Anda di halaman 1dari 30

BAB II

MASYSARAKAT BUGIS
2.1 KEKERABATAN
Dalam masyarak atmanapun, hubungan kekerabatan merupakan aspekutama,
baik karena dinilai penting oleh anggotanya maupun karena fungsinya sebagai
struktur dasar yang akan membentuk suatutatanan masyarakat. Pengetahuanmen
dalam tentang prinsip-prinsip kekerabatan sangat diperlukan guna memahami apa
yang mendasari berbagai aspek kehidupan masyarakat yang dianggap paling
pentingoleh orang Bugis dan yang saling berkaitan dalam membentuk tatanan social
mereka. Aspek tersebut antara lain adalah perkawina, hirarki social, kekuasaan, dan
pengaruh pribadi.
1. Sistem Kekerabatan
Sebagaimana umumnya masyarakat Austronesia, khususnya orang-orang
Nusantara seperti orang Melayu, Jawa, Kalimantan, dan Filipina, oraangbugis pun
menganut system kekerabatan bilateral atau dalam bahasa inggris disebut juga
cognatic. Kelompok kekerabatan bila teral sesorang ditelusuri melalui garis
keturunan dari pihak ayah maupun ibu. Suatu hal yang umum pula berlaku di
kalangan masyarakat Eropa, meskipun tidak berlaku universal. Sebaliknya, system
kekerabatan kebanyakan masyarakat non-Eropa, yang banyak diteliti ahli-ahli
antropologi, pada umumnya menganut prinsip patrilinea latau matrilineal.
Terminology kekerabatan masyarakat Bugis cukup sederhana dan tergolong
system kekerabatan “angkatan”. Seluruh kerabat yang berasal dari garis generasi yang
sama, baik laki-laki maupun perempuan, atau sepupu, dimasukkan kedalam kategori
“saudara” (sumpunglolo), disebut juga silessureng atau se’ajing `satuasal`). Yang
paling penting adalah apakah dia lebih tua (kaka’) atau lebih mudah (anri). Begitu
pula halnya dengan generasi dibawahnya, panggilan untuk mereka sama, yakni ana’
(anak), termasuk untuk anak kandung, kemenakan laki-laki perempuan, anak dari
sepupu laki dan perempua. Meskipun ada istilah anaure’ (ana’-ure’) untuk
kemenakan laki-laki dan perempuan, selanjutnya, baik keturunan ana’maupun
keturunan anaure’akan disapasebagai eppo(cucu). Sementara itu, semua kerabat
yang seangkatan dengan ayah atau ibunya, akan di sapapaman (ama-ure’ atauamure’
)atau bib i(ina-ure’). Sedangkan orang tua dari bapak, ibu, paman, dan bibi akan
disapa ne’ne’ (yang berarti kakek ataupu nenek).
Sementara itu, biasanya akan sulit menentukan apakah orang yang disapa
dengan sapaan-sapaan tersebut diatas benar-benar memiliki hubungan kekerabatan
dengan mereka. Hal itu disebut adanya kecenderunga nuntuk secara otomatismenya
pada orang-orang dekat, meskipun tidak memiliki hubungan kekerabatan, dengan
sapaan sesuai generasi mereka masing-masing. Misalnya, seorang bapak akan
otomatismenya paoran-orandekat, meskipun tidak memiliki hubungan kekerabatan,
dengan sapaan sesuai generasi mereka masing-masing. Misalnya seorang bapakak
anotomatismenyapaputra sahabatnya dengan sapaana na’ bukan karena adanya
hubungan darah dengannya, akan tetapi karena dia berasal dari generasi satu tingka
tdibawahnya (satugenerasi dengan ana’-nya). Tentu saja juga ada sapaan untuk
menentukan secara pasti hubungan kekerabatan satu sama lain, yakni dengan
menambahkan istilahk husus. Misalnya: silassurengriale’ku ‘saudarasaya sendiri’
atau anri’ ipa’ku ‘adik iparsaya’, atau, dalam sastra kunoinateng-ncajiangnga-a’, ‘ibu
yang tidak melahirkan saya’ sebagai pengganti inaure’ yaitu ‘bibi’.
Dalam system bila teral, di mana baik garis keturunan ibu maupun ayah
diperhitungkan, konsep terpenting bukanlah marga-yang tidak dikenal oleh
masyarakat Bugis- akan tetapi “percabangan” dari keduasisi. Dengan kata lain,
setiap orang memiliki dua garis nenek - moyang, yakni garis nenek-moyang dari
bapak dan ibu. Dari kedua garis keturunan tersebut akan terbentuk jaringan sepupu
dari kedua belah pihak yang memiliki dua pasang kakek-nenek, yakni orang tua
bapak dan orang tua ibu mereka yang disebut ne’ne’ wakkang ‘kakek-nenek
pangkuari’. Kemudian kedua pasang kakek-nenek itu memiliki pula orang tua yang
berjumlah empat pasang (ne’neuttu’ ‘kakekneneklutut’). Lalu keempat pasang orang
tua kakek-nenek itu memiliki pula orang tua yang berjumlah delapan pasang orang
tua dari orang tua kakek-nenek itu juga memiliki orang tua yang jumlahnya enam
belas pasang (nene’ palakaje’’kakek-nenek telapak kaki).
Dua pasang kakek-nenek menurunkan sepupu pertama. Empat pasang orang
tua dari kakek-nenek menurunkan sepupu kedua. Delapan pasang orang tua dari
kakek-nenek menurunkan sepupu ketiga.Dan, akhirnya enam belas pasang orang tua
dari orang tuanya orang tua kakek-nenek menurunkan sepupu empat kali. Secara
berturut-turut, sepupu pertama, kedua, ketiga, dan keempat, dalam bahasa Bugis
disebut sapposisseng, sappowe’kkadua, sappowe’kkatellu,dansappowe’kkaeppa’.
Jadi, setiap orang dikelilingi oleh kerabat yang berasal dari dua cabang garis
bapak maupun garis ibu, mulai dari yang paling dekat, misalnya dari cabang kedua
orang tuanya (saudara, kemenakan, cucuk kemenakan). Hingga kerabatan jauh yang
berasal dari lima lapis nenek moyang yang menurunkan berbagai lapis sepupumereka.
Hubungan kekerabatan tersebut biasanya disebut dengan istilaha ’se’ajingeng
(memiliki asal-usul sama). Jauh dekatnya hubungan kekerabatan ditentukan oleh
lapisan leluhur keberapa yang menghubungkan mereka. Hubungan berdasarkan nenek
moyang tersebut, baik dari pihak bapak maupun ibu, menyatukan mereka dalam suatu
system kekerabatan dan memisahkan mereka dengan “orang lain”(tau la’eng).
Masyarakat bugis tidak memiliki suatu kelompok kekerabatan bilateral yang
mengutamakan salah satu pasangan nenek-moyang saja, sebagaimana halnya orang
Toraja tetangga mereka yang hanya memusatkan inti kelompok keluarga masing-
masing pada sebuah rumah keluarga (tongkonan). Yang terpenting bagi masyarakat
Bugis adalah dicapainya derajat yang tinggi dalam system stratifikasi social.

2.2 Gender
Dalam masyarakat bugis, sebagai mana lazimnya masyarakat lain di dunia,
lelaki dan perempuan memiliki wilayah aktivitas masing-masing. Namun,pada
hakikatnya orang bugis tidak menganggap laki-laki maupun perempuan lebih
dominan satu sama lain.Kriteria perbedaan peran gender lebih berdasarkan
kecenderungan sosial dalam prilaku individu dalam sistem kekerabatan bilateral
mereka, di mana [ihak ibu dan bapak memili peran setara guna menentukan garis
kekerabatan, sehinga mereka mengangap laki-laki maupun perempuan
memiliki(walaupun berbeda) dalam kehidupan sosial. Perbedaan inilah yang menjadi
dasar kemintraan mereka dalam menjalankan peran masing-masing.
Meskipun masuknya islam telah memperkenalkan dan mendorong prilaku
yang seolah-olah yang menempatkan laki-laki lebih menonjol dari pada
perempuan,tetapi tingkah laku tersebut tidak menggambarkan dominasi kaum pria
atau marjinalisasi kaum perempuan (Millar, “InterpretingGender”). Sebaliknya,
keterbatasan yang di alami prempuan bugis dan tanggung jawab mereka
emban,mengundangrasa takjub para pengamat bara Abad ke-19. Sir Scam Ford
Raffles, misalnyapada 1817 menulis bahwa di sulawesi selatan perempuan “tampil
lebih terhormat dari yang bisa di harapkandari tingkat kemajuan yang di capai
peradapan bugis secara umum, dan perempuan tidak mengalami kesulitan hidup yang
keras,kemelaratan,atau kerja berat, yang telah menghambat kesuburan merekan di
bagian dunia lain “Raffles, Histori Java, lampiran . F, “Celebes”: CLXXIX).
Sementara Crawfurd menulis, “perempuan tampil muka umum adalah sesuatu yang
wajar; mereka aktif dalam semua bidang kehidupan; menjadi mitra diskusi pria
dalamsegenap urusan publik, bahkan tak jarang menduduki tahta kerajaan,padahal
menjadi raja di tentukan lewat proses pemilihan” (Crawfud,History:74)
Pada awal perkawinan, pasang pengantin baru biasanya tinggal dirumah orang
tua istri sehingga tidak memberi ruang kepada suami untuk dominasi istrinya.
Sementara itu ruang dalam rumah pada hakikatnya di bagi berdasarkan Gender:
bagian depan menjadi wilayah kaum pria sedang ruang belakang milik kaum
perempuan.Setiap bagian ada pintu masuknya sendiri. Hanya saja,jika perempuan
dalam rumah,kerabat perempuan,dan perempuan lainya sering masuk dalam pintu
belakang, apa lagi pria asing.
Daerah kekuasaan kaum perempuan yang lain adalah loteng ,tempat menyimpan
padi,pada zaman dahulu di gunakan sebagai ruang tidur anak gadis yang belum
menikah,terutama jika ada pria bermalam. Biasanya jamuan yang hanya di ikuti laki-
laki di langsungkan di bagian depan, dan perempuan hnaya muncul membawa
makanan atau panganan. Tujuan menjaga perempuan dari gangguan pria asing.
Secara umum, boleh di katakan bahwa rumah sebenarnya adalah bagian perempuan,
bukan laki-laki, dan biasanya di wariskan kepada anak perempuan bungsu.

