Desa Adat sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan;
7
Undang Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa telah mencabut berlakunya Pasal 200 sampai dengan
216 Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Desa sebagaimana telah diubah beberapa kali
terakhir denganUndang-Undang No. 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 32 Tahun 2004.
f. pemeliharaan ketenteraman dan ketertiban masyarakat Desa Adat berdasarkan
hukum adat yang berlaku di Desa Adat; dan
g. pengembangan kehidupan hukum adat sesuai dengan kondisi sosial budaya
masyarakat Desa Adat.”
Fungsi
Desa Adat (Desa Pakraman) adalah lembaga yang melaksanakan hukum
adat8, yang dalam hal ini adalah masyarakat hukum adat di Bali mempunyai ciri
khusus yang tidak dijumpai dalam jenis masyarakat hukum adat lainnya yaitu
berkaitan dengan landasan filosofis Hindu yang dikenal dengan filosofi tri hita
karana yang secara literlijk berarti tiga (tri) penyebab (karana) kebahagiaan (hita)
yaitu Ida Sanghyang Jagatkarana (Tuhan Sang Pencipta), bhuana (alam semesta)
dan manusa (manusia) 9.
b) Desa Dinas
Tugas pokok
Undang Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa, ketentuan mengenai
tugas pokok diberikan kepada Kepala Desa sebagaimana diatur dalam Pasal 26
ayat (1) menyatakan bahwa “Kepala Desa bertugas menyelenggarakan
Pemerintahan Desa, melaksanakan Pembangunan Desa, pembinaan
kemasyarakatan Desa, dan pemberdayaan masyarakat Desa”. Dalam undang-
undang ini, yang dimaksud dengan pemerintah desa adalah kepala desa atau yang
disebut dengan nama lain dibantu perangkat desa sebagai unsur penyelengara
Pemerintahan Desa.
Fungsi
Desa Dinas merupakan organisasi pemerintahan di desa yang menyelenggarakan
fungsi administratif seperti mengurus kartu tanda penduduk, dan lain-lain terkait
persoalan kedinasan (pemerintahan).10
4. Jelaskan pula mengapa seorang notaris yang wilayah kerjanya di Bali perlu
memahami keberadaan desa adat dan desa dinas
Sebagai sebuah provinsi di Indonesia, Bali terkenal di berbagai negara, selain
karena keindahan alamnya juga karena keunikan sosial budayanya. Dasar hidup
8
Wayan P. Windia dan I Ketut Sudantra, op.cit., hlm. 51.
9
Ibid, hlm. 57.
10
Ibid, hlm. 52.
bersama yang menjadi ikatan bagi masyarakat itu bisa berupa tempat tinggal (desa,
banjar), jadi bersifat territorial atau bisa juga berupa pertalian daerah atau keturunan
(kawitan, dadia). Di Bali dikenal 2 (dua) bentuk desa yakni Desa Dinas (desa atau
kelurahan) dan Desa Pekraman atau Desa Adat. Desa Pekraman (Desa Adat) adalah
lembaga yang melakssanakan hukum adat, karena itu dalam pembahasan selanjutnya
yang menjadi pokok perhatian adalah desa pekraman atau desa adat, sedangkan desa
dinas adalah organisasi pemerintahan di desa yang menyelenggarakan fungsi
administratif, seperti mengurus kartu tanda penduduk, dan lain-lain persoalan
kedinasan (pemerintahan).11
Seorang Notaris yang wilayah kerjanya di Bali perlu memahami keberadaan
desa adat dan desa dinas karena Notaris nantinya akan sering berhubungan dengan
desa adat dan juga desa dinas yang ada di Bali. Berhubungan dalam hal ini menunjuk
pada hubungan tentang tanah atau pihak yang melakukan perjanjian di Notaris, selain
itu Notaris akan berhubungan erat dengan sistem kewarisan di Bali yang secara detail
pasti menyesuaikan dengan hukum adat di Bali. Perlunya Notaris memahami
keberadaan desa adat di Bali adalah berkaitan dengan awig-awig (peraturan) yang ada
di suatu wilayah tersebut. Desa Adat juga lebih mengetahui tentang warganya (pihak)
mengenai sistem kewarisan, tanah adat, keluarga dari masyarakat di desa adat
tersebut, baik adanya kelahiran maupun kematian pastinya desa adat yang lebih
dahulu mengetahuinya. Notaris perlu memahami desa dinas ini dilihat dari keperluan
akan kepengurusan surat-surat administrasi dari masyarakan dinas tersebut, karena
berkaitan dengan kepengurusan KTP dan persoalan lain yang menyangkut
kedinasan.12
KELOMPOK 2
11
Ibid., hlm. 51.
12
Wawancara dengan Notaris Tija Fransisca Teresa Nilawati, tanggal 8 Desember 2017 di Fakultas
Hukum Universitas Udayana Denpasar.
1. Jelaskan mengapa perkawinan disebut sebagai peristiwa penting dalam siklus
kehidupan seseorang.
Perkawinan mempunyai arti penting dalam kehidupan manusia dimana
perkawinan menimbulkan akibat-akibat hukum, bukan hanya kepada suami/isteri
yang bersangkutan. Perkawainan juga memiliki tujuan untuk memiliki keturunan yang
kelak akan menjadi penerus dalam suatu keluarga, sehingga dalam keadaan ini
terdapat hubungan biologis serta hubungan hukum antara orang tua dengan
anak/keturunannya. Perkawinan, sebagaimana diamanatkan Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan, disamping dilangsungkan sah menurut hukum
masing-masing agamanya dan kepercayaannya, tiap-tiap perkawinan juga harus
dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Menurut ajaran agama Hindu, perkawinan tidak hanya dipandang sebagai
suatu perbuatan hukum yang bersifat duniawi (sekala) belaka, melainkan juga
berkaitan dengan kehidupan dunia gaib (niskala) sehingga disakralkan (suci). Konsep
sekala-niskala merupakan sebuah konsepsi yang tidak dapat dilepaskan dari
masyarakat Bali, baik sekala maupun niskala selalu dijaga keharmonisannya,
termasuk dalam perkawinan. Perkawinan merupakan suatu fase yang penting dimana
seseorang memasuki tahap kedua dari catur asrama yang disebut grhasta asrama.
Dalam kehidupan perkawinan seseorang diikat oleh sumpah secara sekala-niskala,
sebab ketika upacara perkawinan berlangsung disertai tri upasaksi (manusa saksi,
dewa saksi, dan bhuta saksi).13 Melalui perkawinan status hukum seseorang berubah.
Awalnya disebut brahmacari, menjadi grhasta dan secara psikologis semula dianggap
“belum dewasa” dengan dilangsungkannya perkawinan, dapat menjadi dewasa atau
yang semula dianggap anak muda (deha) dengan perkawinan akan menjadi suami istri
(alaki-rabi), dengan berbagai konsekwensi yuridis dan sosiologis yang menyertainya.
Itulah sebabnya, pelaksanaan perkawinan tidak hanya menjadi urusan pribadi
calon mempelai, keluarga dan masyarakat (banjar) melainkan juga berurusan dengan
roh leluhur yang bersemayam di sanggah atau merajan, bhuta kala dan Hyang
13
I Ketut Sudantra, dkk, 2011, Perkawinan Menurut Hukum Adat Bali, Udayana University Press,
Denpasar, hlm. 58.
Widhi.14 Begitulah arti penting perkawinan dalam siklus kehidupan seseorang apabila
ditinjau dari hukum adat Bali.
b. Perceraian
Berdasarkan ketentuan Pasal 34 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan, suatu perceraian dianggap terjadi beserta segala akibatnya
terhitung sejak saat pendaftarannya pada kantor Pegawai Pencatat, kecuali bagi
mereka yang beragama Islam terhitung sejak jatuhnya putusan pengadilan Agama
yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap. Dalam Undang-Undang
17
Ibid., hlm. 139.
Perkawinan tidak memberikan tempat bagi hukum adat dalam pelaksanaan perceraian
karena perceraian dikatakan sah setelah ada putusan pengadilan, akibatnya pasangan
suami istri yang telah cerai secara sah berdasarkan putusan pengadilan, tidak
diketahui oleh sebagian besar warga masyarakat hukum adatnya. Misalnya yang
terjadi di Bali, pasangan yang telah bercerai secara sah berdasarkan putusan
pengadilan, tidak diketahui oleh sebagian besar krama desa dan menyulitkan prajuru
desa dalam menentukan tanggung jawab krama desa yang bersangkutan.
Berdasarkan hal tersebut, Pesamuhan Agung III Majelis Desa Pekraman Bali
memutuskan bahwa pasangan suami istri yang hendak bercerai harus menyampaikan
kehendaknya terlebih dahulu kepada prajuru banjar atau desa pekraman dan
menyelesaikannya melalui proses adat, kemudian baru dilanjutkan dengan
mengajukan gugatan perceraian ke pengadilan negeri untuk memperoleh keputusan.
Setelah putusan cerai, warga yang telah bercerai melaksankan upacara perceraian
sesuai agama Hindu dan prajuru desa mengumumkan perceraian tersebut dalam
paruman banjar atau desa pekraman.
Pada masyarakat yang menganut sistem kekeluargaan patrilineal, putusnya
perkawinan karena perceraian tidak mengubah pertanggungjawaban kerabat pihak
suami terhadap anak dan istri dari anggota keluarga/rumah seketurunan ayah, kakek
dan seterusnya ke atas, sepanjang janda belum menikah kembali.
