Anda di halaman 1dari 14

PENDAHULUAN

I. Latar Belakang

Jepang merupakan salah satu negara yang sangat memegang teguh


kebudayaan nenek moyang mereka. Banyak dari kebudayaan-kebudayan
Jepang yang masih terjaga hingga kini. Walaupun saat ini Jepang dikenal
sebagai negara yang bisa dikategorikan maju. Masyarakatnya tetap
mempertahankan tradisi-tradisi nenek moyangnya. Berbicara masalah
kebudayaan bisa disebut bahwa Jepang menjadi salah satu negara yang
memilki banyak kebudayaan. Kebudayaan tidak sendirinya dapat terbentuk
dan tertanam dalam masyarakat Jepang.
Dilihat dari historisnya Jepang telah mengalami berbagai perubahan
dalam masyarakatnya. Perkembangan masyarakat Jepang di mulai dari zaman
Tokugawa Bakufu atau yang lebih dikenal dengan zaman Edo. Pada masa ini
dianggap menjadi akar kesuksesan Jepang dalam perkembangannya. Sebelum
diaadakannya restorasi meiji atau Meiji Isshin, Jepang menjalankan
pemerintahan yang feodalistik dan penyelenggaraan pmerintah yang dipegang
oleh kaum militer. Dengan adanya restorasi ini, Jepang berusaha untuk
mengejar ketertinggalan dari negara lain. Mulai dari bidang politik, ekonomi,
dan pendidikan dilakukan berbagai cara untuk menciptakan perubahan kearah
yang lebih. Hal tersebut dapat dibuktikan dengan saat ini Jepang menjadi salah
satu negara pemegang kendali dunia. Namun, untuk melihat kemajuan Jepang
tidak bisa hanya dilihat dari aspek ekonomi, politik dan pendidikan saja. Salah
satu yang menjadi pertimbangan adalaah kebudayaannya. Masyarakat Jepang
dikenal sebagai masyarakat yang sangat mempertahan tradisi tradisionalnya.
Dari banyak tradisi yang masih dilaksanakan oleh penduduk Jepang
salah satunya adalah matsuri. Matsuri menjadi salah satu tradisi yang sangat
terkenal diJepang. Matsuri menjadi salah satu tradisi yang digunakan
masyarakat Jepang untuk persembahan dengan para dewa. Matsuri menjadi
daya tarik sendiri dalam berbagai aspek. Salah satunya aspek ekonomi.
Sepanjang tahun matsuri ini menjadi salah satu tradisi yang dapat
mendatangkan banyak wisatawan. Dalam makalah ini penulis akan mejelaskan

UNIVERSITAS INDONESIA
mengenai eksistensi matsuri dalam kehidupan sehari-hari dan makna-makna
yang terkandung dalam tradisi Matsuri di Jepang.
II. Rumusan Masalah
Dalam makalah ini penulis memiliki berbagai rumusan masalah, yaitu:
1. Apa makna Matsuri dalam kehidupan masyarakat Jepang?
2. Bagaimana eksistensi Matsuri dalam perkembangan dan perubahan
yang terjadi dalam masyarakat Jepang?

