Kelompok 7
1.2 Tujuan
Pembuatan makalah ini bertujuan untuk penulis serta pembaca memahami tentang
jenis-jenis teater rakyat Jepang beserta sejarah dan perkembangannya. Selain itu makalah
ini juga dibuat untuk memenuhi tugas matakuliah Folklor serta melatih penulis untuk bisa
membuat makalah yang lebih baik untuk kedepannya.
1.3.1 Definisi teater rakyat Noh dan Kyogen, Kabuki, Bunraku, Rokugo dan
Manzai, dan Takarazuka
1.3.2 Penjelasan tentang sejarah dan perkembangan Noh dan Kyogen, Kabuki,
Bunraku, Rokugo dan Manzai, dan Takarazuka
1.3.3 Penyelenggaraan serta nilai yang terdapat pada Noh dan Kyogen, Kabuki,
Bunraku, Rokugo dan Manzai, dan Takarazuka
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Noh
A. Definisi Noh
Noh (能) ialah drama musik Jepang klasik yang telah dipertunjukkan sejak abad ke-14.
Noh tersusun atas mai (tarian), hayashi (musik) dan utai (kata-kata yang biasanya dalam
lagu-lagu). Pelakon menggunakan topeng dan menari secara lambat.
C. Penyelenggaraan Noh
Noh saat ini bisa dinikmati di teater-teater Noh seperti ;
1. Teater Noh Nasional di Tokyo.
2. Teater Noh Kanze di Ginza.
3. Cerulean Tower Noh Theatre (Cerulean adalah warna biru langit, sengaja tidak
diterjemahkan dalam bahasa Indonesia untuk menghindari pengurangan makna) di
Shibuya.
4. Teater Noh Otsuki di Osaka.
5. Teater Noh Nagoya di Nagoya.
Kisaran tiket teater Noh sekarang dapat dibeli dengan dengan harga 3,000-12,500 ¥ ,
atau sekitar Rp380.000,00 sampai Rp1.500.000,00 dan dapat dibeli di Internet. Noh
juga dapat pula disaksikan di kuil-kuil sampai sekarang seperti layaknya dulu kuil-kuil
memfasilitasi penampilan Noh. Hanya saja penampilannya hanya dimainkan sewaktu-
waktu. Berikut kuil-kuil yang masih bisa menampilkan Teater Noh:
1. Kuil Itsukushima di Miyajima.
2. Kuil Chusonju di Hiraizumi.
3. Kuil Fushimi Inari di Kyoto.
4. Kuil Yasukuni di Tokyo.
Pemain utama Noh atau shite akan berada di tengah panggung, ia mengenakan topeng
yang selalu diganti sesuai perannya. Karakter pertama adalah dewa/kami ( 神 ), kedua
adalah prajurit/shuramono (修羅物), ketiga adalah karakter wanita/kazuramono (鬘物),
keempat adalah tokoh wanita yang menjadi gila karena ditinggal orang yang
dicintainya/kyoujomono (狂女物), lalu yang terakhir adalah iblis/kiri (切). Shite akan
ditemani oleh tsure atau pengikut tokoh utama yang terdiri dari satu orang atau lebih.
Pemain kedua yang disebut waki umumnya memerankan biksu atau samurai dan tidak
mengenakan topeng. Waki pun memiliki pengikut yang disebut dengan waki-tsure.
Waki berada di panggung sebelah kanan. Tidak lupa pemeran utama pun memiliki
asisten/kouken ( 後 見 ) yang akan duduk di dekat para pemain musik. Kouken akan
mengenakan pakaian serba hitam.
Pemain Berada di
tengah Butai
(Sumber : Japan
Guide)
Sampai akhir1800-an, Noh dilakukan di ruangan terbuka dengan gaya panggung bergaya
gazebo di tanah kuil. Pada periode Meiji saat Westernisasi, Noh dipindahkan ke dalam
ruangan teater. Auditorium untuk memainkan Noh disebut Kenjo ( 見 所 ), adapun
panggung/butai (舞台) berdiri berhadapan dengan penonton.
Butai memiliki atap sendiri sehingga terlihat seperti pendopo di dalam rumah. Adanya atap di
panggung ini dikarenakan Noh pada zaman dahulu sering dibawakan di luar ruangan, dan
kemudian tetap ada bahkan setelah teater Noh dibangun. Di sisi kanan panggung, terdapat
beranda paduan suara/jiutai (地謡) yang luasnya sekitar tiga kaki. Di dinding belakang yang
disebut kagami-ita (鏡板), terdapat lukisan pohon cemara.
