Anda di halaman 1dari 8

TUGAS

KEARSIPAN DAN DOKUMENTASI


KRITIK SUMBER

Penulis
Nama : Retnia Yuni Safitri
NPM : 1313033072
Prodi : Pendidikan Sejarah

Mata Kuliah : Kearsipan dan Dokumentasi


Dosen

: Yustina Sri Ekwandari, S.Pd, M.Hum

PENDIDIKAN SEJARAH
PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS LAMPUNG
TAHUN 2015

KRITIK SUMBER

A. Kritik Eksternal & Fakta Belaka


Judul Buku

: IKAN HIU DI MAKAN CUPANG

Penulis

: Asvi Warman Adam

Penerbit

: Ombak DI LAUTAN

Tahun

: 2009

Penyunting

:nurhasalah

Tata Letak

: Aep S

Sampul

: Dian Qamajaya

Jumlah Halaman

: 265 Halaman

Ukuran

: 20,5 x 14 cm

Warna Cover

: Perpaduan Merah dan Hitam

Gambar Cover

: Soekarno dan Soeharto

ISBN

: 978-602-8335-15-7

B. Kritik Internal dan Fakta Mental


1. Penulis
Buku Pelurusan Sejarah Indonesia ditulis oleh Dr. Asvi Warman Adam, ahli
Peneliti Utama pada Pusat Penelitian Politik LIPI. Menempuh pendidikan di
UGM Yogyakarta (lulus Sarjana Muda Sastra Prancis 1977) dan UI Jakarta
(Sarjana Sastra Prancis tahun 1980). Bekerja tiga tahun sebagai wartawan majalah
Sportif sebelum masuk LIPI tahun 1983.
Tahun 1984 belajar pada EHESS (Ecole des Hautes Etudes en Sciences Sociales)
Paris sampai tahun 1990. Menjadi lektor bahasa dan sastra Indonesia pada Institut
National des Langues et Civilisations Orientales, Universite de La Sarbonne
Nouvelle, Paris III tahun 1984-1986.
Lulus doktor sejarah dari EHESS Paris tahun 1990 dengan disertasi tentang
hubungan Hindia Belanda dengan Indochina pada era kolonial Les Relations
entre les Indes Neerlandaises et IIndochine 1870-1914 dibawah bimbingan
Denys Lombard. Sepulangnya ke Indonesia tahun 1990 meneliti di LIPI tentang
masalah Vietnam, Kamboja dan ASEAN. Sejak tahun 1998 sering menulis tentang
rekayasa sejarah Orde Baru dan historiografi Indonesia dari perspektif korban.
Pengurus pusat MSI (Ma syarakat Sejarawan Indonesia) sejak tahun 1996.
Menjadi anggota tim Pengkaji Pelanggaran HAM Berat Soeharto yang dibentuk
Komnas HAM tahun 2003. Menjadi narasumber pada CAVR Timor Leste tahun
2008. Visiting Fellow pada KITLV Leiden tahun 2005. Lahir di Bukittinggi, 8
Oktober 1954.
2. Latar Belakang Penulisan
Asvi Warman Adam beranggapan bahwa pelurusan sejarah Indonesia harus terus
dipertahankan dan dilanjutkan mengingat resistensi dari sejarawan Orde Baru
sampai sekarang tetap ada, antara lain terlihat pada edisi mutakhir Sejarah
Nasional Indonesia 2008 yang memperlihatkan bahwa sejarah masih ditulis
dengan versi lama dan pendekatan lama.

