Anda di halaman 1dari 126

KRITIK SASTRA INDONESIA

DI YOGYAKARTA
19661980

Tirto Suwondo
Siti Ajar Ismiyati
Yohanes Adhi Satiyoko

BALAI BAHASA YOGYAKARTA


PUSAT BAHASA
DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL

i
KRITIK SASTRA INDONESIA DI YOGYAKARTA 19661980

Penulis:
Tirto Suwondo
Siti Ajar Ismiyati
Yohanes Adhi Satiyoko

Penyunting:
Imam Budi Utomo
Dhanu Priyo Prabowo

Cetakan Pertama:
Juni 2009

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Diterbitkan pertama kali oleh:


BALAI BAHASA YOGYAKARTA
PUSAT BAHASA
DEPARTEMEN PENDIDIKAN NASIONAL

Katalog Dalam Terbitan (KDT)

KRITIK SASTRA INDONESIA DI YOGYAKARTA 19661980/Tirto Suwondo, Siti


Ajar Ismiyati, Yohanes Adhi Satiyokocet. 1Yogyakarta: Penerbit Balai Bahasa
Yogyakarta,
116 + viii hlm; 14.5 x 21 cm, 2009
ISBN (10) 979-188-192-8
(13) 978-979-188-192-0
1. Literatur I. Judul
II. Imam Budi Utomo 800

Sanksi Pelanggaran Pasal 72, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak
Cipta.
1. Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan
pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling
sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh)
tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah).
2. Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual
kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak
Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling
lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus
juta rupiah).

ii
PENGANTAR PENERBIT

Sebagai sebuah disiplin ilmu sastra, kritik sastra merupakan


bagian dari ilmu sastra yang memiliki kedudukan penting, sama
seperti kedudukan teori dan sejarah sastra. Oleh karena ketiga
disiplin ilmu sastra itu saling berkaitan, saling menopang, dan tidak
ada yang lebih utama dibanding yang lain maka jelas kritik sastra
tidak sekadar sebagai ilmu yang hanya membahas baik-buruk suatu
karya sastra, tetapi juga menjadi bagian yang penting dalam proses
perkembangan teori dan sejarah sastra.
Kritik sastra modern di Indonesia pertama kali diperkenalkan
oleh Angkatan Pujangga Baru. Pada saat itu, terjadi polemik antara
Sutan Takdir Alisjahbana dan para guru bahasa Melayu. Dari pole-
mik itu kemudian lahirlah konsep dan pandangan mengenai kritik
sastra Indonesia. Perdebatan yang terjadi di antara para ahli
tersebut, berimbas ke seluruh daerah. Sejak akhir tahun 1960-an,
kritik sastra berkembang di perguruan tinggi lewat skripsi-skripsi
mahasiswa sastra. Di samping itu, kritik sastra juga berkembang
di media massa.
Perkembangan dunia sastra Indonesia di wilayah Yogyakarta,
didukung oleh keberadaan media massa cetak (majalah dan koran)
yang terbit di Yogyakarta. Beberapa media massa cetak yang terbit
di Yogyakarta, menjadi pendukung eksistensi sastra Indonesia di
Yogyakarta sejak awal hingga sekarang. Namun demikian, peranan-
nya terhadap pertumbuhan sastra Indonesia di Yogyakarta ber-
beda-beda; ada yang sejak pertama terbit telah memuat karya sastra
(terutama puisi, cerpen, dan esai/kritik), ada pula yang baru be-
berapa tahun kemudian memuat karya sastra.

iii
Buku yang merupakan hasil penelitian Balai Bahasa Yogya-
karta ini diterbitkan dengan maksud untuk memberikan sumbang-
an yang berarti bagi upaya penelusuran perkembangan sejarah
sastra Indonesia di Yogyakarta, terutama sejarah kritik sastranya.
Pada akhirnya, diharapkan buku ini dapat dibaca oleh masya-
rakat umum dalam rangka menambah pengetahuan mengenai ke-
beradaan dunia sastra Indonesia di Yogyakarta.

Penerbit

iv
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami (tim peneliti) panjatkan ke hadirat Tuhan


Yang Mahabesar karena tugas yang dibebankan oleh Balai Bahasa
Yogyakarta kepada kami untuk melakukan penelitian berjudul
Kritik Sastra Indonesia di Yogyakarta Tahun 19661980 dapat
kami selesaikan dengan baik. Dengan selesainya tugas ini, kami
merasa bahwa semua itu tiada lain berkat limpahan kasih-Nya se-
hingga kami tidak bisa tidak harus mengucapkan syukur kepada-
Nya.
Kami menyadari, tugas ini tidak mungkin dapat kami selesai-
kan jika tanpa ada peran, keberadaan, dan keikhlasan berbagai
pihak. Untuk itu, dengan rendah hati kami mengucapkan terima
kasih yang tulus kepada pihak-pihak berikut. Pertama, Kepala Balai
Bahasa Yogyakarta atas hak dan kewenangannya memberikan tugas
ini kepada kami. Kedua, konsultan yang telah meluangkan waktu
bagi kami untuk berkonsultasi. Ketiga, kepada kawan-kawan pene-
liti di Bidang Penelitian dan Pembinaan Sastra Balai Bahasa Yogya-
karta yang telah memberikan dorongan moral dan spirit kepada
kami. Keempat, kepada semua pihak, yang tidak mungkin kami sebut
satu per satu, termasuk para pengetik naskah ini, yang terlibat baik
langsung maupun tak langsung sehingga penelitian ini dapat kami
wujudkan. Kepada mereka semua, sungguh kami merasa berutang
budi, dan semoga budi baik mereka membuahkan pahala yang
melimpah dari-Nya.
Kami juga menyadari, penelitian ini masih jauh dari ideal,
lebih-lebih sempurna. Oleh sebab itu, demi kesempurnaannya, saran

v
dan kritik dari pihak mana pun sangat kami harapkan. Semoga
penelitian ini bermanfaat bagi para pecinta sastra Indonesia di Yog-
yakarta khususnya dan para pecinta sastra Indonesia pada umum-
nya.

Yogyakarta, Desember 2005


Ketua Tim,

Tirto Suwondo

vi
DAFTAR ISI

PENGANTAR PENERBIT ........................................................... iii


KATA PENGANTAR ..................................................................... v
DAFTAR ISI .................................................................................. vii

BAB I
PENDAHULUAN .................................................................... 1
1.1 Latar Belakang dan Masalah .................................................. 1
1.1.1 Latar Belakang ............................................................... 1
1.1.2 Masalah .......................................................................... 6
1.2 Tujuan Penelitian ..................................................................... 7
1.3 Landasan Teori ......................................................................... 7
1.4 Metode dan Teknik ................................................................ 10
1.5 Data Penelitian ....................................................................... 11
1.6 Sistematika Penyajian ........................................................... 11
1.7 Ejaan ........................................................................................ 12

BAB II
DINAMIKA KRITIK SASTRA INDONESIA
DI YOGYAKARTA ............................................................... 13
2.1 Mobilitas Sosial ...................................................................... 13
2.2 Tradisi Kritik .......................................................................... 20
2.3 Kritikus ................................................................................... 23
2.4 Media Penerbitan dan Penyebarluasan .............................. 26

BAB III
JENIS DAN ORIENTASI KRITIK SASTRA INDONESIA
DI YOGYAKARTA ............................................................ 45
3.1 Jenis Kritik ............................................................................. 45
3.2 Orientasi Kritik ..................................................................... 51

vii
3.2.1 Kritik Terhadap Pengarang ...................................... 52
3.2.2 Kritik Terhadap Karya Sastra .................................... 67
3.2.3 Kritik Terhadap Penerbit/Pengayom ....................... 96
3.2.4 Kritik Terhadap Pembaca ........................................ 103
3.2.5 Kritik Terhadap Kritik .............................................. 106

BAB IV
PENUTUP ............................................................................ 109

DAFTAR PUSTAKA .......................................................... 113


BIODATA PENULIS .......................................................... 115

viii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang dan Masalah


1.1.1 Latar Belakang
Seperti diketahui bahwa perkembangan kritik sastra di Indo-
nesia, khususnya kritik sastra Indonesia modern, relatif baru. Dalam
kaitan ini Teeuw (1989:7374) mencatat bahwa yang tampil per-
tama kali di bidang kritik sastra adalah Pujangga Baru. Saat itu,
lewat Pujangga Baru, terjadi polemik/perdebatan antara Sutan
Takdir Alisjahbana dan para guru bahasa Melayu. Polemik itulah
yang kemudian melahirkan konsep dan pandangan Takdir menge-
nai kritik sastra Indonesia yang kemudian dibukukan dalam Ke-
bangkitan Puisi Baru Indonesia. Itu pula sebabnya, pada masa beri-
kutnya (1950-an dan 1960-an) tampil dua tokoh penting, yakni H.B.
Jassin dan A. Teeuw, yang dengan sadar mulai membangkitkan
tradisi kritik sastra di Indonesia. Karya-karya kritik mereka kemu-
dian dibukukan dalam Kesusastraan Indonesia Modern dalam Kritik
dan Esai (5 jilid) (Gunung Agung, 1954) dan Pokok dan Tokoh dalam
Kesusastraan Indonesia Baru (Pembangunan, 1952).
Pada masa berikutnya (akhir 1960-an), terjadi pula polemik
antara aliran Rawamangun yang dimotori oleh kalangan akademisi
seperti M. Saleh Saad, M.S. Hutagalung, S. Effendi, dan J.U. Nasu-
tion dan aliran Ganzheit yang dimotori oleh Arif Budiman dan
Gunawan Mohamad. Aliran Rawamangun berusaha menempat-
kan kritik sastra sebagai ilmu dengan prinsip, teori, dan sistem

1
yang jelas; sedangkan aliran Ganzheit mencoba menempatkan
prinsip bahwa memahami karya sastra haruslah secara totalitas,
tidak menganalisisnya unsur demi unsur. Beberapa karya kritik
yang berasal dari perdebatan tersebut kemudian dibukukan oleh
M.S. Hutagalung dalam Kritik Atas Kritik Atas Kritik (Tulila, 1975).
Seperti diketahui pula bahwa perdebatan yang terjadi sejak
Pujangga Baru hingga tahun 1960-an di antara para ahli (H.B. Jassin,
Sutan Takdir Alisjahbana, A. Teeuw, M. Saleh Saad, M.S. Huta-
galung, S. Effendi, J.U. Nasution, Arif Budiman, dan Gunawan
Mohamad) itu mempunyai imbas yang luas (secara nasional). Oleh
karena itu, tidak mengherankan jika tradisi kritik sastra Indonesia
di berbagai daerah turut berkembang, tidak terkecuali di daerah/
wilayah Yogyakarta. Sebab, sejak akhir tahun 1960-an, selain kritik
sastra berkembang di perguruan tinggi lewat skripsi-skripsi maha-
siswa sastra, kritik sastra juga berkembang di media-media massa
cetak yang terbit di wilayah-wilayah yang bersangkutan.
Bertolak dari pernyataan di atas, dapat dikatakan bahwa per-
kembangan dunia sastra Indonesia di wilayah Yogyakarta jelas didu-
kung oleh keberadaan media massa cetak (majalah dan koran) yang
terbit di Yogyakarta. Beberapa media massa cetak yang terbit dan
menjadi pendukung eksistensi sastra Indonesia di Yogyakarta sejak
awal hingga sekarang, antara lain, Pusara (terbit pertama tahun
1933, oleh Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa), Pesat (terbit per-
tama 21 Maret 1945), Api Merdika (terbit pertama 16 November 1945,
oleh Gasemma IPI Cabang Yogyakarta), Arena (terbit pertama April
1946, oleh Himpunan Sastrawan Indonesia Yogyakarta), Suara Mu-
hammadiyah (terbit pertama 1915, oleh organisasi sosial-keagamaan
Muhammadiyah), Kedaulatan Rakyat (terbit pertama 27 September
1945), Minggu Pagi (terbit pertama April 1948, di bawah naungan
PT BP Kedaulatan Rakyat), Medan Sastra (terbit pertama 1953, oleh
Lembaga Seni Sastra Yogyakarta), Darmabakti (terbit pertama April
1950, oleh Dewan Mahasiswa IAIN Yogyakarta), Gadjah Mada (terbit
April 1950, oleh Dewan Mahasiswa Universitas Gadjah Mada
Yogyakarta), Pelopor (terbit pertama Januari 1950 di bawah ke-
pengayoman Angkatan Bersenjata Republik Indonesia c.q Angkat-
an Darat), Basis (terbit pertama Agustus 1951 di bawah Yayasan

2
Kanisius), Semangat (majalah pemuda-pemudi dewasa, terbit per-
tama tahun 1954, mendapat surat izin terbit baru pada 28 Maret
1966, oleh Badan Penerbit Spirit, di bawah dukungan pemuda-
pemudi Katolik), Budaya (terbit pertama Februari 1953, oleh Bagian
Kesenian Jawatan Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Ke-
budayaan Provinsi DIY), Mercu Suar (terbit pertama tahun 1966,
kemudian pada tahun 1972 berubah nama menjadi Masa Kini, dan
pada awal 1990-an berubah dengan manajemen baru di bawah
naungan harian nasional Media Indonesia menjadi Yogya Post),
Eksponen (tabloid mingguan, terbit tahun 1970-an hingga 1980-an),
dan Berita Nasional (terbit sejak awal 1970-an dan pada tahun 1990-
an berubah dengan manajemen baru di bawah naungan harian
nasional Kompas menjadi Bernas). Hal itu masih ditambah dengan
majalah Citra Jogja terbitan Dewan Kesenian Yogyakarta dan bebe-
rapa majalah kampus seperti Arena (IAIN), Humanitas (Fakultas Sas-
tra UGM), Citra (Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni IKIP Muham-
madiyah), Gatra (Fakultas Sastra Universitas Sanata Dharma), dan
atau majalah/bulletin terbitan sanggar atau kelompok-kelompok
studi seniman/sastrawan.
Dilihat dari peranannya terhadap pertumbuhan sastra Indo-
nesia di Yogyakarta, beberapa media massa cetak yang disebutkan
di atas memang berbeda-beda; ada yang sejak pertama terbit telah
memuat karya sastra (terutama puisi, cerpen, dan esai/kritik), mi-
salnya Arena dan Medan Sastra; ada pula yang baru beberapa tahun
kemudian memuat karya sastra, misalnya Pesat, sebuah mingguan
politik yang terbit tahun 1945 tetapi sejak tahun 1951 memuat karya
sastra, dan Kedaulatan Rakyat yang terbit sejak 1945 tetapi baru mem-
buka rubrik sastra (budaya) pada awal 1980-an. Akan tetapi, bagai-
manapun juga, meskipun berbeda-beda peranannya, media-media
massa cetak tersebut cukup memberikan andil positif bagi perkem-
bangan sastra Indonesia di Yogyakarta, lebih-lebih karena pada
beberapa dekade awal kemerdekaan hingga tahun 70-an (sebelum
tahun 1980) dunia penerbitan buku karya sastra boleh dikata belum
berkembang. Oleh karena itu, dunia sastra secara dominan tumbuh
melalui koran dan majalah.
Sebagaimana diketahui bahwa hampir semua media massa
cetak yang disebutkan di atas (pernah) memuat karya sastra,

3
terutama puisi, cerpen, dan esai/kritik; sedangkan karya sastra
yang berupa novel (cerita bersambung) dan drama tidak memper-
oleh perhatian semestinya, kecuali Minggu Pagi yang pada awal
tahun 1960-an pernah memuat cerita bersambung (novel) karangan
Motinggo Busye berjudul Tidak Menyerah dan Ahim-Ha Manu-
sia Sejati dan karangan Nasjah Djamin berjudul Hilanglah Si Anak
Hilang.1 Oleh sebab itu, untuk mengetahui sejauh mana keberada-
an karya-karya sastra dalam media-media massa tersebut dan
sejauh mana peranannya dalam perkembangan sastra Indonesia
di Yogyakarta secara keseluruhan, seluruh karya sastra yang di-
muat di dalam media-media tersebut harus diteliti. Akan tetapi,
tidaklah mungkin meneliti seluruh karya sastra yang terbit dalam
media-media tersebut karena hal tersebut hanya mungkin dilaku-
kan jika tersedia waktu, kemampuan, dan tentu saja biaya yang
cukup (banyak). Karena penelitian ini serba terbatas, di samping
karena waktu dan biaya yang amat terbatas, pembatasan terhadap
objek penelitian pun harus dilakukan.
Berkenaan dengan hal di atas, penelitian ini hanya akan mem-
bahas salah satu di antara sekian banyak aspek di bidang sastra,
yaitu kritik sastra Indonesia dalam Minggu Pagi, Kedaulatan Rakyat,
Mercu Suar (Masa Kini), Basis, Semangat, Suara Muhammadiyah, dan
Pelopor pada kurun waktu tahun 1966 hingga 1980. Pembatasan ha-
nya pada kritik sastra tidak berarti bahwa karya-karya lain (puisi,
cerpen, novel, drama dll.) tidak penting, tetapi semata karena
karya-karya lain itu sudah diteliti oleh para peneliti lain, misalnya
puisi oleh Widati dkk. (2003, 2004), cerita pendek oleh Triyono dkk.
(2004), dan novel (cerita bersambung) oleh Mardianto dkk. (2004).
Di samping itu, pembatasan media hanya pada Minggu Pagi, Ke-
daulatan Rakyat, Mercu Suar (Masa Kini), Basis, Semangat, Suara Mu-
hammadiyah, dan Pelopor juga tidak berarti bahwa media-media

1
Setelah dimuat Minggu Pagi pada tahun 1960, cerita bersambung tersebut kemudian
diterbitkan menjadi buku (novel) oleh Penerbit Nusantara, Bukittinggi, tahun 1963,
kemudian oleh Dunia Pustaka Jaya, Jakarta, tahun 1977, bahkan juga diterjemahkan
oleh Dr. Farida Labrouse ke dalam bahasa Perancis dan diterbitkan oleh Puraimond,
Paris, dalam Collection Unesco Doeuvres Representative Serie Indonesienne tahun 1976.
Pada tahun 1993 novel ini diterbitkan oleh Balai Pustaka.

4
lainnya tidak penting, tetapi karena memang media-media itulah
yang pada kurun waktu itu (19661980) masih hidup dan dimung-
kinkan menjadi media publikasi karya-karya kritik sastra Indonesia
di Yogyakarta. Sementara itu, pembatasan waktu penelitian hanya
pada tahun 1966 hingga 1980 juga tidak berarti tahun-tahun di
luar itu diabaikan, tetapi karena esai/kritik sastra yang terbit pada
tahun 1945 hingga 1965 telah diteliti oleh Suwondo dkk. (2004),
sedangkan esai/kritik sastra yang terbit sesudah tahun 1980 akan
diteliti kemudian (tahun 2006). Oleh karena itu, cukup beralasan
jika penelitian ini hanya membatasi objek penelitian berupa karya-
karya kritik sastra pada Minggu Pagi, Kedaulatan Rakyat, Mercu Suar
(Masa Kini), Basis, Semangat, Suara Muhammadiyah, dan Pelopor.
Perlu dikemukakan di sini bahwa alasan perlu ditelitinya kri-
tik sastra ialah karena sebagai sebuah disiplin ilmu sastra, kritik
sastra merupakan bagian dari ilmu sastra yang memiliki keduduk-
an yang penting, sama seperti kedudukan teori dan sejarah sastra
(Wellek dan Warren, 1968). Oleh karena ketiga disiplin ilmu sastra
itu (teori, sejarah, dan kritik) saling berkaitan, saling menopang,
dan tidak ada yang lebih utama dibanding yang lain, jelaslah bah-
wa kritik sastra tidak sekadar sebagai ilmu yang hanya membahas
baik-buruk suatu karya sastra, tetapi juga menjadi bagian yang
penting dalam proses perkembangan teori dan sejarah sastra. Oleh
sebab itu, perkembangan kritik sastra di suatu wilayah tertentu,
misalnya, secara tidak terelakkan akan menjadi bagian dari para-
meter perkembangan atau perjalanan sejarah dan teori sastra di
wilayah yang bersangkutan. Demikian pula kiranya perkembang-
an kritik sastra Indonesia di Yogyakarta.
Sebagaimana kehidupan kritik sastra pada umumnya, ke-
hidupan kritik sastra Indonesia di Yogyakarta juga tidak begitu saja
turun dari langit karena kritik sastra berhubungan erat dengan
karya sastra, pengarang, pembaca, dan dunia akademik yang men-
jadi faktor pengembang ilmu (dan dunia) sastra. Dengan demikian,
di satu sisi kritik sastra berada dalam suatu sistem yang otonom
(mandiri), tetapi di sisi lain juga senantiasa bergerak di tengah
elemen-elemen yang menjadi lingkungan terdekatnya. Jadi, dapat
diasumsikan bahwa ada beberapa faktor yang turut berperan dan

5
mendukung dalam upaya atau proses kehadiran kritik sastra Indo-
nesia di Yogyakarta.
Berdasarkan pengamatan sementara dapat dikatakan bahwa
esai/kritik sastra Indonesia di Yogyakarta yang muncul dalam Ming-
gu Pagi, Kedaulatan Rakyat, Mercu Suar (Masa Kini), Basis, Semangat,
Suara Muhammadiyah, dan Pelopor tahun 1966 hingga 1980 cukup
beragam, dalam arti kritik tersebut tidak hanya ditujukan kepada
karya sastra (secara objektif, secara mikro sastra), tetapi juga di-
tujukan kepada elemen-elemen lain di luar karya sastra (secara ma-
kro, cenderung sosiologis), misalnya kepada para pengarang (sang
pencipta, penulis, kreator), kepada penerbit (termasuk di dalamnya
pengayom), kepada para pembaca (selaku penikmat, audiens, apre-
siator), dan bahkan kepada kritik itu sendiri (yang berupa diskusi
terbuka atau polemik). Selain itu, kritik sastra dalam beberapa
media cetak tersebut juga tidak hanya muncul di dalam rubrik yang
secara eksplisit diberi nama kritik, seni-budaya, atau sastra-
budaya, tetapi dapat muncul dalam rubrik lain, misalnya rubrik
surat pembaca, ulasan, resensi atau bedah buku, dan lain-lain. Oleh
sebab itu, penelitian ini akan membahas berbagai orientasi esai/
kritik sastra dengan mengesampingkan pembedaan rubrik yang
ada di dalam masing-masing media massa cetak tersebut (Minggu
Pagi, Kedaulatan Rakyat, Mercu Suar (Masa Kini), Basis, Semangat,
Suara Muhammadiyah, dan Pelopor).

1.1.2 Masalah
Sebagaimana dikemukakan di dalam latar belakang bahwa
penelitian ini akan membahas karya-karya kritik sastra Indonesia
di Yogyakarta tahun 1966 hingga 1980, khususnya yang telah dipubli-
kasikan di media massa cetak yang terbit di Yogyakarta (Minggu Pagi,
Kedaulatan Rakyat, Mercu Suar (Masa Kini), Basis, Semangat, Suara Mu-
hammadiyah, dan Pelopor). Sehubungan dengan hal itu, pokok masa-
lah yang diangkat dan dibahas adalah (1) bagaimana dinamika kritik
sastra Indonesia di Yogyakarta tahun 1966 hingga 1980, (2) apa jenis
kritiknya, dan (3) bagaimana orientasi karya-karya kritik tersebut.
Dalam pokok masalah (1) akan dilihat bagaimana mobilitas
sosial yang terjadi dan berpengaruh pada kehidupan kritik sastra
Indonesia, bagaimana tradisi kritik yang terbangun, siapa saja para

6
kritikusnya, dan bagaimana peran media massa cetak itu dalam per-
kembangan kritik sastra Indonesia di Yogyakarta tahun 1966 hing-
ga 1980. Dalam pokok masalah (2) akan dilihat apa saja jenis kritik-
nya berdasarkan metode penggarapan atau penyampaiannya. Se-
mentara itu, dalam pokok masalah (3) akan dilihat bagaimana fo-
kus perhatian kritik; terhadap apa saja kritik itu ditujukan, apakah
terhadap pengarang, karya, penerbit/pengayom, pembaca, kritik,
atau terhadap hal lain yang berada di dalam lingkaran sistem kritik
sastra Indonesia di Yogyakarta tahun 1966 hingga 1980.

1.2 Tujuan Penelitian


Berdasarkan latar belakang dan masalah yang telah dipapar-
kan di atas, penelitian ini dimaksudkan untuk mencapai beberapa
tujuan yang mencakupi tujuan umum dan tujuan khusus. Dalam
kaitannya dengan tujuan umum, penelitian ini bermaksud mem-
bantu memberikan sumbangan yang berarti bagi upaya penelusur-
an perkembangan sejarah sastra Indonesia di Yogyakarta, terutama
sejarah kritik sastranya, di samping memberikan dan atau menye-
diakan data deskriptif yang dapat dibaca oleh masyarakat umum
dalam rangka menambah pengetahuan mengenai keberadaan dunia
sastra Indonesia di Yogyakarta.
Di samping itu, dalam kaitannya dengan tujuan khusus, pene-
litian ini bermaksud mengetahui keberadaan kritik sastra Indonesia
di Yogyakarta tahun 1966 hingga 1980 khususnya dalam media
massa cetak Minggu Pagi, Kedaulatan Rakyat, Mercu Suar (Masa Kini),
Basis, Semangat, Suara Muhammadiyah, dan Pelopor. Lebih khusus
lagi, penelitian ini bermaksud mendeskripsi dan menginventarisasi
berbagai hal yang berhubungan dengan jenis dan orientasi kritik
sastra yang muncul dalam media-media tersebut beserta kecen-
derungan dominannya. Selain itu, penelitian ini juga bertujuan
melihat seberapa besar peranan media-media massa cetak itu da-
lam konteks perkembangan sastra Indonesia di Yogyakarta.

1.3 Landasan Teori


Telah dikemukakan di depan bahwa pokok masalah yang
dibahas di dalam penelitian ini adalah kritik sastra Indonesia di

7
Yogyakarta tahun 1966 hingga 1980 dan lingkup kajiannya dipusat-
kan pada karya-karya kritik sastra Indonesia yang telah dipubli-
kasikan dalam media massa cetak yang terbit di Yogyakarta (Ming-
gu Pagi, Kedaulatan Rakyat, Mercu Suar (Masa Kini), Basis, Semangat,
Suara Muhammadiyah, dan Pelopor). Karena karya-karya kritik sastra
tersebut yang berupa esai, artikel, ulasan, resensi, dll. pada
hakikatnya merupakan suatu kristalisasi tanggapan atau sambutan
pembaca, khususnya pembaca canggih (sophisticated reader) atau
kritikus, teori yang paling tepat untuk digunakan sebagai landasan
analisis ialah resepsi sastra seperti yang telah dirumuskan secara
bersistem oleh Jauss (1974) dan Iser (1980, 1987) dengan prinsip da-
sarnya yang terkenal, yaitu horizon harapan (horizon of expecta-
tion) dan tempat terbuka (blank, apenness).
Teori resepsi sastra antara lain berpandangan bahwa pembaca
(reader) merupakan variabel penting sebagai pemberi makna karya
sastra; dan oleh karenanya, dalam suatu penelitian sastra, tang-
gapan pembaca terhadap sastra yang antara lain terwujud dalam
bentuk karya-karya kritik dapat dimanfaatkan sebagai titik tolak pem-
bahasan. Namun, karena penelitian ini bermaksud mendeskripsi-
kan tanggapan pembaca lewat karya-karya kritik sastra Indonesia
di Yogyakarta yang berkembang pada kurun waktu tertentu (1966
1980), konsep teori resepsi yang diajukan oleh Jauss dan Iser akan
diterapkan ke dalam beberapa kategori kritik seperti yang dikemu-
kakan oleh Tanaka (1976), Said (1983), dan Abrams (1981).
Tanaka (1976:4950) berpendapat bahwa dalam kaitannya
dengan sistem mikro dan makro sastra, kritik sastra dibedakan men-
jadi dua kategori sistem, yaitu sistem kritik akademik (the academic
critic system) dan sistem kritik umum (the general critic system). Kritik
akademik adalah kritik yang berkembang di lingkungan akademik
dan kategori kritik ini dikembangkan oleh para akademisi; dan
kritik umum adalah kritik yang berkembang dalam masyarakat
umum dan biasanya media yang digunakan adalah media massa
umum. Sasaran yang dituju oleh kritik akademik adalah khalayak
terbatas, kecuali jika kritik tersebut kemudian disusun sedemikian
rupa sehingga dapat dikonsumsi oleh masyarakat umum; sedang-
kan kritik umum sejak awal memang ditujukan kepada khalayak
umum (luas).

8
Di samping itu, Said (Damono, 1998/1999) membagi kritik
sastra menjadi empat bentuk, yaitu (1) kritik sastra praktis/umum
(practical criticism), (2) sejarah sastra/akademik (academic literary
history), (3) apresiasi dan interpretasi sastra (literary appreciation and
interpretation), dan (4) teori sastra (literary theory). Walaupun di-
klasifikasikan menjadi empat bentuk, pengertian atau batasan yang
diajukan Said pada dasarnya tidak berbeda dengan pengertian
yang diajukan oleh Tanaka. Pengertian bentuk kritik (1) model
Said sama dengan pengertian kritik umum model Tanaka; bentuk
kritik (2) dan (4) model Said sama dengan kritik akademik model
Tanaka; dan bentuk kritik (3) model Said lebih luwes, dalam arti
kritik tersebut dapat dikategorikan baik sebagai kritik akademik
maupun kritik umum model Tanaka.
Sehubungan dengan hal di atas, Abrams (1981:3637) me-
nyatakan bahwa di dalam praktik penilaiannya kritik sastra dipilah
menjadi dua jenis, yaitu kritik judisial (judicial criticism) dan kritik
impresionistik (impressionistic criticism); sedangkan berdasarkan
pendekatan dan atau orientasinya kritik sastra dibedakan menjadi
kritik mimetik (mimetic criticism), kritik pragmatik (pragmatic criti-
cism), kritik ekspresif (expressive criticism), dan kritik objektif (objec-
tive criticism). Kritik judisial adalah kritik yang di dalam penilai-
annya menggunakan standar (konsep, teori, aturan) tertentu, se-
dangkan kritik impresionistik sebaliknya, tidak menggunakan
standar tertentu tetapi hanya berdasarkan kesan (impresi) kritikus
terhadap karya sastra (bdk. Pradopo, 1988:2830). Sementara itu,
kritik mimetik berorientasi pada tiruan atau gambaran ide (alam,
dunia, kehidupan), kritik pragmatik berorientasi pada pembaca
atau penikmat, kritik ekspresif berorientasi pada pengarang atau
pencipta, dan kritik objektif berorientasi pada karya sastra (bdk.
Pradopo, 2002:4046).
Meskipun Abrams membagi kritik sastra menjadi beberapa
kategori seperti di atas, pada dasarnya beberapa kategori itu juga
tidak bertentangan dengan pembagian yang dilakukan oleh
Tanaka dan Said. Misalnya, kritik judisial model Abrams sesuai
dengan kritik akademik model Tanaka dan kritik teori sastra model
Said; kritik impresionistik model Abrams tidak berbeda dengan

9
kritik umum baik model Tanaka maupun Said; dan empat kategori
kritik berdasarkan pendekatan atau orientasi model Abrams sesuai
pula dengan beberapa kategori sistem (mikro dan makro) sebagai-
mana dikemukakan oleh Tanaka.
Karena beberapa kategori kritik yang dikemukakan oleh para
ahli di atas tidak saling bertentangan, tetapi justru saling meleng-
kapi, dalam penelitian Kritik Sastra Indonesia di Yogyakarta Tahun
1966 hingga 1980 ini penerapan beberapa kategori kritik tersebut
tidak akan dipisahkan secara tegas, tetapi justru akan dipadukan.
Dalam arti bahwa penggolongan oleh beberapa tokoh tersebut
akan dimodifikasi sedemikian rupa sehingga sesuai dengan data
yang dianalisis.

1.4 Metode dan Teknik


Sesuai dengan konsep teori seperti yang telah dikemukakan
di atas, yakni teori resepsi Jauss (1974) dan Iser (1980, 1987) yang
dimodifikasikan dengan konsep Tanaka (1976), Said (1983), dan
Abrams (1981), sebenarnya ada tiga metode yang dapat diterapkan
di dalam penelitian ini. Pertama, metode penelitian resepsi secara
eksperimental. Kedua, metode penelitian resepsi lewat kritik sastra.
Ketiga, metode penelitian resepsi intertekstual. Namun, karena pe-
nelitian ini hanya bermaksud meneliti berbagai sambutan pembaca
yang telah dituangkan dalam bentuk karya-karya kritik (sastra),
metode yang kemudian dipilih adalah metode kedua, yaitu metode
penelitian resepsi sastra lewat kritik sastra. Walaupun di dalam
pelaksanaan suatu penelitian metode ini dapat dilakukan dengan
dua cara, yaitu cara sinkronik dan cara diakronik, yang ditetapkan
sebagai pedoman di dalam penelitian ini adalah cara sinkronik ka-
rena objek yang diteliti adalah karya-karya kritik sastra Indonesia
di Yogyakarta yang muncul pada kurun waktu tertentu (1966
1980).
Sementara itu, dalam kaitannya dengan pengumpulan data,
metode yang dipergunakan adalah studi pustaka yang ditopang
oleh teknik baca dan catat. Melalui metode studi pustaka dibaca
dan dicatat berbagai hal yang berhubungan dengan persoalan kritik
sastra Indonesia di Yogyakarta pada kurun waktu tersebut. Ber-

10
bagai persoalan itu dikumpulkan, diinventarisasikan, dan kemu-
dian diklasifikasikan sesuai dengan pokok-pokok masalah yang
dibahas, baik yang menyangkut sistem makro maupun mikro sastra.
Dengan kerangka berpikir deduktif-induktif-deduktif, hasil pene-
litian atas karya-karya kritik sastra Indonesia di Yogyakarta pada
kurun waktu tersebut akhirnya disajikan secara deskriptif.

1.5 Data Penelitian


Beberapa media massa cetak yang terbit di Yogyakarta pada
kurun waktu 1966 hingga 1980, khususnya Minggu Pagi (surat ka-
bar mingguan), Kedaulatan Rakyat (surat kabar harian), Masa Kini
(surat kabar harian), Basis (majalah bulanan), Semangat (majalah
bulanan), Suara Muhammadiyah (majalah dwimingguan), dan Pelo-
por (surat kabar mingguan) adalah media massa umum. Sebagai
media massa cetak umum, tentu saja beberapa media tersebut me-
muat berbagai masalah umum yang menyangkut berbagai bidang
kehidupan, termasuk kehidupan kebudayaan. Dalam kaitannya
dengan kebudayaan, beberapa media massa itu juga tidak hanya
memuat kebudayaan Indonesia, tetapi juga kebudayaan daerah
dan asing. Bahkan, kebudayaan yang berkaitan dengan seni, ia
(media-media tersebut) tidak hanya memuat seni-sastra, tetapi juga
seni pada umumnya.
Berkenaan dengan hal tersebut, data yang diangkat dan dijadi-
kan objek penelitian ini tidak mencakupi keseluruhan karya (kritik)
yang berkaitan dengan seluruh bidang seni dan kebudayaan seba-
gaimana disebutkan di atas, tetapi khusus karya-karya kritik sastra
Indonesia yang dimuat dalam Minggu Pagi, Kedaulatan Rakyat, Masa
Kini, Basis, Semangat, Suara Muhammadiyah, dan Pelopor pada kurun
waktu tahun 1966 hingga 1980. Data-data karya kritik sastra Indo-
nesia tersebut dapat berupa karya-karya esai, artikel, kritik, resensi,
ulasan, surat pembaca, kronik, dan lain-lain.

1.6 Sistematika Penyajian


Penelitian ini disajikan (dilaporkan) dengan sistematika seba-
gai berikut. Bab pertama (pendahuluan) memuat latar belakang

11
perlunya dilakukan penelitian, masalah yang perlu dibahas, tujuan
penelitian, landasan teori yang digunakan sebagai pisau bedah pe-
nelitian, metode dan teknik, data yang diangkat sebagai objek pene-
litian, sistematika penyajian, dan ejaan yang digunakan sebagai
pedoman penulisan laporan. Bab kedua (dinamika kritik sastra
Indonesia di Yogyakarta) memuat uraian yang berkaitan dengan
mobilitas sosial yang mempengaruhi kehidupan kritik sastra, tra-
disi kritik yang terbangun di Yogyakarta, para kritikus yang ber-
peran di dalamnya, dan media yang menerbitkan dan menyebar-
luaskan karya-karya kritik sastra Indonesia di Yogyakarta tahun
1966 hingga 1980.
Bab ketiga (jenis dan orientasi kritik sastra Indonesia di Yog-
yakarta) memuat uraian deskriptif mengenai apa saja jenis kritik
dan kepada apa/siapa kritik tersebut ditujukan, apakah kepada
pengarang, kepada karya (sastra), kepada penerbit atau pengayom,
kepada pembaca, dan atau kepada kritik itu sendiri. Sementara
itu, bab keempat (penutup) memuat simpulan atau generalisasi
dari seluruh pembahasan yang telah disajikan dalam bab-bab sebe-
lumnya. Setelah itu, di akhir penelitian disajikan daftar pustaka.

1.7 Ejaan
Laporan penelitian ini ditulis dengan menggunakan ejaan
bahasa Indonesia sesuai dengan buku Pedoman Umum Ejaan Bahasa
Indonesia yang Disempurnakan (1991), edisi kedua, yang disusun oleh
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Departemen Pendi-
dikan dan Kebudayaan, Jakarta. Secara keseluruhan laporan pene-
litian ini ditulis sesuai dengan pedoman ejaan tersebut, kecuali
penulisan nama diri.

12
BAB II
DINAMIKA KRITIK SASTRA
INDONESIA
DI YOGYAKARTA

Perlu diketahui bahwa bagaimanapun juga kehidupan kritik


sastra Indonesia di Yogyakarta pada kurun waktu 1966 hingga 1980
tidak dapat terlepas dari dan bahkan selalu terikat oleh kondisi dan
realitas sosial-budaya masyarakatnya. Oleh karena itu, di dalam
bab ini, sebelum disajikan pembahasan mengenai dinamika kritik
sastra Indonesia di Yogyakarta pada kurun waktu tersebut, terlebih
dulu disajikan bahasan mengenai mobilitas sosial yang sedikit
banyak berpengaruh pada kehidupan kritik sastra. Maka, bab ini
dibagi menjadi empat subbab, yaitu (1) mobilitas sosial, (2) tradisi
kritik sastra Indonesia di Yogyakarta, (3) para kritikus yang ber-
peran dalam kehidupan kritik sastra Indonesia di Yogyakarta, dan
(4) berbagai media yang mempublikasikan karya-karya kritik sas-
tra Indonesia di Yogyakarta pada kurun waktu 19661980.

