Pujangga lama merupakan bentuk pengklasifikasikan karya sastra Indonesia yang dihasilkan sebelum abad
ke-20, pada masa ini karya sastra didominasi oleh syair, pantun, gurindam, dan hikayat. Di Nusantara
budaya melayu klasik dengan pengaruh Islam yang kuat meliputi sebagian besar negara pantai Sumatra
dan semenanjung malaya. Di Sumatra bagian utara muncul karyakaya penting berbahasa melayu
terutama karya-karya keagamaan. Hamzah Pansuri adalah yang pertama diantara penulis angkatan
pujangga lama dari istana kesultanan Aceh pada abad ke-17 muncul karya klasik selanjutnya yang paling
terkenal adalah karya Syamsudin Pasai dan Abdul Rauf Singkir serta Nuruddin Arraniri.
1. Hikayat
1. Syair
Syair Bidasari
1. Kitab Agama
Karya satra yang dihasilkan antara tahun 1870-1942 yang berkembang dilingkungan masyarakat sumatra
seperti “Langkat, Tapanuli, Minangkabau dan Sumatra lainnya”, orang Tionghoa dan masyarakat Indo-
Eropa. Karya sastra pertama yang terbit sekitar tahun 1870 masih dalam bentuk syair, hikayat, dan
terjemahan novel barat. Karya Sastra Melayu Lama
Lawan-lawan Merah
Rocambole (terjemahan)
Nona Leonie
Angkatan Balai Pustaka lazim juga disebut Angkatan 20–an atau Angkatan Siti Nurbaya. Angkatan ini
merupakan titik tolak kesustraan Indonesia. Adapun ciriciri Angkatan Balai Pustaka adalah: menggunakan
bahasa Indonesia yang masih terpengaruh oleh bahasa Melayu, persoalan yang diangkat persoalan adat
kedaerahan dan kawin paksa, dipengaruhi kehidupan tradisi sastra daerah/lokal, dan cerita yang diangkat
seputar romantisme. Angkatan Balai Pustaka disebut juga Angkatan Siti Nurbaya, karena salah satu roman
yang sangat terkenal pada angkatan ini adalah Roman Siti Nurbaya. Berikut ini dapat kita pelajari bersama
sinopsis Roman Siti Nurbaya. Siti Nurbaya adalah roman yang ditulis oleh Marah Rusli. Roman ini
menceritakan tentang pemuda yang bernama Samsul Bahri, dengan kekasihnya Siti Nurbaya, dan Datuk
Maringgih. Datuk Maringgih dengan keserakahannya menginginkan Siti Nurbaya untuk menjadi istrinya
yang kesekian. Dengan licik ia beserta kaki tangannya berhasil menghancurkan perniagaan Baginda
Sulaiman, ayah Siti Nurbaya. Karena terlibat utang yang tak akan terbayar oleh Baginda Sulaiman, akhirnya
Datuk Maringgih berhasil menikahI Siti Nurbaya. Ia dengan terpaksa mengikuti keinginan Datuk Maringgi
karena tidak rela ayahnya dipenjara. Samsul Bahri sangat mencintai Siti Nurbaya, berusaha untuk bunuh
diri, tetapi gagal. Kemudian, ia menyamar menjadi Letnan Mas setelah bergabung dengan Kompeni
Belanda. Ketika terjadi perang antara Belanda dengan masyarakat Sumatera Barat, Letnan Mas bertempur
dengan Datuk Maringgih. Akhir cerita, semua tokoh penting dalam cerita ini meninggal dunia. Mereka
dimakamkan di Gunung Padang. Melalui cerita ini, dapat kita ketahui bahwa kaum perempuan di masa
itu, masih terpinggirkan atau belum mendapatkan kesetaraan. Walaupun Siti Nurbaya berasal dari
keluarga kaya, ia tidak boleh meneruskan pendidikannya setamat dari sekolah rakyat. Hal ini disebabkan
karena adanya anggapan perempuan tidak perlu bersekolah tinggi. Perempuan cukup mengabdi kepada
suami atau mengurusi rumah tangga. Selain itu, pengaruh tradisi dan adat masih sangat kuat, sehingga
siapa pun yang melanggarnya akan dijadikan bahan pembicaraan di masyarakat. Berikut ini contoh lain
karya sastra pada masa Angkatan Balai Pustaka, yaitu berupa roman dan kumpulan puisi. Karya berupa
roman antara lain Azab dan Sengsara (Merari Siregar), Muda Teruna (Adi Negoro) , Salah Pilih (Nur St.
