Anda di halaman 1dari 21

2.

PERIODISASI SASTRA INDONESIA

2.1 PUJANGGA LAMA

Pujangga lama merupakan bentuk pengklasifikasikan karya sastra Indonesia yang dihasilkan sebelum abad
ke-20, pada masa ini karya sastra didominasi oleh syair, pantun, gurindam, dan hikayat. Di Nusantara
budaya melayu klasik dengan pengaruh Islam yang kuat meliputi sebagian besar negara pantai Sumatra
dan semenanjung malaya. Di Sumatra bagian utara muncul karyakaya penting berbahasa melayu
terutama karya-karya keagamaan. Hamzah Pansuri adalah yang pertama diantara penulis angkatan
pujangga lama dari istana kesultanan Aceh pada abad ke-17 muncul karya klasik selanjutnya yang paling
terkenal adalah karya Syamsudin Pasai dan Abdul Rauf Singkir serta Nuruddin Arraniri.

Karya sastra pujangga lama

1. Hikayat

Hikayat Abdullah Hikayat Kalia dan Damina

Hikayat Aceh Hikayat masyidullah

Hikayat Amir Hamzah Hikayat Pandawa jaya

Hikayat Andaken Panurat Hikayat Panda Tonderan

Hikayat Bayan Budiman Hikayat Putri Djohar Munikam

Hikayat Hang Tuah Hikayat Sri Rama

Hikayat Iskandar Zulkarnaen Hikayat Jendera Hasan

Hikayat Kadirun Tasibul Hikayat

1. Syair

Syair Bidasari

Syair Ken Tambuhan

Syair Raja Mambang Jauhari

Syair Raja Siam

1. Kitab Agama

Syarab Al Asyidiqin (minuman para pecinta) oleh Hamzah Panzuri

Asrar Al-arifin (rahasia-rahasia gnostik) oleh Hamzah Panzuri

Nur ad-duqa’iq (cahaya pada kehalusan-kehalusan) oleh Syamsudin Pasai.

Bustan as-salatin (taman raja-raja) oleh Nuruddin Ar-Raniri.


2.2 SASTRA MELAYU LAMA

Karya satra yang dihasilkan antara tahun 1870-1942 yang berkembang dilingkungan masyarakat sumatra
seperti “Langkat, Tapanuli, Minangkabau dan Sumatra lainnya”, orang Tionghoa dan masyarakat Indo-
Eropa. Karya sastra pertama yang terbit sekitar tahun 1870 masih dalam bentuk syair, hikayat, dan
terjemahan novel barat. Karya Sastra Melayu Lama

Robinson Crousoe (terjemahan)

Lawan-lawan Merah

Grauf de Monte Cristo (terjemahan)

Rocambole (terjemahan)

Nyui Dasima oleh G. Prancis (indo)

Bung Rampai oleh A.F. Bewali

Kisah Perjanan Nahkoda Bontekoe

kisah Pelayaran ke Pulau Kalimantan

Cerita Siti Aisyah oleh H.F.R. Komer (indo)

Cerita Nyonya Kong Hong Nio

Nona Leonie

Warna Sari Melayu oleh Kat. S.J

Cerita Si Conat oleh F.D.J

2.3 ANGKATAN BALAI PUSTAKA

2.3.1 Angkatan Balai Pustaka

Angkatan Balai Pustaka lazim juga disebut Angkatan 20–an atau Angkatan Siti Nurbaya. Angkatan ini
merupakan titik tolak kesustraan Indonesia. Adapun ciriciri Angkatan Balai Pustaka adalah: menggunakan
bahasa Indonesia yang masih terpengaruh oleh bahasa Melayu, persoalan yang diangkat persoalan adat
kedaerahan dan kawin paksa, dipengaruhi kehidupan tradisi sastra daerah/lokal, dan cerita yang diangkat
seputar romantisme. Angkatan Balai Pustaka disebut juga Angkatan Siti Nurbaya, karena salah satu roman
yang sangat terkenal pada angkatan ini adalah Roman Siti Nurbaya. Berikut ini dapat kita pelajari bersama
sinopsis Roman Siti Nurbaya. Siti Nurbaya adalah roman yang ditulis oleh Marah Rusli. Roman ini
menceritakan tentang pemuda yang bernama Samsul Bahri, dengan kekasihnya Siti Nurbaya, dan Datuk
Maringgih. Datuk Maringgih dengan keserakahannya menginginkan Siti Nurbaya untuk menjadi istrinya
yang kesekian. Dengan licik ia beserta kaki tangannya berhasil menghancurkan perniagaan Baginda
Sulaiman, ayah Siti Nurbaya. Karena terlibat utang yang tak akan terbayar oleh Baginda Sulaiman, akhirnya
Datuk Maringgih berhasil menikahI Siti Nurbaya. Ia dengan terpaksa mengikuti keinginan Datuk Maringgi
karena tidak rela ayahnya dipenjara. Samsul Bahri sangat mencintai Siti Nurbaya, berusaha untuk bunuh
diri, tetapi gagal. Kemudian, ia menyamar menjadi Letnan Mas setelah bergabung dengan Kompeni
Belanda. Ketika terjadi perang antara Belanda dengan masyarakat Sumatera Barat, Letnan Mas bertempur
dengan Datuk Maringgih. Akhir cerita, semua tokoh penting dalam cerita ini meninggal dunia. Mereka
dimakamkan di Gunung Padang. Melalui cerita ini, dapat kita ketahui bahwa kaum perempuan di masa
itu, masih terpinggirkan atau belum mendapatkan kesetaraan. Walaupun Siti Nurbaya berasal dari
keluarga kaya, ia tidak boleh meneruskan pendidikannya setamat dari sekolah rakyat. Hal ini disebabkan
karena adanya anggapan perempuan tidak perlu bersekolah tinggi. Perempuan cukup mengabdi kepada
suami atau mengurusi rumah tangga. Selain itu, pengaruh tradisi dan adat masih sangat kuat, sehingga
siapa pun yang melanggarnya akan dijadikan bahan pembicaraan di masyarakat. Berikut ini contoh lain
karya sastra pada masa Angkatan Balai Pustaka, yaitu berupa roman dan kumpulan puisi. Karya berupa
roman antara lain Azab dan Sengsara (Merari Siregar), Muda Teruna (Adi Negoro) , Salah Pilih (Nur St.
Iskandar) dan Dua Sejoli (M. Kasim dkk.). Karya berupa kumpulan puisi antara lain Percikan Permenungan
(Rustam Effendi) dan Puspa Mega (Sanusi Pane).