Secara strukturl, pelurusan sejarah termasuk upaya untuk menyelesaikan masalah


masa lalu bangsa menyangkut pengungkapan hal-hal yang tahu pada masa
sebelumnya seperti pengungkapan pelanggaran berat HAM. Bukan hanya kasus
65 dan dampaknya, tetapi berbagai peristiwa yang terjadi sebelum dan sesudahnya
mesti diungkap. Kasus Aceh, Papua, Timor Timur, Tanjung Priok, Lampung 1989,
27 Juli 1996, penculikan aktivis prodemokrasi, Trisakti, Semanggi perlu diteliti
dan dituliskan dalam sejarah.
Pelurusan sejarah adalah point of no return. Jika pemerintah konsisten tidak akan
mencabut demokratisasi dan kebebasan pers (seperti yang di janjikan Jusuf Kalla)
maka pelurusan sejarah akan berjalan terus meskipun dihadang oleh unsur
penguasa sendiri. Hambatan untuk mengungkap kebenaran pada masa lampau
juga terlihat secara gamblang dalam pembatalan program Komisi Kebenaran dan
Rekonsiliasi (KKR) dengan ultra pelita oleh Mahkamah Konstitusi. Dalam
penulisannya, Asvi Warman Adam mencoba membongkar manipulasi sejarah dan
memberi tafsir baru atas sejarah yang selama ini dibengkokkan.
3. Situasi Zaman
Buku Max Havelaar ditulis pada tahun 1859, mengisahkan tentang betapa
betapa perihnya arti dari sebuah penindasan dimana sumber cerita buku tersebut
adalah penderitaan yang dialami oleh rakyat pribumi di Hindia-Belanda. Situasi
zaman pada saat penulisan sendiri, pada saat itu di Indonesia atau Hindia-Belanda
sedang berlaku sistem tanam paksa atau cultur stelsel. Dengan pemberlakuan
sistem tanam paksa tersebut, dalam buku ini dikisahkan telah membuat rakyat
pribumi sangat menderita. Melalui buku Max Havelaar inilah Multatuli atau
Eduard Douwes Dekker menyampaikan kritiknya terhadap pemerintah kolonial
Belanda yang begitu kejam kepada rakyat pribumi. Tulisannya merupakan salah
satu sarana dimana akhirnya membuka sebagian mata publik dunia tentang
betapa perihnya arti sebuah penindasan (kolonialisme). Hasilnya, Belanda
kemudian menghapus sistem tanam paksa dan diganti dengan kebijakan politik
etis. Hal tersebut pernah diungkapkan oleh Pramudya Ananta toer dalam New
York Time tahun 1999 sebagai kisah yang membunuh kolonialisme.

4. Substansi Isi
Buku Max Havelaar mengisahkan tentang penderitaan rakyat pribumi akibat
dari adanya penjajahan. Buku tersebut ditulis berdasarkan pengalaman langsung
penulis yaitu Multatuli atau Eduard Douwes Dekker selama menjadi pegawai
pemerintah kolonial di Hindia-Belanda. Dalam penulisan buku tersebut penulis
memakai sudut pandang orang ketiga dimana penulis menciptakan seorang tokoh
fiksi Max Havelaar untuk menceritakan kisahnya tersebut atau dengan kata lain
sebagai tokoh utama dalam kisah tersebut. Berikut adalah isi dari buku Max
Havelaar :
Kisah Max Havelaar adalah kisah berbingkai yang terdiri dari 3 buah cerita dan
seakan-akan juga ditulis oleh 3 orang yang berlainan. Kisah pertama adalah
perjalanan Droogstoppel, seorang makelar kopi yang sedang berusaha
menerbitkan sebuah buku sebagai upaya marketing untuk bisnis kopinya. Kisah
kedua yang mengisahkan perjalanan Max Havelaar, seorang asisten residen di
Hindia Belanda yang berusaha membela keadilan namun akhirnya kalah dan
hidup melarat. Kisah ketiga berjudul Saijah dan Adinda, sebuah kisah yang
memilukan yang menggambarkan keadaan rakyat Indonesia dari mata seorang
pribumi.
Awal cerita berkisah tentang Droogstoppel, seorang makelar kopi di Belanda yang
pragmatis. Bab-bab awal benar-benar seperti diary yang ditulis sendiri oleh
Droogstoppel, menceritakan tentang dirinya, keluarganya, dan usahanya. Yang
kemudian Droogstoppel bertemu dengan Sjalmaan yang memiliki semacam
naskah cerita. Droogstoppel pun kemudian menyuruh Stern, salah satu anak dari
koleganya yang bekerja untuknya, agar menuliskan naskah dari Sjalmaan untuk
membuat bukunya, sebagai usaha marketing bisnis kopinya.
Lanjut pada bab pertengahan hingga akhir buku, menceritakan tentang paket
naskah dari Sjalmaan, yang ditulis oleh Stern. Pada bab pertengahan ini munculah
Max Havelaar. Bab yang ditulis oleh Stern ini sudah tidak lagi dengan gaya

