Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH APRESIASI BUDAYA

TRADISI REBO PUNGKASAN

Disusun Oleh:

Ahmad Farid Fachrudin


DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL……………………………………………………………………..…..i

KATA PENGANTAR…………………………………………………………………….…ii

BAB I PENDAHULUAN……………………………………………………………............1

A. Latar Belakang……………………………………………………………………….1
B. Rumusan Masalah……………………………………………………………………1
C. Tujuan Penulisan……………………………………………………………………..2

BAB II PENGERTIAN DAN SEJARAH…………………………………………………....3

A. Pengertian Labuhan…………………………………………………………………..3
B. Sejarah Labuhan Merapi………………………………………………………..........4
C. Tujuan dan Makna Labuhan Merapi…………………………………………………5

BAB III PEMBAHASAN……………………………………………………………………6

A. Tahap Persiapan……………………………………………………………...………6
B. Tahap Prosesi/Tatacara………………………………………………………………9
C. Wujud Budaya…………………………………………………...………………..…10
D. Nilai-Nilai Kearifan Lokal…………………………………………...……………...10

BAB IV PENUTUP………………………………………………………………………….12

A. Kesimpulan………………………………………………………………...………...12
B. Saran…………………………………………………………………………………12

DAFTAR PUSTAKA……………………………………………………………..…..……..13
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan YME, karena atas rahmat dan hidayah-Nya sematalah
kita diberikan kesehatan, sehingga kami dapat menyusun makalah ini tanpa halangan yang
berarti.

Apresiasi budaya merupakan salah satu mata kuliah yang diberikan kepada
mahasiswa jurusan Pendidikan Seni Musik UNY. Tujuan diberikannya mata kuliah ini adalah
agar calon pengajar kelak ketika sudah terjun di suatu sekolah, yang bersangkutan dapat
memberikan pengalaman dan pengetahuannya, sehingga dapat melestarikan kebudayaan yang
ada.

Dalam makalah ini kami membahas mengenai salah satu kebudayaan yang terletak di
Yogyakarta yaitu Tradisi Rebo Pungkasan. Pada makalah ini kami membahas tentang
kebudayaan tersebut seperti sejarah, pengertian, tujuan, bagaimana proses, serta dampak apa
yang ditmbulkan dari kebudayaan tersebut.

Terima kasih kami ucapkan kepada semua pihak yang telah membantu atas
terlesesaikannya makalah ini. Semoga makalah ini dapat berguna bagi kita dan menambah
wawasan kita semua.

Yogyakarta, 10 Desember 2021

Penyusun

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Indonesia merupakan negara yang memiliki banyak pulau, karenanya
Indonesia disebut sebagai negara kepulauan atau negara seribu pulau. Banyaknya
kepulauan tersebut menjadikan Indonesia memiliki keberagaman baik itu dari suku,
agama, ras, adat, dan budaya. Keberagaman itu juga menjadikan Indonesia memiliki
keunikan tersendiri jika dibandingkan dengan negara-negara lainnya. Mengenai
keberagaman, ada salah satu ragam yang didalamnya memiliki ciri khas dari masing-
masing tempat, yaitu budaya atau bisa disebut kebudayaan. Kebudayaan yang
beragam tersebut memiliki kekhasnnya tersendiri dan juga tata cara tersendiri.
Yogyakarta merupakan salah satu provinsi yang terletak di Pulau Jawa, dan
juga merupakan salah satu provinsi yang kepemimpinannya masih dipegang oleh
seorang Sultan. Bisa dikatakan Yogyakarta merupakan daerah dengan sistem
pemerintahannya masih berupa kerajaan, oleh karena itu Yogyakarta disebut sebagai
Daerah Istimewa Yogyakarta.
Yogyakarta memiliki adat dan kebudayaan yang masih ada dan dilestarikan
sampai sekarang, salah satunya adalah Tradisi Rebo Pungkasan. Tradisi ini
merupakan tradisi yang pelaksanaan Tradisi tersebut bertujuan sebagai ungkapan rasa
Syukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa dan untuk mengenang jasa Mbah Kiai Welit
atau Kiai Fakih Usman, berkat jasanya wilayah Wonokromo telah terhindar dari
wabah penyakit.Pada makalah kali ini kami sebagai penulis akan membahas lebih
dalam mengenai Tradisi Rebo Pungkasan

