Anda di halaman 1dari 6

BABI

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Stratifikasi sosial adalah pembedaan individu atau kelompok dalam masyarakat yang menempatkan
seseorang pada kelas-kelas sosial yang berbeda-beda secara hierarki yang memberikan hak serta
kewajiban yang berbeda pula antara individu pada suatu lapisan sosial lainnya. Stratifikasi sosial muncul
karena adanya sesuatu yang dianggap berharga dalam masyarakat. Sistem stratifikasi merupakan
pembedaan penduduk atau masyarakat ke dalam kelas-kelas secara bertingkat, yang diwujudkan dalam
kelas tinggi, kelas sedang dan kelas rendah. 1 Atau dapat pula diartikan sebagai pembedaan posisi
seseorang atau kelompok dalam kedudukan yang berbeda-beda secara vertikal. Biasanya stratifikasi
didasarkan pada kedudukan yang diperoleh melalui serangkaian usaha dan perjuangan.

Permasalahan secara umum dalam setiap perkumpulan masyarakat yakni ketika memiliki struktur
sosial yang mengategorikan masyarakat ke dalam kelas sosialnya masing-masing (stratifikasi sosial), yang
mana terdiri dari kelas atas, kelas menengah dan kelas bawah. Perbedaan kelas sosial dalam
masyarakat, pada dasarnya telah menghasilkan hubungan yang tidak seimbang antara anggota
masyarakat, sehingga hubungan yang terjalin dalam kehidupan sosial tersebut cenderung bersifat
dominan, dimana mereka yang kuat menguasai yang lemah. Pembagian kelas dalam masyarakat ini,
telah melahirkan sistem perhambaan dalam sejarah kehidupan manusia, sistem perbudakan yang hanya
menguntungkan satu pihak saja. Dengan dilatarbelakangi kesulitan perekonomian di masyarakat,
menjadikan seseorang melakukan tindak kejahatan yang mungkin tidak menyadari merugikan banyak
pihak.2

Faktor ekonomi masih menjadi salah satu penyebab tindakan kejahatan perdagangan manusia,
kondisi kemiskinan dan sulitnya mendapat pekerjaan kareria jumlah pelamar kerja masih besar
dibandingkan jumlah penyedia tenaga kerja. Hal tersebut kemudian mendorong seseorang untuk
mencari pekerjaan meskipun harus keluar meninggalkan kampung halamannya. Kemiskinan yang berat
cenderung mendorong seseorang melakukan migrasi dengan harapan mendapat kehidupan yang layak.
Hal ini membuat mereka gampang tergiur oleh ajakan seseorang untuk bekerja ke luar negeri atau luar
kota tanpa mengetahui apakah lembaga tersebut resmi atau tidak. Dari keadaan ini menjadikan
seseorang atau kelompok korban kekerasan perdagangan manusia yang marak hingga saat ini.

Dalam kehidupan masyarakat Sumba, khususnya di wilayah Sumba Timur, terdapat sistem
penggolongan sosial secara vertikal yang masih bertahan hingga saat ini dan sangat sulit diubah karena
sudah turun-temurun. Adapun penggolongan masyarakat Sumba, yaitu: Ratu (imam, pengatur
kebaktian). Maramba (ningrat, pengatur masyarakat), Kabihu (orang merdeka), Ata (hamba). Golongan
ratu adalah golongan yang dianggap sakti oleh karena menurut kepercayaan mereka dihinggapi tenaga

1
Bagia Waluya, Sosiologi: Menyelami Fenomena Sosial di Masyarakat (Jakarta:PT. Setia Purna, 2007), 16

2
Supriadi Widodo Eddyono, Perdagangan Manusia Dalam rancangan KUHP. (ELSAM: Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakt
2005) 2-3
gaib dari dewa yang mana membawa bahagia atau bahaya bagi orang lain dalam masyarakat. Ratu yang
bersangkutan dipunahkan keturunannya sebagai ganti untuk menjaga "uma ratu" itu ditempatkan
hamba sahaya. Ratu yang demikian disebut "ratu hapi" ratu patahan. Ketidakadilan terus hamba rasakan
apabila mereka tidak mengikuti apa yang menjadi keinginan tuan mereka, seperti dalam praktik
perdagangan hamba perempuan mereka terus dijadikan korban dalam praktik tersebut. Tidak hanya
menjadi korban praktik perdagangan hamba perempuan tetapi hamba perempuan terus mengalami
kekerasan fisik dan psikis ketika mereka hidup berdampingan dengan tuan mereka. kekerasan fisik
seperti memukul, menendang, mencabut kuku, menampar, menarik rambut, dipasung dan lain
sebagainya, kekerasan ini yang mengakibatkan luka, dan rasa sakit pada tubuh. Kekerasan secara psikis
terus dialami oleh hamba (emosional) merupakan kekerasan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya
rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan mengakibatkan dan
penderitaan berat bagi psikis korban. Kekerasan psikis ini menggunakan kata-kata kasar, menakut-
nakuti, sebagai sarana memaksa kehendak, merendahkan harga diri, dan lain sebagainya. 3

