Anda di halaman 1dari 14

Sang Penyair

Agung
SITOR
SITUMORANG
OLEH :
Firqa Aqila Noor Arasyi (07)
Iffati Ifadati (10)
Nikmah Puji Lestari (14)
Wisnu Waskitho Aji (24)

XI IPA 3

Sitor Situmorang

lahir di Harianboho, Tapanuli Utara, Sumatera Utara


pada 2 Oktober 1923.
Wartawan, Sastrawan, Politisi, Penyair Indonesia.

Sastrawan Angkatan 45
Hingga muncul julukan penyair agung karena beliau
terus berkarya selama lebih dari 60 tahun dan telah
menghasilkan lebih dari 600 sajak

Keluarga
Hingga saat ini Sitor Situmorang telah menjalani
dua kali pernikahan.
Beliau dianugerahi enam orang anak dari istrinya
yang pertama, Almh. Tiominar yaitu Retni,
Ratna, Gulon, Iman, Logo, dan Rianti.
Sitor Situmorang kemudian menikah untuk yang
kedua
kalinya
dengan
seorang
diplomat
berkewarnegaraan Belanda Barbara Brouwer,
yang memberinya satu orang anak, Leonard.

Riwayat Pendidikan
dan Pekerjaan
Menempuh pendidikan di HIS (Holland Inlandsche School) di
Balige dan Sibolga selama 7 tahun
MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs = Pendidikan Dasar
Lebih Luas) di Tarutung
kemudian AMS (Algemeene Middelbare School) di Batavia
(kini Jakarta)
Pada tahun 1950-1952, Sitor sempat berkelana ke
Amsterdam dan Paris. Selanjutnya, ia memperdalam ilmu
sinematografi di Universitas California pada tahun 19561957
Ia pernah menetap di Singapura (1943), Amsterdam (19501951), Paris (1951-1952), dan pernah mengajar bahasa
Indonesia di Universitas Leiden, Belanda (1982-1990) dan
bermukim di Islamabad, Pakistan (1991) dan Paris.

Saat kelas dua SMP, Sitor berkunjung ke rumah


abangnya di Sibolga dan menemukan buku Max
Havelaar karya Multatuli.
Buku itu selesai dibaca dalam 2-3 hari tanpa putus,
walau
penguasaan
bahasa
Belandanya
belum
memadai.
Isi
buku
menyentuh
kesadaran
kebangsaannya.
Ia menerjemahkan sajak Saidjah dan Adinda dari
Max Havelaar ke dalam bahasa Batak. Sejak itu,
minat dan pehatian terhadap sastra makin tumbuh,
dan dibarengi aspirasi "kelak akan menjadi pengarang"

Karir Profesional
Sitor memulai karirnya sebagai wartawan Harian
Suara Nasional terbitan Sibolga kemudian sebagai
Pemimpin Redaksinya pada usia yang masih
sangat belia, 19 tahun (1943-1946).
Sastrawan Angkatan 45, ini kemudian bergabung
dengan Kantor Berita Nasional Antara, di
Pematang Siantar
Sitor lalu menjadi koresponden Waspada, harian
lokal terbitan kota Medan, Sumatera Utara (19471948), Berita Indonesia, dan Warta Dunia (Jakarta,
1957).

Kegiatan lain yang pernah dilakukan


Sitor antara lain :
Pegawai Jawatan Kebudayaan
Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan
Dosen Akademi Teater
Nasional Indonesia (Jakarta)
Anggota Dewan Nasional (1958)
Anggota Majelis
Permusyawaratan Rakyat
Sementara (MPRS) mewakili
kalangan seniman
Anggota Badan Pertimbangan
Ilmu Pengetahuan (1961-1962)
Ketua Lembaga Kebudayaan
Nasional (1959-1965).