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian Rebo Pungkasan?
2. Bagaimana sejarah dari Tradisi Rebo pungkasan?
3. Apa tujuan dilakukannya Tradisi Rebo pungkasan?
4. Bagaimana prosesi dari Tradisi Rebo pungkasan?
5. Apa nilai-nilai kearifan likal yang terdapat pada Tradisi Rebo pungkasan?

1
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui pengertian Rebo pungkasan.
2. Untuk mengetahui sejarah dari Tradisi Rebo pungkasan.
3. Untuk mengetahui tujuan dilakukannya Tradisi Rebo pungkasan.
4. Untuk mengetahui bagaimana proses dari Tradisi Rebo pungkasan.
5. Untuk mengetahui apa saja nilai-nilai kearifan lokal yang terdapat pada
Tradisi Rebo pungkasan

2
BAB II

PENGERTIAN, SEJARAH, TUJUAN, DAN MAKNA

A. Pengertian Rebo Pungkasan

Rebo berasal dari kata rabu yang dibahasakan dari bahasa jawa, yaitu nama nama
hari. Dan pungkasan merupakan arti dari kata terakhir yang dibahasakan bahasa jawa menjadi
pungkasan. Dari kata Rebo pungkasan ini mengartikan bahwa tradisi ini dilaksanakan pada
selasa malam atau malam rabu di bulan safar, atau dalam bahasa jawa biasa disebut dengan
malem rebo pungkasan wulan sapar.
Tradisi Rebo Pungkasan ini merupakan tradisi yang sudah dilakukan sejak zaman
kraton yogyakarta awal pendirian, lebih tepatnya saat zaman sultan hamengkubuwana I.
Lebih tepatnya tradisi ini mulai dilakukan pada tahun 1784, atau saat kyai Faqih Usman.
Masyarakat sekitar melakukan tradisi ini guna mengenang jasa dari kyai Faqih Usman yang
yang berkat jasanya masyarakat pada kala itu terhindar dari wabah penyakit.
Tradisi Rebo Pungkasan ini dilakukan di desa Wonokromo, kecamatan Pleret,
kabupaten Bantul, Yogyakarta. Tradisi Rebo Pungkasan ini rutin diadakan setiap tahun, dan
dilaksanakan setiap malam rabu terakhir pada bulan safar (kalender islam). Pada
pelaksanaannya di saat ini, Tradisi rebo Pungkasan biasanya di awal i dengan pelaksanaan
pasar malam di depan Balai Desa Wonokromo pada 2 minggu sebelum hari H Tradisi Rebo
Pungkasan dilakukan.
.

3
B. Sejarah Tradisi Rebo Pungkasan

Tradisi Rebo Pungkasan merupakan tradisi yang dilakukan oleh masyarakat di desa
Wonokromo Pleret Bantul Yogyakarta. Pelaksanaan tradisi ini dilakukan pada malam Rabu
terakhir dibulan Safar (bulan dalam kalender Islam). Sejarah dari tradisi Rebu Pungkasan
terdapat beberapa versi. Beberapa versi ini diketahui dari beberapa wawancara yang
dilakukan pada masyarakat monokromo dan beberapa sumber.
Pada versi pertama Rebo Pungkasan sudah ada sejak tahun 1784 dan sampai sekarang
Tradisi ini masih tetap dilestarikan. Pada jaman itu hidup seorang kyai yang bemama mbah
Faqih Usman. Tokoh kyai yang kemudian lebih dikenal dengan nama Kyai Wonokromo
Pertama atau Kyai Welit. Pada masa itu hidupnya mempunyai kelebihan ilmu yang sangat
baik di bidang agama maupun bidang ketabiban atau penyembuhan penyakit. Pada waktu itu
masyarakat Wonokromo meyakini babwa mbah Kyai mampu mengobati penyakit dan
metode yang digunakan atau dipraktekkan mbah Kyai dalam pengobatan adalah dengan cara
disuwuk, yakni dibacakan ayat-ayat AI-Qur'an pada segelas air yang kemudian diminumkan
kepada pasiennya dapat sembuh.