2.3.2 Pembentukan Balai Pustaka

Segolongan kecil masyarakat Hindia Belanda telah membaca karya sastra yang berbentuk novel dalam
bahasa Melayu beberapa puluh tahun sebelum Sitti Nurbaya karya Marah Rusli diterbitkan Balai Pustaka
pada 1922. Oleh beberapa kritikus, novel tersebut dianggap novel penting pertama dalam sejarah
kesusastraan Indonesia modern[19], tetapi hal itu tidak berarti bahwa sebelumnya tidak ada novel yang
pantas dibicarakan. Dua tahun sebelumnya penerbit yang sama mengeluarkan Azab dan Sengsara karya
Merari Siregar, dan pengarang yang sama telah menerbitkan sebuah novel saduran, Si Jamin dan si Johan,
pada 1919. Sejak 1920-an Balai Pustaka sebagai penerbit resmi pemerintah kolonial memegang tugas
penting dalam penerbitan buku-buku berbahasa Melayu; banyak di antara buku terbitannya itu kemudian
dianggap penting dalam perkembangan sastra Indonesia modern. Namun, sebelum dan semasa Balai
Pustaka ada beberapa penerbit swasta yang berani menerbitkan novel baik berdasarkan pertimbangan
komersial maupun ideal. Dari segi perkembangan kesusastraan kita, Balai Pustaka tampak sebagai
pencetus atau pendorong utama kesusastraan Indonesia modern; ditinjau dari segi sosial politik, badan
itu sesungguhnya merupakan akibat dari suatu pergeseran sikap pemerintah kolonial pada waktu itu
terhadap perkembangan pendidikan dan hasil-hasilnya. Pergeseran sikap itu merupakan akibat pula dari
perubahan sosial yang ada, terutama sekali yang menyangkut golongan pribumi. Dalam sebuah brosur[20]
kita dapat membaca pandangan pemerintah kolonial sendiri tentang perubahan sosial tersebut. Mula-
mula kebanyakan pribumi yang mempunyai keinginan belajar sudah merasa puas apabila mereka sudah
bisa membaca dan menulis huruf Arab. Biasanya mereka itu tidak mempunyai keinginan untuk
melanjutkan pelajaran sesuai dengan sistem pendidikan modern yang ada pada waktu itu. Pemerintah
colonial menyesuaikan sekolah-sekolah yang didirikannya dengan keinginan yang tidak muluk-muluk itu.
Maksud pendirian sekolah semacam itu adalah untuk melatih calon pegawai rendah yang diharapkan
dapat melaksanakan pekerjaan administrasi sederhana. Di samping sekolah semacam itu ada juga sekolah
yang disediakan khusus untuk keluarga bangsawan rendah; sekolah itu diharapkan dapat menghasilkan
pegawai menengah yang cakap melakukan kerja administrasi yang lebih rumit. Kalangan orang pribumi
yang bersekolah pada waktu itu praktis tidak usah merisaukan hari depannya; pekerjaan sudah tersedia
baginya. Karena tidak ada keharusan “berjuang” untuk mendapatkan pekerjaan, hampir semua merasa
puas dengan yang diterima di sekolah saja. Sedikit sekali usaha untuk mendapatkan pengetahuan lebih
lanjut di luar sekolah. Namun, kebangkitan bangsa-bangsa Asia ternyata ada juga pengaruhnya terhadap
sikap serupa itu. Di kalangan kaum pribumi mulai tumbuh keyakinan dan harga diri yang lebih bulat, dan
sebagai akibatnya terasa kebutuhan akan pendidikan lebih lanjut, yang tidak lain merupakan pendidikan
Eropa. Bahkan di kalangan masyarakat yang paling rendah pun terasa adanya kebutuhan akan pendidikan
dasar. Pemerintah Belanda tidak bisa berbuat lain kecuali memenuhi

tuntutan itu: bermacam-rnacam sekolah didirikan di pelbagai kota;

yang tertinggi adalah Sekolah Kedokteran, Sekolah Teknik, dan

Sekolah Hukum.

Penyediaan pendidikan untuk massa selalu mengandung

konsekuensi sosial politik; hal ini dipahami benar oleh pemerintah.

Pemerintah mengharapkan dua hal penting: pertama, dengan fasilitas

yang ada pengetahuan yang didapat di sekolah-sekolah itu bisa

dimanfaatkan secara “wajar”; kedua, pendidikan bukan merupakan

keuntungan kelompok kecil masyarakat saja, tetapi bisa membagikan

manfaat merata bagi seluruh penduduk—baik dari segi moral maupun

kultural. Pemerintah kolonial juga menyadari bahwa tidak banyak

gunanya mendidik orang apabila di luar sekolah tidak tersedia sarana

yang bisa mengembangkan kepandaian. Dalam hal ini sarana yang

penting berupa buku bacaan. Sangat berbahaya apabila pendidikan dilaksanakan tanpa

penyediaan santapan rohani yang sehat. Apabila

bacaan yang baik tidak tersedia di masyarakat, dikhawatirkan

para pemuda yang sudah mampu membaca dan menulis itu akan

terjerumus membaca “bacaan liar” yang diterbitkan oleh penerbitpenerbit

“tak bertanggung jawab dan para agitator.”

Pandangan serupa itu timbul sebelum Balai Pustaka didirikan,

sekitar tahun-tahun pertama abad ke-20. Ketakutan pemerintah

kolonial terhadap penerbit “tak bertanggung jawab” dan para

“agitator” itu menunjukkan bahwa sebelum Balai Pustaka sudah ada

beberapa penerbit swasta yang mengusahakan bacaan. Penerbitpenerbit

swasta ini biasanya dipimpin oleh keturunan Tionghoa

atau Belanda, dan mendasarkan kegiatan mereka pada keuntungan

materi semata-mata. Tentu saja penerbit semacam itu tidak peduli


benar apakah terbitannya merupakan santapan rohani yang sehat

atau bukan—menurut ukuran pemerintah kolonial.

Akhirnya pemerintah memutuskan untuk mendirikan badan

penerbit yang bertugas menyediakan bacaan bagi pemuda-pemuda

yang sudah mendapat pendidikan membaca dan menulis. Buku-buku

itu diharapkan dapat memenuhi selera dan minat baca mereka, di

samping untuk menjaga agar mereka tidak kehilangan keterampilan

membaca dan menulis. Juga diharapkan agar buku-buku itu dapat

menambah pengetahuan pembaca. Tugas badan penerbit serupa itu

memang berat: menyediakan bahan bacaan yang bidangnya lebih

luas dari jangkauan sekolah-sekolah pada umumnya, memerangi

keterbelakangan di segala segi kehidupan, dan membebaskan

masyarakat dari takhayul dan tradisi kolot. Ditekankan pula bahwa

usaha menyediakan bahan bacaan itu haruslah dapat menjauhkan

rakyat dari hal-hal yang bisa merusakkan kekuasaan pemerintah danketenteraman negeri.