Sedangkan di sisi kiri, terdapat koridor sepanjang 53 kaki yang terdapat pagar yang
mengarahkan pada belakang panggung. Ini adalah jalur yang biasa digunakan oleh para aktor
dan pemusik. Sisi kiri koridor ini disebut jembatan/hashi-gakari ( 橋 掛 か り ). Terkadang
bagian ini digunakan sebagai bagian dari panggung. Di ujungnya terdapat atoza ( 後 座 ),
ukurannya kurang lebih separuh dari panggung. Di atoza bertempat para pemusik/hayashi-
kata (囃子方), dan kouken.
2.2 Kyogen
A. Definisi Kyogen
Kyogen berasal dari kata “Kyogen Kigo” yang merupakan istilah Agama Buddha untuk
kata berbunga-bunga atau cerita yang tidak masuk diakal. Kyogen adalah sejenis lawak
yang erat hubungannya dengan Sarugaku dan Noh, karena itu disebut juga dengan Noh
Kyogen. Kyougen dipentaskan ditengah pertunjukan Noh, yaitu antara babak yang satu
dengan babak yang berikutnya.
Kyogen merupakan suatu pertunjukan yang dititik-beratkan pada dialog dan gerak.
Dalam dialog ini selalu dipergunakan kata-kata yang populer pada masa yang
bersangkutan. Berbeda dengan Noh, yang sangat hidmat, simbolik, dan dipusatkan pada
tari dan lagu. Kyogen bersifat ringan dan jenaka yang menggambarkan peristiwa atau
kejadian-kejadian yang masih hangat dalam masyarakat. Dengan kata lain, Noh
dikategorikan pada kesenian yang menonjolkan kehalusan dan keindahan, sedangkan
Kyogen sangat bersifat kerakyatan yang mengandung unsur realita.
B. Sejarah dan Perkembangan Kyogen
Kyogen ini terdiri dari 7 periode sejarah yaitu: dari Zaman Nara sampai Zaman
Kamakura pada abad 8 sampai 14, pada pertengahan dan akhir Zaman Muromachi pada
abad 15 sampai 16, Zaman Momoyama pada abad 16, Zaman Edo pada abad 17-19, dan
Zaman Modern pada abad 19-20.
Kyogen diperkirakan dibawa ke Jepang dari China di abad ke-8 atau sebelumnya.
hiburan ini berkembang menjadi Sarugaku pada abad berikutnya, dan pada abad ke-14
awal ada perbedaan yang jelas antara kelompok pemain Sangaku dari drama Noh serius
dan orang Kyōgen lucu. Sebagai komponen Noh, Kyōgen menerima perlindungan dari
aristokrasi militer sampai saat Restorasi Meiji (1868). Sejak itu, Kyōgen tetap
dipertahankan dan dikembangkan oleh keluarga, terutama dari Izumi dan sekolah Okura.
Saat ini Kyōgen dimainkan oleh profesional secara independen dan sebagai bagian dari
pertunjukan Noh.
C. Penyelenggaraan Kyogen
Sama halnya seperti Noh, Kyogen dilaksanakan di sela-sela penampilan Noh. Peran
utama dalam kyogen disebut Shite. Peran pembantu disebut Ado, berbeda dengan Noh
yang menyebutnya sebagai Waki. Jika ada lebih dari 2 peran Ado, maka peran tersebut
disebut Ado 1 dan Ado 2. Selain itu, istilah Ado hanya digunakan untuk peran pembantu
yang paling menonjol, sedangkan selebihnya disebut Tsukgi-ado (sebutan menurut aliran
Ōkura) atau Ko-ado (sebutan menurut aliran Izumi).
Peran pembantu yang naik ke panggung secara berkelompok disebut Tachishū,
sedangkan pimpinan kelompok peran pembantu disebut Tachigashira. Sebutan untuk
peran seperti disebut di atas sebenarnya jarang dipakai, kyōgen lebih mengenal sebutan
untuk karakter yang tampil dalam cerita, misalnya; Shu atau Teishu (majikan), Tarōkaja
(pesuruh laki-laki), atau Suppa (peran penjahat).
Kostum yang digunakan dalam pertunjukan kyogen adalah setelan pakaian rakyat biasa
dari abad pertengahan, bentuknya sangat sederhana, namun banyak yang tidak
konvensional menggabungkan bentuk dan desain.Dibandingkan dengan kostum elegan
Noh. Kostum di Kyogen sebagian besar berwarna terang, dan memiliki pola-pola menarik.
Kostum ini ditentukan berdasarkan jenis karakter yang akan ditampilkan.