bahasa diary satu orang, tetapi sudah menggunakan gaya bahasa orang ketiga.
Cerita tentang Max Havelaar ini dimulai dari dia dilantik menjadi Asisten Residen
Lebak. Lebak ini sendiri merupakan daerah yang sangat miskin, namun Bupatinya
yang merupakan orang pribumi hidup dengan sangat berkecukupan bahkan bisa
dibilang berlebihan. Diceritakan bahwa Bupati Lebak (orang pribumi) ini cukup
semena-mena, dengan mudahnya ia merampas segala milik rakyat atau dibeli
dengan harga yang tak pantas, entah itu ternak ataupun hasil perkebunan. Hasilnya
warga banyak yang merasa tertindas. Pemerasan semacam ini dibiarkan oleh
Residen Banten (orang belanda), yang hanya menceritakan kedamaian dalam
laporannya ke Gubernur Jendral Hindia Belanda. Singkat cerita, sebagai Asisten
Residen Lebak, Max Havelaar banyak menerima aduan dari masyarakat mengenai
ketidakadilan penguasa yaitu si Bupati Lebak. Max Havelaar pun melapor ke
Residen Banten untuk memecat Bupati Lebak. Dia pun juga melaporkan hal
tersebut ke Gubernur Jendral Hindia Belanda. Akan tetapi permintaan Max
Havelaar tersebut ditolak, dan dia justru diberhentikan sebagai Asisten Residen
Lebak. Setelah itu dia berhenti (mengundurkan diri) sebagai Asisten Residen.
Pada bab terakhir, barulah Multatuli muncul dan menegaskan bahwa bukunya ini
memang terlihat tak terkonsep dan berantakan. Akan tetapi mengenai penindasan
yang terjadi oleh kolonial Belanda dan pribumi korup ialah benar, dan memang itu
yang ingin dia sampaikan dan tunjukkan dalam bukunya. Penindasan dan
pemerasan terhadap rakyat pribumi.

5. Interpretasi
Dalam penulisan buku, alasan penulisan menjadi penting manakala kita
memebahas mengenai kritik sumber. Dalam hal ini menurut saya alasan kenapa
Eduard Douwes Dekker menulis tentang buku Max Havelaar ada dua yaitu
pertama sebagai kritik kepada pemerintah Kolonial Belanda agar menghentikan
kekejamannya yang dilakukan kepada kaum pribumi dan yang kedua sebagai alat
untuk memulihkan kehormatan Eduard Douwes Dekker yang justru dianggap
bersalah dan dipecat sebagai Asisten Residen Lebak hanya karena laporannya