UNIVERSITAS INDONESIA
PEMBAHASAN

1.1 Pengertian Matsuri

Istilah Matsuri terdiri atas dua pengertian yaitu upacara keagamaan dan
perayaan yang dipraktekkan dalam agama Shinto atau institusi yang berafiliasi
pada Shinto. Matsuri berasal dari kata matsuru (menyembah,memuja) yang berarti
pemujaan terhadap kami atau ritual yang terkait. Matsuri pada dasarnya adalah
sebuah tindakan simbolik dimana seseorang atau sekelompok orang memasuki
atau berada dalam keadaan komunikasi aktif dengan dewa atau yang didewakan 1.
Tindakan ini dapat diwujudkan dalam bentuk pesta dan perayaan.
Matsuri merupakan bangunan simbol-simbol dengan kayakinan
keagamaan sebagai isinya, yang keduanya dihubungkan oleh proses sosial sebagai
sumber dari ide-ide, peraturan-peraturan, dan kegiatan-kegiatan yang dilakukan
dengan kayakinan, kode kode, dan resep-resep yang disebut dengan kebudayaan2.
Matsuri menjadi model dalam kehidupan orang Jepang berupa nilai-nilai,
keyakinan, gagasan, dan metode yang membentuk pola tindakan yang bersifat
keagamaan melalui makna internal dan makna eksternal.
Pendapat tersebut didukung oleh Geertz yang menempatkan upacara dan
kebudayaan dapat saling bertukar tempat dan peranan dengan perantaraan simbol
atau lebih tepatnya perantaraan metafora melalui upacara yang sanggup
menerjemahkan kanyataan-kenyataan sosial menjadi tingkat-tingkat lain yang
lebih tinggi yang yang membentuk kesadaran manusia pelakunya3. Dalam teologi
agama Shinto dikenal empat unsur dalam matsuri: Penyucian (harai),
persembahan, pembacaan doa (norito) dan pesta makan. Ada perbedaan pendapat
terkait dengan Matsuri. Pertama, menurut Yaganita (1982) kurang lebih 50.000
matsuri sepanjang tahun dapat dikategorikan menjadi tiga kategori. Pertama,
Tsukagirei, yaitu matsuri yang dilakukan sepanjang hidupnya sejak janin hingga
arwah. Menurutnya bahwa perpindahan yang terjadi dalam kehidupan ada sesuatu
yang berbahaya sehingga perlu dilakukan matsuri. Kedua, Nenchugyouji, yaitu
1
Wulansari, Annisa Windupeni. 2008. Hina Matsuri.., Skripsi FIB. Dalam
http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/127187-RB08W432h-Hina%20matsuri-Pendahuluan.pdf
2
Lawanda, Ike Iswary.2009. Matsuri dan kebudayaan Korporasi Jepang.Penerbit:PT LKiS
Printing Cemerlang.hal.11
3
Ibid.

UNIVERSITAS INDONESIA
upacara yang dilakukan secara periodik ada waktu yang telah ditentukan tahunnya
menurut panggilan Jepang. Ketiga, Ninigirei yaitu upacara yang dilakuakn secara
aksidental karena adanya peristiwa yang terjadi dalam hidupnya. Sedangkan
pendapat lain datang dari Hirosachiya. Dia membuat kategori yang agak berbeda.
Menurutnya, matsuri dalam ajaran Shinto dapat digolongkan mennjadi tiga yaitu,
matsuri yang diadakan di jinja (kuil), matsuri yang diadakan di istana dan
matsuri yang diadakan di kalangan rakyat biasa (Anwar, 2005:6). Dapat
disimpulkan bahwa matsuri ini merupakan sebuah tradisi masyarakat Jepang
yang dilakukan dengan melibatkan unsur unsur dewa yang dilakukan dengan
upacara dan perayaan yang bertujuan untuk persembahan dan meminta
pengharapan atas kehidupannya supaya diberikan keselamatan dalam hidupnya.

Fungsi Matsuri dalam Kegiatan Masyarakat Jepang


Matsuri menjadi bagian yang terpenting dalam kegiatan keagamaan.
Matsuri menjadi hal untuk mengingatkan kembali kesadaran kolektif. Dengan
saat ini Jepang yang sudah menjadi negara maju maka fungsi matsuri disesuaikan
dengan kebutuhan yang dibutuhkan. Dalam perkembangannya matsuri memiliki
fungsi dalam kehidupan masyarakat Jepang. Fungsi dijalankan tidak serta merta
hanya sebagai rasa syukur kepada nenek moyangnya namun juga dalam berbagai
bidang lain seperti ekonomi, politik dan pariwisata.
Nilai nilai yang ditanamkan dalam tradisi matsuri sangat bervariasi. Hal
ini tergantung tujuan dan peserta matsuri itu sendiri. Ada dua fungsi dalam
Matsuri, yaitu sebagai Sairei “upacara” dan saigi “perayaan”. Matsuri berfungsi
sebagai sebagai Sairei dihubungkan dengan degan keyakinanan agama. Matsuri
ini digunakan untuk menegaskann keberadaan yang sakral yang gaib agar diterima
sebagai kebenaran dalam keyakinan dan diwujudakan dalam setiap tindakan dan
pola seseorang4. Pada fungsi ini matsuri digunakan sebagai persembahan untuk
para dewa. Dewa ini diyakini sebagai penghubung antara manusia dengan dewa.
Hal ini dikarenakan kehidupan masyarakat Jepang tidak bisa dilepaskan dari ikut
campur dewa dewa mereka. Mereka percaya bahwa apa yang mereka lakukan
harus mendapat berkah dari para dewa. Kalau tidak begitu maka kehidupan