Menurut pepatah orang bugis,wilayah perempuan adalah adalah sekitar


rumah, sedangkan ruang gerak kaum pria “menjulang hingga ke langit”.kata bijak
tersebut juga menjelaskan peran laki-laki dan perempuan dalam krhidupan rumah
tangga. Dialah tulang punggung penghasilan keluarga dan dialah yang bertugas
mencari nafkah (sappa’ laleng attuo). Sementara perempuan sebagai ibu (indo’ana’)
menjalankan kewajibannya menjaga anak,menumpuk padi,memasak,
mencuci,menyediakan lauk pauk dan berbelanja keperluan keluarga. P ekerjaan
utamanya dalam rumah dan sekitarnya serta mengatur dan membelanjakan
pendapatan suami selaku “Pengurus yang bijaksana” (pa’taro malempe’ nawa-nawa-
e’).
Gambaran di atas belum memperlihatkan proses utuh. Tidak jarang
perempuan ikut mencari nafkah untuk menghidupi keluarga dengan membuat
kerajinan rumah tangga seperti tenunan,sulam,tikar atau keranjang atau membuat
pengganan kemudian menjualnya di pasar atau menitipkannya di warung dekat
rumah. Malah istri para pelaut menggambil alih tanggung jawab suaminya
menghidupu keluarga saat suaminya pergi melaut. Terkadang ini memakan waktu
berbulan-bulan , dan selama pergi sang suami hanya menghidupi dirinya sendiri,
setelah kembali ke darat barulah ia menyerahkan hasil yang di peroleh oleh keluarga .
biasanya tidak dalam bentuk uang tunai lebih sering dalam bentuk
pakaian,perhiasan,perabotan rumah tangga, atau barang-barang mewah.kaum
perempusn juga ikut berperan dalam pertanian kusunya pekerjaan yang membutuhkan
bvanyak orang, misalnya pada musim tanam atau panen, atau pekerjaan yang tidak
terlalu berat menyiangi rumput. Laki-laki kadang turun tangan pula melakukan tugas
rumah tangga yang lazim di jalankan perempuan : misalnya, memasak saat berada di
gubuk ladang, atau istrinya sakit. Atau waktu ada pesta, di mana aktivitas masak-
memasak di lakukan di luar rumah dan bnayak sdekali nasi atau danging di
persiapkan untuk menjamu para tamu.
Ada pula perkerjaan yang biasanya hanya boleh di lakukan oleh perempuan
atau sebaliknya pekerjaan kusus pria hanya mencakup mengolah lahan, menabur
benih, memancing di tengah laut ( perempuan kadang memancing atau menjaring
ikan di tepi laut),mengembala ternak,mencari kayu di hutan, mengumbulkan air nira
untuk di buat tuak, berburu, bertukang kayu, membangun rumah atau perahu dan
mengolah besi, emas, atau perak. Tugas yang di bebankan kepada perempuan antar
lain menupuk padi,menenun dan sejenisnya, serta membuat tembikar. Pembagian
kerja ini tidak berarti bahwa perempuan hanya di beri pekerjaan yang ringan
sementara lak-laki mendapat bagian yang berat : Menumpuk padi menguras tenaka
yang tidak sedikit, sedangkan pengrajin emas yang tergolong pekerjaan halus adalah
pekerjaan kusus laki-laki yang penting, bukab perbedaan tugas melainkan saling
melengkapinya: perbedan itulah yang mendasari kemitraan suami istri dalam saling
menopang kepintingan mereka masing-masing (sibali perri’)dan saling merepotkan
(sipore’po’).
Perbedaan gender memang berlaku pula dalam hal cara berpakaian, sikap dan
gerak-gerik fisik,serta tinggah laku,walau batasanya kerap tumpang tindih dan sangan
fleksibel. Berbeda dengan penduduk nusantara lainya diman kaum laki-laki memakai
sarung sementara perempuan mengenakan kain panjang pakaian sehari –hari orang
bugis laki-laki maupun perempuan; adalah sarung yang berbeda hanya cara ikatnya.
Dalam acara resmi,perempuan bugis memakai berpakaian data tidak mengikat sarung
mereka tetap menyelempangkannya sebagian di atas lengan merek, sehingga tampak
elegen tetapi tidak begitu praktis untuk bergerak .umumya,kaum lelaki mengikatkan
sarungnya di pinggang mesti tidak memakai baju.sedangkan,sejak masuknya islam
perempuan biasanya mengikat sarung mereka di ketiak atau kadang-kadang pada
salah satu bahu (meski hingga tahun 1960-an beberapa perempuan di kampung,tua
maupun muda, masih bertelanjang dada jika berada dalam rumah) apabila mereka
tidak berbaju.mereka juga kadang-kadang memakai sarung kedua sebagai penup
kepala jika keluar rumah. Kebiasaan ini terlihat di daerah-daerah dimana pengaruh
islam cukup kuat, tetai tampakanya hal itu bukan hanya karena pengaruh ajaran islam
sementar, karena kebiasaan itu sudah di sebut-sebut dalam La Galigo.
Sikap duduk juga berbeda. Di atas lantai atau tikar,laki-laki duduk bersila
sementara peempuan biasanya duduk dengan kedua kaki di tekuk ke samping. Pada
acara resmi, satu kaki di tekuku ke dalam dan satunya dengan lutut berdiri. Laki-laki
umunya mengangkat beban dengan cara memikul di bahu (le’mpa’), sementara
perempuan menjunjungnya (‘jujjung) di atas kepala. Ada batasan tertentu bagi kaum
hawa dalam berprilaku , meski sikap agresif sampai tinggah tertentu di anggap wajar
bagi pria. Sebagian besar laki-laki menyelipkan badik,yang di sebut kawali,di balik
pakean,sehingga pertengkaran mulut kerap berakhir dengan pertumpahan darah
perempuan juga seng membawa kawali dalam perjalanan tetapi hanya untuk menjaga
diri.
Meski perbedaan prilaku berdasarkan gender di kalangan orang bugis
memang ada, namun fleksibelitasnya tergambar lewat ungkapan “meskipun dia laki-
laki, jika memiliki sikap keperempuanan, dia dalah perempian;dan permpuan, yang
memiliki sifat kelaki-lakian, adalah lelaki” (mau’ni na woroane’ mua na makkunrai
sipa’na, makkunrai’-mui;mau’ni makkunrai na woroane’sipa’ na woroane’-
mui).sebagai contoh penerapan prinsip-prinsip ini terlihat dengan penunjukan
perempuan sebagai pemimpin politik atau panglima perang. Figur semacam ini bukan
hanya banyak di temukan dalam sastra bugis, tetapi dalam sejarah pun tidak sedikit di
temukan tokoh perempuan pejuang. Contoh paling terkemuka
Seperti yang dikemukakan Crawfurd tentang seorang perempuan Makassar(yang
dalam hal ini dapat disamakan perempuan bugis) yang memmerintah kerajaan kecil
lipukasi tahun 1814:
“ tak lama sebelum saya bertemu dengannya, dia bersama prajuritnya baru pulang
dari medan laga menghadapi musuh. Dengan angkuh,ia mencela kelambanan mereka
dalam berperang, dan meminta tombak, untuk member contoh. Semangat pasukan itu
pun bangkit kembali, lalu mereka maju kemedan perang, dan meraih kemenangan”.
Dalam perjuangan kemerdekaan melawan penjajah, perempuan juga ikut berperan.
selain itu, mereka juga bisa ditemukan dalam barisan pasukan pemberontak periode
1949 -1965 baik dalam tentara islam Indonesia pimpinan kahar Musakkar maupun
tentara keamanan rakyat dibawah pimpinan Usman Balo’. Perempuan yang menjadi
penguasa kerajaan juga bukanlah hal baru dalam sejarah bugis, sebuah fakta yang
semakin mengundang rasa tabjub Crawfurd :
“perempuan dimintai pendapat oleh kaum lelaki dalam semua urusan
pemerintahan, dan kerab kali diangkat menjadi raja, padahal pengangkatan raja
dilakukan dalam proses pemilihan, pada acra kerajaan, perempuan juga hadir
ditengah kaum pria; duduk dalam siding yang membahas masalah-masalah
kenegaraan bahkan berhak memberi pertimbangan. Saat ini, kerajaan luwu”
disulawesi selatan dipimpin istri raja soppeng, tetapi raja soppeng tidak berhak