Seperti telah dirnuat dalam SKH KR 1983, bahwa pada saat itu di daerah Wonokromo dan
sekitamya sedang terjadi pagebluk yang mengancam keselamatan jiwa banyak orang. Tak
heran jika kemudian masyarakat berbondong-bondong kepada mbah Kyai untuk meminta
obat dan meminta berkah keselamatan. Ketenaran mbah Kyai semakin tersebar sampai ke
pelosok daerah, sehingga yang datang berobatpun semakin bertambah banyak, maka di
sekitar masjid lalu dipadati para pedagang yang ingin mengais reJeki dan para tamu. Suasana
seperti itu dapat mengganggu akan keagungan masjid dan sangat merepotkan jamaah yang
akan memasuki masjid untuk sholat. Pada suatu saat mbah Kyai menemukan cara paling
efektif untuk memberikan pengobatan dan berkah keselamatan kepada umatnya, yakni
menyuwuk telaga di pertempuran Kali Opak dan Kali Gajahwong yang berada di sebelah
Timur kampung Wonokromo atau tepatnya di depan masjid.

Berkat ketenaran mbah Kyai Faqih, maka lama kelamaan sampai terdengar oleh : Sri Sultan
HB 1. Untuk membuktikan berita tersebut kemudian mengutus empat orang prajuritnya
supaya membawa mbah Kyai Faqih menghadap ke kraton dan memperagakan ilmunya itu.
Temyata ilmu mbah Kyai itu mendapat sanjungan dari Sri Sultan HB I karena memang
setelah masyarakat yang sakit itu diobati dan sembuh.

Sepeninggal mbah Kyai, lalu masyarakat meyakini bahwa mandi di pertempuran Kali Opak
dan Kali Gajahwon dapat menyembuhkan berbagai penyakit dan mendatangkan . berkah
ketenteraman, sehingga setiap hari Rabu Pungkasan masyarakat berbondong- bondong untuk
mencari berkah. Dengan mandi di pertempuran itu dimaksudkan manusia bersuci atau selalu
"wisuh" untuk menghilangkan kotoran-kotoran yang melekat di dalam tubuh. Namun
masyarakat mengartikan lain, bahwa "wisuh" atau mandi tadi diartikan lain, yakni mandi "
dengan "misuh" - berkata kotor. Menurut narasumber bahwa hal tersebut merupakan
kepercayaan orang-orang yang dating dari luar daerah , sebab masyarakat Wonokromo
sendiri tidak menggangap seperti itu, karena orang – orangnya beragama Islam yang kuat
beragama dan menghindari syirik
Pada versi kedua tradisi rebo pungkasan ini tidak terlepas dari Kraton Mataram
dengan Sultan Agung yang dulu pernah berkraton di Plered. Dalam buku Dewanto ,
disebutkan bahwa Tradisi adat ini diselenggarakan sejak tahun 1600 . Pada masa
pemerintahannya Mataram terjangkiti wabah penyakit atau pagebluk. Melihat penderitaan
rakyatnya, Sultan Agung sangat prihatin yang kemudian Dia bersemedi di sebuah masjid di
desa Kerta.

Setelah melakukan semedi, kemudian Sultan menerima wangsit atau ilham, bahwa wabah
penyakit tersebut bias hilang dengan syarat mempunyai tolak bala. Dengan adanya wangsit
tersebut, kemudian Sultan Agung memanggil Kyai Sidik yang bertempat tinggal di Desa
Wonokromo untuk melaksanakan pembuatan tolak bala tersebut. Setelah itu Kayai Sidik atau
dikenal dengan nama Kyai Welit karena sudah mendengar keampuhannya itu. Setelah itu
Kyai Welit melaksanakan dawuh untuk membuat tolak bala yang berwujud rajah dengan
tulisan arab Bismillahi Rahmanir Rakhim sebanyak 124 baris.