4
Ibid.,101

UNIVERSITAS INDONESIA
mereka akan mendapat musibah. Matsuri menjadi salah satu keyakinana
penduduk Jepang dalam kehidupan ke agamanya. Mereka percaya dengan
melakukan matsuri maka akan memberikan pengharapan atas kehidupan yang
lebih baik.
Matsuri sebagai sairei merupakan keyakinan keagamaan yang pelaksanaan
berkaitan dengan kegiatan-kegiatan refleksi dan ekspresi dari hubungan-hubungan
ekonomi, politik, sistem kekerabatan dan sosial 5. Upacara ini bersifat publik dan
terbuka, rahasia dan pengasingan. Dalam kehidupan masyarakat Jepang meraka
percaya bahwa manusia membutuhkan keyakinan-keyakinan, sentimen-sentimen
dan kesadaran kolektif untuk memperoleh identitas dan memperkuat moral.
Sehingga matsuri atau sirei ini dimunculkan untuk memunculkan sebuah ide
kolektif.
Kemudian fungsi Matsuri yang kedua adalah reisei “perayaan”. Reisei
“perayaan” ini diselenggarakan sebagai rasa syukur atas kehidupan baru yang
telah diperolehnya setelah melakukan proses pengubungan. Menurut Victor
Turner (1997) fase perpindahan dari kehidupan lama ke arah kehidupan baru
dinamakan dengan fase Liminalitas. Menurutnya bahwa fase liminalitas ketika
seseorang dalam keadaan “tidak dimana mana”, yaitu kondisi peserta upacara
menanggalkan segala atribut yang diperolehnya dari struktur tempat dia berada
sebelum memasuki fase ini. Setelah melewati fase ini maka peserta upacara akan
merasa lebih percaya diri dan penuh motivasi untuk menjalani kehidupannya.
Menurut Geerzt bahwa agama yang hidup memeberikan pengertian yang sama
terhadap ritual. Ritual memiliki makna solidaritas sosial (Durkheim, 1985 dalam
buku Mastsuri dan Kebudayaan korporasi Jepang).
Dengan itu dapat dikatakan bahwa fungsi matsuri secara umum dapat
digunakan sebagai salah satu sarana untuk menumbukan jiwa sosial. Seperti
diketahui bahwa orang Jepang memiliki solidaritas kelompok yang tinggi.Mereka
akan mengaku kuat kalau mereka dapat hidup dengan kelompok. Dengan
pelaksanaan matsuri ini maka diharapkan dapat membentuk semangat untuk hidup
berdampingan dan bersama-sama dalam menjalani kehidupannya. Walaupun tidak
melepaskan hubungan mereka terhadap nenek moyang mereka.

5
Ibid.,102

UNIVERSITAS INDONESIA
Selain itu, perkembangan dunia yang begitu cepat. Arus modernisasi yang
cepat merambah ke berbagai wilayah di dunia. Perkembangan fungsi matsuri juga
mengalami perubahan. Banyak di Jepang desa-desanya mengalami perubahan ke
dalam bentuk kota. Hal tersebut menjadikan pelaksanaan matsuri dan fungsi
sedikit berbeda. Apabila matsuri di laksanakan di desa, matsuri akan terasa lebih
sakral dan khitmad antara peserta dengan kami. Hubungan yang mereka jalankan
tidak jauh dari aspek pertanian. Berbeda dengan di Kota, mereka akan lebih
cenderung kepada penolakan bala atau mengusir bala bencana atau penyakit.
Selain itu, sedikitnya hubungan sosial yang terjadi di Kota terkadang
menyebabkan fungsi matsuri menjadi alat untuk bersosialisai. Dari beberapa
fungsi yang terjadi dapat di amati bahwa fungsi matsuri bagi masyarakat Jepang
mengambil peran sentral dalam kehidupannya. Tidak ada aktivitas tanpa
berhubungan dengan dewa atau kami. Hal tersebut juga membuktikan bahwa
masyarakat Jepang sangat berhati-hati dalam menjalan roda kehidupannya.