mencampuri urusan dalam negeri kerajaan luwu”, diperintah oleh istrinya, ratu
kerajaan soppeng.
Beberapa tahun kemudian, brooke menulis dengan nada serupa:
“ semua jabatan kerajaan, bahkan termasuk arung matoa, terbuka bagi perempuan;
dan mereka benar-benar mengisi posisi penting dalam pemerintahan, 4 dari 6
pembesar utama wajoadalah perempuan. Mereka tampil di muka umum layaknya
kaum pria; menunggang,memerintah, dan juga mengunjungi orang asing tanpa harus
sepengatahuan atau meminta izin suaminya.
Yang dimaksudkan disini oleh brooke adalah arung enneng-e,’ raja enam’ yang
membentuk dewan pemerintahan kerajaan wajo’.meskipun pada tingkat kampung
pemimpin informal semuanya laki-laki, namun sebagai penghormatan atas sifat-sifat
keibuan yang mereka tunjukkan kepada masyarakat kampung, maka mereka biasanya
disebut ina tau ‘ibu orang banyak’. Ada juga beberapa contoh perempuan bangsawan
bugis yang menjabat sebagai kepala desa atau camat.alasan mengapa perempuan
bangsawan diberi peluang untuk menduduki kursi pemerintahan mungkin berkaitan
dengan prinsip- prinsip dasar interaksi social lelaki dengan perempuan (muslimah)
biasa diperkenankan tinggal seatap dengan lelaki muhrimnya, seperti kakek langsung,
paman atau saudara laki- laki, maka perempuan bangsawan diijinkan membawahi
laki-laki dari status lebih rendah yang tak boleh dinikahinya. Jika sampai terjadi
hubungan badan, hukumannya, baik menurut hukuman social maupun agama sama
beratnya dengan hukuman bagi para pelaku sumbang.
Calabai’, calalai’ dan bissu Membicarakan gender orang bugis tidak akan
pernah lengkap tanpa membahas keberadaan dan peran penting “ jenis kelamin
ketiga” yakni calalabai’ dan jenis kelamin keempat “ calalai’( yang paling kurang
dikenal orang luar). Calabai’ yang secara etimologis berarti ‘perempuan palsu’ atau
‘hampir perempuan’ adalah laki- laki yang bertingkah laku seperti perempuan.
Sedangkan calalai’ yang berarti ‘pria palsu’ atau ‘hampir pria’ adalah perempuan yang
bertingkah laku seperti laki- laki. Tulisan yang mengangkat tema tersebut masih
sangat terbatas, selain penjelasan singkat Matthes pada 1872(bissoe’s) serta sejumlah
penelitian Hamonic ( “ Langage des dieux;40-8) dan perlas ( transvestite). James
brooke juga menyinggungnya dalam jurnal perjalanannya ke Wajo’ pada 1840.
Kebiasaan paling aneh yang saya temukan adalah adanya lelaki berpakaian
seperti perempuan, dan perempuan yang berpakaian seperti laki-laki, bukan hanya
sementara waktu, tetapi seumur hidup berperilaku seperti jenis kelamian yang mereka
tiru itu. Tampaknya ada kecenderungan dikalangan orang tua anak laki-laki ketika
melihat munculnya sifat-sifat keperempuanan tertentu dalam kebiasaan dan
penanmpilan anak laki-lakinya, untuk menyerahkan anak tersebut kepada salah
seorang raja, dimana dia aka mengabdi. Biasanya anak lelaki ini kemudian akan
banyak berpengaruh dan menjdi orang kepercayaan tuan mereka. Calabai’ ada
dihampir semua kampung bugis, tampil baik dalam pakaian perempuan penuh atau
sebagian saja. Mereka juga terlibat dalam semua pekerjaan perempuan, seperti
memasak,menumbuk padi, atau mencuci pakaian. Meskipun, jika berbicara tentang
mereka sebagian anak muda akan tersenyum simpul dan ulama aliran keras
mengecam, tetapi dari sudut pandang umum betul-betul menherankan betapa mereka
sebenarnya diterima baik oleh masyarakat dan menjadi salah satu bagian dari mereka.
Kebanyakan calabai’ tinggal bersama orang tuanya atau saudara perempuan yang
sudah menikah, sebagian lagi hidup sendiri.ada pula yang hidup satu atap dengan
lelaki muda, dan meski seks tabu dibicarakan secarat terbuka dalam masyarakat
bugis, tetapi tampaknya tidak ada yang meragukan terjadinya praktik homoseksual
pada pasangan tersebut. Biasanya pasangan si calabai’ adalah lelaki normal, bahkan
sebagian diantaranya kemudian kawin dan beranak pinak. Calabai’ yang hidup sendiri
umumnya dipandang impoten. Hidup sendiri, mungkin juga merupakan pilihan untuk
berpantang seks guna menghindari perbuatan yang dianggap dosa dalam islam atau
untuk menambah kekuatan magis lewat jalan asketisme. Berpantang seks biasanya
juga dijalankan oleh pria heteroseksual setengah baya untuk tujuan yang sama.
Catatan pengamat Barat pertama tentang bissu, dibuat pada tahun 1545 oleh paiva,
seorang berkebangsaan portugis ( Jaco, “ first Christianity”), paiva terang-terangan
membeberkan hubungan homoseksual di kalangan mereka yang menurutnya
menjijikkan. Dari gambaran paiva, tampaknya bissu melakukan praktik sodomi (seks
anal) dan fellatio (seks oral). Pada periode yang sama, orang homoseksual yang
dikeramatkan juga terdapat dijawa, juga pada kaum shaman bare’ e’ di Sulawesi
tengah,bali,dayak,dan penduduk asli Taiwan,serta filipia, dan polinesia. Tidak semua
bissu adalah calabai’ dan hanya sedikit calabai’ yang menjadi bissu, mungkin kondisi
ambivalen mereka yang menyebabkan calabai’ dikeramatkan. Berhubung dewasa ini
bissu asli sudah hampir lenyap, maka kebanyakan calabai’ biasanya kembali
menjalankan peran mereka sebelumnya dalam hal penyelenggaraan dan perayaaan
pesta perkawinan. Mereka disewa untuk mengurusi masalah-masalah praktis seperti
dekorasi rumah, masak-memasak,dandan dan pakaian pasangan pengantin, serta sewa
hiasan dan pernak-pernik kedua mempelai dan robongannnya. Seringkali mereka juga
yang akan melaksanakan acara-acara ritual tradisional selaku indo’botting. Aktivitas
ini menjadi sumber penghasilan utama sebagian besar calabai’ dan membuat sebagian
mereka hidup berkecukupan. Potensi ini menjelasakan mengapa ketika seorang anak
lelaki mulai menunjukkan tanda-tanda sikap feminism, seperti bermain permainan
anak perempuan atau berpakaian seperti perempuan, banyak orang tua tidak
menghalanginya.
Calabai’ berkeras bahwa mereka buka sekadar lelaki yang ingin berubah
menjadi perepuan, dan setahu saya tidak ada yang berkeinginan untuk menjalani
operasi perubahan kelamin. Mereka menyatakan bahwa mereka menikmati
kemampuan mereka menggabungkan maskulinitas yang dibawah sejak lahir dengan
feminitas yang baru disadari setelah berangkt remaja. Mereka pun menegaskan
adanya kekuatan dan sifat agresif kaum lelaki sejalan dengan sifat feminism kaum
perempuan yang mereka miliki.mereka bebas bergaul, baik dengan laki-laki maupun
perempuan, meskipun mereka harus mematuhi larangan hubungan seksual dengan
perempuan. Pada abad ke-16, bissu calabai’ yang terbukti melakukan hubungan seks
dengan perempuan akan di hukum mati dengan merebunya hidup-hidup dalam galah
atau minyak mendidih.
Calalai’ juga ada yang hidup dengan pasangan perempuannnya. Mereka
melakukan hubungan seks (konon) dengan bantuan semacam alat kelamin lelaki
terbuat dari usus hewan yang diisi lilin. Jumlah mereka lebih sedikit dibanding
calabai’, dan tingkat toleransi masyarakat juga jauh lebih rendah terhadap mereka.
Mereka hanya memiliki status individual sebagai anggota masyarakat biasa, dan tidak
memperoleh peran social atau ritual, meskipun dalam perkembangannnya pernah juga
ada penguasa dari kaum calalai’.