Setelah tulisan yang berwujud rajah itu selesai kemudian dibungkus ndengan kain mori putih.
Selanjutnya rajah tersebut diserahkan kepada Sultan Agung serta memohon supaya rajah
tersebut dimasukkan kedalam air. Oleh Sultan Agung ajmat yang berupa rajah itu
dimasukkan ke dalam bokor kencana yang sudah berisi air. Air ajimat itu kemudian
diminumkan kepada orang sakit dan menyembuhkan. Mulai saat itu kabarnya tersebar sampai
desa – desa dan menyebabkan orang sakit lalu berbondong bondong dating untk mendapatkan
air dari ajimat tersebut.

Dengan banyak peduuk yang berdatangn untuk minta air ajimat, dikuatrikan air tersebut tidak
mencukupi. Akhirnya Sultan Agung memerintahkan kepada Kyai sidik agar air ajimat yang
masih tersisa dalam bokor kencana tadai dituangkan di tempuran kali Opak dan Gajah wong,
dengan maksud supaya siapa saja yang membutuhkan cukup mandi di tempat tersebut. Berita
itu cepat menyebar dan akhirnya masyarakat banyak yang mandi atau sekedar mencuci muka
tempuran tersebut dengan harapan segala permasalahnnya dapat teratasi.
Pada versi ketiga bagi masyarakat, yang namanya bulan Sura dan Sapar itu
merupakan bulan tersebut sering terjadi mala petaka atau bahaya. Untuk itu masyarakat
berusaha untuk menolaknya, supaya pada bulan-bulan tersebut tidak terjadi apa-apa. Adapun
caranya adalah memohon kepada orang atau kyai yang dianggap lebih pintar atau mumpuni.

Pada waktu itu orang yang dianggap pintar adalah Kyai Muhammad Faqih dari Desa
Wonokromo. Kyai Faqih ini juga disebut Kyai Welit, karena pekerjaannya adalah membuat
welit atau atap dari rumbia. Mereka ini mendatangi Kyai Welit supaya membuatkan tolak
bala yang berbentuk wifik atau rajah yang bertuliskan Arab. Rajah ini kemudian dimasukkan
ke dalam bak yang sudah diisi air lalu dipakai untuk mandi dengan harapan supaya yang
bersangkutan selamat.

Lama-kelamaan orang yang datang minta wifik atau rajah itu sangat banyak, sehingga Kyai
Welit sangat repot. Akhirnya Kyai Welit menemukan cara baru, yaitu wifik atau rajah yang
dipasang di tempuran Kali Opak dan Kali Gajahwong. Dengan cara ini orang tidak periu
mendatangi Kyai Welit dan mereka cukup mengambil air atau mandi di tempuran untuk
mendapatkan berkah keselamatan sebagai sarana tolak bala. Konon di sungai tempuran itu
setiap Rebo Pungkasan bulan Sapar, yaitu pada-malam hari Selasa malam dipakai tempat
penyeberangan orang-orang yang akan menuju ke Gunung Permoni yang terletak di Desa
Karangwuni, Desa Trimulya. Saat mereka menyeberang sungai memang ada yang
melontarkan kata-kata umpatan atau kurang pantas. Apalagi yang menyeberang adalah
wanita dengan sendirinya harus cincing atau mengangkat rok/kain supaya tidak basah. Dan
situlah yang kemudian orang mengatakan kata-kata yang kurang pantas. mereka
menyeberang sungai karena waktu itu untuk menuju ke Gunung Permoni belum ada jembatan
yang menghubungkan. Untuk itu satu-satunya jalan adalah menyeberang sungai tempuran
tadi. Gunung Permoni ini merupakan Tamansari Kraton Mataram di Plered dan di tempat itu
dijumpai adanya beberapa batu peninggalan dan Tamansari tersebut, batu itu diantaranya :
Batu Ambon, Batu Panah, Batu Payung, Batu Jarum Sembrani dan sebagainya. Mereka yang
datang ke sana adalah nenepi atau untuk memohon sesuatu. Kaitannya dengan setiap hari
Selasa malam Rabu - Rebo Pungkasan - di bulan Sapar ini adalah banyaknya masyarakat
yang menghadap kepada Kyai Faqih untuk meminta doa kepada beliau agar selamat dari
malapetaka.