2.1 Mobilitas Sosial


Pembahasan tentang mobilitas sosial-budaya dalam konteks
ini termasuk perubahan situasi politik dan ekonomi dibatasi
pada kurun waktu tertentu, yakni tahun 1966 hingga 1980. Akan
tetapi, pembahasan tentang mobilitas sosial-budaya tersebut tidak
dibatasi hanya pada wilayah tertentu (Yogyakarta), tetapi men-
cakupi wilayah yang lebih luas (Indonesia). Hal demikian dilaku-
kan karena dinamika perubahan sosial-budaya yang terjadi di
Indonesia tidak bersifat kedaerahan, tetapi bersifat nasional. Ka-

13
rena itu, apabila di Yogyakarta terjadi suatu perubahan, hal itu
bukan karena Yogyakarta memiliki dinamika tersendiri yang lepas
dari konteks Indonesia, melainkan karena perubahan itu melanda
sebagian besar atau bahkan seluruh wilayah di Indonesia.
Seperti diketahui bahwa tahun 1966 merupakan penanda
waktu terjadinya peralihan kekuasaan dari sebuah rezim yang
disebut Orde Lama (di bawah kekuasaan Soekarno) ke rezim Orde
Baru (di bawah kekuasaan Soeharto). Peristiwa tumbangnya ke-
kuasaan Orde Lama dan berkuasanya kekuasaan Orde Baru
melalui peristiwa Supersemar (Surat Perintah 11 Maret) tersebut
tidak hanya bersifat politis, tetapi juga dilatarbelakangi oleh
beragam masalah yang berkaitan dengan praktik sosial, ekonomi,
budaya, dan sebagainya. Menurut pemerintahan Orde Baru, di
dalam pemerintahan Orde Lama korupsi terjadi di mana-mana,
laju pertumbuhan penduduk demikian cepat, jumlah penganggur-
an membengkak, tindak kejahatan merajalela, dan kebutuhan rak-
yat akan sandang dan pangan tidak tercukupi. Hal itu terjadi kare-
na pada waktu itu pemerintah bertindak sangat otoriter dengan
menjadikan politik sebagai panglima sehingga segalanya di-
kuasai pemerintah.
Terjadinya situasi seperti di atas, antara lain, disebabkan oleh
terlalu cepatnya pertumbuhan penduduk (sejak 1950-an hingga
1960-an), tidak cukupnya produksi pangan bagi rakyat, di samping
banyaknya rakyat yang buta huruf dan miskin. Berkaitan dengan
hal ini Ricklefs (de Vries, 1985:45) mendata bahwa pada 1950 jumlah
penduduk Indonesia mencapai 77,2 juta jiwa; pada 1955 berjumlah
85,4 juta jiwa; dan menurut sensus penduduk 1961, jumlah pendu-
duk Indonesia meningkat menjadi 97,02 juta jiwa. Kendati saat itu
produksi pangan meningkat, ternyata kebutuhan penduduk yang
juga terus meningkat tetap tidak tercukupi. Hal tersebut terbukti
melalui kenyataan bahwa pada saat itu pemerintah terus melaku-
kan impor beras meskipun pada 1956 produksi beras meningkat
26% jika dibandingkan produksi beras pada 1950. Karena itu,
kekurangan pangan dan kemiskinan yang terjadi di beberapa dae-
rah di pulau Jawa sejak 1930-an masih terus berlangsung. Kondisi
itu lebih memprihatinkan lagi karena pemerintah membangun

14
wacana anti-Barat dengan meneriakkan konsep-konsep seperti
liberalisme, kapitalisme, kolonialisme, imperialisme, neokolonialis-
me, dan neoimperialisme. Upaya pemerintah mengambil jarak ter-
hadap negara-negara Barat itu terbukti berdampak pada tidak
mengalirnya bantuan finansial dari mereka. Hal itu semakin hari
semakin buruk karena politik luar negeri Indonesia memihak ke-
pada negara-negara sosialis seperti Uni Soviet, RRC, dan Eropa
Timur.
Bertolak dari kenyataan itulah pemulihan ekonomi dimulai
dengan mengubah struktur ekonomi yang semula berpola kolonial
ke pola yang bersifat nasional. Langkah yang dilakukan pemerin-
tah pada awalnya adalah menumbuhkembangkan pengusaha pri-
bumi. Para pengusaha Indonesia yang umumnya kekurangan modal
diberi hak dan kesempatan untuk ikut membangun ekonomi nasio-
nal melalui Program Benteng yang pada 1950 hingga 1953 mem-
berikan bantuan kredit kepada sekitar 700 perusahaan. Program
itu bertujuan melindungi perusahaan pribumi, membentuk ke-
lompok pengusaha yang tangguh, yaitu dengan memberikan lisensi
impor barang yang kemudian dijual di dalam negeri dengan ke-
untungan yang tinggi. Sebab, pada saat itu terjadi perbedaan kurs
mata uang resmi dengan yang tidak resmi atau yang berada di
pasar gelap (Budiman, 1991:31).
Usaha di atas sebenarnya cukup memuaskan karena jumlah
pengusaha pribumi meningkat. Pada Juni 1953 tercatat jumlah
importir nasional melonjak dari 800 menjadi 3.500 (bahkan ada
yang menyebut 6.000 hingga 9.000 importir). Akan tetapi, yang ter-
jadi kemudian tidaklah seperti yang diharapkan. Sebab, Program
Benteng ternyata justru semakin memperkuat pengusaha Cina dan
India, bukan pengusaha Indonesia itu sendiri. Hal demikian terjadi
karena ternyata para pengusaha Indonesia lebih suka menjual
lisensinya kepada perusahaan asing (Cina dan lain-lain) dengan
kedok melakukan kerja sama (Budiman, 1991:31).
Setelah terjadi pergantian kekuasaan, Orde Baru dengan slo-
gan politisnya (pembangunan) ingin melakukan perubahan di
bidang ekonomi (termasuk sosial-budaya) sehingga terwujudlah
program, antara lain, program pengentasan kemiskinan. Ketika

15
Orde Baru berkuasa, kebijakan ekonomi diarahkan pada strategi
yang berorientasi ke luar. Strategi itu memberi peluang bagi swasta
untuk berperan aktif dalam sistem pasar bebas. Langkah itu di-
harapkan segera dapat memberikan hasil tanpa memerlukan
perombakan radikal struktur sosial-ekonomi (Masoed, 1990:116
117). Hal itu setidaknya dapat dicermati dari diberlakukannya
peraturan 3 Oktober 1966 yang memuat pokok-pokok usaha, yaitu
(1) penyeimbangan anggaran belanja, (2) pengekangan ekspansi
kredit untuk usaha-usaha produktif, khususnya di bidang pangan,
ekspor, prasarana, dan industri, (3) penundaan pembayaran utang
luar negeri dan upaya mendapatkan kredit baru, dan (4) penanam-
an modal asing guna memberi kesempatan kepada negara lain untuk
turut membuka alam Indonesia, membuka kesempatan kerja, mem-
bantu usaha peningkatan kerja, dan membantu usaha peningkatan
pendapatan nasional.
Alasan dipilihnya strategi tersebut tampaknya ada dua hal.
Pertama, memberikan kepuasaan material bagi masyarakat luas
dalam bentuk penyediaan kebutuhan sandang dan pangan. Strate-
gi itu diterapkan Orde Baru untuk menarik simpati rakyat dalam
usaha melumpuhkan kekuatan Orde Lama. Kedua, menumbuhkan
kepercayaan internasional terhadap Indonesia. Alasan ini diajukan
karena sikap Orde Lama yang mencurigai penanaman modal asing
dan bantuan-bantuan negara Barat serta ketidakmampuan peme-
rintah membayar utang luar negeri telah mempersulit pemerintah
dalam upaya mencari bantuan dan penanaman modal asing. Hal
itulah yang menyebabkan pemerintah Orde Baru bersedia mene-
rima usulan IMF (International Monetary Fund) mengenai perlu dicip-
takan iklim usaha yang loyal bagi beroperasinya investasi asing
dan perlu diintegrasikan kembali perekonomian Indonesia ke da-
lam sistem kapitalis internasional (Masoed, 1990:118). Hal itu men-
cerminkan komitmen untuk melaksanakan pembangunan ekono-
mi yang dianggap merupakan landasan untuk merancang kehidup-
an politik yang dilakukan pemerintah (Setiawan, 1998:108). Rehabi-
litasi ekonomi itu berkait erat dengan upaya Indonesia untuk memi-
sahkan diri dari negara-negara komunis dan dijalinnya kembali
hubungan dengan negera-negara nonkomunis. Perbaikan hubung-

16
an dengan AS dan Jepang, misalnya, terbukti merupakan langkah
strategis bagi upaya rehabilitasi ekonomi.
Ricklefs (1994:433) menjelaskan bahwa sejak semula memang
pemerintah Orde Baru berupaya untuk menjalankan kebijakan-
kebijakan stabilisasi dan pembangunan ekonomi, menyandarkan
legitimasi pemerintah pada kemampuan meningkatkan kesejah-
teraan sosial dan ekonomi rakyat. Salah satu upaya penting yang
dilakukan ialah, di samping upaya seperti yang telah dijelaskan
di atas, berdasarkan Kepres No. 319/1969, pemerintah mencanang-
kan strategi pembangunan yang disebut Pelita yang dimulai sejak
1969 (Harnoko dkk., 2003:7677). Strategi itulah yang kemudian
melahirkan konsep pembangunan yang mengarah pada pemba-
ngunan pedesaan sehingga muncul tiga tipologi desa (swadaya,
swakarya, dan swasembada). Konsep itu dinilai tepat karena pada
saat itu sebagian besar (73,8%) masyarakat desa masih berada di
bawah garis kemiskinan. Sesuai dengan tipologi desa itu pemerin-
tah berusaha meningkatkan taraf hidup rakyat dengan menerap-
kan program seperti Bimas, Inmas, Padat Karya, Bantuan Kabupa-
ten, Bantuan Desa, Kredit Candak Kulak, dan Kredit Investasi Kecil.
Melalui program-program tersebut akhirnya terbukti kondisi
masyarakat Indonesia pada 1970-an hingga 1980-an lebih baik jika
dibandingkan dengan kondisi masyarakat pada masa Orde Lama.
Khusus di bidang kesehatan, misalnya, pada masa pemerin-
tahan kolonial (sekitar 1930) hanya terdapat sekitar 1.030 dokter,
padahal jumlah penduduk pada waktu itu mencapai 60,7 juta se-
hingga setiap 59.000 jiwa hanya tersedia seorang dokter. Pada 1974
terdapat 6.221 dokter, sedangkan jumlah penduduk sekitar 130
juta sehingga setiap 20,9 ribu penduduk tersedia seorang dokter.
Keadaan ini meningkat pada 1980-an karena tercatat satu orang
dokter hanya melayani 11,4 ribu penduduk. Data-data itu jelas
menunjukkan kemajuan drastis meskipun distribusi pelayanan
medis tetap tidak merata dan masih jauh dari ideal. Sementara
itu, produksi pangan juga mengalami peningkatan karena keterse-
diaan bibit unggul dan melimpahnya persediaan pupuk. Karena
itu, sikap pesimis mengenai terjadinya kekurangan pangan di Indo-
nesia (mestinya sangat) tidak beralasan. Keadaan itu juga terlihat

17
pada kegiatan impor beras berkurang karena pemerintah telah
mencapai swasembada beras. Gambaran ini menunjukkan prestasi
yang luar biasa yang antara lain sebagai akibat dari kemajuan tek-
nologi, di samping kebijakan ekonomi dan peningkatan pangan oleh
pemerintah dan adanya inisiatif serta kerja keras para petani.
Kesejahteraan rakyat di bidang ekonomi dan pangan mendo-
rong pula meningkatnya penyediaan sarana pendidikan. Penyedia-
an sarana pendidikan meningkat jauh melebihi penyediaan sarana
pendidikan pada masa kolonial yang tercermin dari meningkatnya
jumlah penduduk melek huruf (Ricklefs, 1994:434). Pada 1930 jum-
lah penduduk yang melek huruf hanya 7,4% (13,2% pria dan 2,3%
wanita). Pada 1971 angka-angka itu naik menjadi 72% pria dan
50,3% wanita, dan pada 1980 masing-masing adalah 80,4% pria
dan 63,6% wanita. Lebih jauh Ricklefs mencatat bahwa keuntung-
an-keuntungan dari pendidikan umum dalam bahasa Indonesia
tidak hanya terlihat dari jumlah penduduk yang melek huruf, te-
tapi juga meliputi peningkatan jumlah penduduk yang dapat meng-
gunakan bahasa Indonesia (bahasa nasional), yaitu dari 40,8% pada
tahun 1971 menjadi 61,4% pada tahun 1980.
Di wilayah pedesaan, dampak kemelekhurufan tersebut mam-
pu mengubah hubungan sosial masyarakat dengan terbukanya
komunikasi mereka dengan dunia luar sehingga budaya nasional
lebih eksis dibanding budaya lokal. Contoh mengenai pergeseran
ini dapat dilihat pada masuknya lembaga-lembaga nasional ke
pedesaan (Kuntowijoyo, 1994:7475). Kenyataan itu mengisyarat-
kan bahwa pada tataran tertentu budaya lokal pedesaan, ritual
sosial desa, festival, kesenian, mitologi, dan bahasa desa semua
digantikan oleh simbol-simbol nasional. Ritual sosial-politik nasio-
nal seperti perayaan 17-an, misalnya, menggantikan acara-acara
desa seperti suran, nyadran, dan sejenisnya. Perayaan-perayaan desa
dipenuhi oleh pesan-pesan nasional mulai dari persoalan kesehatan,
penataan lingkungan, sampai pada persoalan KB. Kesenian desa
diganti oleh televisi, nyanyian desa pun digeser lagu-lagu nasional
dan Barat. Mitologi cikal bakal desa juga tidak lagi memenuhi pikir-
an anak-anak muda karena pahlawan-pahlawan nasional sudah
memenuhi pikiran mereka. Pergeseran tersebut menimpa pula

18
pada bahasa khas desa. Dialek dan intonasi yang khas sudah ham-
pir tidak dikenal lagi. Bahasa Indonesia menjadi makin populer
di masyarakat karena kedekatan mereka dengan media massa, baik
cetak maupun elektronik, yang menggunakan bahasa Indonesia
dengan berbagai gaya dan ragam yang ditawarkan. Keadaan itu
semakin signifikan dengan diberlakukannya Kurikulum 1975 yang
semakin memperkokoh kedudukan bahasa Indonesia. Alasannya
adalah bahwa bahasa Indonesia diasumsikan merupakan salah
satu sarana yang dapat memperkuat terciptanya persatuan dan
kesatuan bangsa.
Paparan di atas menunjukkan bahwa Orde Baru telah mampu
mendudukkan birokrasi sebagai agent of change, yaitu birokrasi
sebagai kekuatan yang efektif bagi pelaksanaan program pemba-
ngunan dan modernisasi. Namun, kalau dicermati, yang terjadi
sesungguhnya tidak demikian. Sebab, secara tidak disadari, konsep
persatuan dan kesatuan dengan proyek pembangunanisme
yang dicanangkan oleh pemerintah sejak awal Orde Baru sejak
ada perombakan struktur politik terutama setelah dilangsungkan-
nya Pemilu 1971 telah menimbulkan ekses tertentu. Dikatakan
demikian karena keutuhan dan kesatuan wilayah Indonesia hal
ini tampak sejak tahun 1975 dicapai dengan cara represi fisik
dan dominasi ideologis (hegemoni) oleh sebuah rezim yang biro-
kratik, militeristik, dan teknokratik yang mengombinasikan ideo-
logi nasionalisme dan kapitalisme (Oetomo, 2000:3). Hal itulah yang
pada tahap selanjutnya melahirkan kenyataan bahwa pemerintah
yang dalam tataran wacana selalu ingin menegakkan demokrasi
justru sangat tidak demokratis. Di bidang politik, misalnya, hal
itu tampak jelas, yaitu dari sekitar 10 partai (Partai Katolik, PSII,
NU, Parmusi, Golkar, Parkindo, Murba, PNI, Perti, dan IPKI) yang
eksis menjadi kontestan pada Pemilu 1971 akhirnya hanya tinggal
dua partai dan satu golongan (PDI, PPP, dan Golkar) pada Pemilu
1977 dan pemilu-pemilu berikutnya. Karena pada waktu itu selu-
ruh sepak terjang dua partai (PDI dan PPP) dapat dikuasai oleh
satu golongan (Golkar), akhirnya terjadilah dominasi kemenangan
yang terus-menerus, yaitu kemenangan Golkar. Karena komponen
Golkar terdiri atas birokrat-birokrat pemerintah mulai dari pucuk

19
pimpinan sampai ke pimpinan terendah di pedesaan, Golkar pun
akhirnya identik dan atau layak disebut sebagai Partai Pemerin-
tah.
Kenyataan serupa terjadi dalam dunia pers dan penerbitan.
Pers pada dekade 1970-an (bahkan 1980-an hingga sebelum masa
reformasi) adalah pers Pancasila yang kehadirannya tidak bebas
karena segalanya harus seiring dengan konsep stabilisasi, per-
satuan dan kesatuan, dan ideologi pembangunanisme. Karena
itu, pers dan penerbitan (koran, majalah, dan buku) yang tidak
sehaluan dengan ideologi dominan (negara) tidak diberi hak hidup.
Oleh sebab itu, berbagai jenis media massa cetak yang banyak
muncul pada awal tahun 1950-an harus mati pada masa Orde Baru.
Hal itu terbukti pada masa berikutnya (akhir 1970-an) banyak
koran, majalah, dan buku yang dibreidel atau dilarang peredaran-
nya; bahkan ada beberapa personalnya yang ditangkap dan dipen-
jarakan. Khususnya di wilayah Yogyakarta, media massa cetak
yang hidup pada kurun waktu itu (19661980) di antaranya ialah
Kedaulatan Rakyat, Minggu Pagi, Pelopor, Basis, Suara Muhammadiyah,
Semangat, Masa Kini, dan Berita Nasional. Kenyataan demikian itu
tidak hanya menciptakan kondisi yang tenang karena takut, te-
tapi juga menyumbat kreativitas masyarakattermasuk seniman,
sastrawan, budayawan, dan kritikussehingga hal itu berpenga-
ruh pada perkembangan bidang seni, sastra, budaya, dan kritik.

2.2 Tradisi Kritik


Dibandingkan dengan tradisi kritik sastra yang berlangsung
pada kurun waktu sebelumnya (19451965), tradisi kritik sastra
Indonesia di Yogyakarta pada kurun waktu 1966--1980 relatif lebih
maju. Dikatakan relatif lebih maju (baik) karena tradisi kritik yang
berkembang pada masa pemerintahan Orde Baru tidak lagi sepe-
nuhnya dipengaruhi oleh budaya oral (kelisanan) dan budaya ewuh-
pakewuh yang telah berurat berakar di dalam masyarakat Jawa sejak
zaman penjajahan (Belanda), bahkan sejak masih berjayanya buda-
ya istana-sentris (kerajaan Mataram). Selain itu, justru yang paling
urgen ialah pada kurun waktu itu telah hadir sekian banyak kaum
intelektual dari perguruan tinggi yang lebih mengutakan pikiran-

20
pikiran rasional daripada perasaan-perasaan emosional.
Berkembangnya tradisi kritik sastra Indonesia di Yogyakarta
pada kurun waktu 19661980 tampaknya tidak hanya dipenga-
ruhi oleh hal-hal sebagaimana disebutkan di atas, tetapi juga oleh
adanya situasi yang secara makro membangkitkan perkembangan
kritik sastra di Indonesia yang telah dimulai sejak masa Pujangga
Baru. Dalam kaitan ini Rahmanto (1990) menjelaskan bahwa lewat
Pujangga Baru saat itu terjadi polemik antara Sutan Takdir Alisjahbana
dan para guru bahasa Melayu. Melalui perdebatan itu lahirlah kon-
sep-konsep STA tentang kritik sastra yang kemudian dibukukan
dalam Kebangkitan Puisi Baru Indonesia. Berikutnya, pada dekade
1950-an dan 1960-an, muncul dua tokoh (H.B. Jassin dan A. Teeuw)
yang dengan sadar mulai membangkitkan tradisi kritik sastra di
Indonesia. Karya-karya kritik mereka kemudian dibukukan dalam
Kesusastraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Esai (5 jilid) (Gunung
Agung, 1954) dan Pokok dan Tokoh dalam Kesusastraan Indonesia Baru
(Pembangunan, 1952).
Pada masa berikutnya, tepatnya pada dekade 1960-an akhir,
terjadi polemik antara aliran Rawamangun dan aliran Ganzheit.
Ketika itu aliran Rawamangun dimotori oleh kalangan akademisi
seperti M. Saleh Saad, M.S. Hutagalung, S. Effendi, dan J.U.
Nasution; sedangkan aliran Ganzheit dimotori oleh Arif Budiman
dan Gunawan Mohamad. Aliran Rawamangun berusaha menem-
patkan kritik sastra sebagai ilmu dengan prinsip, teori, dan sistem
yang jelas; sedangkan aliran Ganzheit mencoba menempatkan
prinsip bahwa memahami karya sastra haruslah secara totalitas,
tidak menganalisis unsur demi unsur. Beberapa karya kritik dalam
perdebatan tersebut kemudian dikumpulkan oleh M.S. Hutaga-
lung dan dibukukan ke dalam Kritik Atas Kritik Atas Kritik (Tulila,
1975).
Berkat adanya upaya H.B. Jassin, Sutan Takdir Alisjahbana,
A. Teeuw, M. Saleh Saad, M.S. Hutagalung, S. Effendi, dan J.U.
Nasution, Arif Budiman, dan Gunawan Mohamad itulah, tradisi
kritik sastra Indonesia di Yogyakarta juga ikut berkembang. Sebab,
sejak tahun 1970-an, selain kritik sastra berkembang di perguruan
tinggi lewat skripsi-skripsi mahasiswa sastra, kritik sastra juga

21
berkembang di media massa cetak yang terbit di Yogyakarta (Ming-
gu Pagi, Kedaulatan Rakyat, Basis, Semangat, Pelopor, Suara Muham-
madiyah, Masa Kini, Berita Nasional). Jika dilihat dari daerah asalnya,
para penulis kritik di media massa itu, hal ini akibat berlang-
sungnya mobilitas sosial yang terjadi di sekitar tahun 1950-an,
sebagian besar bukan asli orang Yogyakarta, melainkan berasal
dari berbagai daerah di Indonesia yang datang ke Yogyakarta de-
ngan tujuan mengembangkan pengetahuan dan wawasan baik me-
lalui pendidikan maupun sekadar hijrah untuk sementara.
Hanya saja, yang berkembang ialah bukan tradisi kritik sastra
Indonesia khususnya, melainkan tradisi kritik pada umumnya.
Sebab, yang menjadi perhatian media massa pada masa itu tidak
hanya sastra Indonesia khususnya, tetapi seni-sastra-budaya pada
umumnya; dan oleh karena itu sastra Indonesia, termasuk kritik-
nya, hanya menjadi bagian kecil dari wilayah yang luas dan kom-
pleks tersebut. Kendati demikian, keterbukaan media massa cetak
di Yogyakarta terhadap karya-karya kritik sastra Indonesia telah
menjadi bukti bahwa tradisi kritik sastra Indonesia di Yogyakarta
pada periode ini lebih maju jika dibandingkan dengan tradisi kritik
pada masa sebelumnya.
Satu hal yang menarik untuk dicatat ialah bahwa konsep-kon-
sep kritik sastra yang telah dibangun oleh para tokoh pada tahun
1950-an hingga 1960-an, baik kritik formal-objektif-akademis yang
dikembangkan oleh aliran Rawamangun maupun kritik non-
formal-totalitas-subjektif yang dikembangkan aliran Ganzheit,
ternyata di kemudian hari (sejak 1970-an hingga sekarang) berkem-
bang secara berdampingan. Artinya, sampai kini kritik formal-
objektif yang kemudian disebut kritik judicialterus dibangun
dan dikembangkan di kalangan akademisi, sedangkan kritik to-
talitas-subjektif yang kemudian disebut kritik impresionistik
terus dikembangkan dan ditulis di media massa. Bahkan, dalam
kerangka mengembangkan kritik sastra tersebut, ada upaya para
akademisi untuk mengubah bentuk kritik judisial ke kritik impre-
sionistik dan mempublikasikannya melalui media massa. Hal demi-
kian dilakukan dengan pertimbangan bahwa media massa cetak
lebih efektif dalam menjangkau khalayak pembaca.

22
Berkenaan dengan hal tersebut, tidak mengherankan jika
karya-karya kritik sastra yang ditulis oleh nama-nama para akade-
misi seperti A. Teeuw, Dick Hartoko, Kuntara Wiryamartana,
Suripan Sadi Hutomo, Umar Kayam, Bakdi Sumanto, B. Rahmanto,
Harry Aveling, Boen S. Oemaryati, Th. Koendjono, Andre Harjana,
dan masih banyak lagi itu sering muncul di majalah Basis dan Se-
mangat. Sementara itu, nama-nama di luar kelompok akademisi
seperti Emha Ainun Najib, Linus Suryadi A.G., Ragil Suwarno Pra-
golapati, dan masih banyak lagi yang kadang-kadang muncul di
majalah Basis dan Semangat juga (justru lebih sering) muncul di surat
kabar seperti Kedaulatan Rakyat, Minggu Pagi, Pelopor, Masa Kini, dan
Berita Nasional.
Di samping beberapa hal di atas, yang tidak kalah penting
ialah bahwa tradisi kritik sastra Indonesia di Yogyakarta pada kurun
waktu 1966 hingga 1980 juga didukung oleh munculnya kelompok
atau grup atau pusat pergaulan sastra seperti PSK (Persada Studi
Klub) yang dimotori oleh Umbu Landu Paranggi, Ragil Suwarno
Pragolapati, Teguh Ranusastra Asmara, Iman Budhi Santosa, Soe-
parno S. Adhi, dan lain-lain di bawah naungan Pelopor Jogja yang
bermarkas di Jalan Malioboro. Lewat rubrik Persada dan Sabana
Pelopor Jogja itulah, para pengarang, juga para kritikus, mengem-
bangkan dan memuat karya-karyanya.
Harian Masa Kini juga bertindak sama. Di bawah naungan
rubrik Insani Emha Ainun Najib, Suparno S. Adhi, Mustofa W.
Hasjim, dan lain-lain juga membentuk kelompok yang diberi nama
Insani Club. Melalui Insani Club itulah, para penulis biasa ber-
diskusi dan mengembangkan kreasi sehingga karya-karyanya, ter-
masuk karya kritik sastra, dimuat di rubrik Insani. Sementara
itu, khusus hasil karya puisi, dimuat di kolom Insani, Kulmi-
nasi, dan Titian. Pada awal tahun 1980-an, hal serupa dilakukan
pula oleh para penulis yang biasa mengirimkan karangannya ke
rubrik Renas harian Berita Nasional asuhan Linus Suryadi A.G.

2.3 Kritikus
Siapa sajakah kritikus yang berperan dan turut mengembang-
kan kehidupan kritik sastra Indonesia di Yogyakarta pada kurun

23
waktu 1966 hingga 1980? Kalau dicermati, walaupun tidak dapat
didata secara keseluruhan, para kritikus (penulis) yang berperan dan
mempublikasikan karya-karya kritik sastra Indonesia pada kurun
waktu tersebut sebagian besar adalah nama-nama baru dan sebagian
lagi nama-nama yang sudah muncul pada kurun waktu sebelumnya.
Dalam Minggu Pagi tahun 1970-an, misalnya, muncul bebe-
rapa kritikus, antara lain, Aryasatyani (No. 3, 26 April 1970), Bang
Aziz (No. 6, 7 Juni 1970), Ita Rahayu (No. 12, 21 Juni 1970), Zan
Zappa Group (No. 3, 24 April 1977), MP/AM (No. 21, 28 April
1977), Arwan Tuti Artha (No. 21, 28 Agustus 1977, No. 13, 29 Juni
1980), Joko S. (No. 26, 2 Oktober 1977), N.N. Sukarno (No. 29, 23
Oktober 1977), Deded Er Moerad (No. 30, 30 Oktober 1977), Joko
Santoso (No. 30, 30 Oktober 1977), Hendro Wiyanto (No. 53, 5 April
1980 dan No. 9, 1 Juni 1980), Pappi Eska (No. 3, 20 April 1980),
Afauzi Safi Salam (No. 12, 22 Juni 1980), SB Tono, Noto Sunarto,
Niesby Sabakingkin, Putu Arya Tirtawirya, Veven SP Wardana,
Niesby (No. 16, 20 Juli 1980), Em Es (No. 17, 27 Juli 1980), Tarseisius,
Faruk HT, Albert P. Kuhon (No. 18, 3 Agustus 1980), Heru Kesawa
Murti (No. 22, 31 Agustus 1980), Gendut Riyanto (No. 23, 7 Septem-
ber 1980), Arie MP dan Hendro Wiyanto (No. 24, 14 September
1980), M. Sutrisno (No. 27, 5 Oktober 1980), Yudiono KS dan Tuti
(No. 28, 12 Oktober 1980), Retno D dan Edi Romadon (No. 29, 19
Oktober 1980), Yuliani Sudarman (No. 34, 23 November 1980),
Bambang Widiatmoko, Heru Kesawa Murti, Korrie Layun Rampan
(No. 35, 30 November 1980), dan masih banyak lagi.
Sementara itu, di harian Kedaulatan Rakyat, muncul pula nama-
nama seperti yang menulis di Minggu Pagi. Selain nama-nama di
atas, dapat disebutkan, misalnya Linus Suryadi A.G. dengan karya-
nya Chairil Anwar: Pengembara Monumental (16 Mei 1978), Su-
luk Awang Uwung Kuntowijoyo: Pitutur Ala Puisi Jawa (19 Fe-
bruari 1976), Interlude Goenawan Mohammad: Gejala Puisi Indo-
nesia Modern? (April 1976), dan Perumahan Wing Kardjo: Puisi
Napas Pendek (1979). Tiga buah karya kritik Linus Suryadi itu
kemudian dibukukan bersama sejumlah karya lain dengan judul
Di Balik Sejumlah Nama (Gadjah Mada University Press, 1989) yang
diberi pengantar oleh A. Teeuw.

24
Dalam Masa Kini (sebelumnya bernama Mercu Suar) juga
banyak muncul penulis esai/kritik (esais/kritikus), di antaranya,
Slamet Riyadi S. (18 September 1974); Ragil Suwarno Pragolapati
(12 Februari 1979, 15 Januari 1979); Yunus Syamsu Budhi (10
Februari 1979); Ajie SM (13 Januari 1979); Emha Ainun Najib (9
April 1979); Marsudi, Asti (12 Februari 1979); Kecuk Ismadi (6
Januari 1979); Mustofa W. Hasyim (9 Mei 1979, 30 Juni 1979); Tar-
seisius (9 Juni 1979), dan masih banyak lagi seperti Rachmat Djoko
Pradopo, Soekoso D.M., dan Linus Suryadi A.G.
Sementara itu, dalam majalah Basis dekade 1970-an muncul
nama-nama kritikus yang sebagian besar berasal dari kalangan
akademisi, antara lain, Bakdi Sumanto (Oktober 1974, Maret 1975),
Teeuw (Mei 1978, Juni 1978, November 1981), Dick Hartoko (De-
sember 1973, Mei 1978), Ariel Heryanto (Mei 1978), B. Rahmanto
(Mei 1978, Desember 1979, Maret 1980, November 1981), Mochtar
Lubis (Maret 1980), Andre Hardjana (1971), Umar Kayam (Juni
1979), St. Soelarto (Oktober 1976), Sapardi Djoko Damono (Maret
1980), Harry Aveling (19721973, Februari 1974), Hila Veranza
(September 1979), Yunus Mukri Adi (Oktober 1976), Ahar (Oktober
1970), Th. Koendjana (Oktober 1972), Emha Ainun Najib, Ragil
Suwarno Pragolapati, Sutadi (1979), Linus Suryadi A.G., dll.
Dalam majalah Semangat majalah yang masih memiliki hu-
bungan dekat dengan majalah Basis, banyak juga kritikus yang tam-
pil, di antaranya, Mayon Sutrisno (Februari 1976), Julius Poer (De-
sember 1971), Bakdi Sumanto (September 1971, Maret 1972,
November 1972, Juni 1974, Oktober 1974, Maret 1975, April 1975,
Mei 1975, Juni 1975, Juli 1975, September 1975, April 1976, Mei
1976, Juni 1976, Agustus 1976), Ragil Suwarno Pragolapati (Agus-
tus 1972, Agustus 1980), Y. Supardjana (Desember 1975), Mimosa
Sekarlati (Maret 1976), Jakob Sumardjo (April 1975), J. Pandji (Fe-
bruari 1969), B. Gde Winnjana (Mei 1972), Agus Surjono (Februari
1973), Niken Kusuma (Januari 1971), Semangat (April 1973), M.L.
Stein (Agustus 1976), dan T.H. Sugiyo (Mei 1976). Selain itu, kritik
yang ditulis dalam wujud tulisan pendek dalam rubrik Surat
Pembaca, misalnya, tampak dalam Semangat edisi Desember 1968,
September 1970, Juni 1971, Oktober 1971, Januari 1972, Maret 1972,
Mei 1972, September 1973, Mei 1980, Juni 1980, dan Agustus 1980.

25
Di samping muncul dalam Minggu Pagi, Kedaulatan Rakyat,
Masa Kini, Basis, dan Semangat, para kritikus muncul juga di dalam
majalah Suara Muhammadiyah dan Pelopor. Di dalam Suara Muham-
madiyah muncul Mohammad Diponegoro (Juli 1980), A. Hanafi M.A.
(Juni 1968), T. Loekman (No. 3 dan 4 Thn. ke-56), Darwis Khudori
(April 1975), S. Tirto Atmodjo (Januari 1973), S. Kartamihardja (Juni
1972), Joko Susilo (Oktober 1975), dan Tan Lelana (Januari 1973).
Sementara itu, para kritikus yang sering muncul dalam Pelopor
sebagian besar adalah mereka yang tergabung dalam PSK (Persada
Studi Klub) pimpinan Umbu Landu Paranggi. Di antara mereka
adalah Umbu Landu Paranggi, Ragil Suwarno Pragolapati, Teguh
Ranusastra Asmara, Iman Budi Santosa. Namun, kadang-kadang
juga muncul nama dari luar komunitas PSK, misalnya Bambang
Sadono SY dengan kritiknya Kritik Sastra oleh Siapa Saja (Pelopor,
No. 23, 12 Oktober 1978).
Demikian beberapa kritikus yang turut mengembangkan
tradisi kritik sastra Indonesia di Yogyakarta pada kurun waktu 1966
hingga 1980. Nama-nama besar seperti Teeuw, Umar Kayam, Bakdi
Sumanto, Sapardi Djoko Damono, Mochtar Lubis, Jakob Sumardjo,
B. Rahmanto, Emha Ainun Najib, Linus Suryadi A.G., Korry Layun
Rampan, Faruk, dan masih banyak lagi itu yang pada dekade selan-
jutnya (1980-an dan 1990-an) masih terus mengembangkan dunia
kritik sastra Indonesia di Yogyakarta, di samping muncul nama-
nama. Hanya saja, sebagian besar dari para kritikus tersebut adalah
juga pengarang (penyair, cerpenis, novelis) sehingga tidaklah jelas
batasan antara kritikus dan pengarang. Biasanya batasan itu akan
menjadi jelas jika dilihat dari jumlah karyanya; kalau jumlah karya
kritiknya lebih banyak dan menonjol, ia cenderung disebut sebagai
kritikus, dan sebaliknya, jika jumlah karya kreatifnya lebih banyak,
ia cenderung akan disebut sebagai pengarang. Kendati demikian,
tidak tertutup kemungkinan seseorang akan mendapat julukan
ganda, yaitu pengarang sekaligus kritikus.

2.4 Media Penerbitan dan Penyebarluasan


Perkembangan kritik sastra Indonesia di Yogyakarta pada ku-
run waktu 1966 hingga 1980, antara lain, didukung oleh hadirnya

26
Minggu Pagi, Kedaulatan Rakyat, Masa Kini (Mercu Suar), Basis, Se-
mangat, Suara Muhammadiyah, dan Pelopor. Sebab, beberapa media
massa cetak itulah yang di samping mempublikasikan karya-karya
sastra (puisi, cerpen), juga mempublikasikan karya esai/kritik sas-
tra Indonesia. Untuk lebih jelasnya, berikut dipaparkan keberadaan
media-media tersebut dalam upaya mengembangkan kritik sastra
Indonesia di Yogyakarta.
Mingguan Minggu Pagi diterbitkan pertama kali pada bulan
April 1948 oleh PT BP Kedaulatan Rakyat yang menerbitkan harian
Kedaulatan Rakyat. Mingguan populer dengan motto Mingguan
Enteng Berisi itu berkantor di Jalan Tugu 42 (sekarang Jalan P. Mang-
kubumi), Yogyakarta. Pada awal-awal penerbitannya, susunan re-
daksinya ialah Samawi (ketua usaha), Wonohito (Pemimpin Redak-
si), Bambang Sindhu (Wakil Pemimpin Redaksi), I. Hutahuruk, S.
Sudharta, Purbatin Hadi, M. Nizar (Redaksi), Kentardjo, Sudijono,
R. Soesilo (Pelukis). Adapun beberapa rubrik yang ditampilkan,
antara lain, Film, Apa dan Siapa, Lintas Sejarah, Features,
Laporan Luar Negeri, Olah Raga, Cerita Pendek, Cerita Ber-
sambung, Ilmu Pengetahuan, Sket Masyarakat, Surat Pem-
baca, dan Alam Binatang. Pada tahun 1960-an Minggu Pagi yang
bertiras lebih dari 20.000 eksemplar itu dijual dengan harga eceran
Rp4,50, sedangkan bagi pelanggan membayar Rp18,00 per bulan.
Dalam Minggu Pagi No. 1, 4 April 1954 dimuat tulisan anonim
berjudul Minggu Pagi di Tengah Masyarakat. Tulisan yang
ditampilkan dalam rubrik Sket Masyarakat tersebut berisi catat-
an refleksif Minggu Pagi ketika memasuki usia yang ketujuh tahun.
Di dalam tulisan itu diceritakan kisah perjalanan Minggu Pagi yang
semula diterbitkan dengan kertas merang. Tersirat dari tulisan itu
bahwa Minggu Pagi merupakan satu-satunya media hiburan di
tengah puluhan majalah politik yang beredar. Alasannya, di tengah
kancah revolusi, kebutuhan terhadap bacaan enteng yang meng-
hibur mutlak diperlukan. Meskipun Minggu Pagi masuk ke dalam
kategori media hiburan, tidak semua pembaca hanya bermaksud
mendapat hiburan semata karena di dalamnya terdapat rubrik
yang bersangkut-paut dengan ilmu pengetahuan, biografi, pewa-
yangan, spionase, berbagai pandangan mengenai suatu persoalan
atau keadaan masyarakat, dan sebagainya.

