Anda di halaman 1dari 3

SEBUAH SENI UNTUK BERSIKAP BODO AMAT

Oleh :

Dias Dwananda Zahwa

Sman 1 Geger Madiun

Sialadenitis

Kelompok 3

Identitas Buku

Judul : Sebuah Seni Untuk Bersikap Bodo Amat

Judul Asli : The Subtle Art of Not Giving F*ck

Penulis : Mark Manson

Penerbit : PT. Gramedia Widiasarana Indonesia

Penerjemah : F. Wicaksono

Cetakan : Ke-3

Tahun Terbit : 2018

Kota Tertib : Jakarta

ISBN : 978-602-452-698-6

Tebal : 246 Halaman


Isi Resensi

Buku Sebuah Seni Untuk Bersikap Bodo Amat atau The Subtle Art of Not
Giving F*ck karya Mark Manson ini mengajak kita untuk mengerti batasan-
batasan diri dan menerimanya. Mark Manson juga melontarkan argumen bahwa
manusia itu tak sempurna dan juga terbatas. Maksudnya adalah manusia tidak bisa
melakukan semua hal yang ia mau untuk menjadi sempurna. Manusia juga
memiliki kepedulian yang terbatas sehingga kita harus bijaksana dalam
menentukan kepedulian terhadap sekitarnya.

Di dalam bukunya, Manson menceritakan salah satu kisah yaitu kisah Charles
Bukowski. Charles Bukowski dulunya adalah seorang pecandu alkohol, senang
main perempuan, pejudi kronis, kasar, kikir, tukang utang, dan seorang penyair.
Namun, karyanya terus-menerus ditolak hampir setiap majalah, surat kabar,
jurnal, agen, penerbit. Kata mereka tulisan Charles sangat hancur, kasar,
menjijikan, dan tidak bermoral. Beban kegagalan itulah yang mendorongnya ke
dalam sebuah depresi dan menjadi seorang pecandu alkohol. Tiga puluh tahun
hidupnya berjalan tanpa arti seperti itu. Kemudian pada saat ia berumur 50 tahun,
seorang editor di sebuah penerbitan kecil menaruh minat terhadap tulisannya.
Editor tersebut menaruh ketertarikan yang ganjil terhadap Charles dan
memutuskan untuk memberikan satu kesempatan. Akhirnya,dia terus berkarya
dan menerbitkan 6 novel dan ratusan puisi, menjual lebih dari 2 juta kopi. Meski
akhirnya bukunya laris manis, Bukowski mengatakan keberhasilannya bukan hasil
kegigihannya untuk menjadi seorang pemenang, namun dari kenyataan bahwa ia
tahu dirinya seorang pecundang, menerimannya, dan kemudian menulis secara
jujur tentangnya. Ia selalu menjadi dirinya sendiri. Bukowski “nyaman” dengan
cerminan dirinya yang dianggap sebuah kegagalan. Menjadi terkenal dan sukses
tidak lantas mengubahnya menjadi pribadi yang lebih baik.

Dari kisah Charles Bukowski mengajarkan bahwa perbaikan diri dan


kesuksesan kadang terjadi bersama. Namun itu tidak lantas berarti keduanya
adalah hal yang sama. Budaya kita saat ini terobsesi untuk menjadi harapan-
harapan positif yang sulit untuk diwujudkan: Menjadi lebih bahagia. Menjadi
lebih sehat. Menjadi paling baik, lebih baik daripada lainnya. Menjadi lebih
pintar, lebih kaya, lebih populer, lebih produktif, lebih diinginkan, dan lebih
dikagumi. Namun ketika kita berhenti sejenak dan sungguh-sungguh
merenungkan, sebenarnya justru member penekanan pada kekurangan diri kita.
Kehidupan yang baik bukan tentang memedulikan lebih banyak hal; tapi tentang
memedulikan hal yang sederhana saja, hanya peduli tentang apa yang benar,
mendesak, dan penting.

Kisah Charles Bukowski ini hanya satu dari banyaknya kisah yang diceritakan
Mark Manson di dalam bukunya. Kisah-kisah yang diceritakan dalam buku ini
sangat inspiratif dalam memotivasi dan pengembangan diri. Kita harus berlatih
masa bodoh dengan segala halangan dalam perjuangan mencapai sesuatu yang
kita inginkan. Kita hadapi dan nikmati saja karena dalam sebuah perjuangan, pasti
ada rintangan dan halangan yang muncul. Kita juga perlu menemukan hal penting
dan berarti untuk di prioritaskan sehingga kita tidak perlu memikirkan hal-hal
sepele. Selain itu, kita harus berani untuk mengatakan tidak untuk sesuatu yang
tidak bermanfaat bagi kita ke depannya.

Di dalam buku Sebuah Seni Untuk Bersikap Bodo Amat, Mark Manson
menuliskan cerita dengan lugas dan terstruktur. Manson juga menceritakan
beberapa kisah nyata sehingga membuat pembaca lebih paham dan tertarik. Akan
tetapi, kertas yang digunakan dalam buku ini membuat pembaca sedikit jenuh
karena biasanya buku tentang motivasi dan pengembangan diri disajikan dengan
kertas yang berwarna. Meskipun terdapat kelemahan dari buku ini, saya sangat
merekomendasikan bagi orang-orang yang sulit untuk berfokus pada orang lain
untuk membaca buku ini karena akan menemukan bahwa tidak semua perkataan
dan perbuatan orang lain berdampak bagi kita, ada saatnya kita berlaku masa
bodoh demi kebaikan diri kita sendiri.

Anda mungkin juga menyukai