Makna-makna yang terkandung dalam Matsuri


Dalam pelaksanaannya matsuri saat ini sangat disesuaikan dengan zaman.
Hal ini tidak bisa dihindarkan karena perkembangan Jepang yang sangat cepat.
Banyak matsuri dilakukan sesuai dengan kepentingan dari setiap kepentingan
individu atau kelompok yang melakukannya. Salah satu tempat di daerah
Kyushu, matsuri dilaksankan dengan maksud untuk mendoakan keberhasilan
tangkapan ikan dan keberhasilan panen. Selain itu, matsuri dikaitkan dengan
keberhasilan dalam berbisnis, kesembuhan dan kekebalan terhadap penyakit,
keselamatan dari bencana, dan ucapan terima kasih karena telah berhasil
melaksanakan tugas yang berat.
Dengan berbagai variasi tujuan membuat matsuri menjadi semakin
komplek. Namun, pada dasarnya matsuri dimaksudkan sebagai cara untuk
mendekatkan diri pada dewa. Makna yang terkandung dalam matsuri sangatlah
luas. Berbagai aspek kehidupan baik ekonomi, politik dan budaya banyak yang
mengambil dari nilai nilai matsuri. Mereka melakukan berbagai kegiatan salah
satunya ekonomi dengan berlandaskan nilai nilai yang terkandung dalam matsuri.
Salah satunya terjadi dalam Perusahaan Hitachi. Dalam perusahaan tersebut

UNIVERSITAS INDONESIA
struktur yang dijalankan seperti tingkatan dalam matsuri. Perusahaan tersebut
menerapkan perbedaan-perbedaan dalam tingkatan structural, seperti superior-
inferior. Hal ini menyerupai esensi matsuri yaitu cerminan dari kekuatan yang
lemah. Perusahaan ini juga memiliki hubungan dengan Perusahaan ibu yaitu
Perusahaan Nikko. Hubungan kedua perusahaaan ini bersifat ikatan personal.
Sehingga hubungannya berlangsung karena kepentingan mereka dalam minat dan
perhatian yang berlangsung secara timbal balik bukan seperti hubungan
kekerabatan dalam kebudayaan Jepang, melainkan semacam hubungan hubungan
eklusif yang tidak menimbulkan persaingan antara korporasi Hitachi dengan
Nikko6.
Perusahaan ini dalam praktiknya mendapat perhatian. Hal ini disebabkan
bahwa perusahaan ini masih melakukan matsuri. Matsuri menjadi perhatian
karena relevansinya dengan data struktur, sistem kekerabatan, dinamika
pertumbuhan perusahaan dalam Hitachi yaitu soritsukinensai (upacara peringatan
pendirian jinja-perusahaan). Perusahaan ini melakukan beberapa matsuri seperti
Nyushashiki dan Jinja Soritsukinensai. Upacara Nyunshashiki adalah upacara
yang dilakukan menyambut anggota baru dalam perusahaan Hitachi. Dalam
upacara ini dilakukan dengan cara menanamkan jalan hidup perusahaan kedalam
kehidupan sehari hari. Upacara ini dilakukan supaya individu yang bekerja disitu
dapat melakukan apa yang harus dikerjakan dengan nilai-nilai yang dianut oleh
perusahaan.
Pada upacara ini pegawai baru dikenalkan dengan seluruh pimpinan atau
pun karyawan yang sudah bekerja di perusahan tersebut. Selanjutnya pegawai
baru diberi penjelasan mengenai berbagai aturan yang harus dilakukan. Pada
dasarnya matsuri ini dilakukan untuk penyampaian dan penegasan terhadap
kedudukan mereka dalam perusahaan tersebut. Pegawai disadarkan bahwa mereka
sudah pada posisi yang dewasa. Dimana sudah saatnya mereka memberikan
pelayanan kepada masyarakat. Setelah itu dilakukan proses inisiasi kepada seluruh
pegawai baru. Inisiasi ini dilakukan setelah satu minggu setelah upacara
penerimaan karyawan baru. Sehingga dapat dikatakan bahwa tujuan dari

6
Ibid., 183

UNIVERSITAS INDONESIA
pelaksanaan upacara ini adalah untuk menanamkan nilai-nilai matsuri dalam
pekerjaannya.

