MASYSARAKAT BUGIS
2.1 KEKERABATAN
Dalam masyarak atmanapun, hubungan kekerabatan merupakan aspekutama,
baik karena dinilai penting oleh anggotanya maupun karena fungsinya sebagai
struktur dasar yang akan membentuk suatutatanan masyarakat. Pengetahuanmen
dalam tentang prinsip-prinsip kekerabatan sangat diperlukan guna memahami apa
yang mendasari berbagai aspek kehidupan masyarakat yang dianggap paling
pentingoleh orang Bugis dan yang saling berkaitan dalam membentuk tatanan social
mereka. Aspek tersebut antara lain adalah perkawina, hirarki social, kekuasaan, dan
pengaruh pribadi.
1. Sistem Kekerabatan
Sebagaimana umumnya masyarakat Austronesia, khususnya orang-orang
Nusantara seperti orang Melayu, Jawa, Kalimantan, dan Filipina, oraangbugis pun
menganut system kekerabatan bilateral atau dalam bahasa inggris disebut juga
cognatic. Kelompok kekerabatan bila teral sesorang ditelusuri melalui garis
keturunan dari pihak ayah maupun ibu. Suatu hal yang umum pula berlaku di
kalangan masyarakat Eropa, meskipun tidak berlaku universal. Sebaliknya, system
kekerabatan kebanyakan masyarakat non-Eropa, yang banyak diteliti ahli-ahli
antropologi, pada umumnya menganut prinsip patrilinea latau matrilineal.
Terminology kekerabatan masyarakat Bugis cukup sederhana dan tergolong
system kekerabatan “angkatan”. Seluruh kerabat yang berasal dari garis generasi yang
sama, baik laki-laki maupun perempuan, atau sepupu, dimasukkan kedalam kategori
“saudara” (sumpunglolo), disebut juga silessureng atau se’ajing `satuasal`). Yang
paling penting adalah apakah dia lebih tua (kaka’) atau lebih mudah (anri). Begitu
pula halnya dengan generasi dibawahnya, panggilan untuk mereka sama, yakni ana’
(anak), termasuk untuk anak kandung, kemenakan laki-laki perempuan, anak dari
sepupu laki dan perempua. Meskipun ada istilah anaure’ (ana’-ure’) untuk
kemenakan laki-laki dan perempuan, selanjutnya, baik keturunan ana’maupun
keturunan anaure’akan disapasebagai eppo(cucu). Sementara itu, semua kerabat
yang seangkatan dengan ayah atau ibunya, akan di sapapaman (ama-ure’ atauamure’
)atau bib i(ina-ure’). Sedangkan orang tua dari bapak, ibu, paman, dan bibi akan
disapa ne’ne’ (yang berarti kakek ataupu nenek).
Sementara itu, biasanya akan sulit menentukan apakah orang yang disapa
dengan sapaan-sapaan tersebut diatas benar-benar memiliki hubungan kekerabatan
dengan mereka. Hal itu disebut adanya kecenderunga nuntuk secara otomatismenya
pada orang-orang dekat, meskipun tidak memiliki hubungan kekerabatan, dengan
sapaan sesuai generasi mereka masing-masing. Misalnya, seorang bapak akan
otomatismenya paoran-orandekat, meskipun tidak memiliki hubungan kekerabatan,
dengan sapaan sesuai generasi mereka masing-masing. Misalnya seorang bapakak
anotomatismenyapaputra sahabatnya dengan sapaana na’ bukan karena adanya
hubungan darah dengannya, akan tetapi karena dia berasal dari generasi satu tingka
tdibawahnya (satugenerasi dengan ana’-nya). Tentu saja juga ada sapaan untuk
menentukan secara pasti hubungan kekerabatan satu sama lain, yakni dengan
menambahkan istilahk husus. Misalnya: silassurengriale’ku ‘saudarasaya sendiri’
atau anri’ ipa’ku ‘adik iparsaya’, atau, dalam sastra kunoinateng-ncajiangnga-a’, ‘ibu
yang tidak melahirkan saya’ sebagai pengganti inaure’ yaitu ‘bibi’.