2.3 PERKAWINAN
Bagi masyarakat bugis, perkawinan berarti siala’saling mengambil satu
sama lain. Jadi, perkawinan adalah ikatan timbal-balik.Walaupun mereka berasal dari
status sosial berbeda, setelah menjadi suami –istri mereka merupakan mitra. Hanya
saja, perkawinan bukan sekedar penyatuan dua mempelai semata, akan tetapi suatu
upacara penyatuan dan persekutuan dua keluarga yang biasanya telah memiliki
hubungan sebelumya dengan maksud yang mempereratnya (ma’pasideppe’ mabela-e
atau mendekatkan yang sudah jauh) dikalangan masyarakat biasa, umumnya
berlangsung antar keluarga dekat atau antar kelompok patronasi yang sangat (masalah
“patron-klien” akan dibahas lebih lanjut), sehingga mereka sudah saling memahami
sebelimnya. Oleh karena itu; mereka yang berasal dari daerah lain, cenderung
menjaling hubungan yang lebih dekat lagi dengan orang yang telah mereka kenal baik
melalui jalur perkawinan. Dengan kata lain, perkawinan adalah cara terbaik untuk
membuat orang lain menjadi “bukan orang lain” (tennia tau laeng). Hal ini juga
ditempuh dua sahabat atau mitra usaha yang bersepakat menikahkan turunan mereka,
atau menjodoh-jodohkan anak mereka sejak kecil. Idealnya, perkawinan
dilangsungkan dengan keluarga sendiri.Perkawinan antar sepupu, sepupu pararel
(yaitu keduanya melalui sisi ibu atau melalui sisi bapak) atau pun sepupu silang yaitu
satu dari sisi ibu dan satunya lagi dari bapak, dianggap sebagai perjodohan
terbaik.Ada silang pendapat dikalangan masyrakat bugis tentang lapisan sepupu
beberapa yang boleh dan beberapa yang tidak boleh dikawini.Bnayak yang
menganggap bahwa perkawinan dengan sepupu satu kali (perkawinan semacam ini
disebut siala marola) “terlalu panas “, sehingga hubungan seperti itu jarang terjadi,
kecuali di kalangan bangsawan tertinggi. “Darah putih” yang mengalir dalam tubuh
mereka dan harus dipelihara membuat mereka melakukan hal itu, sebagaimna halnya
tokoh-tokoh dalam cerita la Galigo.Sementara masyarakat biasa lebih menyukai
perkawinan dengan sepupu kedua “siala memeng”, lalu sepupu ketiga dan keempat.
Hal penting lainnya adalah, pasangan yang hendak menikah tidak boleh berasl dari
generasi atau angkatan yang berbedah. Pasangan yang hendak menikah sebaiknya
berasal dari generasi atau “angkatan” yang sama. Perkawinan antara paman dan
kemenakan perempuan, atau bibi dan kemenakan laki-laki dilarang, dan hubungan
badan diantara mereka akan dianggap sebagai salimara’ (hubungan sumbang,inses).
Sementara itu, perkawinan dengan anak dari sepupu keberapa pun sebaiknya
dihindari.Naskah silsilah yang ada, menunjukkan bahwa aturan ini di tegakkan
dengan sangat ketat, dan jarang sekali terjadi pelanggaran. Mengingat seringnya para,
bangsawan, begitu pula anak-anak mereka, kawin dengan perempuan yang berusiah
jauh lebih mudah dari mereka, menyebabkan banyak putra bangsawan yang sebaya
usianya dengan kemenakan mereka. Namun, tidak ada paman/bibi yang kawin
dengan kemenakan mereka walaupun usia mereka sebaya.
Bagi kaum bangsawan, factor yang lain diperhatikan yang paling penting,
malah ada kesesuaian derajat antara pihak laki-laki dan perempuan. Berbeda dengan
bangsawan laki-laki yang diperbolehkan kawin dengan perempuan status lebih
rendah, bangsawan perempuan sama sekali tidak diperbolehkan menikah dengan
prang yang lebih rendah derajatnya. Semakin tinggi status kebangsawanan seseorang,
semakin ketat pula aturan yang diberlakukan.Hal itu masih tetap berlaku hingga
kini.Namun, dikalangan bangsawan rendah, kompromi kian hari kian cenderung
terjadi. Istri utama pria bangsawan tinggi (yang tidak mesti istri pertama) biasanya
memiliki derajat kebangsawanan yang sama dengan suaminya. Sementara istri-istri
lainnya bias berasal dari kalangan lebih rendah, atau bahkan orang biasa.
Selama system politik Bugis tradisional berlaku, prinsip ini tetap dipegang
teguh, karena akan berdampak terhadap status keturunan mereka dam hak pewarisan
tahta. Namun demikian, pertimbangan harta kekayaan sewaktu-waktu bisa
menyebabkan diabaikannya prinsip tersebut. Dahulu, khususnya dikalangan orang
Wajo, laki-laki dari keluarga kaya acapkali diizinkan mengawini perempuan berstatus
lebih tinggi, setelah melalui proses mang’ellidara atau ‘membeli darah’, yakni
membeli derajat (kebangsawanan).
Dalam proses perkawinan, pihak laki-laki harus memberi mas kawin kepada
perempuan. Mas kawin terdiri atas dua bagian. Pertama, sompa (secara harfiah berarti
“persembahan” dan sebetulnya berbeda dengan mahar dalam islam) yang sekarang
disimbolkan dengan sejumlah uang rella’ (yakni rial, mata uang Portugis yang
sebelumnya berlaku, antara lain, di Malaka. Rella’ ditetapkan sesuai status
perempuan dan akan menjadi hak miliknya. Kedua, dui’ me`nre’ (secara harfiah
berarti dui’ me`nre” ditentukan oleh keluarga perempuan. Selain itu, ditambahkan
pula lise’ kawing (hadiah perkawinan), dalam islam disebut mahar atau hadiah
kepada mempelai perempuan: biasanya dalambentuk uang. Akhir-akhir ini mahar
kadang-kadang diganti dengan mushaf Alquran.Sebelum masa penjajahan belanda,
laki-laki dari luar wilayah tempat tinggalperempuan harus membayar pajak pa’lawa
tana (secara harfiah ‘penghalang tanah’) kepada penguasa setempat yang besarnya
sesuai sompa.
1. Pesta Pernikahan
Banyak tahapan pendahuluan yang harus dilewati sebelum pesta pernikahan
(ma’pabotting) dilangsungkan. Jika lelaki belum dijodohkan sejak kecil (atau
sebelum dia lahir), maka keluarganya akan mulai mencari-cari pasangan yang kira-
kira dianggap sesuai untuknya. Bagi kaum bangsawan, garis keturunan.Perempuan
dan laki-laki diteliti secara saksama untuk mengetahui apakah status kebangsawanan
mereka sesuai atau tidak. Jangan sampai tingkat si pelamar lebih rendah dari tingkat
perempuan yang akan dilamar.
Langkah pendahuluan itu di tugaskan kepada para perempuan paruh baya,
yang akan melakukan kunjungan biasa kerumah pihak perempuan untuk mencari tahu
seluk-beluknya. Tahap ini disebut ma’manu’-manu’, yaitu’berbuat seperti burung-
burung’ (yang terbang kian kemari mencari makan). Setalah itu, baru dilakukan
kunjungan resmi pertama, untuk mengajukan pertanyaan-pertanyaan secara tidak
langsung dan halus(“Ada orang yang ingin mendekati anda… Sudah adakah yang
berbicara dengan anda?... Sudah adakah yang punya?... Apaka pintu masih
terbuka?...”), agar kedua belah pihak tidak kehilangan muka seandainya pendekatan
itu tidak membuahkan hasil. Jika keluarga pihak perempuan memberi lampu hijau,
kedua pihak akan menetukan hari untuk mengajukan lamaran (ma’duta) secara resmi.
Selama proses pelamaran berlangsung, garis keturunan, status, kekerabatan, dan harta
kedua calon mempelai diteliti lebih jauh, sambil membicarakan sompandan jumlah
uang antaran (dui’ me’nre’) yang harus diberikan oleh pihak laki-lakiuntuk biaya
pesta pernikahan pasangannya, serta hadiah persembahan kepada calon mempelai
perempuan dan keluarganya. Setelah semua persyaratan ini di sepakati, ditentukan
lagi hari pertemuan guna mengukuhkan (ma’pasiarekkeng’saling menyimpulkan)
kesepakatan tersebut. Pada kesempatan itu hadiah pertunangan kepada mempelai
perempuan (pa’sio’pengikat’) dibawa, antara lain berupa cincin, beserta sejumlah
pemberian simbolis lainnya, misalnya tebu, sebagai symbol sesuatu yang manis; buah
nagka (panasa) diibaratkan harapan (minasa); dan lain-lain sebagainya. Pihak laki-
laki diwakili kerabat dekat atau kenalan yang dihormati orang tuanya, tetapi kedua
orang tua dan calon pengantin sendiri tidak ikut hadir.Juru bicara pihak laki-laki
kemudian membahas kembali hal-hal yang telah disepakati, kemudian dijawab oleh
wakil pihak perempuan, lalu ditentukanlah hari pesta pernikahan.Setlah itu, hadiah-
hadiah yang dibawa diedarkan kepada wakil pihak perempuan untuk diperiksa,
pertama-tama oleh kaum pria kemudian perempuan, selanjutnya dibawa ke kamar
calon mempelai perempuan.
Pesta pernikahan berlangsung dalam dua tahap, pertama acara pernikahan
(ma’pabotting atau me’nree’ botting ‘naiknya mempelai’), dilaksanakan dirumah
mempelai perempuan tanpa dihadiri kedua orang tua mempelai laki-laki.Kedua,