Dalam masyarakat bali, status janda atau duda mempengaruhi kewajiban-kewajiban
mereka dalam masyarakat sebagai kerama banjar atau kerama desa. Bekas suami tetap
melanjutkan sebagai kerama banjar atau kerama desa tetapi kewajibannya (ayah-
ayahan) disesuaikan dengan keadaannya yaitu hanya dikenai ayahan lanang atau
kewajiban laki-laki saja. Bekas istri akan kembali kerumah orang tuanya dan apabila
diterima dengan baik oleh keluarganya sebagaimana ketika masih gadis, maka
statusnya mulih deha (kembali gadis) sehingga hak dan kewajiban dirumah orang
tuanya akan kembali sebagaimana ia belum kawin.18
Menurut hukum adat Bali, konsekuensi adanya perceraian terhadap harta
bawaan masing-masing, baik yang dibawa suami atau istri karena tetadan ialah akan
kembali kepada masing-masing pihak, sedangkan terhadap harta bersama maka dibagi
dua samarata.19
18
Ibid, hlm. 143.
19
I Ketut Sudantra, 2000, Hukum Perkawinan Bagi Umat Hindu di Bali, Bahan Penyuluhan, dalam
Pembinaan/Pembentukan Calon Desa/Kelurahan Sadar Hukum Kabupaten Badung di Desa Persiapan
Tibubeneng, Kecamatan Kuta, tanggal 6-10 Juni 2000, Hal. 18. (Dalam buku Wayan P. Windia dan Ketut
c. Keberadaan anak sesudah perceraian
Sistem kekeluargaan patrilineal keturunan dilacak dari garis bapak, oleh
karena itu apabila kedua orang tuanya bercerai, anak menjadi tanggung jawab pihak
ayah atau kerabat ayahnya dan mengemban hak dan kewajiban dilingkungan keluarga
ayahnya. Apabila dalam perceraian terdapat bayi yang masih menyusui, bayi tersebut
dapat saja dipelihara oleh ibunya dengan status tetap sebagai keluarga pihak ayahnya.
Namun apabila seorang anak terlalu lama ikut ibunya, hal tersebut dapat dijadikan
alasan untuk memutuskan hubungan hukum antara seorang anak dengan ayahnya,
sehingga hak-hak anak sebagai ahli waris menjadi gugur.
d. Kematian
Dalam hal terjadinya kematian, segala biaya dan proses upacara kematian
menjadi tanggung jawab pihak suami atau kerabat suami.
e. Pewarisan
Yang menjadi ahli waris dalam sistem kekeluargaan patrilineal ialah para para
laki-laki dalam keluarga yang bersangkutan, sepanjang tidak terputus haknya sebagai
ahli waris. Dalam hukum adat bali, pewarisan tidak hanya mengenai harta warisan
secara materiil, tetapi juga immateriil yang berupa kewajiban-kewajiban ayah-ayahan
desa/banjar dan upacara pengabenan maupun odalan di sanggah. Proses pewarisan
dapat dilakukan sebelum pewaris meninggal dunia, terutama terhadap harta waarisan
yang dapat dibagi-bagi secara individual, dan terhadap warisan yang bersifat kolektif
pada umumnya diwarisi ileh anak laki-laki sulung atau bungsu tergantung aturan adat
dari masyarakat setempat.
Dalam hukum adat bali, kelompok orang-orang yang termasuk ke dalam garis
keutamaan pertama sebagai ahli waris adalah keturunan pewaris kenceng ke bawah,
yaitu anak laki-laki ataupun anak perempuan yang ditingkatkan statusnya sebagai
penerus keturunan (sentana rajeg) dan anak angkat (sentana peperasan). Sentana
rajeg dan sentana peperasan mempunyai hak yang sama dengan anak kandung laki-
laki terhadap harta warisan.
Anak perempuan yang telah kawin sebagaimana disebutkan dalam Keputusan
Pasamuhan Agung III/2010 bahwa, wanita Bali berhak menerima setengah dari hak
waris purusa setelah dipotong 1/3 untuk harta pusaka dan kepentingan pelestarian.
Hanya jika kaum wanita Bali yang pindah ke agama lain, mereka tak berhak atas hak
Sudantra, 2016, Pengantar Hukum Adat Bali, Cetakan Ke-2, Lembaga Dokumentasi dan Publikasi Fakultas
Hukum Universitas Udayana, hlm. 144.
waris. Jika orangtuanya ikhlas, tetap terbuka dengan memberikan jiwa dana atau
bekal sukarela.” Anak perempuan yang tidak kawin berhak atas pembagian harta
orang tuanya sebagai nafkah hidupnya, sedangkan janda tidak berkedudukan sebagai
ahli waris.
Apabila ahli waris dari golongan keutamaan pertama tidak ada, maka yang
berhak menjadi ahli waris ialah golongan ahli waris kedua yaitu orang tua pewaris,
jika masih ada. Setelah itu, baru kemudian diperhitungkan saudara-saudara pewaris
dan keturunannya sebagai ahli waris pengganti.
Konsekwensi Sistem Kekeluargaan Matrilineal terhadap :
a. Perkawinan
Dalam susunan matrilineal perkawinan yang berlaku adalah samenda. Dimana
calon mempelai pria dan kerabat tidak melakukan pemberian uang kepada pihak
wanita. Setelah perkawinan terjadi maka suami berada di bawah kekuasaan kerabat
isteri dan kedudukan hukumnya bergantung pada bentuk perkawinan samenda.
Dimana setelah perkawinan suami masuk ke dalam kekerabatan isteri hanya sebagai
pemberi benih keturunan dan tidak bertanggung jawab penuh dalam rumah tangga.20
b. Perceraian
Petusan perkawinan karena kematian atau perceraian tidak mengubah
tanggungjawab mamak terhadap kemenakan (mingkabau) atau payung jurai terhadap
kemenakannya (di semendo) atau para kalama (di lampung pesisir). Dalam perceraian
susunan masyarakat matrilineal terdapat pemisahan harta perkawinan dimana harta
pencarian (harta surang ) secara bersama sama menguasainya dan dibagi secara adil,
sedangkan harta bawaan dikuasai oleh masing-masing.tinggal,
c. Keberadaan anak
Di lingkungan masyarakat matrilineal yang terutama wajib dihormati anak
kemenakan selain ayah dan ibunya adalah semua mamak saudara lelaki ibu, terutama
yang berkedudukan mamak kepala waris. Hal mana bukan berarti bahwa kemenakan
tidak wajib hormat kepada bako-baki (kerabat ayah) sebagai “anak pisang” atau juga
kepada para suami dari saudara ibu yang wanita. Keberaan anak berada dalam
tanggung jawab istri dan suami hanya memilki tanggung jawab sebagai pemberi
nafkah.
20
H. Hilman Handika, 2003, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, Mandar Maju, Bandung, hlm.
202.
d. Kematian
Bila terjadi kematian maka akan dilangsungkan di tempat kediam dari istri
atau garis ibu.
e. Pewarisan
Dalam masyarakat yang bersifat matrilineal semua anak-anak hanya dapat
menjadi ahli waris dari ibunya sendiri, baik untuk harta pusaka maupun harta
pencaharianyang di dapat saat berlangsungnya perkawinan
22
Ibid, hlm.139.
3. Agar proses perceraian sejalan dengan proses perkawinan, maka perceraian patut
dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Pasangan suami istri yang akan melangsungkan perceraian, harus
menyampaikan kehendaknya itu kepada prajurubanjar atau desa
pakraman. Prajuru wajib memberikan nasihat untuk mencegah terjadinya
perceraian.
b. Apabila terjadi perceraian maka terlebih dahulu harus diselesaikan melalui
proses adat, kemudian dilanjutkan dengan mengajukannya ke pengadilan
negeri untuk memperoleh keputusan.
c. Menyampaikan salinan (copy) putusan perceraian atau akte perceraian
kepada prajuru banjar atau desa pakraman. Pada saat yang
bersamaan, prajuru banjar atau desa pakraman menyarankan kepada warga
yang telah bercerai supaya melaksanakan upacara perceraian sesuai dengan
agama Hindu.
d. Prajuru mengumumkan (nyobyahang) dalam paruman banjar atau desa
pakraman, bahwa pasangan suami istri bersangkutan telah bercerai secara sah,
menurut hukum nasional dan hukum adat Bali, sekalian
menjelaskan swadharmamantan pasangan suami istri tersebut di banjar atau
desa pakraman, setelah perceraian.23
23
Keputusan Majelis Utama Desa Pekraman Bali (MUDP).
Yang dimaksud dengan Prajuru Desa adalah petugas dalam hal kepengurusan
desa yang dipimpin oleh Bendesa Adat atau Kelihan Desa Adat yang dipilih melalui
suatu Sangkepan (rapat) desa. 24
Bendesa Adat berfungsi sebagai pemegang mandat
dari krama (warga) desa adat yang mempunyai tugas dan fungsi mengorganisasikan
berbagai kegiatan yang berhubungan dengan eksistensi desa adat dengan masa jabatan
beberapa tahun (umumnya lima tahun).25 Bendesa Adat umumnya dibantu oleh
Petajuh (wakil), Penyarikan (sekretaris), Petengen (bendahara), Kesinoman (juru
arah), dan para anggota prajuru lainnya yang diadakan menurut kebutuhan desa serta
diberikan nama menurut kebiasaan-kebiasaan di desa yang bersangkutan.26
Yang dimaksud dengan Prajuru Banjar adalah petugas dalam hal
kepengurusan banjar yang merupakan bagian dari desa adat yang dipimpin oleh
Kelihan Banjar atau Kelihan Sukaduka yang dipilih melalui suatu Sangkepan (rapat)
banjar oleh warga banjarnya. Prajuru Banjar intinya terdiri dari Kelihan Banjar Adat
atau dinamakan juga Kelihan Sukaduka atau Kelihan Patus yang terdiri dari beberapa
orang dengan pembagian tugas yang telah ditetapkan melalui keputusan Sangkepan
banjar.27 Terdapat juga jabatan Kelihan Tempekan yang terdiri dari beberapa
tempekan sebagai pembantu dari Kelihan Banjar untuk menyampaikan
pengumuman- pengumuman banjar dan merupakan unit-unit pelaksana dari banjar
apabila suatu banjar mempunyai wilayah yang agak luas dan anggota banjarnya
banyak.28
24
I Wayan Surpha, 2004, Eksistensi Desa Adat dan Desa Dinas di Bali, Pustaka Bali Post, Denpasar,
hlm. 14.