27
Dari tahun pertama hingga tahun ketujuh (1954) Minggu Pagi
mengalami perubahan bentuk, dari majalah ke tabloid dan bebe-
rapa tahun kemudian berubah lagi menjadi koran mingguan hingga
sekarang. Pada tahun 1970-an, susunan redaksi Minggu Pagi meng-
alami pergantian, yaitu Samawi (pemimpin umum), M. Wonohito
(pemimpin redaksi), Purbatin Hadi, Sudarmadi, Ahmad Munif,
Endang Kusrin (redaktur pelaksana), Yana Mariyani (sekretaris
redaksi), dan Rustam Saman (wartawan foto). Sementara itu, harga
langganan per bulan Rp100,00, eceran Rp25,00, iklan per kolom
Rp150,00, dan iklan keluarga Rp1.000,00. Pada awal tahun 1980-
an susunan redaksi mengalami pergantian lagi, yaitu H. Samawi
(pemimpin umum), M. Wonohito (pemimpin redaksi), Purbatin
Hadi (managing editor), Ahmad Munif (redaktur pelaksana), Pur-
batin Hadi, Ahmad Munif, Arie Sudibyo (dewan redaksi), M.M.
Nobuko (sekretaris redaksi), dan Rustam Saman (wartawan foto).
Adapun harga langganan per bulan Rp200,00 dan harga eceran
Rp55,00.
Di samping memuat artikel artikel umum, Minggu Pagi juga
memuat cerita pendek dan cerita bersambung. Sejak awal tahun
1950 an Minggu Pagi melahirkan beberapa penulis cerita populer,
di antaranya, Jussac MR. Pada sekitar tahun 1960, cerita bersam-
bung yang mendapat sambutan luas dari pembaca, di antaranya,
Hilanglah Si Anak Hilang karya Nasjah Djamin, Tidak Menye-
rah dan Ahim-Ha Manusia Sejati karya Motinggo Busye. Kemu-
dian, pada tahun 1960-an, karya-karya tersebut diterbitkan dalam
bentuk buku (novel) oleh penerbit Bukittinggi dan Jakarta. Yang
lebih menarik lagi adalah, sejak akhir tahun 70-an, Minggu Pagi juga
menampilkan ruang khusus untuk remaja dengan nama rubrik Varia
Remaja. Dalam ruang tersebut, di samping dimuat puisi dan cer-
pen, juga ditampilkan beberapa tulisan (esai/kritik) yang berisi
ulasan dan pembimbingan penulisan cerpen.
Data menunjukkan bahwa esai/kritik dalam bentuk artikel/
ulasan banyak muncul dalam Minggu Pagi periode 1966 hingga
1980. Sampai dengan tahun 1960-an, karya-karya kritik yang mun-
cul di Minggu Pagi kebanyakan anonim; hal tersebut dapat ditafsir-
kan bahwa penulisnya adalah redaktur yang ditugasi mengasuh

28
rubrik budaya (dan sastra). Beberapa karya kritik yang anonim
tersebut, di antaranya, Dunia Sastra Erat Hubungannya dengan
Penerbit: BP Budayata Mempelopori Penerbitan Karya-Karya Sas-
trawan Indonesia (Minggu Pagi, No. 41, 12 Januari 1969); Minggu
Pagi di Tengah Masyarakat (Minggu Pagi, No. 1, Thn. VII, 4 April
1954); dan Tiada Krisis dalam Kesusastraan (Tapi Kantong Para
Sastrawan yang Mengalami Krisis) (Minggu Pagi, No. 41, Thn.
VII, 9 Januari 1955).
Sementara itu, esai/kritik dalam Minggu Pagi yang jelas penu-
lisnya, antara lain, Aku Mulai Dari Tidak Tahu oleh Motinggo
Busye (No. 46, 11 Februari 1962) dan Manikebu oleh Bakri Siregar
(No. 25, 20 September 1964). Sementara nama Pramoedya Ananta
Toer dengan tulisannya berjudul Kemampuan Pengarang mun-
cul pada Minggu Pagi, No. 26, September 1953. Di samping itu
dimuat pula profil A.A. Navis (No. 41, 7 Januari 1962), Goenawan
Mohammad (No. 17, 28 Juli 1963), Hartojo Andangdjaja (No. 30,
27 Oktober 1963), Arifin C. Noer (No. 40, 5 Januari 1964). Hal lain
yang menarik adalah dimuatnya naskah drama komedi Ida karya
Sri Murtono mulai No. 12, 20 Juni 1965 sampai No. 14, 4 Juli 1965.
Kritik sastra dalam Minggu Pagi muncul pula dalam rubrik
Surat Pembaca, misalnya, tulisan/surat S. Ning (dari Sala), Soepar-
no (dari Ngawi), dan M. Sugijono (dari Yogya) dalam Minggu Pagi,
No. 38, 20 Desember 1964; atau tulisan/surat A.T.Darnoto (dari
Cimahi, Jawa Barat), S. Dajani (dari Pacitan, Jawa Timur), dan Tjeng
Thay Hien (dari Djuwana, Jawa Tengah) dalam Minggu Pagi, No.
44, 1 Februari 1953.
Pada tahun 1970-an, beberapa esai/kritik tetap muncul pada
Minggu Pagi, dapat disebutkan, misalnya, Thema Chairil Anwar
karya Aryasatyani (No. 3, 26 April 1970), Sri Sultan, Chairil Anwar,
Mayjen Widodo karya anonim (No. 5, 31 Mei 1970), Mengintip
Bengkel Rendra karya Bang Aziz (No. 6, 7 Juni 1970), Persoalan
Langit Makin Mendung karya Ita Rahayu (No. 12, 21 Juni 1970),
Minggu Pagi Laris karya anonim (No. 21, Januari 1971), Hari Ini,
Chairil karya anonim (No. 4, 28 April 1974), Menengok Perkem-
bangan Majalah di Indonesia karya Zan Zappa Group (No. 3, 24
April 1977), Gadis-Gadis Cantik Mencoreng Wajahnya: Seniman

29
Muda Baca Puisi dan Saling Ejek karya MP/AM (No. 21, 28 April
1977), Pengalaman Saya Menulis Cerpen karya Arwan Tuti
Artha (No. 21, 28 Agustus 1977), Novel Remaja Sok Nyentrik karya
Joko S. (No. 26, 2 Oktober 1977), Aduh Putu Wijaya Dipentaskan
Kita-Kita karya N.N. Sukarno (No. 29, 23 Oktober 1977), Teater
Sekolah: Tak Suka Drama Realis karya Deded Er Moerad (No.
30, 30 Oktober 1977), dan Novel Remaja: Arjuna Mencari Cinta
karya Joko Santoso (No. 30, 30 Oktober 1977).
Sejak akhir tahun 1970-an hingga awal 1980-an, esai/kritik
dalam Minggu Pagi cukup banyak, bahkan dalam sekali terbit dapat
dimuat dua hingga tiga buah. Hal tersebut terjadi karena esai/
kritik itu muncul pada tiga rubrik, yaitu Sastra-Budaya, Varia
Remaja, dan Musik Film Teater. Beberapa esai/kritik yang dapat
didata pada Minggu Pagi dekade ini, antara lain, Parimin Jadi
Penyair Hendro Wiyanto (No. 53, 5 April 1980); Pentas Teater Repu-
blik Sukses Pappi Eska (No. 3, 20 April 1980); Kritik Sepanjang
Jalan Bukan Tembakan Terarah Hendro Wiyanto (No. 9, 1 Juni
1980); Teman-Temannya itu Juga Tidak Pernah Membosankan
(resensi novel), Novel Laris di Buku atau di Layar Putih Arwan
Tuti, Teater di Jogja: Siapa yang Akan Memulai Dulu Afauzi Safi
Salam (No. 12, 22 Juni 1980).
Pada Minggu Pagi, No. 13, 29 Juni 1980 muncul tiga esai, yaitu
Membicarakan Nasib Kumpulan Cerpen Arwan Tuti Artha,
Dunia Novel Pop Lesu SB Tono, Kerjasama Teater Disco Pentas-
kan Los-nya Putu MP, dan Sepucuk Surat Sastra Arwan Tuti.
Esai Pengarang Indonesia sedang Belajar Noto Sunarto, Drama
Bisa Menanggulangi Goncangan Jiwa Niesby, Pengarang (Suka
Duka) Putu Arya Tirtawirya dimuat pada No. 14, 6 Juli 1980. Pada
No. 15, 13 Juli 1980 dimuat esai Lahirnya Novelis Wanita: Dunia
Penulisan Makin Kaya Ata, Teater Sekarang Kehabisan Konsep
Niesby, dan Puisi Periode 70-an dalam Kritik Sastra Putu Arya
Tirtawirya. Esai Arjuna Pop, Arjuna Drop Out Veven SP War-
dana dan Perut Kosong, Drama dan Manfaatnya Niesby dimuat
pada No. 16, 20 Juli 1980.
Esai/kritik karya Em Es Kritikus Jogja Apa Kabar dan Iklim
Teater Kita: Mencari dan Eksperimen Niesby dimuat Minggu Pagi,

30
No. 17, 27 Juli 1980. Karya Tarseisius Trend Novel yang Sukar
Didekati, Faruk Novel Dua Novelis Jogja, SB Tono Mungkin-
kah Bernostalgia Sastra Populer, dan Albert P. Kuhon Malam
Jahanam dalam Perdana Kelam dimuat pada No. 18, 3 Agustus
1980. Karya Ata Memperhitungkan Novelis Koran dan Majalah
dan Niesby Pantomim dalam Latihan Dasar Teater muncul pada
No. 20, 17 Agustus 1980. Esai Chairul Anwar Menulis Novel dari
Keisengan Veven SP Wardana, Dardanella Konvensi Baru Lakon
Kita Niesby, dan Teater Remaja Perlu Uluran Tangan Heru Ke-
sawa Murti muncul pada No. 22, 31 Agustus 1980.
Pada Minggu Pagi, No. 23, 7 September 1980 muncul esai Ata
Pembinaan Cerpen Bisa Dikembangkan?, Niesby Lima Warna
Teater Timur dalam Tradisi, dan Gendut Riyanto Bukan Puisi Kong-
kret, Bukan Puisi Raya. Esai Arie MP Kebudayaan Kritik Teater
Jogja dalam Jenangsungsuman dan Hendro Wiyanto Pengakuan
Pariyem di Karta Pustaka dimuat pada No. 24, 14 September 1980.
Pada No. 25, 21 September 1980 dimuat esai karya Ata Tokoh
Wayang dalam Karya Sastra Indonesia, Niesby Tokoh dan Aspek
Struktur dalam Pembicaraan, dan Heru Kesawa Wajah Teater
Remaja dan Penempatan Sikap Berteater. Esai Novel Remaja
Merangsang Hasrat Inovasi karya Asmoro, Siapa Paling Banyak
Menulis Surat karya Ata, dan Magangnya Cerpenis karya E.
Suhindro muncul pada No. 26, 28 September 1980. Sedangkan karya
M. Sutrisno Hidup Ternyata Penuh Ironi dan Arie MP Peran
Kritik dalam Kegiatan Seni-Budaya dimuat pada No. 27, 5 Okto-
ber 1980.
Pada Minggu Pagi, No. 28, 12 Oktober 1980 muncul lima esai
sastra, yakni Pesan Tertinggal Nh Dini Yudiono KS, Kebersa-
maan dalam Teater Heru Kesawa Murti, Teater sebagai Organi-
sasi Wadhie Maharif, Perubahan pada Daerah Permainan
Niesby, dan Membaca Z-nya Gunawan Mohammad karya Tuti.
Pada No. 29, 19 Oktober 1980 muncul esai Diskotik Subur Teater
Makin Layu Niesby, Bakdi dan Emha Retno D., dan Sastra
Kontemporer di Pengajaran di SLTA Edi Romadon. Pada No. 30,
26 Oktober 1980 muncul esai Teater Indonesia, Mungkinkah Ter-
dapat Periode Baru karya Niesby. Esai Mengenal Teater

31
Eksperimen Improvisasi dan Insidentil Niesby dan Bambang
Widiatmoko karya Ata dimuat pada No. 32, 9 November 1980.
Pada No. 34, 23 November 1980 muncul Sikap Etis dalam Teater
karya Heru Kesawa dan Mahasiswa Juga Bisa Main Drama karya
Yuliani Sudarman. Pada No. 35, 30 November, No. 36, 7 Desember,
dan No. 37, 14 Desember 1980 masing-masing dimuat satu esai,
yaitu Antara Mencipta dan Membaca Puisi karya Bambang
Widiatmoko, Kewajaran dalam Teater karya Heru Kesawa Murti,
dan Ahmadun Yossi Herfanda karya Korrie Layun Rampan.
Sedangkan esai Menyambut Baik Hadirnya Pengarang Wanita
Ny. Hafsah Ahmad, Kreatif Identik dengan Produktif Niesby,
dan Dua Puluh Empat Penyair Bali Korrie Layun Rampan dimuat
pada No. 38, 21 Desember 1980.
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa Minggu Pagi sejak
tahun 1960-an hingga 1970-an banyak melahirkan nama-nama besar
sastrawan Indonesia, misalnya W.S. Rendra, A. Bastari Asnin, Arifin
C. Noer, Gerson Poyk, Hartoyo Andangjaya, Motinggo Busye,
Nasjah Djamin, dan Korrie Layun Rampan. Nama-nama besar ter-
sebut sejak 1980-an hingga 1990-an, bahkan sampai sekarang, cukup
disegani baik di tingkat nasional maupun internasional. Dengan
demikian, dapat dikatakan jika Minggu Pagi memiliki peranan yang
cukup besar dalam perkembangan sastra Indonesia di Yogyakarta
umumnya dan perkembangan kritik sastra pada khususnya.
Seperti diketahui bahwa keberadaan Minggu Pagi tidak dapat
dilepaskan dari harian Kedaulatan Rakyat; di samping karena
pemiliknya sama, sebagian besar redaktur Minggu Pagi adalah juga
redaktur Kedaulatan Rakyat. Bahkan, dapat dikatakan bahwa hingga
akhir tahun 1970-an, Minggu Pagi merupakan media yang sengaja
disajikan untuk menu hari Minggu oleh Kedaulatan Rakyat karena
Kedaulatan Rakyat saat itu belum memiliki edisi Minggu. Barulah
pada awal 1980-an Kedaulatan Rakyat memiliki edisi Minggu yang
hingga sekarang disebut KRM (Kedaulatan Rakyat Minggu). Oleh
karena itu, pada kurun waktu 1966 hingga 1980, dalam kaitannya
dengan upaya pengembangan sastra Indonesia di Yogyakarta,
peran Minggu Pagi jauh lebih besar dibandingkan peran Kedaulatan
Rakyat.

32
Hal tersebut disebabkan oleh Kedaulatan Rakyat tidak memiliki
rubrik sastra-budaya seperti halnya Minggu Pagi. Oleh karena itu,
kalau ada artikel/esai sastra yang masuk ke meja redaksi, artikel/
esai sastra tersebut dimuat di rubrik Opini seperti halnya artikel-
artikel umum lainnya. Sekadar contoh, artikel/esai/kritik sastra
karya Linus Suryadi A.G. berjudul Chairil Anwar: Pengembara
Monumental dimuat pada edisi 16 Mei 1978, Suluk Awang Uwung
Kuntowijoyo: Pitutur Ala Puisi Jawa dimuat pada edisi 19 Februari
1976, dan Interlude Goenawan Mohammad: Gejala Puisi Indone-
sia Modern? dimuat pada edisi April 1976. Kritik yang membahas
puisi karangan Linus Suryadi tersebut kemudian dikumpulkan
dalam buku Di Balik Sejumlah Nama (Gadjah Mada University Press,
1989) bersama sejumlah karyanya yang lain.
Di samping terbit di Minggu Pagi dan Kedaulatan Rakyat, karya-
karya kritik sastra Indonesia di Yogyakarta pada kurun waktu 1966
1980 juga banyak terbit di Masa Kini. Harian Masa Kini merupakan
kelanjutan dari harian Mercu Suar. Harian Mercu Suar pertama
kali terbit tahun 1966 dengan STT No. 16/SK/PDHMI/SIT/66 dan
SIT No. 016/Per/SK/Dirjen PPG/SIT 1967. Harian yang diterbit-
kan oleh Yayasan Mercu Suar itu mencantumkan slogan Melak-
sanakan Pancasila dan Dakwah. Dari slogan yang dicantumkan
tersebut jelas bahwa Mercu Suar merupakan harian yang di samping
sehaluan dengan pemerintah yakni ingin menegakkan asas dan
nilai-nilai Pancasila sebagaimana digariskan oleh pemerintah Orde
Baru juga ingin menegakkan nilai-nilai keagamaan tertentu (dak-
wah Islam).
Mengapa Mercu Suar ingin menegakkan nilai-nilai Pancasila
dan ingin pula menegakkan nilai-nilai dakwah Islam? Hal tersebut
tidak lain karena pada masa itu muncul pemberontakan G 30 S
PKI yang secara langsung atau tidak membawa masyarakat ke
suatu paham (ateis) yang menyimpang dari nilai-nilai agama. Dari
latar belakang itu kemudian muncullah ide dari sekelompok orang
(pemuda) yang sebagian besar dari kalangan Muhammadiyah
untuk mendirikan sebuah harian yang bertujuan dakwah. Maka,
kemudian terbitlah harian Mercu Suar dengan susunan redaksi H.
Kismo Affandi (Pemimpin Umum), H. Ahmad Basuni (Pemimpin

33
Redaksi/Penanggung Jawab), Drs. Muhadi Sofyan (Wakil Pemim-
pin Redaksi), Drs. Moh. Lutfi, Mukhlas Abror, Drs. Muidin, Wildan
Hm., Sudarsono S.H. (Redaksi), dan Siti Mujilah (Sekretaris Redak-
si).
Setelah secara rutin hadir di tengah masyarakat, harian Mercu
Suar yang beralamat redaksi di Jalan Brigjen Katamso 75, Yogya-
karta, itu memang benar-benar melaksanakan tujuannya, yaitu dak-
wah (Islamiyah). Hal itu dapat dibuktikan melalui tulisan-tulisan
(berita, artikel, dll.) yang disajikan di dalamnya yang sebagian besar
bernafaskan agama Islam. Bahkan, karya-karya sastra yang dimuat
dalam rubrik sastra-budaya asuhan Muchlas Abror dan Mustafa
pun secara dominan adalah karya yang bertema religius (Islami).
Dapat disebutkan, misalnya, puisi berjudul Tuhan Hanya Satu
karya Sutapa Kc dan Isu Dewan Jendral karya Manan Bz (Mercu
Suar, 12 April 1967), Untukmu Jua karya A. Mustafa (Mercu Suar,
19 April 1967), Kesadaran Damai karya Sri Hidayati dan Kepa-
da Muhammadiyah karya Zubaidah (Mercu Suar, 2 Agustus 1967),
dan sebagainya.
Kendati demikian, kenyataan di atas bukan tidak mengan-
dung resiko. Sebab, dengan kecenderungan yang mengarah pada
isme tertentu (Islam), harian tersebut menjadi terlalu eksklusif dan
resikonya adalah sulit merebut atau menguasai pasar. Padahal,
pasar merupakan salah satu penentu hidup matinya suatu media.
Oleh karena itu, tidak mengherankan jika kemudian, pada hari Rabu,
5 Januari 1972, harian Mercu Suar berganti nama menjadi Masa Kini.
Hal demikian sesuai dengan pernyataan salah seorang redaktur
Masa Kini, Teguh Ranusastra Asmara, bahwa perubahan nama dari
Mercu Suar menjadi Masa Kini, antara lain, dilatarbelakangi oleh ke-
inginan untuk menyesuaikan diri dengan tuntutan zaman (pa-
sar).
Setelah berubah menjadi Masa Kini, slogan atau moto-nya
juga berubah, yakni menjadi BerprinsipIndependenMem-
bangun. Adapun susunan redaksinya hanya sedikit mengalami
perubahan, yaitu H. Djauhari Muchsin (Pemimpin Umum), H.
Ahmad Basuni (Pemimpin Redaksi), Drs. Moehadi Sofyan (Wakil
Pemimpin Redaksi), Drs. Muidin, M. Muchlas Abror, Wildan Hm.

34
(Redaksi), Siti Mujilah (Sekretaris Redaksi), dan Drs. M. Luthfie
(Pembantu Khusus). Perlu diketahui bahwa H. Ahmad Basuni, pada
waktu menjabat pemimpin redaksi Masa Kini, ia juga masih men-
jabat wakil pemimpin umum di Suara Muhammadiyah. Oleh sebab
itu, tidak mengherankan jika harian Masa Kini berhubungan erat
dengan majalah Suara Muhammadiyah.
Walaupun sudah berganti nama dan berganti slogan, tampak
bahwa ciri khas Masa Kini masih cenderung sama dengan Mercu Suar.
Hal tersebut agaknya disebabkan oleh pengelolanya yang hampir
tidak berubah sehingga tampilan Masa Kini pun masih cenderung
eksklusif. Walaupun ia telah mencantumkan pernyataan indepen-
den, sajian isi (berita, artikel, features, tajuk rencana, kolom, dll.)
masih juga didominasi oleh hal-hal yang berkaitan dengan dakwah
agama Islam. Bahkan karya puisi dan cerpen yang tampil di bawah
rubrik Insani: Lembar Kreasi dan Aspirasi pun masih didominasi
oleh tema-tema religius (Islami).
Hanya sekadar contoh, dapat disebutkan puisi berjudul
Puisi karya Manshur, Detak-detak karya Isan Ryanto, dan Di
Atas Menara karya B. As (Masa Kini, 18 Mei 1972), Pembaringan
Terakhir karya Candra, Gelisah karya Fakhurrakhman (Masa
Kini, 11 Mei 1972), Masih Juga ada Tanya karya Hida suryakusu-
ma, Rachmat karya Surahman (Masa Kini, 7 Juni 1972), Mo-
hammad karya M. Jatiman (Masa Kini, 21 Juni 1972), Bersyukur
karya Rochmat (Masa Kini, 5 Juli 1972), dan Ikhlas karya Am-
rullah (Masa Kini, 26 Juli 1972). Sedangkan cerpen yang bertema
religius, antara lain, Setan-Setan karya Iskandar (Masa Kini, 16
September 1972); Yah, Apa Yang Kucari karya Inin Muntaco (Masa
Kini, 11 Oktober 1972); Kere karya Hadjid Anto Hastoro (Masa
Kini, 18 November 1972); Hampir Terjadi di Malam Itu karya
Iskandar (Masa Kini, 28 Oktober 1972); Ketokan Pintu karya Ma-
sykur Wiratmo (Masa Kini, 30 Juni 1979); Malam Terakhir karya Bam-
bang WD (Masa Kini, 13 Januari 1979); dan sebagainya.
Hal menarik yang pantas dicatat ialah bahwa setelah berubah
menjadi Masa Kini, pemuatan karya sastra semakin semarak. Ketika
itu, sejak tahun 1970-an, halaman untuk seni budaya dibagi menjadi
beberapa kolom. Di samping ada cerpen, artikel, dan ulasan, ada

35
juga kolom puisi yang dibagi menjadi dua, yakni Insani dan
Kulminasi. Puisi yang dimuat di Insani adalah karya-karya
para pemula atau yang sudah lumayan jurus sastranya, sedangkan
yang dimuat di Kulminasi adalah karya-karya para pendekar
yang sudah matang jurus sastranya (Hasyim, 1997). Akan tetapi,
puisi karya penyair yang sudah matang kadang-kadang dimuat
pada kolom Titian. Pada waktu itu halaman seni budaya berturut-
turut diasuh oleh Muchlas Abror, Soeparno S. Adhy, Emha Ainun
Nadjib, dan Aji Sudarmadji Muchsin. Sedangkan yang bertindak
sebagai pengaruh pada awal 1980-an, antara lain, Mustofa W.
Hasyim, Adil Amrullah, dan Indra Tranggono.
Di samping itu, yang lebih menarik lagi, di Masa Kini juga di-
buka rubrik Pos Konsultasi. Rubrik tersebut dipergunakan seba-
gai ajang pembimbingan bagi penulisan cerpen dan puisi. Bagai-
mana cara dan teknik menulis puisi atau cerpen dikupas oleh redak-
tur di dalam rubrik itu. Bahkan, pada saat itu sempat terbentuk suatu
kelompok penulis yang diberi nama Insani Club, yang anggota-
nya adalah mereka yang mengirim tulisan (cerpen, puisi, artikel,
dll) ke harian Masa Kini. Melalui Insani Club ini tercipta hubungan
erat antara redaktur dan para penulis karena Insani Club sering
mengadakan pertemuan dan diskusi mengenai sastra dan budaya.
Selain beberapa hal di atas, berikut beberapa karya esai/kritik
sastra yang dapat didata di harian Masa Kini, antara lain,
Pengadilan Puisi: Ckk Ckk Ckk Slamet Riyadi S. (Masa Kini, 18
September 1974); Wabah Sayembara Mengarang Ragil Suwarno
Pragolapati (Masa Kini, 12 Februari 1979); Bu Guru Menyarankan
Agar Kami Membaca Horison Yunus Syamsu Budhi (Masa Kini,
10 Februari 1979); Teater Katsa tangani Rentenir Ajie SM (Masa
Kini, 13 Januari 1979); Perlawanan Teater Jogja Terhadap Tan-
tangannya Emha Ainun Najib dan Menjadi Kritikus Cerita Anak
Tidak Mudah T. Loekman (Masa Kini, 9 April 1979); Seni Pada
Dasarnya Menuju ke Kesempurnaan Marsudi, Asti (Masa Kini,
12 Februari 1979); Antologi Stensil: Masih Punya Iklim dan Musim
(Masa Kini, 15 Januari 1979); Kelompok Pencarian Metode Kerja
Teater Jogja Apa Pula Itu? Kecuk Ismadi (Masa Kini, 6 Januari
1979); Tentang Harapan Bung Maman Mustofa W. Hasyim (Masa

36
Kini, 9 Mei 1979); Catatan untuk Cerpennya Masykur: Teknik
Pengejut yang Sedikit Gila Mustofa W. Hasjim (Masa Kini, 30 Juni
1979); dan Merindu Bikin Malu Tarseisius (Masa Kini, 9 Juni 1979).
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa dari harian Masa Kini
lahir nama-nama seniman (penyair) yang cukup terkenal di kemu-
dian hari, beberapa di antaranya Emha Ainun Najib, Linus Suryadi,
Ragil Suwarno Pragolapati, Rachmat Djoko Pradopo, Soekoso D.M.,
dan Mustofa W. Hasjim. Kebesaran nama mereka memang bukan
semata karena Masa Kini, tetapi dengan berkiprahnya mereka di
harian Masa Kini, setidaknya terlihat bahwa harian ini memiliki andil
yang cukup bagi pertumbuhan sastra Indonesia di Yogyakarta.
Tidak dapat dipungkiri bahwa majalah Basis (terbit sejak tahun
1950) juga menjadi media yang cukup aktif menerbitkan karya-
karya yang berkaitan dengan sastra. Hanya saja, majalah bulanan
yang pada tahun 1960-an diasuh oleh N. Drijarkara, Zoetmoelder,
R.J. Kaptin Adisumarta, Dick Hartoko (Dewan Redaksi), A. Brotowirat-
mo, W.S. Rendra, E. Sumardjono, P. Swantoro (Pembantu Tetap)
dan beralamat redaksi di Jalan Amat Jajuli 2, Yogyakarta, itu tidak
secara khusus memuat tulisan tentang sastra, tetapi memuat masa-
lah kebudayaan pada umumnya, dan kritik sastra, lebih-lebih kritik
sastra Indonesia, hanya menjadi bagian kecil darinya. Namun, yang
pantas diacungi jempol adalah bahwa sejak awal penerbitannya
majalah bermisi Katolik terbitan Yayasan BP Basis itu telah memper-
hatikan kehidupan sastra, termasuk kritik sastra Indonesia.
Pada tahun 1970-an, Basis semakin eksis ketika Dick Hartono
tampil sebagai pemimpin redaksi dan Sapardi Djoko Damono, A.
M. Slamet Soewandi, dan M. Sudiraatmadja tampil sebagai pem-
bantu (redaktur). Eksistensi tersebut tidak berubah ketika sejak
pertengahan 1970-an hingga 1980-an nama G. Moedjanto, Peter
Surya, dan B. Rahmanto masuk menjadi redaktur menggantikan
Sapardi Djoko Damono. Di tangan redaktur B. Rahmanto karya-
karya sastra (terutama puisi) dan juga kritik sastra, termasuk kritik
sastra Indonesia, lahir dengan mantap di majalah yang sejak awal
1980-an beralamat di Jalan Abubakar Ali 1, Yogyakarta, itu.
Beberapa karya kritik sastra Indonesia yang dapat didata dari
majalah Basis, antara lain, Membaca Poesi Terjemahan: Menyam-

37
but Complete Poetry and Prose of Chairil Anwar (Oktober 1970) karya
Ahar; Agama dan Sastra (Oktober 1972) karya Th. Koendjono;
Beberapa Anggapan dalam Puisi Romantik Indonesia (1973) karya
Harry Avelling; Explication De Texte Suatu Metode Kritik Sastra
(Desember 1973) karya Dick Hartoko; Pertemuan Sastrawan Se-
Indonesia Ke-2 karya Bakdi Sumanto (Maret 1975, dalam rubrik
Kronik); Sebuah Surat Terbuka (Oktober 1976) karya Yunus Mukri
Adhi; Maut dan Cinta Mochtar Lubis karya B. Rahmanto dan
Langit Biru Laut Biru Ajip Rosidi karya Dick Hartoko (?); Sri
Sumarah dan Bawuk (Oktober 1976) karya St. Soelarto; Sastra
Belanda mengenai Indonesia sebagai Salah Satu Dimensi dalam
Sastra Indonesia (Mei 1978) karya Dick Hartoko; Sorotan dari
Hamburg atas Karya Rendra (Mei 1978) karya A. Teuuw; Upacara
karya Ariel Heryanto dasn Sepi Terasing, Tunas-Tunas Luruh
selagi Tumbuh, Hilanglah Si Anak Hilang, dan Kemarau kar-
ya B. Rahmanto (Mei 1978, resensi buku); Sastra dalam Ketegang-
an antara Tradisi dan Pembaruan (Juni 1978) karya A. Teeuw;
Membangun Kehidupan Teater Kontemporer di Yogyakarta (Juni
1979) karya Umar Kayam; Sastrawan Mana Karyamu? karya B.
Rahmanto, Estetika dan Puisi dalam Masalah Kemanusiaan (Sep-
tember 1979) karya Hilla Veranza; Tentang Paham dan Salah Paham
dalam Membaca Puisi (November 1979) karya A. Teeuw; ,
Pengarang dan Wilayahnya karya Mochtar Lubis, Catatan Kecil
atas Bianglala Sastra (Desember 1979) karya B. Rahmanto;
Catatan Ringkas tentang Puisi Indonesia Mutakhir karya Sapardi
Djoko Damono (Maret 1980); Strategi Kebudayaan Rendra karya
Celly Akwan, resensi Mitos dan Komunikasi A. Teuuw dan
Burung-Burung Manyar B. Rahmanto (November 1981).
Sementara itu, majalah Semangat juga menjadi media penting
bagi upaya pengembangan kritik sastra Indonesia di Yogyakarta.
Majalah Semangat terbit sejak 1955 dengan format stensilan.
Namanya semula adalah Sen-Sasi yang berarti sak-sen-saben-sasi
(iuran para redaksi, agen, dan pembaca). Tahun 1956 berganti nama
menjadi Spirit dan tahun 1961 berubah menjadi Semangat. Surat
izin terbit baru diperoleh pada tahun 1966 (Ijin Nomor 219/SK
Dphm/SIT66tanggal 28 Maret 1966). Majalah yang diterbitkan

38
dan dicetak oleh Badan Penerbit Spirit di bawah dukungan pemuda-
pemudi Katolik dan memiliki hubungan erat dengan majalah kebu-
dayaan umum Basis itu terbit setiap tanggal 18 (majalah bulanan).
Pada tahun-tahun awal penerbitannya hingga 1970-an majalah Se-
mangat tidak dapat hadir (terbit) secara rutin (ajeg), lebih-lebih di
tahun-tahun sekitar meletusnya G-30-S PKI 1965.
Sejak awal penerbitannya hingga tahun 1960-an majalah
Semangat berukuran tiga per empat kuarto (16 x 24 cm) dengan ke-
tebalan rata-rata 20 halaman (termasuk cover) dan beralamat redak-
si di Jalan Margokridanggo 14 (sekarang Jalan Abubakar Ali) Yogya-
karta. Akan tetapi, sejak tahun 1970-an, ukuran majalah tersebut
berubah menjadi kuarto (21 x 29 cm) dengan ketebalan rata-rata 34
halaman. Alamat redaksinya pun berpindah dari Jalan Abubakar
Ali 14 ke Bintaran Kidul 5, Yogyakarta, yang semula hanya sebagai
kantor administrasi. Majalah itu sengaja ditujukan kepada kaum
muda; hal itu ditandai dengan motto yang berbunyi Spirit Pemuda
Pemudi Dewasa yang ditulis (dicantumkan) di cover majalah.
Hingga tahun 1960-an majalah Semangat tidak secara lengkap
mencantumkan tim redaksi yang mengasuhnya karena di dalam
ruang redaksi hanya dicantumkan Direksi (Drs. P.I. Oey Liang Lee),
Pemimpin Redaksi (P. Simatupang), dan Sensor (B. Liem Bian Bing
S.J.). Namun, pada tahun 1970-an, majalah tersebut secara eksplisit
mencantumkan para pengasuhnya, yaitu: Direksi (The Eng Gie,
B. Wonosunaryo, dan P. Simatupang); Pemimpin Umum (P. Simatu-
pang); Penanggung Jawab (F.J. Basuki); Pemimpin Redaksi (J.
Mardjuki); Redaksi (P. Simatupang, J. Mardjuki, dan The Eng Gie);
Pelaksana Teknis (P. Walgito); Ilustrator ( R. Susilo dan Ben Han-
daya Atmadjaja); Pembimbing (Al. Purwadi), dan Tata Usaha (P.
Walgito). Sementara itu, hingga awal tahun 1960-an harga eceran
majalah itu Rp2,50 dan harga langganan per kwartal Rp7,50, se-
dangkan pada tahun 1970-an harga eceran Rp175,00 dan harga
langganan per triwulan Rp525,00. Untuk pelanggan luar Jawa di-
tambah ongkos kirim Rp10,00 per eksemplar.
Sebagaimana diketahui bahwa majalah Semangat adalah maja-
lah umum walaupun majalah tersebut memiliki spesifikasi untuk
para pemuda dan pemudi (dewasa). Hal tersebut dapat dilihat

39
pada rubrik-rubrik yang dibuka di dalamnya, mulai dari Surat
Pembaca, TTS (Pelatih Otak), Mode, Tokoh, sampai Psiko-
logi, Seni, Puisi, Cerpen, Budaya, Lembaran Kehidup-
an, Religi, Berita Luar Negeri, dan sebagainya. Pada tahun
19701980-an, sejak mengalami penambahan rubrik dan jumlah
halaman, jumlah rubrik yang ditampilkan relatif ajeg (rutin), yakni
sekitar 20.
Pada Semangat edisi maxi, nomor 2, Oktober 1978, tahun ke-
24, misalnya, dimuat 20 rubrik (isi), yaitu (1) Foto Kulit Depan:
Orang-orang Jakarta, (2) Mari Kita Tanya Komputer: Novel-
novel Pop dan Pengarangnya, (3) Dari Hati ke Hati: Harapan +
Cinta = Hidup, (4) Di Wikrama Putra: Cinta tanpa Suara, (5)
In Memoriam Paus Paulus VI, (6) Ketombe, (7) Kisah di Balik
Suksesnya: Soichiro Honda, (8) Dari Mata Turun ke Hati: Puna-
kawan dan Bima, (9) Pulang, (10) Dunia Puisi: Umbu Landu
Paranggi, (11) Insinyur Seksi, (12) Mode Bulan Ini, (13) Pela-
tih Otak, (14) Mari Beternak Ayam, (15) Bung Semprul, (16)
Manfaat Sebuah Pesawat Radio, (17) Bingkisan Kecil Kak Truly,
(18) Sekitar Masalah: Dependensi Obat, (19) Surat Pembaca,
dan (20) Udara Berlin Kurang Disukai.
Meskipun majalah Semangat adalah majalah umum, masalah-
masalah yang berkaitan dengan sastra-seni-budaya (puisi, cerpen,
drama, dan esai/kritik) mendapat perhatian yang serius; dan jenis
sastra yang hampir secara rutin tampil adalah puisi, cerpen, dan
esai/kritik. Dalam kaitannya dengan pertumbuhan (perkembang-
an) sastra Indonesia di Yogyakarta, boleh dikatakan majalah Se-
mangat memiliki andil cukup besar; terbukti karya-karya (puisi,
cerpen, esai) para penulis/pengarang Yogyakarta sering tampil
di dalamnya, misalnya puisi-puisi Umbu Landu Paranggi (No. 2,
Oktober 1978), Ragil Suwarno Pragolapati, dan sebagainya yang
tergabung dalam Persada Studi Klub (PSK), cerpen Bakdi Sumanto,
esai Mayon Sutrisno (No. 6, Februari 1976), Julius Poer (No. 4, De-
sember 1971), Bakdi Sumanto (No. 8, April 1975), dan lain-lain.
Khususnya di bidang kritik sastra, yang ditulis dalam wujud
artikel atau ulasan, majalah Semangat juga cukup aktif memperhati-
kannya. Beberapa esai/kritik yang dapat didata, antara lain, La-

