Anda di halaman 1dari 15

Sejarah Asia Timur

Review Buku
RELIGI TOKUGAWA
Karya Robert N. Bellah

Kelompok 9
1. Ardhiyanto Wisnu G.
2. Gita Pratiwi
3. Zulkifli Pelana

Pendidikan Sejarah (A) 2012


Fakultas Ilmu Sosial
Universitas Negeri Jakarta
A. Religi dan Masyarakat Industri di Jepang
Dalam bab pertama buku ini, dibahas mengenai konsepsi religi dan masyarakat industri
di Jepang. Sebelum itu, terlebih dahulu kita bahas apa itu inti religi. Inti religi ialah makna
terdalam suatu religi bagi pribadi orang-orang yang bersangkutan. Saat kita bisa melihat
kedudukan religi dalam pikiran, perasaan dan aspirasi individu, kita akan bisa melihat
bagaimana keterlibatan religius mempengaruhi seluruh kehidupan mereka, dan bagaimana
bagian lain kehidupan mereka mempengaruhi religi mereka. Jepang merupakan negara non-
Barat yang mampu mentransformasikan dirinya menjadi negara industri, di mana terdapat
faktor-faktor masa pra-modern tertentu yang mempengaruhinya. Lalu, adakah sesuatu yang
mirip dengan Etika Protestan dalam agama Jepang? Untuk menjawabnya, kita akan lihat pada
pembahasan berikutnya.
Lalu, mengenai konsep “masyarakat industri”, menurut penulis buku ini yaitu suatu
masyarakat yang ditandai oleh peranan sangat penting ekonomi dan nilai-nilai ekonomi
dalam sistem sosialnya dan dalam sistem nilainya. Maksud dari nilai-nilai ekonomis adalah
nilai-nilai yang memberi ciri pada proses rasionalisasi sarana. Ini terkait dengan efisiensi
yang bersangkutan dengan adaptasi terhadap tuntutan situasi. Oleh karena itu, persoalan
adaptasi ini sangat berkaitan dengan sistem ekonomi.
Jepang dicirikan oleh pengutamaan nilai-nilai politis yang mendahului ekonomi (yang
dicirikan oleh variabel-variabel: prestasi dan partikularisme). Ini sejalan dengan pendapat
Talcott Parsons bahwa proses rasionalitas politis yang sangat mirip dengan proses rasionalitas
ekonomi. Juga menurut Robert N. Bellah, Jepang memang memberikan contoh sangat baik
dari proses rasionalisasi politik dan hanya dengan memahami itulah perkembangan khusus
ekonomi Jepang dapat dipahami.
Kemudian, menurut Paul Tillich, “religi” diartikan sebagai sikap dan tindakan manusia
yang bersangkutan dengan keprihatinan yang paling mendasar (ultimate concern), di mana
ultimate concern ini bersangkutan dengan nilai paling dasar dan frustrasi paling dasar. Nilai
paling dasar yang bisa menjadi landasan bagi moralitas masyarakat ini diberikan rangkaian
makna oleh fungsi religi. Lalu, frustrasi paling dasar timbul jika manusia tak bisa
menghadapinya, contohnya adalah kematian.
Dalam kaitan dengan perkembangan Jepang sebelum tahun 1868, aspek religi dalam
perkembangan makna nilai-nilai religi terkait dengan proses rasionalisasi ekonomi. Karena
corak masyarakat Jepang sangat menekankan politik, maka politik dan strukturnya erat
kaitannya dengan aspek religi dan ekonomi. Rasionalisasi politik kemungkinan menjembatani
nilai-nilai dan motivasi-motivasi pendukung rasionalisasi ekonomi.