Kategori dan Klasifikasi Matsuri


Matsuri dapat dikategorikan ke dalam beberapa kategori. Pertama,
kategori saigi “ritus” dan reisei “perayaan”. Kedua kategori tersebut terkait
dengan hal yang sakral dan profan, dunia gaib-dunia nyata, kehidupan-kematian,
harmoni-kekacauan, agama-magi yang mengantrol kehidupan masyarakat. Saigi
merupakan kondisi dimana individu berada dalam kondisi dan situasi sei ‘dunia
yang sakral’ dan souk ‘dunia yang profan’. Keberadaan individu dalam
masyarakat tidak bisa dilepaskan dari aturan aturan yang harus di jiwai oleh
nenek moyangnya. Semua kegiatan tidak bisa berjalan sendiri tanpa ada ikut
campur dari para leluhur. Salah satu matsuri yang sering dilaksanakan adalah
matsuri yang berhubungan dengan panen pada masyarakat Jepang. Beberapa
dewa yang menjadi tumpuan terhadap tananaman padi mereka seperti
Daitoshigami, Ukanoomitagami, Gotoshimgamo, dan Ttoshigami. Semua dewa
yang disebutkan tersebut memiliki Toshi. Dengan Toshi ini diyakini sebagai dewa
yang dapat mendatangkan kesuburan tanaman padi dan juga sebagai dewa pada
musim semi.
Reisei selanjutnya dinamakan dengan ritus niiname. Matsuri ini
dilaksanakan pada musim gugur. Selain itu, terdapat matsuri yang dinamakan
Toshigai. Matsuri ini berlangsung pada musim semi dan setiap daerah memiliki
ciri khas masing-masing. Pelaksanaan matsuri pada musim gugur ini memiliki
makna perlindungan terhadap leluhur. Makna dalam matsuri ini terbagi kedalam
dua tingkatan yaitu nukiho dan kariagesai. Reisei merupakan cerminan
keberadaan individu atau masyarakat dari kondisi dalam dunia yang profane
(souk) setelah kembali dari dunia yang sakral (sei)7.
Matsuri ada kaitannya dengan aktivitas masyarakat Jepang dalam sehari-
harinya. Terutama dengan proses produksi padi yang mengikuti perubahan musim,
yaitu matsuri musim gugur dan musim semi yang diikuti dengan matsuri musim
panas untuk menghalau bencana dan matsuri akhir tahun sebagai sarana agar

7
Ibid., 115

UNIVERSITAS INDONESIA
dewa dapat turun ke bumi. Setiap musim matsuri yang dilaksanakan memiliki
makna yang berbeda-berbeda. Pelakasaannya pun juga memiliki karakteristik
tersendiri. Matsuri pada musim semi biasanya di awali dengan matsuri tahun baru
(shogatsu) sedangkan matsuri pada musim gugur diawali dengan matsuri memuja
arwah leluhur (bon). Pelaksanaan matsuri juga dapat di analogikan sebagai tubuh
yang setiap anggotanya saling berhubungan. Arttinya bahwa matsuri ini saling
berkaitan antara satu dengan yang lain. Dengan begitu masyarakat Jepang akan
melaksanakan matsuri dengan periodik dan tersusun.

Pelaksanaan Matsuri
Matsuri dilaksanakan oleh masyarakat Jepang biasanya dilaksanakan
secara publik. Masyarakat di sekitar daerah yang melaksanakan matsuri itu dapat
saling berkunjung. Kadang-kadang matsuri bisa dilaksanakan berurutan dari
setiap masing-masing daerah. Sehingga matsuri seperti tidak berhenti.
Pelaksanaan matsuri ini digunakan sebagai perayaan dan peringatan diluar
keberadaan manusia, yaitu yang gaib yang dianggagap sebagai gejalan budaya.
Dalam bukunya the Rites of Passage (1960 [1905). Van Gennep berargumen
bahwa:
“kejadian dalam kehidupan manusia terbagi atas tiga bagian, bukan
struktur kebudayaan terbagi atas dua. Ia yakin bahwa ada kecenderungan
umum pada masyarakat manusia untuk mengonsepsikan perubahan status
sebagai suatu model perjalanan dari satu kota atau negeri ke kota atau
negeri lain atau, sebagaimana dikatakannya, suatu “teritorial passage”
( van Gennep, 1960:18 dalam buku Antropologi Kontemporer)