40
wan Pornografis oleh redaksi (No. 3, November 1968), Bagai-
mana Berdeklamasi Itu? oleh Bakdi Dumanto (No. 1, September
1971), Puisi dan Drama oleh Ragil Suwarno Pragolapati (No.
12, Agustus 1972), Seni Drama: Memerlukan Naskah Remaja
oleh Bakdi Sumanto (No. 3, November 1972), Sajak-Sajak Remaja
yang Matang oleh Bakdi Dumanto (No. 14, Juni 1974), Ada yang
Menyendat, Ada yang Lancar oleh Bakdi Sumanto (No. 2, Oktober
1974), Dari Dalam Batin Wanita Remaja oleh Bakdi Sumanto
(No. 8, April 1975), Perlambang yang Tampak dan Terdengar
dalam Sajak oleh Bakdi Sumanto (No. 9, Mei 1975), Setahun
Pertemuan antara Pikir dan Rasa oleh Bakdi Sumanto (No. 10,
Juni 1975), Ilham Masuk Lewat Celah Hati oleh Bakdi Sumanto
(No. 11, Juli 1975), Pesona Seorang Gadis Remaja pada Alam
Sekitar oleh Bakdi Sumanto (No. 1, September 1975), Mengintip
Celah-Celah Sepi (anonim, No. 3, November 1975), Berpuisi Spon-
tan dan Polos oleh Y. Supardjana (No. 4, Desember 1975), Men-
jumpai Tuhan dalam Puisi Penyair oleh Mayon Sutrisno (No. 6,
Februari 1976), Mirasat dan rahasia Hidupnya oleh Bakdi Su-
manto (No. 8, April 1976), Sin + Tuhan = Sintuhan oleh Mimosa
Sekarlati (No. 7, Maret 1976), Mengapa Sajak Kita Kurang Ber-
hasil? oleh Bakdi Sumanto (No. 9, Mei 1976), Antara yang Me-
ngental dan Mencair oleh Bakdi Seumanto (No. 10, Juni 1976),
Hanya Kalau Saya Sedih, Saya Dapat Menyalak oleh Bakdi
Sumanto (No. 12, Agustus 1976), Pledoi untuk Sajak-Sajak Remaja
Mutakhir oleh Bakdi Sumanto (No. 7, Maret 1975), Cerita Pendek
Majalah Semangat oleh Yakob Sumardjo (No. 8, April 1975),
Penulis dan Masalahnya oleh J. Pandji (No. 6, Februari 1969),
Pengarang dan Penulis Sekarang oleh B. Gde Winnjana (No. 9,
Mei 1972), Saya Membiayai Sekolah Saya dengan Menulis oleh
Agus Surjono (No. 6, Februari 1973), Arswendo Atmowiloto oleh
Semangat (No. 9, April 1973), Mengarang Sebagai Mata
Pencaharian: Mungkinkah itu di Indonesia oleh Bakdi Sumanto
(No. 7, Maret 1972), Langkah Pertama Mangarang untuk Majalah
oleh M.L. Stein (No. 12, Agustus 1976), Bergadang dengan Singa
Tenang dari Padang oleh T.H. Sugiyo (No. 9, Mei 1976), Motivasi
Karang-Mengarang oleh PY/SP (No. 12, Agustus 1980), Pelangi

41
Kreasi Puisi Seminari dan Puisi dan Kemerdekaan oleh Ragil
Suwarno Pragolapati (No. 1112, Agustus 1980), Jika Musimnya
Habis, Novel Pop Quo Vadis oleh Sindikat Pengarang Yogyakarta
(No. 10, Juni 1980).
Sementara itu, kritik yang ditulis dalam wujud tulisan pendek
dalam rubrik Surat Pembaca, misalnya, tampak dalam Semangat
edisi Desember 1968, September 1970, Juni 1971, Oktober 1971,
Januari 1972, Maret 1972, Mei 1972, September 1973, Mei 1980, Juni
1980, Agustus 1980, dan masih banyak lagi. Demikianlah, antara
lain, berbagai karya kritik sastra Indonesia di Yogyakarta yang
dipublikasikan di majalah Semangat. Dengan publikasi itu jelas bah-
wa majalah Semangat merupakan salah satu media massa cetak
yang cukup penting bagi perkembangan sastra Indonesia di Yogya-
karta.
Selain beberapa media di atas, pada tahun 1960-an dan 1970-
an majalah Suara Muhammadiyah juga menjadi sarana publikasi
karya-karya kritik sastra di Yogyakarta. Hanya saja, majalah yang
sejak awal (terbit pertama tahun 1915) hingga sekarang beralamat
di Jalan K.H.A. Dahlan Yogyakarta dan bernaung di bawah
organisasi-sosial keagamaan Muhammadiyah itu tidak begitu aktif
menerbitkan karya (termasuk kritik) sastra Indonesia. Hal itu di-
sebabkan oleh majalah yang semula dicetak dengan huruf Jawa
dan berbahasa Jawa ngoko itu lebih mengutamakan citra persya-
rikatan dan tujuan dakwah (Islamiyah).
Sejak awal penerbitan hingga tahun 1960-an (sebelum Orde
Baru), meskipun sejak 1937 telah dicetak dengan huruf latin dan
menggunakan bahasa Indonesia, Suara Muhammadiyah boleh di-
katakan tidak pernah membuka ruang untuk sastra-budaya, lebih-
lebih sastra Indonesia modern. Oleh sebab itu, tidak mengherankan
jika jarang ditemukan karya sastra. Dalam jangka waktu sekitar
lima puluh tahun baru dijumpai sebuah puisi berjudul Api Re-
volusi di Tanah Air (Desember 1946) karya Maria Amin. Barulah
ketika Orde Baru tiba, atau sejak 1965, karya sastra (puisi) kadang-
kadang muncul. Sekadar contoh, puisi berjudul Kepada Siapa
karya Abdul Muim (Agustus 1965) dan Kepada Chairil (Oktober
1965). Sementara itu, karya-karya puisi, cerpen, dan esai/kritik

42
baru muncul sejak akhir 1960-an. Hal itu bisa terjadi karena salah
seorang redakturnya (Mohammad Diponegoro) adalah pengarang
(penyair, cerpenis, novelis, dan teaterawan).
Beberapa karya kritik sastra yang dapat didata dari majalah
Suara Muhammadiyah pada tahun 1960-an dan 1970-an, antara lain,
Segi-Segi Kesastraan pada Kisah-Kisah Alquran (Juni 1968)
karangan A. Hanafi, M.A.; Teruskan Puitisasi Terjemahan
Alquran (No. 3 dan 4, 1971) karya T. Loekman; Cerpen Mana,
Cerpen Siapa? (April 1975) karya Darwis Khudori; dan Saran
Isi SM (Januari 1973) karya S. Tirtoatmodjo. Sementara itu, sejak
tahun 1975, sejak menjadi redaktur majalah Suara Muhammadiyah,
Mohammad Diponegoro, selain sering menulis cerpen dan mener-
jemahkan Alquran secara puitis (puitisasi Alquran), juga sering
menulis dan memuat esai-esai pendek mengenai bagaimana menu-
lis cerpen yang baik. Esai-esai pendek yang semula dipublikasikan
secara bersambung di Suara Muhammadiyah salah satunya
berjudul Seribu Satu Malam (Juli 1980) itu kemudian dibuku-
kan dalam Yuk, Menulis Cerpen Yuk (Shalahuddin Press, 1985).
Sedangkan beberapa cerpennya dibukukan dalam Odah dan Cerita
Lainnya (Shalahuddin Press, 1986) dan puitisasi Alqurannya di-
bukukan dalam Pekabaran (Budaya Jawa, 1977), Kabar Wigati dari
Kerajaan (Dua Dimensi, Yogyakarta, 1985), dan Kabar dari Langit (Pus-
taka, Bandung, 1988, kumpulan bersama karya Djamil Suherman).
Seperti halnya beberapa majalah dan surat kabar di atas, ming-
guan Pelopor pun tidak kalah penting dalam kerangka pertumbuh-
an sastra Indonesia di Yogyakarta. Mingguan Pelopor merupakan
mingguan politik populer yang lahir pada 22 Januari 1950 (men-
dapat akte notaris R.M Wiranto, Yogyakarta, tanggal 22 November
1950). Pada awal-awal penerbitannya, yang bertindak selaku peng-
asuh adalah Annast (Pimpinan Umum), M.O. Palapah, Sutedjo,
dan Sutomo (Redaksi).
Lebih dari itu, Pelopor merupakan embrio lahirnya apa yang
kemudian dikenal oleh masyarakat sebagai Mingguan Pelopor Yogya.
Sejak tahun 1969, oleh Umbu Landu Paranggi, Ragil Suwarno Pra-
golapati, Teguh Ranusastra, Ipan Sugiyanto Sugito, Soeparno S.
Adhy, Iman Budhi Santoso, dan Mugiyono Gito Warsono, markas

43
mingguan tersebut (Jalan Malioboro 85 Yogyakarta) dijadikan
tempat berdirinya Persada Studi Klub (PSK) yang memegang pe-
rananan penting bagi perkembangan dunia kesastraan di Yogya-
karta. Lewat mingguan terbitan Yayasan Penerbit Pelopor tersebut,
Umbu Landu membuka rubrik sastra dan budaya dalam dua kla-
sifikasi, yaitu Persada dan Sabana. Para penulis pemula digo-
dok dalam tataran Persada sampai akhirnya mereka mampu
menembus tataran Sabana. Dan lewat rubrik itu pula muncul karya-
karya esai dan atau kritik walaupun frekuensi kemunculannya
amat jarang. Sekadar contoh, misalnya karya Noeng Runua ber-
judul Sastra Itu Omong Kosong (Pelopor, No. 263, 16 September
1978) dan karya Bambang Sadono SY berjudul Kritik Sastra oleh
Siapa Saja (Pelopor, 12 Oktober 1978).

44
BAB III
JENIS DAN ORIENTASI KRITIK SASTRA
INDONESIA DI YOGYAKARTA

Pada bab terdahulu (Bab II) telah dipaparkan dinamika kritik


sastra Indonesia di Yogyakarta pada kurun waktu 1966 hingga
1980. Selanjutnya, di dalam bab ini, dipaparkan jenis dan orientasi-
nya, khususnya jenis dan orientasi karya-karya kritik sastra yang
telah dipublikasikan di dalam beberapa media massa cetak berba-
hasa Indonesia (Minggu Pagi, Kedaulatan Rakyat, Masa Kini, Basis,
Semangat, Suara Muhammadiyah, dan Pelopor) yang terbit di Yogya-
karta pada kurun waktu tersebut.

3.1 Jenis Kritik


Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam praktik penilai-
annya ternyata para kritikus sastra Indonesia di Yogyakarta tahun
1966 hingga 1980 menggunakan cara yang berbeda-beda. Baik
dalam menyoroti karya sastra maupun hal-hal di luar sastra, seba-
gian dari mereka ada yang menggunakan konsep atau teori terten-
tu, dan sebagian lain tidak menggunakan konsep atau teori tetapi
hanya menuangkan impresi-impresi selintas atas objek yang di-
soroti. Mereka yang menggunakan konsep, pendekatan, atau teori
tertentu menghasilkan karya kritik yang cenderung ilmiah (judisial)
dan mereka yang tidak menggunakan konsep atau teori tertentu
menghasilkan karya-karya kritik yang tidak ilmiah dan hanya be-
rupa ulasan singkat (impresionistik).

45
Berdasarkan pengamatan terhadap seluruh data dapat
dikatakan bahwa ternyata karya-karya kritik sastra Indonesia yang
dipublikasikan di beberapa media massa cetak yang terbit di Yog-
yakarta didominasi oleh karya-karya kritik yang tidak ilmiah (impre-
sionistik). Dikatakan demikian karena data menunjukkan hanya
ada beberapa karya kritik yang menggunakan konsep atau teori
sastra tertentu. Perlu ditegaskan pula bahwa konsep atau teori yang
dipergunakannya pun tidak disajikan secara eksplisit, lebih-lebih
secara panjang lebar, tetapi sering hanya disebutkan inti atau po-
kok-pokok pikirannya, atau bahkan hanya disebutkan tokoh pen-
cetusnya.
Esai berjudul Beberapa Anggapan dalam Puisi Romantik
Indonesia karangan Harry Avelling yang dimuat Basis, No. 22,
Thn. 19721973, misalnya, menunjukkan kecenderungan itu. Ke-
tika membahas puisi Indonesia umumnya dan puisi tahun 1920
1945 khususnya, dalam esai tersebut Harry Avelling secara sadar
sebenarnya menggunakan teori mengenai sistem norma sebagai-
mana dikemukakan oleh Wellek dan Warren. Akan tetapi, pada ke-
nyataannya, ia tidak memberikan penjelasan yang lengkap menge-
nai konsep teori itu tetapi hanya menyebutkan nama pencetusnya
(Wellek dan Warren). Dengan menggunakan konsep Wellek dan
Warren, Harry Avelling sampai pada kesimpulan bahwa puisi-
puisi Indonesia pada masa itu kuat dalam kecairan, campur baur,
pengalaman-pengalaman permulaan yang halus, dan mengangkat
dunia lain. Selain itu, menurutnya, puisi-puisi tersebut juga cende-
rung individualis, idealis, subjektif terhadap alam, dan mementing-
kan gambaran simbolis. Akan tetapi, katanya, karya-karya puisi
itu tidak sesuai dengan norma-norma seperti yang diajukan oleh
Wellek.
Kecenderungan serupa tampak pada esai Bakdi Sumanto
berjudul Ada yang Menyendat, Ada yang Lancar (Semangat, No.
2, Oktober 1974). Dalam tulisan tersebut Bakdi mengupas proses
kreatif penulisan puisi Malam Pengantin karya Laddy Tadjudin
dan Menjelang Akhir Hidupku karya Sinta Kuncoro. Ketika
membahas proses kreatif penulisan puisi itu Bakdi mendasarkan
analisisnya pada teori R.H. Tawney sebagaimana ditulis dalam

46
buku Write Poetry from Within. Menurutnya, ada tiga hambatan
yang ditemui dalam menulis puisi, yaitu (1) dihantui rasa takut,
malu, was-was kalau diejek, diketahui rasa hatinya, takut dinilai,
(2) penulis tidak tahu persis apa yang akan dikemukakannya, dan
(3) belum menguasai media, kurang kata-kata atau bahasa yang
digunakan. Jadi, dalam esai ini, Bakdi hanya menyebutkan ham-
batan dalam proses kreatif penulisan puisi secara singkat, tidak
menjelaskan secara lengkap konsepnya dan ia langsung menunjuk
pada dua contoh puisi karya Laddy dan Sinta.
Hal tersebut sedikit berbeda dengan esai karangan Hilla
Veranza berjudul Estetika dan Puisi dalam Masalah Kemanusia-
an (Basis, September 1979). Esai ini cenderung ilmiah karena ke-
tika hendak menjelaskan hubungan antara estetika, puisi, dan
masalah kehidupan manusia, penulis memaparkan terlebih dulu
latar belakang sejarah (pasang surut estetika, posisi estetika dalam
diri manusia), pengalaman estetis (kedudukan manusia dalam
alam, keniscayaan pengalaman estetis), dan dasar-dasar antro-
pologis puisi modern (puisi sebagai pribadi, dinamika dalam pende-
katan puisi, dan letak keabadian puisi). Dengan mengutip sejumlah
referensi penulis kemudian menyatakan bahwa unsur-unsur sub-
jektif bekerja kuat dalam puisi. Puisi yang mencerminkan keutuhan
merupakan bentuk pengambilan sikap penyair terhadap masalah
kemanusiaan. Meski terjadi pengkhiatan terhadap nilai-nilai kema-
nusiaan, pada dasarnya keluhuran akan tetap berbisik selama orang
masih berhubungan dengan karya seni. Akhirnya, dengan me-
ngutip pendapat Gunawan Mohamad dan sajak-sajak Sapardi Djoko
Damono, penulis merasa lega bahwa kita masih bisa memperoleh
nilai-nilai keabadian dalam puisi.
Tiga buah esai karya A. Teeuw, yakni Sastra dalam Kete-
gangan antara Tradisi dengan Pembaharuan (Basis, Juni 1978),
Tentang Paham dan Salah Paham dalam Membaca Puisi (Basis,
November 1979), dan Estetik, Semiotik, dan Sejarah Sastra (Basis,
Oktober 1980), menunjukkan kecenderungan ilmiah seperti karang-
an Hilla Veranza di atas. Sebab, esai yang semula diajukan dalam
beberapa konferensi di Jakarta itu bahkan tidak hanya merupakan
kritik terhadap contoh-contoh karya sastra Indonesia, tetapi juga

47
ada kecenderungan untuk mengkritisi teori-teori sastra lain dan
kemudian mengompilasikannya sehingga seolah-olah tercipta
sebuah teori baru yang dapat dijadikan pegangan bagi para peneliti
sastra di Indonesia. Oleh sebab itu, melalui esai-esai tersebut pem-
baca akan memperoleh pencerahan sehingga mampu membaca
dan menganalisis karya sastra secara benar dan tepat.
Itulah beberapa contoh karya-karya kritik sastra Indonesia
yang cenderung ilmiah yang dimuat di dalam Basis dan Semangat.
Sesungguhnya, Basis dan Semangat memungkinkan untuk sepenuh-
nya menjadi media publikasi bagi karya-karya kritik judisial atau
kritik akademik. Sebab, kedua media publikasi tersebut berupa
majalah (bulanan), bahkan berlabel sebagai majalah kebudayaan
yang tentu menaruh perhatian besar pada masalah-masalah kebu-
dayaan termasuk di dalamnya sastra. Kemungkinan itu diperkuat
oleh konsumen atau pembaca majalah tersebut adalah kelompok
intelektual (ilmuwan, budayawan, peneliti, dosen, guru, mahasis-
wa) sehingga tidak aneh jika di dalamnya dimuat karya-karya kritik
sastra yang ilmiah yang secara eksplisit menggunakan landasan teori
atau metode tertentu.
Kendati demikian, kenyataan membuktikan, Basis dan Semangat
pun tetap didominasi oleh karya-karya kritik sastra nonilmiah
(impresionistik) yang tidak menggunakan konsep atau landasan
berpikir tertentu. Hal demikian dapat dipahami karena majalah-
majalah itu bukanlah majalah atau jurnal ilmiah, melainkan ma-
jalah kebudayaan umum yang mau tidak mau harus memenuhi
kriteria mudah dicerna oleh pembaca mana pun. Karena itu, karya-
karya kritik sastra yang dipublikasikan, meskipun pokok masalah
yang dibahas mungkin tidak sederhana, tetapi tetap dituntut untuk
tampil sederhana, ringkas, dapat dibaca cepat, dimengerti semua
kalangan, di samping karena terbatasnya ruang atau halaman.
Itulah sebabnya, sangat masuk akal jika kecenderungan impresio-
nistik mendominasi karya-karya kritik sastra yang dimuat pada
majalah tersebut.
Sebagai contoh, dapatlah dicermati tulisan berjudul Mem-
baca Poesi Terjemahan: Menyambut The Complete Poetry and Prose
of Chairil Anwar (Basis, Oktober 1972) karya Ahar, Resensi Buku

48
(Basis, Mei 1978) karya B. Rahmanto dan Ariel Heryanto, Per-
temuan Sastrawan se-Indonesia ke-2: Suatu Arah (Basis, Oktober
1974), Sri Sumarah dan Bawuk (Basis, Oktober 1976) karya St.
Soelarto, dan masih banyak lagi, yang semuanya merupakan tulis-
an-tulisan singkat yang berisi ulasan permukaan tanpa landasan
konsep atau teori tertentu. Kalau demikian halnya, dapat dikatakan
bahwa sebagian besar karya-karya kritik sastra Indonesia yang
dimuat di majalah Basis dan Semangat tidak jauh berbeda, bahkan
cenderung sama, dengan karya-karya kritik sastra yang dimuat
di surat kabar seperti Minggu Pagi, Kedaulatan Rakyat, Masa Kini,
dan Pelopor.
Data yang diperoleh dari Minggu Pagi, Kedaulatan Rakyat, Masa
Kini, dan Pelopor seluruhnya menunjukkan kecenderungan sebagai
karya kritik impresionistik. Bahkan, dalam Suara Muhammadiyah,
walaupun media ini berupa majalah, karya-karya kritik yang dimuat
di dalamnya pun cenderung sama dengan yang dimuat di surat
kabar. Namun, hal itu dapat dipahami karena Suara Muhammadiyah
terbit setiap dua minggu sekali sehingga redaksi tidak mungkin
menyajikan karya-karya (tulisan) yang berbobot ilmiah. Terlebih
lagi, Suara Muhammadiyah bukanlah majalah ilmiah, melainkan
majalah dakwah yang dituntut harus mudah dibaca dan dipahami
oleh seluruh umat.
Pada umumnya, di dalam karya-karya kritik impresionistik
yang dimuat di berbagai surat kabar tersebut, para penulis (kriti-
kus) hanya memberikan tafsiran-tafsiran sekilas berdasarkan peng-
amatan yang sekilas pula, dan seolah mereka tidak melakukan penilai-
an yang intens (baik atau buruk) berdasarkan aturan atau pedoman
yang ada (berlaku), tetapi cenderung hanya memuji objek yang
dikritik, atau sebaliknya. Sebagai contoh, artikel Aryasatyani ber-
judul Thema Chairil Anwar (Minggu Pagi, No. 26, April 1970).
Artikel pendek ini hanya mengungkapkan secara sekilas sepak
terjang penyair Chairil Anwar. Dikatakannya bahwa Chairil adalah
penyair Indonesia yang mempunyai watak kurang ajar sesuai
watak yang dibawakan dalam sajak-sajaknya; Chairil adalah anak
didik HB Jassin yang mempunyai bakat terpendam di balik ke-
nakalannya; konon Chairil pernah datang ke kantor Pramudya,

49
membacakan sajaknya secara keras sampai mereka berdua beradu
mulut; Chairil tertawa sampai kawan-kawannya ikut tertawa; dan
kehadiran Chairil memang membawa kesegaran walaupun ia ber-
watak kurang ajar; dan seterusnya. Jadi, pendapat penulis artikel
ini hanya subjektif belaka walaupun mungkin sesuai dengan
pengalamannya. Karena tanpa disertai bukti-bukti dan konsep-
konsep yang mendasarinya, jelas bahwa kesan impresif tampak
nyata dalam artikel ini.
Hal serupa terlihat pula dalam tiga tulisan karya Linus
Suryadi A.G. berjudul Chairil Anwar: Pengembara Monumental
(Kedaulatan Rakyat, 16 Mei 1978), Interlude Gunawan Mohammad:
Gejala Puisi Indonesia Modern? (Kedaulatan Rakyat, April 1976),
dan Suluk Awang Uwung Kuntowijoyo: Pitutur Ala Puisi Jawa
(Kedaulatan Rakyat, 19 Februari 1976). Ketiga artikel ini memang
secara objektif menyoroti puisi karya Chairil Anwar, Gunawan
Mohammad, dan Kuntowijoyo), tetapi cara yang dilakukan Linus
melihat objek (puisi) itu sangatlah subjektif karena tidak dilandasi
oleh konsep tertentu di bidang ilmu tertentu. Oleh sebab itu, kesan
yang dapat ditangkap oleh pembaca ialah bahwa kebenaran atas
puisi berdasarkan penglihatan Linus tidak selalu benar berdasar-
kan penglihatan orang lain.
Tulisan Bakdi Sumanto berjudul Antara yang Mengental dan
yang Mencair (Semangat, Juni 1976) juga menunjukkan hal yang
sama. Ketika membahas puisi Pohon Murbei dan Date Di Caf
karya Ridj. Ahem (Kemiri, Purworejo), Bakdi hanya menuliskan
kesan-kesannya bahwa puisi itu padat dan baik dalam pemilihan
kata-katanya. Dikemukakan pula bahwa sajak memang memerlu-
kan ramuan kata yang padat, fungsional, dan mampu memberikan
pemahaman yang tepat bagi pembacanya. Selain itu, dicontohkan
juga sajak berjudul Hari Ini yang tidak berhasil seperti kedua
sajak terdahulunya. Menurutnya, ada kesan ragu-ragu untuk me-
madatkan tulisannya sehingga sajak itu terkesan menjelaskan. Sajak
yang dikemukakan penyair ada yang bersifat kental atau cair,
berdasarkan esensi puitikanya. Namun, jika terlalu cair, penyair
membutuhkan banyak keterangan yang akan menjelaskan sajak-
nya, dan yang paling penting ialah ungkapan yang bersifat esen-

50
sial dalam hidup yang dikemas dalam dimensi dan perspektif pe-
nyair.
Seperti halnya karya-karya kritik sastra Indonesia di Yogya-
karta pada kurun waktu sebelumnya (19451965), dominasi karya-
karya kritik sastra impresionistik pada kurun waktu ini (1966
1980) juga diperkuat oleh adanya ulasan sederhana yang dimuat
di dalam rubrik surat pembaca, berita, kronik, varia remaja,
sketsa, dan banyaknya tulisan-tulisan anonim. Kritik yang mun-
cul dalam surat pembaca, misalnya, terlihat pada majalah Semangat
(Desember 1968, September 1970, Juni 1971, Oktober 1971, Januari
1972, Maret 1972, Mei 1972, September 1973, Mei 1980, Juni 1980,
Juni 1980, Agustus 1980), Suara Muhammadiyah (No. 3 dan 4 Thn.
Ke-56; No. 2, Januari 1973, No. 12, 1976; desember 1974), Basis (Okto-
ber 1976), dan masih banyak lagi.
Demikian paparan singkat mengenai jenis kritik di dalam
khazanah kritik sastra Indonesia di Yogyakarta tahun 1966 hingga
1980. Dari paparan ringkas tersebut akhirnya dapat dinyatakan
bahwa karya-karya kritik sastra pada kurun waktu ini didominasi
oleh karya kritik yang berjenis impresionistik. Kenyataan itu bu-
kanlah suatu kebetulan karena karya-karya kritik itu dipublikasi-
kan di dalam majalah-majalah umum sehingga para kritikus pun
menulis kritik yang memenuhi syarat sebagai kritik umum. Sebab,
kalau tidak, kritik yang mereka tulis tidak akan mencapai sasaran
yang dituju karena pembaca media massa umum itu beragam baik
usia, jenis kelamin, status, pendidikan, pekerjaan, dan seterusnya.
Meski demikian, tanda-tanda yang semakin menunjukkan optimis-
me ialah bahwa pada kurun waktu 19661980 jumlah karya kritik
yang objektif meningkat tajam. Hal itu berarti bahwa kini telah
muncul kesadaran bahwa sesungguhnya kritik sastra adalah kritik
terhadap karya, bukan kritik terhadap yang lain.

3.2 Orientasi Kritik


Sebagaimana disebutkan di depan bahwa analisis terhadap
orientasi kritik didasarkan pada hasil modifikasi konsep Abrams
(1981) dan Tanaka (1976). Pemodifikasian ini harus dilakukan karena
berdasarkan pendekatannya Abrams hanya membagi kritik men-

51
jadi empat, yaitu kritik mimetik, kritik pragmatik, kritik ekspresif,
dan kritik objektif (bdk. Teeuw, 1983). Di dalam pembagian ter-
sebut tampak jelas bahwa Abrams mengabaikan masalah pener-
bit/pengayom dan kritik itu sendiri; padahal data menunjukkan
adanya karya-karya kritik yang menyoroti masalah penerbit/
pengayom dan menyoroti masalah kritik itu sendiri (berupa
polemik). Untuk itu, konsep Abrams kemudian dipadukan dengan
konsep Tanaka yang dengan sistem modelnya melihat subsistem
penerbit/pengayom dan subsistem kritik sebagai bagian tak
terpisahkan dari sistem (mikro dan makro) sastra secara keseluruh-
an. Dari pemaduan itu akhirnya ditentukan bahwa di dalam ana-
lisis orientasi kritik difokuskan pada lima hal (kritik terhadap penga-
rang, karya sastra, penerbit/pengayom, pembaca, dan kritik) se-
bagai berikut.

3.2.1 Kritik Terhadap Pengarang


Data karya-karya kritik sastra Indonesia yang berhasil dihim-
pun dari media-media massa berbahasa Indonesia yang terbit di
Yogyakarta pada kurun waktu 19661980 pada umumnya tidak
jauh berbeda dengan data tahun sebelumnya (19451965), yakni
menunjukkan bahwa kritik yang berorientasi pada pengarang meng-
gambarkan adanya berbagai macam pemikiran yang bersifat men-
dukung maupun menyanggah, baik terhadap diri pengarang itu
sendiri maupun terhadap karya pengarang yang bersangkutan.
Namun, dilihat secara kuantitatif, data karya-karya kritik yang
berorientasi pada pengarang relatif lebih sedikit apabila dibanding-
kan dengan kritik terhadap karya pengarang yang bersangkutan. Hal
itu tampak bertolakbelakang apabila dibandingkan dengan periode
19451965, kritik yang berorientasi pada pengarang menunjukkan
jumlah yang lebih banyak. Kenyataan itu menunjukkan adanya
kesadaran bagi para kritikus bahwa sesungguhnya yang terpenting
di dalam kritik sastra adalah kritik terhadap karya sastra.
Tampak bahwa kritik memang sudah menjadi bagian dari
kehidupan sastra Indonesia. Kritik sastra Indonesia mulai muncul
seiring dengan lahirnya kesusastraan Indonesia modern. Dengan
bangkitnya kesusastraan Indonesia modern timbullah kritik sastra

52
tertulis, lebih-lebih sejak lahirnya Pujangga Baru. Sejak itu, dari
periode ke periode ditulis kritik sastra untuk para peminat sastra,
baik kritik terapan maupun kritik teoretis. Karena itu, muncullah
penulis-penulis yang dapat disebut kritikus meskipun tulisan kritik-
nya bukan merupakan karya utamanya sebab mereka lebih dikenal
sebagai sastrawan, seperti Sutan Takdir Alisjahbana, Sanusi Pane,
Armijn Pane, Asrul Sani, Subagio Sastrowardoyo, Ajip Rosidi, Budi
Darma, Goenawan Mohamad, dan sebagainya. Hanya satu dua
saja penulis yang profesinya khusus menulis kritik sastra, seperti
H.B. Jassin, Boen Sri Oemarjati, J.U. Nasution, M.S. Hutagalung,
dan Umar Junus. Tulisan-tulisan para penulis tersebut pada umum-
nya tersebar di berbagai majalah dan surat kabar, juga pidato di
radio, prasaran diskusi, simposium, dan seminar yang tidak semua-
nya telah dikumpulkan ke dalam bentuk buku (Pradopo, 2002:6).
Beberapa kritikus sastra Indonesia yang hadir lewat media
massa yang terbit di Yogyakarta (Minggu Pagi, Kedaulatan Rakyat,
Masa Kini, Basis, Semangat, Suara Muhammadiyah, dan Pelopor) dalam
kurun waktu 19661980, di antaranya Ajip Rosidi, Dick Hartoko,
A. Teeuw, W.S. Rendra, Bakdi Soemanto, Umar Kayam, Ragil Su-
warna Pragolapati, Taufik Ismail, Harry Avelling, Mayon Sutrisno,
Emha Ainun Najib, Y. Supardjono, Noto Suwarto R.M., B. Rahman-
to, A. Hanafi M.A., Bambang Sadono S.Y, Yunus Syamsu Budie,
Mustofa W. Hasjim, Aryasatyani S.A., Azis, B. Gde Winnjana, Julius
Pour, Mimosa Sekarlati, Umbu Landu Paranggi, H. Dg. Muntu,
Jaroth Ms., Y. Supardjana, Hella Veranza, Th. Koendjono, Ahar,
Marsudi Asti, Noeng Runua M., Em Es, Tan Lelana, dan S.E. Arha-
na. Pemikiran dan kritik mereka, baik yang bersifat mendukung
maupun menyanggah, baik terhadap diri pengarang maupun ter-
hadap karya pengarang yang bersangkutan, menggambarkan kehi-
dupan kritik sastra Indonesia di Yogyakarta pada kurun waktu ter-
sebut.
Berdasarkan data yang ditemukan, kritik yang berorientasi
pada pengarang cenderung mengungkapkan berbagai persoalan,
misalnya tentang peranan pengarang yang dinilai masih kurang
terhadap perkembangan sastra Indonesia. Dalam artikel Ekspansi
Sastra ke Majalah Hiburan (Basis, No. 23, 19731974), misalnya,

53
Pragolapati menyatakan bahwa ketika pengarang (Nasjah Jamin)
menulis teks untuk ceramah tentang penulisan novel, ia tidak
mencantumkan dalam kopi-kopi teks itu kapan dan di mana cera-
mah itu diberikan. Selain itu, Pragolapati sempat juga melontarkan
pertanyaan pahit, yaitu kenapa sastrawan-sastrawan kita banyak
yang seolah-olah kelihatan mandul? Hal itu disebabkan oleh tidak
banyaknya kesempatan yang diberikan untuk melahirkan. Bila
seorang pengarang sudah siap dengan naskahnya, tetapi tidak ada
yang mau menerbitkan naskah itu. Bila memilih-milih tempat un-
tuk diterbitkan, pengarang hanya mau naskahnya diterbitkan oleh
Balai Pustaka atau Gunung Agung yang dianggap sebagai penerbit
yang pantas bagi hasil kesusastraan. Untuk itu, Pragolapati mem-
berikan saran kepada penulis yang tulisannya sering ditolak pener-
bit agar sedikit berendah hati dan rela membiarkan naskah-naskah-
nya lahir di majalah-majalah populer atau dalam bentuk buku saku
dengan cover yang komersial dan serem.
Pendapat tersebut kemudian dipertegas Budiman Hartoyo
dengan memberikan solusi bahwa untuk mengatasi keluhan sastra-
wan dengan naskah bulukannya diharapkan sastrawan mau mem-
banjiri majalah-majalah populer dengan hasil-hasil karyanya, me-
nerbitkan buku sejenis paper back untuk mengatasi banjirnya cerita-
cerita murahan dan buku-buku hiburan, mau mengusahakan pener-
bitan buku saku bulanan, atau setengah bulanan, seperti yang per-
nah dijalankan oleh orang-orang Medan pada tahun tiga puluhan
yang lalu dengan penerbitan Roman Picisan, seperti Lukisan Pu-
jangga, Lukisan Suasana, dan lain-lain. Penerbitan mini berkala jenis
paper back ini dapat pula dijalankan dengan menerima langganan
sebagai tanda terbitnya suatu majalah.
Selanjutnya, Pragolapati menambahkan bahwa sejak tahun
1971 sudah mulai terasa adanya gejala-gejala yang kuat ekspansi
karya sastra ke majalah-majalah hiburan. Beberapa sastrawan mem-
publikasi cerita-cerita yang cukup bermutu lewat media-media
yang berbau populer, seperti karya-karya Arswendo Atmowiloto,
Putu Wijaya, Jasso Winarto, Abdul Madi W.M. sering muncul da-
lam majalah musik pop Aktuil. Karya-karya Trisno Sumarjo, Nyo-
man Rasta Sindhu, Faisal Baraas, Oka Sunandhy, dan Putu Arya

54
Tirthawirya banyak muncul di majalah-majalah hiburan seperti
Violeta, Flamboyan, Varia, atau Fadli Rasyid dan Hajid Hamzah di
majalah Selecta. Namun, ironisnya, jika mencoba mengerling cover
majalah-majalah itu dengan teknik cetak dan warna-warna yang
menyala bertebaran di mana-mana cukup lux dan mahal, tidak
urung seringkali menggigit jari jika melihat format, cover, kertas,
dan teknik cetakan majalah sastra satu-satunya, Horison. Dibanding-
kan dengan majalah anak-anak remaja seperti Semangat dan Aktuil
saja, Horison masih kalah dari segi oplag, harga eceran, dan popu-
laritasnya di kalangan pembaca. Serba minoritas, sempit, terbatas,
payah, dan mengharukan. Para konsumen majalah lebih tertarik
pada cerita-cerita murah bikinan Hino Minggo, Abdullah Harahap,
Maulana Syamsuri, Yati Maryati Wiharja, Mien Yotanya, atau Har-
jana Hp ketimbang cerita-cerita Kuntowijoyo, Putu Wijaya, Arswen-
do, Gerson Poyk, Muhammad Fudoli, Umar Kayam, Darmanto
Yt., dll.
Sementara itu, menyikapi dominasi pengarang-pengarang
picisan dalam majalah-majalah populer dan wabah cerita-cerita
brengsek yang pornografis, sebuah group sastra anak-anak muda
di Yogyakarta yang tergabung dalam Persada (Studi Klub Penyair
dan Sastrawan Muda) suatu kali pernah mendiskusikannya secara
khusus, bertempat di Margoyasan pada tanggal 23 Januari 1972.
Hasil diskusi menyimpulkan bahwa majalah-majalah hiburan harus
dibanjiri cerita-cerita bermutu yang bernilai sastra dan pengarang
tidak perlu merasa malu dan jatuh harga dirinya apabila hasil kar-
yanya dimuat berulangkali di majalah hiburan. Dengan kata lain,
ekspansi sastra ke majalah-majalah populer dan media-media hibur-
an lain terus dilakukan secara intensif dan besar-besaran walaupun
hal itu mengundang pro-kontra di kalangan sastrawan karena kenya-
taan policy majalah-majalah populer tidak gampang diterobos, se-
lera jurnalis-jurnalis yang mengasuh majalah itu masih sulit diubah,
sementara apresiasi sastra pada mereka masih sangat buruk (Basis,
No. 23, 19731974).
Selanjutnya, Ajip Rosidi dalam tulisan Perkembangan Puisi
dan Prosa Dewasa Ini (Suara Muhammadiyah, No. 20, Thn. ke-55,
Oktober II, 1975, hal. 2021) sempat memertanyakan seberapa

55
jauh peranan para penyair dan pengarang muslim dalam perkem-
bangan kesusastraan Indonesia. Walaupun diakuinya banyak pe-
nyair dan pengarang muslim yang menulis dalam bahasa Indone-
sia, tetapi peranan mereka kurang sekali mendapat perhatian dari
para penelaah sastra Indonesia. Tiga orang penyair Islam sebelum
perang yang tidak kurang nilainya dari J.E. Tatengkeng, yaitu Anwar
Rasyid, Rivai Ali, dan Or. Mandank, hampir-hampir tidak pernah
disebut orang. Padahal kumpulan sajak yang pernah mereka umum-
kan, yaitu Senandung Hidup karya Anwar Rasyid (dengan nama
samaran Samadi), Kata Hati karya Rifai Ali, dan Sebabnya Aku
Terdiam oleh Or. Mandank, seharusnya mendapat perhatian yang
lebih wajar dari para penelaah sastra Indonesia. Selain itu, Chairil
Anwar meskipun ia banyak menulis sajak-sajak ketuhanan tetapi
ia lebih dikenal karena proklamasinya Aku ni binatang jalang,
demikian juga Asrul Sani lebih terkenal sebagai humanis daripada
sebagai Muslim melalui sajak-sajaknya. Dalam dunia prosa, H.
Dg. Muntu yang menulis Pembalasan dan Anak Durhaka ham-
pir tidak pernah disebut orang. Padahal sebagai pengarang roman,
ia merupakan salah seorang yang penting pada masa sebelum pe-
rang. Beruntunglah pada masa sekarang (1960-an) ada pengarang
dan penyair muda seperti A.A. Navis, Mohammad Diponegoro,
Taufik Ismail, dan lain-lain yang sadar bahwa ke-Islaman-nya itu
dapat menjadi sumber yang secara positif dapat mendorong dan
menyumbangkan bantuan kepada kesastraan Indonesia.
Berkaitan dengan hal di atas, Pragolapati dalam artikelnya
Kaderisasi Pengarang Kurang (Masa Kini, No. 43, Th XV, 16 Juni
1979) mengemukakan bahwa mulai periode 19641970 rata-rata
pengarang muda di Yogyakarta mengelompok dalam Studiklub
Sastra Kristen, Studigrup Minggu, Sabana, Mantika, Persada, dan
Sanggar Bambu. Ketika itu honorarium karangan belum ada, jika
ada di satu-dua media, besarnya pun tidak seberapa. Mereka (pe-
ngarang) berjejal-jejal di jalur seni sastra: puisi, esai, cerpen, kritik,
novella, dan amat sedikit yang masuk jalur pers-jurnalistik. Pada
tahun 19701979 honorarium karangan sudah lumayan tinggi sehing-
ga para pengarang mulai mendapat angin. Namun, anehnya anak-
anak muda justru berjejal-jejal pada jalur pers-jurnalistik. Tahun