C. Tujuan dan Makna


Rebo berasal dari kata rabu yang dibahasakan dari bahasa jawa, yaitu nama nama
hari. Dan pungkasan merupakan arti dari kata terakhir yang dibahasakan bahasa jawa menjadi
pungkasan. Dari kata Rebo pungkasan ini mengartikan bahwa tradisi ini dilaksanakan pada
selasa malam atau malam rabu di bulan safar, atau dalam bahasa jawa biasa disebut dengan
malem rebo pungkasan wulan sapar. Tradisi Rebo Pungkasan ini merupakan tradisi yang
sudah dilakukan sejak zaman kraton yogyakarta awal pendirian, lebih tepatnya saat zaman
sultan hamengkubuwana I. Lebih tepatnya tradisi ini mulai dilakukan pada tahun 1784, atau
saat kyai Faqih Usman. Masyarakat sekitar melakukan tradisi ini guna mengenang jasa dari
kyai Faqih Usman yang yang berkat jasanya masyarakat pada kala itu terhindar dari wabah
penyakit.

Nilai tradisi yang mengandung makna sosial dalam Tradisi tradisi Rebo Pungkasan terdapat
dalam gunungan¸ makna dari gunungan yang dibagibagikan setelah diarahkan menyiratkan
kehidupan untuk berbagi kepada sesama manusia, hal ini jelas terlihat nilai sosial terhadap
masyarakat sekitarnya. Di dalam kehidupan bermasyarakat di desa Wonokromo adanya
interaksi yang kuat antar warga, tingkah laku anggota masyarakat dan hidup bergotong
royong masyarakat Wonokromo tercermin dalam kebiasaan mereka yang disebut sambatan.
Dengan adanya Tradisi Rebo Pungkasan agar warga masyarakat satu dengan yang lain saling
mengenal dan menjaga persaudaraan agar tetap rukun.

5
BAB III

PEMBAHASAN

A. Tahap Persiapan
Tradisi Rebo Pungkasan di Desa Wonokromo ini diadakan setahun sekali pada hari
Selasa malam Rabu di minggu terakhir bulan Sapar. Dipilihnya hari tersebut dikaitkan
dengan pertemuannya Sultan Agung dan Kyai Faqih pada hari itu dan bulannya Sapar
minggu yang terakhir (KR, 1983). Dulu Tradisi ini berada di tempuran Kali Opak dan Kali
Gajahwong. Sedang keramaiannya atau pasar malam berada di dekat tempuran tersebut
sampai ke depan masjid. Namun lama-kelamaan kegiatan itu semakin rarnai, sehingga
mengganggu kegiatan ibadah Masjid. Untuk itu atas perintah Lurah Wonokromo, maka
Tradisi Rebo Pungkasan, keramaian, atau pasar malamnya dipindah di depan balai desa yakni
di Lapangan Wonokromo.
Pada jaman dahulu penyelenggara Tradisi adalah masyarakat Wonokromo dan
sekitarnya tanpa membutuhkan biaya. Namun mulai tahun 1990 Tradisi Rebo Pungkasan
mulai dikoordinir oleh aparat desa dan sebagai ketua panitia adalah kadesnya. Kemudian
seksi-seksi dibantu oleh aparat dan tokoh masyarakat. Mengenai pembiayaan dulunya hanya
pribadi-pribadi dan paling tidak hanya untuk modal jualan lemper dan membeli bunga tabur.
Namun setelah Tradisi ini dikelola pemerintah desa, maka biaya penyelenggaraan diperoleb
dari hasil sewa tempat untuk berbagai stan pada acara pasar malam. Disamping itu juga ada
tambahan dana dari Dinas Pariwisata dan swadaya masyarakat.