Kyogen diiringi musik yang terdiri dari seruling, drum, dan gong. Taiko adalah drum
barel yang diletakkan di stand kayu dan dipukul dengan bachi (stik drum kayu). Ada dua
metode keseluruhan bermain taiko. Dengan meletakkan bachi pada kepala drum setelah
memukul,dapat meredam suara, atau membuat suara beresonansi, besar, menengah atau
stroke kecil dapat digunakan. Dengan menggunakan dua bachi untuk membuat rumit,
mengatur irama,
2.3 Kabuki
A. Definisi Kabuki
Kabuki adalah salah satu kesenian tradisional Jepang dalam bentuk drama klasik.
Istilah kabuki berasal dari kata ka yang berarti menyanyi, bu yang berarti menari, dan ki
yang berarti melakon. Kabuki menampilkan sejarah dan realitas kehidupan masyarakat
Jepang yang merupakan gambaran keindahan, kesetiaan adat istiadat, serta tata karma
kuno.
Kabuki diciptakan pada awal abad ke 17 oleh seorang wanita bernama Okuni yang
berasal dari kuil izumo. Drama kabuki ini berawal ketika Okuni membentuk kelompok
penyanyi dan penari untuk menyelenggarakan pertunjukan seni guna mencari dana untuk
kuil Izumo. Berhubung di dalam ajaran agama budha, orang dilarang menyanyi dan
menari di dalam kuil, maka Okuni dan kawan-kawannya melakukan pementasan seni yaitu
nyanyian dan tarian secara berkeliling dari satu tempat ke tempat lain, sehingga akhirnya
mereka sampai ke kota-kota.
Pertunjukan kabuki oleh Okuni ini pada mulanya tidak dilakukan diatas panggung,
tetapi ketika okuni dan kawan-kawan diundang shogun Tokugawa untuk mengadakan
pentas di istana kaisar di Kyoto maka untuk pertama kalinya pementasan kabuki dilakukan
diatas panggung.
Sementara itu, sebagai
dampak dari kebijakan
politik oleh Shogun
Tokugawa yaitu menutup
diri dari Negara luar terutama Negara barat, Jepang mengalami masa kejayaan yang cukup
lama terutama dalam ekonomi bagi pedagang dan pengrajin. Dengan kemajuan para
pedagan dan pengrajin tersebut penduduk kota mulai tertarik untuk mengembangkan
kebudayaan baru yang menjadi simbol eksistensi mereka. Dikalangan masyarakat kota
yang seperti inilah pementasan seni seperti yang dilakukan oleh Okuni dan kawan-kawan
berkembang menjadi seni drama klasik kabuki.
Kabuki dianggap dan diakui sebagai salah satu pencerminan dari kebudayaan kaum
pedagang dan pengrajin karena drama kabuki mengungkapkan aspek kehidupan secara
realistik dan sensualistik yang merupakan salah satu ciri yang disenangi saat itu. Akan
tetapi pada perkembangan selanjutnya terjadi penyimpangan-penyimpangan sosial seperti
terjadinya praktek prostitusi di kalangan pemain, maka pementasan kabuki dilarang oleh
pemerintah. Kemudian drama kabuki kembali di izinkan kembali oleh pemerintah pada
bulan maret 1653, tetapi dengan memenuhi dua persuaratan, yaitu:
1) Para pemain harus laki-laki dewasa dan rambutnya harus dipotong seperti
samurai.
2) Dilarang menggunakan lagu dan tarian yang dapat mengundang nafsu birahi.
Kabuki sejak saat itu bukan lagi sebagai teater keliling tetapi sudah menetap pada
suatu tempat pertunjukan yang sekarang dikenal dengan kabukiza. Dalam bentuk yang
terakhir ini kabuki terus berkembang menuju drama yang sesungguhnya dengan
penggunaan dialog, penyempurnaan dialog, dan perkembangan jenis cerita. Sehingga
drama tradisional ini mencapai puncak kejayaannya pada abad ke-18, dan sampai
sekarangpun kabuki masih digemari bukan hanya dari orang Jepang itu sendiri, tetapi juga
orang asing terutama orang yang ingin mempelajari kebudayaan Jepang.
C. Penyelenggaraan Kabuki
Diseluruh Jepang, ada beberapa teater dimana kabuki dipentaskan, yang paling
terkenal adalah Kabuki-za di Ginza, Tokyo. Melayani pertunjukan selama lebih dari 100
tahun, teater tradisional ini dibangun kembali dan diperbaharui pada awal 2013, dengan
tetap menjaga keaslian arsitektur tradisional teater aslinya.