25
I Gede Pitana, 1994, Desa Adat dalam Arus Modernisasi, BP, Denpasar, hlm. 142.
26
I Wayan Surpha, op.cit, hlm.15.
27
I Wayan Surpha, loc.cit.
28
I Wayan Surpha, op.cit., hlm. 13.
seperti pembuatan KTP, Kipem. Sedangkan banjar adat mengurus hal-hal seputar
kegiatan adat, misalnya penjadwalan aneka upacara adat seperti upacara perkawinan,
upacara kematian, juga mengatur pengadaan aneka pertunjukan kesenian tradisional
yang bersifat ritual.
KELOMPOK 3
2. Jelaskan pengertian warisan dan ahli waris menurut Hukum Adat Bali
Warisan adalah barang-barang berupa harta benda yang ditinggalkan oleh
seorang pewaris.30 Dalam hukum adat Bali, warisan tidak saja berupa barang
berwujud seperti harta benda milik keluarga, melainkan juga berupa hak-hak
kemasyarakatan, seperti hak atas tanah karang desa yang melekat pada status
seseorang sebagai anggota masyarakat desa (karma desa pakraman); hak
memanfaatkan setra (kuburan milik desa), bersembahyang di Kahyangan Desa, dan
lain-lain. Warisan yang berwujud harta keluarga dilihat dari sumbernya dapat
digolongkan swbagai berikut:
1. Tetamian (harta pusaka), yaitu berupa harta yang diperoleh karena pewarisan
secara turun temurun. Tetamian meliputi:
a. Tetamian yang tidak dapat dibagi, ialah harta yang mempunyai nilai magis
religius seperti tempat persembahyang keluarga (sanggah/merajan) dan lain-
lain;
b. Tetamian yang dapat dibagi, yaitu harta warisan yang tidak mempunyai nilai
religius seperti sawah, ladang, dan lain-lain;
2. Tetatadan, yaitu harta yang dibawa oleh masing-masing suami dan istri ke dalam
perkawinan, baik yang diperoleh atas usahanya sendiri (sekaya) ataupun
pemberian/hibah (jiwadana).
3. Pegunakaya (gunakaya), yaitu harta yang diperoleh oleh suami istri selama
perkawinan berlangsung.31
Ahli waris adalah orang yang menerima warisan. Dalam hukum adat Bali,
yang berdasarkan pada sistem kekeluargaan kepurusa, orang-orang yang dapat
diperhitungkan sebagai ahli waris dalam garis pokok keutamaan dan garis pokok
pengganti adalah laki-laki dalam keluarga yang bersangkutan sepanjang tidak terputus
haknya sebagai ahli waris. Kelompok orang-orang yang termasuk dalam garis
keutamaan pertama sebagai ahli waris adalah keturunan pewaris ke bawah yaitu anak
30
Ibid., hlm. 152.
31
Ibid.
kandung laki-laki ataupun anak perempuan yang ditingkatkan statusnya sebagai
penerus keturunan (sentana rajeg) dan anak angkat (sentana peperasan).32
2. Harta bawaan adalah harta warisan yang asalnya bukan didapat karena jerih
payah bekerja sendiri dalam perkawinan melainkan merupakan pemberian karena
hubungan cinta kasih, balas jasa atau karena sesuatu tujuan. Pemberian ini dapat
terjadi dalam bentuk benda tetap atau barang bergerak. Di Bali harta bawaan
ini disebut harta bebaktan yang terdiri dari:
a). Harta akas kaya yaitu harta yang diperoleh suami / istri masing-masing atas
jerih payah sendiri sebelum masuk jenjang perkawinan. Setelah kawin dan
mereka hidup rukun sebagai suami istri, maka harta akas kaya ini jadi
harta bersama / druwe gabro
b). Harta jiwa dana yaitu pemberian secara tulus ikhlas dari orang tua kepada
anaknya baik laki-laki maupun wanita sebelum masuk perkawinan. Pemberian
32
Ibid.
33
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 2001, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Ketiga, Balai
Pustaka, Jakarta, h.1269.
34
Hilman Hadikusuma, 1990, Hukum Waris Adat, Citra Aditya Bakti, Bandung, h. 35.
jiwa dana ini bersifat mutlak dan berlaku seketika, ini berarti bahwa penerima
jiwa dana dapat memindahtangankan harta tersebut tanpa meminta izin dari
saudara-saudaranya. Begitu pula apabila anak wanita yang kawin keluar, istri
yang cerai dari suamnya, ia tetap berhak membawa harta jiwa dana tersebut.
3. Harta bersama yaitu harta yang diperoleh suami istri dalam perkawinan. Pada
hukum adat Bali disebut harta druwe gabro. Penyebutan istilah harta bersama ini
ternyata belum ada keseragaman di Bali, ada yang menyebut guna kaya,
maduk sekaya, pekaryan sareng, peguna kaya, sekaya bareng kalih dan
sebagainya. Apabila terjadi perceraian, barang-barang yang disebut barang guna
kaya ( druwe gabro ) itu harus dibagi dua sama rata.
Disamping harta warisan yang dapat dibagi, dalam hukum adat Bali terdapat
pula golongsan harta warisan yang tidak dapat dibagi-bagi, seperti sanggah/merajan,
duwe tengah (tanah milik bersama) yang diperuntukkan untuk laba (pembiayaan)
sanggah/merajan. Untuk harta warisan golongan ini, umumnya diwarisi secara
kolektif (sistem kewarisan kolektif). Sedangkan terhadap tanah-tanah adat seperti
tanah pekarangan desa (PKD) dan tanah ayahan desa (AYDs) lazimnya diwarisi oleh
seorang anak, anak laki-laki sulung atau bungsu (sistem kewarisan mayorat/minorat)
tergantung aturan adat dari masyarakat setempat.35
4. Sebutkan dan Jelaskan Azas – Azas pewaris menurut Hukum Adat Bali.
35
Made Suasthawa Dharmayuda, 2001, Desa Adat Kesatuan Masyarakat Hukum Adat di Propinsi Bali,
Upada Sastra, Denpasar, h. 140.
Dalam hal membagikan harta warisan, harus duduk bersama dan melihat kondisi
fisik pewaris, kondisi/jumlah harta warisan serta tanggung jawab dan kewajiban
terhadap harta warisan yang ada.
d. Asas Keutamaan
Yaitu setiap ahli waris mempunyai kedudukan yang sama sebagai orang yang
berhak untuk mewarisi harta peninggalan pewarisnya, seimbang antara hak dan
kewajiban tanggungjawab bagi setiap ahli waris untuk memperoleh harta
warisannya. Oleh karena itu, memperhitungkan hak dan kewajiban
tanggungjawab setiap ahli waris bukanlah berarti pembagian harta warisan itu
mesti sama banyak, melainkan pembagian itu seimbang berdasarkan hak dan
tanggungjawabnya.
e. Asas Keberlanjutan/Kelestarian
Tidak semua harta warisan harus dibagi-bagi, harus disisakan sedikit/sebagian
dari harta warisan untuk dilestarikan.
f. Asas Kepurusa atau Purusa
Asas purusa, yaitu alur keturunan berasal dari pihak ayah. Yang menjadi ahli
waris adalah anak laki – laki. Keseluruhan tanggungjawab keluarga dan
keturunannya pada dasarnya berada di pundak laki – laki.
5. Jelaskan apa yang dimaksud ninggal kedaton dalam Hukum Adat Bali.
Sistem kekeluargaan patrilineal (purusa) yang dianut oleh orang Bali-Hindu
menyebabkan hanya keturunan berstatus kapurusa yang dianggap dapat mengurus
dan meneruskan swadharma (tanggung jawab) keluarga, baik dalam hubungan
dengan parahyangan (keyakinan Hindu), pawongan (umat Hindu), maupun
palemahan (pelestarian lingkungan alam sesuai dengan keyakinan Hindu).
Konsekuensinya, hanya keturunan yang berstatus kapurusa saja yang memiliki
swadikara (hak) terhadap harta warisan, sementara keturuan yang berstatus pradana
(perempuan), tidak mungkin dapat meneruskan swadharma, sehingga disamakan
dengan orang yang meninggalkan tanggung jawab keluarga (ninggal kedaton), dan
oleh karena itu, dianggap tidak berhak atas harta warisan dalam keluarga. Ninggal
kedaton didefinisikan sebagai anggota keluarga yang meninggalkan tanggung
jawabnya dalam keluarga baik karena perkawinan, diangkat anak, atau pun pindah
agama.36
36
Majalah Bali Sruti, Edisi 1, tanggal 1 Januari-Maret 2011, hlm. 22-24.
Dalam perkembangannya, kenyataan dalam masyarakat menunjukkan bahwa
ada orang ninggal kedaton tetapi dalam batas tertentu masih memungkinkan
melaksanakan swadharma sebagai umat Hindu (ninggal kedaton terbatas), dan ada
pula kenyataan orang ninggal kedaton yang sama sekali tidak memungkinkan lagi
bagi mereka melaksanakan swadharma sebagai umat Hindu (ninggal kedaton penuh).
Mereka yang dikategorikan ninggal kedaton penuh, tidak berhak sama sekali atas
harta warisan, sedangkan mereka yang ninggal kedaton terbatas masih dimungkinkan
mendapatkan harta warisan didasarkan atas asas ategen asuwun (dua berbanding
satu). Mereka yang tergolong ninggal kedaton terbatas adalag sebagai berikut :37
1) Perempuan yang melangsungkan perkawinan biasa.
2) Laki-laki yang melangsungkan perkawinan nyentana/nyeburin.
3) Telag diangkat anak (kaperas sentana) oleh keluarga lain sesuai dengan agama
Hindu dan Hukum Adat Bali.
4) Menyerahkan diri (makidihang raga) kepada keluarga lain atas kemauan sendiri.
6. Faktor apa yang menyebabkan hak mewaris seorang ahli waris gugur menurut
hukum adat Bali?