B. Garis Besar Struktur Sosial Masa Tokugawa


Pada bab kedua, dibahas mengenai garis besar struktur sosial masa Tokugawa yang
meliputi gambaran sistem nilai, empat subsistem fungsional (politik, ekonomi, integrasi,
motivasional), dan unit-unit struktural konkret.
Sistem nilai Jepang dicirikan dengan pengutamaan nilai-nilai “politis”, yang mana
ditentukan artinya dengan partikularisme dan prestasi (performance). Partikularisme ini
terkait dengan didahulukannya tanggung jawab pada kolektivitas, ini nampak dari fakta
pentingnya kedudukan simbolis kepala kolektivitas, seperti kepala keluarga, tuan feodal atau
kaisar. Nilai prestasi diutamakan dengan adanya kepedulian utama yang terarah pada tujuan
sistem. Mungkin pengutamaan nilai prestasi akan lebih jelas jika orang mempertimbangkan
bahwa status sendiri bukan merupakan jaminan ketangguhan, melainkan prestasi dalam
mengabdi yang menjamin ketangguhan itu.
Sistem politik Jepang pada masa Tokugawa, merupakan masukan yang kuat dari nilai
kesetiaan. Kesetiaan yang begitu sentral pada masa Tokugawa, masih tetap kabur karena
keterbatasan-keterbatasan yang ada terkait pertanyaan “kesetiaan kepada siapa?”. Para
samurai diharapkan untuk setia kepada shogun, dan bagi masyarakat umum diharuskan untuk
setia kepada kaisar. Namun, meski kekaburan yang berkaitan dengan otoritas politik penting,
itu semua tidak mempengaruhi cara merumuskan hubungan individu dan kelompok dengan
otoritas politik. Pemerintahan pada masa Tokgawa jelas memiliki pengaruh sehingga dapat
memaksa rakyat agar patuh, tapi itulah yang menarik secara sosiologis, karena masyarakat
melakukannya secara sukarela.
Terkait sistem ekonomi Jepang masa Tokugawa, Talcott Parsons menyatakan bahwa
penyebaran transaksi tukar menukar melalui penggunaan uang merupakan syarat terpenting
terintegrasikannya ekonomi secara mantap menjadi satu sistem dan secara tegas terpisah dari
subsistem lain dalam masyarakat. Pertanian tetap merupakan sumber kekayaan sepanjang
periode ini. Unit produksinya adalah pertanian keluarga para petani kecil, dan hanya sedikit
yang berkembang menjadi pertanian ”kapitalis”. Metode yang digunakan masih tradisional
meski hasil produksinya relatif tinggi, ini terjadi sebab tenaga buruh tani dalam jumlah besar
yang menjadi ciri umum pertanian padi di Timur. Sementara golongan pengrajin kota dan
pedagang tentu saja sepenuhnya masuk menjadi bagian ekonomi uang. Dan terakhir, adalah
kelompok yang baru muncul yaitu ”para kapitalis pedesaan”, yang biasanya adalah petani
kaya yang membuat sake atau industri tekstil.
Tingkat formalitas kehidupan sosial, tingginya tingkat keterikatan pada tradisi era
Tokugawa menjadikannya tidak terbukanya bagi pembaharuan. Ini merupakan hal penting
bagi sistem integrasi karena formalisasi itu menyingkirkan kemungkinan konflik. Mekanisme
integrasi utama dipengaruhi oleh solidaritas mekanik (meminjam pendapat E. Durkheim).
Solidaritas mekanik ini diperkuat dengan adanya religi. Ini karena ikatan religius
menggabungkan elemen solidaritas semua sub-sub kolektivitas.
Sistem motivasional mengacu pada pengaturan motivasi pribadi dalam kaitannya dengan
sistem sosial. Sosialisasi merupakan fungsi sangat penting dari sistem motivasional, yang
berfungsi dalam penginternalisasian norma-norma moral di masyarakat. Ini terkait dengan
cara mendidik anak-anak yang di masa awalnya diperlakukan dengan penuh kasih, dan saat
anak-anak itu bertambah usia tuntutan prestasi terhadapnya pun makin meningkat, dengan
ditunjukkannya keterikatan ketat bentuk adat dan tuntutan prestasi saat masa dewasanya.
Lalu, berkaitan dengan pengaturan motivasi yaitu kesadaran akan perlunya keseimbangan
antara produksi dan konsumsi. Dan terakhir, yaitu keseimbangan antara kepentingan umum
dan pribadi, yang mana ini terkait dengan konsep “tahu diri”.
Adapun terkait unit-unit struktural konkret guna memberikan gambaran tentang
masyarakat Tokugawa, meliputi unit-unit teritorial, keluarga, rumah-rumah dagang, dan
organisasi religius.
Unit teritorial inti daerah pedesaan Jepang adalah desa (mura), yang dipimpin oleh
kepala desa (soya / nanushi). Lalu, unit dasar desa adalah keluarga, yang dipimpin oleh
kepala keluarga. Selain desa, ada juga gonin-gumi (kelompok lima keluarga) yang merupakan
unit di bawah distrik, dan di bawahnya ialah keluarga.
Keluarga memiliki sistem pewarisan berdasarkan prinsip primogenitur (hak ada pada
anak sulung laki-laki). Sedangkan anak laki-laki lebih muda menjadi kepala keluarga cabang
yang menjadi bagian keluarga utama. Lalu, keluarga didasarkan pada sistem patrilokal,
terkecuali pada “suami-angkat” yang mengambil nama keluarga istrinya.
Unit rumah-rumah dagang ini terkait dengan sistem pengangkatan pegawai secara
pemagangan, yang mana biasanya rumah dagang mencari para magang pertama dari keluarga
cabangnya, lalu keluarga dekat atau sahabat, hingga yang tidak dikenal sama sekali.
Mengenai organisasi religius, di era Tokugawa ada beberapa agama / aliran pemikiran
berkembang seperti Budha, Shinto, Neo-Konfusianisme, yang mana hal ini berpengaruh
dengan latar belakang umum struktural dalam kemasyarakat Jepang. Hal ini salah satunya
dibuktikan dengan adanya perlawanan terhadap agama Kristen, yang mana masyarakat era
Tokugawa diperintahkan agar menjadi anggota sekte-sekte Budha.