Tiga bagian yang disebutan tersebut pertama, pemisahan;kedua, margin atau


limen; ketiga, reagresasi. Pada proses pertama atau pemisahan terjadi tindakan-
tindaan simbolik yang mana memberian tanda terhadap pelepasan individu atau
kelompok dari statusnya dalam strutur sosial. Kedua, liminaliti yaitu proses
dimana setiap individu atau kelompok memasuki ruang yang mana individu atau
kelompok tersebut tidak dapat berpindah kemana kemana, mereka di atur oleh
kategori-kategori masa sekarang dan masa lalu. Ketiga, reagresasi. Proses menjadi
penutup dalam fase-fase matsuri.
Secara umum, upacara matsuri ini dilakukan pada saat malam hari dengan
menyajikan yumike, yaitu sajian malam yang disediakan untuk para dewa dan

UNIVERSITAS INDONESIA
leluhur. Acara ini akan berakhir sampai pagi dengan ditandai adanya sajian
asamike. Dalam penyelenggaraan matsuri harus diperhatikan beberapa faktor
yang mendukung terlaksananya matsuri. Salah satunya yaitu sao. Sao merupakan
semacam tongkat yang diletakkan di tengah lokasi yang akan di adakan upacara
matsuri. Sao ini dapat berupa simbol simbol tertentu seperti pohon, tongkat, nisan
kuburan, dan tiang. Namun, saat ini yang paling banyak digunakan adalah
tongkat. Hal ini dikarenakan bahan-bahan yang lain sulit ditemukan.
Waktu penyelenggaraan matsuri dapat dilakukan dengan dua sistem
penanggalan yaitu masehi dan Kanshi (Penanggalan sistem Jepang). Biasanya
matsuri dilaksanakan pada waktu malam. Selain itu, pergantian musim juga
menjadi pertanda akan dilaksanakannya matsuri.

Keterkaitan agama Shinto dengan matsuri


Salah satu agama yang dianut masyarakat Jepang adalah agama Shinto.
Agama Shinto dianggap menjadi agama asli masyarakat Jepang. Sejak masa
Restorasi Meiji hingga akhir perang Dunia II, Shinto menjadi agama resmi di
Jepang. Dalam ajarannya Shinto menyembah kami (dewa). Namun setelah perang
dunia II ajaran ini banyak ditinggalkan. Mereka berpindah ke ajaran Budha.
Walaupun agama Shinto ditinggalkan namun masih banyak juga masyarakat yang
tetap melakukan ajaran Shinto. Mereka melaksanakan ajarannya melalui matsuri.
Masyarakat Jepang percaya bahwa roh nenek moyang mereka menempati
bermacam-macam objek natural yang jumlahnya sangat banyak. Dengan jumlah
roh-roh yang sangat itu berpengaruh terhadap pelaksanaan matsuri. Matsuri
menjadi sangat banyak dan bervariasi dilakukan oleh masyarakat. Mereka
melakukan matsuri di banyak tempat. Ada yang di sawah, digunung, dirumah dan
tempat yang mereka percayai dihuni oleh roh yang menempati tempat tersebut.
Tapi, mayoritas orang Jepang melaksanakan matsuri di jinja (kuil). Pemimpin
ynag memimpin upacara matsuri yaitu anushi (pendeta Shinto). Namun matsuri
bukanlah menjadi agama orang Jepang. Hal ini dikarenakan tidak disebutkan
dalam kitab suci ajarannya. Pengikut matsuri tidak dicatat menjadi salah satu
daftar kelompok agama. Matsuri hanyalah sebuah event yang memberikan
kesempatan untuk belajar tentang bagaimana bertingkah laku dalam
kehidupannya. Dengan melihat kondisi tersebut dapat dikatakan bahwa ajaran

UNIVERSITAS INDONESIA
agama Shinto dan pelaksanaan matsuri tidak dapat di pisahkan. Keduanya saling
melengkapi dan saling mengisi untuk mencapai tujuan yang diharapkan.