Faktor yang menyebabkan hak mewaris seorang ahli waris gugur menurut
hukum adat Bali, yakni :
a. Anak laki-laki kawin nyeburin;
b. Anak laki-laki yang tidak melaksanakan dharamaning anak, misalkan durhaka
terhadap leluhur, durhaka terhadap orang tua;
c. Sentana rajeg yang kawin keluar.
7. Dewasa ini azas-azas pewarisan seperti tersebut dalam soal nomor 4 di atas,
sebenernya masih relevan untuk dilaksanakan, tetapi dalam praktik telah
mengalami pergeseran, karena perkembangan jaman dan pengaruh paham
individualis. Apabila undang-undang dijadikan contoh soal, undang-undang
tentang apa yang dapat dijadikan tonggak mulai bergeseran azas-azas
pewarisan yang dimaksud ?
Undang-undang yang berpengaruh terhadap bergesernya Asas Kepurusa atau
purusa ialah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan Konvensi
37
http://www.balisruti.com/keputusan-majelis-utama-desa-pakraman-bali-mudp-bali.html , diakses pada
tanggal 16 Maret 2019.
Megenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita. Apabila
dikaitkan antara asas kapurusa atas system pewarisan di Bali dengan undang-undang
tersebut, maka dapat dilihat adanya unsur diskriminasi terhadap hak waris terhadap
kaum perempuan. Dimana dalam sistem pewarisan adat Bali menganut sistem
kekerabatan Kapurusa atau purusa. Dalam hukum adat Bali yang berdasarkan pada
sistem kekeluargaan kepurusa, orang-orang yang dapat diperhitungkan sebagai ahli
waris dalam garis pokok keutamaan dan garis pokok pengganti adalah para laki-laki
dalam keluarga yang bersangkutan, sepanjang tidak terputus haknya sebagai ahli
waris.38 Pengaruh antara Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1984 tentang Pengesahan
Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Wanita terhadap asas
Kapurusa di Bali ialah dengan adanya Undang-undang tersebut tidak
memperkenankan adanya diskriminasi terhadap hak-hak perempuan baik itu dalam
hal pewarisan sebagaimana dalam Asas Kapurusa yang mana dalam kapurusa
tersebut, pihak laki-lakilah yang berhak sebagai ahli waris dan menerima warisan.
8. Apabila pasangan suami isteri bubar karena perceraian, jelaskan hak janda dan
duda terhadap harta warisan menurut Paswara 1900 dan Keputusan Pesamuan
Agung MDP Bali 2010!
Masyarakat adat Bali menganut sistem kekeluargaan patrilineal atau kebapaan
yang lebih dikenal dalam masyarakat Bali dengan istilah kapurusa. Bedasarkan pada
sistem kekeluargaan kapurusa, maka orang-orang yang dapat diperhitungkan sebagai
ahli waris dalam garis pokok keutamaan dan garis pokok pengganti adalah para laki-
laki dalam keluarga yang bersangkutan, sepanjang tidak terputus haknya sebagai ahli
waris. Kelompok orang-orang yang termasuk dalam garis keutamaan pertama sebagai
ahli waris adalah keturunan kenceng kebawah, yaitu anak kandung laki-laki ataupun
anak perempuan yang ditingkatkan statusnya sebagai penerus keturunan (sentana
rajeg) dan anak angkat (sentana peperasan).39
Berdasarkan uraian tersebut di atas dapat dilihat bahwa laki-laki di Bali yang
menganut sistem kekeluargaan kapurusa digolongkan sebagai ahli waris dalam garis
pokok keutamaan, sehingga apabila seorang laki-laki yang telah melangsungkan
perkawinan, tetapi kemudian bercerai dan menyandang status sebagai duda, maka
status duda tersebut tidak menghilangkan kedudukannya sebagai ahli waris dan duda
38
Wayan P. Windia dan Ketut Sudantra, op.cit., hlm. 151.
39
Ibid., hlm. 119-155.
tersebut tetap memiliki hak untuk mendapatkan warisan dari pewarisnya. Sedangkan
dalam hukum adat Bali janda bukan merupakan bagian dari ahli waris. Sehingga janda
yang telah bercerai tersebut tidak memiliki hak untuk menuntuk warisan dari mantan
suaminya. Tetapi setelah perceraian tersebut, si janda dapat pulang kembali kerumah
asalnya, dan tetap memiliki hak untuk mendapatkan warisan dari orang tuanya. Hal ini
sesuai dengan Keputusan Majelis Utama Desa Pakraman (MUDP) Bali Nomor
01/KEP/PSM-3/MDPBali/X/2010 tanggal 15 Oktober 2010, yang diselenggarakan di
Gedung Wiswasabha Kantor Gubernur Provinsi Bali memberikan warna baru bagi
sistem kewarisan di Bali. Menurut Keputusan Pesamuan Agung MUDP Bali tersebut,
maka wanita Bali juga untuk berhak menerima warisan dari orang tuanya (pewaris).
Menurut Paswara Pewarisan tahun 1900 yang berhak atas harta warisan
seorang duda atau seorang janda yang tidak mempunyai anak laki-laki adalah
anggota-anggota keluarga lelaki sedarah yang terdekat dalam pancar laki-laki sedarah
yang terdekat dalam pancar laki-laki sampai derajat kedelapan.
Dalam hal janda ditinggal meninggal dunia oleh suaminya, maka menurut Dr. I
Ketut Sudantra, S.H, M.H, dosen hukum adat pada Fakultas Hukum Universitas
Udayana, dalam artikel berjudul Pembaharuan Hukum Adat Bali Mengenai
Pewarisan Angin Segar Bagi Perempuan, hukum adat Bali yang bersistem
kekeluargaan kapurusa (patrilineal), maka seorang janda hanya mempunyai hak untuk
menikmati harta peninggalan suami. Janda tidak mewaris dari suaminya yang
meninggal, karena janda bukan termasuk ahli waris menurut hukum Agama Hindu.
Hal tersebut sesuai dengan ketentuan dalam Paswara tahun 1900 pasal 2 menyatakan
bahwa, seorang suami meninggal dunia dengan meninggalkan harta sedangkan anak
belum dewasa dan seorang janda, maka harta tersebut pertama harus dikuasakan
kepada jandanya.Pengurusan harta warisan tersebut oleh si janda adalah selama anak-
anak belum dewasa dan belum mampu menurut hukum adat bali.Dalam hal seorang
janda menguasai harta peninggalan harus diawasi keluarga atau kerabat suaminya
terdekat untuk menjaga jangan sampai harta peninggalan tersebut disalah gunakan,
karena harta peninggalan akan digunakan untuk anak-anaknya apabila telah dewasa.
Selanjutnya apabila anak-anak sudah dewasa maka si janda akan dipelihara oleh anak-
anak tersebut sampai akhir hayatnya.
Hal yang sama juga ditegaskan oleh pakar hukum adat Fakultas Hukum
Universitas Udayana Prof. Dr. Wayan P. Windia, S.H., M.Si. Dalam artikel
balipost.co.id berjudul Wanita Bali Multifungsi Tetap Dipinggirkan (24/02), Prof.
Wayan P. Windia menyatakan bahwa:
“…jika mengacu Paswara 1900 dan awig-awig desa pakraman, wanita
Bali tak berhak atas warisan, hanya menikmati, itu pun secara terbatas. Ada
syaratnya, selama mereka belum kawin ke luar dan bagi janda bersikap sesuai
dharmaning janda.”
“Beliau menegaskan sebelum 2010 wanita Bali-Hindu hanya berhak
menikmati harta warisan secara terbatas. Sesudah 2010 wanita Bali berhak
atas warisan berdasarkan Keputusan Pesamuan Agung III MUDP Bali No.
01/Kep/PSM-3MDP Bali/X/2010, 15 Oktober 2010. Di SK ini, wanita Bali
menerima setengah dari hak waris purusa setelah dipotong 1/3 untuk harta
pusaka dan kepentingan pelestarian.”
9. Jelaskan arti beberapa istilah dalam hukum adat bali yang erat hubungannya
dengan pewarisan, seperti dibawah ini:
40
Wayan P Windia dan Ketut Sudantra, 2016, Pengantar Hukum Adat Bali, Swasta Nulus, Bali
(selanjutnya disebut Wayan P Windia dan Ketut Sudantra II), hlm. 119.
41
Ibid., hlm. 124.
apabila si ayah tidak mengawini ibunya dengan sebagaimana mestinya maka
anak tersebut tetap berstatus sebagai anak astra42
Anak Bebinjat merupakan anak yang bapak biologisnya sama sekali tidak
diketahui.43
Anak kualon: mengutip dari pernyataan Prof. Dr. I Wayan Windia,SH.,MH
bahwa anak kualon adalah anak yang memiliki satu ayah dengan dua ibu.
Anak Cambra: mengutip dari pernyataan Prof. Dr. I Wayan Windia,SH.,MH
bahwa anak Cambra merupakan anak yang memiliki satu ibu dan dengan dua
ayah.
Tugelan: mengutip dari pernyataan Pasek Pramana,SH.,MH tugelan adalah
saudara kandung.
Udagan Keluaga: mengutip dari pernyataan Pasek Pramana,SH.,MH udagan
keluaga adalah silsilah keluarga.
Klewaran: mengutip dari pernyataan Pasek Pramana,SH.,MH bahwa klewaran
adalah generasi pertama dari tujuh turunan.
KELOMPOK 4
42
Ibid., hlm. 135.
43
Ibid.
1. Apakah yang dimaksud dengan kesetaraan dan keadilan gender (KKG) dalam
kehidupan keluarga dan bermasyarakat ?