Perhambaan adalah salah satu bentuk penindasan dan kekerasan terhadap perempuan yang
berstatus hamba. Memang pada saat ini para hamba (baik laki-laki maupun perempuan) dikatakan telah
merdeka dan dijadikan bagian anggota keluarga oleh tuannya. Mereka tidak lagi diperlakukan seperti
para hamba di masa lampau. Namun, yang terjadi pada kenyataannya tidaklah demikian, masih banyak
bentuk penindasan yang hamba alami dalam hidup berdampingan dengan maramba sebagai taun
mereka. Tidak semua hamba dimerdekakan oleh tuannya. Mereka tetap mendapatkan perlakuan yang
tidak layak. Mereka tetap diperlakukan selayaknya seorang hamba, yang tidak memiliki kebebasan
seutuhnya dalam menentukan arah hidupnya."

B. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang di atas maka rumusan masalah adalah: Bagaimana peran Gereja dalam
melakukan pendampingan pastoral untuk menghentikan praktik perdagangan hamba ?

C. TUJUAN

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan adalah: Untuk mengetahui bagaimana Gereja
melakukan pendampingan pastoral dalam menghentikan praktik perdagangan hamba.

BAB II

PEMBAHASAN

A. GEREJA DAN PRAKTIK PERDAGANGAN HAMBA PEREMPUAN

3
Pdt. Asnath. N. Natar, Kekerasan Terhadap Hamba Perempuan Di Sumba Timur, (Yogyakarta: UKDW,2011), 16
Gereja adalah persekutuan orang percaya, kata gereja (jemaat) yang berasal dari kata yunani yaitu
ekklesia, kata ekklesia terbentuk dari dua kata yaitu ek (keluar) dan kleo (memanggil) ekklesia diartikan
dipanggil keluar untuk masuk ke dalam persekutuan orang kudus. Gereja adalah persekutuan orang-
orang yang dipanggil Allah dari kegelapan ke dalam terang keselamatan oleh Yesus Kristus yang hadir
dan ada ditengah-tengah dunia ini yang mempunyai tugas panggilan untuk senantiasa menyampaikan
shalom Allah di dunia ini. Gereja sebagai sebuah lembaga atau institusi yang mengatur kehidupan
jemaat bertugas untuk membina dan berupaya menumbuhkan iman jemaat serta mensejahterakan
kehidupan jemaat. tindakan ini terwujud melalui pelayanan untuk memberitakan injil (Firman Tuhan)
melakukan perkunjungan rumah tangga, melakukan penggembalaan dan katekisasi dan melakukan
tugas dan tanggung jawabnya sebagai gereja dalam dunia ini.

B. SISTEM STRATIFIKASI SOSIAL DI SUMBA TIMUR

Stratifikasi sosial berasal dari kata strata dan stratum yang berarti lapisan, karena itu stratifikasi sosial
sering di terjemahkan sebagai lapisan masyarakat sejumlah individu yang mempunyai kedudukan
(status) yang sama menurut ukuran masyarakat. Stratifikasi sosial adalah sistem pembedaan individu
dan kelompok masyarakat yang menempatkan orang-orang tertentu pads kelas-kelas sosial yang
berbeda-beda secara hierarki dan memberikan hak serta kewajiban yang berbeda pula antara individu
pada suatu lapisan dengan lapisan lainnya. 4 Stratifikasi sosial muncul karena adanya sesuatu yang
dianggap berharga dalam masyarakat Sistem stratifikasi merupakan pembedaan penduduk atau
masyarakat ke dalam kelas-kelas secan bertingkat, yang diwujudkan dalam kelas tinggi, kelas sedang dan
kelas rendah. Atau dapat pula diartikan sebagai pembedaan posisi seseorang atau kelompok dalam
kedudukan yang berbeda-beda secara vertikal. Biasanya stratifikasi didasarkan pada kedudukan yang
diperoleh melalui serangkaian usaha dan perjuangan.