Hampir tanpa kecuali novel-novel 1920-an yang biasa

dibicarakan dalam kesusastraan Indonesia adalah terbitan Balai

Pustaka, meskipun di luar itu juga ada juga cerita rekaan yang

diterbitkan oleh “penerbit liar”. Penerbit semacam itu sudah ada

sejak akhir abad ke-19, yang diterbitkannya adalah cerata-cerita

dalam bahasa “Melayu Rendah”.[21 ]

Pengarang-pengarangnya adalah

golongan keturunan Tionghoa yang kebanyakan menulis untuk

golongannya sendiri. Mula-mula yang ditulis adalah saduran berbagai

cerita Tionghoa klasik, dan hanya pada perkembangan selanjutnya

juga diciptakan novel-novel asli yang kebanyakan bermain di dalam

masyarakat Tionghoa di Hindia Belanda, dengan tokoh-tokoh

utama keturunan Tionghoa pula. Tujuannya semata-mata mencari

keuntungan materi. Penerbit-penerbit itu ditakuti pemerintah sebab


tidak begitu memperhatikan segi moral dan pendidikan dalam bukubuku

terbitannya.

19 H.B. Jassin, Kesusastraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Esei I (Jakarta:

Gunung Agung, 1953); A.H. Johns, “The Novel as a Guide to Indonesian Social

History”, BKI: 1959; Ajip Rosidi, Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia (Bandung:

Binacipta, 1976); C.W. Watson. “The Sociology of the Indonesian Novel 1920-1955,

Tesis Ph.D. (Kingston upon Hull: University of Hull, 1972).

20 B. Th. Brondgeest dan G.W.J. Drewes, Bureau voor de Volkslectuur/The Bureau of

Popular Literature of Netherlands India. What It is and What It Does (Weltevreden:

Bureau voor de Volkslectuur, 1929).

21 Nio Joe Lan, Sastra Indonesia-Tionghoa (Jakarta: Gunung Agung, 1962).

2.3.3 Peran Balai Pustaka

Dalam perkembangan selanjutnya, Balai Pustaka dianggap memegang

peranan penting dalam penerbitan novel di Indo nesia, tidak hanya

yang ditulis dalam bahasa Melayu tetapi juga yang ditulis dalam

bahasa daerah seperti Jawa dan Sunda. Jaringan perpustakaan rakyat,

perpustakaan sekolah, dan toko buku yang diatur sangat rapi oleh

penerbit pemerintah itu banyak membantu penyebaran buku-buku

terbitannya. Meningkatnya minat baca menyebabkan Balai Pustaka

harus secara aktif mencari naskah agar judul-judul buku yang

diterbitkannya semakin banyak. Dan atas dasar itulah rupanya sejak

awal perkembangannya, kesusastraan Indonesia sudah mengenal

sayembara mengarang. Dalam hal ini ternyata Balai Pustaka adalah

juga salah satu pelopornya. Salah satu sayembara mengarang

diselenggarakan penerbit itu pada 1937. “Perlumbaan Mengarang”

tersebut antara lain diumumkan dalam Pedoman Pembaca 1937.

Pengumuman tersebut ternyata bisa menjadi bahan yang sangat penting untuk mengetahui apa

sebenarnya pandangan penerbit

pemerintah itu terhadap kesusastraan. Dari pengumuman tentang


syarat-syarat sayembara mengarang itu dapat ditarik kesimpulan

antara lain sebagai berikut.

Pertama, anggapan Balai Pustaka bahwa novel adalah

tiruan kejadian-kejadian penting dalam kehidupan manusia, yang

dapat mengajar pembaca dengan cara yang menarik hati; “. . . makin

banyak kejadian yang penting-penting itu, makin banyak seseorang

mengalami dalam kehidupannya, makin banyak soal yang sulit-sulit

harus diselesaikannya, maka lukisan sekaliannya itu dalam sebuah

buku akan makin lebih menarik hati kita pula.”

Kedua, Balai Pustaka berpendapat bahwa dalam novel unsurunsur

formalnya harus memiliki hubungan yang erat. Penokohan

harus erat hubungannya dengan alur agar karang an tidak sekadar

merupakan verslag belaka. Yang penting bukan sekadar keganjilan

pengalaman yang diungkapkan tetapi “sikap dan akhlaknyalah (si

tokoh) yang terutama harus jadi dasar dan pokok penyelesaian soalsoal

itu.”

Ketiga, Balai Pustaka beranggapan bahwa novel ditulis secara

realistis, “Segala yang diceritakan itu hendaklah berjalan seperti yang

sebenarnya mungkin terjadi.” Hanya dengan cara itulah semangat dan

akhlak tokoh dapat kita pahami sebaik-baiknya.

Keempat, penokohan yang ternyata dianggap lazim oleh

penerbit itu adalah cara hitam-putih.Melayu dan daerah.

Pengumuman sayembara itu juga memberikan beberapa

keterangan penting mengenai posisi sastra Melayu pada waktu itu.

Sayembara itu terbuka bagi siapa saja dan karangan boleh ditulis

dalam bahasa Melayu, Jawa, atau Sunda. Seorang pengarang hanya

boleh memasukkan sebuah karang an. Dalam Pedoman Pembaca tahun

berikutnya (1938:19) diberitahukan bahwa jumlah karangan yang

diterima redaksi Balai Pustaka sebanyak 433 naskah terbagi dalam


232 ber bahasa Jawa, 147 berbahasa Melayu, dan 54 naskah dalam

bahasa Sunda. Sayembara yang meliputi penulisan karangan ilmu

pengetahuan populer dan sastra itu menghasilkan naskah populer

berbahasa Melayu sebanyak 26, berbahasa Jawa 25, dan berbahasa

Sunda 6. Jadi naskah novel yang masuk adalah 207 dalam bahasa

Jawa, 121 dalam bahasa Melayu, dan 38 dalam bahasa Sunda. Angkaangka

itu dengan jelas membuktikan bahwa setidaknya sampai pada

akhir 1930-an, pengarang ber bahasa Jawa masih jauh lebih banyak

daripada yang ber bahasa Melayu. Namun perhatian Balai Pustaka

ternyata lebih banyak ditujukan kepada penerbitan yang berbahasa

Melayu, yang untuk konsumsi kaum yang lebih maju, meski pun tidak

sedikit judul buku yang dicetak dalam tiga bahasa sekaligus.

Sayembara yang diadakan Balai Pustaka itu menunjukkan

bahwa novel dibutuhkan. Ternyata kebutuhan akan novel itu

dipenuhi juga oleh beberapa penerbit swasta yang sama sekali

menggantungkan hidup mereka dari penjualan buku ter bitan mereka.