Dalam system bila teral, di mana baik garis keturunan ibu maupun ayah
diperhitungkan, konsep terpenting bukanlah marga-yang tidak dikenal oleh
masyarakat Bugis- akan tetapi “percabangan” dari keduasisi. Dengan kata lain,
setiap orang memiliki dua garis nenek - moyang, yakni garis nenek-moyang dari
bapak dan ibu. Dari kedua garis keturunan tersebut akan terbentuk jaringan sepupu
dari kedua belah pihak yang memiliki dua pasang kakek-nenek, yakni orang tua
bapak dan orang tua ibu mereka yang disebut ne’ne’ wakkang ‘kakek-nenek
pangkuari’. Kemudian kedua pasang kakek-nenek itu memiliki pula orang tua yang
berjumlah empat pasang (ne’neuttu’ ‘kakekneneklutut’). Lalu keempat pasang orang
tua kakek-nenek itu memiliki pula orang tua yang berjumlah delapan pasang orang
tua dari orang tua kakek-nenek itu juga memiliki orang tua yang jumlahnya enam
belas pasang (nene’ palakaje’’kakek-nenek telapak kaki).
Dua pasang kakek-nenek menurunkan sepupu pertama. Empat pasang orang
tua dari kakek-nenek menurunkan sepupu kedua. Delapan pasang orang tua dari
kakek-nenek menurunkan sepupu ketiga.Dan, akhirnya enam belas pasang orang tua
dari orang tuanya orang tua kakek-nenek menurunkan sepupu empat kali. Secara
berturut-turut, sepupu pertama, kedua, ketiga, dan keempat, dalam bahasa Bugis
disebut sapposisseng, sappowe’kkadua, sappowe’kkatellu,dansappowe’kkaeppa’.
Jadi, setiap orang dikelilingi oleh kerabat yang berasal dari dua cabang garis
bapak maupun garis ibu, mulai dari yang paling dekat, misalnya dari cabang kedua
orang tuanya (saudara, kemenakan, cucuk kemenakan). Hingga kerabatan jauh yang
berasal dari lima lapis nenek moyang yang menurunkan berbagai lapis sepupumereka.
Hubungan kekerabatan tersebut biasanya disebut dengan istilaha ’se’ajingeng
(memiliki asal-usul sama). Jauh dekatnya hubungan kekerabatan ditentukan oleh
lapisan leluhur keberapa yang menghubungkan mereka. Hubungan berdasarkan nenek
moyang tersebut, baik dari pihak bapak maupun ibu, menyatukan mereka dalam suatu
system kekerabatan dan memisahkan mereka dengan “orang lain”(tau la’eng).
Masyarakat bugis tidak memiliki suatu kelompok kekerabatan bilateral yang
mengutamakan salah satu pasangan nenek-moyang saja, sebagaimana halnya orang
Toraja tetangga mereka yang hanya memusatkan inti kelompok keluarga masing-
masing pada sebuah rumah keluarga (tongkonan). Yang terpenting bagi masyarakat
Bugis adalah dicapainya derajat yang tinggi dalam system stratifikasi social.
2.2 Gender
Dalam masyarakat bugis, sebagai mana lazimnya masyarakat lain di dunia,
lelaki dan perempuan memiliki wilayah aktivitas masing-masing. Namun,pada
hakikatnya orang bugis tidak menganggap laki-laki maupun perempuan lebih
dominan satu sama lain.Kriteria perbedaan peran gender lebih berdasarkan
kecenderungan sosial dalam prilaku individu dalam sistem kekerabatan bilateral
mereka, di mana [ihak ibu dan bapak memili peran setara guna menentukan garis
kekerabatan, sehinga mereka mengangap laki-laki maupun perempuan
memiliki(walaupun berbeda) dalam kehidupan sosial. Perbedaan inilah yang menjadi
dasar kemintraan mereka dalam menjalankan peran masing-masing.
Meskipun masuknya islam telah memperkenalkan dan mendorong prilaku
yang seolah-olah yang menempatkan laki-laki lebih menonjol dari pada
perempuan,tetapi tingkah laku tersebut tidak menggambarkan dominasi kaum pria
atau marjinalisasi kaum perempuan (Millar, “InterpretingGender”). Sebaliknya,
keterbatasan yang di alami prempuan bugis dan tanggung jawab mereka
emban,mengundangrasa takjub para pengamat bara Abad ke-19. Sir Scam Ford
Raffles, misalnyapada 1817 menulis bahwa di sulawesi selatan perempuan “tampil
lebih terhormat dari yang bisa di harapkandari tingkat kemajuan yang di capai
peradapan bugis secara umum, dan perempuan tidak mengalami kesulitan hidup yang
keras,kemelaratan,atau kerja berat, yang telah menghambat kesuburan merekan di
bagian dunia lain “Raffles, Histori Java, lampiran . F, “Celebes”: CLXXIX).