Dalam kehidupan masyarakat Sumba Timur, terdapat sistem penggolongan masyarakat secara
vertikal yang masih bertahan hingga saat ini dan sangat sulit dirubah karena sudah turun temurun
Adapun sistem penggolongan masyarakat Sumba Timur yaitu: Maramba (ningrat, pengatur masyarakat),
Kabihu (orang-orang merdeka), Ata (hamba). Golongan maramba merupakan golongan tertinggi yang
mengatur kehidupan masyarakat dan memiliki para hamba. Golongan maramba adalah golongan
bangsawan yang masih memelihara turunannya dalam hal kawin-mawin, bahkan seorang pria maramba
harus kawin dengan perempuan maramba. Dan juga seorang pria maramba dapat mengawini
perempuan kabihu karena perkawinan ini dikatakan (ana mandamu) yaitu suatu keturunan perantara
antara maramba dan kabihu. Adapula pria maramba mengawini perempuan ata (hamba) turunan ini
disebut ana kalawihi yang derajatnya sudah rendah, tetapi rendah lagi dari ana mandamu dan dapat
disetarakan dengan kabihu.5

4
Indian Main. Sosiologi (Jakarta: Erlangga, 2004), 48

5
Oe H, Kapita, Maryarakat Sumba dan Adat Istiadatnya, (lakarta: BPK Gunung Mulia 1976), 41
Golongan ini dibagi lagi dalam dua bagian yaitu maramba bokulu (bangsawan tinggi) bangsawan ini
adalah bangsawan yang karena turunannya, kemampuan, dan pengaruhnya tetap memelihara
perkawinan dengan bangsawan dan kabilu lain yang sama derajat dengan golongan ini serta mempunyai
banyak bawahan yang bersandar pada bangsawan ini. Golongan marimba kabu yaitu bangsawan yang
tetap memelihara keturunannya dan pengimihnya sangat terbatas. Golongan kedua yaitu golongan
kabihu, Golongan terbanyak dalam masyarakat Sumba, rekan kerja para bangsawan dan juga dihormati
dalam masyarakat. Mereka merupakan orang yang tetap memelihara marga/kabihu sebagai
kehormatan. Hal ini disebabkan dalam kabihu atau marganya tidak terdapat hak-hak dan kewajiban-
kewajiban terhadap masyarakat dan keturunannya dikemudian hari.

Golongan kubihu dibagi lagi dalam dua golongan yaitu golongan kahihu bokulu golongan ini karena
keturunan, kemampuan, dan pengaruhnya tetap memelihara kedudukannya dalam masyarakat dan
kawin mawin dengan orang yang sederajat atau golongan kabihu Golongan kahihu yang kedua yaitu
golongan kabihu kudu golongan ini kebanyakan yang memelihara keturunan dengan orang yang sama
derajat tetapi golongan ini kurang mampu melindungi diri sendiri dari golongan maranha dan kabihu
bokulu. Golongan ini juga mudah mengawini golongan ata (hamba) yang menyebabkan golongan ata
naik tingkat." Golongan ketiga yaitu ata Golongan ata merupaka golongan terendah. Pada golongan ini
sangat penting dimengerti kedudukannya yang dalam masyarakat yang dalam bahasa Sumba Timur
sehari-hari untuk kata orang dikatakan (tau) sedangkan kata tau tidak berbeda dengan tau hanya lebih
khusus pada para hamba-hamba yaitu tau ata, atau sama dengan tau papalewa, orang-orang yang
disuruh-suruh dan juga disebut angu piti (kawan ambil), angu handangu (kawan bangun), pembantu,
penolong, dan masih banyak kata-kata sebagai gambaran dengan fungsi mereka di masyarakat.

Inilah pemicu bagi para maramba untuk dijadikan mereka sebagai pembantu dalam rumah tangga
mereka karena sesuai dengan fungsi dan asal usul kedudukan mereka di dalam masyarakat sehingga
seringkali para hamba mendapat perlakuan tidak wajar dan tidak sesuai dengan oblak manusia sebagai
sesama ciptaan Tuhan yang mulia yang hidup untuk saling mengasihi antara satu dengan yang lain tanpa
memandang kedudukannya." Golongan ata dibagi lagi menjadi dua bagian yaitu: golongan ata ndai dan
golongan ata bidi. Golongan ata ndai merupakan hamba-hamba yang turun temurun bersama-sama
dengan taunnya, dan golongan ini disebut ata maramba. Mereka merupakan hamba yang sebaya
dengan maramba yang telah menjadi orang terhormat dan disegani dan selalu dipercaya dalam setiap
urusan kawin-mawin oleh maramba, pada waktu kedatangan marapu di Sumba mereka telah datang
bersama-sama dengan hambanya, demikian pula ketika marapu tiba di Sumba mereka mendapat
penduduk yang asli dengan kebudayaan yang sangat sederhana sehingga dengan mudah mereka
menaklukkan dan diperhambakan menjadi hamba turunan. Dari sejarah inilah sehingga dikatakan ata
ndai yang begitu erat hubungannya dengan tuan mereka. Ata bidi merupakan orang atau hamba yang
baru tanpa ada hubungan keluarga dengan marumba tetapi mereka ada karena dibeli, (ata pakei) atau
ata tanawangu (hamba tawanan), ata buta (hamba cabutan). Meskipun zaman semakin modern, sistem
perhambaan ini masih sangat sulit dihilang karena sudah turun temurun dan sudah terikat secara kultur.
Hak asasi mereka sebagai manusia tidak didapatkan Misalkan, mereka tidak diperbolehkan mengenyam
pendidikan, kehidupan ekonomi rendah, anak- anak kaum hamba dibawah kekuasaan kaum maramba,
mereka tidak memiliki rencana masa depan mereka tidak boleh menjadi pemimpin, mereka tidak bisa
menentukan pilihan sendiri, dan mereka tidak memiliki hak dari segi apapun. Sistem perhambaan ini
sudah turun temurun. Artinya, jika orangtua mereka adalah ata dari keluarga maramba, maka anak-anak
atau keturunannya akan menjadi hamba bagi tuan mereka. Pengabdian para hamba tidak mengenal usia
mereka bekerja untuk maramba setiap hari sejak mereka masih kecil sampai meninggal dunia. Bahkan
hamba terdekat pun rela mati dan atau dimatikan, pada saat upacara penguburan tuannya. Praktik
seperti ini dianggap wajar oleh kaum maramba dan diterima begitu saja oleh kaum ata dan tidak pernah
perhambaan ini ditolak karena bertentangan dengan martabat manusia.