56
19761979 suasana dan iklim di Yogyakarta terasa lain. Kompetisi
atau pertarungan antarpengarang muda mengendor, berkumpul
untuk diskusi dan sarasehan terus berkurang sehingga kontak krea-
si sulit. Mereka (pengarang) hanya memburu uang demi menghidupi
keluarganya sehingga dapat dikatakan tahun 1979 tidak lagi mem-
butuhkan Umbu Landu Parangggi, tidak perlu menghidupkan kem-
bali Studiklub Persada. Kader-kader pengarang hanya membutuh-
kan rangsangan dan iklim suasana. Butuh sistem pembinaan yang
ikhlas, penuh perhatian seksama, sehingga yang terlahir bukan
pengarang-pengarang alumnus Studiklub melainkan pengarang-
pengarang otonom seperti Ircham Machfudz Arry Nugroho, S.B. Tono,
Ani Inggiriani, dan lain-lain. Selanjutnya, pada tahun 1979, kaderisasi
pengarang kelihatan sepi dan lengang, kompetisi berkurang, per-
gaulan pun merenggang, dan pengarang membutuhkan kemandi-
rian serta kreativitas berkarya.
Namun demikian, lebih jauh Pragolapati mengemukakan
bahwa hasil pembibitan pengarang Yogyakarta pada periode
19691971 telah mampu menghasilkan dua kakap, yaitu Emha
Ainun Nadjib dan Linus Suryadi. Pembibitan 19711974 menghasil-
kan dua lumba-lumba, yaitu Yudhistira Ardhi Nugraha dan
Korrie Layun Rampan. Selanjutnya, pada tahun 19741979 jalur
sastra miskin kader-kader yang baik. Memang muncul beberapa
lusin nama tetapi karya-karya mereka sering tidak menarik. Pada
periode ini Yogyakarta memiliki pengarang-pengarang muda usia
25 tahun ke atas dengan karya-karya mogol bercampur gaul dan
bahkan konyol. Akibatnya banyak redaksi mendongkol melihat
ulah tulisan para pengarang puber saat itu. Selanjutnya rubrik remaja
dan sastra-budaya dihapuskan karena krisis naskah dan pengasuh-
nya full-timer jadi wartawan.
Masih berkaitan dengan persoalan di atas, Emha Ainun Nadjib
dalam Hukum Pelunturan bagi Pemasyarakatan Sastra (Basis,
XXXVIII, Th. 1979, hlm. 375) mengemukakan gagasan bahwa se-
orang sastrawan yang berusaha memenuhi selera masyarakat demi
penjualan karyanya, paling sedikit terlibat dalam suatu hukum pe-
lunturan. Bahwa pada saat karya sastra berusaha dimaksudkan
buat khalayak ramai, bahkan pada saat ia disebarkan, ia selalu

57
mengalami penurunan-penurunan kualitas. Yang pertama, pelun-
turan itu terjadi pada karya itu sendiri, dan yang kedua, bisa juga
terjadi pada pencapaian dialog dengan masyarakat luas. Jadi, jelas-
nya karya-karya sastra yang bisa hidup subur dalam masyarakat
umum selalu hanya pada tingkat tertentu atau yang pada kenyata-
annya telah mengalami kompromi atau pelunturan. Berdasarkan
hal ini, pikiran yang mengatakan bahwa karya sastra bisa dibaca
oleh seluruh lapisan masyrakat, harus dipertanyakan kembali. Se-
tidaknya agar para sastrawan tidak memubadzirkan energi buat
suatu mimpi yang seakan menggiurkan. Juga agar sastrawan tidak
merasa nestapa berkepanjangan bahwa sastra terpencil.
Selanjutnya, Noto Suwarto dalam artikel Pengarang Indone-
sia sedang Belajar (Minggu Pagi, No. 14, 6 Juli 1980, Thn. ke-33,
hlm. 3) mengemukakan bahwa pengarang Indonesia banyak
dikecam pengarang asing John Steinbeck, East of Eden, dan Tortilla
Flat sebagai kurang banyak melihat dunia, kurang berani me-
ninggalkan tanah kelahiran, kurang bersinggungan dengan jagad.
Kekurangan seperti itu membuat pengarang seperti katak dalam
terowongan. Kecaman seperti itu pernah juga dilontarkan oleh
Idrus dan H.B. Jassin dalam banyak tulisannya, meski tidak secara
langsung menyebut kekurangan pengarang Indonesia itu. Bahkan
Budi Darma (waktu itu baru saja pulang dari Amerika setelah
menyandang gelar terhormat) dan Putu Wijaya juga mengakui
bahwa pengarang Indonesia sedang belajar menulis atau me-
ngarang. Apa yang menyebabkan hal itu? Faktor ekonomilah yang
menyebabkan para pengarang harus mencari uang secepatnya
untuk bisa survive sehingga mereka kurang memperhatikan kuali-
tas karya. Padahal karya bermutu harus digarap secara serius
dan memakan waktu lama. Itu pun belum tentu diterbitkan atau
menghasilkan uang cukup banyak. Ia pun mengakui bahwa selama
ini belum banyak pengarang Indonesia yang mencurahkan dirinya
secara total kepada profesi kepengarangannya.
Senada dengan hal itu, Mohammad Diponegoro dalam tulisan-
nya Seribu Satu Malam (Suara Muhammadiyah No.13, Thn. ke-
60, Juli 1980) mengemukakan harapannya kepada para pengarang
yang sering mengirim naskah cerpen ke majalah Suara Muhamma-

58
diyah; hendaknya mereka banyak belajar dari cerita-cerita yang
baik, antara lain, cerita Seribu Satu Malam. Sebab, cerita itu mengan-
dung ketegangan dan suspense yang bertubi-tubi sehingga pembaca
selalu tertarik. Kemenarikan sebuah cerita sudah harus terbangun
sejak paragraf pertama, sebab kalau tidak, pembaca akan malas
membacanya.
Sementara itu, Ragil Suwarno Pragolapati dalam tulisan Wa-
bah Sayembara Mengarang (Masa Kini No. 235, Thn. XIII, 12 Fe-
bruari 1979) mengemukakan bahwa pada tahun 1950-1960-an sayem-
bara mengarang sudah menjamur, dengan pelopornya DKJ (BMKN),
tetapi pada 196070-an mengendor. Di satu sisi, sayembara itu
bisa menambah kesejahteraan pengarang karena hadiahnya lebih
besar jika dibanding honor karangan yang dimuat di media. Akan
tetapi, di sisi lain, sayembara juga menimbulkan kebosanan sebab
karya yang dilombakan terkesan dipaksa-paksa, dibuat terburu-
buru sehingga kualitasnya menjadi kurang baik. Yang tidak menang
pun menimbulkan kebosanan. Ternyata, sayembara seperti itu tidak
serta-merta menggairahkan aktivitas dan kreativitas dalam menga-
rang karena mengarang sebenarnya panggilan di samping harus
selalu aktif, kreatif, dan kontinyu berlatih. Di pihak lain, berita
akan dihidupkannya lagi pemberian hadiah sastra bagi para penga-
rang dapat menambah gairah baru untuk menulis karya sastra yang
lebih baik.
Selain itu, Yunus Syamsu Budhie dalam Bu Guru Menyaran-
kan agar Kami Membaca Horison (Masa Kini, No. 234, Thn. XIII,
10 Februari 1979) mengajak kita (pembaca) untuk membaca maja-
lah sastra Horison. Ia mengemukakan kekecewaannya juga karena
majalah itu penerbitannya sangat terbatas sehingga tidak sampai
ke masyarakat. Bagaimana bisa membaca Horison kalau majalah
itu tidak sampai ke tangan? Karena itu, diharapkan para pengarang
Indonesia tidak hanya menulis sastra di Horison, tetapi juga di media
masa yang luas jangkauannya seperti koran, harian, atau minggu-
an.
Selain itu, kritik yang berorientasi pada pengarang yang meng-
ungkapkan persoalan tentang dunia kepengarangan saat itu yang
ditengarai masih meragukan, di antaranya ditulis oleh Bakdi

59
Soemanto dalam Pengarang sebagai Mata Pencaharian, Mung-
kinkah itu di Indonesia? (Semangat, No. 7, Maret 1972, hlm. 8
9). Bakdi dalam artikel itu mengupas secara panjang lebar tentang
kondisi pengarang saat itu yang dianggapnya masih belum men-
janjikan untuk menopang kelangsungan hidup pengarang. Ia meng-
akui bahwa tidak setiap pengarang dapat memperoleh honor yang
besar dan tidak setiap kali orang dapat mengarang karena menga-
rang perlu tenaga lebih dibanding pekerjaan lain. Oleh karena itu,
pernyataan bahwa mengarang sebagai mata pencaharian mung-
kinkah itu di Indonesia? Tidak dapat dengan konkret dijawab ya
dan tidaknya. Namun, ia pun dapat mengemukakan keoptimisan-
nya yang didasari pengalaman-pengalaman sendiri dan diramu
dengan pengalaman-pengalaman orang lain, bahwa di Indonesia
pengarang sudah bisa hidup dari honorarium karangan-karangan-
nya, mengarang sudah bisa dijadikan mata pencaharian, dan profe-
si ini masih terbuka luas buat cari nafkah. Ia mencontohkan penulis
(pengarang) cerita silat S.H. Mintardja Api Di Bukit Menoreh mem-
peroleh gaji seratus ribu setiap minggu dari hasil karyanya. Ajip
Rosidi juga hidup dari buku-bukunya, demikian pula H.B. Jassin
dan Motinggo Busje hidup dari novel-novelnya, sedangkan penyair
dan dramawan terkemuka, W.S. Rendra hidup dari bukunya Empat
Kumpulan Sajak karena buku itu menghasilkan sebuah rumah di
Sawojajar 28, Yogyakarta.
Selanjutnya, B. Gde Winnjana dalam tulisannya Pengarang
dan Penulis Sekarang (Semangat, No. 9, Mei 1972, hlm. 810) mem-
berikan tanggapan atas tulisan Bakdi di atas. Dikatakannya bahwa
kalau pertanyaan itu dikemukakan dua belas atau empat belas
tahun yang lalu (19501960), memang akan ada keraguan dalam
menjawabnya. Tidak ada penulis atau pengarang yang berani meng-
ambil risiko untuk menjadi kere dan kelaparan. Kebanyakan penga-
rang pada waktu itu adalah pegawai, artinya, mereka mempunyai
penghasilan tetap dari jabatannya. Menulis hanya merupakan pe-
kerjaan sambilan, bukan menjadi sumber penghasilan pokok. Namun,
keadaan mulai menunjukkan perubahan ketika pada tahun 1962
banyak pengarang yang berani terjun dalam dunianya, seperti W.S.
Rendra. Ia tidak ingin melamar pekerjaan menjadi pegawai tetapi

60
terus giat menulis puisi dan mementaskan drama. Ia betul-betul
hidup dari kesenimannya, begitu juga Motinggo Boesje, Ajip
Rosidi, Gerson Poyk, dan Kirdjomuljo. Sedangkan pengarang lain,
seperti Sapardi Djoko Damono, Budi Darma, Bambang Soelarto,
Soekarno Hadian, Subagio Sastrowardojo, Taufik Ismail, Idrus
Ismail, walaupun kadang-kadang masih menulis, mereka tetap setia
sebagai white collar. Beberapa di antara mereka benar-benar sudah
punya nama, tetapi rupanya tetap rasional, tidak berani menjadi
kere.
Kondisi seperti di atas oleh Ajip Rosidi dalam artikel Pragola-
pati yang berjudul Ekspansi Sastra ke Majalah Hiburan (Basis,
No. 23, 19731974) dipertegas lagi dengan melontarkan keluhan-
keluhan pahit tentang kondisi kepengarangan saat itu. Ia melihat
dari kalangan yang lebih luas, keadaan umum pengarang Indone-
sia, bahwa para pengarang di Indonesia belum bisa hidup layak
dan baik dari karya-karyanya. Pendapat itu didasari dari hasil peng-
amatan dan pengalamannya selama duduk di kursi pimpinan
penerbit Pustaka Jaya, Jakarta. Hal itu akan berbeda jauh jika diban-
dingkan dengan nasib baik Singgih Hadi Mintarja, yang bisa hidup
kaya dan hidup mewah karena cerita-cerita Silat Jawa-nya dimuat
bersambung di beberapa koran setiap bulan dengan jilid-jilid yang
panjang dan beberapa di antaranya telah difilmkan, dan Yohny
Hidayat Ar. yang berpenghasilan bersih Rp50.000,00 sebulan dari
(hanya sekadar) gambar-gambar kartunnya.
Selain itu, kritik terhadap pengarang juga mempersoalkan
perkembangan sejarah kesusastraan Indonesia yang muncul pada
kurun waktu tersebut (terutama perkembangan seni drama), di
antaranya tulisan Rendra yang berjudul Menyadari Kedudukan
Drama Modern di Indonesia (Basis, Thn. ke-17, 19671968). Dalam
esai itu W.S. Rendra secara panjang lebar mengemukakan kondisi
perkembangan seni drama saat itu yang dinilai masih goyah. Di-
katakannya bahwa seorang dramawan di Indonesia selalu meng-
alami kesulitan dalam mengembangkan sebuah rombongan sandi-
wara yang kompak dan stabil karena anggota-anggota rombongan-
nya yang amatir itu tidak bisa memberi dedikasi seorang profesio-
nal. Demikian pula dalam pemilihan pemain ia selalu mengadakan

61
kompromi dengan kenyataan bahwa ia hanya bisa memilih di
antara para amatir karena pemain profesional yang sesungguhnya
belum ada. Selain itu rombongan sandiwara modern yang profesio-
nal pun belum ada. Semuanya itu menggiring kepada nasib buruk
keadaan drama modern saat itu. Lebih dari itu, ada satu kenyataan
pahit lagi bahwa para dramawan yang bersungguh-sungguh itu
sendiri kurang pengalamannya. Maklumlah, sebab lapangannya
itu memang baru adanya. Drama yang dialognya ditulis dengan
naskah itu tidak asli muncul dari kebudayaan Indonesia. Ia muncul
sebagai pengaruh kebudayaan Barat dan tumbuh sebagai tradisi
baru yang masih belum teguh akarnya dalam kebudayaan Indo-
nesia.
Ditegaskan lagi oleh Rendra bahwa keadaan seni drama modern
di Indonesia saat itu melempem. Rata-rata dramawan-damawan
Indonesia masih kurang berpengalaman dengan bentuk dan ide
drama modern. Walau semangat mereka bergelora dan hati mereka
mantap untuk mengabdi pada seni drama modern, tetapi hasil pe-
kerjaan mereka kurang, kesegaran ilham kurang, mutunya setengah-
setengah. Jadi, pertama-tama yang harus disadari ialah bahwa kedu-
dukan drama modern di Indonesia saat itu masih goyah. Ia adalah
hasil pengaruh kebudayaan asing, bukan kesenian rakyat. Rakyat
tidak mengerti makna yang sesungguhnya dari seni drama modern
dalam hidupnya. Rakyat menganggap seni drama modern sebagai
sebuah kesenian yang asing. Sebagian besar rakyat Indonesia hidup
dalam kebudyaaan lisan. Maka, dalam kebudayaan ini, bentuk
seni drama yang hidup subur ialah seni drama yang dialognya di-
improvisasikan. Dialog yang terlalu dalam tidak diperlukan, apalagi
yang bersifat diskusi. Dialog hanya dijadikan sampiran untuk cerita.
Selain itu, harus bersifat ringan atau menghibur.
Di samping itu, Bakdi Soemanto dalam artikel Hamlet dalam
rubrik Varia Budaya (Basis, Thn. ke-17, 1967-1968, hlm. 187
188) memberikan kritikan kepada sutradara Jasso Winarto atas pemen-
tasan drama tragedi lima babak Hamlet karya William Shakes-
peare terjemahan Trisno Soemardjo yang dilakukan oleh Studi Arena
Katolik (Straka) bersama dengan Persatuan Karyawan Pengarang
Indonesia. Pementasan itu dinilai belum banyak membawa ke-

62
majuan dan tidak mengungkapkan misteri dari problem-problem
hidup seperti yang tersirat dalam naskah itu. Bermain di atas
pentas bukanlah sekedar berakting melulu. Artinya, bukan hanya
menciptakan gerak-gerak yang indikatif semata, gerak-gerak yang
prosais, naratif, dan diskriptif saja, tetapi harus disertai pengalam-
an rohani si pencipta, yaitu penghayatan kepada situasi sehingga
melahirkan gerakan yang ekspresif, orisinal, puitis, dan penuh. Sebab,
mau tidak mau, seni pentas, seperti halnya kesenian lainnya, selalu
menuntut berkomunikasi secara rohani. Komunikasi rohani itu
tidak mungkin dicapai kalau pencipta tidak mengerahkan totalitas
dirinya dengan penuh untuk berdialog melalui media masing-masing.
Jelasnya, sebagai sutradara Jasso belum berhasil. Kekuatan Jasso
untuk menggiring seluruh pemain kepada interpretasinya tidak
tampak sehingga pengertian drama menjadi kabur sama sekali
dan pemain seakan bermain sendiri-sendiri.
Mendukung pernyataan di atas, Emha Ainun Nadjib dalam
artikelnya Perlawanan Teater Jogja terhadap Tantangannya
(Masa Kini, No. 282, 9 April 1979) juga memberikan kritikan terha-
dap para pengarang atau pekerja teater Jogja. Menurutnya, para
pekerja teater Jogja masih kurang kreatif. Mereka masih berpikir
amatir, masih selalu meniru (tidak berusaha mencari atau menulis
karya sendiri), masih kurang adanya metode pendidikan yang baik
dalam latihan-latihan, lebih-lebih kreativitas sutradara sering ter-
kalahkan oleh pemain. Jika ingin menjadi baik, tuntutlah pada diri
(individu) sendiri, dalam arti mereka (kita) harus berkaca pada diri
sendiri untuk mau melihat kekurangan dan berusaha memper-
baikinya.
Data lain menunjukkan bahwa kritik terhadap pengarang
juga mempersoalkan masalah moral di tengah-tengah kehidupan
para seniman. Hal itu tampak dalam tulisan Emha Ainun Nadjib
yang berjudul Proporsi Moral dalam Dunia Seni dan Seniman
(Basis, XXVII-6, Maret 1978, hlm. 185). Dalam esainya itu Emha
mengemukakan pendapatnya bahwa tidak sedikit seniman muda
kita yang menerjemahkan hak-hak demokrasi atau iklim kebebasan
sebagai hak untuk merdeka tanpa batas. Di dalam hidup bermasya-
rakat atau disiplin bernegara mungkin hal ini tidak menonjol.

63
Namun, kalangan seniman yang merasa memiliki kebebasan lebih
dari warga masyarakat lainnya secara kodrati, secara sadar atau
tak sadar, menginterpretasikan paham itu menjadi keyakinan bahwa
dunia kesenian adalah satu otonomi wujud yang mutlak. Setidak-
tidaknya ada pandangan bahwa kesenian tidak boleh disentuh-
sentuhkan dengan disiplin lain yang seolah-olah tidak ada relevan-
sinya. Jelasnya, kesenian adalah sebuah dunia angker yang seolah-
olah tidak ada relevansinya dengan dimensi-dimensi lain, misalnya
dimensi moralitas. Emha tidak yakin dengan keadaan yang menye-
dihkan di tengah-tengah para seniman kita karena banyak cerpen,
novel, dan puisi yang mengandung pesan-pesan moral. Selain itu,
kehidupan sehari-hari para seniman umumnya masih tetap bermoral.
Namun, tandasnya, paling tidak ada gejala eksklusivisme kesenian yang
membuat ia seolah-olah asing sama sekali dari dimensi moralitas.
Emha menduga bahwa adanya sinisme dan sikap a-priori ba-
nyak seniman terhadap moralitas itu disebabkan oleh beberapa
hal. Pertama, fanatisme terhadap satu dimensi (saja) dari kehidup-
an. Kedua, moralitas diindikasikan dengan agama dan pola tradisio-
nalisme, sedang kedua unsur itu paling mengandung disiplin dan
keharusan untuk patuh. Otomatis ini ditolak oleh setiap oknum
pseudo-modern, secara implisit maupun eksplisit. Apalagi yang
merasa paling harus bebas, seperti seniman. Kemudian ada sebab
yang lebih mendasar, yakni ketiga, bahwa acap kali identitas kese-
nimanan secara tidak sadar diletakkan di atas identitas sebagai ma-
nusia. Kesenimanan muncul sebagai satu prioritas di tengah ma-
nusia-manusia biasa. Akbatnya, apabila kesenian baru mampu
mencapai nilai-nilai yang sifatnya eksklusif atau paling tidak jika
ada nilai-nilai eksklusif tertentu yang dikandung oleh kesenian,
boleh jadi ia diletakkan di atas nilai-nilai kompleks dari manusia,
mungkin secara tidak sadar. Umpamanya kalau kesenian tidak
boleh dibenturkan dengan kriteria-kriteria moral, senimannya pun
seolah-olah memiliki hak yang sama. Lebih jauh Emha mengemu-
kakan bahwa banyak seniman yang menunjukkan gejala kurang
adanya kesadaran yang aktif terhadap dimensi moralitas sebagai
manifestasi dari kesadaran, kebutuhan, dan integritasnya terhadap
semua dimensi hidup. Apalagi jika berbicara tetang tema bahwa

64
kesenian notabene sangat dibutuhkan sebagai tawaran alternatif
dan sekaligus motor dari proses pembudayaan suatu masyarakat, maka
dimensi baik-buruk yang merupakan esensi moralitas seyogianya
terkandung dan terpercik secara positif oleh hasil-hasil kesenian.
Selain mempersoalkan masalah moral di tengah-tengah kehi-
dupan para seniman, kritik terhadap kepengarangan juga memper-
soalkan masalah peta wilayah pengarang. Mochtar Lubis dalam
esainya yang berjudul Pengarang dan Wilayahnya (Basis, XXX-6,
Maret 1980, hlm. 183189) mengemukakan bahwa profesi penga-
rang tidak terbatas pada satu atau dua bidang saja dari suatu bidang
kehidupan. Sebab, katanya, seluruh kehidupan adalah wilayah pe-
ngarang, apakah dia pengarang puisi ataupun prosa. Wilayah pe-
ngarang seakan-akan tidak ada batasnya. Ia luas seluas jagat dan
mencakup dunia nyata, ruang dalam, dan ruang luar manusia. Alang-
kah luas wilayah yang terhampar untuk dijelajahi oleh pengarang.
Semuanya terbuka bagi pengarang. Tidak ada sesuatu pun yang
menghalangi pengarang untuk berkelana di berbagai wilayah atau
melompat dari sebuah ruang waktu ke ruang waktu yang lain. Akan
tetapi, wilayah luas yang amat menarik ini penuh pula dengan
ranjau-ranjau yang perlu diperhatikan oleh pengarang dengan
cermat. Untuk dapat berkelana di dalamnya dan kemudian keluar
kembali lalu menghasilkan sebuah ciptaan kreatif yang mengan-
dung makna tentang kehadiran manusia dalam kehidupan ini, pe-
ngarang harus mempelajari, mengenal, dan pandai membaca serta
mempergunakan peta wilayah dan ruang waktu yang hendak di-
jelajahinya. Pada akhirnya, pengalaman hidup dan naluri yang
dikembangkannya akan menentukan sehingga ke mana pun dia
sebagai seorang pengarang kreatif akan berhasil menampilkan
hasil jelajahannya sehingga ia dapat memberi arti bagi manusia
lain yang membacanya.
Selanjutnya, Mochtar Lubis mengemukakan gagasannya
bahwa ada lima hal yang seharusnya dimiliki oleh seorang penga-
rang yang benar-benar kreatif. Pertama, pengarang harus dapat
mencari makna dan perspektif dalam semua hal sehingga dengan
keyakinannya yang besar dapat menyambut tantangan-tantangan
masa depan dengan kesadaran bahwa ia akan dapat mengem-

65
bangkan kekuatan, keberanian, dan kesanggupan untuk merebut
hari depan yang lebih baik bagi masyarakat. Kedua, pengarang
dalam menjelajah warisan kebudayaan bangsanya, dalam usaha-
nya mencari makna bagi hidup manusia dan bangsanya untuk
hari ini dan untuk masa depan, harus tercerminkan dalam tulisan-
tulisannya bukan saja sejarah bangsanya tetapi juga kehidupan
jasmaniah dan batin manusia-manusia anggota masyarakatnya,
sehingga hasil karya kreatifnya itu menjadi warisan kebudayaan
bangsa untuk generasi-generasi mendatang. Ketiga, pengarang
harus ikut berperan dan bertanggung jawab dalam perjuangan
manusia membina kehidupan yang lebih manusiawi. Ia juga harus
ikut bertanggung jawab dalam memberikan wajah manusiawi
pada kekuasaan, teknologi, hubungan antara berbagai masyarakat,
dan hubungan antara manusiaantara manusia dengan masya-
rakat dan antara manusia dengan Negara. Keempat, pengarang harus
ikut membawa pesan harapan dan bukan keputusasaan. Jangan
sampai dalam proses perubahan yang terjadi di dunia, pengarang
tidak ikut mengubahnya, baik sebagai bangsa maupun sebagai anak
manusia perorangan. Pengarang memikul tanggung jawab yang
besar agar dalam proses perubahan demikian manusia Indonesia
ikut berperan, memberi sumbangan pikiran, pengertian, serta
kesadaran arah gerak perubahan itu pada masyarakatnya. Kelima,
karya kreatif yang berhasil, pada akhirnya, seperti semua karya
seni yang berhasil di berbagai bidang seni yang lain (seni lukis,
musik, tari, teater, film, dan sebagainya), merupakan landasan ingat-
an satu bangsa dari zaman ke zaman, yang merupakan kesinam-
bungan nilai dan identitas serta pengalaman dan kehidupan satu
bangsa. Tanpa ini, satu bangsa akan kehilangan akarnya, kebuda-
yaannya akan goyah, akan kehilangan karyanya ke dalam sejarah
dan masa lampaunya sendiri, dan sumber-sumber inspirasi dan
inspirasinya sendiri. Karenanya, pengarang sangat perlu senantiasa
mempertajam kepekaan pada nasib anak manusia terutama mere-
ka yang terinjak dan diperkosa, mereka yang mengerang di bawah
telapak kaki kezaliman, dan mereka yang kesepian dalam kegelap-
an serta keterbelakangan.
Kritik terhadap pengarang ternyata ada yang berjenis kritik
informatif tentang pengarang, yaitu yang cenderung menggarap

66
pengarang secara individual. Kritik jenis ini dikemukakan oleh
Bakdi Soemanto dalam artikelnya yang berjudul Mira Sato dan
Rahasia-Rahasia Hidupnya (Semangat, No. 8, April 1976). Dalam
artikel ini Bakdi mengemukakan secara panjang lebar tentang riwa-
yat hidupnya, kelahirannya, dan profesi kepengarangannya. Dikata-
kannya bahwa kumpulan sajaknya yang berjudul Mati Mati Mati
berisi sembilan belas sajak, enam di antaranya berhasil mengung-
kap pertemuan-pertemuan Mira dengan rahasia hidupnya. Mira
mengungkapkannya dengan sangat rendah hati dan tidak dibuat-
buat seperti yang terdapat dalam sajak Pagi Itu. Secara umum,
sajak Mira memberikan kesan tepa, yaitu bertoleransi dengan se-
sama dan keadaan yang ada di sekitar kita. Sajak-sajak Mira sama
dengan sajak Tagore yang selalu membuat kita berpikir tentang
kebijaksanaan.
Demikianlah, antara lain, gambaran ringkas mengenai kritik
terhadap pengarang yang muncul dalam khazanah kritik sastra
Indonesia di Yogyakarta pada kurun waktu 19661980. Sebenar-
nya karya-karya kritik terhadap pengarang masih cukup banyak,
tetapi jika dipaparkan orientasi kritiknya tidak jauh berbeda de-
ngan yang dipaparkan di atas.

3.2.2 Kritik Terhadap Karya Sastra


Hasil pengamatan menunjukkan bahwa karya-karya kritik
sastra Indonesia yang dimuat di berbagai media massa cetak di Yog-
yakarta (Minggu Pagi, Kedaulatan Rakyat, Masa Kini, Basis, Semangat,
Suara Muhammadiyah, dan Pelopor) pada kurun waktu 1966 hingga
1980 yang menyoroti karya sastra cukup variatif; dalam arti objek
sorotannya mencakupi berbagai jenis (genre) seperti puisi, cerpen,
novel, dan teater atau drama. Kritik yang mempersoalkan karya
sastra tersebut juga tidak hanya memfokuskan pembacaraannya
khusus pada karya sastra, tetapi juga menyinggung masalah-masa-
lah yang melingkunginya (pengarang, penerbit, pembaca, dan ma-
syarakat).
Kritik terhadap puisi, misalnya, terlihat pada artikel Vitalitas
Puisi dan Suasana Religius karangan Abdul Hadi W.M. (Suara
Muhammadiyah, No. 9, Thn. 47, Mei I, 1967). Dalam artikel ini Abdul

67
Hadi melontarkan keluhan adanya kritik yang ditujukan kepada
para penyair tentang persoalan perbedaan puisi-puisi autentik dan
non-authentik. Bahkan kritik yang sifatnya dekaden telah dilancar-
kan justru oleh kalangan yang tidak banyak dedikasinya kepada
puisi atau katakanlah tidak ada minat sama sekali kepada puisi
dan bahkan akan mengisolasi para penyair kita pada sudutnya
yang paling terpencil. Sasaran utamanya adalah kalimat-kalimat
dalam puisi religius yang dianggapnya aneh sehingga timbul pra-
sangka yang kadang-kadang mendahului logika penilaian terha-
dap puisi yang sebenarnya memiliki vitalitas dan intensitas, seperti
puisi Chairil Anwar yang mengemukakan masalah Sorga dan
puisi Subagio Sastrowardojo yang berbunyi Tuhan adalah warga-
negara yang paling modern. Selain menyampaikan kritik, Abdul
Hadi menyampaikan harapan kepada pembaca (kritikus) agar
mengadakan interpretasi terhadap ungkapan-ungkapan puisi yang
bersifat konotatif (banyak tafsiran) dengan logika rasional atau
menurut istilah Taufik Ismail, jaja praktikum (pandanglah puisi
sebagai suatu kesatuan yang utuh).
Selanjutnya, Budi Darma dalam esainya yang berjudul Sajak
(Basis, No. 18, 19681969, hlm. 213220) mencoba mempertanya-
kan tentang membanjirnya sajak-sajak yang masuk memenuhi
setiap penerbitan budaya umumnya atau sastra khususnya. Se-
dangkan cerpen dan drama kering, apalagi esai, artikel, atau anali-
sis kebudayaan. Menurut pendapat beberapa penyair asing (Dryden,
Alexander Pope, John Milton, T.S. Eliot) setiap orang pada pokok-
nya dapat membuat syair atau bersanjak. Namun, tidak semua
orang bisa menjadi penyair yang baik. Hal itu terletak pada bakat
orang itu sendiri. Mengapa setiap orang bisa bersanjak? Mengapa
tidak setiap orang bisa menciptakan yang lainnya (cerpen, novel,
drama, dan esai)? Budi mengemukakannya bahwa dasar dari per-
bedaan itu terletak pada perbedaan pokok antara sajak dengan
yang lainnya. Apalagi sekarang, orang sudah bebas dari segi ikatan
bentuk, tidak lagi ambil pusing terhadap apa pun juga, pokoknya
yang ada padanya dicurahkan sebebas-bebasnya. Bukan kebebasan
bentuk saja yang diperoleh manusia zaman sekarang, melainkan
kebebasan segalanya. Banyak aliran yang memberi kebebasan-

68
kebebasan lainnya ini. Di samping itu, ukuran sajak relatif lebih
pendek. Karya lain tidak mungkin hanya mengambil tempat bebe-
rapa baris saja sehingga masuk akal jika masa penciptaan sajak,
masa menulis sajak, lebih pendek daripada waktu yang diperguna-
kan untuk menulis karya lainnya.
Dalam kaitannya dengan sajak tersebut, Bakdi Sumanto da-
lam rubrik Bersemi Puisi Bersemi mengulas secara panjang lebar
tentang Bagaimana Berdeklamasi Itu? (Semangat, No. 1, Sep-
tember 1971, hlm. 1719). Dikatakannya bahwa membaca puisi
berbeda dengan membaca prosa atau cerita yang panjang. Pema-
haman dalam membaca puisi perlu diperhatikan untuk dapat meng-
ungkapkan pesan penyair. Hal yang perlu dilakukan pertama-tama
adalah membaca, memahami kata-kata yang ada, merenungkan
dan membayangkan suasana yang diwakili oleh kata-kata tersebut,
dan yang terakhir adalah mengucapkannya. Dalam pengucapan-
nya harus memperhatikan teknik phrasing, yaitu memotong-mo-
tong kalimat sesuai dengan makna yang dikandungnya dengan
diikuti intonasi yang sesuai. Ibaratnya sebuah lukisan yang mem-
punyai logika, mempunyai jalan pikiran sendiri. Inilah yang harus
dijembatani antara kita (pembaca) dan sajak tersebut sehingga
terjadi pertemuan dua hati.
Sementara itu, Taufik Ismail dalam artikel Sajak Seenaknya
Karya Taufik Ismail (Suara Muhammadiyah, No. 24, Thn. ke-52,
Desember II, 1972) mengemukakan gagasannya (setelah mencoba
menulis sajak-sajak humor atau sajak-sajak seenaknya yang diberi
nama Pepatah-Petitih) bahwa menulis sajak-sajak humor tentu-
nya tidak segampang orang berseloroh sebab untuk bisa menulis
sajak-sajak humor diperlukan ketajaman berpikir dan kejauhan
memandang. Selain itu, menurutnya, penulis sajak humor haruslah
terlebih dahulu menjadi penyair, baru kemudian membadut,
bukan sebaliknya.
Empat buah artikel karya Linus Suryadi A.G. berjudul (1)
Chairil Anwar: Pengembara Monumental (Kedaulatan Rakyat, 16
Mei 1978), (2) Interlude Goenawan Mohamad: Gejala Puisi Indo-
nesia Modern? (Kedaulatan Rakyat, April 1976), (3) Suluk Awang-
Uwung Kuntowijoyo: Pitutur Ala Puisi Jawa (Kedaulatan Rakyat,

69
19 Februari 1976), dan (4) Perumahan Wing Kardjo: Puisi Napas
Pendek (Kedaulatan Rakyat, 1979), semuanya mengupas puisi secara
objektif. Dalam artikel (1), setelah mengupas sajak-sajak Chairil
secara sosiologis, Linus menyimpulkan bahwa Chairil adalah potret
dari banyak manusia Indonesia, manusia wanderer yang tak kerasan
berumah tinggal di bumi kelahirannya; Chairil adalah si pengem-
bara monumental.
Sementara itu, dalam artikel (2), setelah mengupas kumpulan
sajak Goenawan Interlude, Linus memberikan semacam penegasan
bahwa Goenawan adalah tipe penyair yang berpendirian kuat
dalam menegakkan ide keseniannya. Sedangkan dalam artikel (3),
setelah membicarakan gaya puisi Kuntowijoyo dalam buku Suluk
Awang-Uwung, Linus menyimpulkan bahwa Kuntowijoyo bersikap
sangat lugu dalam memandang hidup dan dunianya. Keluguan
itu tampak pada tatacara dia berekspresi, pada gaya berpuisinya,
sehingga menimbulkan kesan dia mengutamakan apa yang hen-
dak disampaikan dan bukan bagaimana menyampaikannya seperti
hal tipikal puisi tradisional Jawa: suluk, kidung, macapat, tembang.
Jadi, menurut Linus, Kuntowijoyo menyumbangkan pandangan
suluk ke dalam dunia puisi Indonesia. Terakhir, dalam artikel (4),
setelah mengupas puisi dalam Perumahan dan membandingkannya
dengan puisi dalam Selembar Daun karya Wing Kardjo, Linus me-
nyatakan bahwa puisi-puisi dalam antologi Perumahan tidak inten-
sif dan otentik, tetapi terjerumus ke dalam suatu stamina yang justru
merenggut konsentrasi penciptaan.
Kritik terhadap puisi juga tampak di dalam Rubrik Pertim-
bangan Buku. Slamet Soewandi mencoba menyorot buku karang-
an Anton Y. Lake berjudul W.S. Rendra Penyair dan Imajinasinya
(Basis, No. 22, Thn.19721973). Di dalam tulisan itu Slamet Soe-
wandi menyampaikan kritiknya bahwa buku WS Rendra Penyair
dan Imajinasinya kurang berbicara (secara ilmiah; nenurut kete-
rangan penulis sendiri sebagai karangan tesis), bukti-bukti argu-
mentatif-diskursif sangat tidak menjelaskan; begitu pula seluk-
beluk imaji dan imajinasi yang banyak disinggung di dalamnya
masih harus banyak diolah, diperas sampai seringkas mungkin
sehingga pati-sarinya saja yang harus dikatakan. Pati-sarinya itu

70
tidak lebih dari pengertian-pengertian ini: manusia sebagai totalitas
(juga Rendra sebagai manusia yang total), keutuhan Rendra di
dalam bersajak, kecakapannya bersajak, bekal imaji dan efek
imajinasi Rendra lewat sajak-sajaknya kemudian ditutup (secara
totalitas/Ganzheit, struktural?) Penilaian sajak-sajak Rendra tanpa
memilih beberapa sajaknya saja. Selain itu, Slamet mengemukakan
pula perlu adanya kontrol sistematisasi secara proporsional. Jangan
sampai yang tidak perlu disinggung pada suatu bab dibicarakan
pada bab tersebut.
Di samping itu, Harry Avelling dalam esainya Beberapa
Anggapan dalam Puisi Romantik Indonesia (Basis, No. 22, Thn.
19721973) yang semula merupakan bahan ceramah di Center for
General and Comparatif Literature di Monash University dan kemu-
dian diterjemahkan oleh A. Widyamartaya ini mengemukakan
gagasannya bahwa puisi pada tahun 19201945 kuat dalam kecair-
an, campur baur, pengalaman-pengalaman permulaan yang halus
dan mengangkat dunia lain. Selain itu, juga cenderung indivi-
dualis, idealisme, penglihatan alam yang subjektif dan pentingnya
rasa atau gambaran simbolis. Oleh karena itu, karya-karya ini tidak
sesuai dengan norma-norma seperti yang diajukan Wellek.
Sedangkan dalam rubrik Bersemi Puisi Bersemi dengan
judul artikel Sajak-sajak Remaja yang Matang (Semangat, No.14,
Juni 1974, hlm. 1215) Bakdi Soemanto sebagai pengasuh rubrik
tersebut mencoba mengulas dengan memberikan contoh puisi
Rendra berjudul Surat Cinta. Isi puisi itu adalah ungkapan hati
penyair yang jatuh cinta kepada kekasihnya Sunarti Suwandi.
Baris-baris puisi tersebut menunjukkan sikap kedewasaan penyair
terhadap masalah cinta secara lugu dan sederhana. Ditambah lagi
ada hubungan asosiatif antara peristiwa alam dan peristiwa batin
penyair. Jiwa kata-kata yang diungkapkan Rendra menunjukkan
pengalaman batinnya dan dapat menyentuh batin pembacanya.
Kesungguhan dalam puisi tersebut akhirnya mengungkapkan
kedewasaan. Ditambahkan pula oleh Bakdi dalam artikel berjudul
Perlambang yang Tampak dan Terdengar dalam Sajak-sajak
(Semangat, No. 9, Mei 1975), hlm. 1821) bahwa sajak Rendra
berjudul Surat Cinta itu memberikan sebuah pemaparan visual

71
mengenai perasaan hati yang dialaminya, seperti kata gerimis, angin,
dan dua ekor belibis memberikan lambang yang dapat ditangkap
panca indera kita. Kata gerimis, lambang tersebut terlihat sekaligus
terdengar. Lambang-lambang yang auditif dan visual tersebut
menimbulkan kesan sederhana, indah sekaligus kena, bahkan me-
yakinkan. Puisi yang menggunakan perlambang visual lainnya
adalah Rel karya B. Krhriskanta, Ruang Tunggu R.S. Bethesda
karya Panji Patah. Ketika puisi mampu terdengar dan terlihat,
pembaca akan diajak melihat dan mendengar sesuatu yang lebih
dalam seperti yang tercermin dalam puisi karya Haryanto Berdua
di Sana dan Frans Loontjes. Lebih jauh ia menyayangkan para
penyair muda yang jarang menggunakan perlambang visual se-
perti ini karena takut dituduh menjiplak.
Menghadapi membanjirnya sajak-sajak yang masuk meme-
nuhi setiap penerbitan budaya umumnya atau sastra khususnya,
S.E. Ardhana dalam artikel Mengapa Kita Menulis Puisi (Masa
Kini, No. 75, 10 Juli 1974, hlm. 3) mencoba memberikan alasan
sebagai jawaban atas pertanyaan kenapa kita menulis puisi? Ada
empat alasan seorang (penyair) ingin menulis puisi. Pertama, puisi
dapat dipakai untuk menyampaikan pikiran, hal-hal tentang kebe-
naran, masalah-masalah yang perlu disampaikan pada orang lain,
dan mengajak orang lain untuk turut memikirkan atau memecah-
kan suatu persoalan. Kedua, puisi sebagai suatu media pertang-
gungjawaban kepada rasa kemanusiaan dan hidup sesama manu-
sia karena setiap manusia hidup mempunyai suatu kewajiban tang-
gung jawab untuk bermanusia sebagai mana baiknya. Sebagai ma-
nusia kita tidak terlepas dari kebutuhan jasmani dan rohani.
Dengan menulis puisi kita dapat honor sehinggawalau hasilnya
tidak seberapakita dapat mencukupi semua kebutuhan itu. Ketiga,
puisi sebagai pelepasan rasa tertentu yang diderita seseorang secara
bebas, artinya bebas dalam mengambil objek apa saja, tentang
rindu, maut, Tuhan, cinta, dan lain sebagainya. Keempat, puisi bisa
memperlancar masalah gaya-gaya dari bahasa, bisa menjadi sarana
belajar bagaimana cara menghayati kehidupan ini dengan baik.
Dengan kata lain, puisi adalah potret diri si penulis. Orang lain bisa
mengetahui bagaimana diri pribadi kita lewat puisi yang kita cipta.