Iskandar) dan Dua Sejoli (M. Kasim dkk.). Karya berupa kumpulan puisi antara lain Percikan Permenungan
(Rustam Effendi) dan Puspa Mega (Sanusi Pane).
Segolongan kecil masyarakat Hindia Belanda telah membaca karya sastra yang berbentuk novel dalam
bahasa Melayu beberapa puluh tahun sebelum Sitti Nurbaya karya Marah Rusli diterbitkan Balai Pustaka
pada 1922. Oleh beberapa kritikus, novel tersebut dianggap novel penting pertama dalam sejarah
kesusastraan Indonesia modern[19], tetapi hal itu tidak berarti bahwa sebelumnya tidak ada novel yang
pantas dibicarakan. Dua tahun sebelumnya penerbit yang sama mengeluarkan Azab dan Sengsara karya
Merari Siregar, dan pengarang yang sama telah menerbitkan sebuah novel saduran, Si Jamin dan si Johan,
pada 1919. Sejak 1920-an Balai Pustaka sebagai penerbit resmi pemerintah kolonial memegang tugas
penting dalam penerbitan buku-buku berbahasa Melayu; banyak di antara buku terbitannya itu kemudian
dianggap penting dalam perkembangan sastra Indonesia modern. Namun, sebelum dan semasa Balai
Pustaka ada beberapa penerbit swasta yang berani menerbitkan novel baik berdasarkan pertimbangan
komersial maupun ideal. Dari segi perkembangan kesusastraan kita, Balai Pustaka tampak sebagai
pencetus atau pendorong utama kesusastraan Indonesia modern; ditinjau dari segi sosial politik, badan
itu sesungguhnya merupakan akibat dari suatu pergeseran sikap pemerintah kolonial pada waktu itu
terhadap perkembangan pendidikan dan hasil-hasilnya. Pergeseran sikap itu merupakan akibat pula dari
perubahan sosial yang ada, terutama sekali yang menyangkut golongan pribumi. Dalam sebuah brosur[20]
kita dapat membaca pandangan pemerintah kolonial sendiri tentang perubahan sosial tersebut. Mula-
mula kebanyakan pribumi yang mempunyai keinginan belajar sudah merasa puas apabila mereka sudah
bisa membaca dan menulis huruf Arab. Biasanya mereka itu tidak mempunyai keinginan untuk
melanjutkan pelajaran sesuai dengan sistem pendidikan modern yang ada pada waktu itu. Pemerintah
colonial menyesuaikan sekolah-sekolah yang didirikannya dengan keinginan yang tidak muluk-muluk itu.