Sementara Crawfurd menulis, “perempuan tampil muka umum adalah sesuatu yang
wajar; mereka aktif dalam semua bidang kehidupan; menjadi mitra diskusi pria
dalamsegenap urusan publik, bahkan tak jarang menduduki tahta kerajaan,padahal
menjadi raja di tentukan lewat proses pemilihan” (Crawfud,History:74)
Pada awal perkawinan, pasang pengantin baru biasanya tinggal dirumah orang
tua istri sehingga tidak memberi ruang kepada suami untuk dominasi istrinya.
Sementara itu ruang dalam rumah pada hakikatnya di bagi berdasarkan Gender:
bagian depan menjadi wilayah kaum pria sedang ruang belakang milik kaum
perempuan.Setiap bagian ada pintu masuknya sendiri. Hanya saja,jika perempuan
dalam rumah,kerabat perempuan,dan perempuan lainya sering masuk dalam pintu
belakang, apa lagi pria asing.
Daerah kekuasaan kaum perempuan yang lain adalah loteng ,tempat menyimpan
padi,pada zaman dahulu di gunakan sebagai ruang tidur anak gadis yang belum
menikah,terutama jika ada pria bermalam. Biasanya jamuan yang hanya di ikuti laki-
laki di langsungkan di bagian depan, dan perempuan hnaya muncul membawa
makanan atau panganan. Tujuan menjaga perempuan dari gangguan pria asing.
Secara umum, boleh di katakan bahwa rumah sebenarnya adalah bagian perempuan,
bukan laki-laki, dan biasanya di wariskan kepada anak perempuan bungsu.
2.3 PERKAWINAN
Bagi masyarakat bugis, perkawinan berarti siala’saling mengambil satu
sama lain. Jadi, perkawinan adalah ikatan timbal-balik.Walaupun mereka berasal dari
status sosial berbeda, setelah menjadi suami –istri mereka merupakan mitra. Hanya
saja, perkawinan bukan sekedar penyatuan dua mempelai semata, akan tetapi suatu
upacara penyatuan dan persekutuan dua keluarga yang biasanya telah memiliki
hubungan sebelumya dengan maksud yang mempereratnya (ma’pasideppe’ mabela-e
atau mendekatkan yang sudah jauh) dikalangan masyarakat biasa, umumnya
berlangsung antar keluarga dekat atau antar kelompok patronasi yang sangat (masalah
“patron-klien” akan dibahas lebih lanjut), sehingga mereka sudah saling memahami
sebelimnya. Oleh karena itu; mereka yang berasal dari daerah lain, cenderung
menjaling hubungan yang lebih dekat lagi dengan orang yang telah mereka kenal baik
melalui jalur perkawinan. Dengan kata lain, perkawinan adalah cara terbaik untuk
membuat orang lain menjadi “bukan orang lain” (tennia tau laeng). Hal ini juga
ditempuh dua sahabat atau mitra usaha yang bersepakat menikahkan turunan mereka,
atau menjodoh-jodohkan anak mereka sejak kecil. Idealnya, perkawinan
dilangsungkan dengan keluarga sendiri.Perkawinan antar sepupu, sepupu pararel
(yaitu keduanya melalui sisi ibu atau melalui sisi bapak) atau pun sepupu silang yaitu
satu dari sisi ibu dan satunya lagi dari bapak, dianggap sebagai perjodohan
terbaik.Ada silang pendapat dikalangan masyrakat bugis tentang lapisan sepupu
beberapa yang boleh dan beberapa yang tidak boleh dikawini.Bnayak yang
menganggap bahwa perkawinan dengan sepupu satu kali (perkawinan semacam ini
disebut siala marola) “terlalu panas “, sehingga hubungan seperti itu jarang terjadi,
kecuali di kalangan bangsawan tertinggi. “Darah putih” yang mengalir dalam tubuh
mereka dan harus dipelihara membuat mereka melakukan hal itu, sebagaimna halnya
tokoh-tokoh dalam cerita la Galigo.Sementara masyarakat biasa lebih menyukai
perkawinan dengan sepupu kedua “siala memeng”, lalu sepupu ketiga dan keempat.