Oleh sebab itu wajar apabila penerbit swasta itu memiliki kriteria

sendiri dalam penerbitannya. Kalau Balai Pustaka beranggapan

bahwa novel harus memberikan pe ngajaran kepada pembaca, maka

penerbit swasta berpendapat bahwa novel harus dapat memberikan keuntungan bagi penerbit.

Dengan demikian orientasinya bukanlah

pada kebijakan pendidikan pemerintah kolonial, melainkan pada

pasar. Yang diterbitkan adalah yang menurut perkiraan menjadi

kesukaan pembaca.

2.3.4 Sikap Balai Pustaka

Dalam bukunya tentang Sastra Indonesia-Tionghoa, Nio Joe Lan

menjelaskan bahwa sejak 1925 para pengarang dalam Melayu-

Tionghoa mendapat kesempatan agak besar untuk menerbitkan

karyanya. Pada tahun itu terbit Penghidupan dan Cerita Roman di


Surabaya, dua penerbitan yang masing-masing setiap bulannya

mengeluar kan sebuah novel. Keberhasilan kedua penerbit itu disusul

oleh beberapa penerbitan lain di pelbagai kota di Jawa, dan kegiatan

penerbitan semacam itu mencapai puncaknya pada 1930-an dan

berakhir pada masa pendudukan Jepang.

Di samping berbagai penerbit novel Melayu-Tionghoa

itu, di beberapa kota ada beberapa penerbit yang mencari untung

dengan menerbitkan novel murahan, yang kemudian lebih dikenal

sebagai “roman picisan”. Kota yang terkenal sebagai pusat penerbitan

semacam itu adalah Medan. Suatu hal yang menarik tentang para

pengarang novel-novel itu adalah bahwa beberapa di antara mereka

ternyata juga menulis untuk Balai Pustaka. Bahkan ada beberapa

buku yang mula mula diterbit kan sebagai “roman picisan” kemudian

dicetak ulang oleh Balai Pustaka. Dalam hal nilai memang kadangkadang

sulit untuk menarik garis yang tegas antara novel-novel

terbitan Medan (dan Padang) itu dengan beberapa novel Balai Pustaka

(Modern Indonesian Literature I, 35).

Perkembangan penerbitan buku itu rupanya membuat Balai

Pustaka agak khawatir. Dekade 1930-an memang merupakan dekade

pertama dalam sejarah sastra Indonesia yang menyaksikan ledakan

penerbitan novel. Dalam sebuah artikel “Tanggung Jawab Penerbit”

yang dimuat dalam Pedoman Pembaca (1938) majalah terbitan Balai

Pustaka, redaksi menulis antara lain:

Selama golongan kritisi itu belum lahir, maka kewajiban memberi

kritik itu jatuh pada kaum penerbit. Dalam Pedoman Pembaca No.

10 sudah kami terangkan perkara kewajiban penerbit, mesti selalu

awas-awas, jangan diterima nya sembarang karangan. Penerbit itu

mesti pandai dalam bermacam-macam perkara. Karena golongan

kritisi itu belum lahir, kewajiban memberi kritik itu mesti jatuh
pada nya, maka pertanggungannya memang sangat berat, lebih

daripada di negeri lain-lain. Moga-moga penerbit partikulir lambat

laun lebih berani menambah syarat-syaratnya untuk menerima

karangan. Kalau ada terbit karangan yang bukan- bukan, salah

terbesar bukan tanggungan pengarang, melain kan tanggungan

penerbit. Kalau penerbit suka menambah syarat-syaratnya, maka

dengan sendirinya pengarang akan berhati-hati.

“Yang bukan-bukan” bagi Balai Pustaka berarti yang tidak

sesuai dengan garis kebijaksanaan pemerintah dalam soal penerbitan

buku bacaan. Karangan yang buruk bisa dengan leluasa beredar di

masyarakat karena belum ada kritikus yang baik. Jabatan kritikus itu

biasanya dirangkap oleh wartawan yang biasanya melakukan ulasan

dengan serampangan.

Artikel dalam Pedoman Pembaca itu adalah tanggapan terhadap

sebuah artikel yang dimuat dalam harian Pewarta Deli, Medan, 16

Nopember 1938, tentang tanggung jawab pengarang. Artikel yang

sebagian dikutip oleh Pedoman Pembaca itu antara lain menyebutkan bahwa “zaman sekarang

pasar buku kebanjiran kitab-kitab yang

berbahasa Melayu.” Selanjutnya dikatakan,

Keadaan itu adalah tanda bahwa publik sudah tahu menghargakan

pembacaan dan mau mengurbankan uangnya untuk membeli kitabkitab

yang berfaedah. Satu tanda bukti yang menggembirakan,

sebab nyata perubahan itu menuju kemajuan rohani. Lain daripada

itu adalah pener bitan kitab-kitab itu menunjukkan bertambah

banyaknya kaum pengarang di antara bangsa kita, serta pula

memberi bukti, bahwa kaum pencetak sudah mulai melihat adalah

penerbitan buku-buku itu, walaupun tidak lekas dan segera banyak,

tapi sekadarnya ada juga mendatangkan keuntungan lumayan.

Meskipun secara keseluruhan bersikap positif, penulis artikel


tersebut sempat menyayangkan bahwa mutu buku-buku bacaan yang

diterbitkan pada waktu itu semakin lama semakin menurun. Semakin

banyak pengarang dan buku ternyata tidak menyebabkan peningkatan

mutu buku-buku tersebut. Sangat sulit mencari buku bagus waktu

itu. Rupanya kebanyakan pengarang menulis secara seram pangan

saja. Keadaan yang sedemikian itulah yang memberi kan tugas kepada

wartawan untuk bertindak sebagai “kritikus”, untuk memberi tahu

pembaca mana karangan yang baik dan yang mana yang buruk.

Tentang tugas tambahan bagi wartawan itu ternyata Balai

Pustaka berpendirian lain. Wartawan tidak bisa dibebani tugas

sebagai penyeleksi karya sastra. Dan selama belum ada kritikus yang

benar-benar mantap, tugas para penerbitlah untuk bertindak sebagai

kritikus. Penerbit harus ketat men yensor buku-buku yang akan

diterbitkannya. Jadi sebenarnya penerbitlah yang mendidik pembaca.

Dan Balai Pustaka rupanya berusaha keras untuk mempertahankan

pendirian semacam itu, pendirian yang bisa saja “memaksa” pengarang untuk memperhatikan

kehendak penerbit dan bukan kehen dak

publik atau kehendaknya sendiri.