Maksud pendirian sekolah semacam itu adalah untuk melatih calon pegawai rendah yang diharapkan
dapat melaksanakan pekerjaan administrasi sederhana. Di samping sekolah semacam itu ada juga sekolah
yang disediakan khusus untuk keluarga bangsawan rendah; sekolah itu diharapkan dapat menghasilkan
pegawai menengah yang cakap melakukan kerja administrasi yang lebih rumit. Kalangan orang pribumi
yang bersekolah pada waktu itu praktis tidak usah merisaukan hari depannya; pekerjaan sudah tersedia
baginya. Karena tidak ada keharusan “berjuang” untuk mendapatkan pekerjaan, hampir semua merasa
puas dengan yang diterima di sekolah saja. Sedikit sekali usaha untuk mendapatkan pengetahuan lebih
lanjut di luar sekolah. Namun, kebangkitan bangsa-bangsa Asia ternyata ada juga pengaruhnya terhadap
sikap serupa itu. Di kalangan kaum pribumi mulai tumbuh keyakinan dan harga diri yang lebih bulat, dan
sebagai akibatnya terasa kebutuhan akan pendidikan lebih lanjut, yang tidak lain merupakan pendidikan
Eropa. Bahkan di kalangan masyarakat yang paling rendah pun terasa adanya kebutuhan akan pendidikan
dasar. Pemerintah Belanda tidak bisa berbuat lain kecuali memenuhi
Sekolah Hukum.
penting berupa buku bacaan. Sangat berbahaya apabila pendidikan dilaksanakan tanpa
para pemuda yang sudah mampu membaca dan menulis itu akan
rakyat dari hal-hal yang bisa merusakkan kekuasaan pemerintah danketenteraman negeri.
Pustaka, meskipun di luar itu juga ada juga cerita rekaan yang
Pengarang-pengarangnya adalah
terbitannya.
19 H.B. Jassin, Kesusastraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Esei I (Jakarta:
Gunung Agung, 1953); A.H. Johns, “The Novel as a Guide to Indonesian Social
History”, BKI: 1959; Ajip Rosidi, Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia (Bandung:
Binacipta, 1976); C.W. Watson. “The Sociology of the Indonesian Novel 1920-1955,
yang ditulis dalam bahasa Melayu tetapi juga yang ditulis dalam
perpustakaan sekolah, dan toko buku yang diatur sangat rapi oleh
Pengumuman tersebut ternyata bisa menjadi bahan yang sangat penting untuk mengetahui apa
tokoh) yang terutama harus jadi dasar dan pokok penyelesaian soalsoal
itu.”
Sayembara itu terbuka bagi siapa saja dan karangan boleh ditulis
Sunda 6. Jadi naskah novel yang masuk adalah 207 dalam bahasa
Jawa, 121 dalam bahasa Melayu, dan 38 dalam bahasa Sunda. Angkaangka
akhir 1930-an, pengarang ber bahasa Jawa masih jauh lebih banyak
Melayu, yang untuk konsumsi kaum yang lebih maju, meski pun tidak
Oleh sebab itu wajar apabila penerbit swasta itu memiliki kriteria
penerbit swasta berpendapat bahwa novel harus dapat memberikan keuntungan bagi penerbit.
kesukaan pembaca.
semacam itu adalah Medan. Suatu hal yang menarik tentang para
buku yang mula mula diterbit kan sebagai “roman picisan” kemudian
dicetak ulang oleh Balai Pustaka. Dalam hal nilai memang kadangkadang
terbitan Medan (dan Padang) itu dengan beberapa novel Balai Pustaka
kritik itu jatuh pada kaum penerbit. Dalam Pedoman Pembaca No.
kritisi itu belum lahir, kewajiban memberi kritik itu mesti jatuh
pada nya, maka pertanggungannya memang sangat berat, lebih
masyarakat karena belum ada kritikus yang baik. Jabatan kritikus itu
dengan serampangan.
sebagian dikutip oleh Pedoman Pembaca itu antara lain menyebutkan bahwa “zaman sekarang
saja. Keadaan yang sedemikian itulah yang memberi kan tugas kepada
pembaca mana karangan yang baik dan yang mana yang buruk.