Pada jaman dahulu peralatan yang digunakan untuk Tradisi cukup sederhana terutama
bagi yang mengambil air ya cukup membawa botol atau kaleng saja. Sedangkan untuk
sesajinya berupa bunga. Namun setelah dikelola oleh perangkat desa, maka peralatan yang
digunakan bermacam-macam dan umumnya dibuat dari bambu, misalnya untuk tempat
menggotong lemper, tempat membawa gunungan, dan sebagainya. Adapun makna yang
terkandung dalam lemper tersebut untuk mengingatkan kepada masyarakat bahwa Sultan
Agung itu penggemar makan lemper.
B. Tahap Prosesi/Tatacara
Dalam menyambut Rebo Pungkasan di Desa Wonokromo, Kecamatan Pleret,
biasanya seminggu sebelum puncak acara telah terdapat stan-stan permainan seperti ombak
banyu, trem, dremolem, dan sebagainya. Kemudian ada pasar malam yang bentuknya seperti
sekaten, yakni ada yang berjualan pakaian, makanan, mainan dan sebagainya.

Tapi yang jelas dalam berjualan makanan tersebut tentu dijumpai orang yang
berjualan lemper. Pada tahun 1990 tradisi Rebo Pungkasan sudah dikoordinir oleh panitia.
Pada waktu itu sebagai puncak acara adalah kirab lemper raksasa, yaitu sebuah tiruan lemper
yang berukuran tinggi 2,5 meter dengan diamter 45 cm. Lemper tersebut kemudian diarak
dari Masjid Wonokromo menuju Balai Desa Wonokromo sejauh 2 km. Dalam kirab lemper
ini diawali dengan barisan prajurit Kraton Ngayogyakarta, menyusul kemudian lemper
raksasa tiruan yang diusung oleh empat orang, dan diikuti lemper yang berukuran sepanjang
40 cm dan 15 cm. Selanjutnya yang di belakangnya lagi adalah beberapa kelompok kesenian
setempat seperti Shalawatan, Kubrosiswo, Rodat, dan sebagainya yang ikut memeriahkan
Tradisi Rebo Pungkasan.

Selama lemper raksasa diusung dari depan masjid dan dikirabkan, maka di kantor
balai desa sudah banyak para tamu undangan yang menunggu kehadiran lemper raksasa di
balai desa, lemper tersebut langsung ditempatkan di panggung yang telah disediakan.
Beberapa saat kemudian Tradisi dibuka oleh ketua panitia, dilanjutkan dengan sambutan-
sambutan para pejabat di lingkungan pemerintahan yang diundang seperti camat, kepala
dinas, dan sebagainya.

Setelah itu baru diadakan pemotongan lemper raksasa oleh pejabat tinggi yang
merupakan puncak dari acara tersebut. lemper tadi lalu dibagi-bagikan kepada tamu
undangan yang hadir dan pengunjung, dan kekurangannya ditambah dengan lemper biasa
yang sengaja dibuat oleh panitia guna menutup kekurangan. Demikian pula Gunungan yang
dibawa tadi juga dipotong dan dibagi-bagikan pada pengunjung bahkan untuk rebutan seperti
yang terjadi dalam acara sekaten di Kraton Ngayogyakarta itu. Setelah itu Tradisi Rebo
Pungkasan selesai, hanya saja untuk stan-stan seperti ombak banyu, para penjual dan
sebagainya itu tetap masih ada kira-kira seminggu lamanya.

Kaitannya dengan orang mandi atau menyeberang tempuran yang ada istilah cincing tidak
ada lagi, karena kali tersebut sekarang ini kedalamannya lebih dan satu meter, sebab di
sekitamya dibuat bendungan untuk mengaliri sawah. Acara tersebut yang jelas bagi
masyarakat Wonokromo adalah pengajian akbar atau mujahadah akbar yang dilaksanakan
pada hari Selasa malam Rabu di bulan Sapar jatuh pada malam Rabu terakhir.