PENUTUP
Kesimpulan
Masyarakat Jepang sangat menjujung tinggi nilai-nilai leluhur mereka.
Mereka tidak serta merta menjadi bangsa yang maju lalu meninggalkan budaya

UNIVERSITAS INDONESIA
nenek moyang mereka. Matsuri menjadi salah satu komunikasi mereka terhadap
roh leluhurnya. Dengan matsuri mereka mampu merasa aman dan nyaman dalam
kehidupannya. Selain itu, matsuri juga menjadi cara bagi masyarakat Jepang
untuk mengatur status sosial mereka. Struktur yang tercipta dalam masyarakat
tidak bisa dilepaskan dari nilai-nilai yang terkandung dalam matsuri.
Walaupun dengan perubahan arus global yang begitu cepat. Matsuri tetap
menjadi salah upacara keagamaan yang menjadi favorit untuk dilaksanakan. Tidak
hanya dilakukan di jinja (kuil), matsuri juga dilaksanakan di berbagai tempat
salah satunya perusahaan. Nilai-nilai perusahaan ditransformasikan melalui
matsuri. Hal ini menjadikan fungsi matsuri tidak hanya sebagai sebuah upacara
ritual individu namun mampu menjadi alat untuk menyalurkan nilai dan gagasan
dari sebuah lembaga. Jadi, matsuri sebagai salah satu tradisi di Jepang
mengandung makna-makna yang terwujudkan dalam berbagai kegiatan
masyarakat Jepang.

Daftar Pustaka

Buku

UNIVERSITAS INDONESIA
Lawanda, Ike Iswary.2009. Matsuri dan kebudayaan Korporasi Jepang.
Yogyakarta: PT LKiS Printing Cemerlang
Saifuddin, Achmad Fedyani.2005. Antropologi Kontemporer Suatu pengantar
Kritis mengenai Paradigma. Jakarta:Kencana
Martinez D.P, Jan Van Bremen.1995.Ceremony and Ritual in Japan :Religious
Practices in an Industrialized Society. London: Routledge 11 New Fetter
Lane, London EC4P 4EE.
Yanagita, Ku nio. 1982. Nihon no Matsuri. Tokyo: Kado Kawa Bundo.
Lubis, Prakata Mochtar. Kekuatan Yang Membisu :Kepribadian dan Peranan
Jepang. Jakarta : Yayasan Obor Indonesia
Lawanda, Ike Iswari. 2005. Matsuri. Upacara Sosial dalam Masyarakat Jepang.
Jakarta: Wedhatama Widya Sastra
Anwar, Etty N. 2005. Eksistensi Agama Tradisional dan Agama Baru di Jepang.
Jakarta: Pusat Studi Jepang
Skripsi

Wulansari, Annisa Windupeni.2008. Hina Matsuri.., Skripsi. FIB. Dalam


http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/127187-rb08w432h-hina%20matsuri-
Pendahuluan.pdf diakses pada 8 Mei 2017 pukul 15.10 wib.
Nurhayati,Endah.2010. Makna yang terkandung dalam hiasan Tahun Baru di
Jepang.Skripsi.http://eprints.undip.ac.id/19566/1/Endah_Nurcahyati.pdf di
akses pada 8 Mei 2017 pukul 15.00 wib.

Jurnal
Andriyani, Sri Dewi.Eksistensi Agama Shinto Dalam Pelaksanaan Matsuri di
Jepang. Jurnal LINGUA CULTURA vol. 1 No.2 November 2007:132-141
dalam http://journal.binus.ac.id/index.php/Lingua/article/view/319/303 di
akses pada 9 Mei 2017 pukul 10.20 wib.
Devi, Rima.Shinto Bagi Bangsa Jepang. Hlm. 475-482 dalam
http://s3.amazonaws.com/academia.edu.documents/30302576/shinto_bagi
_bangsa_Jepang.pdf?

UNIVERSITAS INDONESIA
awsaccesskeyid=akiaiwowyygz2y53ul3a&expires=1494234414 di akses
pada 9 mei 2017 pukul 10.00 wib.
Suherman, Eman. Dinamika Masyarakat Jepang dari Masa Edo hingga Pasca
Perang Dunia II. Humaniora volume 16, No.2, Juni 2004:201-210

UNIVERSITAS INDONESIA

Anda mungkin juga menyukai