Hasil sikap semacam itu muncul dalam berbagai bentuk. Ada

novel yang ditolak Balai Pustaka karena dari segi pendidikan dan sikap

hidup tidak memenuhi kriterianya. Ada beberapa novel yang ditulis

berdasarkan kerja sama antara pengarang dan redaktur. Dan praktis

semua novel keluaran Balai Pustaka harus tunduk pada penggunaan

bahasa Melayu gaya Balai Pustaka—yang kemudian dianggap sebagai

semacam ragam bahasa sastra sebelum perang. Dan sikap yang bisa

disebut “kaku” dari segi stilistika dan tematik itu menyebabkan

beberapa pihak kemudian mengembangkan sikap tersendiri dalam

memberikan “pengajaran” kepada pembacanya.

2.3.5 Detail dan Ciri


Angkatan Balai Pustaka

Nama penerbit balai pustaka sudah tidak asing lagi bagi masyarakat terpelajar Indonesia karena

sekarang balai pustaka merupakan salah satu penerbit besar yang banyak memproduksi

berbagai jenis buku. Nama tersebut telah bertahan selama lebih dari 90 tahun, kalau dihitung

dari berdirinya pada tahun 1917 yang merupakan pengukuhan Komisi untuk Sekolah Bumiputra

dan Bacaan Rakyat (commissie voor de inlandsche school en volkslectuur) yang didirikan oleh

pemerintah colonial belanda pada 14 september 1908. Jelas bahwa badan penerbit itu

merupakan organ pemerintah colonial yang semangatnya boleh dikatakan berseberangan

dengan penerbit-penerbit swasta, baik yang semata-mata bervisi komersial maupun bervisi

kebangsaan. Akan tetapi, mengingat sejarahnya yang panjang itu maka sepantasnya menjadi

bagian khusus dalam pengkajian aatau telaah sejarah sastra Indonesia.

Secara teoretis dapat dikatakan banyak masalah yang dapa diungkapkan ari balai pustaka

selama ini, antara lain visi dan misi, status, program kerja, para tokoh, kebijakan redaksi,

pengarang, distribusi, dan produksi. Telaah semacam itu dapat dijadikan pengkajian sejarah

mikro yang pasti relevan dengan sejarah makro sastra Indonesia. Ditambah dengan pengkajian

berbagai gejala yang berkembang di sekitarnya pastilah memperluas wawasan pengetahuan

masyarakat. Mungkin saja kemudian berkembang pendapat bahwa balai pustaka ternyata bukan

satu-satunya penerbit pada tahun 1920-an membuka tradisi sastra modern, atau justru dilupakan

saja karena berjejak colonial.

Ciri-ciri umum roman angkatan balai pustaka:

1. Bersifat kedaerahan, karena mengungkapkan persoalan yang hanya berlaku di daerah

tertentu, khususnya Sumatra barat.

2. Bersufat romantic-sentimental, karena ternyata banyak roman yang mematikan tokohtokohnya

atau mengalami penderitaan yang luar biasa.

3. Bergata bahasa seragam, karena dikemas oleh redaksi balai pustaka, sehingga gaya

bahsanya tidak berkembang.

4. Bertema sosial, karena belum terbuka kesempatan mempersoalkan masalah polotik, watak,

agama, dan lain-lain.

2.3.6 Tokoh-Tokoh
2.3.6.1 Abdul Muis

Abdul muis (lahir di solok, Sumatra barat, tahun 1886, meninggal di bandung 17 juli 1959),

Pendidikan terakhirnya adalah di Stovia (sekolah kedokteran, sekarang Fakultas Kedokteran

Universitas Indonesia), Jakarta akan tetapi tidak tamat. Ia juga pernah menjadi anggota

Volksraad yang didirikan pada tahun 1916 oleh pemerintah penjajahan Belanda. Ia dimakamkan

di TMP Cikutra – Bandung dan dikukuhkan sebagai pahlawan nasional oleh Presiden RI,

Soekarno, pada 30 Agustus 1959 (Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 218 Tahun

1959, tanggal 30 Agustus 1959).

Karir yang pernah dia jalani :Dia pernah bekerja sebagai klerk di Departemen Buderwijs en

Eredienst dan menjadi wartawan di Bandung pada surat kabar Belanda, Preanger Bode, harian

Kaum Muda dan majalah Neraca pimpinan Haji Agus Salim. Selain itu ia juga pernah aktif dalam

Syarikat Islam dan pernah menjadi anggota Dewan Rakyat yang pertama (1920-1923). Setelah

kemerdekaan, ia turut membantu mendirikan Persatuan Perjuangan Priangan.

Riwayat Perjuangan melawan penjajah antara lain :

1. Mengecam tulisan orang-orang Belanda yang sangat menghina bangsa Indonesia melalui

tulisannya di harian berbahasa Belanda, De Express

2. Pada tahun 1913, menentang rencana pemerintah Belanda dalam mengadakan perayaan

peringatan seratus tahun kemerdekaan Belanda dari Perancis melalui Komite Bumiputera

bersama dengan Ki Hadjar Dewantara

3. Pada tahun 1922, memimpin pemogokan kaum buruh di daerah Yogyakarta sehingga ia

diasingkan ke Garut, Jawa Barat

4. Mempengaruhi tokoh-tokoh Belanda dalam pendirian Technische Hooge School – Institute

Teknologi Bandung (ITB)

Karya-karyanya yang terkenal :

1. Salah Asuhan (novel, 1928, difilmkan Asrul Sani, 1972)

2. Pertemuan Jodoh (novel, 1933)

3. Surapati (novel, 1950)

4. Robert Anak Surapati(novel, 1953)

Novel asing yang pernah diterjemahkan oleh Abdul Muis antara lain :
1. Don Kisot (karya Cerpantes, 1923)

2. Tom Sawyer Anak Amerika (karya Mark Twain, 1928)

3. Sebatang Kara (karya Hector Melot, 1932)

4. Tanah Airku (karya C. Swaan Koopman, 1950)

2.3.6.2 Marah Rusli

Marah Rusli, sang sastrawan itu, bernama lengkap Marah Rusli bin Abu Bakar. Ia dilahirkan di

Padang pada tanggal 7 Agustus 1889. Ayahnya, Sultan Abu Bakar, adalah seorang bangsawan

dengan gelar Sultan Pangeran. Ayahnya bekerja sebagai demang. Marah Rusli mengawini gadis

Sunda kelahiran Bogor pada tahun 1911. Mereka dikaruniai tiga orang anak, dua orang laki-laki

dan seorang perempuan. Perkawinan Marah Rusli dengan gadis Sunda bukanlah perkawinan

yang diinginkan oleh orang tua Marah Rusli, tetapi Marah Rusli kokoh pada sikapnya, dan ia

tetap mempertahankan perkawinannya.