C. Wujud Budaya

Budaya labuhan merupakan sebuah tradisi dengan tujuan persembahan doa kepada
Yang Maha Kuasa. Tradisi budaya Labuhan ini merupakan bentuk rasa syukur dan doa bagi
keselamatan Raja Keraton Ngayogkarto Hadiningrat yang senantiasa mengayomi dan
memimpin rakyatnya dengan penuh cinta. Labuhan yang didasari oleh pandangan hidup
yang terwujud dalam etika keseharian bagaimana masyarakat jawa berbuat, sehingga dari
aktivitas tersebut tercipta sebuah keselarasan dengan alam dan lingkungan. Wujud budaya
Labuhan termasuk dalam wujud budaya aktivitas karena bersifat konkret, dapat diamati,
dilihat, dan didokumentasikan dalam bentuk foto ataupun video. Wujud kebudayaan
aktivitas juga bisa disebut dengan sistem sosial dalam masyarakat karena masyarakat
menunjukkan cara mereka berperilaku dalam adat istiadat. Manusia saling berinteraksi,
berperilaku dalam kehidupan sehari-hari, dan beraktivitas menunjukkaan sistem sosial
kebudayaan.

D. Nilai-Nilai Kearifan Lokal Dalam Tradisi Rebo Pungkasan

Jika dipahami secara mendalam serangkaian Tradisi Rebo Pungkasan yang


dilaksanakan setiap malam rabu terakhir di bulan Safar pada dasarnya ingin menjelaskan
kepada kita bahwa tradisi ini mempunyai nilai-nilai kearifan lokal yang harus tetap dijaga
dan dilestarikan. Adapun nilai-nilai kearifan lokal yang dapat dipetik dari Tradisi Rebo
Pungkasan adalah:

1. Tradisi Rabu Pungkasan ini merupakan salah satu wujud dimana manusia harus
saling gotong royong dalam menjalani kehidupan, yang mana di tunjukan dalam
makna gunungan yang ada pada upacara tersebut.

3. Tradisi Rebo pungkasan ini juga mengajarkan kepada kita tentang menghargai
jasa orang lain kepada kita. Hal ini tercermin dari makna upacara Rebo Pungkasan
yang dilaksanakan untuk menghargai kyai Faqih Usman.

11
BAB IV

PENUTUP

A. Kesimpulan
Tradisi Rebo pungkasan budaya adat Yogyakarta di adakan setiap setahun
sekali pada malam rabu terakhir di bulan Safar. Tradisi tradisional merupakan
kegiatan sosial yang dilaksanakan oleh warga untuk mengenang jasa Kyai Faqih
Usman yang pada zaman dahulu menghindarkan masyarakat Pleret dari mara bahaya.
Tradisi tersebut dilakukan secara turun temurun dan tidak pernah ditinggalkan
meskipun jaman sudah berubah. Tradisi tradisional memegang peranan penting dalam
kehidupan masyarakat bagi pembinaan social budaya warga masyarakat
pendukungnya. Hal ini disebabkan oleh salah satu fungsi dari Tradisi tradisional yaitu
sebagai pengokoh norma-norma serta nilai-nilai budaya yang berlaku. Norma-norma
dan nilai-nilai budaya itu secara simbolis ditampilkan melalui peragaan dalam bentuk
Tradisi. Tradisi tersebut dirasakan sebagai bagian integral dan akrab serta komunikatif
dalam kehidupan kulturnya.

B. Saran

Sebagai warga negara Indonesia, khususnya generasi muda. Kita wajib untuk
melestarikan dan mengamalkan nilai-nilai budaya kearifan lokal yang ada. Adanya
budaya lokal yang terus di lestarikan membuat Indonesia semakin kaya akan
keragaman budaya. Dengan adanya makalah ini diharapkan dapat menambahkan
wawasan dan juga pengetahuan kepada para pembaca sehingga kita dapat semakin
mengerti dan mengapresiasi kekayaan budaya yang ada.
DAFTAR PUSTAKA

13

Anda mungkin juga menyukai