72
Jaroth Ms. dalam artikelnya Sorotan Kumpulan Laut Belum
Pasang (Masa Kini, No.121, 4 September 1974, hlm. 3) menyam-
paikan kritiknya terhadap sajak Abdul Hadi yang berjudul Laut
Belum Pasang. Dikatakannya bahwa (1) pemahaman tentang isi
dan irama sajak tersebut terasa enak dan manis sehingga dapat
dimasukkan dalam ruang puisi naturalis yang benar-benar manis,
dan (2) Abdul Hadi menulis puisi naturalis dengan dipengaruhi
oleh lingkungannya. Hal ini seharusnya sedikit dikurangi untuk
menghindari lahirnya puisi natural centris yang mencerminkan
ketidakmampuan seorang penyair mengendalikan objek. Di sam-
ping itu, ada pemaksaan terkecil dalam penuangan materi untuk
mendapatkan apa yang sering disebut eksperimen seni sastra.
Sebenarnya, hal-hal semacam inilah yang menjadi lubang sendiri.
Kritik yang sama ditulis oleh Slamet Riyadi dalam artikelnya
Pengadilan Puisi: Ckk! Ckk! Ckk! (Masa Kini, No.131, 18 Septem-
ber 1974). Slamet mencoba memyampaikan kritikan terhadap
karya-karya puisi Sutardji Calzoum Bachri yang dinilainya sebagai
puisi kontemporer karena dari sisi bentuk aneh sehingga kemudian
banyak dipertanyakan orang. Slamet Riyadi mempertanyakan mana
yang kontemporer, bentuk atau isi? Kalau hanya bentuk, berarti
kosonglah isinya. Gaya penulisan Sutardji memang aneh, menarik,
tetapi kalau tidak bisa dipahami pembaca, apa artinya? Untuk itu,
janganlah kita (pembaca) langsung mengagumi dan setuju dengan
model-model seperti itu.
Demikian juga, dalam rubrik Bersemi Puisi Bersemi berikut-
nya dengan judul artikel Ada yang Menyendat Ada yang Lancar
(Semangat, No. 2, Oktober 1974, hlm. 2627) Bakdi Soemanto
mengulas pendapat R.H. Tawney dalam bukunya Write Poetry from
Within. Dikatakan bahwa ada tiga kemungkinan hambatan dalam
menulis puisi, pertama, dihantui oleh rasa malu, takut, was-was kalau
diejek, diketahui rasa hatinya, takut dinilai; kedua, penulis tidak tahu
persis apa yang akan dikemukakanya; ketiga, belum menguasai me-
dia masa, kurang kata-kata atau bahasa yang digunakan. Contoh-
nya, dalam Malam Pengantin, Laddy Tadjudin mengungkapkan
pengalaman batinnya, tetapi agak tersendat dalam pencernaan
pengalaman batin ke dalam ungkapannya sehingga menimbulkan

73
kericuhan kejernihan apa yang sebenarnya tengah dialaminya. Dia
tidak mengungkapkan apa yang dialaminya tetapi digabungkan
dengan imajinasinya sehingga tidak utuh. Sedangkan puisi Men-
jelang Akhir Hidupku karya Sinta Kuncoro berisi ratapan penyair
yang dengan keluguannya memaparkan isi hati dengan kalimat-
kalimat yang panjang diselingi usaha-usaha mempersamakan bunyi
(rhyme). Dapat dikatakan bahwa puisi Sinta itu merupakan bangun-
an yang utuh dan mempunyai tenaga yang mengalun dan menya-
yat, berbeda dengan karya Tadjudin.
Dalam rubrik yang sama, dengan judul artikel Dari Dalam
Batin Wanita Remaja (Semangat, No. 8, April 1975, hlm. 810)
Bakdi Soemanto memberikan penjelasan mengenai sifat-sifat yang
biasa dijumpai dalam beberapa karya puisi para penyair wanita,
di antaranya ialah bahwa kesederhanaan itu merupakan kekuatan.
Kelembutan itu tenaga goncang yang mentakjubkan. Keibuan itu
keberanian. Kesediaan menerima itu adalah kemampuan tak ber-
tara. Itu semua dimiliki wanita dalam nalurinya. Puisi-puisi tersebut
adalah Pena dan Kertas karya Veronica Ulle Bhoga (Santa Ursula
Ende Flores); Harapan karya Marcelina Johanis (Ujung Pandang);
Pantai Selatan karya Narti Atmosuroyo (Yogyakarta); Pahlawan-
ku karya Retno Dwi (Surabaya); Panggillah Aku Sahabat karya
Daniella (Yogyakarta); dan Waktu Itu karya Rini (Sala). Ia memberi-
kan kritikan bahwa secara umum puisi-puisi tersebut tidak lepas
dari masalah percintaan, jarang yang memaparkan masalah di luar
percintaan.
Selanjutnya, dalam artikel Setahun Pertemuan Antara Pikir
dan Rasa (Semangat, No. 10, Juni 1975, hlm. 1417) Bakdi yang
bertindak selaku pengasuh rubrik Bersemi Puisi Bersemi mem-
berikan penjelasan bahwa naskah yang masuk ke meja redaksi se-
lama ini beragam tema, sebagian besar penulisnya (penyair wanita
tercatat 12 orang dengan 38 karya) adalah pelajar dan sajaknya
bertemakan percintaan. Ada juga sajak eksperimental tetapi sulit
untuk dipublikasikan karena teknik penulisannya terlalu tipografis
sehingga sajak itu hanya mungkin dimuat dengan cara langsung
memotret tanpa terlebih dahulu diketik. Di samping itu, rubrik
yang terbatas sehingga hanya mampu menampilkan sajak-sajak

74
pilihan pengasuh. Ia memberikan kritikan kepada para penyair re-
maja yang kurang banyak membaca sehingga puisi-puisinya kurang
terbuka mengungkapkan berbagai aspek kehidupan. Seyogianya
para penyair banyak memperkaya diri dengan bacaan sehingga
mampu menyemarakkan horizon persajakan yang dinamis dan
tidak memaparkan sajak-sajak yang monoton dan membosankan.
Berkaitan dengan hal di atas, Bakdi Soemanto dalam artikel
Ilham Masuk Lewat Celah Hati (Semangat, No. 11, Juli 1975, hlm.
1821) mengemukakan gagasannya bahwa sajak atau puisi itu
tercipta karena adanya ilham yang muncul sehari-hari dalam
aktivitas yang dilakukan. Ilham bersumber dari mana saja asalkan
kita mau terbuka dengan kehidupan dan mengolahnya dalam
bentuk puisi. Dalam Pesona Seorang Gadis Remaja Pada Alam
Sekitar ia mengemukakan pula bahwa penyair menciptakan hasil
sastra (puisi) karena suatu pesona, suatu kegandrungan. Orang yang
terlalu berpikir serius dan berat kadang akan kembali membutuh-
kan sastra yang mampu membawa mereka kembali bermesraan
dengan kehidupannya (Semangat, No.1, September 1975, hlm. 2325).
Selanjutnya, Mimosa Sekarlati dalam artikel Sin + Tuhan =
Sintuhan (Semangat, No. 7, Maret 1976, hlm. 2426) mencoba mem-
berikan jawaban atas pertanyaan apakah yang mendorong penyair
untuk membuat sajak? Jawabannya merunut pendapat Rabindra-
nath Tagore yang disalin oleh Amir Hamzah bahwa Engkau yang
lebih besar dari engkau itulah yang mendorong tangannya ber-
sajak. Sedangkan Rendra menulis bahwa dia bersajak karena
perasaan. Cindy Kunto Widyastuti yang sependapat dengan Plato
berkata bahwa Sintuhan cinta membuat setiap orang menjadi pe-
nyair. Lalu, dalam Mengapa Sajak Kita Kurang Berhasil?
(Semangat, No. 9, Mei 1976) Bakdi mengemukakan bahwa persoalan
berhasil dan tidaknya seseorang membuat sajak sangat sukar untuk
dipilah. Perasaan yang muncul yang mendasari penulisan sajak
akan lebih baik kalau mempunyai tenaga puitika yang tersirat
walaupun itu tidak mudah diungkapkan dalam kata-kata, seperti
yang tercermin dalam puisi Badai karya Surachmat Suronggomo
dan tidak tersurat seperti yang tercermin dalam puisi Surabaya
karya F.L. Suherman dan Surat karya Linda H.S.

75
Ajip Rosidi dalam esai Perkembangan Puisi dan Prosa
Dewasa Ini (Suara Muhammadiyah, No. 20, Thn. ke-55, Oktober II,
1975, hlm. 2021) yang semula berupa makalah ceramah dalam
Forum Apresiasi Seni MTQN ke VIII di Palembang itu mengemu-
kakan pandangannya bahwa sastra Indonesia dalam bentuknya
yang sekarang adalah pengaruh dari pertemuan bangsa kita
dengan kebudayaan Barat. Bentuk sastra yang sekarang kita pakai
dan perkembangkan seperti roman, cerpen, esai, drama, dan puisi
adalah bentuk yang sebelumnya tidak dikenal di Indonesia dan
baru dikenal setelah kita bertemu dengan kebudayaan Barat, mulai
diperkenalkan dalam akhir abad yang lalu.
Sementara itu, kritikus lain, Y. Supardjana dalam artikelnya
Berpuisi Spontan dan Polos (Semangat, No. 4, Desember 1975,
hlm. 1416) mencoba memberikan penjelasan dengan mencon-
tohkan beberapa puisi yang singkat karya Sitor Situmorang berju-
dul Lebaran. Puisi sebaris itu mengesankan spontan dan jujur
dari penyair. Begitu juga puisi Teratai dan Doa karya Yohanes
Supomo yang mempunyai tiga baris, juga mengekspresikan puisi
yang berbobot karena wujudnya sederhana, polos, dan spontan
mengekspresikan perasaan hati penyair. Selain itu, ia menyampai-
kan kritik pula bahwa puisi yang pendek tidak selamanya berbobot
karena tidak ada konsistensi dan daya tahan terhadap nurani pe-
nyair, seperti puisi Bertemu karya Sussiana Darmawi dan Pantai
karya Mayon Sutrisno yang akhirnya terjebak dalam suatu pe-
maparan cerita, bukan menjadi puisi. Puisi memang memerlukan
konsistensi tentang jarak dan puitika, seperti puisi Malam karya
Fransiskus, Kaliurang Menjelang Malam karya Niskoro Poepo-
negoro, dan Di Perkampungan Tua karya Haryati, mampu menun-
jukkan daya tahan dan konsistensi penyair terhadap nuraninya.
Sementara, Mayon Soetrisno dalam artikelnya Menjumpai Tuhan
dan Puisi Penyair (Semangat, No. 6, Februari 1976) mencoba meng-
gambarkan adanya Tuhan dalam puisi Sitor Situmorang Hari
Paskah, Suripan Sadhi Hoetomo Inilah Doaku, Subagio Sastro-
wardojo Monolith, Eddy Soetrisno Suatu Ketika Dalam Hari
Natal, dan Budhybkazeth Aku Berdiri dalam Dua Bayang.
Dalam artikel lain berjudul Antara yang Mengental dan Men-
cair (Semangat, No.10, Juni 1976) Bakdi Soemanto mencontohkan

76
puisi yang berhasil dan tidak berhasil karya Ridj Ahem (Pur-
worejo). Puisi yang dianggap berhasil adalah puisi yang mempu-
nyai isi padat, baik dalam kata-katanya maupun dalam penafsiran-
nya, misalnya Pohon Murbei dan Date di Caf. Sedangkan
puisinya yang tidak berhasil adalah Hari Ini karena tampak ada
keragu-raguan dalam memadatkan tulisannya sehingga sajaknya
terkesan bersifat menjelaskan. Sajak yang dikemukakan ada yang
berifat kental dan cair berdasarkan esensi puitiknya. Jika terlalu cair
penyair membutuhkan banyak keterangan yang akan menjelaskan
sajak tersebut. Dan yang paling penting penyair dapat mengung-
kapkan kehidupan yang bersifat esensial, dikemas dalam dimensi
dan perspektif.
Selain itu, Bakdi dalam artikel Hanya Kalau Saya Sedih, Saya
Dapat Menyalak (Semangat, No. 12, Agustus 1976) mengkritik
sajak-sajak karya Wien S. berjudul Telah Dtang dan Telah Pergi,
Hukum Alam, Di Pantai Selatan, dan Mama. Dikatakannya
bahwa sajak-sajak tersebut muncul karena dorongan hati yang te-
renyuh dan sedih. Perasaan itu mampu membangkitkan daya imaji-
nasi, namun, daya cipta yang didasari perasaan trenyuh itu kurang
mampu mengolah daya cipta puitis. Adanya bakat dan pelatihan
yang baik akan lebih memberikan bobot daya penciptaan puisi.
Selanjutnya, dalam artikel Sorotan dari Hamburg atas Karya
Rendra (Basis, No. 8, Mei 1978, hlm. 232236) A. Teeuw mem-
bahas karya-karya W.S. Rendra yang pernah dijadikan disertasi
oleh Dr. Rainer Carle dari Universitas Hamburg yang berjudul
Redras Gedichtsammlungen (19571972): Ein Beitrag zur Kenntnis
der Zeitgenossischen Indonesischen Literature Kumpulan Sajak-Sajak
Rendra (19571972): Sumbangan pada Pengetahuan Sastra Indone-
sia Dewasa Ini. Dalam disertasi itu Dr. Carle menjelaskan bahwa
sajak yang diteliti pada pokoknya membayangkan tiga tahap krea-
tif utama: pertama, banyak dimuat dalam Ballada Orang-Orang
Tercinta, Sajak-Sajak Dua Belas Perak, Nyanyian dari Jalanan, dan Ya,
Bapa dari kumpulan Masmur Mawar (Oktober 1954Oktober 1955);
kedua, diwakili oleh Kakawin Kawin, Masmur Mawar, dan Sajak
Sepatu Tua; Tahap ini melingkupi masa April 19591960; dan
ketiga, diwakili oleh Blues untuk Bonnie (Agustus 19641968). Hasil

77
penelitian Dr. Carle itu dapat disimpulkan sebagai berikut. Dalam
Ballada Orang-Orang Tercinta terdapat tiga tema penting, yaitu (1)
adanya perhatian untuk manusia sial, manusia menderita, (2) ma-
salah hubungan orang tua dan anak atau masalah anak menjadi
dewasa, dan (3) perjuangan melawan dunia yang bermusuhan.
Dalam sajak Ballada Penyaliban ketiga tema ini bertemu dan
berpaduan. Tema utama puisi Rendra selama masa 16 tahun yang
menjadi pokok penelitian buku ini dapat dikatakan sebagai pembe-
rontakan individu (aku-liris ataupun pencerita) melawan berbagai
aspek masyarakat yang norma-normanya masih jelas bersifat kolek-
tivis, mula-mula pemberontakan aku-liris terhadap orang tua, ru-
mah tangga, terhadap etik, terutama terhadap kewibawaan gereja
yang tidak berhasil memenuhi tuntutannya sendiri di bidang moral;
akhirnya pemberontakan berkembang menjadi perlawanan terha-
dap masyarakat yang tidak adil dan melawan hipokrisi pemimpin-
pemimpinnya di segala bidang.
Selain itu, beberapa aspek pemakaian bahasa dalam sajak-
sajak Rendra juga disinggung oleh Carle, di antaranya (1) dominan-
nya morfem dasar bersuku kata dua, (2) kemungkinan stigma padu
yang hubungan prataktis dan hipotaktisnya tidak dieksplisitkan,
(3) kemungkinan ulangan bunyi yang konstan berdasarkan afiksasi
sejumlah afiks tertentu, (4) ulangan dan penggandaan tertentu
yang mempunyai sifat fungsi tata bahasa dan semantis, (5) alternasi
antara vokal dan konsonan yang cukup teratur, (6) dominannya
vokal a secara mutlak, digabung dengan cukup frekuensi vokal i,
u, dan e (pepet), (7) dominannya beberapa kombinasi vokal dalam
morfem dasar bersuku kata dua, dan (8) tekanan kata yang umum-
nya terletak pada suku kata kedua dari belakang digabung dengan
pergeseran tekanan kalau terdapat vokal pepet.
Di lain pihak, A. Teeuw menganggap bahwa buku Kumpul-
an Sajak-Sajak Rendra (19571972): Sumbangan pada Pengetahu-
an Sastra Indonesia Dewasa Ini penting untuk diketahui. Hal itu
disebabkan (1) memuat karya seorang pengarang Indonesia modern
yang dapat dikatakan sesuai dengan norma dan mutu internasio-
nal, (2) Rendralah yang menjadi objek studi. Sebab, Rendra sejak
dua puluh lima tahun terakhir ini merupakan tokoh sastra dan

78
drama Indonesia yang tidak ada bandingannya dari segi mutu
karya dan pengaruh budayanya. Buku ini juga sebagai dasar kritik
yang kuat terhadap karya Rendra.
Dalam artikel berjudul Dunia Puisi Umbu Landu Paranggi
(Semangat, No.2, Oktober 1978) Parwita mencoba memaparkan
kisah perjalanan Umbu dari sekolah (SMA di Jogja) sampai dengan
perjalanan menggeluti dunia sastra (puisi khususnya) di Persada
Studi Klub yang didirikannya pada bulan Maret 1968 dan di
beberapa kota (di Bali) yang dikunjungi untuk membacakan sajak-
sajaknya. Dinyatakan dalam artikel tersebut bahwa puisi-puisi de-
wasa ini sudah mendekati taraf tiram yang populer, di pertemuan-
pertemuan, di pesta-pesta pelajar atau mahasiswa-mahasiswa selalu
ada acara baca sajak atau deklamasi. Anak-anak muda semuanya
merasa bisa menulis puisi apalagi membacanya. Selain itu, dinya-
takan juga bahwa puisi-puisi Indonesia yang baik, sejak Amir Ham-
zah, Chairil Anwar, sampai Rendra atau Sutardji merupakan
oposisi yang loyal bagi kebudayaan kita. Penyair-penyair sudah
lebih berani bereksperimen dan mencoba menukik untuk menggarap
subjek-matter, salah satu contohnya sajak-sajak Darmanto Yt.
Gunoto Saparie dalam tulisannya Dua Sajak Sapardi Djoko
Damono (Pelopor, No. 223, 5 Oktober 1978, hlm. 4) mencoba mem-
bahas dua sajak pendek Sapardi yang terkumpul dalam DukaMu
Abadi berjudul Tiba-tiba Malam pun Risik dan Jarak. Di antara-
nya dikatakan bahwa dua sajak tersebut ternyata sanggup berbicara
tentang eksistensi manusia di dunia fana. Di tengah abad konsu-
merisme dan glamour seperti sekarang, sajak-sajak tersebut pantas
untuk diketengahkan sebagai usaha pemahaman terhadap diri dan
keberadaan manusia.
Dalam tulisannya Estetika dan Puisi dalam Masalah Kema-
nusiaan (Basis, September 1979) Hilla Veranza mengemukakan
latar belakang sejarah (pasang surut estetika, posisi estetika dalam
dmanusia), pengalaman estetis (kedudukan manusia dalam alam,
keniscayaan pengalaman estetis), dan dasar-dasar antropologis
puisi modern (puisi sebagai pribadi, dinamika dalam pendekatan
puisi dan letak keabadian puisi), unsur-unsur subjektif bekerja kuat
dalam puisi. Puisi yang mencerminkan keutuhan merupakan ben-

79
tuk pengambilan sikap penyair terhadap masalah-masalah kema-
nusiaan. Meski terjadi penghianatan terhadap nilai-nilai kemanu-
siaan, keluhuran akan tetap berbisik selama orang masih berhubung-
an dengan karya seni yang mencerminkannya. Dengan mengutip
pendapat Gunawan Mohamad dan sajak-sajak Sapardi Djoko Da-
mono, ia merasa lega bahwa kita masih bisa memperoleh nilai-
nilai keabadian dalam puisi.
Selain membicarakan masalah puisi, karya-karya kritik yang
muncul di dalam media-media massa cetak pada kurun waktu
19661980 juga membicarakan karya cerpen. Kritik terhadap
cerpen, antara lain, terlihat dalam artikel Cerita Pendek Majalah
Semangat karangan Jakob Sumardjo (Semangat, No. 8, April 1975,
hlm. 1415). Dalam artikel tersebut Jakob melontarkan kritik
dengan mengambil ciri-ciri umum yang terdapat dalam 20 cerpen
yang dimuat dalam majalah Semangat (19721974), di antaranya
ciri mencolok adalah pendeknya nafas cerita. Paling panjang dua
halaman majalah Semangat yang mini itu tanpa ilustrasi. Dalam
bentuk demikian dituntut kepadatan, kebulatan, kejelasan umum
tetap plastis. Rata-rata cerpen tersebut telah berusaha membatasi
segalanya untuk disesuaikan dengan halaman yang disediakan re-
daksi. Gejala bentuk cerpen pendek itu rupa-rupanya sudah men-
jadi semacam trade mark cerpen remaja. Jarang ada yang bernapas
panjang.
Dikatakannya pula bahwa tema yang digarap ternyata bukan
melulu cinta remaja. Lebih dari 50 persen mengambil tema di luar
itu. Seperti idealisme pemuda yang mencari identitas kepribadian-
nya (T. Simbolon Pergi), idealisme kepahlawanan (Sutrisno
Gelandangan), kritik sosial (anonim Skill Skill Bang Bang, Rica
Dakulilang Toke, Rambu-Rambu Jalan), kesenimanan (Suwar-
no Pragola Ia seorang sahabatku, Erwin Setetes Fragmenta).
Dan selebihnya banyak berbicara soal cinta remaja. Cinta remaja
yang mereka ungkapkan bersih, halus sederhana, jauh dari ung-
kapan birahi seperti banyak terdapat dalam majalah-majalah pop
remaja umumnya. Ini berarti bahwa mereka (penulis-penulis cer-
pen) sudah cukup dewasa dalam menanggapi masalah. Selain itu,
teknik bercerita menunjukkan kedewasaan sikap. Plot cerita di-

80
susun cermat dan biasanya diakhiri dengan surprise yang segar,
seperti terlihat dalam Cium Pertama karangan Rahmanto.
Rahmanto berhasil membawakan cerpennya dengan penuh humor
yang cukup sophisticated. Kualitas cerpen yang demikian dicapai
pula oleh Suwarno Pragola dalam Ia Seorang Sahabatku dan
Kawan Lama.
Selain itu, Jakob juga memberikan kritik bahwa cerpen de-
ngan tema sosial rata-rata kurang berhasil dalam plot. Posisi cerpen-
cerpen yang demikian jadi canggung. Mau ke bentuk serius terlalu
amatir dan kurang dewasa, sedang mau ke cerpen remaja kurang
menarik karena plotnya lemah dan tema yang terlalu serius ditam-
bah pengungkapannya yang masih kasar. Kelemahan lain dari rata-
rata cerpen di majalah itu ialah penggambaran psikologis tokoh-
tokohnya. Perubahan sikap, watak dan kelakuan tokoh-tokohnya
terjadi terlalu tiba-tiba tanpa persiapan dan informasi yang cukup.
Potensi yang menonjol ialah gaya humornya, plotnya yang terjaga,
teknik surprise di akhir cerita dan tema cinta asmara remaja yang
bersih dan sederhana. Cerpen-cerpen demikian menuntut intele-
gensi penulisnya yang tinggi dan sikap dewasa untuk mengatasi
persoalan.
Selanjutnya, Mustofa W. Hasjim dalam artikelnya Cerpen
yang Menyuarakan Kemanusiaan ( Masa Kini, No. 275, Thn. XIII,
31 Maret 1979, hlm. 34) mengemukakan pujiannya terhadap
cerpen Buah Rambutan karangan Ari Basuki (Insani, 24 Maret
1979). Cerpen tersebut dianggap berhasil di samping secara teknis
memadai juga mengandung isi, nilai-nilai, sikap dan pandangan
hidup. Isi tersebut bisa dengan jelas terpampang pada semua bagi-
an cerpen. Bisa juga hadir hanya dalam sebuah momen yang ber-
langsung di antara momen lain yang membentuk cerita dan semua-
nya itu boleh-boleh saja. Yang penting bagaimana isi tersebut bisa
sampai tanpa mengurangi kenikmatan pembacanya, artinya, isi
wajar hadir dan diperlukan dalam keseluruhan konteks cerpen
tersebut. Jadi, isi tersebut tidak begitu mengganjal, mengada-ada,
dan dipaksakan.
Pujian yang sama disampaikan pula oleh Mustofa dalam
artikel Mahasiswa dan Cintanya (Masa Kini, No. 2, Thn. XIV, 14

81
April 1979, hlm. 34) terhadap cerpen Kawan, Cintamu Tidak
Logis karangan Thoha Masrukh Abdillah (Insani,3 1 Maret 1979)
dan artikel Dengan Kejutan Kendor (Masa Kini, No. 13, Thn. XIV,
28 April 1979, hlm. 34) terhadap cerpen Kontrak Moril ka-
rangan Choirul Muslim (Insani, 14 April 1979). Dalam artikel Maha-
siswa dan Cintanya selain memuji keberhasilan cerpen Buah
Rambutan, Mustofa mengemukakan juga kelemaham cerpen ter-
sebut. Ada pun kelemahan cerpen itu terletak pada arus cerita yang
terasa lamban dan melelahkan untuk diikuti. Hal ini terjadi karena
pengarang cenderung untuk bercerita banyak, lebih dari yang di-
butuhkan. Suatu hal yang biasa menimpa pada pengarang yang
menggunakan style aku.
Sementara itu, yang menarik dari cerpen Kontrak Moril ada-
lah kemampuan pengarang menghangatkan cerita dan menyimpan
kejutan-kejutan yang menggemaskan sehingga cerpen tersebut bisa
dibaca dan dinikmati. Pengarang menghadirkan konflik antara
Sam dan Rul. Konflik ini berawal dari ketidaktahuan Sam menge-
nal keadaan Rul yang sebenarnya. Sam yang dengan getol menyu-
ruh Rul cepat-cepat cari jodoh, tak tahunya Rul sudah lama punya
calon istri secara diam-diam. Kejutan lain yang dirasakan oleh pem-
baca adalah ketika Rul mengungkapkan kalau perjalanan pulang
kampung naik colt travel bersama Sam itu adalah dalam rangka
menjemput ayahnya untuk melamar Siti Zulaekah. Sayang kejutan
ini tidak diketahui oleh Sam.
Selanjutnya, dalam artikel yang Tentang Harapan Bung Ma-
man (Masa Kini, No.38, Thn. XIV, 9 Mei 1979) Mustofa W. Hasjim
memberikan ulasan terhadap cerpen Jakarta, Jakarta karya
Prajitno Hidayat yang dimuat pada 26 Mei 1979. Katanya, gambar-
an setting budaya mengenai Jakarta terlalu dangkal sehingga to-
kohnya (Maman) terlalu optimis dan penuh harapan. Padahal, Ja-
karta tidaklah seperti itu, sehingga gambaran tentang putusnya
harapan di akhir cerita tidak tampak mengada-ada (tak logis, ku-
rang kuat, sublim).
Sementara itu, menghadapi cerpen Oleng-nya Bambang
WD (Insani, 12 Mei 1979), Mustofa dalam artikel Sebuah Sketsa
Perjalanan? (Masa Kini, No.26, Thn. XIV, 26 Mei 1979, hlm.3)

82
mengemukakan kesulitan menentukan penilaian. Sebab, dasar
penilaian yang berupa rumusan teknik penulisan atau yang berupa
hubungan antara karya tersebut sebagai cerpen dengan kehidupan
nyata rasa-rasanya menjadi macet jika diterapkan pada cerpen
tersebut. Katanya, berhadapan dan bergaul dengan cerpen Oleng
seperti berhadapan dengan pribadi yang manis puitis dan miste-
rius. Kita merasa memahami kata-katanya, menikmati, tetapi tahu
kita sadar kalau kita tidak bisa mengenalnya secara baik. Gambar-
an kita tentang pribadi cerpen itu dikarenakan cerpen itu berbicara
tentang garis-garis besar tentang perjalanan hidup dengan dihiasi
nuansa simbolis.
Dalam artikel Masih Agak Mentah, karena Tergesa-gesa
(Masa Kini, No. 43, Thn. XIV, 16 Juni 1979, hlm. 3) Mustofa mem-
berikan kritikan terhadap cerpen Kenyataan karya Thoha Masrukh
Abdillah yang dimuat pada edisi 16 Juni 1979. Cerpen yang menge-
tengahkan masalah masa depan cinta yang kemudian berakhir
dengan kegagalan itu menurut Mustofa dari segi teknik penulisan
mengandung titik-titik rawan. Struktur cerpen tidak seimbang,
adegan beberapa tahun yang lalu yang menggambarkan masa ge-
milang hubungan tokoh aku dengan Tien mendominasi lebih dari
setengah bagian cerpen. Dalam bagian ini arus cerpen begitu lancar
sehingga enak dibaca. Sayang tokoh Susi tiba-tiba saja muncul leng-
kap dengan persoalannya dan merusak suasana. Barangkali mun-
culnya tokoh Susi dimaksudkan sebagai kejutan, tetapi kejutan
itu oleh Mustofa dianggap sebagai tidak wajar. Tokoh Susi tampak
sengaja dipersiapkan pengarangnya untuk keperluan menyelesai-
kan konsep yang berupa kegagalan cinta antara tokoh aku dan
Tien. Dalam hal ini pengarang tampak memudahkan persoalan
demi konsep sehingga pembaca juga bisa menebak kalau cerpen
tersebut masih agak mentah. Atau barangkali cerpen tersebut di-
garap secara tergesa-gesa sehingga karakter, sikap hidup pelaku,
dan identitas pelakunya menjadi samar. Apalagi perkembangan jiwa
para pelakunya dalam menghadapi masalah yang muncul di-
ceritakan secara meloncat-loncat, tidak melewati proses yang wajar,
tidak melewati jalur logika, logika dalam fiksi sekalipun.
Kejutan-kejutan yang digambarkan dalam cerpen di atas akan
menjadi berbeda jika dikaitkan dengan artikel Catatan untuk

83
Cerpennya Masykur: Teknik Pengejut yang Sedikit Gila (Masa
Kini, No. 53, Thn. XIV, 30 Juni 1979) karangan Mustofa. Dalam
artikel ini ia memberikan kritik atas cerpen Ketokan Pintu karya
Masykur Wiratno yang dimuat pada edisi ini (30 Juni 1979). Kata-
nya, tokohnya (Dirgo) adalah manusia luar biasa. Sebab, memang
Dirgo dalam hidup ingin mengumpulkan pahala yang sebanyak-
banyaknya sehingga ia rela menerima apa saja, termasuk harus
mengawini Tatin, seorang wanita hamil. Padahal, kehamilan Tatin
bukanlah perbuatannya. Tetapi ia mau hanya demi pahala. Kata Mus-
tofa, cerpen ini strukturnya kuat, kejutan-kejutannya mengejutkan,
seperti yang dilakukan oleh pengarang besar seperti Iwan Simatu-
pang, Budi Darma, atau Danarto.
Selain itu, perkembangan tentang penerbitan kumpulan cerpen
dibicarakan Arwan Tuti Arta dalam artikelnya Membicarakan
Nasib Kumpulan Cerpen (Minggu Pagi, No.13, Thn. ke-33, 29 Juni
1980, hlm. 3). Dalam artikel itu Arwan mengemukakan pandang-
annya bahwa penerbitan kumpulan cerpen di Indonesia saat ini
masih seret. Hal itumungkindisebabkan para penerbit takut
mengambil resiko. Mereka banyak yang lebih suka menerbitkan
novel. Barangkali menerbitkan kumpulan cerpen (terutama yang
dilakukan majalah hiburan) adalah kebijaksanaan yang sangat
bagus sebab pada umumnya naskah cerpen paling banyak masuk
ke meja redaksi, di samping puisi. Katanya, yang belum kelihatan
selama ini dari kumpulan cerpen adalah kumpulan cerpen-cerpen
yang didasarkan atas tema yang sama. Misalnya tentang perten-
tangan antara anak dan orang tua dalam banyak manifestasi dan
versi atau tema ketuhanan berikut segala rahmat, segala kutukan,
ajaran, ujian dan misterinya, bahkan tema-tema yang lain. Barang-
kali ini patut dipikirkan atau dipertimbangkan. Dari situ kita dapat
mendapatkan keragaman persepsi dari satu tema atau mungkin
tema-tema humor perlu dicari cerpen yang kini banyak terserak
di berbagai penerbitan dan segera dihimpun dan diterbitkan.
Selanjutnya, dalam tulisan berjudul Pembacaan Cerpen Bisa
Dikembangkan? (Minggu Pagi, No. 23, Thn. ke-33, 7 September
1980, hlm. 3) Arwan mengatakan bahwa di Jogja, bahkan di Indo-
nesia, pembacaan cerpen masih belum populer. Karena langkanya

84
hingga gampang dihitung dengan jari. Memang pembacaan cerpen
dalam arti sebuah tontonan masih merupakan barang baru apabila
dibanding pembacaan puisi misalnya. Di Jakarta, Chairul (sutra-
dara film) pernah dengan berhasil membacakan cerpen Umar Ka-
yam Kimono Biru Buat Istri, juga Putu Wiaya (novelis dan tokoh
teater kenamaan) pernah membacakan cerpen-cerpennya sendiri
yang dihimpun dalam Bom, sebuah kumpulan cerpen yang tidak
sempat terjual di Yogyakarta. Di Yogyakarta, pernah juga ada acara
baca cerpen yang dilakukan oleh Deded Er Moerad. Rupanya pem-
bacaan cerpen sebagai tontonan masih jauh tertinggal dibanding
cerpen lewat radio. Tidak saja di RRI, ada beberapa radio non-RRI
yang menyelenggarakan acara baca cerpen secara kontinyu seperti
halnya Moh. Diponegoro melalui Radio Australia dan Radio Nu-
santara II Yogyakarta.
Selanjutnya, Moh. Diponegoro dalam esainya Karakterisasi
dalam Cerpen (Suara Muhammadiyah, No.2 3 Thn. ke-60, Desember
1980, hlm. 3436) mencoba membahas tentang karakterisasi
dalam cerita fiksi. Dikatakannya bahwa karakterisasi dalam cerita
fiksi ialah upaya si pengarang untuk melukiskan watak atau sifat
tokoh ceritanya. Tujuannya ialah agar tokoh cerita yang khayal
itu bisa tampak dan kedengaran hidup dan betulbetul dapat di-
percaya oleh pembaca, seperti yang diinginkan oleh si pengarang.
Dan justru ini menjadi tongkat ukuran apakah pengarang sukses
membuat karakterisasi. Jika pembaca tidak melihat tokohtokoh
dalam cerita itu hidup dan masuk akal, pengarang perlu mengo-
reksi lagi naskahnya, atau melupakannya sama sekali dan menulis
cerita yang baru. Memang, katanya, banyak cerpen yang plotnya
dijalin dengan sangat pintar, penggarapannya dikerjakan secara
orisinal, tetapi naskah itu tidak mampu menjual dirinya sendiri.
Tidak ada redaktur koran atau majalah yang mau membelinya.
Mereka tidak tersentuh sedikit pun oleh cerita itu karena tokoh
tokoh ceritanya mati atau pingsan. Dalam hal ini, para redakturlah
yang paling mengerti selera pembacanya. Kalau mereka sendiri
tidak tersentuh, mereka sudah yakin bagaimana nasib buruk akan
menimpa cerita itu di tangan pembaca. Tanpa tokoh yang bagus,
cerita tidak akan hidup. Menurut Eloise Javis Me Graw, seorang