Bangunan modern dengan estetika tradisional ini tidak hanya memiliki toko-toko
suvenir dengan banyak barang bertemakan kabuki tetapi juga dispenser pembelian tiket
otomatis untuk satu kali pertunjukan maupun yang lengkap. Kabuki-za juga dilengkapi
monitor kecil yang tidak hanya menyediakan terjemahan lisan baris-per-baris dan lirik
lagu yang dinyanyikannya tetapi juga memberikan berbagai penjelasan mengenai cerita,
aktor dan perangkat modis khas pertunjukan Kabuki. Tiket tersebut juga dapat dibeli
secara online.
Dengan teknologi modern yang mampu membawa kabuki tradisional yang mendalam
untuk semua kalangan, benar-benar tidak ada alasan lagi untuk tidak menonton sebuah
bentuk pertunjukan teater yang dianggap paling populer di Jepang ini. Karena akar dasar
kabuki itu sendiri, tidak ada “dress code” yang ditentukan dan harga tiketnya sangat
terjangkau untuk satu kali pertunjukan atau program yang lengkap.
1. Nilai Estetis, tercermin dalam keseluruhan pementasan kabuki dari music pengiring,
tari-tarian, peran, dan panggung. Musik pengiring menunjang gerakan para pemeran
sesuai dengan tema cerita sehingga terjadi keindahan yang harmonis. Tata
panggung, warna, dan tat arias yang sesuai dengan tema memiliki peranan yang
penting dalam memperindah dan menyempurnakan pementasan kabuki.
2. Nilai Sosial, ditunjukan oleh adanya keharmonisan dalam keseluruhan pementasan
drama kabuki ini, pemeran wanita tua bertanggung jawab terhadap pemeran wanita
muda. Artinya bahwa kesuksesan dan kesempurnaan kabuki ini ditentukan oleh
adanya kerjasama dan tanggungjawab dari para pemeran..
3. Nilai kepahlawanan, tercermin dalam tema cerita dan peran para pemain. Nilai
kepahlawanan ini ditunjukkan oleh Aragoto.
4. Nilai cinta, tercermin dalam tema cerita dan peran para pemain. Nilai kepahlawanan
ini ditunjukkan oleh Wagoto.
2.4 Bunraku
A. Definisi Bunraku
Bunraku atau Ningyo Joruri adalah seni pertunjukan tradisional boneka Jepang yang
melibatkan tiga unsur untuk membuat sebuah pertunjukan sempurna. Ketiganya adalah
Ningyotsukai atau dalang, Tayu atau narator, dan pemain Shamisen sebagai musisinya.
Awalnya, istilah "Bunraku" merujuk hanya untuk teater tertentu yang didirikan pada
tahun 1872 di Osaka yang bernama Bunrakuza setelah ansembel (pertunjukan musik
kelompok) Uemura Bunrakuken (植村文楽轩), sebuah perwayangan di Awaji pada awal
abad ke-19, yang dalam upayanya telah berhasil menghidupkan kembali teater boneka
tradisional di abad ke-19.
Teater Bunraku yang merupakan keturunan dari teater yang didirikan oleh Bunrakken,
kemudian mempopulerkan nama "Bunraku" di abad ke-20 yang mana sampai sekarang
banyak orang Jepang menggunakan istilah tersebut.
C. Penyelenggaraan Bunraku
Bunraku adalah pertunjukan yang hanya dibawakan oleh laki laki, 3 unsur pertunjukan
disebut sangyou yang terdiri dari tayuu (太夫) atau narator pertunjukan, pemain Shamisen,
dan 3 ningyou tsukai (人形遣い) atau dalang.
Disisi kanan penonton terdapat panggung yang disebut yuka (床). Di atas yuka terdapat
panggung berputar yang menjadi tempat duduk tayuu dan pemain shamisen. Bagian tubuh
dalang dari pinggang ke bawah dihalangi oleh pandangan penonton memakai penghalang
dari papan kayu yang disebut tesuri (手摺り).
Pertunjukkan biasanya berjalan pada bulan Januari, April, Juni, Juli / Agustus, dan
November sekitar 2 hingga 3 minggu setiap bulan. Dapat dibagi menjadi 2 atau 3 bagian
dalam sehari, di mana setiap bagian dapat berkisar sekitar 2 setengah jam hingga 4
setengah jam. Pertunjukan ini akan diadakan di aula utama. Mereka juga memiliki headset
audio Inggris dengan komentar penuh untuk pertunjukan Bunraku yang disewakan sekitar
700 yen.