sebagai penyeleksi karya sastra. Dan selama belum ada kritikus yang
pendirian semacam itu, pendirian yang bisa saja “memaksa” pengarang untuk memperhatikan
novel yang ditolak Balai Pustaka karena dari segi pendidikan dan sikap
semacam ragam bahasa sastra sebelum perang. Dan sikap yang bisa
Nama penerbit balai pustaka sudah tidak asing lagi bagi masyarakat terpelajar Indonesia karena
sekarang balai pustaka merupakan salah satu penerbit besar yang banyak memproduksi
berbagai jenis buku. Nama tersebut telah bertahan selama lebih dari 90 tahun, kalau dihitung
dari berdirinya pada tahun 1917 yang merupakan pengukuhan Komisi untuk Sekolah Bumiputra
dan Bacaan Rakyat (commissie voor de inlandsche school en volkslectuur) yang didirikan oleh
pemerintah colonial belanda pada 14 september 1908. Jelas bahwa badan penerbit itu
dengan penerbit-penerbit swasta, baik yang semata-mata bervisi komersial maupun bervisi
kebangsaan. Akan tetapi, mengingat sejarahnya yang panjang itu maka sepantasnya menjadi
Secara teoretis dapat dikatakan banyak masalah yang dapa diungkapkan ari balai pustaka
selama ini, antara lain visi dan misi, status, program kerja, para tokoh, kebijakan redaksi,
pengarang, distribusi, dan produksi. Telaah semacam itu dapat dijadikan pengkajian sejarah
mikro yang pasti relevan dengan sejarah makro sastra Indonesia. Ditambah dengan pengkajian
masyarakat. Mungkin saja kemudian berkembang pendapat bahwa balai pustaka ternyata bukan
satu-satunya penerbit pada tahun 1920-an membuka tradisi sastra modern, atau justru dilupakan
3. Bergata bahasa seragam, karena dikemas oleh redaksi balai pustaka, sehingga gaya
4. Bertema sosial, karena belum terbuka kesempatan mempersoalkan masalah polotik, watak,
2.3.6 Tokoh-Tokoh
2.3.6.1 Abdul Muis
Abdul muis (lahir di solok, Sumatra barat, tahun 1886, meninggal di bandung 17 juli 1959),
Universitas Indonesia), Jakarta akan tetapi tidak tamat. Ia juga pernah menjadi anggota
Volksraad yang didirikan pada tahun 1916 oleh pemerintah penjajahan Belanda. Ia dimakamkan
di TMP Cikutra – Bandung dan dikukuhkan sebagai pahlawan nasional oleh Presiden RI,
Soekarno, pada 30 Agustus 1959 (Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 218 Tahun
Karir yang pernah dia jalani :Dia pernah bekerja sebagai klerk di Departemen Buderwijs en
Eredienst dan menjadi wartawan di Bandung pada surat kabar Belanda, Preanger Bode, harian
Kaum Muda dan majalah Neraca pimpinan Haji Agus Salim. Selain itu ia juga pernah aktif dalam
Syarikat Islam dan pernah menjadi anggota Dewan Rakyat yang pertama (1920-1923). Setelah
1. Mengecam tulisan orang-orang Belanda yang sangat menghina bangsa Indonesia melalui
2. Pada tahun 1913, menentang rencana pemerintah Belanda dalam mengadakan perayaan
peringatan seratus tahun kemerdekaan Belanda dari Perancis melalui Komite Bumiputera
3. Pada tahun 1922, memimpin pemogokan kaum buruh di daerah Yogyakarta sehingga ia
Novel asing yang pernah diterjemahkan oleh Abdul Muis antara lain :
1. Don Kisot (karya Cerpantes, 1923)
Marah Rusli, sang sastrawan itu, bernama lengkap Marah Rusli bin Abu Bakar. Ia dilahirkan di
Padang pada tanggal 7 Agustus 1889. Ayahnya, Sultan Abu Bakar, adalah seorang bangsawan