C. Religi Jepang: Tinjauan Umum


Religi Jepang mempunyai dua konsep dasar mengenai keutuhan. Pertama, tuhan (dewa
langit dan bumi, amida dan budha, dewa-dewa Shinto) sebagai suatu etintas lebih tinggi yang
memelihara, memberikan perlindungan, dan cinta. Kategori ini perlahan bergeser menjadi
tokoh negara dan orang tua yang dalam beberapa hal dilakukan secara sakral. Tindakan
religius yang dimunculkan seperti sikap hormat, syukur atas rahmat dari mereka, dan untuk
membalas rahmat tersebut. Kedua, bahwa dia merupakan dasar dari segala yang ada atau inti
terdalam dari realitas (Tao Cina, li dari Neo-Konfusius). Kegiatan religius yang dilakukan
adalah usah dari pengikutnya untuk mencapai kondisi menyatu dengan dasar dari segala yang
ada dan hakikat realitas ini.
Proses rasionalisasi yang dikemukakan Konfusianisme mirip sebagaimana yang telah
dilalui oleh Shinto dan Budhisme yang beberapa abad lebih awal. Suatu tahapan yang disebut
“sesaji-nujum” ke suatu tahapan “moralistis”, Konfusianisme di Jepang memberikan
pengaruh rasionalisasi di bidang etika. Konfusianisme juga memberikan pengaruh pada
filosofi dan psikologis. Kecenderungan ini mencapai puncaknya pada era Tokugawa ketika
Konfusianisme filosofis berjaya.
Arti penting dari proses rasionalisasi adalah bahwa Dia telah menciptakan. Kemungkinan
dilakukan dengan kegiatan religius yang didasarkan atas pemikiran yang tidak terlalu banyak
dan diterapkan secara sistematis dalam lingkup yang luas. Tahapan magis pada masa
sebelumnya cenderung mempunyai hanya sedikit generalisasi etis dan metafisik yang
digunakan untuk mengatur perilaku dan lebih banyak mengandung sejumlah besar ajaran
rahasia yang saling berlawanan, serta larangan-larangan yang mempunyai landasan moralnya
masing-masing, bukan mengacu pada peraturan yang sifatnya lebih umum.
Religi semacam ini menjadikan ikatan motivasional kepada nilai-nilai kelembagaan
masyarakat Jepang semakin menguat. Dengan kata lain, religi semacam itu telah memperkuat
nilai-nilai prestasi dan partikularisme. Berarti bahwa religi memperkuat masukan bagi
kesesuaian pola dari sistem motivasional menjadi sistem institusional.
D. Religi dan Negara
Religi memiliki hubungan yang erat dengan rasionalisasi politik. Ketiga religi besar
Jepang yakni Bushidõ, aliran kokugawa, aliran mitos dan beberapa kecenderungan di
kalangan rakyat berhubungan dengan dunia politik pada masa awal sejarah Jepang.
Aliran-aliran tersebut mulai muncul pada masa Jepang kuno di mana orang Yamato
berusaha memperkuat hegemoni mereka atas wilayah Jepang tengah dan melakukan upaya
poltik yang berhasil menciptakan mitologi versi mereka sendiri. Dari perkembangan aliran
ini, jelas ada hubungan yang mengisyaratkan tidak ada perbedaan yang signifikan antara
wilayah religi dan negara. Karena kegiatan yang bersifat religius keagamaan dikaitkan
dengan religius istana (pemerintahan).
Pada perkembangan aliran-aliran ini, terdapat pengaruh Cina yakni pengaruh langsung
dari teori Konfusius terutama menyangkut pemerintahan. Pengaruh tersebut tidak hanya
bersifat politis, tapi etis bahkan magis. Penggunaan kata kaisar telah dimulai pada zaman ini
begitu juga pengakuan semua orang atas kekuasaan tertinggi kaisar. Selain pengaruh
Konfusius juga terdapat pengaruh Budhisme menyangkut pertimbangan-pertimbangan
politik. Budhisme juga menyangkut perebutan kekuasaan di kalangan keluarga kerajaan dan
adanya ritual serta perkembangan magis di istana.
Adapun dampak dari perkembangan tersebut yakni kesetiaan kepada kaisar yang dapat
mengatasi penolakan terhadap kekuasaan tradisionalistik-primitif. Akan tetapi Budhisme
memiliki pengaruh yang negatif di mana perkembangan ritual dan magi semakin
memperlemah desakan pemusatan kekuasaan.
Sedangkan konfusius masih berkontribusi positif ke arah perkembangan rasionalisasi
politik pada abad itu. Pokok ajaran konfusius yang mengajarkan kesetiaan dan konsep hidup
sederhana dipegang teguh pada masa itu terutama oleh penganut bushidõ. Kesetiaan yang
dimulai dari keluarga membuat nilai-nilai politik itu masuk ke dalam keluarga.
Aliran konfusius terutama sekali berkembang di kalangan prajurit dan samurai sehingga
melahirkan bushidõ yakni, nilai-nilai moralitas kelas prajurit yang dalam perkembangannya
juga dijadikan sebagai landasan moral nasional. Pandangan bushidõ yang dimulai dari
memandang kematian sebagai suatu hal yang tidak menakutkan. Kematian dapat
menghilangkan ketamakan, individualitas dan sikap-sikap buruk. Mengalami kematian pada
saat mengabdi pada pangeran dapat dianggap sebagai akhir yang layak bagi seorang samurai.
Sebagai landasan moral; bushidõ mengajarkan beberapa aspek penting dalam kehidupan:
 Kesetiaan, yang juga berkaitan dengan ketaatan terhadap orang tua dan keluarga.