Hal penting lainnya adalah, pasangan yang hendak menikah tidak boleh berasl dari
generasi atau angkatan yang berbedah. Pasangan yang hendak menikah sebaiknya
berasal dari generasi atau “angkatan” yang sama. Perkawinan antara paman dan
kemenakan perempuan, atau bibi dan kemenakan laki-laki dilarang, dan hubungan
badan diantara mereka akan dianggap sebagai salimara’ (hubungan sumbang,inses).
Sementara itu, perkawinan dengan anak dari sepupu keberapa pun sebaiknya
dihindari.Naskah silsilah yang ada, menunjukkan bahwa aturan ini di tegakkan
dengan sangat ketat, dan jarang sekali terjadi pelanggaran. Mengingat seringnya para,
bangsawan, begitu pula anak-anak mereka, kawin dengan perempuan yang berusiah
jauh lebih mudah dari mereka, menyebabkan banyak putra bangsawan yang sebaya
usianya dengan kemenakan mereka. Namun, tidak ada paman/bibi yang kawin
dengan kemenakan mereka walaupun usia mereka sebaya.
Bagi kaum bangsawan, factor yang lain diperhatikan yang paling penting,
malah ada kesesuaian derajat antara pihak laki-laki dan perempuan. Berbeda dengan
bangsawan laki-laki yang diperbolehkan kawin dengan perempuan status lebih
rendah, bangsawan perempuan sama sekali tidak diperbolehkan menikah dengan
prang yang lebih rendah derajatnya. Semakin tinggi status kebangsawanan seseorang,
semakin ketat pula aturan yang diberlakukan.Hal itu masih tetap berlaku hingga
kini.Namun, dikalangan bangsawan rendah, kompromi kian hari kian cenderung
terjadi. Istri utama pria bangsawan tinggi (yang tidak mesti istri pertama) biasanya
memiliki derajat kebangsawanan yang sama dengan suaminya. Sementara istri-istri
lainnya bias berasal dari kalangan lebih rendah, atau bahkan orang biasa.
Selama system politik Bugis tradisional berlaku, prinsip ini tetap dipegang
teguh, karena akan berdampak terhadap status keturunan mereka dam hak pewarisan
tahta. Namun demikian, pertimbangan harta kekayaan sewaktu-waktu bisa
menyebabkan diabaikannya prinsip tersebut. Dahulu, khususnya dikalangan orang
Wajo, laki-laki dari keluarga kaya acapkali diizinkan mengawini perempuan berstatus
lebih tinggi, setelah melalui proses mang’ellidara atau ‘membeli darah’, yakni
membeli derajat (kebangsawanan).
Dalam proses perkawinan, pihak laki-laki harus memberi mas kawin kepada
perempuan. Mas kawin terdiri atas dua bagian. Pertama, sompa (secara harfiah berarti
“persembahan” dan sebetulnya berbeda dengan mahar dalam islam) yang sekarang
disimbolkan dengan sejumlah uang rella’ (yakni rial, mata uang Portugis yang
sebelumnya berlaku, antara lain, di Malaka. Rella’ ditetapkan sesuai status
perempuan dan akan menjadi hak miliknya. Kedua, dui’ me`nre’ (secara harfiah
berarti dui’ me`nre” ditentukan oleh keluarga perempuan. Selain itu, ditambahkan
pula lise’ kawing (hadiah perkawinan), dalam islam disebut mahar atau hadiah
kepada mempelai perempuan: biasanya dalambentuk uang. Akhir-akhir ini mahar
kadang-kadang diganti dengan mushaf Alquran.Sebelum masa penjajahan belanda,
laki-laki dari luar wilayah tempat tinggalperempuan harus membayar pajak pa’lawa
tana (secara harfiah ‘penghalang tanah’) kepada penguasa setempat yang besarnya
sesuai sompa.