dengan gelar Sultan Pangeran. Ayahnya bekerja sebagai demang. Marah Rusli mengawini gadis
Sunda kelahiran Bogor pada tahun 1911. Mereka dikaruniai tiga orang anak, dua orang laki-laki
dan seorang perempuan. Perkawinan Marah Rusli dengan gadis Sunda bukanlah perkawinan
yang diinginkan oleh orang tua Marah Rusli, tetapi Marah Rusli kokoh pada sikapnya, dan ia
Meski lebih terkenal sebagai sastrawan, Marah Rusli sebenarnya adalah dokter hewan. Berbeda
dengan Taufiq Ismail dan Asrul Sani yang memang benar-benar meninggalkan profesinya
sebagai dokter hewan karena memilih menjadi penyair, Marah Rusli tetap menekuni profesinya
sebagai dokter hewan hingga pensiun pada tahun 1952 dengan jabatan terakhir Dokter Hewan
Kepala. Kesukaan Marah Rusli terhadap kesusastraan sudah tumbuh sejak ia masih kecil. Ia
sangat senang mendengarkan cerita-cerita dari tukang kaba, tukang dongeng di Sumatera Barat
yang berkeliling kampung menjual ceritanya, dan membaca buku-buku sastra. Marah Rusli
meninggal pada tanggal 17 Januari 1968 di Bandung dan dimakamkan di Bogor, Jawa Barat.
Dalam sejarah sastra Indonesia, Marah Rusli tercatat sebagai pengarang roman yang pertama
dan diberi gelar oleh H.B. Jassin sebagai Bapak Roman Modern Indonesia. Sebelum muncul
bentuk roman di Indonesia, bentuk prosa yang biasanya digunakan adalah hikayat. Marah Rusli
berpendidikan tinggi dan buku-buku bacaannya banyak yang berasal dari Barat yang
menggambarkan kemajuan zaman. Ia kemudian melihat bahwa adat yang melingkupinya tidak
sesuai lagi dengan perkembangan zaman. Hal itu melahirkan pemberontakan dalam hatinya yang
belenggu adat yang tidak memberi kesempatan bagi yang muda untuk menyatakan pendapat
atau keinginannya.
Dalam Siti Nurbaya, telah diletakkan landasan pemikiran yang mengarah pada emansipasi
wanita. Cerita itu membuat wanita mulai memikirkan akan hak-haknya, apakah ia hanya
menyerah karena tuntutan adat (dan tekanan orang tua) ataukah ia harus mempertahankan
yang diinginkannya. Ceritanya menggugah dan meninggalkan kesan yang mendalam kepada
pembacanya. Kesan itulah yang terus melekat hingga sampai kini. Setelah lebih delapan puluh
tahun novel itu dilahirkan, Siti Nurbaya tetap diingat dan dibicarakan.
Selain Siti Nurbaya, Marah Rusli juga menulis beberapa roman lainnya. Akan tetapi, Siti Nurbaya
itulah yang terbaik. Roman itu mendapat hadiah tahunan dalam bidang sastra dari Pemerintah
Republik Indonesia pada tahun 1969 dan diterjemahkan ke dalam bahasa Rusia.Karya-karyanya
1. a)Siti Nurbaya. Jakarta : Balai Pustaka. 1920 mendapat hadiah dari Pemerintah RI tahun
1969.
Merari Siregar (lahir di Sipirok, Sumatera Utara pada 13 Juli 1896 dan wafat di Kalianget,
Madura, Jawa Timur pada 23 April 1941) adalah sastrawan Indonesia angkatan Balai Pustaka.
Setelah lulus sekolah Merari Siregar bekerja sebagai guru bantu di Medan. Kemudian dia pindah
ke Jakarta dan bekerja di Rumah Sakit CBZ (sekarang Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo).
Terakhir pengarang ini pindah ke Kalianget, Madura, tempat ia bekerja di Opium end Zouregie
1. a)Azab dan Sengsara. Jakarta: Balai Pustaka. Cet. 1 tahun 1920,Cet.4 1965.
3. c)Cerita tentang Busuk dan Wanginya Kota Betawi. Jakarta: Balai Pustaka 1924.