Selain itu, mereka kadang-kadang mengadakan pertunjukan Bunraku untuk pemula, di
mana mereka memperkenalkan seni Bunraku, dan juga bermain tetapi dengan cara yang
ramah-pemula. Jadi, jika kamu datang bukan di musim untuk kinerja utama, jangan
khawatir dan cek jadwal pertunjukan Bunraku ini untuk pemula.
Harga tiket untuk pertunjukan bunraku dapat bervariasi antara 1,000 yen hingga 6,000
yen sesuai dengan pertunjukan dan pemilihan tempat duduk. Tiket dapat dibeli atau
dipesan secara online atau melalui telepon. Tiket juga dapat dibeli di tempat di pembelian
tiketnya.
Dalam Sugawara Denju Tenarai Kagami, dapat kita lihat pernyataan kesetiaan
seseorang kepada majikannya dalam diri Matsûomaru yang tetap setia kepada majikannya
meskipun hal itu berlawanan dengan nuraninya dan dia harus memutuskan hubungan
dengan keluarganya, selain itu dia dianggap sebagai seseorang yang tidak mempunyai
hati nurani. Juga Sugawara tetap setia kepada kaisarnya, meski dia telah difitnah orang
dan diperlakukan tidak adil oleh kaisarnya. Dan akhirnya, dalam Mahabharata,
Dewabrata atau Bhisma tetap setia pada sumpahnya hingga akhir hayatnya, meskipun ibu
tirinya, Setyawati yang memintanya bersumpah, memohon kepadanya agar dia mau
memecahkan sumpahnya.
2.5 Rokugo
A. Definisi Rokugo
Akhir abad ke-17, Rakugo muncul sebagai bentuk dakwah dari agama Buddha yang
terinspirasi dari bagaimana cerita-cerita beredar di masyarakat. Anrakuden Sakuden,
pendeta Buddha dari sekolah Jodo disebut-sebut sebagai penemu dari Rakugo. Ia membuat
buku Seisuisho (Guyonan untuk Menghilangkan Kantuk) dan membuat 8 buku yang berisi
1039 guyonan. Kemudian Rakugo berkembang menjadi sangat terkenal.
Pada zaman Sengoku, penulis atau pelatih upacara minum teh kerap dipanggil Daimyo
untuk menghibur. Kadang kala Rakugo pun digunakan untuk membuat para petinggi
terjaga di malam hari ketika sedang ada serangan. Rakugo sempat berubah menjadi
eksklusif dan hanya bisa dinikmati di istana, namun kembali lagi menjadi hiburan segala
kalangan. Orang-orang yang hendak mempelajari Rakugo disebut Deshi (弟子). Rakugoka
seluruhnya laki-laki hingga tahun 1993 dibolehkan Rakugoka perempuan
C. Penyelenggaraan Rokugo
Rakugo sempat disiarkan di Nihon TV dalam acara Shoten. Rakugoka terkenal sampai
saat ini antara lain Katsura Kaishi, Katsura Sanshiro, dan Rakugoka bilingual yang lahir di
Liverpool, Diane Kichijistu. Pertunjukkan Rakugo dilakukan di ruangan besar yang
disebut yose ( 寄 席 ). Beberapa tempat yang sampai saat ini mengadakan Rakugo
diantaranya; Shinjuku Suehirotei, Suzumoto Engeijou di Ueno, Asakusa Engei Hall,
Ikebukuro Engeijou, dan Tenma Tenjin Hanjoutei di Osaka. Biasanya tempat-tempat ini
dibuka pada pukul 4 sore, 5sore sampai 9 malam. Harga tiketnya untuk dewasa umumnya
Manzai adalah seni melawak yang berasal dari daerah Kansai, Jepang. Pertunjukan
Manzai biasanya dilakukan oleh dua orang yang bercakap-cakap di depan penonton
menceritakan cerita yang lucu, janggal, atau tidak masuk akal dengan irama berbicara
seperti bersahut-sahutan. Satu orang berperan sebagai si pintar (tsukkomi) yang berfungsi
sebagai pengumpan, dan seorang lagi yang berperan sebagai si bodoh (boke) yang terus
menyerocos bercerita agar penonton tertawa. Manzai bisa dikatakan mirip dengan stand-
up comedy.
Pelaku Manzai disebut Manzai-shi. Pasangan Manzai disebut Kombi. Pasangan suami-
istri yang melakukan Manzai disebut Meoto manzai. Manzai yang berasal dari daerah
Kansai sering juga disebut sebagai Kamigata manzai.