1. Pesta Pernikahan
Banyak tahapan pendahuluan yang harus dilewati sebelum pesta pernikahan
(ma’pabotting) dilangsungkan. Jika lelaki belum dijodohkan sejak kecil (atau
sebelum dia lahir), maka keluarganya akan mulai mencari-cari pasangan yang kira-
kira dianggap sesuai untuknya. Bagi kaum bangsawan, garis keturunan.Perempuan
dan laki-laki diteliti secara saksama untuk mengetahui apakah status kebangsawanan
mereka sesuai atau tidak. Jangan sampai tingkat si pelamar lebih rendah dari tingkat
perempuan yang akan dilamar.
Langkah pendahuluan itu di tugaskan kepada para perempuan paruh baya,
yang akan melakukan kunjungan biasa kerumah pihak perempuan untuk mencari tahu
seluk-beluknya. Tahap ini disebut ma’manu’-manu’, yaitu’berbuat seperti burung-
burung’ (yang terbang kian kemari mencari makan). Setalah itu, baru dilakukan
kunjungan resmi pertama, untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan secara tidak
langsung dan halus(“Ada orang yang ingin mendekati anda… Sudah adakah yang
berbicara dengan anda?... Sudah adakah yang punya?... Apaka pintu masih
terbuka?...”), agar kedua belah pihak tidak kehilangan muka seandainya pendekatan
itu tidak membuahkan hasil. Jika keluarga pihak perempuan memberi lampu hijau,
kedua pihak akan menetukan hari untuk mengajukan lamaran (ma’duta) secara resmi.
Selama proses pelamaran berlangsung, garis keturunan, status, kekerabatan, dan harta
kedua calon mempelai diteliti lebih jauh, sambil membicarakan sompandan jumlah
uang antaran (dui’ me’nre’) yang harus diberikan oleh pihak laki-lakiuntuk biaya
pesta pernikahan pasangannya, serta hadiah persembahan kepada calon mempelai
perempuan dan keluarganya. Setelah semua persyaratan ini di sepakati, ditentukan
lagi hari pertemuan guna mengukuhkan (ma’pasiarekkeng’saling menyimpulkan)
kesepakatan tersebut. Pada kesempatan itu hadiah pertunangan kepada mempelai
perempuan (pa’sio’pengikat’) dibawa, antara lain berupa cincin, beserta sejumlah
pemberian simbolis lainnya, misalnya tebu, sebagai symbol sesuatu yang manis; buah
nagka (panasa) diibaratkan harapan (minasa); dan lain-lain sebagainya. Pihak laki-
laki diwakili kerabat dekat atau kenalan yang dihormati orang tuanya, tetapi kedua
orang tua dan calon pengantin sendiri tidak ikut hadir.Juru bicara pihak laki-laki
kemudian membahas kembali hal-hal yang telah disepakati, kemudian dijawab oleh
wakil pihak perempuan, lalu ditentukanlah hari pesta pernikahan.Setlah itu, hadiah-
hadiah yang dibawa diedarkan kepada wakil pihak perempuan untuk diperiksa,
pertama-tama oleh kaum pria kemudian perempuan, selanjutnya dibawa ke kamar
calon mempelai perempuan.