Nur Sutan Iskandar (Sungai Batang, Sumatera Barat, 3 November 1893 – Jakarta, 28 November
Nur Sutan Iskandar memiliki nama asli Muhammad Nur. Seperti umumnya lelaki Minangkabau
lainnya Muhammad Nur mendapat gelar ketika menikah. Gelar Sutan Iskandar yang diperolehnya
kemudian dipadukan dengan nama aslinya dan Muhammad Nur pun lebih dikenal sebagai Nur
Setelah menamatkan sekolah rakyat pada tahun 1909 Nur Sutan Iskandar bekerja sebagai guru
bantu. Pada tahun 1919 ia hijrah ke Jakarta. Di sana ia bekerja di Balai Pustaka, pertama kali
sebagai korektor naskah karangan sampai akhirnya menjabat sebagai Pemimpin Redaksi Balai
Pustaka (1925-1942). Kemudian ia diangkat menjadi Kepala Pengarang Balai Pustaka, yang
dijabatnya 1942-1945.
Nur Sutan Iskandar tercatat sebagai sastrawan terproduktif di angkatannya. Selain mengarang
karya asli ia juga menyadur dan menerjemahkan buku-buku karya pengarang asing seperti
Alexandre Dumas, H. Rider Haggard dan Arthur Conan Doyle. Karya-karyanya yang terkenal
antara lain :
18. r)Megah Cerah: Bacaan untuk Murid Sekolah Rakyat Kelas II (Jakarta: JB Wolters, 1952)
19. s)Megah Cerah: Bacaan untuk Murid Sekolah Rakyat Kelas III (Jakarta: JB Wolters, 1952)
20. t)Peribahasa (Karya bersama dengan K. Sutan Pamuncak dan Aman Datuk Majoindo. Jakarta:
JB Wolters, 1946)
Tulis Sutan Sati (Bukittinggi, Sumatra Barat, 1898 – 1942) adalah penyair dan sastrawan
Muhammad Yamin dilahirkan di Sawahlunto, Sumatera Barat, pada tanggal 23 Agustus 1903. Ia
menikah dengan Raden Ajeng Sundari Mertoatmadjo. Salah seorang anaknya yang dikenal,
yaitu Rahadijan Yamin. Ia meninggal dunia pada tanggal 17 Oktober 1962 di Jakarta. Di zaman
penjajahan, Yamin termasuk segelintir orang yang beruntung karena dapat menikmati pendidikan
menengah dan tinggi. Lewat pendidikan itulah, Yamin sempat menyerap kesusastraan asing,
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa tradisi sastra Belanda diserap Yamin sebagai seorang
intelektual sehingga ia tidak menyerap mentah-mentah apa yang didapatnya itu. Dia menerima
konsep sastra Barat, dan memadukannya dengan gagasan budaya yang nasionalis.
Pendidikan yang sempat diterima Yamin, antara lain, Hollands inlands School (HIS) di
Palembang, tercatat sebagai peserta kursus pada Lembaga Pendidikan Peternakan dan
Pertanian di Cisarua, Bogor, Algemene Middelbare School (AMS) ‘Sekolah Menengah Umum’ di
Yogya, dan HIS di Jakarta. Yamin menempuh pendidikan di AMS setelah menyelesaikan
sekolahnya di Bogor yang dijalaninya selama lima tahun. Studi di AMS Yogya sebetulnya
mempelajari bahasa Yunani, bahasa Latin, bahasa Kaei, dan sejarah purbakala. Dalam waktu
tiga tahun saja ia berhasil menguasai keempat mata pelajaran tersebut, suatu prestasi yang
jarang dicapai oleh otak manusia biasa. Dalam mempelajari bahasa Yunani, Yamin banyak
mendapat bantuan dari pastor-pastor di Seminari Yogya, sedangkan dalam bahasa Latin ia
Setamat AMS Yogya, Yamin bersiap-siap berangkat ke Leiden. Akan tetapi, sebelum sempat
berangkat sebuah telegram dari Sawahlunto mengabarkan bahwa ayahnya meninggal dunia.