Kesetaraan gender adalah keadaan di mana laki-laki dan perempuan sama-
sama memperoleh akses pada, berpartisipasi dalam, mempunyai control atas, dan
memperoleh manfaat dari suatu kebijakan, program dan kegiatan pembangunan
(termasuk dalam bidang hukum) sehingga terwujudlah keadilan. Jadi sasaran
kesetaraan dan keadilan gender (selanjutnya disebut KKG) bukanlah pada
kesetaraannya akan tetapi pada keadilan antara anak laki-laki dan perempuan. 44 Jadi,
dapat dilihat bahwa KKG dalam keluarga itu meliputi kesamaan hak antara anak laki-
laki dan perempuan dalam berbagai hal, baik itu pendidikan dan mendapat hak untuk
mendapatkan warisan dari kedua orang tuanya, contoh hak mendapatkan warisan
dalam hukum adat bali, sebagaimana sudah mulai diatur mengenai berhaknya
perempuan mendapatkan warisan didalam Keputusan Majelis Utama Desa
Pakraman Bali (MUDP) Bali No. 01/KEP/PSM-3/MDP Bali/X/2010 tersebut
wanita mendapatkan warisan orang tuanya dengan asas ategen asuun (2:1) yaitu dua
bagian untuk laki-laki dan satu bagian untuk perempuan setelah terlebih dahulu
dikurangi sepertiga untuk harta bersama.45
Keputusan MUDP tersebut menjadi awal dari penerapan KKG dalam keluarga,
walau masih dirasa kurang adil dengan pembagian tersebut, tetapi patut diapresiasi
langkah itu untuk memberikan perempuan Bali hak atas harta warisan keluarganya,
dikarenakan bagaimanapun juga baik anak laki-laki dan perempuan tidak memiliki
perbedaan, sudah seharusnya masyarakat Bali mulai memberikan anak perempuan
mereka hak atas harta warisan, megingat anak kandung tidak dapat dibeda-bedakan.
KKG dalam kehidupan keluarga juga berarti menjauhkan segala bentuk
ketidakadilan gender yang ada. Hal yang paling sederhana dari wujud adanya
ketidakadilan gender dalam keluarga adalah masih adanya kekerasan dalam rumah
tangga dan beban kerja ganda terhadap perempuan, disamping ketidakadilan gender
lainnya seperti marginalisasi, subordinasi, stereotype.
KKG dalam bermasyarakat sudah dapat dirasakan dan dilihat, seperti halnya
dalam memperoleh suatu pekerjaan yang tidak membedakan lagi antara pegawai laki-
44
Tjok. Istri Putra Astiti et.al. 2017, Buku Ajar Gender Dalam Hukum, Cet. I, Pustaka Ekspresi,
Tabanan, hlm. 15.
45
Nyoman Sukerti, 2012, Hak Mewaris Perempuan alam Hukum Adat Bali Sebuah Studi Kritis, Cet. I,
Udayana Universitas Press, Denpasar, hlm. 96.
laki dan perempuan, ini diatur dalam pasal 5 dan 6 Undang-Undang Nomor 25 Tahun
1997 Tentang Ketenagakerjaan (UU Keteragakerjaan) yaitu:
Pasal 5 “pengusaha wajib memberikan kesempatan yang sama tanpa diskriminasi
kepada setiap pekerja untuk memperoleh pekerjaan”.
Pasal 6 “pengusaha wajib memberikan perlakuan yang sama tanpa diskriminasi
kepada pekerja”.
Pemaparan di atas jelas menegaskan bahwa KKG sudah mulai diterapkan di
masyarakat, namun tidak menutup kemungkinan juga masih diterapkan dalam
pekerjaan-pekerjaan tertentu yang dirasa perempuan tidak mampu untuk
melakukannya. Perjuangan KKG tersebut dalam masyarakat Bali, perempuan Bali
tidak hanya bergelut dalam ranah domestik tetapi juga dalam sektor publik seperti:
pegawai swasta, politik, kepala desa, menteri bahkan presiden dan juga sektor
informal keterlibatan perempuan juga cukup tinggi bahkan tidak jarang melebihi
keterlibatan kaum laki-laki, seperti pemaparan hasil penelitian yang menunjukkan
bahwa keterlibatan perempuan di Bali mengalami peningkatan dari tahun 2003
Tingkat Partisipasi Angkatan kerja (selanjutnya disebut TPAK) perempuan 59,92
persen, meningkat menjadi 61,43 persen, tahun 2005 sebesar 66,80 persen, dan pada
tahun 2007 sebesar 67,78 persen (Badan Pusat Statistik (BPS), 2006).46
Namun tidak jarang ketika kaum perempuan sudah disetarakan dengan kaum
laki-laki untuk urusan pekerjaan, masih terjadi ketidakadilan gender dalam hal
pelabelan (stereotype). Sebagai contoh, ketika kaum perempuan bekerja pada malam
hari maka akan muncul pelabelan bahwa perempuan/pekerjaan perempuan tersebut
tidak baik.
Berdasarkan pemaparan di atas bahwa KKG dalam keluarga dan masyarakat
khususnya di Bali dengan sistem kekerabatan yang Patrilineal sudah mulai
menempatkan perempuan Bali dengan lebih layak untuk setara dengan laki-laki, ini
dapat dilihat dari sistem pewarisan yang mana perempuan mendapatkan harta warisan
walaupun berbeda bagian dengan laki-laki. Sedangkan dalam masyarakat, KKG
sendiri sudah diakomodir dengan UU Ketenagakejaan maupun undang-undang
lainnya yang menegaskan penyetaraan terhadap setiap orang termasuk perempuan
tanpa diskriminasi dalam segala jenis pekerjaan dan kehidupan bermasyarakat seperti
keterwakilan perempuan dalam organisasi maupun pemerintahan.
46
Wayan P. Windia, Ni Made Wiasti dan Ni Luh Arjani, 2012, Pewarisan Perempuan Menurut
Hukum Adat Bali, Cet. I, Udayana Universitay Press, Denpasar, hlm. 37.
Jadi dapat disimpulkan bahwa KKG dalam kehidupan keluarga dan
bermasyarakat adalah keadaan dimana dikondisikan/disetarakannya perempuan
dengan laki-laki secara proporsional dan menjauhkan segala bentuk ketidakadilan
gender dalam hal kehidupan di keluarga dan di masyarakat sehingga tidak
menimbulkan pertentangan satu sama lain dan dapat menciptakan kedamaian. Konsep
KKG ini bertujuan untuk memberikan ruang bagi perempuan untuk dapat
mengembangkan dan memberikan hak mereka dalam keluarga, selain itu dapat
bersosialisasi, berinovasi di lingkugan masyarakat.
47
R. Soepomo, 1977, Bab-Bab Tentang Hukum Adat, Pradnya Paramita, Jakarta, hlm. 51.
48
H. Hilman Hadikusuma, 2003, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, Mandar Maju, Bandar
Lampung (selanjutnya disebut H. Hilman Hadikusuma I), hlm. 186.
49
H. Hilman Hadikusuma, 1987, Hukum Kekerabatan Adat, Fajar Agung, Jakarta (selanjutnya disebut
H. Hilman Hadikusuma II), hlm. 27.
50
H. Hilman Hadikusuma I, loc.cit.
51
H. Hilman Hadikusuma II, loc.cit.
Perkawinan yang dilaksanakan atas dasar sistem kekeluargaan parental
merupakan bentuk perkawinan yang lebih mendekati Kesetaraan dan Keadilan
Gender (KKG) karena hak dan kedudukan suami dan isteri dalam kehidupan rumah
tangga adalah seimbang. Suami sebagai kepala keluarga dan isteri sebagai ibu rumah
tangga. Suami dan istri sama-sama berhak untuk malakukan perbuatan hukum, baik
bersama-sama ataupun sendiri-sendiri baik di luar maupun di hadapan pengadilan.52
Kelemahan perkawinan yang dilaksanakan atas dasar sistem kekeluargaan parental
adalah dapat menimbulkan perselisihan antara suami dan istri terkait dengan hak dan
kewajiban untuk mengurus, memilihara dan mendidik anak pada saat terjadi
perceraian.53
Perkawinan dengan sistem kekeluargaan parental di Bali dikenal dengan istilah
perkawinan pada gelahang. Pada perkawinan pada gelahang, suami dan istri tetap
berstatus kapurusa di rumahnya masing – masing, sehingga harus mengemban dua
tanggungjawab dan kewajiban (swadharma), yaitu meneruskan tanggungjawab
keluarga istri dan juga meneruskan tanggungjawab keluarga suami, sekala maupun
niskala, secara terus menerus atau dalam jangka waktu tertentu, tergantung dari
kesepakatan pasangan suamin istri beserta keluarganya.54
55
Ibid., hlm. 18.
4. Disadari atau tidak, seseorang notaris di Bali, sedikitnya mengemban dua tugas.
Pertama, tugas kenotarisan sebagaimana diatur dalam undang – undang.
Kedua, “tugas lain” yang terkait dengan usaha kelestarian “pendukung budaya
Bali”. Apabila ada satu keluarga berkeinginan membagi habis harta
warisannya, yang akan saya sampaikan / jelaskan kepada keluarga yang
bersangkutan dalam konteks kedua tugas ini adalah sebaiknya terhadap harta
warisan tersebut tidak dibagi habis.
Konsepsi pewarisan suatu keluarga menurut hukum adat Bali terhadap harta
warisan tidak hanya menyangkut harta yang mempunyai nilai ekonomis saja,
melainkan pula meliputi harta yang mempunyai arti religius. Warisan dalam hukum
adat Bali dikenal dalam dua bentuk yaitu warisan dalam bentuk harta benda milik
keluarga dan warisan dalam bentuk hak – hak kemasyarakatan, seperti hak atas tanah
karang desa, hak memanfaatkan setra dan kewajiban immaterial seperti kewajiban
terhadap orang tua serta kewajiban menjalankan tugas - tugas keagamaan terhadap
tempat – tempat suci peninggalan para leluhur. Warisan dalam bentuk harta benda
milik keluarga terbagi atas :
1. Tetamian atau harta pusaka yaitu harta yang diperoleh secara turun temurun
seperti tempat persembahyangan keluarga yaitu sanggah/merajan, keris pengentas,
alat-alat upacara, tanah duwe tengah, dan lain sebagainya.