Pesta pernikahan berlangsung dalam dua tahap, pertama acara pernikahan
(ma’pabotting atau me’nree’ botting ‘naiknya mempelai’), dilaksanakan dirumah
mempelai perempuan tanpa dihadiri kedua orang tua mempelai laki-laki.Kedua,
ma’parola (membawa pengantin peremuan kerumah mertuanya) yang kadang-kadang
dilakukan beberapa hari kemudian.Pada hari pernikahan, mempelai pria datang ke
acara pesta bersama para pengiringnya, dan didahului penyerahan sompa.Pada zaman
dahulu pengantin pria harus melewati sejumlah rintangan simbolik (lawa botting),
seperti melewati pasukan kuda berlapis atau pertunjukan silat, dan baru bisa lewat
setalah menyerahkan hadiah kepada pengawal. Untuk pria bangsawan tertinggi ada
lagi upacara khusus, yang bagian utamnya disebut ma’lawolo: suatu dialog antara
pihak pengantin pria dengan seorang bissu yang mewakili keluarga perempuan. Sang
bissu bierbicara dari atas rumah menanyakan apakah sang pengantin pria benar-benar
turun dari “golongan orang-orang yang mendapat penghormatan dengan kedua
tangan” (to-risompa wali), yaitu statys kebangsawanan tertinggi yang memiliki
“darah putih”, darah parah dewata dan bukan dari keturunan La Bulisa’ (seorang
pelayan dewata dalam La Galigo yang menyamar sebagai anak dewata untuk
mengawini putri Datu Jawa dan mati mebusung sebagai akibat). Selama proses dialog
berlangsung bissu pengantin laki-laki masing-masing memegang salah-satu ujung
Lawolo (sehelai kain patola dan kain kaci yang dipilin, yang merupakan symbol
pelangi masa La Galigo dan pohon welenreng) yang menghubungkan Bumi yang
diwakili pihak laki-laki dan Langit yang diwakili pihak perempuan. Jika sang bissu
sudah we’wang Nriwu’, dan Luwu’, mewakili arah timurbarat, dan tengah dunia,
maka dia perlahan-lahan akan menarik Lawolo, menuntun mempelai pria naik keatas
rumah di bawah siraman butiran bertih-bertih (Bug. Benno’).Upacara ini sangat
menyerupai upacra pengukuhan seorang raja (Harmonic, “Mallawolo”).
Setelah mempelai pria berada dalam rumah mempelai perempuan, masih ada
beberapa ritual serta halangan fisik dan simbolik yang harus dia lewati sebelum
perkawinan dianggap rampung. Pertama-tama dia harus menjalankan tata cara
pernikahan yang dalam tradisi Bugis mengikuti ajaran islam mazhab syafi’i (yang
dalam beberapa aspek berbeda dari tata cara yang diikuti Muhammdadiyah). Kecuali
mempelai laki-laki, yang harus ada supaya nikah itu sah adalah wali (wakil)
mempelai perempuan serta sekurang-kurangnya dua saksi.Yang diproritaskan menjadi
wali adalah ayah pengantin perempuan.Jika ayahnya tidak ada, barulah kakeknya,
kemudian saudara lelaki seayah-seibu, atau seayahnya saja, lalu putra saudara laki-
lakinya.Sesudah itu baru kerabat-kerabat terdekat lainnya atau hakim.Sedangkan para
saksi dipilih dari lelaki yang patut dihormati. Sebenarnya, wali perempuan yang
menikahkannya dengan mempelai lelaki, tetapi biasanya seorang alim (imam, khatib,
ustadz, dan sebagainya) bertindak sebagai “juru nikah” atau juru bicara si wali.
Sesudah laki-laki mengucapkan kalimat syahadat, juru nikah
mengemukakakan (ijab) kepada calon suami kesediaam sang wali untuk menikahkan
dengannya perempuan yang diwakilinya, dengan ucapan “Aku menikahkan kamu
dengan si Anu, dengan mahar sekian”. Lalu lelaki itu menyatakan diri menerima
(qabul) dengan ucapan “Aku terimsh nikahnya Si Anu dengan mahar sekian”.Ucapan
itu harus jelas didengar oleh para saksi, dan jika perlu mereka bisa minta supaya
diulangi lagi. Setelah itu, baru sah nikahnya menurut ajaran islam.
Selanjutnya, mempelai juga harus menjalankan ritual-ritual adat sebelum
disahkan oleh masyarakat sebagai pasangan suami-isstri.Misalnya, mempelai laki-laki
harus membayar secara simbolis perempuan penjaga pintuk kamar mempelai
perempuan; harus menyentuh tangan atau pergelangan istrinya (ma’dusa’je’nne’ atau
membatlkan air sembahyang); aaserta kadang-kadang kedua mempelai secara
simbolis “dijahit” dalam satu sarung.Setalah ritual-ritual dijalankan, perkawinan
diresmikan di hadapan public di mana kedua mempelai duduk bersanding (tuda
botting atau situdangeng) di pelaminan selama bebeapa jam sementara tamu yang
menyertai mempelai laki-laki serta para undangan pihak perempuan dijami makan
dan disuguhi bermacam-macam hiburan.Dahulu, pada perkawinan keluarga raja,
kedua mempelai bisa duduk selama berhari-hari dihadapan ratusan bahkan ribuan
tamu yang mengahdiri pesta tersebut, seperti saat raja dan rau dikukuhkan.Menarik
untuk diperhatikan bahwa ritual-ritual adat (sejak saat mempelai lelaki dinikahkan
sampai dengan acara bersanding) dikuasai oleh kaum perempuan, khususnya indo’
botting yang secara harfiah berarti “inang pengantin” (Melayu, mak andam).Tahap
kedua pesta pekawinan, yaitu ma’parola, dimana pengantinperempuan disambut oleh
orang tua suaminya, tidak kalah meriahnya, walau ritual nikah Isalam dan ritual-ritual
adat tentu saja tidak diukangi lagi.