Perintah untuk bersikap luhur dan memenuhi kewajiban, ditambah dengan ketaatan
mutlak sering kali ditekankan.
 Hidup hemat dan sederhana, menahan diri dan ughari (sikap hemat yakni kewajiban
untuk mengurangi konsumsi individual sampai sekecil mungkin) serta sikap rajin dan
pengabdian yang tinggi.
 Penghargaan yang sangat tinggi terhadap pencarian ilmu. Tujuan dari belajar adalah
upaya dalam pengembangan diri dan menguasai orang lain.
Adapun para tokoh yang menganut bushidõ dan mengembangkannya, yakni Yoshida
Shõin, Muro Kyusõ dan Yamaga Sokõ. Pemikiran bushidõ ini bukan hanya berkembang di
kalangan para samurai dan prajurit saja, tapi juga masyarakat awam, yakni para pedagang dan
rakyat biasa. Semuanya menekankan kesetiaan, hemat, rajin dan kerja keras.
Selain itu terdapat slogan sonnõ (pemujaan terhadap kaisar) dan kokutai (badan
nasional), kedua slogan ini dikembangkan oleh penganut aliran Kokugaku dan Aliran Mito.
Aliran Kokugaku didirikan oleh Keichũ (1640-1701) dan Kada Azumamaro (1668-1736).
Sejak awal aliran ini bersifat politis dan religius. Sikap khas dari aliran ini adalah penilaian
terhadap Cina yang di mana terjadi perebutan kekuasaan dan pergantian dinasti pemerintahan
dengan adanya pemberontakan dan pembantaian untuk menggulingkan kekuasaan kaisar.
Menurut aliran ini pengaruh Cina lah yang menyebabkan kemerosotan dan kebejatan di
Jepang. Kekaisaran di Jepang adalah turun-temurun dan tidak terpotong dan hubungan antara
kaisar dan rakyat adalah hubungan yang sejati. Aliran ini menolak Budhisme dan
Konfusianisme. Penjelasan-penjelasan kaum Budha, Tao dan Konfusian tidak bisa diterima.
Aliaran Kokugaku dapat dianggap sebagai ‘ratu adil’ yang berusaha mewujudkan
pemulihan kekuasaan kaisar sebagai penguasan nyata dan pembersihan dari segala pengaruh
yang merusak. Jika ini terlaksana, maka akan datang masa kerukunan dan keserasian antara
rakyat dan kaisar dan terwujudnya kedamaian dan moralitas. Selain itu implikasi politis dari
doktrin Kokugaku adalah terbentuknya suatu monarki yang kuat dan terpusat yang menuntun
kesetiaan dan kepatuhan rakyat kepada kaisar serta menghancurkan keshogunan dan kekuatan
lain di antara kaisar dan rakyat. Secara politis dampak ajaran mereka adalah rasionalisasi
kekuasaan secara besar-besaran.
Sedangkan aliran Mito, didirikan oleh Tokugawa Mitsukuni (1628-1700). Aliran ini
memang tidak menolak segala hal yang berasal dari Cina, tapi selalu mengkritik Cina yang
dinastinya berubah-ubah. Mereka mengkritik Mencius tetapi mengajarkan secara terbuka
moralitas Cina. Menurut ajaran ini, hubungan antara Tuhan, kaisar, pangeran dan ayah
cenderung sejajar. Seluruh bangsa adalah satu keluarga. Aspek ini dinamakan kokutai, di
mana prinsip politik, kekeluargaan dan religius menyatu. Kokutai, juga dipahami dalam
kerangka corak kedua hubungan antara manusia dan Tuhan yang terdapat di Jepang. Yoshida
Shõin, juga banyak dipengaruhi oleh aliran Mito. Dia memberikan motivasi ke arah restorasi
dan pembentukan negara yang kuat dan akhirnya ke arah imperialisme. Kecenderungan
perubahan ke arah restorasi dan imperialisme menunjukkan kekuatan yang berlebihan
sehingga prasyarat fungsional bidang lain dalam masyarakat selain negara dilanggar. Hal ini
mengakibatkan munculnya militerisme dan totaliterianisme.
Berbagai aliran dan pemikiran yang berkembang di Jepang sangat nyata pengaruhnya.
Penghormatan dan kepatuhan terhadap kaisar juga termasuk penghormatan kepada Tuhan.
Ideologi-ideologi yang muncul adalah penggabungan pandangan religius dan pandangan
politik.
Aliran-aliran di atas juga berkembang hingga masa Jepang modern dan sampai saat ini.
Masyarakat Jepang saat ini sangat menghormati kaisar dan keluarga kerajaan walaupun
kaisar saat ini tidak lagi memiliki kekuasaan politik yang berarti. Aliran-aliran ini juga
mempengaruhi kehidupan masyarakat Jepang sampai saat ini. Semangat bushidõ yang
mengajarkan kerja keras, kesetiaan dan hidup hemat tercermin pada kehidupan masyarakat
Jepang kini. Dapat kita lihat kemajuan Jepang dalam segala bidang tidak lepas dari
masyarakatnya yang menjunjung tinggi kerja keras, hidup hemat, sangat menghargai waktu
dan semangat juang yang tinggi. Kemajuan yang dicapai adalah hasil pengorbanan dari usaha
dan kerja keras. Pengaruh aliran Mito yakni slogan sonnõ dan kokutai dapat kita lihat pada
masa periode Perang Dunia I dan Perang Dunia II atau dimulainya Restorasi Meiji. Aliran
Mito yang mendukung restorasi dan perubahan negara juga menimbulkan adanya
imperialisme. Jepang setelah restorasi adalah negara yang kuat dan ingin menguasai negara
lain. Imperialisme pun dilakukan terhadap negara-negara di Asia Timur hingga ke Indonesia.
Jepang ingin menguasai Asia dan ingin menjadi pemimpin Asia.