B. Sejarah dan Perkembangan Manzai
Seni “Manzai” pada zaman Heian dilakukan oleh dua orang, seorang menabuh
gendang dan seorang lagi menari-nari untuk mengucapkan selamat tahun baru sambil
mengunjungi rumah-rumah penduduk. Pada zaman Edo di seluruh pelosok Jepang
bermunculan berbagai jenis manzai yang dinamakan sesuai nama tempatnya berasal
seperti Mikawa manzai asal Provinsi Mikawa, dan Yamato manzai asal Provinsi Yamato.
Pada saat itu, artis Manzai tidak cuma memainkan musik dan menari, tapi juga bercakap-
cakap menceritakan cerita lucu yang dimaksudkan untuk memancing tawa pendengar.
Pada zaman Meiji, seni manzai yang dipertunjukkan di dalam gedung di Osaka masih
didasarkan pada “manzai” zaman Heian yang memakai musik pengiring. Pasangan
Tamagoya Entatsu, Sunagawa Sutemaru dan Nakamura Haruyo sering disebut sebagai
pelopor Manzai. Sayangnya pada saat itu, Manzai hanya dianggap sebagai pertunjukan
pelengkap karena di gedung pertunjukan lebih sering dipentaskan rakugo yang kebetulan
sedang populer.
Pada akhir zaman Taisho, Yokoyama Entatsu (1896-1971) dan Hanabishi Achako
(pasangan pelawak Yoshimoto Kogyo) memulai gaya manzai tanpa musik, dan hanya
terdiri dari percakapan. Manzai gaya baru ini disebut syabekuri manzai yang ternyata
populer dan bisa diterima masyarakat luas. Sekitar tahun 1931, promotor hiburan
Yoshimoto Kogyo mulai menyingkat sebutan syabekuri manzai menjadi Manzai seperti
dikenal sekarang. Selanjutnya, Yoshimoto Kogyo melakukan ekspansi bisnis ke Tokyo.
Manzai yang dipelopori pasangan Entatsu-Achako menjadi terkenal, dan bermunculan
pula bintang-bintang manzai yang baru. Di zaman modern, manzai berkembang menjadi
seni yang tidak hanya dipentaskan di gedung pertunjukan, melainkan juga di televisi dan
radio.
C. Penyelenggaraan Manzai
Berbeda dengan seni rakugo yang terikat dengan peraturan, pelawak manzai
mempunyai banyak kebebasan. Pelawak boleh berbicara sambil melakukan pose atau
gerakan aneh, berjoget-joget, hingga bahkan sampai memukul si bodoh. Manzai biasanya
dilakukan tanpa musik, walaupun ada juga pelawak manzai yang berpentas sambil
memainkan alat musik atau memakai musik latar. Selain itu, kelompok yang terdiri dari 3
orang atau lebih juga memainkan manzai gaya baru yang berbentuk lakon komedi.
Di atas panggung, pelawak manzai harus mengenakan pakaian terbagus yang dimiliki.
Pada dasarnya, kostum pelawak manzai adalah busana pesta. Pelawak manzai pria
memakai kimono atau setelan jas berikut dasi, sedangkan pelawak manzai wanita
memakai kimono atau baju terusan yang berwarna-warni mencolok, lengkap dengan
sepatu berhak tinggi.
Sesuai dengan perkembangan zaman, pelawak manzai sebagian berperan sebagai
pelawak di televisi (Owarai Talento atau Owarai Geinin). Pakaian yang dikenakan
sewaktu tampil di atas panggung adalah pakaian santai yang dikenakan sehari-hari.
Pelawak manzai gaya baru sering menggunakan properti panggung, seperti kursi, meja,
lemari, dan layar proyeksi.
Pelawak yang menjadi si pintar kadang-kadang menggunakan kata-kata yang
menghina untuk memberitahu si bodoh bahwa ceritanya aneh atau janggal. Bukan hanya
itu, pelawak berperan sebagai si bodoh tidak jarang menerima tamparan dengan telapak
tangan di kepala atau bagian dada. Kadang-kadang pemeran si bodoh juga harus menerima
pukulan di bagian kepala dengan menggunakan kertas karton yang dilipat seperti kipas,
atau mainan yang mengeluarkan bunyi pukulan yang keras.
Berbeda dengan si bodoh yang terus menerus harus bercerita, si pintar hanya sekali-
kali menginterupsi cerita si bodoh. Maksudnya sebagai umpan agar si bodoh menjadi lebih
lucu. Kesempatan ini juga dimanfaatkan si bodoh untuk mengambil nafas, sehingga tempo
cerita yang cepat dapat
dipertahankan.