ma’parola (membawa pengantin peremuan kerumah mertuanya) yang kadang-kadang
dilakukan beberapa hari kemudian.Pada hari pernikahan, mempelai pria datang ke
acara pesta bersama para pengiringnya, dan didahului penyerahan sompa.Pada zaman
dahulu pengantin pria harus melewati sejumlah rintangan simbolik (lawa botting),
seperti melewati pasukan kuda berlapis atau pertunjukan silat, dan baru bisa lewat
setalah menyerahkan hadiah kepada pengawal. Untuk pria bangsawan tertinggi ada
lagi upacara khusus, yang bagian utamnya disebut ma’lawolo: suatu dialog antara
pihak pengantin pria dengan seorang bissu yang mewakili keluarga perempuan. Sang
bissu bierbicara dari atas rumah menanyakan apakah sang pengantin pria benar-benar
turun dari “golongan orang-orang yang mendapat penghormatan dengan kedua
tangan” (to-risompa wali), yaitu statys kebangsawanan tertinggi yang memiliki
“darah putih”, darah parah dewata dan bukan dari keturunan La Bulisa’ (seorang
pelayan dewata dalam La Galigo yang menyamar sebagai anak dewata untuk
mengawini putri Datu Jawa dan mati mebusung sebagai akibat). Selama proses dialog
berlangsung bissu pengantin laki-laki masing-masing memegang salah-satu ujung
Lawolo (sehelai kain patola dan kain kaci yang dipilin, yang merupakan symbol
pelangi masa La Galigo dan pohon welenreng) yang menghubungkan Bumi yang
diwakili pihak laki-laki dan Langit yang diwakili pihak perempuan. Jika sang bissu
sudah we’wang Nriwu’, dan Luwu’, mewakili arah timurbarat, dan tengah dunia,
maka dia perlahan-lahan akan menarik Lawolo, menuntun mempelai pria naik keatas
rumah di bawah siraman butiran bertih-bertih (Bug. Benno’).Upacara ini sangat
menyerupai upacra pengukuhan seorang raja (Harmonic, “Mallawolo”).
Setelah mempelai pria berada dalam rumah mempelai perempuan, masih ada
beberapa ritual serta halangan fisik dan simbolik yang harus dia lewati sebelum
perkawinan dianggap rampung. Pertama-tama dia harus menjalankan tata cara
pernikahan yang dalam tradisi Bugis mengikuti ajaran islam mazhab syafi’i (yang
dalam beberapa aspek berbeda dari tata cara yang diikuti Muhammdadiyah). Kecuali
mempelai laki-laki, yang harus ada supaya nikah itu sah adalah wali (wakil)
mempelai perempuan serta sekurang-kurangnya dua saksi.Yang diproritaskan menjadi
wali adalah ayah pengantin perempuan.Jika ayahnya tidak ada, barulah kakeknya,
kemudian saudara lelaki seayah-seibu, atau seayahnya saja, lalu putra saudara laki-
lakinya.Sesudah itu baru kerabat-kerabat terdekat lainnya atau hakim.Sedangkan para
saksi dipilih dari lelaki yang patut dihormati. Sebenarnya, wali perempuan yang
menikahkannya dengan mempelai lelaki, tetapi biasanya seorang alim (imam, khatib,
ustadz, dan sebagainya) bertindak sebagai “juru nikah” atau juru bicara si wali.
Sesudah laki-laki mengucapkan kalimat syahadat, juru nikah
mengemukakakan (ijab) kepada calon suami kesediaam sang wali untuk menikahkan
dengannya perempuan yang diwakilinya, dengan ucapan “Aku menikahkan kamu
dengan si Anu, dengan mahar sekian”. Lalu lelaki itu menyatakan diri menerima
(qabul) dengan ucapan “Aku terimsh nikahnya Si Anu dengan mahar sekian”.Ucapan
itu harus jelas didengar oleh para saksi, dan jika perlu mereka bisa minta supaya
diulangi lagi. Setelah itu, baru sah nikahnya menurut ajaran islam.
Selanjutnya, mempelai juga harus menjalankan ritual-ritual adat sebelum
disahkan oleh masyarakat sebagai pasangan suami-isstri.Misalnya, mempelai laki-laki
harus membayar secara simbolis perempuan penjaga pintuk kamar mempelai
perempuan; harus menyentuh tangan atau pergelangan istrinya (ma’dusa’je’nne’ atau
membatlkan air sembahyang); aaserta kadang-kadang kedua mempelai secara
simbolis “dijahit” dalam satu sarung.Setalah ritual-ritual dijalankan, perkawinan
diresmikan di hadapan public di mana kedua mempelai duduk bersanding (tuda
botting atau situdangeng) di pelaminan selama bebeapa jam sementara tamu yang
menyertai mempelai laki-laki serta para undangan pihak perempuan dijami makan
dan disuguhi bermacam-macam hiburan.Dahulu, pada perkawinan keluarga raja,
kedua mempelai bisa duduk selama berhari-hari dihadapan ratusan bahkan ribuan
tamu yang mengahdiri pesta tersebut, seperti saat raja dan rau dikukuhkan.Menarik
untuk diperhatikan bahwa ritual-ritual adat (sejak saat mempelai lelaki dinikahkan
sampai dengan acara bersanding) dikuasai oleh kaum perempuan, khususnya indo’
botting yang secara harfiah berarti “inang pengantin” (Melayu, mak andam).Tahap
kedua pesta pekawinan, yaitu ma’parola, dimana pengantinperempuan disambut oleh
orang tua suaminya, tidak kalah meriahnya, walau ritual nikah Isalam dan ritual-ritual
adat tentu saja tidak diukangi lagi.
Selama duduk bersanding, pasangan ini hanya beristirahat sejenak; sekadar
untuk makan dan berganti pakaian.Kemudian, sang laki-laki harus melewati sejumlah
tahap pada malam pesta dan malam-malam berikutnya untuk membujuk pasangan
barunya. Pertama, agar sang istri memperbolehkan tidur dikamar yang sama,
membuka selubung dan berbicara dengan istri, mengijinkannya mendekat, hingga
akhirny bersedia un tuk tidur bersama. Proses panjang ini, mengingatkan pada usaha
Sawergading mendekati We Cudai’ dalam La Galigo.Hal itu bisa berlangsung selam
berbulan-bulan sebelum kedua mempelai betul-betul berhubungan sebagai pasangna
suami-istri. Adakalahnya sang perempuan bersikukuh menolak pasangannya,
sehingga perkawinan terpaksa kandas dan berakhir dengan perceraian. Bahkan hingga
sekarang, proses pendekatan ini bisa menghabiskan waktu berminggu-minggu, dan
nika tidak berhasil mereka pun akan bercerai.
Upacar pesta perkawinan merupakan media utama bagi orang Bugis untuk
menunjukkan posisinya salam masyarakat. Misalnya, dengan menjalankan ritual-
ritual, mengenakan pakaian, perhiasan, dan pernak-pernik lain tertentu sesuai dengan
tingkat kebangsawanan dan status social mereka.Selain itu, identitas, status, dan
jumlah tamu yang hadir juga merupakan gambarab luasnya hubungan dan pengaruh
social seseorang.Pesta perkawinan yang merupakan ajang bagi pihak keluarga
mempelai laki-laki dan mempelai perempuan untuk mempertontonkan kekayaan
mereka. Kekayaan keluarag mempelai laki-laki dapat dilihat dari besarnya jumlah
dui’ me’nre’yang mereka persembahkan kepada mempelai perempuan (Millar, Bugis
Wedding: 105-8).
Pada kahir abad ke-19, besarnya mas kawin (sompa) ditetapkan sesuai status
sesorang. Setiap satuan mas kawin disebut kati (mata uang “kuno”): satu kati senilai
66 ringgit, sama dengan 88 rial, 8 uang (8/20 rial) dan 8 duit (8/12 uang), dan setiap
kati harus ditambah satu orang budak yang bernilai 40 rial dan seekor kerbau yang
berharga 25 rial. Sompa bagi perempuan bangsawan kelas tinggi sompa bocco’ atau
‘sompa puncak’ bisa mencapai 14 kati. System perhitungan ini msih digunakan
hingga sekarang, tetapi sejak masa kemerdekaan Indonesia mata uang ringgit (dulu
senilai 2,5 rupiah atau 2,5 gulden Belanda) yang dijadikan satuan perhitungan; jadi
satu kati, yang bernilai 66 ringgit, sama dengan 165 rupiah. Mengingat kadar inflasi
Indonesia sejak tahun 1960-an dan turunnya nilai rupiah, sudah jelas uang sompa
tidak lagi berharga. Namun sompa itu masih penting artinya, khusunya bagi keluarga
yang berstatus tinggi karena hadiah-hadiah tambahannya, termasuk didalamnya
hadiah simbolis (batang tebu, labu, buah nagka, anyaman-anyaman, dan bermacam-
macam kue tradisonal) yang pada pesta kawin besar diarak bersama mempelai laki-
laki kerumah mempelai perempuan oleh pengantar berpakaian adat. Disamping itu,
jumlah uang antaran (dui’me’nre)nmakin cenderung naik. Angka yang dicatat oleh
Susan Millar, dalam studinya tentang perkawinan suku Bugis pada tahun 1975
menunjukkan bahwa besarnya mas kawin sebenarnya dibulat-kan, sementara
dui’me’nre’ berkisar antara Rp 2.000 sampai Rp 500.000. Sejak memudarnya
kekuasaan politik tradisional, taka da lagi yang berwenang menegakkan aturan adat,
sehingga banyak orang kaya dari kalangan biasa, yang cukup “tebal muka”
mengadapi gunjingan masyarakat, memulai symbol-simbol social dalam perkawinan
yang dahulu hanya berlaku bagi kalangan bangsawan.