E. Religi dan Ekonomi


Para rahib Zen memainkan peran sangat penting di bidang perdagangan pada masa
Ashikaga (1392-1573). Sekte Zen juga sangat tinggi menghargai kesederhanaan spartan dan
keugaharian, dan kegiatan produktif.
1. Ekonomi dan Negara
Hubungan antara ekonomi dan negara dapat dipahami melalui teori negara dari
Konfusius. Dasar pikiran konfusius tentang masalah ini adalah “kemanunggalan ekonomi dan
negara”. Maka, pada era Tokugawa, kata keizai (terjemahan modern: ekonomi), dalam
ungkapan Dazai Shundai berarti “memerintah kekaisaran dan membantu rakyat.”
Jika mereka tidak mempunyai tingkat kesejahteraan hidup tertentu, rakyat akan “tidak
bisa diatur”. Ini adalah dasar ideologis yang kuat yang mendasari perhatian terhadap
kehidupan ekonomi rakyat yang merupakan ciri dari penguasa Tokugawa.
Inti dari kebijakan ekonomi Konfusian yang disusun untuk menjamin stabilitas politik
secara rinci adalah: dorong produksi dan kurangi konsumsi. Pengurangan konsumsi
mengambil dua bentuk utama, lahir (yaitu: pembatasan pengeluaran, artinya ekonomi
ugahari) dan batin (yakni: pembatasan keinginan).
Dari tinjauan singkat tentang pandangan Konfusian mengenai ekonomi politik dapatlah
ditangkap bahwa sebetulnya yang diutamakan adalah sistem yang imbang. Produksi
dimaksudkan agar kebutuhan tercukupi dan penghematan agar kecukupan itu tak terganggu.
Himbauan moral selalu merupakan suatu bagian penting dalam kebijakan pemerintah,
dalam hal ini berlaku pada dorongan berproduksi sebagaimana di bidang-bidang lain. Nasehat
untuk bekerja keras, tidak melalaikan pekerjaan, tidak membuang-buang waktu, dan
sebagainya, menjadi nada dasar peraturan-peraturan yang dikeluarkan pemerintah dan
diperuntukkan bagi gonin-gumi. Pemerintah juga tidak membatasi dirinya dengan hanya
memberi nasehat saja. Bakufu dan banyak han sangat giat melakukan tindakan-tindakan yang
mendorong dibukanya sawah-sawah baru dengan cara meringankan pajak dan kemudahan-
kemudahan lainnya. Kebijakan-kebijakan ini dilatarbelakangi oleh keinginan untuk menjaga
suatu ekuilibrium statis dan disebabkan alasan ingin membangun satu negara yang kuat dan
kaya sebagai tujuan, jelas sulit ditentukan, tetapi kedua motivasi tersebut pasti ada.
Kebijakan pemerintah yang mendorong ekonomi sama kuatnya dengan imbauan moral
yang diberikannya. Peraturan yang mengecam kemewahan ditempel di setiap papan
pengumuman pemerintah. Peringatan-peringatan tersebut diperkuat oleh hukum yang secara
sistematik mengontrol dan mengatur pengeluaran serta konsumsi orang sehingga bisa
mencegah tindakan bermewah-mewah.
2. Etika Ekonomi Kelas Pedagang
Dalam bagian ini akan diberikan gambaran umum dan dibahas pengaruh Jodo Shinshu
atas satu bagian dari kelas pedagang, para pedagang Omi.
Pada masa lebih awal, Shinsu menekankan penyelamatan hanya dengan cara keimanan
dan relatif agak mengabaikan tuntutan etika. Naskah-naskah awal penuh dengan pernyataan
bahwa seseorang akan bisa diselamatkan walau sebusuk apapun dia. Rennyo menempatkan
masalah tuntutan etis ini pada tempat yang penting dalam faham Shin tetapi saja merupakan
sesuatu yang terpisah dari tuntutan religius. Kendati demikian, menjelang pertengahan masa
Tokugawa, tindakan penyelamatan dan etika menjadi terkait sangat erat tak terpisahkan.
Tidak pernah lagi terdengar pernyataan bahwa orang yang busuk akan bisa diselamatkan.
Tingkah laku etis di dunia merupakan tanda penyerahan diri kepada Amida untuk
mendapatkan rahmatnya dan suatu tanda hati yang beriman. Melalui pekerjaan di dunia,
terutama melalui jabatan seseoranglah, agama paling baik diwujudkan.
Perhatian besar yang diberikan oleh ajaran Shin kepada kerja sebagai suatu panggilan
pada era Edo mengarahkan orang untuk mengetahui pandangan tentang keuntungan. Para
penganut faham konfusian sering kali menyatakan bahwa orang yang berguna adalah yang
menjaga kebajikan (i) dan membuang laba (li), pedagang membuang laba dan membuang
kebajikan. Sedangkan bagi pengikut Budha, keserakahan merupakan salah satu dosa besar,
dan keserakahan banyak dihubungkan dengan pengejaran laba yang dilakukan pedagang.
Seberapa jauh semua ajaran tersebut mempengaruhi tingkah laku nyata? Pedagang
Provinsi Omi adalah penganut taat Shinshu dari kenyataan banyaknya kuil-kuil Shin yang
terpusat di kota-kota dagang utama wilayah itu, besarnya jumlah pedagang yang terdaftar di
kuil, dan banyaknya ungkapan-ungkapan saleh dalam riwayat hidup pedagang ini. Walaupun
kebanyakan mereka bermula dari pedagang keliling yang bepergian jauh merambah distrik-
distrik di pegunungan Jepang tengah, mereka sering menumpukkan kekayaannya dan