Selama duduk bersanding, pasangan ini hanya beristirahat sejenak; sekadar
untuk makan dan berganti pakaian.Kemudian, sang laki-laki harus melewati sejumlah
tahap pada malam pesta dan malam-malam berikutnya untuk membujuk pasangan
barunya. Pertama, agar sang istri memperbolehkan tidur dikamar yang sama,
membuka selubung dan berbicara dengan istri, mengijinkannya mendekat, hingga
akhirny bersedia un tuk tidur bersama. Proses panjang ini, mengingatkan pada usaha
Sawergading mendekati We Cudai’ dalam La Galigo.Hal itu bisa berlangsung selam
berbulan-bulan sebelum kedua mempelai betul-betul berhubungan sebagai pasangna
suami-istri. Adakalahnya sang perempuan bersikukuh menolak pasangannya,
sehingga perkawinan terpaksa kandas dan berakhir dengan perceraian. Bahkan hingga
sekarang, proses pendekatan ini bisa menghabiskan waktu berminggu-minggu, dan
nika tidak berhasil mereka pun akan bercerai.
Upacar pesta perkawinan merupakan media utama bagi orang Bugis untuk
menunjukkan posisinya salam masyarakat. Misalnya, dengan menjalankan ritual-
ritual, mengenakan pakaian, perhiasan, dan pernak-pernik lain tertentu sesuai dengan
tingkat kebangsawanan dan status social mereka.Selain itu, identitas, status, dan
jumlah tamu yang hadir juga merupakan gambarab luasnya hubungan dan pengaruh
social seseorang.Pesta perkawinan yang merupakan ajang bagi pihak keluarga
mempelai laki-laki dan mempelai perempuan untuk mempertontonkan kekayaan
mereka. Kekayaan keluarag mempelai laki-laki dapat dilihat dari besarnya jumlah
dui’ me’nre’yang mereka persembahkan kepada mempelai perempuan (Millar, Bugis
Wedding: 105-8).
Pada kahir abad ke-19, besarnya mas kawin (sompa) ditetapkan sesuai status
sesorang. Setiap satuan mas kawin disebut kati (mata uang “kuno”): satu kati senilai
66 ringgit, sama dengan 88 rial, 8 uang (8/20 rial) dan 8 duit (8/12 uang), dan setiap
kati harus ditambah satu orang budak yang bernilai 40 rial dan seekor kerbau yang
berharga 25 rial. Sompa bagi perempuan bangsawan kelas tinggi sompa bocco’ atau
‘sompa puncak’ bisa mencapai 14 kati. System perhitungan ini msih digunakan
hingga sekarang, tetapi sejak masa kemerdekaan Indonesia mata uang ringgit (dulu
senilai 2,5 rupiah atau 2,5 gulden Belanda) yang dijadikan satuan perhitungan; jadi
satu kati, yang bernilai 66 ringgit, sama dengan 165 rupiah. Mengingat kadar inflasi
Indonesia sejak tahun 1960-an dan turunnya nilai rupiah, sudah jelas uang sompa
tidak lagi berharga. Namun sompa itu masih penting artinya, khusunya bagi keluarga
yang berstatus tinggi karena hadiah-hadiah tambahannya, termasuk didalamnya
hadiah simbolis (batang tebu, labu, buah nagka, anyaman-anyaman, dan bermacam-
macam kue tradisonal) yang pada pesta kawin besar diarak bersama mempelai laki-
laki kerumah mempelai perempuan oleh pengantar berpakaian adat. Disamping itu,
jumlah uang antaran (dui’me’nre)nmakin cenderung naik. Angka yang dicatat oleh
Susan Millar, dalam studinya tentang perkawinan suku Bugis pada tahun 1975
menunjukkan bahwa besarnya mas kawin sebenarnya dibulat-kan, sementara
dui’me’nre’ berkisar antara Rp 2.000 sampai Rp 500.000. Sejak memudarnya
kekuasaan politik tradisional, taka da lagi yang berwenang menegakkan aturan adat,
sehingga banyak orang kaya dari kalangan biasa, yang cukup “tebal muka”
mengadapi gunjingan masyarakat, memulai symbol-simbol social dalam perkawinan
yang dahulu hanya berlaku bagi kalangan bangsawan.