85
pengarang wanita Amerika, kalimat itu sebuah axioma kebenaran
yang tidak perlu dinalar lagi kebenarannya. Tokoh yang bagus
adalah tokoh yang riil dan bisa dipercaya, ia membubuhi, ia mem-
buat lukisan yang agak lucu.
Lebih jauh Moh. Diponegoro mengemukakan bahwa untuk
membuat cerita menarik dan hidup tidak perlu si tokoh cerita ber-
tingkah laku yang menggejolak, merangsang, mendebarkan, atau
semacamnya. Meskipun setiap halaman memuat sang pahlawan
sedang bergantung di tepi tebing pada seutas akar kayu rapuh, dan
di bawahnya menganga jurang yang sangat dalam dengan mulut
maut yang lebar, cerita seperti itu tetap tidak akan hidup selama
tokoh pahlawannya tidak bisa dipercaya akal. Apakah benar atau
tidak, bahwa itu suatu axioma atau ucapan yang dilebih-lebihkan,
tetapi memang karakterisasi yang lemah sangat mengganggu
pembaca. Seperti halnya kalau kita menonton sebuah sandiwara
yang jelek, aktornya bermain kaku atau menggunakan bahasa buku
maka penontonnya akan protes. Protes-protes itu mungkin tidak
tidak diucapkan tetapi pasti mengganjal seperti kerikil tajam dalam
perasaan pembaca. Dalam hati pembaca tidak bisa menerima.
Dengan kata lain, pembaca tidak terkena tarikan emosional. Tarikan
emosional inilah yang justru penting dalam sebuah cerpen. Dan
tarikan itu bersumber pada tokoh yang bagus, bukan pada plot.
Selain kritik terhadap karya (sastra) puisi, cerpen, seperti
tersebut di atas, kritik terhadap novelet juga muncul dalam per-
kembangan sastra di Yogyakarta pada kurun waktu 19661980,
di antaranya adalah tulisan yang berjudul Sri Sumarah dan Ba-
wuk karangan St. Soelarto (Basis, XXVI, 1 Oktober 1976, hlm. 31
32). Dalam tulisan itu Soelarto membahas Sri Sumarah dan Bawuk.
Dikatakannya bahwa persamaan dua cerita tersebut adalah ber-
latar belakang seputar peristiwa G-30-S PKI. Sri Sumarah ada di
lingkungan dunia orang kebanyakan (guru sekolah rendah) dan
Bawuk dalam lingkup priayi (sisa pangkat feodal). Sri Sumarah
mengajak pembaca masuk ke dalam suasana khas Jawa (Sri Suma-
rah yang selalu nrimo) selalu sumarah atas nasib yang menimpanya
dan nasib buruk anaknya (Tun). Kosa kata Jawa banyak digunakan
dan bahkan ada kesan kelewat banyak. Ciri khas tersebut semakin

86
menguatkan style cerita ini akan budaya Jawa yang dimampatkan
pada tokoh Sri Sumarah, janda setengah tua dan ahli pijat. Semen-
tara, Bawuk menekankan perkembangan seorang anak yang terjadi
di luar akal sehat. Bawuk yang dulunya juara Societeit Concordia
akhirnya menjadi pelarian komunis. Juga disinggung tentang sikap
suami yang hanya mengejar karier bisa melupakan seorang istri
yang ideal sehingga sering menjadi pertanyaan yang menyangkut
cintanya.
Sementara itu, menghadapi pengaruh negatif serta positif dari
macam-macam bacaan karya populer yang ada terhadap cara ber-
pikir dan imajinasi seseorang, Redaksi (Ant) Masa Kini menyam-
paikan tulisannya berjudul Emha: Novel Pop Tidak Otomatis
Untungkan Pemasyarakatan Sastra (Masa Kini, No. 259, Thn. XIII,
12 Maret 1979, hlm. 3). Dalam tulisan itu redaksi mengemukakan
pokok bahasan pembicaraan Emha Ainun Najib pada waktu cera-
mah bersama Ashadi Siregar di Fakultas Ilmu Sosial Universitas
Airlangga Surabaya, 10 Maret 1979. Dengan judul Konsep Kultu-
ral di Belakang Sastra Pop Emha menganjurkan mengkaji novel,
cerpen, dan puisi yang memberi pengaruh. Katanya, kesadaran
sikap dan konsepsi kultural tidak tumbuh merata pada penulis-
penulis pop. Meluapnya penerbitan novel pop tidak otomatis meng-
untungkan pemasyarakatan sastra. Merupakan kenyataan perma-
nen dari sejarah bahwa sastra bukan pop selalu merupakan se-
suatu yang asing sehingga naf untuk membicarakan pengaruhnya
terhadap proses kebudayaan suatu masyarakat. Ketergelinciran
sastra pop pada hukum pelunturan merupakan suatu yang mung-
kin saja terjadi dan hanya waktu yang dapat membereskannya.
Sementara, Ashadi Siregar dengan judul makalah Novel untuk
Orang Muda berkata bahwa novel adalah rangkaian tentang manu-
sia. Sebagai cerita ia merupakan imitasi dari realitas. Dari meng-
imitasi realita, kita dapat memotret hasilnya persis realitas atau
lebih indah dari warna aslinya. Melalui novel-novelnya Ashadi ber-
harap bisa memberi suatu sikap sosial kepada orang-orang muda
(pembaca).
Menghadapi semaraknya novel pop di kalangan remaja, Sin-
dikat Pengarang Yogyakarta mencoba memaparkan perkembang-

87
an novel tersebut pada setiap periode. Dalam tulisan berjudul Jika
Musimnya Habis, Novel Pop Quo Vadis (Semangat, No. 10, Juni
1980, hlm. 2022) Sindikat Pengarang Yogyakarta mencoba me-
nyampaikan prediksi sekaligus kritiknya bahwa tahun 19501955
adalah periode novel picisan yang orientasinya soal kemesuman
yang vulgar dan murahan; asal seru, tegang, seram, merangsang,
menarik, sedangkan mutu dan bobotnya kurang diperhatikan.
Tahun 19591969 adalah periode novel hiburan yang banyak di-
tulis oleh sastrawan masyur Motinggo Busye. Tema, problematika,
gaya bahasa, ide-ide, dan plot masih cukup rapi terjaga, tidak ber-
beda dengan novel-novel sastra. Pada periode ini juga laris komik
dan novel silat sebagai hiburan non-sastra (19601976). Tahun
19711977 adalah periode novel hiburan atau populer. Di tangan
Marga dan Ashadi, kentara lebih serius, rapijali dan penuh intensi.
Novel-novel jenis itu berusaha tampil dengan konsepsi dan misi
yang lebih segar, punya posisi dan fungsi cukup besar. Tahun 1972
1973, muncul Remy Silado menjadi proklamator puisi mbeling di
majalah Aktuil, dan prosa mbeling di majalah SFF atau Pop. Tahun
19771980, menurut Eddy D. Iskandar, novel-novel pop seratus
persen main-main, bobotnya sangat ringan tetapi laris. Di sisi lain
pembacanya cepat bosan. Tokoh lainnya adalah Teguh Esha yang
memaparkan novel-novel yang berploblematika lebih dewasa atau
matang di dunia kaum muda. Penggarapannya serius dengan kon-
sepsi-konsepsi yang terjaga. Periode ini dikatakan terjadi super-
inflasi novel pop di pasaran. Orang-orang pernah berpaling ke
Barbara Cartland dan Agatha Christie. Sebelumnya orang-orang
pernah terpesona N.H. Dini dan Putu Wijaya. Tahun 1978 muncul
alternatif hiburan selain novel sastra dan novel pop. Keduanya
juga memungkinkan untuk digabungkan menjadi novel pop-sas.
Alternatif lainnya adalah munculnya novel drama.
Selanjutnya, Tarscisius mengemukakan pandangannya dalam
tulisan yang berjudul Trend Novel yang Sukar Didekati (Minggu
Pagi, No. 18, Thn. ke-33, 3 Agustus 1980, hlm. 3) bahwa secara sosio-
logis perkembangan novel di Indonesia memang belum mendesak
memerlukan kritikus khusus dan novel-novel realitas imajiner
itu pun tidak terpaut waktu. Agaknya diferensiasi dalam sastra

88
harus terjadi, yaitu bahwa pergeseran mewujudkan kedalaman
kemampuan, menunjuk ketidakseragaman medium, norma, dan
nilai-nilai kehidupannya.
Selain itu, kritik terhadap karya (sastra) yang memfokuskan
persoalan tentang drama atau teater dan sandiwara juga tampak
mewarnai gambaran kritik di Yogyakarta pada kurun waktu 1966
1980, baik dari segi naskah maupun berbagai aspek pementasan-
nya. Hal itu tampak dalam tulisan yang berjudul Hamlet ka-
rangan Paul Amman S.J. yang masuk dalam rubrik Dialog (Basis,
Thn. ke-17, 19671968, hlm. 251, 256). Dalam tulisannya Paul
mencoba memberikan komentar terhadap penulis di Basis bulan
Maret yang menilai pementasan Hamlet oleh Starka dengan sutra-
dara Jasso Winarto. Paul menyadari penulis itu rupanya sangat
ahli dan terpelajar dalam ilmu drama. Maka, apa yang dikatakan-
nya tentang gerak-gerak prosais-indikatif yang harus disertai gerak-
gerak puitis-ekspresif dan lain-lain itu ilmiah serta benar dan me-
rupakan suatu kriterium objektif. Juga nesihat-nasihat yang diberi-
kan sesudah setiap alinea itu bersifat ilmiah dan cocok dengan
textbook-textbook mengenai teori pementasan drama. Namun, Paul
berpendapat bahwa penerapan kriteria itu kurang tepat. Kalau
penulis mengatakan bahwa acting yang diciptakan sangat prosaik
dan indikatif, tak pernah sampai kepada rohani penonton. Maka,
ini berarti just simply-nya tidak benar.
Memang, menurutnya, kami (penulis kritik) bukan ahli ilmu
drama, melainkan hanya seorang penonton biasa yang datang ke
PBBI dengan sikap yang agak kritis. Bahwa, misalnya, adegan mo-
nolog to be or not to be sama sekali tidak menggerakkan rohani
penonton adalah suatu generalisasi yang tidak objektif. Mungkin
kesan kontemplatif, romantik, dan bitter itu memang tidak begitu
muncul. Tetapi, apakah to be or not to be itu hanya dapat diinter-
pretasi sebagai kontemplasi, romantik, bitterness? Apakah dalam
ungkapan yang penuh filsafat itu tidak lebih merupakan suatu
nada yang cool-thinking, yang menghitung-hitung, yang bukan
romantis, tetapi yang betul-betul kering dan hambar, yang justru
menakutkan orang serta mengenai penonton karena keringnya dan
calmnya itu, misalnya dalam melontarkan kecaman-kecaman

89
terhadap ibunya, dalam mengejar suami yang kedua dari ibunya,
dalam adegan rombongan sandiwara yang merekontruksi pem-
bunuhan, hal mana sudah mendekati cynisme, jadi yang sama sekali
tidak romantis atau kontemplatif?
Dalam hal ini, menurut penulis, drama Hamlet lain daripada
tragedi-tragedi Shakespeare lainnya seperti Othello, Romeo and
Julia, dan lain-lain. Justru dalam adegan-adegan yang sangat berat
ini Jasso Winarto membuktikan pengertian, penghayatan, dan jiwa
Hamlet. Bagi kami (penulis) tidak pernah timbul kesan hapalan
saja. Dari permulaan sampai adegan terakhir Jasso menghayati
suatu interpretasi (pengalaman rohani) Hamlet yang ditegaskan
dengan konsekuen sepanjang seluruh drama. Dengan interpretasi-
nya yang tepat ini ia (Jasso) berhasil mempertahankan konsentrasi
para penonton selama lima jam, bahkan lebih, karena sesudah
pementasan itu impressi-impressi masih mendorong penonton
untuk lebih berrefleksi tentang drma besar ini.
Kritik yang sama muncul dalam artikel Dick Hartoko yang
berjudul Teater Murni dalam rubrik Varia Budaya (Basis, Thn.
ke-17, 19671968, hlm. 349350). Dalam artikelnya Dick Hartoko
mengemukakan penilaian terhadap pementasan Teater Murni
hasil Bengkel Teater asuhan W.S. Rendra yang diselenggarakan
pada tanggal 19 Juli. Dikatakannya bahwa pementasan yang me-
makan waktu selama tiga setengah jam itu pada umumnya sung-
guh bermutu tinggi, lain dari yang lain dan menuntut perhatian
serta penilaian dari para penonton terus-menerus. Apalagi karena
Teater Murni harus ditafsirkan sebagai teater tanpa teks, tanpa
bahasa. Hanya beberapa suara atau kata saja yang diperdengar-
kan, lain tidak. Sehingga dari gerak-gerik para pemain harus disim-
pulkan apa yang dimaksudkan. Jelaslah bahwa interpretasi dan
apresiasi serupa ini hanya dapat dilakukan oleh publik yang cukup
terdidik dan tidak terikat oleh kategori-kategori dari textbook.
Menurutnya, melalui hasil seninya, W.S. Rendra, berusaha
menimbulkan efek shock sehingga orang-orang akan terbangun
dari pola hidupnya yang serba otomatis. Tinggal sekarang yang
menjadi pertanyaan, berapakah jumlah orang yang berkesempatan
mengalami terapi shock ini dan terhadap berapakah terapi ini

90
akan berhasil? Di lain pihak, Arief Budiman sebagai seorang psi-
kolog menceritakan bahwa hanya orang kuat yang dapat diajak
untuk menerobos dinding kuno, tetapi orang-orang yang kurang
kuat kepribadiannya dikembalikan kepada lingkungan mereka
semula agar hidup secara harmonis. Mau tidak mau, seorang
seniman mempunyai sebuah pesan bagi masyarakat sekitarnya.
Pesan itu mungkin terasa tidak enak atau untuk sebagian kita tolak.
Namun, tak dapat disangkal, dalam dunia seni drama Indonesia
telah tercapai suatu taraf yang baru yang mendorong kita untuk
mengadakan retrospeksi dan penilaian kembali secara kritis ter-
hadap macam-macam patokan dalam hidup kita.
Kaitannya dengan itu, Budi Darma dalam artikelnya Orang-
Orang Aneh dalam Sastra (Basis, Thn ke-18, 19681969, hlm. 300
303) mengemukakan pandangannya tentang keinginan penulis
(pengarang) dalam penciptaan karya sastra. Dikatakannya bahwa
setiap novelis, penyair atau penulis drama tentulah mempunyai
keinginan-keinginan tertentu dalam mencoretkan penanya dalam
bentuk karya sastra. Demikian juga dalam menggambarkan ma-
nusia-manusia sinting, manusia-manusia aneh, tentunya mereka
(penulis) juga mempunyai tujuan tertentu. Mereka tentulah meng-
gambarkan orang-orang sinting tidak sekadar hanya akan meng-
gambarkan orang-orang sinting belaka tetapi tentu ada yang melatar-
belakanginya. Katanya, setiap karya sastra bukanlah karya yang
semata-mata hanya menonjolkan sensasi. Pekerjaan setiap karya
sastra pasti tidak hanya menarik pembacanya untuk digejolak atau
dirangsang perasaannya karena ketegangan-ketegangan sensasio-
nal dalam karya itu, dan juga tidak hanya mendebar-debarkan
hati pembacanya karena bentrokan-bentrokan kekuatan fisik.
Bukan itu kerja karya sastra. Bukan itu pula tujuan yang sebenar-
nya orang membaca karya sastra. Ada unsur-unsur lain yang lebih
hakiki. Karya sastra menarik pembaca karena kedalamannya. Ke-
dalaman karena filsafat hidupnya, kejiwaannya, dan persoalan
yang diungkapkan sendiri.
Orang-orang aneh dalam sastra tidak dimaksudkan semata-
mata untuk memancing sensasi murah. Banyak memang orang-
orang sinting yang dijadikan bahan oleh penulis-penulis-bukan

91
literer untuk memancing sensasi-sensasi yang dapat merangsang
dan menegangkan syaraf pembaca. Misalnya, dalam cerita-cerita
koboi yang diisi oleh orang-orang sinting yang kemudian berlanjut
pada adu jotos dan baku tembak. Sensasi mau tak mau mesti terben-
tuk, meski sensasinya mempunyai nilai lain, seperti Don Quixote
(novel), Hamlet (Drama), dan Prufrock (puisi).
Selain itu, G.B. Shaw, penulis drama pemenang hadiah Nobel
untuk sastra dalam pengantar pada kumpulan dramanya Plays
Pleasant yang dicetak oleh penerbit Penguin di Edinburg (1955:8)
mengemukakan prinsip yang harus dipegang oleh penulis (pe-
ngarang) naskah drama bahwa drama harus menyuguhkan konflik.
Tanpa konflik, bukanlah drama. Budi Darma berpendapat bahwa
prinsip G.B. Shaw itu juga berlaku bagi bentuk karya sastra lainnya.
Konflik menimbulkan unsur sensasi meskipun sensasi yang tidak
sama kelasnya dengan sensasi-sensasi dalam karya-bukan-literer.
Kecuali kesintingan sendiri membentuk sensasi, kesintingan juga
membentuk konflik. Dalam konflik juga membentuk sensasi.
Bang Aziz dalam tulisannya Mengintip Bengkel Rendra
(Minggu Pagi, 7 Juni 1970) mengemukakan keinginan Rendra me-
ngetengahkan suatu pagelaran yang religius dengan judul yang
sepintas boleh jadi asing bagi para pembaca, yaitu Kasidah Al-Bar-
zandji. Dalam persiapannya itu Rendra melatih para crew dengan
latihan koor bersahut-sahutan diselingi dengan solo. Adegan ini
secara menyeluruh dapat dibandingkan dengan adegan Oidipus-
nya Rendra. Koor itu menyuarakan kalimat-kalimat berbahasa
Arab, adzan, dan pengajian. Menurut Rendra, pergelaran ini tidak
banyak memerlukan gerak, tetapi tata lampu memegang peranan
penting dan menjadi bagian yang turut menentukan berhasil
tidaknya eksperimen. Artikel ini sekaligus menjawab pertanyaan
Hadjid Hamzah dalam tulisannya beberapa minggu lalu Allahu
Akbar? Dalam Kasidah Al-Barzandji ini para pembaca mendapat-
kan jawaban secara jelas.
Sementara itu, Soewarno Pragola dalam tulisan berjudul Puisi
dan Drama (Semangat, No. 12, Agustus 1972, hlm. 2022) menge-
mukakan kritiknya bahwa selama ini puisi dan drama dianggap sulit
untuk dipahami. Keduanya adalah cabang seni yang memerlukan

92
pemikiran untuk memahaminya. Untuk itu, diperlukan sebuah
apresiasi untuk memberikan penjelasan terhadap karya-karya yang
dianggap sulit tersebut. Untuk mengapresiasi puisi dan drama
tidaklah perlu menghapalkan teori-teori yang ada. Mulailah dengan
membiasakan diri menjadi penikmat puisi dan drama yang akan
mengasah kepekaan dan intuisi yang merupakan unsur apresiasi
yang pokok. Lebih-lebih jika menikmati pertunjukan puisi dan dra-
ma secara langsung, mendekatinya dengan simpati. Dengan mem-
biasakan diri itulah apresiasi akan berkembang.
Menghadapi sepinya naskah-naskah drama remaja, Bakdi
Soemanto dalam artikelnya Seni Drama: Memerlukan Naskah
Remaja (Semangat, No. 3, November 1972, hlm. 2830) mengemu-
kakan kritik dan harapannya kepada para guru bahwa saat ini nas-
kah drama remaja sangat sukar diperoleh. Untuk itu, seyogianya
naskah remaja banyak dimunculkan dengan penulis yang mempu-
nyai kemampuan. Mementaskan naskah-naskah remaja itu di
panggung-panggung sederhana dengan para pemain remaja. Di
Yogyakarta, banyak sekolah yang mengajarkan seni drama, begitu
juga bengkel-bengkel teater banyak tersebar di kota ini. Kehidupan
remaja sekarang jauh membutuhkan sikap keterbukaan dan tole-
ransi serta sikap sependeritaan dalam suka dan duka dari gurunya.
Hal yang terpenting, para guru harus meyakinkan bahwa mereka
harus aktif mengekspresikan dunia yang ditampilkan lewat pe-
mentasan. Kegiatan seni drama antar SLTA akan memberikan banyak
manfaat bagi remaja itu sendiri yang haus akan hiburan, dan para
guru akan memperoleh gambaran seberapa jauh tumbuhnya bakat-
bakat bagi siswanya.
Senada dengan hal itu, dalam Timbangan Buku: Kumpulan
Naskah Sandiwara terbitan Teater Muslim Yogyakarta, 1979 (Suara
Muhammadiyah, Thn. ke-60, Januari 1980), MD (redaktur) menge-
mukakan bahwa buku Kumpulan Naskah Sandiwara yang memuat
lima naskah sandiwara televisi karya Pedro Sudjono bersama
dengan Balada Nyawa Saringan (kumpulan puisi) karya Mohammad
Diponegoro itu diterbitkan dalam rangka memperingati ulang tahun
Teater Muslim Yogyakarta dalam usianya yang mencapai 18 tahun.
Dalam artikel itu, MD mengemukakan alasan Teater Muslim untuk

93
menerbitkan naskah drama itu sebagai buku. Hal itu dikarenakan
sudah banyak sandiwara dipentaskan tetapi buku naskah drama
termasuk yang paling sulit didapat di toko buku. Selain itu, pener-
bit juga tidak banyak yang menaruh minat terhadap naskah sandi-
wara, panggung maupun televisi. Padahal kenyataannya, Teater
Muslim selama ini sering kewalahan karena datangnya permintaan
kelompok-kelompok drama di berbagai kota untuk mendapatkan
naskah sandiwara. Sebenarnya naskah semacam itu sudah banyak
tersimpan di bank naskah yang dikelola oleh Dewan Kesenian Ja-
karta, siap untuk dikirim pada siapa saja yang ingin membelinya.
Terutama drama asing yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa
Indonesia.
Umar Kayam dalam esainya yang berjudul Tradisi Baru teater
Kita (Basis, XXIX-12, September 1980, hlm. 366370) menge-
mukakan gagasannya bahwa ada tiga macam teater-kota yang kini
hidup berdampingan dalam satu latar kota, tetapi alangkah ber-
lainan jumlah dan macam khalayak, penonton, penggemar yang
mereka hadapi. Wayang-orang, yang oleh Rendra diduga mempu-
nyai khalayak lebih besar dari khalayak teaternya sendiri, ternyata
juga sedang mengalami krisis khalayak, adalah tetaer-kota yang
agaknya sedang kerepotan menentukan formatnya dalam latar
kota seperti sekarang. Ia dilahirkan dan tumbuh dalam latar kota
yang berlainan sama sekali. Srimulat, teater kota masa kini yang
komersial yang sangat sukses menggalang khalayaknya, adalah
teater yang mungkin sekarang ini paling pas menemukan format-
nya dalam latar kota masa kini. Sedang teater kota kontemporer
seperti Rendra dan sebangsanya, teater yang masih sedikit khala-
yaknya, adalah juga teater yang sedang membentuk formatnya
yang pas. Ia dilahirkan dalam latar kota kontemporer yang sangat
ambivalent orientasi kulturnya. Sementara ia memilih peranan yang
baru dari satu teater dalam kebudayaan baru. Tradisi teater baru
kita akan mungkin ditempuh lewat satu konsep solidaritas dan tra-
disi tidak usah harus hilang dari suatu masyarakat modern sekali-
pun. Berbagai etos, nilai, komitmen hadir juga dalam masyarakat
maju. Dan itu tidak banyak berbeda dengan solidaritas, tradisi,
dan sebangsanya.

94
Sikap memprihatinkan ditunjukkan oleh H. Kesawa Murti
dalam melihat munculnya grup-grup teater remaja saat itu. Dalam
artikelnya yang berjudul Wajah Teater Remaja dan Penempaan
Sikap Berteater (Minggu Pagi, No. 25, Thn. ke-33, 21 September
1980, hlm. 4) Kesawa Murti memberikan komentar bahwa ia me-
rasa ngenes sedih menyaksikan grup-grup tetaer remaja yang baru
tumbuh sudah mulai terserang rasa terpikat oleh keindahan-ke-
indahan luar dan kemewahan angan-angan. Rasa keterpikatannya
itu tumbuh sebagai ciri ambisi yang meledak-ledak. Ini patut disa-
yangkan mengingat bahwa dari semangat dan dorongan itu mem-
perlihatkan perspektif yang positif. Sesungguhnya dorongan itu
dapat dipergunakan sebagai persiapan untuk menuju kepada sikap
berteater. Bukan sebagai obral-obralan predikat. Kenyataan berteater
sungguh berbeda dengan kenyataan yang dilihat dalam angan-
angan. Bisa saja seseorang dapat menjadi seorang aktor maupun
aktris yang berhasil tetapi bisa juga seorang seniman teater yang
gagal. Teater membutuhkan aktivitas, membutuhkan keterlibatan
langsung, membutuhkan kreativitas dan juga banyak membutuh-
kan keberlangsungan individu secara kolektif.
Data lain menunjukkan bahwa kritik terhadap karya (sastra)
berupa komik juga tampak hadir dalam perkembangan sastra di
Yogyakarta pada kurun waktu 19661980. Juliur Pour dalam tulisan-
nya Buku Komik yang Dibenci dan yang Disayang (Semangat,
No. 4, Desember 1971, hlm. 2830) mengemukakan perkembang-
an komik dari awal hingga akhir. Dikatakannya bahwa kata komik
mempunyai arti yang lucu, tetapi akhirnya orang menyebut semua
cerita bergambar dengan istilah cerita komik. Di Indonesia cerita
komik mulai dikenal tahun 1954 ketika seorang penerbit di Ban-
dung, Melodie Komik, mulai membuat cerita-cerita bergambar
berbentuk buku. Sejak itu, komik mulai menyebar ke kota lain walau-
pun ada suara yang menentang tetapi penerbitan komik tetap
berjalan dengan menyisipkan soal-soal ujian dan bahan pelajaran
di samping gambar-gambar yang dihidangkan. Banyak tokoh ko-
mik jagoan yang tidak pernah kalah dan akhirnya perlu dihilang-
kan semacam Siti Gahara dan Puteri Bintang. Selanjutnya tinggal
cerita-cerita komik hasil saduran dari kisah-kisah wayang, sampai

95
akhirnya datang pelukis komik dari Suriname, Taguan Hardjo,
yang memberi nafas baru melalui cerita-cerita yang diterbitkan
dari kota Medan. Buku komik diminati karena terdapat gambar
sehingga orang akan mudah memahami cerita. Buku ini ada yang
menguntungkan dan ada yang merugikan serta berakibat negatif
dalam perkembangan jiwanya. Keadaan itu sebenarnya tergantung
dari penafsiran dan perlakuan pembaca terhadap komik tersebut.
Demikian gambaran ringkas mengenai kritik terhadap karya
(sastra) di dalam khazanah kritik sastra Indonesia di Yogyakarta
pada kurun waktu 19661980. Dari gambaran tersebut dapat
diketahui bahwa kritik terhadap karya sudah menunjukkan perkem-
bangan yang sangat baik, beragam karya sudah dimunculkan wa-
laupun lingkup yang dibahas belum menyeluruh, dalam arti sebagi-
an kritik masih terbatas pada tema dan lingkungan sosialnya.

3.2.3 Kritik Terhadap Penerbit/Pengayom


Tidak berbeda dengan yang terjadi pada masa-masa sebelum-
nya, kritik terhadap penerbit/pengayom pada kurun waktu 1966
hingga 1980 pada umumnya juga ditulis oleh pembaca, baik dalam
bentuk berita, surat pembaca, maupun tulisan atau artikel lepas
lainnya. Tulisan tersebut biasanya berisi kritik, harapan, dan ke-
inginan pembaca atau pihak lain terhadap kelangsungan hidup suatu
media. Kritik tersebut sangat bermanfaat bagi penerbit/pengayom
untuk menjalin komunikasi, memperbaiki diri, memenuhi keingin-
an masyarakat (pembaca), dan meningkatkan kinerja serta memper-
baiki kualitas produk (media) yang dihasilkan.
Dalam tulisan Lawan Pornografis (Semangat, No. 3, Novem-
ber 1968), misalnya, Pendjaga Dapur Masakan Spirit secara tidak
langsung merupakan otokritik, yakni memberikan kritik kepada
Semangat sendiri. Menurutnya, sekarang ini Semangat sudah mema-
suki fase offser dengan banyak mengantongi berbagai kemungkinan
yang amat luas. Karena itu, mampukah para muda-mudi (penge-
lolanya) mengisi kemungkinan yang ditawarkan Semangat? Sebab,
di sisi lain banyak tabloid dan surat kabar yang memaparkan gam-
bar dan tulisan yang bersifat pornografis sehingga meracuni pem-
baca. Kata pornografi tampak hanya untuk memperindah saja. Hal

96
yang terjadi adalah bahwa orang telah melupakan tanggung jawab
moral dengan mengeksploitasi rendahnya nilai untuk mendapat-
kan keuntungan finansial yang tinggi. Maka, mampukah generasi
muda menangkal adanya pemberitaan yang bersifat pornografis?
Pertanyaan yang dilontarkan oleh penjaga dapur spirit itu sebenar-
nya adalah sebuah kritik terhadap para pengelola Semangat sekali-
gus mendukung tindakan Menteri Penerangan Budiardja melarang
terbitnya mingguan pornografis.
Di era sekitar tahun 1979, Ragil Suwarno Pragolapati dalam
tulisan berjudul Antologi Stensil: Masih Punya Iklim dan Musim
(Masa Kini, No. 222. Thn XIII, 15 Januari 1979) menyoroti kehidupan
antologi dalam bentuk stensil (tidak dicetak). Dalam tulisan itu ia
mengemukakan bahwa siapa yang mula-mula membuat antologi
stensil tidaklah dapat dilacak. Tetapi, di sekitar tahun 1955, di bebe-
rapa SMA di Yogya lahir antologi stensil, dan ini mewabah pada
tahun 1970-an, dan diyakini antologi stensil akan terus lahir, terus
dibuat, karena relatif lebih mudah dan murah. Walau hanya dalam
bentuk stensil, penyusun merasa puas karena hal itu berarti karya-
nya telah dibaca orang lain. Melalui tulisan ini tampak bahwa Ragil
sebenarnya berharap kepada para pengayom agar senantiasa mem-
perhatikan penerbitan buku antologi karya sastra.
Sementara itu, di harian Masa Kini, No. 2 Thn. XVI, 16 April
1979, muncul berita tentang harapan digalakkannya penerbitan.
Dalam tulisan berjudul Buku Sastra dan Seni Modern Penerbitan
agar Digalakkan itu dinyatakan bahwa ketika diadakan pelan-
tikan Drs. Soetoyo Gondo menjadi Direktur Utama PN Balai Pustaka
tahun 1979 oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Daoed Joe-
soef untuk mengejar ketinggalan dari negara-negara maju, seku-
rang-kurangnya kita harus berbuat dan melakukan perintisan me-
nuju pelaksanaan kebijaksanaan perbukuan nasional sebagai pe-
nunjang strategi pendidikan nasional. Oleh sebab itu, Balai Pustaka
diharapkan menjadi pendukung usaha penerbitan buku sastra dan
seni modern.
Agak berbeda dengan tulisan di atas, dalam tulisan berjudul
Menengok Perkembangan Majalah di Indonesia (Minggu Pagi,
No. 3, 24 April 1977) Zan Zappha Group memaparkan perkem-

97
bangan majalah di Indonesia. Dikatakan bahwa pers di Indonesia
boleh bebas tetapi harus bertanggung jawab. Keadaan ini tidak
dapat ditunjang oleh wartawan yang hanya menjadi tukang lapor
seperti yang banyak dipunyai oleh media saat ini. Menurutnya,
tahun 1976 merupakan tahun penurunan oplag majalah-majalah.
Beberapa majalah lenyap dari peredaran alias mati. Faktor penye-
babnya adalah urusan di luar penerbitan dan isi, misalnya daya
beli masyarakat yang menurun, di samping faktor manajemen, mar-
keting, kepemimpinan, dan orang di balik layar. Oleh sebab itu,
menurutnya, mengelola majalah haruslah profesional, bertang-
gung jawab, dan tidak semata menuruti selera rendah pembaca.
Managing editor majalah Semangat menulis dalam Opini
Tokoh-Tokoh Penting (Semangat, No. 11, Agustus 1980), bahwa
di Cipanas, November 1979, Yulius R. Siyaranamual menyerukan
bahwa Indonesia butuh majalah-khusus untuk membina calon-
calon pengarang/sastrawan/kader pengarang ilmiah/popular.
Dikatakan pula bahwa majalah Semangat cukup serius dalam mem-
bina/mengasuh para kader pengarang. Sebab, setiap naskah yang
masuk selalu diberi surat kritik, ulasan, penilaian, dan komentar
oleh pengasuhnya. Namun, sebaliknya, The Eng Gie mengutarakan
bahwa kader pengarang tidak diperlukan dan sebaiknya dihentikan
dengan alasan memakan biaya karena para kader tidak mau mem-
bantu redaksi terutama dalam bidang finansial, misalnya memberi-
kan perangko balasan. Bahkan pada tahun 1979, Departemen P &
K memberi penilaian bahwa Semangat bukan lagi majalah pendi-
dikan tetapi sudah bercorak majalah umum, padahal tahun 1973/
1973 telah memberikan pujian dan penghargaan resmi. Sedangkan
Lembaga Pers dan Pendapat Umum Kanwil Departemen Penerang-
an Yogyakarta masih melihat Semangat tetap setia melestarikan
dedikasinya, tabah menghadapi tantangan dan kesulitan. Beberapa
tokoh penting berpendapat Semangat sudah berhasil menjadi media
komunikasi dan solidaritas kaum muda. Hanya saja dari segi finan-
sial sungguh memilukan. Komentar dan opini orang-orang penting
juga banyak yang tidak dimuat di sini karena sifatnya off the record,
tidak boleh dipublikasi dan dinikmati pembaca, tetapi bagi redaksi
menjadi sumber kritik dan input yang sangat perlu dipertimbangkan.