2. Tetadan yaitu harta yang dibawa oleh masing – masing suami dan istri ke dalam
perkawinan
3. Gunakaya yaitu harta yang diperoleh oleh suami istri selama perkawinan
berlangsung
Pewarisan menurut hukum adat Bali mengandung hak dan kewajiban yang
diberikan pewaris kepada ahli waris. Pewaris dalam hal ini adalah orang tua yang
mewariskan warisan kepada anak – anaknya selaku ahli waris. Hukum adat Bali
mengenal kewajiban immaterial orang tua selaku pewaris berupa wajib untuk
melaksanakan upacara – upacara menyangkut kehidupan anak seperti upacara
metelubulanan (tiga bulanan), mesangih (potong gigi), dan pawiwahan (perkawinan).
Hak – hak orang tua sebagai pewaris adalah terhadap harta warisannya harus
dipergunakan untuk melakukan pembakaran jenazah orang tua yang telah meninggal
dunia. Upacara tersebut dalam hukum adat Bali dikenal dengan upacara pengabenan.
Pelaksanaan upacara pengabenan memerlukan biaya yang tidak sedikit, sehingga
setidak- tidaknya akan mengambil biaya dari harta warisan. Pembiayaan lainnya yang
akan timbul adalah dalam menjalankan tugas – tugas keagaman pada tempat – tempat
suci peninggalan leluhur juga memerlukan biaya. Selaku ahli waris kebijaksanaan
mempertimbangkan hal – hal tersebut harus dilakukan, pada pembagian harta warisan
sebaiknya memperhitungkan bagian yang nantinya akan digunakan untuk pembiayaan
upacara keagamaan pada tempat suci peninggalan leluhur. Harta warisan yang berupa
tetamian seperti sanggah, keris pengentas, alat-alat upacara, tanah duwe tengah, dan
lain sebagainya memang benar memiliki nilai ekonomis, namun tetamian ini
sebaiknya dipertahankan. Karena memiliki fungsi demi kepentingan keagamaaan dan
tradisi sehingga proses pewarisannya hendaknya dipertahankan dalam lingkungan
keluarga secara utuh dan turun-temurun jangan sampai keluar dari lingkungan
keluarga. Pewarisan dalam hukum adat Bali adalah dalam hal hak dan kewajiban,
apabila hak terhadap harta warisan telah diambil maka harus diikuti dengan kewajiban
yang harus dipikul. Salah satunya adalah kewajiban pelaksanaan dan pembiayaan atas
upacara – upacara keagamaan yang harus terus dilestarikan guna sebagai bentuk usaha
kelestarian pendukung budaya Bali agar tetap ajeg dan diteruskan oleh para ahli waris
berikutnya.
5. Deskripsikan duduk perkara satu tindak pidana yang sedang atau pernah
terjadi dalam masyarakat, yang melibatkan notaris, berdasarkan pemberitaan
dimedia cetak (Koran/majalah), disertai komentar/analisis aspek etika profesi
maupun hukum positif. Jawaban agar disertai kliping majalan/Koran yang
sempat memberitakannya.
Perbuatan seseorang dikatakan sebagai tindak pidana apabila perbuatan
tersebut telah tercantum dalam undang-undang. Dengan kata lain untuk mengetahui
sifat perbuatan tersebut dilarang atau tidak, harus dilihat dari rumusan undang-
undang. Asas yang menentukan bahwa tidak ada perbuatan yang dilarang dan
diancam dengan pidana jika tidak ditentukan terlebih dahulu dalam perundang-
undangan atau yang dikenal dengan asas legalitas. Perumusan tentang tanggung jawab
pidana notaris yang melanggar peraturan perundang-undangan tidak diatur secara
khusus didalam Undang-Undang Jabatan Notaris Nomor 2 Tahun 2014 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris.
Walaupun demikian bukan berarti notaris tidak dapat dijatuhi sanksi hukum pidana.
Seperti yang terjadi pada notaris Eunika Wahyu Praseyanti. Berdasarkan
dakwaan Jaksa Penuntut Umum, ia diduga melakukan pemalsuan surat didalam akta
otentik berupa Akta Jual Beli Nomor 55/2010 tanggal 11 Agustus 2010. Perbuatan
notaris tersebut melanggar pasal 264 ayat (1) ke-1 Kita Undang-Undang Hukum
Pidana. Kasus ini bermula dari adanya jual beli sebidang tanah dengan sertipikat hak
milik nomor 8683/Kelurahan Benoa seluas 205 M2 atas nama pemilik I Wayan
Mudra dan I Made Sendra yang dibeli oleh Fike Stania dengan memakai jasa
terdakwa sebagai Notaris pada tanggal 4 Maret 2010. Saat itu akta jual beli sudah
ditandatangani oleh kedua belah pihak, namun belum diberikan nomor akta. Lalu
terdakwa melakukan penundaan saat proses pengalihan hak dari pemilik I Wayan
Mudra dan I Made Sendra kepada pihak pembeli Fike Stania atas permintaan Rodney
John Diggle melalui Ni Ketut Trisnawati dengan alasan ada permasalahan keluarga
antara Fike Stania dengan Rodney John Diggle. Karena ingin membangun vila di atas
tanah itu, Fike Stania meminta terdakwa memberikan nomor dan tanggal akta pada
akta jual beli tersebut sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan Ijin Mendirikan
Bangunan (IMB). Kemudian akta jual beli yang sudah diberikan nomor 55/2010
tanggal 11 Agustus 2010 itu digunakan sebagai syarat mengajukan permohonan IMB
oleh Fike Stania melalui kuasa hukumnya Putu Darmayasa ke pihak Dinas Cipta
Karya Badung dan kemudian terbit IMB Nomor 060/tanggal 27 Juni 2011 atas nama
Fike Stania. Masalah mulai muncul ketika Roedney John Diggle dan Fike Stania
resmi bercerai pada tanggal 7 Februari 2012 di Australia. Pada tanggal 28 Desember
2012, Oktaviana Sarah Tangduli yang mengaku sebagai pacar dari Roedney John
Diggle mendatangi kantor terdakwa untuk meminta mengganti akta jual beli Nomor
55/2010 tanggal 11 Agustus 2010 atas Nama Fike Stania menjadi Oktaviana Sarah
Tangduli dengan alasan uang pembelian tanah itu berasal dari Roedney. Pada mulanya
terdakwa sempat menolak permintaan dari Oktaviana Sarah Tangduli, namun karena
terus didesak terdakwa kemudian mengganti nama akta jual beli tersebut
menggunakan mesin ketik (uraian kasus berdasarkan berita yang termuat dalam Koran
Nusa Bali, edisi 20 Mei 2017, yang diakses secara online pada website
www.NusaBali.com pada tanggal 07 Desember 2017)
Berdasarkan uraian kasus di atas maka akta yang dibuat oleh notaris tersebut
memuat unsur tindak pidana yaitu menimbulkan kerugian yang di derita bagi para
pihak. Oleh karena itu, berdasarkan bukti-bukti permulaan yang cukup maka sudah
selayaknya notaris diduga telah melakukan tindak pidana pemalsuan surat didalam
akta otentik berupa Akta Jual Beli berkaitan dengan kewenangan notaris sebagaimana
tercantum dalam pasal 15 Undang-Undang Jabatan Notaris. Memalsukan surat
merupakan perbuatan mengubah dengan cara bagaimanapun, oleh orang yang tidak
berhak atas sebuah surat yang berakibat sebagian atau seluruhnya menjadi lain atau
berbeda dengan isi surat semula. Bilamana perbuatan tersebut dilakukan oleh pihak
yang tidak berhak, tidak penting apakah dengan perbuatan tersebut lalu isinya menjadi
benar, maka pemalsuan surat telah terjadi. Sama seperti membuat surat palsu,
memalsukan surat juga dapat terjadi pada sebagian ataupun seluruh isi surat.56
Dalam menjalankan tugas dan kewenangannya sebagai seorang pejabat umum
yang telah diangkat untuk kepentingan Negara, didalam menjalankan tugas jabatannya
harus berpegang teguh pada Undang-Undang Jabatan Notaris dan Kode Etik Jabatan
Notaris karena tanpa itu harkat dan martabat profesionalisme sebagai seorang pejabat
Notaris sebagai seorang pejabat Negara akan hilang. Demi menjaga harkat dan
martabat profesionalisme sebagai pejabat Negara, seorang Notaris harus memiliki
sikap serta prinsip anatara keseimbangan antara mengejar kepentingan materi maupun
kepentingan umum.
Notaris sebagai pejabat umum yang berwenang membuat akta otentik harus
dapat mempertanggungjawabkan akta yang dibuatnya tersebut apabila ternyata
dikemudian hari timbul masalah dari akta otentik tersebut, terutama berkaitan dengan
hukum pidana. Oleh karnanya rasa tanggung jawab baik secara individual maupun
social terutama ketaatan terhadap norma-norma hukum dan kesediaan untuk tunduk
pada kode etik profesi merupakan suatu hal yang wajib, sehingga akan memperkuat
norma hukum positif yang sudah ada. Salah satu ketentuan yang dapat diterapkan
terhadap profesi notaris adalah penegakan hukum pidana dan dalam konteks ini
hukum pidana dapat ditegakkan apabila notaris telah melakukan perbuatan pidana
atau tindak pidana.
Pertanggungjawaban pidana, dalam istilah asing disebut juga
Teorekenbaardheid atau criminal responsibilty, yang menjurus kepada pemidanaan
pelaku dengan maksud untuk menentukan seseorang tersangka atau terdakwa
dipertanggungjawabkan atas suatu tindak pidana yang terjadi atau tidak.