Meski lebih terkenal sebagai sastrawan, Marah Rusli sebenarnya adalah dokter hewan. Berbeda

dengan Taufiq Ismail dan Asrul Sani yang memang benar-benar meninggalkan profesinya

sebagai dokter hewan karena memilih menjadi penyair, Marah Rusli tetap menekuni profesinya

sebagai dokter hewan hingga pensiun pada tahun 1952 dengan jabatan terakhir Dokter Hewan

Kepala. Kesukaan Marah Rusli terhadap kesusastraan sudah tumbuh sejak ia masih kecil. Ia

sangat senang mendengarkan cerita-cerita dari tukang kaba, tukang dongeng di Sumatera Barat

yang berkeliling kampung menjual ceritanya, dan membaca buku-buku sastra. Marah Rusli

meninggal pada tanggal 17 Januari 1968 di Bandung dan dimakamkan di Bogor, Jawa Barat.

Dalam sejarah sastra Indonesia, Marah Rusli tercatat sebagai pengarang roman yang pertama

dan diberi gelar oleh H.B. Jassin sebagai Bapak Roman Modern Indonesia. Sebelum muncul

bentuk roman di Indonesia, bentuk prosa yang biasanya digunakan adalah hikayat. Marah Rusli

berpendidikan tinggi dan buku-buku bacaannya banyak yang berasal dari Barat yang

menggambarkan kemajuan zaman. Ia kemudian melihat bahwa adat yang melingkupinya tidak

sesuai lagi dengan perkembangan zaman. Hal itu melahirkan pemberontakan dalam hatinya yang

dituangkannya ke dalam karyanya, Siti Nurbaya. Ia ingin melepaskan masyarakatnya dari

belenggu adat yang tidak memberi kesempatan bagi yang muda untuk menyatakan pendapat

atau keinginannya.
Dalam Siti Nurbaya, telah diletakkan landasan pemikiran yang mengarah pada emansipasi

wanita. Cerita itu membuat wanita mulai memikirkan akan hak-haknya, apakah ia hanya

menyerah karena tuntutan adat (dan tekanan orang tua) ataukah ia harus mempertahankan

yang diinginkannya. Ceritanya menggugah dan meninggalkan kesan yang mendalam kepada

pembacanya. Kesan itulah yang terus melekat hingga sampai kini. Setelah lebih delapan puluh

tahun novel itu dilahirkan, Siti Nurbaya tetap diingat dan dibicarakan.

Selain Siti Nurbaya, Marah Rusli juga menulis beberapa roman lainnya. Akan tetapi, Siti Nurbaya

itulah yang terbaik. Roman itu mendapat hadiah tahunan dalam bidang sastra dari Pemerintah

Republik Indonesia pada tahun 1969 dan diterjemahkan ke dalam bahasa Rusia.Karya-karyanya

yang terkenal antara lain :

1. a)Siti Nurbaya. Jakarta : Balai Pustaka. 1920 mendapat hadiah dari Pemerintah RI tahun

1969.

2. b)La Hami. Jakarta : Balai Pustaka. 1924.

3. c)Anak dan Kemenakan. Jakarta : Balai Pustaka. 1956.

4. d)Memang Jodoh (naskah roman dan otobiografis)

5. e)Tesna Zahera (naskah Roman)

2.3.6.3 Merari Siregar

Merari Siregar (lahir di Sipirok, Sumatera Utara pada 13 Juli 1896 dan wafat di Kalianget,

Madura, Jawa Timur pada 23 April 1941) adalah sastrawan Indonesia angkatan Balai Pustaka.

Setelah lulus sekolah Merari Siregar bekerja sebagai guru bantu di Medan. Kemudian dia pindah

ke Jakarta dan bekerja di Rumah Sakit CBZ (sekarang Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo).

Terakhir pengarang ini pindah ke Kalianget, Madura, tempat ia bekerja di Opium end Zouregie

sampai akhir hayatnya.

Karya-karyanya yang terkenal adalah

1. a)Azab dan Sengsara. Jakarta: Balai Pustaka. Cet. 1 tahun 1920,Cet.4 1965.

2. b)Binasa Karena Gadis Priangan. Jakarta: Balai Pustaka 1931.

3. c)Cerita tentang Busuk dan Wanginya Kota Betawi. Jakarta: Balai Pustaka 1924.

4. d)Cinta dan Hawa Nafsu. Jakarta: t.th.

5. e)Si Jamin dan si Johan. Jakarta: Balai Pustaka 1918.


2.3.6.4 Nur Sutan Iskandar

Nur Sutan Iskandar (Sungai Batang, Sumatera Barat, 3 November 1893 – Jakarta, 28 November

1975) adalah sastrawan Angkatan Balai Pustaka.

Nur Sutan Iskandar memiliki nama asli Muhammad Nur. Seperti umumnya lelaki Minangkabau

lainnya Muhammad Nur mendapat gelar ketika menikah. Gelar Sutan Iskandar yang diperolehnya

kemudian dipadukan dengan nama aslinya dan Muhammad Nur pun lebih dikenal sebagai Nur

Sutan Iskandar sampai sekarang.

Setelah menamatkan sekolah rakyat pada tahun 1909 Nur Sutan Iskandar bekerja sebagai guru

bantu. Pada tahun 1919 ia hijrah ke Jakarta. Di sana ia bekerja di Balai Pustaka, pertama kali

sebagai korektor naskah karangan sampai akhirnya menjabat sebagai Pemimpin Redaksi Balai

Pustaka (1925-1942). Kemudian ia diangkat menjadi Kepala Pengarang Balai Pustaka, yang

dijabatnya 1942-1945.

Nur Sutan Iskandar tercatat sebagai sastrawan terproduktif di angkatannya. Selain mengarang

karya asli ia juga menyadur dan menerjemahkan buku-buku karya pengarang asing seperti

Alexandre Dumas, H. Rider Haggard dan Arthur Conan Doyle. Karya-karyanya yang terkenal

antara lain :

1. a) Apa Dayaku karena Aku Perempuan (Jakarta: Balai Pustaka, 1923)

2. b)Cinta yang Membawa Maut (Jakarta: Balai Pustaka, 1926)

3. c)Salah Pilih (Jakarta: Balai Pustaka, 1928)

4. d)Abu Nawas (Jakarta: Balai Pustaka, 1929)

5. e)Karena Mentua (Jakarta: Balai Pustaka, 1932)

6. f)Tuba Dibalas dengan Susu (Jakarta: Balai Pustaka, 1933)

7. g)Dewi Rimba (Jakarta: Balai Pustaka, 1935)

8. h)Hulubalang Raja (Jakarta: Balai Pustaka, 1934)

9. i)Katak Hendak Jadi Lembu (Jakarta: Balai Pustaka, 1935)

10. j)Neraka Dunia (Jakarta: Balai Pustaka, 1937)