2.4 Stratifikasi Sosial

1. Prinsip-Prinsip Hirarki Berdasarkan Keturunan


Prinsip hirarki tradisional Bugis cukup sederhana. Berdasarkan La Galigo dan
mitos tentang nenek moyang mereka , awalnya hanya ada dua jenis manusia: mereka
yang “berdarah putih” yang keturunan dewata, serta mereka yang “berdarah merah”
yang tergolong orang biasa, rakyat jelata, atau budak.Dalam naska tersebut,
pembagian kedua kategori bersifat mutlak dan tidak boleh saling dicampurkan.Dalam
praktiknya, sepanjang sejarah, perkawinan diantara kedua lapisan itu tidak hanya
dibolehkan akan tetapi sering juga terjadi, sehingga mengangkat status kalangan
lapisan menengah yang berada diantara bangsawan tertinggi dengan budak terendah.
Menurut naska La Galigo, dewata leluhur kaum bangsawan turun ke bumi menjelma
jadi manusia semata karena “tidak ada tuhan jika tidak ada manusia untuk
menyembahnya”. Batara Guru harus menjalani sejumlah ritual desakralisasi,
termasuk upacara mandi guna mengubah aroma dewata menjadi bau tubuh manusia.
Namun, dalam tubuhnya dan tubuh To-manurung berikutnya, begitu pula turunan
mereka yang berdarah murni, tetap saja mengalir “darah putih”. Sebelum perkawinan
antarkeluarga bangsawan La Galigo dilangsungkan, salah satu jari mempelai ditusuk
untuk membuktikan bahwa darah yang menetes benar-benar putih. Pada akhir abad
ke-16 pengamat portugis dengan penuh rasa heran melaporkan bahwa keajaiban
seperti itu benar-benar terjadi dikalangan penguasa luwu’ (Eredia, “Golden
Khersonese”: 246).
Dalam jurnal kunjungannya kesulawesi selatan pada tahun 1845, James Broke
menulis hal berikut:
“tidak ada bangsa yang melebihi mereka dalam hal pengagungan terhadap
status kebangsawanan, sehingga tidak ada orang melebihi mereka dalam
mempertahankan kemurnian darah mereka. Mereka sangat hati-hati menjaga darah
keturunan seperti kita menjaga kemurnian kuda pacu kita, karena sekali darah murni
itu tercemar, tidak akan pernah lagi dibersikan dari noda. (...) keistimewaan yang
diperoleh dari para bangsawan murni banyak jumlahnyadan penting artinya...”
(Brooke, Narative: 73, 75).
Dewasa ini, bahkan bangsawan yang masih mempercayai dirinya sebagai turunan
dewa akan mengakui bahwa perkawinan antar golongan telah menyebabkan darah
putih dalam tubuh bangsawan tertinggi sekalipun tidak murni lagi.

2. Status dalam Masyarakat Bugis


Sejak dahulu kala, satu-satunya aturan paling ketat dalam soal perkawinan
adalah laki-laki bisa kawin dengan perempuan masa pun yang memiliki status setara
ataupun lebih rendah dari dirinya, namun tidak boleh menikah dengan perempuan
berstatus lebih tinggi. Dalam sistem kekerabatan bilateral, pertanyaan kemudian
timbul: jika lelaki “berdarah putih” kawin dengan perempuan manapun “berdarah
merah” lalu bagaimana status keturunan mereka kelak? Adat istiadat Bugis
menjawabnya dengan bangun sistem status berdasarkan percampuran darah, yang
dianalogikan seperti percampuran logam mulia dengan logam biasa. Apa yang akan
dipaparkan berikut ini merupakan suatu hal yang sudah umum disepakati oleh para
ahli silsilah (Pelras,”Hierarchie et pouvoir”).
Status tertinggi di sebut ana’ ma’tola, yakni anak (ana) yang berhak mewarisi
(ma’tola) tahta orang tuanyasebagai penguasa tertinggi kerajaan. Tingkat itu terbagi
lagi menjadi dua sub-bagian, yakni ana’ sengngeng dan ana’rajeng. Lapisan kedua
terpecah pula menjadi dua gelar. Status derajat seorang anak, hasil perkawinan lelaki
berderajat tinggi seperti di atas dengan peempuan berstatus lebih rendah, akan berada
di lapisan tengah di antara status kedua orang tuanya. Jadi, jika ana’ ma’tola dari
salah satu sub-status kawin dengan perempuan biasa, anak akan menjadi
ana’cera’siseng (anak berdarah lapisan pertama). Perniakahaan cera’siseng dari salah
satu sub-status kawin dengan perempuan biasa, cera’ dua (berdarah lapisan kedua);
percampuran keturunan mereka dengan perempuan bisa menjadi cera’tellu (cera’
lapisan ketiga). Ketiga anak lapisan ana’ cera’ mengisi posisi bangsawan menengah.
Selanjutnya perkawinan dari keturunan bangsawan lapisan ketiga ini dengan
perempuan biasa akan membuahkan bangsawan terendah: ampo cinage, anakkarung
ma’dara-dara, dan anang. Dibawah mereka terdapat orang biasa(tau sama) atau
orang bebas ( tau maradeka ) bahkan dikalangan mereka sekalipun masih dibedakan
antara yang keluhurnya masih terhitung bangsawan, betapa rendahpun lapisan dan
betapa jauh pun pertautanya (tau sama) atau orang bebas (atau maradeka) bahkan
dikalangan mereka sekalipun masih antara yang keluhurnya masih terhitung
bangsawan, betapa rendahpun lapisan dan betapa jauh pun pertautanya (tau tongeng
kerajaan) dan yang benar-benar turunan orang biasa (tau maradeka ma’tanete’
lampe’).
Pola piramit dalam sistem seperti itu mengingatkan kepada pola piramid
dalam sistem kekerabatan;tingkatan sepupu diperhitungkan berdasarkan deket
tidaknya pertautan mereka dengan seorang nenek moyang yang sama dan kepada pola
relasi antara kerajaan atasan dan bawahan (yang akan dibahas berikutnya).Jelas pula
bahwa sistem hubungan kekerabatan dua sisi tersebut ikut menentukan status hirarki
kebangsawanan seseorang. Bangsawan yang beristri beberapa perempuan berstatus
yang berbeda-beda akan memperoleh anak-anak yang berbeda-beda pula statusnya.
Sementara itu selain selain memiliki istri dari lapisan bangsawan dan sederajat, yang
keturunanya kelak dapat menggantikan posisinnya, para penguasa bugis pun sering
mengawini perempuan lebih rendah guna memperoleh keuntungan ganda.Keturunan
dari perempuan lebih rendah tersebut kelak bisa mengisi jabatan senior kerajaan
meskipun tidak akan memperoleh dukungan dari mertuannya, entah dia orang biasa
memiliki pengaruh atau bangsawan lapisan bawah. Sebaliknya, pihak mertua tertarik
menikahkan anak perempuannya dengan penguasa karena adanya peluang bagi
turunan mereka untuk mendaki strata sosial yang lebih tinggi.

3. Fleksibilitas dalam Sistem Yang Tampak Kaku


Gambaran sistem hirarki diatas hanya diketahui sepenuhnya oleh mereka yang
ahli tentang itu. Untuk menentukan status seseorang dengan pasti, semua leluhurnya
tdak seharusnya dilacak hinggga ke to-manurung, dua puluh hingga dua puluh lima
hingga generasi ke belakang. Bangsawan kelas atas, yang paling mengagungkan
status, hanya mementingkan cera’ tellu ke atas. Di sisi lain, bamgsawan rendah dan
anggota masyarakat kebanyakaan menggunakan sistem klasifikasi berdasarkan gelar
yang jauh lebih sederhana. Di tingkat kampung semua semua orang berpengaruh,
baik bangsawan rendah, orang yang biasa punya sedikit pertalian darah bangsawan,
maupun orang biasa yang punya sedikit pertaliaan darah bangsawan, maupun orang
biasa yang memiliki kekayaan, pengaruh, atau pengetahuaan, di sebut atau decceng
(orang baik-baik). Sejak 1920 digunakan gelar baru dikalangan bangsawan Bugis atau
Makassar untuk lapisan di atas cerah’tellu, yakni gelar Andi’ dan Andi’ Bau’ (hanya
bangsawan berderajaat paling tinggi saja yang digelari Andi Bau bahkan sebagiaan
dari mereka “harus puas” dengan gelar Andi’ saja). Adapun lapisan dibawahnya
menggunakan “nama bangsawan” mereka dengan di dahului sebutan Daeng. Jadi,
masyarakat biasanya Andi’ dan Daeng mengabaikan hirarki status kebangsawanan
mereka. “ Nama bangsawan” (Bugis : pa’daengeng) adalah sebuah nama tambahan
yang di berikan kepada seorang bangsawan waktu dia kawin pertama kali atau waktu
dia pempereoleh anaknya yang pertama. Biasanya , dalam arti nama tambahan itu
berkaitan dengan arti nama pertama (“nama sendiri”, Aseng ri alena).
4. Tanda-Tanda Status
Tanda ini mencakup pernak-pernik pakaian dan arsitektur rumah mereka.
Sapaan penghormataan ditentukan secara saksama berdasarkan derajat
kebangsawanan dan usia seseorang. Perkawinan, dimana status di pertegas dan
diwariskan secara turun temurun, tetap merupakaan ajang utama oang Bugis untuk
menunjukkan status sosial mereka.