Karena itu, kandaslah cita-cita Yamin untuk belajar di Eropa sebab uang peninggalan ayahnya
hanya cukup untuk belajar lima tahun di sana. Padahal, belajar kesusastraan Timur
membutuhkan waktu tujuh tahun. Dengan hati masgul Yamin melanjutkan kuliah di Recht
Hogeschool (RHS) di Jakarta dan berhasil mendapatkan gelar Meester in de Rechten ‘Sarjana
Sebelum tamat dari pendidikan tinggi, Yamin telah aktif berkecimpung dalam perjuangan
kemerdekaan. Berbagai organisaasi yang berdiri dalam rangka mencapai Indonesia merdeka
yang pernah dipimpin Yamin, antara lain, adalah, Yong Sumatramen Bond ‘Organisasi Pemuda
Sumatera’ (1926–1928). Dalam Kongres Pemuda II (28 Oktober 1928) secara bersama
Pada tahun 1938—1942 Yamin tercatat sebagai anggota Pertindo, merangkap sebagai
jabatan-jabatan yang pernah dipangku Yamin dalam pemerintahan, antara lain, adalah Menteri
Dewan Perancang Nasional (1962), dan Ketua Dewan Pengawas IKBN Antara (1961–1962).
Dari riwayat pendidikannya dan dari keterlibatannya dalam organisasi politik maupun perjuangan
kemerdekaan, tampaklah bahwa Yamin termasuk seorang yang berwawasan luas. Walaupun
dan rasa cinta tanah air dalam karya-karyanya. Barangkali halini merupakan pengaruh
lingkungan keluarganya karena ayah ibu Yamin adalah keturunan kepala adat di Minangkabau.
Ketika kecil pun, Yamin oleh orang tuanya diberi pendidikan adat dan agama hingga tahun 1914.
Dengan demikian, dapat dipahami apabila Yamin tidak terhanyut begitu saja oleh hal-hal yang
pernah diterimanya, baik itu berupa karya-karya sastra Barat yang pernah dinikmatinya maupun
Umar Junus dalam bukunya Perkembangan Puisi Indonesia dan Melayu Modern (1981)
menyatakan bahwa puisi Yamin terasa masih berkisah, bahkan bentul-betul terasa sebagai
sebuah kisah. Dengan demikian, puisi Yamin memang dekat sekali dengan syair yang memang
merupakan puisi untuk mengisahkan sesuatu.”Puisi Yamin itu dapat dirasakan sebagai syair
dalam bentuk yang bukan syair”, demikian Umar Junus. Karena itu, sajak-sajak Yamin dapat
dikatakan lebih merupakan suatu pembaruan syair daripada suatu bentuk puisi baru. Akan
tetapi, pada puisi Yamin seringkali bagian pertamanya merupakan lukisan alam, yang membawa
pembaca kepada suasana pantun sehingga puisi Yamin tidak dapat dianggap sebagai syair baru
begitu saja. Umar Junus menduga bahwa dalam penulisan sajak-sajaknya, Yamin menggunakan
pantun, syair, dan puisi Barat sebagai sumber. Perpaduan ketiga bentuk itu adalah hal umum
Jika Umar Junus melihat adanya kedekatan untuk soneta yang dipergunakan Yamin dengan
bentuk pantun dan syair, sebetulnya hal itu tidak dapat dipisahkan dari tradisi sastra yang
melingkungi Yamin pada waktu masih amat dipengaruhi pantun dan syair. Soneta yang dikenal
Yamin melalui kesusastraan Belanda ternyata hanya menyentuh Yamin pada segi isi dan
semangatnya saja. Karena itu, Junus menangkap kesan berkisah dari sajak-sajak Yamin itu
terpancar sifat melankolik, yang kebetulan merupakan sifat dan pembawaan soneta. Sifat soneta
yang melankolik dan kecenderungan berkisah yang terdapat didalamnya tidak berbeda jauh
dengan yang terdapat dalam pantun dan syair. Dua hal yang disebut terakhir, yakni sifat
melankolik dan kecenderungan berkisah, kebetulan sesuai untuk gejolak perasaan Yamin pada
masa remajanya. Karena itu, soneta yang baru saja dikenal Yamin dan yang kemudian
yang murni.