Sebagai Sastrawan
Semenjak tahun 1950-an
mengalir ringan begitu saja.

karya-karya

sastranya

sudah

Sitor pada tahun 1950-an itu pulang dari Eropa sebagai


wartawan, lalu memutuskan berhenti dan bergiat sebagai
sastrawan.
Kumpulan puisi pertamanya terbit tahun 1953, diterbitkan
oleh Poestaka Rakjat pimpinan Sutan Takdir Alisjahbana (STA).
Kumpulan cerpennya Pertempuran dan Salju di Paris (1956)
mendapat Hadiah Sastra Nasional (1955) dan kumpulan sajak
Peta Perjalanan memperoleh Hadiah Puisi Dewan Kesenian
Jakarta 1976.

Malam
Lebaran
Bulan di atas
kuburan.

-Sitor Situmorang-

Karya-karya Sitor yang lain :


o Surat Kertas Hijau, kumpulan puisi (1954)
o Jalan Mutiara, drama (1954)
o Dalam Sajak, kumpulan puisi
(1955)
o Wajah Tak Bernama, kumpulan
puisi (1956)
o Rapar Anak Jalang (1955)
o Zaman Baru, kumpulan puisi (1962)
o Pangeran, kumpulan cerpen (1963)
o Sastra Revolusioner, kumpulan esai(1965)
o Dinding Waktu, kumpulan puisi (1976)
o Danau Toba, kumpulan cerpen (1981)
o Angin Danau, kumpulan puisi (1982)
o Bunga di Atas Batu, kumpulan puisi (1989)
o Toba na Sae (1993) dan Guru Somalaingdan
Modigliani Utusan Raja Rom, sejarah lokal (1993).
o Rindu Kelana, kumpulan puisi (1994)

Pada masa pemerintahan Orde Baru,


Sitor dipenjara sebagai tahanan politik di
Jakarta. Salah satu karyanya berupa
kumpulan esai Sastra Revolusioner-lah
yang mengakibatkan Sitor Situmorang harus
mendekam di penjara Gang Tengah Salemba
(1967-1975), Jakarta tanpa melalui proses
peradilan.
Ia dimasukkan begitu saja ke dalam
tahanan
dengan
tuduhan
terlibat
pemberontakan. Selain karena isi esai Sastra
Revolusioner sarat dengan kritik-kritik tajam,
posisi mantan anggota MPRS ini ketika itu
sebagai Ketua Umum Lembaga Kebudayaan
Nasional (LKN) periode 1959-1965, sebuah
lembaga kebudayaan di bawah naungan PNI,
membuat rezim merasa berkepentingan
untuk menghentikan kreativitas Sitor.

Sitor tak diizinkan masuk


tahanan membawa pulpen atau
kertas. Namun, walau berada
dalam
penjara
Sitor
tetap
berkarya. Tidak ada orang yang
bisa
melarang
saya
untuk
menulis,
ucapnya
tentang
keteguhan hatinya untuk tetap
berkarya dalam kondisi dan situasi
tertekan
seberat
apapun,
termasuk ketika terkungkung oleh
tembok-tembok beton penjara.
Ia berhasil merilis dua karya
sastra, yang berhasil ia gubah
selama dalam tahanan, yakni
Dinding Waktu (1976) dan Peta
Perjalanan (1977). Kedua karya itu
diluncurkan masih dalam status

Sitor akhirnya memilih menetap di luar


negeri, terutama Kota Paris yang disebutnya
sudah
sebagai
desa
keduanya
setelah
Harianboho.
Sejak tahun 1981 Sitor diangkat menjadi
dosen di Universitas Leiden, Belanda. Sepuluh
tahun kemudian pensiun pada tahun 1991.
Selama dalam pengembaraan ia tetap produktif
berkarya.
Ia adalah seorang lelaki tua periang yang
jarang mengeluh perihal kemampuan fisiknya
yang sudah menua. Pada usia 80 tahun ia masih
dengan mudah melewati lantai berundak yang
terdapat di kamar tidurnya tanpa bantuan
tongkat sedikitpun.

Anda mungkin juga menyukai