mendirikan toko-toko cabang di tiga kota utama di Jepang.
Pedagang besar Omi pada umumnya tidak mau pindah ke kota-kota besar tetapi bertahan
dimarkasnya di kota-kota perdagangan di Provinsi Omi tempat dia mengendalikan bisnisnya
yang mencakup seluruh negeri. Mereka menjalani tahun-tahun hidupnya dengan cermat
untuk memenuhi pengabdian mereka kepada Budha.
Ajaran tersebut isinya memberikan gambaran tentang kelas pedagang pada umumnya
dan hubungan antara sistem keluarga dan motivasi ekonomi di dalamnya serta pengaruh dari
motivasi religius pada ekonomi. Pengaruh langsung dari negara dan nilai-nilai politik
cenderung kurang terasa. Walaupun ajaran-ajaran Shinshu juga menganjurkan sikap patuh
kepada atasan dan selalu menaati peraturan, jabatan dipandang lebih sebagai suatu balas budi
kepada Amida bukan kepada pangeran feodal. Dua kewajiban dapat digabungkan melalui
kemurahan hati sang pangeran, namun jelas bahwa kewajiban religius menduduki tempat
pertama. Dalam Bushido, Shingaku, Hotoko, dan banyak sekte Shinto lainnya, kewajiban
religius dan politik sepenuhnya menyatu dan tak terpisahkan. Jika hal yang sama berlaku
pada Shinshu, maka Shinshu sebetulnya lebih merupakan penyimpangan tapi yang sangat
menarik karena sebenarnya justru ia merupakan analog Jepang dengan Protestanisme dan
etikanya sangat menyerupai etika Protestan. Kendati demikian, Shin hanya salah satu dari
banyak pengaruh yang masuk ke dalam kehidupan moral kelas pedagang.
3. Kaum Tani dan Gerakan Gotoku
Kerja keras dan sikap ugahari merupakan sifat yang umum terdapat di kalangan kaum
tani di seluruh dunia, tetapi kadarnya menjadi sangat berlebihan di kalangan petani Jepang.
Sikap hemat sangat kuat didasari oleh rasa tanggung jawab kepada masyarakat dan keluarga
sebagaimana yang terdapat dalam kasus kalangan pedagang. Kaum tani juga dipengaruhi oleh
sejumlah gerakan etis yang cenderung memperkuat asketisme duniawi mereka. Sekte Shin
berpengaruh kuat di banyak wilayah dan perlu dikemukakan bahwa banyak pedagang Omi
yang pada mulanya adalah petani. Shingaku memang lebih banyak berpengaruh di perkotaan
tetapi bukan berarti tidak mempunyai pengaruh di pedesaan, selain kenyataan yang perlu
diingat bahwa Ishida Baigan, pendirinya, terlahir sebagai petani. Sekte-sekte Shinto rakyat
yang mempunyai ajaran etika serupa dengan Shingaku berpengaruh sangat kuat di kalangan
kaum petani. Dan Hotoku merupakan suatu gerakan etis yang penting yang berasal dari dan
banyak ditujukan untuk kelas petani. Arti penting etika ini nampaknya terletak pada
kenyataan bahwa terjadi gelombang terus-menerus di mana para petani meninggalkan desa
dan memasuki kelas pedagang atau pengrajin di kota-kota sepanjang era Edo, dan pada
kenyataan bahwa sebagian besar angkatan kerja yang muncul setelah Restorasi 1868 berasal
dari kaum tani.
Gerakan Hotoku merupakan cerminan dari etika petani, selain karena dia mewakili
kecenderungan penajaman dan intensifikasi yang terjadi pada etika tersebut. Gerakan ini
didirikan oleh Ninomiya Sontoku (1787-1856), seorang petani yang beranggapan bahwa dia
bertanggung jawab mengangkat moralitas petani selain meningkatkan produk ekonomi
mereka. Dia menimba ide-idenya dari sumber-sumber Konfusius, Shinto, dan Budha,
kemudian menggabungkannya dalam bentuk ajaran yang praktis dan sederhana.
Teori dasar Sontoku adalah prinsip yang tidak henti-henti diuraikannya, tercakup dalam
istilah yang menjadi nama gerakan ini: hotoku. Hotoku mempunya arti yang sama dengan
hoon atau membalas karunia. Satu aspek dari hotoku ini terkait erat dengan sistem
kekeluargaan dan kewajiban untuk patuh kepada orang tua.
Sontoku menyebarkan ajarannya pada tahun-tahun terakhir keberadaan bakufu dalam
situasi yang sama seperti ketika ide-ide Kokugaku dan Mitogaku. Berbeda dari para pemikir
Jepang lainnya, dia nampaknya menganut orientasi “manusia di atas alam” bukannya
“manusia dalam alam.” Berkaitan dengan ini adalah penolakan terhadap teori-teori siklus
Budhisme dan Konfusianisme, dan dukungan terhadap pandangan teori perkembangan
progresif searah.
Sontoku mempunyai arti penting bukan hanya sebagai guru etika dan agama tapi juga
sebagai seorang yang berhasil dalam hal-hal praktis. Kebijakannya beragam tetapi pada
dasarnya terdiri terutama atas penekanan pada penghematan yang ketat dan perluasan jumlah
tanah pertanian, pengembangan irigasi, dan sebagainya dengan cara menabung uang. Salah
satu prinsipnya yang terpenting adalah bundo, artinya apa yang telah dikumpulkan selama
satu tahun harus lebih banyak dari yang dibelanjakan pada tahun berikutnya, dan sisanya
disimpan untuk kondisi darurat atau meningkatkan modal.