5. Asal-Usul Stratifikasi Sosial


Mitos tentang nenek moyang orang Bugis menekankan dua unsur yang saling
terkait: bangsawan sebagai keturunaan dewata dan kereajaan Luwu’ kuno sebagai
pusaat kekuasaan mereka.
Kemungkinaan hipotesis lainnya adalah bahwa komunitas orang pesisir bukan
migran dalam kelompok-kelompok besar berkembang secara lokal dibawah pengaruh
sejumlah kecil pimpinan-pedagang yang juga datang dari bagian tenggara atau timur
kalimantan (yang bahasa dan budayanya kemudian mereka adopsi).
Hasil kedua hipotesis di atas adalah lahirnya komunitas-komunitas yang
beriorentasi ke perdagangan antar pula dan memiliki budaya yang berbeda dari
sebelumnya. Para pemimpin komunitas itu sudah berhubungan dengan jaringan
perdagangaan antar pulau yang mencapai sumatra dan dan Semenanjung Melayu
yang pelabuhannya merupakan pintu lalu lintas perdagangan dengan India dan
tempat-tempat lainnya di Samudra Hindia dan tentu mereka memiliki kebudayaan
lebih canggih dari pada penduduk asli. Kepercayaan mereka sudah sedikit
terpengaruh india, dan pendetaan adalah para bitsu.
Dengan kata lain, mereka mulai membentuk suatu aristokrasi, yang
kebesaranya kelak dikemukakan secara berlebih-lebihan dalam teks-teks La Galigo,
pada periode setelah lahirnya kebudayaan bersama yang merupaka hasil perpaduaan
budaya penduduk asli dengan budaya pendatang, dan pada periode setelah terjadinya
banyak perkawinan silang, walau sebenarnya sudah terdapat suatu ideologi yang
membedakaan antara pendatang “berdarah putih” dengan penduduk “berdarah
merah” setempat.
Proses serupa kemungkinan pula berlangsung, dengan latar belakang dan
kondisi agar berbeda, di wilayah-wilayah yang dihuni orang makassar, Toraja, dan
Mandar, yang menyebapkan adanya kesamaan dan perbedaan di antara kelompok-
kelompok tersebut.
Pergolakan yang saya perkirakaan terjadi sekitar abad ke-14 adalah suatu hal
yang bersifat revolusioner, karena secara fundamental mengubah pola hubungan
mereka yang “berdarah putih” dengan yang “berdarah merah”. Walau pun mitos
tentang heterogenitas absolut leluhur tetap dipertahankan, tetapi sistem yang berlaku
didasarkan atas kontrak sosial antara para bangsawan, yang diwakili oleh to-
manurung, dan orang biasa, diwakili oleh matoa.
Belakang, kronik sejarah menggambarkan periode itu sebagai masa anarki
yang baru berakhir ketika kaum bangsawan berhasil mengendalikan
kepemimpinaanya hanya diisi oleh kalangan orang biasa bahkan ada yang atas
inisiatif sendiri minta dikirimi bangsawaan dari luwu’ untuk memimpin mereka.
Interpretasi ini bertalian dengan kepercayaan yang masih tersebar luas bahwa semua
bangsawan Bugis pasti terpaut dengan Luwu’, meski kepercayaan tersebut
berlawanan dengan cerita to-manurung.

6. Penguasa, Wilayah Kekuasaan, Dan Kekerajaan


Andaikata hipotesis yang dikemukakan di atas merefleksikan realitas
sebenarnya sekalipun, tetap saja tidak dapat dipastikan apakah kerajaan-kerajaan
Bugis betul-betul pernah mengalami bentuk monarki absolut seperti yang terdapat
dalam teks-teks La-Galigo.
Beberapa kerajaan kecil membentuk persekutuaan sekadar untuk menjaga
kepentingan bersama. Setiap kerajaan memiliki raja sendiri, yang dipilih oleh
permuka-permuka kerajaan dan permukaan masyarakat turun-temurun, dan kaum
perempuan berhak ikut dalam pemilihan. Raja terpilih kemudian menyusun sebuah
dewan, yang harus mewakili semua komponen agar mampu menyerap semua
kepentingan umum (Crawfurd, Descriptive Dictionary: 74, S.V.Bugis).
7. Proses pengelompokkan dan Struktur Internal Wanua
Crawfurd berhasil memahami dengan baik struktur piramid lembaga
pemerintahan Bugis. Hanya saja, walau terdapat skema umum mengenai berbagai
kerajaan bugis, namun hal itu tidak berarti adanya keseragaman bentuk. Salah satu
contohnya adalah kerajaan Wajo’, yang pada abad ke-19 dapat disebut persekutuan
berbagai kerajaan yang luas dan pengaruhnya berbeda-beda. Setiap kerajaan disebut
wanua, suatu istilah yang juga ditemukan di Sriwijaya dan kerajaan-kerajaan pertama
Jawa. Kerajaan tersebut kadangkala juga disebut a’karungeng (wilayah yang
dipimpin seorang arung). Setiap kerajaan memiliki lembaga pemerintahaan sendiri,
wilayah bawahan, atau bahkan daerah jajahan (ana’ wanua) yang dipimpin oleh
arung masing-masing.
Setiap wanua adalah unit wilayah dan unit pemerintahaan; besarnya berbeda-
beda. Ada yang kecil dan hanya terdiri atas satu pemukiman, ada pula yang memiliki
banyak pemukiman dan terbagi dalam beberapa subwilayah.
Hubungan yang terjalin dalam persekutuaan Wajo’, antara wanua inti (kelak
dikenal dengan nama Tosora) dengan setiap wanua lain, dirumuskan melalui
persetujuaan bilateral seperti yang terdapat dalam berbagai catatan historis (Andaya,
“Trety Conceptions”). Persetujuaan ini merupakan landasan antara wajo’ dengan
setiap bawahannya, serta dengan Wanua. Pengelompokan ini disesuaikan dengan asal
usul yang berintikan 3 baagian, masing dengan aktifitas perekonomian tertentu.
Perikanan untuk tua, pertanian untuk bettempola, dan pengelolahan mira untuk talo
tenreng.
Konfederasi Wajo bersekutu pulah dengan kerajaan sederajatnya. Pada abad
ke 16 persekutuan tersebut diwujudkan dalam penanda tanganan perjanjian “tiga
puncak” (tellung empoccok’), di mana Bonek menjadi kakak Wajo dan Soppeng
sebagai adiknya. dan meskipun terdapat perbedaan pandangan politis, bahkan perna
terjadi perang diantara mereka persekutuan tersebut tidak perna dibubarkan,
walaupun Wajo kemudian bersekutu dengan Goa dan teteap setia kepadanya sejak
periode masuknya Islam hingga masuk penjajahan Belanda.
Sebaliknya, struktur pemerintahan di Bone yang pada mulanya hampir sama
dengan Wajo, lambat laun beruba menjadi semakin sentralistik dan otoriter, meskipun
pemilihan raja (Arrung mangkau ee “Arung Mangkuasa”), dan perbedaan mentri ( to’
mari laleng) tetap diputuskan oleh seorang dewan bernama Arung pitu “arung tuji”.

8. Pejabat, Raja, dan penguasa


Tidak ada jabatan dalam kerajaan bugis manapun yang dianggap sebagai
warisan mutlak, meski tak sedikit putra atau putri raja yang mewarisi tahta orang
tuanyabanyak jabatan yang terbuka bagi kaum perempuan. Di kerajaan Luwu,
Soppeng, dan bone jabatan Raja sekalipun terbuka bagi perempuan.
Di setiap lapisan masyarakat, dari masyarakat biasa hingga penguasa, tidak
hanya di Wajo’-hak serta kewajiban setiap orang di atur dalam hukum
adat,sebagaiman yang tertullis dalam lontara’ dan dalam pemahaman bersama. dalam
salah satu naska termasuk prinsip berikut : “Bila keputusan raja bisa ditentang, maka
keputusan pemimpin rakyat tidak boleh di gugat kalaupun keputusan pemimpin
rakyat masih bisa ditentang, maka keputusan rakyat tidak boleh digugat, (Rirusa’ tara
arung’ tenri rusa’ taro adek’ tenrirusa’ taro anang’ rirusa’ tenritusa’ taro to maega’)

Hal tersebut sekali lagi menunjukkan kemampuan orang bugis yang selalu
bisa melonggarkan kekakuan sistem pemerintahan dan pengembangannya dengan
sesuatu yang bersifat peksibel dan prakmatis. Struktur piramit yang menghubungkan
Wanua dengan pemerinta pusat melalui persetujuan bilateral dapat ditemukan pada
semua kerajaan bugis.

9. Hubungan Patron-Klien
Sejalan dengan sistem stratifikasi sosial orang Bugis yang menetapkan status
seseorang berdasarkan keturunan serta sistem pemerintahan yang membagi
masyarakat kedalam unit-unit dengan raja atau penguasahnya masing-masing 2
sistem yang menyebabkan tingginya tingkat stabilitas sosial, karena mengalokasikan
kepada setiap individu tempat yang permanen dalam suatu kajian masyarakat yang
tertentu. Tedapat pulah sebua sistem yang selama berabat-abat memungkainkan
terjadinya mobilitas sosial, persaingan di antara mereka yang sederajat, kerja sma
antar strata sosial, dan integrasi dalam berbagai kelompok, yang biasanya tak
memperhitungkan batas wilaya. Sistem tersebut adalah sistem Patron-Klien (Pelre,
“Patron-Clien”).

Beberapa penulis telah merujuk kepada sistem tersebut sejak permulaan abat
ke 19 (kooereman, “Feitelijke toestand”). Akan tetapi, keberadaan dan arti pentingnya
bagi mesyarakat Sulawesi Selatan belum memperoleh perhatian yang alayak daripada
ilmuan sebelum Cabot menulis buku (Chabot, “Kinship”) tentang kekerabatan, status,
dan gender dalam masyarakat Makassar. Penelitian lebih mutakhir tentang Bugis dan
Makassar. (Lineton, study of the Bugis, Hasan Walinono, Tanete) membuktikan
bahwa sisem patron-Clien ternyata mampu beratahan di bawah kondisi politik dan
hidstoris yang relatif berbeda.