98
Memasuki tahun 1980, redaksi Basis, Thn. XXX-1, sesuai Hasil
Angket Basis Tahun 1980, memaparkan bahwa Basis disarankan
untuk memuat cerpen dan cerbung. Sebab, selama ini karya sastra
tampaknya tidak atau kurang diperhatikan pemuatannya. Hasil
angket ini menunjukkan siapa pembaca Basis dan rubrik apa saja
yang disukai atau tidak disukai. Pembaca Basis umumnya adalah
dosen, guru, mahasiswa, siswa, rohaniwan, pegawai negeri, pegawai
swasta, ABRI, wartawan, wiraswasta, dll. Sementara, jumlah pem-
baca topik sastra, seni, dan bahasa menempati urutan ke-4 dari 12
topik yang ada. Hanya saja, di sini tidak dijelaskan seni apa saja
yang dibaca (disukai) oleh pembaca sehingga tidak jelas pula sebe-
narnya pembaca sastra Indonesia.
Kritik serupa tampak pula dalam Surat-Surat Pembaca.
Dikatakan dalam Semangat, No. 7, Maret 1972 bahwa Semangat ba-
nyak memuat foto sehingga terkesan menjurus ke arah majalah
foto. Selain itu, penulis surat itu juga bertanya mengapa Semangat
edisi Januari 1972 tidak ada ruangan sahabat pena. Sementara itu,
dalam terbitan No. 9, Mei 1972 muncul surat yang mempertanya-
kan mengapa Semangat edisi Februari 1972 tidak ada rubrik Puisi
Bersemi. Padahal, rubrik itu sangat dinanti banyak pembaca.
Apakah hal ini disebabkan oleh tulisan Emmanuel Subangun ber-
judul Membunuh Puisi-Puisi Jelek yang dimuat Kompas 5 Januari
1972? Sementara itu, Ragil Suwarno Pragolapati mendapatkan
pujian dalam surat pembaca Semangat, No. 9, Mei 1980. Dikatakan
dalam surat itu bahwa mereka merasa puas dan bangga karena
ada bimbingan yang diberikan oleh Pragolapati dalam mengasuh
cerpen-cerpen para pemula. Tercermin dari pujian itu bahwa lang-
kah redaksi Semangat adalah tepat sehingga hal itu harus diterus-
kan.
Tidak berbeda dengan tulisan di atas, kritik kepada penerbit
juga disampaikan melalui surat. Dalam Semangat, No. 4, Desember
1968 Suster Franceline melalui surat pembaca menyatakan kebe-
ratan atas pemuatan cerpen berjudul Di Teras Panti Rapih pada
terbitan November. Sebab, menurutnya, cerpen yang mencantum-
kan nama Suster Franceline pada akhir karangan itu dirasa dapat
menyinggung perasaan dan dapat mengakibatkan salah tanggap

99
dari para pembaca karena tanpa diberi kata pengantar apa pun.
Padahal, menurutnya, karangan itu tidak nyata sama sekali.
Sementara itu, Yunus Mukri Ali melontarkan kritik melalui rubrik
dialog (Basis, Thn. XXVI, Oktober 1976). Yunus menyatakan, karya
Arifin C. Noor dan cerpen G. Tasimba berjudul Perkawinan di
Atas Kuda yang dimuat Basis belum memenuhi standard estetika
sastra, tetapi hanya sebagai gejala fantasi belaka. Maka, ia menyaran-
kan agar redaksi hendaknya selektif dalam memuat karya sastra.
Tentu hanya karya yang baik yang ditampilkan, bukan asal karya
saja.
Kritik yang hampir serupa datang dari Darwis Khudori dalam
Suara Muhammadiyah, No. 7, Thn. ke-55, April 1975. Melalui surat
pembaca berjudul Cerpen Mana, Cerpen Siapa? Darwis menyam-
paikan kritik bahwa selama ini Suara Muhamadiyah hanya memuat
cerpen karya orang itu-itu saja (Mohamad Diponegoro, Adjib, dan
Abdulhadie). Karena itu, ia kemudian bertanya, apakah memang
tidak ada penulis lain? Sementara itu, masih di Suara Muhamma-
diyah (No. 2, Januari 1973), S. Tirtoatmodjo menulis kritik sekaligus
mengusulkan agar Suara Muhammadiyah memperbanyak rubrik,
misalnya filsafat, ilmu pengetahuan, seni-budaya, agama, dan
ekonomi. Usulan yang sama juga datang dari Joko Susilo dalam
Suara Muhammadiyah, No. 21, Oktober 1975. Ia mengusulkan bahwa
hendaknya majalah ini menambah ruang untuk kreativitas remaja.
Akan tetapi, anehnya, dari hasil angket SM tahun 1975 (Suara Mu-
hammadiyah, No. 12, 1976) ada sebagian pembaca (10%) yang meng-
hendaki agar rubrik cerpen dihilangkan. Namun, ada pembaca
yang mengusulkan agar Suara Muhamadiyah selalu memuat puiti-
sasi terjemahan alquran karena bisa menjadi ciri khas majalah. Sebab,
katanya, tanpa terjemahan Alguran, SM tidak terasa ada artinya.
Bahkan, kalau memungkinkan dimuat juga puitisasi terjemahan
Hadits.
Kritik dan usulan terhadap perbaikan kinerja penerbit/penga-
yom tampak pula dalam surat pembaca (Semangat, No. 10 Juni
1980). Usulan itu, antara lain, Semangat hendaknya (1) menambah
jumlah halaman, tetapi harga jangan terlalu tinggi seperti sekarang
Rp300,00 melainkan cukup Rp250,00; (2) pemuatan profil-

100
profil tokoh hendaknya diselang-seling, misalnya Affandi, tukang
parkir, Rendra, tukang ukir, Bagong Kussudiarjo, sopir colt-kam-
pus, Wisnu Wardhana, kusir andong, Sukaji Ranuwiharja, bakul
gudeg, Pater Dick Hartoko, calo stanplat, dan lain-lain; (3) menam-
pilkan Resensi Kegiatan Seni Budaya; dan (4) membuka rubrik
Mahasiswa Bicara dalam pembicaraan yang logis, kritis, dan
kreatif, karena Yogyakarta adalah gudang mahasiswa.
Dalam rubrik yang sama (Semangat No. 1, September 1970)
pembaca memberikan kritik tentang sampul dan isi. Banyak pem-
baca menginginkan sampul luar sebaiknya berwarna terang, jangan
yang gelap. Cerita-cerita yang kurang bersemangat dan kurang
enak dibaca tidak usah dimuat, seperti Surat Dari Osaka dan
Seni Murni. Sementara itu, dalam terbitan No. 10, Juni 1971,
Semangat mendapat kritik karena menggunakan huruf terlalu kecil
sehingga sulit dibaca oleh orang tua, di samping ada saran agar
peredaran majalah ini jangan terlambat. Sedangkan dalam edisi
No. 2, Oktober 1971, oleh pembaca, Semangat sekarang dinilai ter-
lalu tipis, kurang enak dipegang. Bagaimana kalau ditambah hala-
mannya dan harganya dinaikkan agar tambah baik? Pembaca bosan
dengan lukisan gadis mini idjo yang selalu menghiasi ruang KS.
Apakah tidak ada rencana untuk menggantinya? Itulah pertanyaan
sekaligus kritikannya. Selain itu, dalam edisi 5 Januari 1972, ada
kritik yang menyatakan bahwa pembaca Semangat kecewa karena
pada edisi November 1971 tidak ada Plumoo si Indian Urakan,
padahal 57% pembaca menginginkannya.
Dalam rubrik Yang Berceceran (Semangat, No. 11, Agustus
1980) muncul permintaan bahwa agar pembaca setia kepadanya
redaksi hendaknya memberi bonus, misalnya antologi prosa puisi,
kalender, album tahunan, edisi ekstra. Selain itu, hendaknya Semangat
juga menurunkan harga langganan dan menambah jumlah hala-
man. Namun, jawaban redaksi, hal ini sulit dipenuhi karena sejak
15 Nopember 1978 harga kertas sudah naik berlipat ganda dan
biaya produksi melonjak. Penerbit juga mengalami defisit per
bulan Rp18,00 untuk prangko balasan kepada pembaca. Semangat
juga lemah dalam pemasaran sehingga sulit didapatkan di kota-
kota lain. Penyebaran Semangat hanyalah lewat langganan pusat,

101
sekolah-sekolah Katolik, Seminari, Paroki/Gereja, Asrama-asrama,
kenalan, dan kolega. Tidak ada operasi penjualan secara terbuka
karena makan banyak biaya, tenaga, dan waktu. Menurut obser-
vasi para ahli, dengan keadaan ini seharusnya Semangat sudah gu-
lung tikar sejak 1977, tetapi berkat upaya keras dan kerja sama yang
baik dari redaksi, pembaca, agen, pecinta, dan pelanggan, Semangat
bisa mencapai usia seperempat abad.
Sementara itu, majalah Suara Muhammadiyah mendapat ma-
sukan tentang sirkulasi majalah yang sering terlambat dan tidak
lancar. Ada kalanya datang, ada kalanya tidak. Tiap tahunnya yang
datang hanya kurang lebih 50%. Pembaca meminta agar sirkulasi
majalah Suara Muhammadiyah lebih diperhatikan. Kritikan ini
berasal dari S. Kartamiharja, Tjicateum Dajeuhluhur, Majenang,
Jateng, yang dimuat dalam rubrik Pembaca Menulis (Suara Muham-
madiyah, No. 11, Th. ke-52, Juni 1972). Sementara itu, dari pihak
penerbit dalam upaya mempertahankan kelangsungan hidupnya,
Suara Muhammadiyah memasuki tahun 1974 mengumumkan
kenaikan harga (dari Rp100,00 menjadi Rp125,00) dengan pertim-
bangan agar terus dapat menjalankan roda kehidupannya. Peng-
umuman ini dimuat di Suara Muhamadiyah, No. 23, Desember 1974.
Hal yang sama dilakukan pula oleh Basis pada tahun 1978, yakni
harga eceran menjadi Rp25,00 dan harga langganan menjadi
Rp1.800,00.
Demikian selintas munculnya beberapa kritik terhadap be-
berapa media massa cetak di Yogyakarta yang menjadi media publi-
kasi karya-karya sastra Indonesia. Kritik yang disampaikan cukup
beragam, dalam arti tidak hanya berkaitan dengan keberadaan
sastra, tetapi juga berkaitan dengan hal-hal lain yang pada intinya
penerbit atau pengayom diharapkan dapat memenuhi keinginan
pembaca, termasuk pembaca sastra Indonesia. Dalam konteks
kehidupan media, yang berarti juga konteks perkembangan isi
termasuk sastra, kritik ini dirasa sangat penting karena dengan
demikian media tersebut dapat berperan lebih baik dalam mela-
yani atau menjangkau masyarakat pembaca.

102
3.2.4 Kritik Terhadap Pembaca
Tidak jauh berbeda dengan kritik terhadap penerbit/penga-
yom, kritik terhadap pembaca juga mencakupi berbagai hal, di
antaranya ialah tidak adanya perhatian pembaca terhadap sastra
dan atau pengarang, lemahnya daya beli masyarakat (pembaca),
dan terabaikannya fungsi dan peran sastra dalam kehidupan ber-
masyarakat.
Ahar dalam esainya Membaca Poesi Terjemahan: Menyam-
but The Complete Poetry and Prose of Chairil Anwar (Basis, Thn. XX-
1, Oktober 1970, hlm. 185191) mengemukakan kritiknya pada
pembaca yang menganggap bahwa terjemahan-terjemahan Burton
Raffel terhadap sajak-sajak Chairil Anwar terlalu bebas. Ia menya-
rankan jangan buru-buru mengklaim terjemahan itu buruk atau
kurang baik. Sebab, menurut Burton, terjemahan yang baik adalah
keagungan bahasa poesi yang diterjemahkan ke dalam bahasa baru-
nya, bukan keagungan atau keampuhan bahasa aslinya. Bagaimana-
pun juga, Burton masih tetap sadar akan adanya perbedaan antara
penterjemah dan penyair. Penyair, selama dia seorang penyair da-
lam arti yang sesungguhnya, bukanlah milik suatu masa tertentu,
melainkan milik segala zaman. Sebaliknya, seorang penerjemah
datang dari kalangan pembaca yang terbatas pada zamannya
sendiri. Dengan begitu, karena setiap zaman mempunyai pandang-
an tersendiri tentang keagungan karya-karya Homerus, Horatius,
Sappho, Chairil Anwar, dan seterusnya, setiap zaman haruslah
menerjemahkan karya-karya tersebut untuk pemuasan zamannya
sendiri. Kenyataan inilah yang oleh Burton di dalam artikel terse-
but disebut sebagai sekaligus hukuman dan anugerah bagi setiap
terjemahan yang berhasil, sebab poesi terjemahan, kalau bukan poesi
yang lahir kembali, hanyalah omong kosong belaka.
Kedekatan hubungan agama dengan sastra ditunjukkan oleh
Th. Koendjono dalam tulisan Agama dan Sastra (Basis, XX-1,
Oktober 1972, hlm. 354356,382) yang disampaikan dalam cera-
mah di FSK UGM pada Pekan Ilmiah FSK, Januari 1971. Dalam
tulisan itu Th. Koendjono mengemukakan pendapatnya bahwa
bagi kesenian, agama adalah sumber inspirasi untuk segala bidang
kesenian: seni bahasa, seni musik, seni patung, seni tari, dan seni

103
drama. Bahkan, bagi beberapa bangsa, untuk beberapa bidang
kesenian itu, agama adalah tempat kelahirannya. Sebaliknya, ke-
senian adalah cara pengungkapan untuk religius experience dan jiwa
beragama yang wajar, yang sederajat, dan yang tepat. Keduanya
(agama dan sastra) mempunyai kaitan yang erat dalam kehidupan
manusia, kerja samanya dalam sejarah, dan di masa depan.
Tan Lelana dalam tulisannya Suara Muhammadiyah Mema-
suki Tahun ke-53 (Suara Muhammadiyah, No. 1, Thn. ke-53, Januari
1973) mengemukakan kritiknya terhadap pembaca pada umum-
nya, bukan pembaca sastra pada khususnya. Namun, dengan kritik
semacam itu, berpengaruh juga pada pembaca sastra, sebab pem-
baca sastra juga implisit menjadi pembaca umum majalah Suara
Muhammadiyah.
Kritik terhadap pembaca yang dapat dikatakan cukup pedas
karena kekurangpengetahuan atau pengenalan mereka terhadap
sastra disampaikan oleh Noeng Runua M. dalam tulisannya Sastra
Itu Omong Kosong (Pelopor, No. 263, 16 September 1978, hlm. 4).
Lewat tulisan tersebut ia menyatakan masih ada anggapan dari
masyarakat pada umumnya bahwa sastra hanyalah lamunan,
khayalan, impian, dan omong kosong. Terbukti sastra cukup
tersisih meski tidak sepenuhnya dari kehidupan mereka.
Novel-novel serius dan kumpulan-kumpulan puisi tinggal berdebu
di toko-toko. Banyak orang tertawa ketika diajak omong tentang
sastra. Bahkan sampai ada yang menertawakan seseorang yang
tengah membawa majalah Horison. Anehnya, sebagian dari yang
berkata demikian adalah orang-orang yang cukup bisa berpikir
dan cukup berpengetahuan (berpendidikan). Hal itu, katanya, ba-
rangkali disebabkan oleh belum cukup pengetahuan atau penge-
nalannya terhadap sastra. Belum banyak buku-buku sastra yang
dibacanya. Belum pernah mencoba membaca karya dengan penuh
penghayatan dan terbebas dari prasangka buruk sehingga sangat
tipis apresiasi sastranya. Anggapan demikian bisa juga muncul
dari orang-orang yang baru membaca karya novel-novel pop atau
hiburan, cerpen main-main, karya-karya ringan yang tidak berpikir
tentang bobot. Karya yang menyinggung hidup hanya dapat kulit
luarnya belaka. Karya-karya semacam itu kebanyakan dimuat di

104
majalah-majalah hiburan atau diterbitkan oleh penerbit-penerbit
komersial. Kebanyakan yang menulis karya-karya semacam itu
adalah para remaja yang baru mulai menulis atau pengarang-penga-
rang senior yang menulis dengan pamrih mencari uang semata.
Jakob Soemarjo dalam Majalah Poestaka Nomor 4, tahun 1978 juga
mengatakan bahwa di Indonesia, karya-karya semacam itu justru
banyak sekali diterbitkan dan banyak pula penggemarnya, ter-
utama para remaja dan ibu-ibu yang masih terpukau oleh liuk-liuk
romantisme asmara.
Sementara itu, esai berjudul Seni, Pada Dasarnya Menuju
ke Kesempurnaan karya Marsudi Asti (Masa Kini, No.235, Thn.
XIII, 12 Februari 1979) berbicara tentang seni pada umumnya, bu-
kan khusus sastra. Dalam esai itu penulis menekankan bahwa seni
pasti bertujuan, yaitu mencapai kesempurnaan (bagi pembaca).
Meskipun sempurna itu tidak ada akhirnya, tetapi kesempurnaan
tetap harus diraih dan diusahakan. Sebab, pada hakikatnya, seni
menyesuaikan pada tujuan manusia (pembaca). Sedangkan A.
Teeuw dalam esainya berjudul Tentang Paham dan Salah Paham
dalam Membaca Puisi (Basis, Thn. XXIX-2, November 1979) menge-
mukakan penjelasannya tentang bagaimana seharusnya membaca
puisi khususnya dan sasra pada umumnya. Katanya, dalam mem-
baca sastra, kita (pembaca) tidak bisa lepas dari konvensi bahasa,
sastra, dan budaya. Sebab, latar belakang pembaca berbeda-beda,
tentulah karya yang sama akan sangat mungkin berbeda penafsir-
annya.
Di samping itu, tercermin dari Hasil Angket Suara Muhamma-
diyah Tahun 1975 (Suara Muhammadiyah, No. 2, Tahun 1976, hlm.
31), redaksi Suara Muhammadiyah berhasil mengumpulkan isian
angket dari para pembaca. Namun sayang, jawaban angket yang
diterima tidak cukup banyak sehingga hasilnya belum bisa diang-
gap memadai untuk dijadikan dasar mengetahui apa yang diingin-
kan oleh pembaca. Namun, dari sekian banyak angket yang masuk
dapat ditangkap bayangan apa selera pembaca. Dari sekian ba-
nyak penjawab hanya 4% wanita. Seluruh penjawab berusia lebih
dari 17 tahun dan 23% darinya berpendidikan lebih dari SMA atau
yang sederajat. Rubrik yang paling digemari pembaca dan

105
menempati urutan ke-1 dari 12 topik yang ada adalah Tafsir Wah-
yu Illahi. Sedangkan pembaca topik sastra (Puitisasi Terjemahan
Alquran) menempati urutan ke-9 dari 12 topik yang ada, dan cer-
pen mendapat penilaian jelek dari pembaca. Penilaian itu dapat
diartikan sebagai penilaian mengenai mutu tulisan tetapi juga
kecenderungan untuk menyukai atau tidak menyukai rubrik yang
bersangkutan. Untuk rubrik Seni dan Budaya hal itu masih me-
rupakan usulan dan saran dari pembaca untuk tulisan yang perlu
ditambahkan pada penerbitan berikutnya.
Selanjutnya, melalui tulisan Hasil Angket Basis Tahun 1980
(Basis, Thn. XXX-1, 1980, hlm. 2526), pengasuh Basis menunjuk-
kan siapa pembaca Basis dan rubrik apa saja yang disukai atau
tidak disukai. Pembaca Basis adalah dosen atau guru, mahasiswa
atau siswa, rohaniawan, pegawai negeri, pegawai swasta, abri,
wartawan, wiraswasta, dan lain-lain. Sementara, jumlah pembaca
topik sastra, seni, dan bahasa menempati urutan ke-4 dari 12 topik
yang ada. Hanya saja, di sini tidak dijelaskan seni apa saja yang
dibaca (disukai) oleh pembaca sehingga tidak jelas pula sebenarnya
pembaca sastra Indonesia.

3.2.5 Kritik Terhadap Kritik


Tampak bahwa kritik atas kritik agaknya sudah menjadi bagi-
an tak terpisahkan dari kehidupan kritik sastra Indonesia, termasuk
kehidupan kritik sastra Indonesia sebagaimana tergambar dalam
beberapa media massa cetak yang terbit di Yogyakarta. Kritik
semacam itu pada umumnya berupa tanggapan atas tanggapan
sehingga terjadi polemik. Hal ini tidaklah aneh karena hal serupa
pernah terjadi pada masa-masa awal kehidupan sastra Indonesia,
misalnya pada masa Pujangga Baru yang dipelopori oleh Sutan
Takdir Alisjahbana.
Di harian Masa Kini, No. 38, Thn XIV, 9 Juni 1979, misalnya,
Tarseisius menulis artikel berjudul Merindu Bikin Malu. Artikel
itu mengungkapkan kritiknya atas kritik yang disampaikan oleh
Ragil Suwarno Pragolapati yang dimuat di Masa Kini edisi 2 Juni
1979. Menurutnya, kurang pada tempatnyalah Ragil mengkultus-
kan seorang tokoh, lebih-lebih jika kebesaran tokoh itu hanya

106
diukur dari aktivitas dan kreativitasnya saja. Sebab, masih banyak
hal yang perlu dipertimbangkan jika menilai seseorang, misalnya
bagaimana karya-karyanya selama ini, apalagi jika orang itu kelak
akan dijadikan contoh atau panutan. Karena itu, menurut Tarsei-
sius, mengkultuskan seseorang harus sangat hati-hati.
Hal senada tampak pula dalam tulisan Menjadi Kritikus Ce-
rita Anak Tidak Mudah (Masa Kini, 9 April 1979). Tulisan anonim
ini sebenarnya merupakan kritik atas lemahnya tulisan-tulisan kritik
terhadap cerita anak yang berkembang dewasa ini. Karena itu,
dalam tulisan itu ditekankan bahwa dalam mengkritik cerita anak,
kedudukan dan usia anak harus diperhatikan. Setelah itu, melalui
tulisan itu penulis juga mengajak agar para pengarang mencoba
mengarang dan juga menulis kritik atas cerita anak. Sebab, anak-
anak adalah generasi masa depan yang perlu diberi kesempatan
yang luas sehingga mereka mampu menghadapi tantangan.
Berbeda dengan tulisan di atas, tulisan Bambang Sadono Kritik
Sastra oleh Siapa Saja (Pelopor, No. 23, 12 Oktober 1978) mencoba
menyoroti kompetensi kritikus. Menurutnya, kompetensi kritikus
perlu ditingkatkan sebelum ia melakukan kritik atau apresiasi ter-
hadap suatu karya. Sebab, ia melihat, selama ini banyak orang meng-
anggap bahwa kritikus hanya sebagai pengontrol dan pencaci maki
daripada menempatkan fungsi dan tujuan dalam kritiknya. Karena
itu, katanya, menulis kritik tidak cukup hanya bermodal itikad baik
saja, tetapi juga harus matang dalam memberikan pertimbangan.
Akhirnya, Bambang Sadono menegaskan bahwa tujuan kritik ada-
lah membangun karya yang telah ada dan bukan mengarahkannya
ke hal-hal lain.
Masih berkaitan dengan hal di atas, Em Es dalam tulisannya
Kritikus Yogyakarta Apa Kabar? (Minggu Pagi, No. 17, 27 Juli
1980) mengemukakan tanggapan Rendra tentang kompetensi kriti-
kus. Dikatakan bahwa Rendra menyatakan di Indonesia belum
ada kritikus murni, artinya orang yang betul-betul hidup dari tulis-
an kritiknya. Khususnya teater, Rendra sampai sekarang tidak
melihat siapa yang bisa dikategorikan sebagai kritikus. Kritik di
Indonesia selalu cemplang-cemplung, ampas. Untuk Yogya, sebagai
kota budayawan dan seniman, dibutuhkan pengamat seni yang

107
baik untuk menstimulasi perkembangan kesenian di Yogya. Menu-
rutnya, menulis kritik bukan sekedar menulis rasa ketidakenakan
pribadi tetapi menyangkut beberapa aspek kriterium, seni, social,
dan budaya. Banyak persoalan yang harus dihadapi kritikus. De-
ngan kata lain, profesionalisme kritikus erat hubungannya dengan
kompetensi yang dimilikinya.
Sementara itu, Bakdi Soemanto dalam tulisannya Pledoi Sajak-
Sajak Remaja Mutakhir (Semangat, No. 7, Maret 1975) melontarkan
kritik atas kritik Muhammad Ali terhadap karya para penyair muda
pada pertemuan sastrawan se-Indonesia ke-2 di Taman Ismail
Marzuki, Jakarta. Menurut Bakdi, Ali mengatakan, bahwa
puisi-puisi kontemporer merupakan puncak tragedi bagi puisi
umumnya dalam pelantunannya dari masa ke masa, di pihak
lain terdapat pula dugaan yang melibatkan eksistensi kepenyairan
ke dalam kasus ini bahwa penyair-penyair kita dewasa ini tiada
lagi memiliki kepekaan dan kesadaran puitika sebagaimana pernah
dipunyai oleh penyair-penyair sebelumnya. Selanjutnya, diban-
dingkan dengan novel roman, puisi terasa lebih parah lagi keadaan-
nya. Pemilihan judul, penyusunan bentuk pemakaian gatra-gatra
dan simbol-simbol dan pencerapan objek-objek lebih menjurus ke-
serba-kinian. Menurut Bakdi, sikap Ali sangat disayangkan kare-
na dasar pijak Ali berbicara tidak jelas, apakah berbekal pelajaran
mengenai perkembangan sajak-sajak itu ataukah hanya melihat
gelaja yang dihadapinya saja.
Demikian paparan singkat mengenai kritik atas kritik dalam
khazanah kritik sastra Indonesia di Yogyakarta. Sebenarnya, kritik
serupa jumlahnya masih cukup banyak, dapat disebutkan, misal-
nya Persoalan Langit Makin Mendung (Minggu Pagi, No. 12, 21
Juni 1970) karya Ita Rahayu, Sastra dalam Ketegangan antara
Tradisi dengan Pembaharuan (Basis, Juni 1978) dan Tentang Paham
dan Salah Paham dalam Membaca Puisi (Basis, November 1979)
karangan A. Teeuw. Hanya saja, kritik dalam beberapa esai ini tidak
secara eksplisit menanggapi kritik orang lain atas karya sastra,
tetapi kritik atas kebiasaan atau tradisi membaca, memahami, meng-
apresiasi, dan meneliti yang pada hakikatnya juga merupakan
kritikkarya sastra.

108
BAB IV
PENUTUP

Seperti halnya kritik sastra Indonesia pada umumnya, kritik


sastra Indonesia di Yogyakarta tahun 1966 hingga 1980 pun hidup
secara wajar. Akan tetapi, jika dibandingkan dengan kehidupan
kritik sastra Indonesia pada kurun waktu sebelumnya (1945
1965), kehidupan kritik sastra Indonesia pada kurun waktu ini lebih
menunjukkan adanya perkembangan yang berarti walaupun keha-
diran karya-karya kritik sastra itu masih tetap didukung oleh media
publikasi (media massa cetak) yang sama dengan media publikasi
pada kurun waktu sebelumnya.
Dari analisis terhadap dinamika kritik sastra Indonesia di
Yogyakarta tahun 19661980 dapat dinyatakan bahwa kritik
sastra Indonesia yang berkembang di Yogyakarta dipengaruhi oleh
situasi secara nasional, yakni era Orde Baru yang disertai dengan
semakin baik dan tertatanya sistem sosial, ekonomi, politik, dan
budaya. Pertumbuhan kritik sastra Indonesia itu juga ditopang
oleh terjadinya mobilitas sosial yang dinamis sejak 1950-an yang
ditandai oleh banyaknya calon-calon intelektual datang ke Yog-
yakarta yang kemudian membangun berbagai komunitas budaya,
sastra, dan pers (penerbitan) baik di perguruan tinggi maupun lem-
baga-lembaga swasta.
Tampak pula bahwa terbangunnya tradisi kritik sastra Indo-
nesia di Yogyakarta dipengaruhi oleh identitas Yogyakarta sebagai
kota pelajar, kota pendidikan, kota wisata budaya. Para kritikus

109
yang berperan pun tidak hanya berasal dari Yogyakarta, tetapi
juga yang justru lebih banyakorang-orang dari berbagai kota
di Indonesia yang tinggal di Yogyakarta. Seperti halnya pada masa-
masa sebelumnya, kehidupan kritik sastra Indonesia itu juga masih
memiliki ketergantungan yang kuat pada media massa (majalah
dan surat kabar).
Dari analisis terhadap jenis kritik yang tumbuh dan berkem-
bang di Yogyakarta dapat dinyatakan bahwa kritik sastra Indonesia
di Yogyakarta pada kurun waktu tahun 19661980 tetap didomi-
nasi oleh jenis kritik sastra yang bersifat umum atau impresionistik;
hal tersebut disebabkan oleh media publikasi yang memuat karya-
karya kritik itu ialah media massa umum (populer, bukan media
ilmiah) walaupun beberapa di antara media tersebut berlabel se-
bagai media kebudayaan. Sebagai media massa umum, tulisan-
tulisan (karya kritik) yang dimuat dituntut untuk memenuhi persya-
ratan sesuai dengan kriteria yang ditentukan oleh media massa
umum. Bahkan, kecenderungan dominannya kritik impresionistik
juga diperkuat oleh adanya kritik yang tulis dan dipublikasikan dalam
rubrik surat pembaca, kronik, resensi buku, dari redaksi,
varia budaya, skets masyarakat, dan sejenisnya, yang sesung-
guhnya rubrik-rubrik tersebut tidak dimaksudkan sebagai ruang
untuk kritik sastra.
Berdasarkan pengamatan terhadap orientasi kritiknya, karya-
karya kritik sastra Indonesia yang berkembang di Yogyakarta pada
tahun 19661980 menunjukkan variasi orientasi (pendekatan);
dalam arti karya-karya kritik tersebut tidak hanya menyoroti ma-
salah yang berkaitan dengan sistem makro, yakni sistem di luar
sastra yang berkaitan dengan pengarang, penerbit/pengayom,
pembaca (masyarakat penikmat), dan kritik itu sendiri, tetapi juga
telah mengarah pada sistem mikro yang berkaitan dengan karya
sastra terutama puisi, cerpen, novel, dan drama (sandiwara).
Secara kuantitas, karya-karya kritik yang mempersoalkan hal-
hal di luar sastra, terutama kritik terhadap pengarang, tidak lagi
mendominasi seperti yang terjadi pada kurun waktu sebelumnya.
Sebab, pada kurun waktu ini, yang paling dominan adalah karya-
karya kiritik terhadap karya sastra; hal demikian berarti bahwa

110
pada masa 19661980 pengertian tentang hakikat kritik sastra
adalah kritik terhadap karya sastra sudah sepenuhnya disadari
sepenuhnya oleh para kritikus. Namun, seperti terjadi pada masa
sebelumnya, sebagian besar kritik terhadap hal-hal di luar sastra
itu pun cenderung tidak terfokus orientasinya; hal itu terjadi karena
di dalam kritik itu subsistem pengarang, penerbitan, masyarakat
pembaca, bahkan hal-hal teknis dalam pementasan dibicarakan
sekaligus. Jadi, kritik sastra yang terbit di media massa pada saat
itu tidak memiliki fokus perhatian yang jelas. Kendati demikian,
hal itu wajar karena kecenderungan kritik umum memang demi-
kian.
Secara kualitas, karya-karya kritik yang lahir dan berkembang
pada masa 19661980 sebagian telah menunjukkan kualitas yang
memadai, dalam arti bahwa kritik yang disampaikan telah meng-
arah pada hal-hal yang lebih substansial. Kritik dengan kualitas
yang demikian yang memberikan kontribusi besar bagi perkem-
bangan kritik sastra khususnya dan perkembangan sastra Indone-
sia umumnya. Hanya saja, kritik yang berkualitas itu hanya mun-
cul di majalah, di antaranya Basis dan Semangat, sedangkan surat
kabar seperti Minggu Pagi, Kedaulatan Rakyat, dan Masa Kini didomi-
nasi oleh karya-karya kritik yang kualitasnya rendah.
Akhirnya, secara keseluruhan, dapat disimpulkan bahwa kritik
sastra Indonesia di Yogyakarta pada kurun waktu 19661980 tum-
buh secara wajar bersamaan dengan pertumbuhan karya sastra
Indonesia. Namun, jika dibandingkan dengan pertumbuhan karya
sastra itu sendiri, khususnya puisi dan cerpen, kritik sastra tetap
masih jauh ketinggalan. Pada masa itu teori-teori pengkajian sastra
sebenarnya telah berkembang di berbagai perguruan tinggi. Akan
tetapi, perkembangan teori itu tampaknya belum dibarengi oleh
tradisi tulis kritik yang kuat. Oleh karena itu, tradisi kritik sastra
di Yogyakarta kurang berkembang pesat.

111
112
DAFTAR PUSTAKA

Abrams, M.H. 1981. (Fourth Printing). A Glossary of Literary Terms.


New York: Holt, Rinehart, and Winston.
Damono, Sapardi Djoko. 1998/1999. Kritik Sastra Jawa. Bahan
diskusi untuk Penyusunan Buku Pintar Sastra Jawa di Wisma
Argamulya, Tugu, Bogor, 35 Maret 1999.
de Vries, Egbert. 1985. Pertanian dan Kemiskinan di Jawa. Jakarta:
Yayasan Obor dan Gramedia.
Harnoko, Darto dkk. 2003. Demokrasi dalam Perjalanan Sejarah: Studi
Kasus di DIY 1945Awal Reformasi. Yogyakarta: Balai Kajian
Sejarah dan Nilai Tradisional.
Hasyim, Mustofa W. dan Iman Budhi Santoso (ed). 1997. Begini Begini
dan Begitu. Antologi Sastra Yogyakarta. Yogyakarta: Panitia
Festival Kesenian Yogyakarta IX-1997, Seksi Sastra Indonesia.
Hutagalung, M.S. 1975. Kritik Atas Kritik Atas Kritik. Jakarta: Tulila.
Iser, Wolfgang. 1980. Interaction between Text and Reader. In
Susan R. Suleiman and Inge Crosman (ed.). The Reader in the
Text. Princetown: Princetown University Press.
. 1987 (Fourth Printing). The Act of Reading: A Theory of
Aesthetic Response. Baltimore: Johns Hopkins University Press.
Jassin, H.B. 1954. Kesusastraan Indonesia Modern dalam Kritik dasn
Esai. Jakarta: Gunung Agung.
Jauss, Hans Robert. 1974. Literary History as a Challenge to Literary
Theory. In Cohen, Ralp (ed.). New Direction in Literary History.
London: Routledge & Kegan Paul.
Kuntowijoyo. 1994. Demokrasi dan Budaya Birokrasi. Yogyakarta:
Bentang.
Mardianto, Herry dkk. 2003. Cerita Pendek Indonesia di Yogya-
karta Periode 19451965. Yogyakarta: Bagian Proyek Pem-

113
binaan Bahasa dan Sastra Indonesia dan Daerah, Daerah Isti-
mewa Yogyakarta.
Masoed, Mohtar. 1990. Negara, Masyarakat, dan Pembangunan
Ekonomi di Indonesia. Dalam Akhmad Zaini Abar (ed.). Orde
Baru. Solo: Ramadhani.
Pradopo, Rachmat Djoko. 1988. Beberapa Gagasan dalam Bidang Kritik
Sastra Indonesia Modern. Yogyakarta: Lukman.
. 2002. Kritik Sastra Indonesia Modern. Yogyakarta: Gama
Media.
Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. 1991. Edisi Kedua.
Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan. Jakarta: Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
Ricklefs, M.C. 1994. Sejarah Indonesia Modern. Cetakan IV. Diindone-
siakan oleh Dharmono Hardjowidjono. Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press.
Setiawan, Ahmad. 1998. Perilaku Birokrasi dalam Pengaruh Paham
Kekuasaan Jawa. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Suwondo, Tirto dkk. 2004. Kritik Sastra Indonesia di Yogyakarta
Periode 19451965. Yogyakarta: Balai Bahasa Yogyakarta.
Suryadi, Linus. 1989. Di Balik Sejumlah Nama. Yogyakarta: Gadjah
Mada University Press.
Tanaka, Ronald. 1976. System Models for Literary Macro-Theory. Lisse:
The Peter de Ridder Press.
Teeuw, A. 1952. Pokok dan Tokoh dalam Kesusastraan Indonesia Baru
II. Jakarta: Pembangunan.
. 1989. Sastra Indonesia Modern II. Jakarta: Pustaka Jaya.
Triyono, Adi dkk. 2004. Cerpen Indonesia di Yogyakarta Periode
19661980. Yogyakarta: Balai Bahasa Yogyakarta.
Wellek, Rene and Austin Warren. 1968. Theory of Literature. Har-
mondsworth, Middlesex: Penguin Books.
Widati, Sri dkk. 2003. Puisi Indonesia di Yogyakarta Periode 1945
1965. Yogyakarta: Proyek Pembinaan Bahasa dan Sastra
Indonesia dan Daerah DIY.
. 2004. Puisi Indonesia di Yogyakarta Periode 1966
1980. Yogyakarta: Balai Bahasa Yogyakarta.

114
BIODATA PENULIS

Tirto Suwondo lahir di Purwodadi, Grobogan, Jawa Tengah,


pada 1962. Pendidikan terakhir Program Pascasarjana (S-2) UGM
(2000). Masuk kerja sejak 1982, menjadi peneliti sejak 1988, dan
sejak 2007 menjadi Kepala Balai Bahasa Yogyakarta. Sejak kuliah
telah aktif menulis artikel, resensi, dan features tentang sastra, buda-
ya, dan pendidikan. Esai-esainya dipublikasikan di media lokal,
nasional, dan regional (Brunei Darussalam). Pernah menjadi warta-
wan Detik (1988), Media Indonesia (19891991), Kartini (1991
1993), dan redaktur jurnal Widyaparwa, Poetika, dan Bahastra. Bebe-
rapa kali menjuarai lomba penulisan esai/kritik sastra tingkat
nasional; terakhir masuk sepuluh besar penerima Anugerah Kritik
Sastra dari Dewan Kesenian Jakarta (2007).
Buku-buku hasil penelitiannya (kelompok) yang telah terbit
Nilai-Nilai Budaya Susastra Jawa (1994); Sastra Jawa Modern Periode
1920 sampai Perang Kemerdekaan (1996); Karya Sastra Indonesia di
Luar Penerbitan Balai Pustaka (1997); Ikhtisar Perkembangan Sastra
Jawa Modern Periode Prakemerdekaan (2001); Ikhtisar Perkembangan
Sastra Jawa Modern Periode Kemerdekaan (2001); Sastra Jawa Balai
Pustaka 19171942 (2001); Antologi Biografi Pengarang Sastra Jawa
Modern (2005); Pedoman Penyuluhan Sastra Indonesia (2008). Buku
karya sendiri yang telah terbit Suara-Suara yang Terbungkam: Olenka
dalam Perspektif Dialogis (2001), Studi Sastra: Beberapa Alternatif
(2003), Muryalelana: Seorang Pejuang Sastra Jawa (2005); Karya
Sastra Indonesia dalam Majalah Gadjah Mada dan Gama (2006); Sastra
Jawa dan Sistem Komunikasi Modern (2007); dan Esai/Kritik Sastra

115
dalam Minggu Pagi, Masa Kini, dan Semangat (2007). Buku cerita
anak-anak yang telah terbit Sang Pangeran dari Tuban (1996), Gagal-
nya Sebuah Sayembara (1998), Sepasang Naga di Telaga Sarangan (2004),
Dan Langit pun Tak Lagi Kelabu (2005), dan Dewi Anggraeni: Si Putri
Karandan (2008).

Siti Ajar Ismiati adalah lulusan Akademi Sekretaris dan


Manajemen Istikayana (ASMI) Yogyakarta dan meraih gelar S-1
pada jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Fakultas
Pendidikan Bahasa dan Sastra (FPBS) IKIP Muhammadiyah (seka-
rang Universitas Ahmad Dahlan) Yogyakarta. Kini ia bekerja di
Balai Bahasa Yogyakarta dan tengah menyelesaikan studi S-2 di
FIB UGM. Hasil penelitiannya yang telah diterbitkan antara lain
Biografi Pengarang Soenarna Siswarahardja (2001), Karya Sastra dalam
Majalah Basis: 1945-1965 (2005), Suryadi Ws.: Sosok dan Kreativitasnya
(2006). Sedangkan hasil penelitian kelompoknya antara lain Wanita
dalam Sastra Jawa Modern: 1945-1965 (2003), dan Antologi Biografi
Pengarang Sastra Jawa Modern (2006).

Yohanes Adhi Satiyoko, lahir di Yogyakarta 31 Oktober 1972.


Lulus dari Fakultas sastra Universitas Gadjah Mada Yogyakarta
jurusan Sastra Nusantara (2002) dan dari Fakultas Sastra Univer-
sitas Sanata Dharma Yogyakarta jurusn Sastra Inggris (1999). Saat
ini sedang menyelesaikan studi S-2 di Fakultas Ilmu Budaya Univer-
sitas Gadjah Mada Yogyakarta program pendidikan sastra. Meng-
abdi pada Balai Bahasa Yogyakarta sejak tahun 2003. Selain men-
jadi peneliti pada Balai Bahasa Yogyakarta juga menjadi penerje-
mah bahasa Inggris dan Belanda bidang sastra, budaya, dan ba-
hasa. Beberapa penelitian pernah diterbitkan di majalah Widyapar-
wa. Beberapa terjemahan antara lain Linguistik Semantik (tim
Balai Bahasa Yogyakarta, 2005-2006), Teori Sastra Modern (Tim Balai
Bahasa Yogyakarta, 2007-2008), Take The Stairs (Kanisius, 2006).
Saat ini aktif di Sanggar Sastra Jawa Yogyakarta dan penerbitan
majalah bahasa Jawa Pagagan.

116

Anda mungkin juga menyukai