2.7 Takarazuka
A. Definisi Takarazuka
Takarazuka adalah sebuah nama Opera di Jepang yang seluruh pemain dramanya
adalah gadis muda pada kisaran usia belasan tahun hingga dua puluh tahunan (belum
menikah). Nama Takarazuka sendiri merupakan nama sebuah daerah di Kepulauan
Honshu, Jepang yang terletak di Osaka. Pertunjukan Takarazuka merupakan perpaduan
antara sandiwara dengan tari dan nyanyian. Ceritanya merupakan adaptasi novel, opera
musikal, atau film dari Barat.
Takarazuka didirikan oleh Ichizo Kobayashi untuk menarik pengunjung onsen (rumah
pemandian air panas) dengan mengadakan pertunjukan menyanyi dan menari di depan
kolam pemandian. Pada 1913, Takarazuka dikenal dengan nama Takarazuka Shokatai
yang berhasil menggantikan pertunjukan hiburan Geisha. Sekitar 20 gadis muda
mengadakan pertunjukan paduan suara di depan pengunjung pemandian air panas.
Suksesnya Takarazuka Shokatai, pada 1914 Ichizo Kobayashi mendirikan sekolah musik
Takarazuka Music School dan diikuti dengan pembuatan pertunjukan opera atau
Takarazuka Revue/ kelompok Opera Show Kagekidan pada 1918 di Tokyo, Jepang.
Pada 1920, opera Takarazuka menjadi pertunjukan yang terkenal. Sejak 1933-1938,
opera Takarazuka berhasil tampil di berbagai negara seperti Jerman, Italia bahkan sampai
ke Amerika Serikat dengan judul pertunjukan drama berbahasa Inggris seperti, “Big
Apple”, “Hawaii - New York”, dan “Manhattan Rhytm”. Selain itu, pada 1934, sebuah
grup dari opera Takarazuka dikirim untuk menghibur para militer yang berperang di Cina,
dan terus berlanjut hingga perang usai.
Pada 1944 saat terjadinya Perang Dunia II, opera Takarazuka ditutup dan dijadikan
pabrik alat tempur dan kemiliteran. Para pemain opera dikirim ke pabrik, rumah sakit, dan
tempat lainnya untuk menghibur para relawan dan militer pada masa perang karena
adanya undang-undang dan kebijakan pemerintah Jepang mengenai pertunjukan hiburan.
Pada 1946, opera Takarazuka kembali dibuka dengan judul penampilan drama “Bizet’s
Carmen”. Setelah mengalami masa perang yang sulit, untuk beberapa waktu pemain opera
Takarazuka yang melakukan pertunjukan mengalami hal yang sama menderitanya dengan
penonton/penggemar mereka
C. Penyelenggaraan Takarazuka
b) Pembelian Tiket
c) Penggemar
d) Sekolah Takarazuka
Awalnya, gadis-gadis di Takarazuka ini merupakan kelompok penyanyi
dan penari yang dibentuk untuk mengadakan pertunjukan mereka di depan
pengunjung onsen/kolam air panas, karena tidak ingin sama dengan para Geisha,
Ichizo Kobayashi mendirikan sekolah musik yang bertujuan untuk melatih para
gadis agar dapat memberikan pertunjukan opera yang diadaptasi dari Eropa.
Setelah mengikuti seleksi dan dinyatakan lulus, mereka akan tinggal di asrama
dan bersekolah di sekolah musik dan opera Takarazuka selama dua tahun.
Saat menjadi siswi, para gadis muda ini menjalani pendidikan layaknya
siswi sekolah pada umumnya hanya saja, pelajaran utama mereka adalah
pertunjukan seni opera seperti, berakting, bernyanyi, menari dan lainnya. Karena
opera Takarazuka hanya dimainkan oleh para gadis, maka pemeran pria dalam
drama opera dimainkan oleh siswi yang memang khusus memerankan pria dalam
opera. Takarazuka yang memiliki slogan “Kiyoku, Tadashiku, Utsukushiku”
atau kemurnian, kejujuran, dan kecantikan yang berarti pertunjukan opera yang
“aman” dan "tidak berbahaya”.
e) Ciri Khas Takarazuka
Ciri utama dari Takarazuka yaitu, adanya pembukaan pendaftaran sekolah
yang bisa diikuti oleh ribuan gadis dari seluruh Jepang dan setiap kali ada
pembukaan pendaftaran siswi baru, hanya empat puluh dari ribuan gadis yang
terpilih sebagai calon siswi. Keempat puluh siswi tersebut kemudian dibentuk
sebagai sebuah tim yang didik bersama-sama menjadi grup opera. Para gadis yang
terpilih masuk ke sekolah Takarazuka hingga mereka tampil di panggung
opera akan disebut dengan istilah “siswi”.