10. Pola Dasar Hubungan Patron-klien


Dalam sistem patron-klien masyrakat lain, seperti orang Romawi Kuno,
Amerika Latin modern, dan berbagai komunikasi di Nusantara, hubungan antara
pemimpin dengan pengikutnya diikat oleh hak dan kewajiban masing-masing. Dalam
masyarakat hirarkis Bugis dan Makassar sebelum masa penjajahan, setiap bangsawan
terkemuka berada di tengah-tengah jaringan yang mengakitkan padanya sejumlah
pengikut yang cukup besar. Jika seorang pengikut “mendaulat” seorang bangsawan
sebagai tuannya, maka dia berarti menyatakaan kesediaanya memenuhi semua perinta
tuannya.Termasuk diantaranya perintah untuk pergi berperang,berburu, atau
menemaninya dalam suatu perjalanan, bekerja di sawah, serta mengerjakan pekerjaan
rumah tangga seperti mengangkat air dan mencari kayu bakar.
Pengikut yang belum menikah dengan sukarela tinggi dirumah tuannya
sebagai pembantu rumah tangga.Tempat tinggal, makanan dan pakaian ditanggung,
tetapi mereka tidak di beri upah. Ketergantungan seperti itu, terutama pada pengikut
yang sangat miskin menyebapkan mereka tidak jauh berbeda dengan budak biasa.
Dan, jika hanya diamati sepintas, mereka mungkin akan disangka budak. Perbedaan
utamanya terletak pada status hukum pengikut karena meski tergantung kepada
tuannya, mereka tetap berstatus to-maradeka (orang bebas). Oleh karena itu, menurut
hukum, mereka bebas memisahkan diri, tidak boleh diperlakukan semena-mena, dan
hak-haknya dilindungi hukum adat (Pelras, “Patron-Client”).

Banyak bangsawan yang bertanggung jawab atas kesejahteraan pengikutnya


dengan menyediakaan lahan,ternak, atau alat yang dibutuhkan. Juga memberi
bantuaan saat mereka mengadakan pesta atau ketika mereka tertimpah musibah. Jika
panen klien gagal, patronnya, akan menyediakaan padi dan komoditas lain. Bila
seorang pengikut inging menikah, maka pesta perkawinan biasanya akan
diselenggarakan oleh patronnya, malah kadang-kadang dialah yang memilihkan jodoh
dari para pengikutnya sendiri. Setelah berkeluarga, pengantin baru itu mungkin akan
tinggal dekat rumah tuannya, sehingga langsung bisa datang membantu ketika
diperlukaan, sembari mengolah lahan mereka sendiri.

11. Dasar-Dasar Sistem Patron-Klien


Ada beberapa faktor yang mungkin mendasari lahirnya ikatan patron-klien
dalam masyarakat Bugis. Faktor pertama adalah sistem kekerabataan bilateral di
mana sistem patronasi dalam batas tertentu merupakan kelompok kekerabataan yang
terorganisir, seperti klan atau marga dalam masyarakat dengan sistem unilin.
Kelompok klien biasanya diperkuat melalui perkawinaan antar anggota, sehingga
dalam waktu singkat sistem tersebut sulit dibedakaan lagi dengan kelompok
kekerabatan bilateral. Faktor lain yang mendukung lahirnya ikatan patron-klin adalah
adanya suatu sistem stratifikasi sosial yang mengizinka kaum bangsawan terlibat
dalam perdagangan dan redistribusi kekayaan. Selain itu hubungan wilayah dan
hirarkis yang terwujud pada zaman sejarah antara wilayah terkecil dengan kerajaan
besar, an kebutuhan kaum bangsawan akan dukunganan orang banyak guna
menduduki jabatan politik, juga merupakan dasaar lahirnya sistem tersebut.
Orang Bugis mengikat diri pada pemimpin sesuka hatinya, tetapi mereka
menunjukkan ketaatan dan kesetiaan tiada tara. Mereka kerap berganti pemimpin,
tetapi jarang sekali mereka menghianati mantan pimpinanya.. persekutuaan mereka
yang kecil pun dapat bertahan terus berkat keteguhan rasa kasih dan kehangatan jiwa
mereka, sama seperti yang terdapat dalam klan Britania Utara (Raffles, History of
Java, Lampiran F, ‘Celebes’:.

Jika seorang pengikut merasa cukup kuat untuk mandiri tampa perlindungan
sang tuan, dia berhak memisahkan diri, bahkan boleh menjadi pemimpin dari
pengikutnya sendiri. Bukan hanya bangsawan rendah, atau malah orang biasa yang
kaya.
Pada zaman dahulu, ada tiga cara memperoleh pengikut. Pertama sebagai
warisan, ketika seorang patron meninggal dunia, pengikutnya kadang mengabdikan
kesetiaanya kepada salah seorang anak sang pemimpin, tetapi proses tersebut bukan
hal yang terjadi secara otomatis. Cara kedua penarik klien adalah dengan
memperlihatkan karisma pribadi yang luhur. Pada kedua cara itu, ada tiga faktor
penting yang harus diperhatikaan: status sang patron, jabatan yang ia pegang, dan
kepribadiaanya. Cara ketiga untuk memperoleh pengikut adalah perkawinan. Dalam
hal ini selain status dan tingkat hubungan kekerabatan, faktor lain yang menentukan
pemilihan calon istri bangsawan adalah luasnya pengaruh bapak atau saudara laki-
lakinya, diukur melalui sedikit banyaknya pengikut mereka. Kelak secara tidak
langsung, pengikut keluarga sang istri juga menjadi pengikut sang suami. Itulah
sebapnya mengapa bansawan kelas tinggi, selain mengawini perempuan berstatus
lebih rendah, sehingga, melalui bapak atau saudara laki-laki istrinya, ia bisa
memperluas pengaruh ke kelompok atau wilayah yang masih diluar jangkauaanya.

12. Hubungan Patron-Klien sebagai Alat Politik

Berhubung jabatan polisi dalam sistem pemerintahaan Bugis tidak


berdasarkan pewarisan mutlak, dan keanggotaan dalam silsilah yang longgar, malah
kadang-kadang dari garis keturunan yang sudah amat jauh, maka nilai lebih mereka
yang bersaing untuk menduduki suatu jabatan akan ditentukan pula peluangnya oleh
besarnya jumlah dan pengaruh pengikutnya. Ada dua jenis pengikut: dari kalangan
biasa, yang bisa melayani langsung tuannya,dan pengikut dari kalangan bangsawan,
lebih tepat disebut pendukung, yang juga memiliki pengikut sendiri. Melalui
merekalah struktur piramida kekuasaan terbangun; beberapa kelompok pengikut
bersatu melalui pemimpin masing-masing dibawah satu patron lebih tinggi.
Ada bukti jelas bahwa besarntya pengaruh pemimpin terkenal Arung Palakka
di abad ke-17 berakar dalam sistem semacam itu. Contoh lain adalah peran pentting
yang dimainkan pemimpin bugis yang merantau dengan pengikut mereka ke Tanah
Melayu dan tempat-tempat lain pada abad ke-18 dalam proses perubahhan yang
terjadi pada berbagai kesultanan Melayu. Gejala yang sama tampaknya juga terjadi,
tepat pada awal periode sejarah, pada wanua yang di dirikan oleh pemimpin yang
datang dari suatu tempat bersama kelompok yang mereka pimpin. Proses seperti itu
mungkin telah adaketika nenek moyang orang Sulawesi Selatan dewasa ini datang
dari seberang laut untuk menetap di pinggir Sungai Saddang.

13. Aspek Ekonomi Hubungan Patron-Klien


Selain kehormatan dan kekuasaan sebagai aspek yang mendasari hubungan
patron-klien, faktor ekonomi juga tidak kalah pentingnya. Sebagai manah dibahas
Lineton (Study of the Bugis), salah satu tugas utama pemimpin tradisional adalah
mendistribusi kembali harus kekayaan. Pada awal dekade 1950-an, sesaat sebelum
sistem organisasi pemerintahan tradisional di Sulawesi Selatan mulai pudar, peran
tersebut masih terjadi landasan sistem pemerataan ekonomi. Barang yang diterima
para bangsawan, baik sebagai penghasilan dri jabatan yang dipegang maupun
pendapatan dari perayaan tertentu, jika tidak langsung dibagikan-bagikan, akan
disimpan sebagai persediaan untuk kelak dibagikan pada saat diperlukan.
Terdapat pula keterkaitan antara kekuataan politik dan penguasaan (yang tidak
harus berarti kepemilikan) atas lahan. Dengan sedikit pengecualiaan,bangsawaan
Bugis pada umumnya bukanlah pemilik lahan yang sangat luas. Kekayaan mereka
lebih diperoleh dari akses kolektif terhadap jabatan politik yang bisa menjadi sumber
penghasilan: seperti hasil dari lahan tertentu, areal hutan dan perikanan, persentase
hasil lahan lain; pajak hasil panen, pasar dan penjudian, serta cukai barang-barang
yang masuk melalui pelabuhan (Pelras, “Patron-Client”).
Mereka harus menghidupi banyak orang dalam rumah tangga mereka,
termasuk budak, pembantu, pengikut, pelayaan, dayang-dayang, dan keluarga dekat
maupun jauh. Mereka semua harus di tanggung pangan dan (kadang-kadang)
sandangnya. Pemimpin dari kalangan bangsawan juga harus membantu keluarga yang
berpenghasilan lebih rendah dari mereka, yakni bangsawan yang tidak memegang
jabatan, sehingga tidak memiliki cukup penghasilan untuk membiayaai para
pengikutnya. Bangsawan tersebut juga harus membantu kerabat bukan bangsawaan
yang akan membuatnya meresa malu jika mereka hidup melarat.

Anda mungkin juga menyukai