F. Shingaku dan Pendirinya, Ishida Baigan


Shingaku adalah gerakan yang dimulai ketika Ishida Baigan (1685-1744)
menggantungkan papan namanya dan memberikan ceramah umumnya yang pertama pada
tahun 1729. Gerakan ini menarik banyak orang dari kelas perkotaan, ribuan dari mereka
memadati tempat-tempat ceramahnya selama lebih dari 100 tahun, walaupun pengaruhnya
juga mencapai kalangan samurai dan petani. Pengaruhnya disebarkan bukan hanya melalui
ceramah-ceramah umum, tapi juga melalui khotbah dan risalah-risalah yang dicetak dalam
jumlah sangat besar dan dibaca di kalangan yang sangat luas, melalui peraturan-peraturan
rumah pedagang (kakun), yang banyak di antaranya dibuat para guru Shingaku, dan melalui
kegiatan-kegiatan karitatif yang dilaksanakan oleh gerakan itu.
1. Ishida Baigan
Ishida Baigan lahir di desa Higashi Agata di provinsi Tamba pada hari ke-15 bulan ke-9
tahun 1685. Higashi Agata adalah desa pertanian sekitar 25 km dari Kyoto, dan di sanalah
Baigan menghabiskan masa mudanya bekerja di tanah pertanian ayahnya. Ayahnya seorang
yang disiplin dan nampaknya banyak berpengaruh pada anak laki-laki tertua, sehingga untuk
hidupnya nanti dia pun magang pada seorang pedagang Kyoto pada usia 11 tahun.
Ketika usianya mencapai 15 tahun, Baigan meninggalkan pemagangannya setengah jalan
dan kembali ke desanya, dengan alasan yang sama sekali tidak jelas. Di saat ketika dia mulai
sepenuhnya terserap ke dalam kehidupan chonin Kyoto dan memulai karir umum seorang
pedagang, dia membuang semua itu dan kembali ke desanya, di mana kemudian dia
menghabiskan 8 tahunnya antara usia 15 sampai 23. Dengan ini dia menghancurkan
kesempatannya meniti karir sebagai pedagang. Pada tahun-tahun yang dihabiskannya di
rumah, dia menjadi tertarik kepada Shinto dan ketika Baigan kembali ke Kyoto pada usia 23
tahun dia menyebarkan Shinto.
Ketika berumur 35 atau 36 tahun, dia merasa sudah menguasai pengetahuan teoritik
tentang alam (sei, bahasa Cina hsing), tetapi perasaannya masih tetap ragu. Dia kemudian
dididik oleh Oguri Ryoun (mantan pejabat tinggi daimyo) dalam filsafat alam Sung (seiri,
bahasa Cina hsing li) selain menguasai ajaran-ajaran Budha dan Tao.
Ketika dia berumur 43 dia mulai memberikan pelajaran privat di berbagai rumah. Pada
umur 45 untuk pertama kalinya ia membuka tempat ceramah. Baigan mengembangkan
ceramah, pertemuan tanya jawab dan latihan meditasi sebagai 3 metode pengajarannya,
masing-masing berguna untuk tujuan yang berbeda. Pada usia 55 tahun, dia menerbitkan
bukunya yang pertama, Taimondo, yang secara harfiah berarti “Dialog Kota dan Desa.” Satu-
satunya bukunya yang lain adalah Seikaron, secara harfiah berarti “Esai tentang Pengaturan
Rumah Tangga.” Diterbitkan pada tahun 1744, tahun terakhir hidupnya.
2. Pemikiran Ishida Baigan
Konsep gakumon secara harfiah kata tersebut berarti belajar atau ilmu pengetahuan,
tetapi di sini dia mempunyai arti yang sangat luas. Pengertian yang lebih luas ini sudah
terdapat dalam Mencius dan jelas bahwa pengaruh terbesar yang masuk dalam pikiran baigan
adalah dari Mencius.
Kita dapat membedakan dua jalur proses yang dicakup oleh istilah gakumon. Pertama,
adalah mengarah kepada pencerahan (kensho), “memahami kodrat” atau “memahami hati.”
Kedua, praktek susil yang mengikuti pencerahan atau pemahaman tersebut. Dalam hal ini,
jalur yang pertama, yang dalam istilah Tillich disebut bersifat “vertikal” adalah penyebab,
sedangkan yang kedua yang bersifat “horizontal” adalah akibat.
Gakumon dalam kaitannya dengan proses “vertikal.” Baigan mengatakan, “memahami
hati (kokoro, bahasa Cina hsin) adalah awal dari gakumon”, dan “Memahami kodrat” (sei,
bahasa Cina hsing) adalah inti gakumon, dan “mencapai (uru) hati adalah awal serta akhir
dari gakumon”. Pandangan ini bisa dianggap didasarkan pada Mencius, yang dikutip oleh
Baigan, “jalan gakumon tiada lain kecuali mencari hati yang hilang.”
Gakumon, yang sangat erat terkait dengan proses vertikal atau proses mistik-religius,
sama erat kaitannya dengan proses horizontal atau proses etika-praktis. “Gakumon para arif
adalah memahami bahwa tindakan (okonai) adalah inti dasar (moto) sedangkan pengetahuan
(bungaku) adalah pelengkapnya (shiyo).”
Walaupun Baigan menekankan tindakan spiritual atau etis sebagai pengertian gakumon,
dia sama sekali tidak mengabaikan artinya yang lebih sempit yaitu belajar atau pengetahuan.
Dia mengumpamakan hati sebagai cermin dan menganggap tulisan sebagai semir yang akan
memulas hati. Pemahaman tentang hati bukanlah sesuatu yang bisa ditularkan melalui kata-
kata tetapi harus dicari sendiri. Inilah gakumon sejati.
Kita telah sering kali menggunakan istilah “memahami hati” atau “memahami kodrat”,
tetapi apa sebenarnya arti istilah-istilah ini menurut pikiran Baigan? Dia berkata, “Tujuan
tertinggi dari gakumon adalah mengosongkan hati sendiri untuk memahami hakikat diri.
Mengenal hakikat dirinya adalah mengenal langit.” Buku ketujuh Mencius mengatakan
bahwa “Dia yang telah mengosongkan hatinya, mengenal alam dirinya, mengenal alam diri
berarti mengenal langit”. Mengenal langit, paling tidak untuk Baigan, berarti bahwa hati
seseorang menyatu dengan langit dan bumi.
3. Gerakan Shingaku Lanjutan
Gerakan Shingaku berhutang budi pada Tenshima Toan (1718-1786) atas kepemimpinan
dan kemampuan organisatorisnya yang tinggi yang dipergunakan oleh gerakan religius baru
yang dilahirkan dari pergulatan batin pendirinya agar gerakan tersebut dapat mencapai
kemantapan institusional . Baigan sendiri menyebut Toan “Mencius” bagi aliraannya.
Toan adalah pendakwah yang terkenal, tulisan-tulisannya memberikan sumbangan-
sumbangan yang besar bagi perkembangan pikiran-pikiran Shingaku. Konsep honshin (hati
dasar) yang menjadi inti dasar ajaran Shingaku pada masa belakangan merupakan konsep
yang dikembangkan Toan. Tetapi jasa besarnya kepada Shingaku adalah pembenahan
organisatoris yang dilakukannya.
Setelah masa Toan, ketika bentuk-bentuk dan metode-metode pengajaran telah tersusun
sepenuhnya dengan baik, gerakan terus berkembang dengan pesat. Menjelang tahun 1789
terdapat 34 kosha, pada tahun 1795 terdapat 56, dan pada tahun 1803 terdapat 80 di 25
daerah.
Paruh pertama abad ke-19 merupakan perkembangan bagi gerakan Shingaku, tetapi
mungkin juga masa melemahnya semangat batinnya. Menjelang tahun 1830 terdapat 134
kosha di 34 provinsi dan bertambah banyak lagi setelah waktu itu. Pada saat dilakukan
pembaharuan oleh Tempo (1830-1844) semua kegiatan umum dilarang kecuali empat hal:
ceramah Shingaku, Shinto, ceramah tentang karya-karya kemiliteran, dan mukashi-baashi
(pedongeng cerita-cerita lama). Mulai 1845 sampai 1867, bakufu setiap tahun mengeluarkan
maklumat pada hari ke-11 bulan pertama yang isinya menyatakan bahwa Teshima Shingaku
adalah gerakan yang sangat bermanfaat dan perlu didukung oleh kelas pedagang.
Restorasi tahun 1868 merupakan pukulan maut bagi Shingaku sebagai gerakan. Shingaku
semakin lama semakin dekat dengan bakufu dan mungkin ini salah satu penyebab mengapa
dia dengan cepat kehilangan simpati rakyat. Shingaku yang cenderung cacat karena
hubungannya dengan bakufu, tanpa adanya landasan doktrin yang terlalu jelas dan tidak
cocok lagi sebagai lembaga pendidikan, dengan cepat kehilangan landasannya sebagai
organisasi. Namun dari satu sisi pembubarannya lebih merupakan kemenangan daripada
kekalahan. Ajaran etikanya yang sangat diagungkannya disebarluaskan bahkan lebih meluas
dari waktu sebelumnya.