Hal tersebut sekali lagi menunjukkan kemampuan orang bugis yang selalu
bisa melonggarkan kekakuan sistem pemerintahan dan pengembangannya dengan
sesuatu yang bersifat peksibel dan prakmatis. Struktur piramit yang menghubungkan
Wanua dengan pemerinta pusat melalui persetujuan bilateral dapat ditemukan pada
semua kerajaan bugis.
9. Hubungan Patron-Klien
Sejalan dengan sistem stratifikasi sosial orang Bugis yang menetapkan status
seseorang berdasarkan keturunan serta sistem pemerintahan yang membagi
masyarakat kedalam unit-unit dengan raja atau penguasahnya masing-masing 2
sistem yang menyebabkan tingginya tingkat stabilitas sosial, karena mengalokasikan
kepada setiap individu tempat yang permanen dalam suatu kajian masyarakat yang
tertentu. Tedapat pulah sebua sistem yang selama berabat-abat memungkainkan
terjadinya mobilitas sosial, persaingan di antara mereka yang sederajat, kerja sma
antar strata sosial, dan integrasi dalam berbagai kelompok, yang biasanya tak
memperhitungkan batas wilaya. Sistem tersebut adalah sistem Patron-Klien (Pelre,
“Patron-Clien”).
Beberapa penulis telah merujuk kepada sistem tersebut sejak permulaan abat
ke 19 (kooereman, “Feitelijke toestand”). Akan tetapi, keberadaan dan arti pentingnya
bagi mesyarakat Sulawesi Selatan belum memperoleh perhatian yang alayak daripada
ilmuan sebelum Cabot menulis buku (Chabot, “Kinship”) tentang kekerabatan, status,
dan gender dalam masyarakat Makassar. Penelitian lebih mutakhir tentang Bugis dan
Makassar. (Lineton, study of the Bugis, Hasan Walinono, Tanete) membuktikan
bahwa sisem patron-Clien ternyata mampu beratahan di bawah kondisi politik dan
hidstoris yang relatif berbeda.
Jika seorang pengikut merasa cukup kuat untuk mandiri tampa perlindungan
sang tuan, dia berhak memisahkan diri, bahkan boleh menjadi pemimpin dari
pengikutnya sendiri. Bukan hanya bangsawan rendah, atau malah orang biasa yang
kaya.
Pada zaman dahulu, ada tiga cara memperoleh pengikut. Pertama sebagai
warisan, ketika seorang patron meninggal dunia, pengikutnya kadang mengabdikan
kesetiaanya kepada salah seorang anak sang pemimpin, tetapi proses tersebut bukan
hal yang terjadi secara otomatis. Cara kedua penarik klien adalah dengan
memperlihatkan karisma pribadi yang luhur. Pada kedua cara itu, ada tiga faktor
penting yang harus diperhatikaan: status sang patron, jabatan yang ia pegang, dan
kepribadiaanya. Cara ketiga untuk memperoleh pengikut adalah perkawinan. Dalam
hal ini selain status dan tingkat hubungan kekerabatan, faktor lain yang menentukan
pemilihan calon istri bangsawan adalah luasnya pengaruh bapak atau saudara laki-
lakinya, diukur melalui sedikit banyaknya pengikut mereka. Kelak secara tidak
langsung, pengikut keluarga sang istri juga menjadi pengikut sang suami. Itulah
sebapnya mengapa bansawan kelas tinggi, selain mengawini perempuan berstatus
lebih rendah, sehingga, melalui bapak atau saudara laki-laki istrinya, ia bisa
memperluas pengaruh ke kelompok atau wilayah yang masih diluar jangkauaanya.