Para siswi tinggal di asrama dan dilatih menjadi peran yang akan
dipertunjukan dalam pertunjukan opera Takarazuka baik peran wanita maupun
peran pria. Sejak tahun pertama, para siswi tersebut akan diarahkan atau
memilih sendiri peran baik sebagai wanita (musumeyaku) ataupun pria
(otokoyaku). Para pemain otokoyaku harus merelakan rambutnya dipotong
pendek, serta belajar berbicara, berjalan dan menggunakan bahasa tubuh lainnya
seperti laki-laki. Mereka terlihat sangat macho saat berakting di panggung. Ketika
tahun kedua, para siswi sudah bisa mengikuti pertunjukan opera di gedung
Opera Takarazuka.
Ciri lain dari Takarazuka adalah tentang sistem kelulusannya yaitu waktu
berhentinya seorang pemain opera Takarazuka dari panggung pertunjukan.
Istilah “lulus” dalam opera Takarazuka biasanya terjadi pada siswi yang ingin
berhenti menjadi bintang Takarazuka karena beberapa alasan seperti ingin
pacaran, menikah, melanjutkan sekolah, bekerja dan lain sebagainya. Adanya
sistem kelulusan ini membuat para gadis yang menjadi pemain opera hanya
akan menjadi idola selama mereka tidak menikah dan masih muda.
KESIMPULAN
Salah satu teater tradisional di Jepang adalah drama Noh. Noh merupakan teater
tradisional yang paling tua di Jepang. Selain Noh, ada teater Kyogen adalah sejenis lawak
yang erat hubungannya dengan Sarugaku dan Noh, karena itu disebut juga dengan Noh
Kyogen. Kyougen dipentaskan ditengah pertunjukan Noh, yaitu antara babak yang satu
dengan babak yang berikutnya. Noh dikategorikan pada kesenian yang menonjolkan
kehalusan dan keindahan, sedangkan Kyogen sangat bersifat kerakyatan yang
mengandung unsur realita.
Kabuki berasal dari kata ka yang berarti menyanyi, bu yang berarti menari, dan ki
yang berarti melakon. Bunraku adalah pertunjukan yang hanya dibawakan oleh laki laki,
3 unsur pertunjukan disebut sangyou yang terdiri dari tayuu ( 太 夫 ) atau narator
pertunjukan, pemain Shamisen, dan 3 ningyou tsukai ( 人 形 遣 い ) atau dalang. Rokugo
seperti “Stand Up Comedy” di Barat, hanya saja penceritanya atau yang disebut pula
dengan Rakugoka (落語家) dilakukan sambil duduk bersila di Zabuton (座布団) yang
merupakan bantal alas duduk, di atas panggung yang disebut Kouzamei (高座名).
Pertunjukan Manzai biasanya dilakukan oleh dua orang yang bercakap-cakap di depan
penonton menceritakan cerita yang lucu, janggal, atau tidak masuk akal dengan irama
berbicara seperti bersahut-sahutan. Satu orang berperan sebagai si pintar (tsukkomi) yang
berfungsi sebagai pengumpan, dan seorang lagi yang berperan sebagai si bodoh (boke)
yang terus menyerocos bercerita agar penonton tertawa.
Sedangkan pertunjukan Takarazuka merupakan perpaduan antara sandiwara dengan
tari dan nyanyian. Ceritanya merupakan adaptasi novel, opera musikal, atau film dari
Barat.
DAFTAR PUSTAKA
https://www.academia.edu
https://www.kompasiana.com
https://www.japanhoppers.com
https://www.aimizumizu.com/2012/03/bunraku.html
http://file.upi.edu/Direktori/FPBS/JUR._PEND._BAHASA_JEPANG/195804061985032-
RENARIAH/artikel/Kabuki.pdf
https://livejapan.com/id/article-a0000299/
http://staff.ui.ac.id/system/files/users/okke-ks/publication/hiski.okz.pdf
https://www.fun-japan.jp/id/articles/9147
http://himade.fib.unpad.ac.id/2019/03/27/rakugo-stand-up-comedy-yang-duduk-dari-jepang/
https://www.nhk.or.jp/japan-art/id/archives/160714/index.html
Nio Joe Lan. 1964. Sastera Jepang Sekilas Mata. Jakarta: Gunung Agung.