Adapun hubungan dan tanggungjawab antara maramba dan ata di Sumba Timur yaitu pada zaman
modern saat ini yang masih menjadi perhatian khusus di kalangan masyarakat Sumba Timur. Pada relasi
ini golongan ata lebih banyak dirugikan sedangkan kaum maramba atau bangsawan diuntungkan di
beberapa segi, yaitu: tenaga kerja, budaya dan agama. Kaum ata hanya dijadikan sebagai pengerja oleh
kaum maramba dan tidak memiliki kebebasan dalam menemukan hak pribadi. kaum ata berada diposisi
paling rendah dibandingkan masyarakat lainnya. Sedangkan kaum maramba berada di posisi paling
tinggi yang patut dihormati, disegani, karena kedudukan mereka yang tinggi di kalangan masyarakat.
Inilah yang membuat posisi atau hubungan antara kaum ata dan maramba tidak seimbang. Tanggung
jawab maramba dalam hubungan dengan kaum ata yaitu kaum maramba bertanggung jawab penuh
dengan hambanya dalam segala hal. Sedangkan tanggungjawab kaum ata yaitu mengerjakan segala
pekerjaan yang menjadi tanggung jawab mereka, mereka wajib menghormati, taat dan patuh terhadap
tuan mereka dan apapun yang diperintahkan oleh tuan mereka harus dipatuhi dan didengarkan, kaum
ata tidak boleh membantah perintah tuan mereka yang walaupun tidak sesuai dengan keinginan
mereka, ketika mereka membantah maka mereka akan diberi hukuman dan pekerjaan yang sangat
berat. Sehingga dapat dikatakan bahwa hubungan dan tanggungjawab antara kaum ata dan kaum
maramba tidak seimbang karena sistem stratifikasi sosial yang ada di masyarakat Sumba Timur.

BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa gereja dan praktik perdagangan hamba ini adalah
Gereja adalah persekutuan orang-orang yang dipanggil Allah dari kegelapan ke dalam terang
keselamatan oleh Yesus Kristus yang hadir dan ada ditengah-tengah dunia ini yang mempunyai tugas
panggilan untuk senantiasa menyampaikan shalom Allah di dunia ini. Gereja sebagai sebuah lembaga
atau institusi yang mengatur kehidupan jemaat bertugas untuk membina dan berupaya menumbuhkan
iman jemaat serta mensejahterakan kehidupan jemaat. tindakan ini terwujud melalui pelayanan untuk
memberitakan injil (Firman Tuhan) melakukan perkunjungan rumah tangga, melakukan penggembalaan
dan katekisasi dan melakukan tugas dan tanggung jawabnya sebagai gereja dalam dunia ini. suatu
stratifikasi sosial yang sistem pembedaan individu dan kelompok masyarakatnya yang menempatkan
orang-orang tertentu pada kelas-kelas sosial yang berbeda-beda secara hierarki dan memberikan hak
serta kewajiban yang berbeda pula antara individu pada suatu lapisan dengan lapisan lainnya.
Stratifikasi sosial muncul karena adanya sesuatu yang dianggap berharga dalam masyarakat Sistem
stratifikasi merupakan pembedaan penduduk atau masyarakat ke dalam kelas-kelas secan bertingkat,
yang diwujudkan dalam kelas tinggi, kelas sedang dan kelas rendah. Atau dapat pula diartikan sebagai
pembedaan posisi seseorang atau kelompok dalam kedudukan yang berbeda-beda secara vertikal.
Biasanya stratifikasi didasarkan pada kedudukan yang diperoleh melalui serangkaian usaha dan
perjuangan.

Anda mungkin juga menyukai