kepada Gubernur Jendral terkait dengan kesewenang-wenangan yang dilakukan


terhadap rakyat pribumi. Itulah hal yang kemudian mendorong Eduard Douwes
Dekker untuk menulis buku Max Havelaar karena dia merasa usahanya dengan
berbicara langsung dengan penguasa akan senantiasa berakhir sia-sia sehingga dia
menganggap tulisan sebagai sarana yang tepat untuk mengungkapkan semuanya
pada dunia.
Buku tersebut ditulis berdasarkan pengalaman Eduard Douwes Dekker sendiri
selama menjadi Asisten Residen di Lebak. Jabantannya sebagai asisten residen
yang merupakan jabatan pemerintahan kolonial tertinggi di tingkat Afdeling
(kebupaten) membuat Eduard Douwes Dekker sering mendapat aduan dari
masyarakat pribumi yang mendapat penindasan dari penguasa. Selain itu, tugas
asisten residen yang juga sekaligus merupakan penasehat bupati membuat Eduard
Douwes Dekker dapat menyaksikan langsung bagaimana kesewang-wenangan
yang dilakukan bupati terhadap rakyatnya. Terlebih lagi pengalaman langsung
menyaksikan penindasan terhadap rakyat pribumi selama dia bertugas diberbagai
daerah di Hindia-Belanda menurut saya telah cukup menjadikannya sebagai
sumber penulisan bagi buku Max Havelaar-nya.
Seperti telah disebutkan di atas, buku Max Havelaar ditulis dalam bentuk fiksi
dengan terdiri dari 3 buah cerita dan seakan-akan juga ditulis oleh 3 orang yang
berlainan. Lalu kenapa buku ini dibuat dalam bentuk fiksi ? Menurut saya hal
tersebut sangat berkaitan dengan situasi zaman saat itu. Situasi zaman saat itu
tidak memperbolehkan adanya tulisan-tulisan yang berkaitan dengan kritik
terhadap pemerintah yang kiranya dapat memicu konflik antara rakyat dengan
pemerintah dan yang kiranya dapat membangkitkan nasionalisme serta
perlawanan rakyat terhadap pemerintah. Buku tersebut ditulis dalam bentuk fiksi
adalah agar dapat menghindarkannya dari kecurigaan pemerintah Belanda akan
hal tersebut sehingga dengan cara tersebut dapat mengelabuhi pemerintah yang
berkuasa sehingga tulisan itu tetap dapat tersebar luas ke seluruh dunia. Karena
apabila tulisan tersebut terlalu fulgar dalam penulisan kritik terhadap pemerintah
maka sebelum tulisan tersebut dapat tersebar mungkin telah disita dan
dilenyapkan terlebih dahulu oleh pemerintah yang berkuasa. Pun begitu dengan

nama samaran Multatuli yang dipakai oleh Eduard Douwes Dekker. Nama
tersebut digunakan selain sebagai cerminan dari penderitaan rakyat (Multatuli =
aku yang menderita) juga sebagai kamuflase untuk menjaga diri agar tidak
diburu oleh pemerintah yang berkuasa.
Terkait dengan cerita yang ada didalamnya, kenapa kemudian dibuat 3 buah
cerita. Menurut saya hal tersebut dilakukan untuk menggambarkan penindasan
yang dialami rakyat pribumi dari tiga sudut pandang yang berbeda, yaitu pertama
dari sudut pandang penguasa yang dicerminkan oleh tokoh Droogstoppel
seorang makelar kopi; yang kedua dari sudut pandang orang yang berada diantara
dua sisi (penguasa dan rakyat) yaitu pegawai pemerintah kolonial yang
menyaksikan

langsung

penindasan

yang

dialami

rakyat

pribumi

yang

digambarkan oleh tokoh Max Havelaar seorang asisten residen di Hindia


Belanda yang berusaha membela keadilan; dan yang ketiga dari sudut pandang
rakyat pribumi itu sendiri yang diwakili oleh Saidjah dan Adinda. Menurut saya
hal tersebut dilakukan untuk lebih menguatkan unsur objektivitas dalam penulisan
kisah tersebut karena ditulis dalam tiga sudut pandang yang berbeda dengan
harapan agar orang akan lebih yakin dan percaya bahwa apa yang ditulisnya
(Eduard Douwes Dekker) adalah sebuah kebenaran.

Anda mungkin juga menyukai