11. k)Cinta dan Kewajiban (Jakarta: Balai Pustaka, 1941)

12. l)Jangir Bali (Jakarta: Balai Pustaka, 1942)

13. m)Cinta Tanah Air (Jakarta: Balai Pustaka, 1944)


14. n)Cobaan (Turun ke Desa) (Jakarta: Balai Pustaka, 1946)

15. o)Mutiara (Jakarta: Balai Pustaka, 1946)

16. p)Pengalaman Masa Kecil (Jakarta: Balai Pustaka, 1949)

17. q)Ujian Masa (Jakarta: JB Wolters, 1952, cetakan ulang)

18. r)Megah Cerah: Bacaan untuk Murid Sekolah Rakyat Kelas II (Jakarta: JB Wolters, 1952)

19. s)Megah Cerah: Bacaan untuk Murid Sekolah Rakyat Kelas III (Jakarta: JB Wolters, 1952)

20. t)Peribahasa (Karya bersama dengan K. Sutan Pamuncak dan Aman Datuk Majoindo. Jakarta:

JB Wolters, 1946)

21. u)Sesalam Kawin (t.t.)

2.3.6.5 Tulis Sutan Sati

Tulis Sutan Sati (Bukittinggi, Sumatra Barat, 1898 – 1942) adalah penyair dan sastrawan

Indonesia Angkatan Balai Pustaka. Karya-karyanya yang terkenal antara lain :

1. Tak Disangka (1923)

2. Sengsara Membawa Nikmat (1928)

3. Syair Rosina (1933)

4. Tjerita Si Umbut Muda (1935)

5. Tidak Membalas Guna

6. Memutuskan Pertalian (1978)

7. Sabai nan Aluih: cerita Minangkabau lama (1954)

2.3.6.6 Muhammad Yamin

Muhammad Yamin dilahirkan di Sawahlunto, Sumatera Barat, pada tanggal 23 Agustus 1903. Ia

menikah dengan Raden Ajeng Sundari Mertoatmadjo. Salah seorang anaknya yang dikenal,

yaitu Rahadijan Yamin. Ia meninggal dunia pada tanggal 17 Oktober 1962 di Jakarta. Di zaman

penjajahan, Yamin termasuk segelintir orang yang beruntung karena dapat menikmati pendidikan

menengah dan tinggi. Lewat pendidikan itulah, Yamin sempat menyerap kesusastraan asing,

khususnya kesusastraan Belanda.

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa tradisi sastra Belanda diserap Yamin sebagai seorang

intelektual sehingga ia tidak menyerap mentah-mentah apa yang didapatnya itu. Dia menerima

konsep sastra Barat, dan memadukannya dengan gagasan budaya yang nasionalis.
Pendidikan yang sempat diterima Yamin, antara lain, Hollands inlands School (HIS) di

Palembang, tercatat sebagai peserta kursus pada Lembaga Pendidikan Peternakan dan

Pertanian di Cisarua, Bogor, Algemene Middelbare School (AMS) ‘Sekolah Menengah Umum’ di

Yogya, dan HIS di Jakarta. Yamin menempuh pendidikan di AMS setelah menyelesaikan

sekolahnya di Bogor yang dijalaninya selama lima tahun. Studi di AMS Yogya sebetulnya

merupakan persiapan Yamin untuk mempelajari kesusastraan Timur di Leiden. Di AMS, ia

mempelajari bahasa Yunani, bahasa Latin, bahasa Kaei, dan sejarah purbakala. Dalam waktu

tiga tahun saja ia berhasil menguasai keempat mata pelajaran tersebut, suatu prestasi yang

jarang dicapai oleh otak manusia biasa. Dalam mempelajari bahasa Yunani, Yamin banyak

mendapat bantuan dari pastor-pastor di Seminari Yogya, sedangkan dalam bahasa Latin ia

dibantu Prof. H. Kraemer dan Ds. Backer.

Setamat AMS Yogya, Yamin bersiap-siap berangkat ke Leiden. Akan tetapi, sebelum sempat

berangkat sebuah telegram dari Sawahlunto mengabarkan bahwa ayahnya meninggal dunia.

Karena itu, kandaslah cita-cita Yamin untuk belajar di Eropa sebab uang peninggalan ayahnya

hanya cukup untuk belajar lima tahun di sana. Padahal, belajar kesusastraan Timur

membutuhkan waktu tujuh tahun. Dengan hati masgul Yamin melanjutkan kuliah di Recht

Hogeschool (RHS) di Jakarta dan berhasil mendapatkan gelar Meester in de Rechten ‘Sarjana

Hukum’ pada tahun 1932.

Sebelum tamat dari pendidikan tinggi, Yamin telah aktif berkecimpung dalam perjuangan

kemerdekaan. Berbagai organisaasi yang berdiri dalam rangka mencapai Indonesia merdeka

yang pernah dipimpin Yamin, antara lain, adalah, Yong Sumatramen Bond ‘Organisasi Pemuda

Sumatera’ (1926–1928). Dalam Kongres Pemuda II (28 Oktober 1928) secara bersama

disepakati penggunaan bahasa Indonesia. Organisasi lain adalah Partindo (1932–1938).

Pada tahun 1938—1942 Yamin tercatat sebagai anggota Pertindo, merangkap sebagai

anggota Volksraad ‘Dewan Perwakilan Rakyat’. Setelah kemerdekaan Indonesia terwujud,

jabatan-jabatan yang pernah dipangku Yamin dalam pemerintahan, antara lain, adalah Menteri

Kehakiman (1951), Menteri Pengajaran, Pendidikan dan Kebudayaan (1953–1955), Ketua

Dewan Perancang Nasional (1962), dan Ketua Dewan Pengawas IKBN Antara (1961–1962).

Dari riwayat pendidikannya dan dari keterlibatannya dalam organisasi politik maupun perjuangan
kemerdekaan, tampaklah bahwa Yamin termasuk seorang yang berwawasan luas. Walaupun

pendidikannya pendidikan Barat, ia tidak pernah menerima mentah-mentah apa yang

diperolehnya itu sehingga ia tidak menjadi kebarat-baratan. Ia tetap membawakan nasionalisme

dan rasa cinta tanah air dalam karya-karyanya. Barangkali halini merupakan pengaruh

lingkungan keluarganya karena ayah ibu Yamin adalah keturunan kepala adat di Minangkabau.

Ketika kecil pun, Yamin oleh orang tuanya diberi pendidikan adat dan agama hingga tahun 1914.

Dengan demikian, dapat dipahami apabila Yamin tidak terhanyut begitu saja oleh hal-hal yang

pernah diterimanya, baik itu berupa karya-karya sastra Barat yang pernah dinikmatinya maupun

sistem pendidikan Barat yang pernah dialaminya.