Pertanggungjawaban pidana itu sendiri adalah diteruskannya celaan yang objektif
yang ada pada tindak pidana.57 Secara singkat dapat disimpulkan bahwa pengertian
dasar dari hukum pidana ialah perbuatan pidana dan pertanggungjawab pidana. Unsur
56
Adam Chazawi, 2000, Kejahatan Mengenai Pemalsuan, PT. Raja Grafindo, Jakarta, hlm. 100-101.
formil dari perbuatan pidana ialah perbuatan yang dilarang dan diancam dengan
pidana, barang siapa yang melanggar larangan tersebut, sedangkan unsur materiilnya
ialah bersifat melawan hukum. Unsur pertanggungjawaban pidana ialah kesalahan. 58
Prinsip tanggung jawab berdasarkan kesalahan (liability based on fault) yaitu
prinsip-tanggung jawab atas prinsip umum yang berlaku dalam hukum pidana. Notaris
dapat mempertanggungjawabkannya bila ada unsur kesalahan yang dilakukan. Untuk
membuktikannya, perlu dibuktikan adanya perbuatan, kesalahan, kerugian dan
hubungan kausalitas. Ternyata bila ada pihak yang keberatan dan dapat ditemukan
bukti bahwa diketahui ada hal-hal yang dilanggar oleh notaris dalam pembuatan akta,
maka notaris dapat dimintakan pertanggungjawabannya sesuai dengan bobot
kesalahan yang dilakukannya.
Berdasarkan uraian analisis di atas maka dapat disimpulkan bahwa
pertanggungjawaban notaris selaku pejabat umum yang terlibat dalam perkara pidana,
secara hukum materil notaris akan dikenakan apa yang telah ditentukan Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (dalam kasus yang dipaparkan di atas diancam
dipidana sesuai ketentuan pasal 264 ayat 1 ke-1 Kitab Undang- Undang Hukum
Pidana), pemidanaan terhadap notaris dapat dilakukan sepanjang batasan-batasan
sebagaimana tersebut di atas dilanggar artinya di samping memenuhi rumusan
pelanggaran yang tersebut dalam Undang-Undang Jabatan Notaris, Kode Etik jabatan
notaris juga harus memenuhi rumusan yang tersebut dalam KUH Pidana.
57
Mahmud Mulyadi dan Feri Antoni Surbakti, 2010, Politik Hukum Pidana Terhadap Kejahatan
Korporasi, PT. Softmedia, Jakarta, hlm. 34.
58
S.R. Sianturi, 1996, Azas-Azas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Cetakan Keempat,
Alumni Heam, Jakarta, hlm. 163.
NusaBali.com - Notaris Eunika yang jadi terdakwa kasus pemalsuan akta jual beli tanah di
PN Denpasar. .-REZA
Eurika sempat ditahan selama satu bulan di Kejati Bali, namun majelis hakim pimpinan
Estar Oktavi berikan penangguhan penahanan.
Notaris Eunika Wahyu Praseyanti, 54, selalu tutup wajahnya dengan buku kecil yang
dibawanya saat menjalani persidangan di Pengadilan Negeri (PN) Denpasar, Kamis (18/5).
Eunika duduk di kursi pesakitan karena diduga memalsukan surat akta jual beli tanah.
Dalam dakwaan Jaksa Penuntut Umum (JPU) I Putu Suparta Jaya menyatakan, terdakwa
telah melakukan pemalsuan surat di dalam akta otentik berupa Akta Jual Beli Nomor 55/2010
tanggal 11 Agustus 2010. “Perbuatan terdakwa tersebut sebagaimana diatur dan diancam
pidana dalam pasal 264 ayat (1) ke-1 KUHP,” beber Suparta Jaya.
Kasus yang menyeret terdakwa ini bermula dari adanya jual beli sebidang tanah dengan
sertifikat hak milik Nomor 8683/Kel Benoa seluas 205 M2 atas nama pemilik I Wayan
Mudra dan I Made Sendra yang dibeli oleh Fike Stania dengan memakai jasa terdakwa
sebagai Notaris pada Tanggal 4 Maret 2010. Saat itu akta jual beli sudah ditandatangani oleh
kedua pihak, namun belum diberikan nomor.
Lalu terdakwa melakukan penundaan saat proses pengalihan hak dari pemilik I Wayan Mudra
dan I Made Sendra kepada pihak pembeli Fike Stania atas permintaan Rodney John Diggle
melalui Ni Ketut Trisnawati dengan alasan ada permasalahan keluarga antara Fike Stania
dengan Rodney John Diggle. Karena ingin membangun vila di atas tanah itu, Fike Stania
meminta terdakwa memberikan nomor dan tanggal pada akta jual beli tersebut sebagai salah
satu syarat untuk mendapatkan Izin Mendirikan Bangunan (IMB).
Kemudian, akta jual beli yang sudah diberikan Nomor 55/2010 tanggal 11 Agustus 2010 itu
digunakan sebagai syarat mengajukan permohonan IMB oleh Fike Stania melalui kausa
hukumnya Putu Darmayasa ke pihak Dinas Cipta Karya Badung dan kemudian terbit IMB/
Nomor 060/tanggal 27 Juni 2011 atas nama Fike Stania. Selanjutnya, karena ingin
membangun kolam renang dan teras yang digunakan sebagai ruang makan di villa itu, Fike
menyewa tanah milik Ni Ketut Trisnawati yang kebetulan bersebelahan dengan tanah yang
dibangun villa itu.
Tanah sewa seluas 109 M2 itu dibagi menjadi 70 M2 untuk kolam renang dan 39 M2
dijadikan teras dengan akta sewa menyewa Nomor 20 tanggal 16 November 2010 antara
Ketut Trisnawati dengan Fike Stania dan Rodney John Diggle. Akta dibuat di hadapan
terdakwa sebagai notaris. Tanah itu disewa selama 25 tahun dari tanggal 16 November 2010
sampai 16 Noveber 2035 dengan nila Rp 25.000.000 per tahun.
Masalah mulai muncul ketika Roedney John Diggle dan Fike Stania resmi bercerai pada
tanggal 7 Februari 2012 di Australia. Pada tanggal 28 Desember 2012, Oktaviana Sarah
Tangduli yang mengaku sebagai pacar dari Roedney John Dinggle mendatangi kantor
terdakwa untuk meminta menganti akta jual beli Nomor 55/2010 tanggal 11 Agustus 2010
atas nama Fike Stania menjadi Oktaviana Sarah Tangduli dengan alasan uang pembelian
tanah itu berasal dari Roedney. “Pada mulanya terdakwa sempat menolak permintaan dari
perempuan bernama Sarah itu. Namun karena terus didesak terdakwa kemudian menganti
nama akta jual beli tersebut mengunakan mesin ketik,” beber Suparta Jaya.
6. Dalam kartu tanda Penduduk (KTP), tertulis antara lain : nama, tempat/tahun
lahir, jenis kelamin, status perkawinan, dan alamat/domisili. Jelaskan apa
makna penyebutan masing-masing identitas tersebut dari aspek hukum
dan/atau profesi notaris ?
Notaris dalam Bahasa Inggris disebut dengan notary, sedangkan dalam bahasa
Belanda disebut dengan van notaris, mempunyai peranan yang sangat penting dalam
lalu lintas hukum, khususnya dalam bidang hukum keperdataan, karena notaris
berkedudukan sebagai pejabat public, yang mempunyai kewenangan untuk membuat
akta dan kewenangan lainnya.59 Berdasarkan pasal 1 angka 1 Undang-undang No. 2
Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang No 30 tahun 2004 tentang
Jabatan Notaris, Notaris adalah Pejabat Umum yang berwenang untuk membuat akta
otentik dan memiliki kewenangan lainnya sebagaimana dimaksud dalam undang-
undang ini atau berdasarkan undang-undang lainnya. Apabila ditelaah menegnai 2
pengertian di atas, maka notaris memiliki wewenang untuk
59
H. Salim HS, 2016, Teknik Pembuatan Akta Satu; Konsep Teoretis, Kewenangan Notaris, Bentuk dan
Minuta Akta, PT RajaGrafindo, Jakarta, hlm. 33.
1. Kewenangan untuk membuat akta otentik
2. Kewenangan lainnya
Akta yang dibuat dimuka dan dihadapan Notaris mencakup 3 (tiga) hal yaitu :
1. Awal akta atau keplaa akta
2. Badan akta
3. Akhir atau penutup akta
Dari uraian pasal tersebut penyebutan identitas sesuai dengan didasarkan pada
keterangan KTP diperlukan dalam hal komparisi dan saksi, maka dari itu akan
dijabarkan pentingnya indentitas yang termuat dalam KTP dalam hal komparisi dan
saksi, sebagai berikut:
1. Komparisi
Komparisi dalam bahasa Inggris disebut the identity of the parties, sedangkan
dalam Bahasa Belanda disebut de identiteit van de partijen, yaitu bagian suatu
akta yang memuat identitas para pihak yang mengikatkan diri dalam akta secara
lengkap. Ray Wijaya mengemukakan lima fungsi komparisi, meliputi:60
60
Ray Wijaya, 2003, Merancang Suatu Kontrak; Contract Drafting Teori dan Praktek, Kasiant Blanc,
Jakarta, hlm. 106-107.
a. Menjelaskan identitas Pihak dalam Akta
b. Menjelaskan posisi/kedudukan para pihak (sebagai apa) dalam kontrak yang
bersangkutan
c. Menerangkan dasar (landasan) dari para pihak yang bersangkutan
d. Akn diketahui bahwa para pihak memiliki kecakapan dan kewenangan untuk
melaksanakan akan tindakan hukum yang dituangkan dalam kontrak yang
bersangkutan
e. Orang akan tahu bahwa para pihak memang mempunyai hak untuk melaksanakan
tindakan dalam kontak yang bersangkutan
Di dalam Pasal 38 ayat (3) Undang-undang No. 2 Tahun 2014 tentang Perubahan
atas Undang-Undang No 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris telah ditentukan
tujuh hal yang dimuat dalam komparisi, yang meliputu
a. Nama Lengkap
Nama lengkap berkaitan dengan penyebutan para pihak secara lengkap dalam
akta. Komparisi atau para pihak dalam pembuatan akta, tidak hanya bertindak
untuk diri tetapi juga bisa mewakili perusahaan lainnya.
b. Tempat dan tanggal lahir
Tempat dan tanggal lahir berkaitan Negara, daerah atau desa yang bersangkutan
dilahirkan dan bilangan yang menyebutkan hari lahirnya yang bersangkutan
dalam satu bulan
c. Kewarganegaraan
Kewarganegaraan berkaitan dengan warga Negara, warga Negara ialah penduduk
dari suatu bangsa atau Negara berdasarkan keturunan atau tempat lahirnya.