Suman Hasibuan (lahir di Bengkalis, Riau, 4 April 1904 – wafat di Pekanbaru, Riau, 8 Mei 1999
pada umur 95 tahun) adalah sastrawan Indonesia. Hasil karya dari Suman Hasibuan antara lain
adalah “Mencari Pencuri Anak Perawan”, “Kawan Bergelut” (kumpulan cerpen), “Tebusan
Darah”, “Kasih Tak Terlerai”, dan “Percobaan Setia”. Ia digolongkan sebagai sastrawan dari
5. e) “Tebusan Darah”
2.3.6.8 Adinegoro
Adinegoro (lahir di Talawi, Sumatera Barat, 14 Agustus 1904 – wafat di Jakarta, 8 Januari 1967
pada umur 62 tahun) adalah sastrawan Indonesia dan wartawan kawakan. Ia berpendidikan
kartografi, dan geopolitik di Jerman dan Belanda (1926-1930). Nama aslinya sebenarnya bukan
Adinegoro, melainkan Djamaluddin gelar Datuk Madjo Sutan. Ia adalah adik sastrawan
Muhammad Yamin. Mereka saudara satu bapak, tetapi lain ibu. Ayah Adinegoro bernama Usman
gelar Baginda Chatib dan ibunya bernama Sadarijah, sedangkan nama ibu Muhammad Yamin
adalah Rohimah. Ia memiliki seorang istri bernama Alidas yang berdarah Sulit Air ,Solok,
Sumatera Barat.
Dua buah novel Adinegoro yang terkenal (keduanya dibuat pada tahun 1928), yang membuat
namanya sejajar dengan nama-nama novelis besar Indonesia lainnya, adalah Asmara Jaya dan
Darah Muda. Ajip Rosidi dalam buku Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia (1982), mengatakan
bahwa Adinegoro merupakan pengarang Indonesia yang berani melangkah lebih jauh
menentang adat kuno yang berlaku dalam perkawinan. Dalam kedua romannya Adinegoro bukan
hanya menentang adat kuno tersebut, melainkan juga dengan berani memenangkan pihak kaum
muda yang menentang adat kuno itu yang dijalankan oleh pihak kaum tua.
Di samping kedua novel itu, Adinegoro juga menulis novel lainnya, yaitu Melawat ke Barat, yang
merupakan kisah perjalanannya ke Eropa. Kisah perjalanan ini diterbitkan pada tahun 1930.
Selain itu, ia juga terlibat dalam polemik kebudayaan yang terjadi sekitar tahun 1935. Esainya,
yang merupakan tanggapan polemik waktu itu, berjudul “Kritik atas Kritik” terhimpun dalam
Polemik Kebudayaan yang disunting oleh Achdiat K. Mihardja (1977). Dalam esainya itu,
Adinegoro beranggapan bahwa suatu kultur tidak dapat dipindah-pindahkan karena pada tiap
bangsa telah melekat tabiat dan pembawaan khas, yang tak dapat ditiru oleh orang lain. Ia
memberikan perbandingan yang menyatakan bahwa suatu pohon rambutan tidak akan
menghasilkan buah mangga, dan demikian pun sebaliknya. Karyanya antara lain:
1. Buku
4. c)Ilmu Karang-mengarang
6. Novel