Umar Junus dalam bukunya Perkembangan Puisi Indonesia dan Melayu Modern (1981)

menyatakan bahwa puisi Yamin terasa masih berkisah, bahkan bentul-betul terasa sebagai

sebuah kisah. Dengan demikian, puisi Yamin memang dekat sekali dengan syair yang memang

merupakan puisi untuk mengisahkan sesuatu.”Puisi Yamin itu dapat dirasakan sebagai syair

dalam bentuk yang bukan syair”, demikian Umar Junus. Karena itu, sajak-sajak Yamin dapat

dikatakan lebih merupakan suatu pembaruan syair daripada suatu bentuk puisi baru. Akan

tetapi, pada puisi Yamin seringkali bagian pertamanya merupakan lukisan alam, yang membawa

pembaca kepada suasana pantun sehingga puisi Yamin tidak dapat dianggap sebagai syair baru

begitu saja. Umar Junus menduga bahwa dalam penulisan sajak-sajaknya, Yamin menggunakan

pantun, syair, dan puisi Barat sebagai sumber. Perpaduan ketiga bentuk itu adalah hal umum

terjadi terjadi pada awal perkembangan puisi modern di Indonesia.

Jika Umar Junus melihat adanya kedekatan untuk soneta yang dipergunakan Yamin dengan

bentuk pantun dan syair, sebetulnya hal itu tidak dapat dipisahkan dari tradisi sastra yang

melingkungi Yamin pada waktu masih amat dipengaruhi pantun dan syair. Soneta yang dikenal

Yamin melalui kesusastraan Belanda ternyata hanya menyentuh Yamin pada segi isi dan

semangatnya saja. Karena itu, Junus menangkap kesan berkisah dari sajak-sajak Yamin itu

terpancar sifat melankolik, yang kebetulan merupakan sifat dan pembawaan soneta. Sifat soneta

yang melankolik dan kecenderungan berkisah yang terdapat didalamnya tidak berbeda jauh

dengan yang terdapat dalam pantun dan syair. Dua hal yang disebut terakhir, yakni sifat

melankolik dan kecenderungan berkisah, kebetulan sesuai untuk gejolak perasaan Yamin pada
masa remajanya. Karena itu, soneta yang baru saja dikenal Yamin dan yang kemudian

digunakannya sebagai bentuk pengungkapan estetiknyha mengesankan bukan bentuk soneta

yang murni.

2.3.6.7 Suman Hasibuan

Suman Hasibuan (lahir di Bengkalis, Riau, 4 April 1904 – wafat di Pekanbaru, Riau, 8 Mei 1999

pada umur 95 tahun) adalah sastrawan Indonesia. Hasil karya dari Suman Hasibuan antara lain

adalah “Mencari Pencuri Anak Perawan”, “Kawan Bergelut” (kumpulan cerpen), “Tebusan

Darah”, “Kasih Tak Terlerai”, dan “Percobaan Setia”. Ia digolongkan sebagai sastrawan dari

Angkatan Balai Pustaka. Karya-karyanya yang terkenal antara lain :

1. a)“Pertjobaan Setia” (1940)

2. b)“Mentjari Pentjuri Anak Perawan” (1932)

3. c)“Kasih Ta’ Terlarai” (1961)

4. d)“Kawan Bergelut” (kumpulan cerpen)

5. e) “Tebusan Darah”

2.3.6.8 Adinegoro

Adinegoro (lahir di Talawi, Sumatera Barat, 14 Agustus 1904 – wafat di Jakarta, 8 Januari 1967

pada umur 62 tahun) adalah sastrawan Indonesia dan wartawan kawakan. Ia berpendidikan

STOVIA (1918-1925) dan pernah memperdalam pengetahuan mengenai jurnalistik, geografi,

kartografi, dan geopolitik di Jerman dan Belanda (1926-1930). Nama aslinya sebenarnya bukan

Adinegoro, melainkan Djamaluddin gelar Datuk Madjo Sutan. Ia adalah adik sastrawan

Muhammad Yamin. Mereka saudara satu bapak, tetapi lain ibu. Ayah Adinegoro bernama Usman

gelar Baginda Chatib dan ibunya bernama Sadarijah, sedangkan nama ibu Muhammad Yamin

adalah Rohimah. Ia memiliki seorang istri bernama Alidas yang berdarah Sulit Air ,Solok,

Sumatera Barat.

Dua buah novel Adinegoro yang terkenal (keduanya dibuat pada tahun 1928), yang membuat

namanya sejajar dengan nama-nama novelis besar Indonesia lainnya, adalah Asmara Jaya dan

Darah Muda. Ajip Rosidi dalam buku Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia (1982), mengatakan

bahwa Adinegoro merupakan pengarang Indonesia yang berani melangkah lebih jauh

menentang adat kuno yang berlaku dalam perkawinan. Dalam kedua romannya Adinegoro bukan
hanya menentang adat kuno tersebut, melainkan juga dengan berani memenangkan pihak kaum

muda yang menentang adat kuno itu yang dijalankan oleh pihak kaum tua.

Di samping kedua novel itu, Adinegoro juga menulis novel lainnya, yaitu Melawat ke Barat, yang

merupakan kisah perjalanannya ke Eropa. Kisah perjalanan ini diterbitkan pada tahun 1930.

Selain itu, ia juga terlibat dalam polemik kebudayaan yang terjadi sekitar tahun 1935. Esainya,

yang merupakan tanggapan polemik waktu itu, berjudul “Kritik atas Kritik” terhimpun dalam

Polemik Kebudayaan yang disunting oleh Achdiat K. Mihardja (1977). Dalam esainya itu,

Adinegoro beranggapan bahwa suatu kultur tidak dapat dipindah-pindahkan karena pada tiap

bangsa telah melekat tabiat dan pembawaan khas, yang tak dapat ditiru oleh orang lain. Ia

memberikan perbandingan yang menyatakan bahwa suatu pohon rambutan tidak akan

menghasilkan buah mangga, dan demikian pun sebaliknya. Karyanya antara lain:

1. Buku

2. a)Revolusi dan Kebudayaan (1954)

3. b)Ensiklopedi Umum dalam Bahasa Indonesia (1954),

4. c)Ilmu Karang-mengarang

5. d)Falsafah Ratu Dunia

6. Novel

7. a)Darah Muda. Batavia Centrum : Balai Pustaka. 1931

8. b)Asmara Jaya. Batavia Centrum : Balai Pustaka. 1932.

9. c)Melawat ke Barat. Jakarta : Balai Pustaka. 1950.

10. Cerita pendek

11. a)Bayati es Kopyor.

12. b)Etsuko. Varia.

13. c)Lukisan Rumah Kami.

14. d)Nyanyian Bulan April.

Anda mungkin juga menyukai