Folisofi dari pencantuman kewarganegaraan dalam akta ialah berkaitan dengan
apakah warga Negara tersebut mempunyai hak untuk memiliki sesuatu. Seperti
WNA tidak boleh memiliki hak milik atas tanah, sedangkan yang berhak
memiliki ha katas tanah ialah WNI.
d. Pekerjaan
Pekerjaan berkaitan dengan mata pencaharian atau hal yang dilakukan dalam
kehidupan sehari-hari.
e. Jabatan
Jabatan berkaitan pekerjaan (tugas) dalam pemerintah atau organisasi
f. Kedudukan bertindak menghadap
Kedudukan bertindak menghadap berkaitan dengan dasar hukum bertindak.
Dalam praktik kenotariatan, variasi kedudukan bertindak menghadap terdiri atas
1. Bertindak untuk diri sendiri
2. Bertindak berdasark kuasa di bawah tangan
3. Bertindak dengan persetujuan kawan kawin yang turut hadir dihadapan
notaris
4. Bertindak berdasar surat persetujuan dari kawan kawin
5. Bertindak selaku seorang ayah dalam menjalankan kekuasaan orang tua
6. Bertindak selaku wali dari anak yang masih di bawah umur
7. Bertindak selaku pengampu dari orang yang ditaruh di bawah pengampuan
8. Bertindak berdasarkan kuasa otentik
9. Bertindak selaku persero pengurus dari persekutuan komanditer
10. Bertindak selaku persero pengurus dengan persetujuan persekutuan
komanditer dari persekutuan komanditer yang kut hadir dihadapan notaris
11. Bertindak selaku persero pengurus dengan surat persetujuan persekutuan
komanditer dari persekutuan komanditer
12. Bertindak selaku direktur dari perserpan terbatas
13. Bertindak selaku direktur dengan persetujuan komisaris dari perseroan
terbatas
g. Tempat tinggal para penghadap dan/atau orang yang mereka wakili
Tempat tinggal para penghadap dan/atau orang yang mereka wakili berkaitan
tempat kediaman atau domisili dari para pihak atau penghadap atau orang yang
mewakilinya
Secara yuridis di dalam badan akta tidak dicantumkan KTP, sedangkan dalam
praktiknya KTP selalu dicantumkan oleh Notaris dalam bagian akhir komparisi.
Filosofi pencantuman KTP dalam akta, yaitu :
a. Untuk mengetahui kapasitas hukum dari penghadap, khususnya yang membuat
tentang tempat dan lahir dari penghadap. Tanggal lahir menunjuk pada umur
penghadap
b. Domisili penghadap
c. Kewarganegaraan penghadap
Pada dasarnya tidak semua orang atau penghadap dapat membuat akta di hadapan
Notaris, namun yang dapat membuat akta yaitu orang-orang yang memenuhi
syarat, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 39 Undang-undang No. 2 Tahun
2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang No 30 tahun 2004 tentang Jabatan
Notaris. Syarat-syarat itu, meliputi :
a. Paling sedikit berumur 18 (delapan belas) tahun atau telah menikah
b. Cakap melakukan perbuatan hukum
c. Penghadap harus dikenal oleh notaris atau diperkenalkan kepadanya oleh 2
(dua) orang saksi pengenal
d. Pengenal dinyatakan secara tegas dalam akta.
2. Saksi
Saksi dalam bahasa Inggris disebut the witness deangkan dalam bahasa Belanda
disebut getuigen merupakan orang yang diminta hadir pada saat pembuatan akta
agar suatu ketika apabila diperlukan dapat memberikan keterangan yang
membenarkan bahwa akta yang dibuat oleh para pihak benar-benar terjadi. Dalam
badan akta, saksi hanya disebutkan secara sepintas, seperti
“dengan dihadiri oleh saksi-saksi yang kami kenal/diperkenalkan kepada kami
dan akan disebutkan di bagian akhir akta ini”
Saksi yang ditunjuk dalam akta merupakan saksi yang dikenal oleh notaris atau
saksi yang diperkenalkan oleh para pihak kepada notaris. Ada enam syrata untuk
menjadi saksi, yang meliputi :
a. Minimal berumur 18 (delapan belas) tahun atau telah menikah
b. Cakap melakukan perbuatan hukum
c. Mengerti bahasa yang digunakan dalam akta
d. Dapat membubuhkan tanda tangan dan paraf
e. Tidak mempunyai hubungan perkawinan atau hubungan darah dalam garis
lurus ke atas atau kebawah tanpa pembatasan derajat dan garis lurus
kesamping sampai dengan derajat ketiga dengan notaris atau para pihak
f. Harus dikenal oleh notaris atau diperkenalkan kepada notaris atau diterangkan
tentang identitas dan kewarganegaraannya kepada notaris atau penghadap.
DAFTAR PUSTAKA
Buku-Buku
Adam Chazawi, 2000, Kejahatan Mengenai Pemalsuan, PT. Raja Grafindo, Jakarta.
C. van Vollenhoven, Het Adatrecht cab Bederkandsch-Indie, Dell III, Alumni, Bandung.
Eman Suparman, 2007, Hukum Waris Indonesia Dalam Perspektif Islam, Adat dan BW,
Cetakan Kedua, PT. Refika Aditama, Bandung.
Gde Panetja, 2004, Aneka Catatan Tentang Hukum Adat Bali, Kayumas Agung, Denpasar.
H. Hilman Hadikusuma, 2003, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, Mandar Maju,
Bandar Lampung.
H. Hilman Handika, 2003, Pengantar Ilmu Hukum Adat Indonesia, Mandar Maju, Bandung.
H. Salim HS, 2016, Teknik Pembuatan Akta Satu; Konsep Teoretis, Kewenangan Notaris,
Bentuk dan Minuta Akta, PT RajaGrafindo, Jakarta.
I Gede A. B. Wiranata, 2005, Hukum Adat Indonesia Perkembangannya dari Masa ke Masa,
Citra Aditya Bakti, Bandung.
I Gede Pitana, 1994, Desa Adat dalam Arus Modernisasi, BP, Denpasar.
I Ketut Sudantra, dkk, 2011, Perkawinan Menurut Hukum Adat Bali, Udayana University
Press, Denpasar.
I Wayan Surpha, 2004, Eksistensi Desa Adat dan Desa Dinas di Bali, Pustaka Bali Post,
Denpasar.
Mahmud Mulyadi dan Feri Antoni Surbakti, 2010, Politik Hukum Pidana Terhadap
Kejahatan Korporasi, PT. Softmedia, Jakarta.
Nyoman Sukerti, 2012, Hak Mewaris Perempuan alam Hukum Adat Bali Sebuah Studi Kritis,
Cet. I, Udayana Universitas Press, Denpasar.
Ray Wijaya, 2003, Merancang Suatu Kontrak; Contract Drafting Teori dan Praktek, Kasiant
Blanc, Jakarta.
S.R. Sianturi, 1996, Azas-Azas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Cetakan
Keempat, Alumni Heam, Jakarta.
Soekanto dan Soerjono Soekanto, 1981, Pokok-Pokok Hukum Adat, Alumni, Bandung.
Tjok. Istri Putra Astiti et.al. 2017, Buku Ajar Gender Dalam Hukum, Cet. I, Pustaka Ekspresi,
Tabanan.
Toby Setiady, 2013, Intisari Hukum Adat Indonesia Dalam Kajian Kepustakaan, Cet III, CV.
Alfabeta, Bandung.
Wawancara dengan Notaris Tija Fransisca Teresa Nilawati, tanggal 8 Desember 2017 di
Fakultas Hukum Universitas Udayana Denpasar.
Wayan P Windia dan Ketut Sudantra, 2016, Pengantar Hukum Adat Bali, Swasta Nulus, Bali.
Wayan P. Windia dan Ketut Sudantra, 2016, Pengantar Hukum Adat Bali; Cetakan Kedu.,
Lembaga Dokumentasi dan Publikasi Fakultas Hukum Universitas Udayana, Bali.
Wayan P. Windia, 2009, Perkawinan Pada Gelahang di Bali, Udayana University Press,
Denpasar.
Wayan P. Windia, 2016, Pengantar Hukum Adat Bali, Swasta Nulus bekerjasama dengan
“Bali Shanti” Pusat Pelayanan Konsultasi Adat dan Budaya Bali LPPM Unud, dan
Puslit Hukum Adat LPPM Unud, Denpasar.
Wayan P. Windia, Ni Made Wiasti dan Ni Luh Arjani, 2012, Pewarisan Perempuan Menurut
Hukum Adat Bali, Cet. I, Udayana Universitay Press, Denpasar.
Internet
http://www.balisruti.com/keputusan-majelis-utama-desa-pakraman-bali-mudp-bali.html,
diakses pada tanggal 9 Desember 2017.
Artikel
I Ketut Sudantra, 2000, Hukum Perkawinan Bagi Umat Hindu di Bali, Bahan Penyuluhan,
dalam Pembinaan/Pembentukan Calon Desa/Kelurahan Sadar Hukum Kabupaten
Badung di Desa Persiapan Tibubeneng, Kecamatan Kuta, tanggal 6-10 Juni 2000.
Undang-Undang
Undang Undang No. 6 Tahun 2014 tentang Desa telah mencabut berlakunya Pasal 200
sampai dengan 216 Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Desa
sebagaimana telah diubah beberapa kali terakhir denganUndang-Undang No. 12
Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 32 Tahun 2004.