G. Kesimpulan
Dari penjelasan-penjelasan yang telah dipaparkan sebelumnya, kita dapat menarik
beberapa kesimpulan, antara lain: terbentuknya Jepang menjadi suatu masyarakat industri
modern tak terlepas dari kuatnya nilai-nilai politik yang dominan, yang mana nilai-nilai
politik tersebut menjembatani aspek-aspek ekonomi dengan religius dalam masyarakat.
Kemudian, religi berperan penting dalam proses rasionalisasi politik dan ekonomi di
Jepang dengan cara memperkuat ketertarikan pada nilai-nilai sentral, memberikan motivasi
dan legitimasi untuk beberapa inovasi politik dan menguatkan sikap rajin dan hemat. Dan
dalam religi Jepang pada masa Tokugawa bahkan hingga masa kini, adanya suatu keharusan
bekerja keras tanpa mementingkan diri sendiri dan membatasi nafsu konsumsi sangat
ditekankan dalam religi Jepang serta tekanan betapa pentingnya sikap rajin dan ugahari
memberi makna religius terhadapnya. Etika semacam ini sangat mendukung rasionalisasi
ekonomi merupakan pokok pikiran utama dalam studi Weber tentang Protestanisme dan hal
yang sama nampaknya juga terjadi di Jepang.
Terakhir, mengenai makna dari “fungsi-fungsi” religi Jepang yang telah mengantar
Jepang menuju kemodernan yang menakjubkan dan “kekalahan” Jepang pada 1945, dampak
positif maupun negatif dari religi tersebut akan terus berlangsung jika religi tetaplah menjadi
religi, tegangan masyarakat dan religi terus berlangsung, tak mustahil religi mengubah
kekalahan manusia menjadi kemenangan.

Anda mungkin juga menyukai