Anda di halaman 1dari 10

1.

PENGERTIAN

Kabuki (歌舞伎?) adalah seni teater tradisional khas Jepang yang menggabungkan
unsur tari, pantomim, musik, dan drama. Aktor kabuki terkenal dengan kostum
mewah dan tata rias wajah yang mencolok, Riasan antara lain menggunakan
tepung beras untuk menciptakan efek porselen pada kulit. Bagi orang Jepang,
Kabuki mungkin memiliki arti seperti teater Shakespeare bagi orang Inggris atau
opera tradisional bagi orang Italia.

Kabuki disebut kesenian tradisional dengan mutu nilai adiluhung, karena pada
setiap elemennya menyimpan simbol-simbol yang berkait dengan nilai-nilai praktis.
Juga, gerakan tarian dalam kabuki, mengandung simbol-simbol terkait santunitas
dalam bersikap. Penonton yang mengerti simbol-simbol tiap gerakan, akan
mengerti jalan cerita yang sedang diusung para penari. Mereka yang tidak
mengerti makna tarian kabuki, di Jepang sana pada masa Edo, yaitu masa ketika
tarian ini lahir, akan dianggap kurang pendidikan atau kampungan.

Kementerian Pendidikan Jepang menetapkan kabuki sebagai warisan agung


budaya nonbendawi. UNESCO juga telah menetapkan kabuki sebagai Karya
Agung Warisan Budaya Lisan dan Nonbendawi Manusia. Kabuki, bersama seni
wayang dari Indonesia dan 42 kesenian lainnya dari berbagai penjuru dunia,
ditetapkan menjadi maestro warisan seni budaya dunia oleh UNESCO sejak
2005.

Setelah melalui beberapa perkembangan akhirnya kabuki ditulis dengan tiga


karakter kanji yaitu uta 歌 (lagu), mai 舞 (tarian), dan ki 妓(seniman wanita)
yang kemudian karakter kanji ki 妓 diubah menjadi ki 伎, sehingga kabuki ditulis
menjadi 歌舞伎(かぶき) yang sekarang ini. Penamaan kabuki dengan menggunakan
tiga karakter kanji di atas, dikarenakan tiga karakter di atas dianggap sesuai
dengan unsur-unsur yang ada di dalam pertunjukan teater kabuki itu tersebut.
Adapun pada awalnya karakter ki, ditulis dengan 妓dikarenakan kabuki pada
awalnya lahir dari seorang seniman wanita yang bernama okuni 阿国(おくに) dari
kuil Izumo.
2. SEJARAH

Sejarah kabuki dimulai tahun 1603 dengan pertunjukan dramatari yang


dibawakan wanita bernama Okuni di kuil Kitano Temmangu, Kyoto.
Kemungkinan besar Okuni adalah seorang miko asal kuil Izumo Taisha, tapi
mungkin juga seorang kawaramono (sebutan menghina buat orang kasta rendah
yang tinggal di tepi sungai). Identitas Okuni yang benar tidak dapat diketahui
secara pasti. Tari yang dibawakan Okuni diiringi dengan lagu yang sedang
populer. Okuni juga berpakaian mencolok seperti laki-laki dan bertingkah laku
tidak wajar seperti orang aneh ("kabukimono"), sehingga lahir suatu bentuk
kesenian garda depan (avant garde). Panggung yang dipakai waktu itu adalah
panggung Noh. Hanamichi (honhanamichi yang ada di sisi kiri penonton dan
karihanamichi yang ada di sisi kanan penonton) di gedung teater Kabuki-za
kemungkinan merupakan perkembangan dari Hashigakari (jalan keluar-masuk
aktor Noh yang ada di panggung sisi kiri penonton).

Kesenian garda depan yang dibawakan Okuni mendadak sangat populer,


sehingga bermunculan banyak sekali kelompok pertunjukan kabuki imitasi.
Pertunjukan kabuki yang digelar sekelompok wanita penghibur disebut Onna-
kabuki (kabuki wanita), sedangkan kabuki yang dibawakan remaja laki-laki
disebut Wakashu-kabuki (kabuki remaja laki-laki). Keshogunan Tokugawa menilai
pertunjukan kabuki yang dilakukan kelompok wanita penghibur sudah melanggar
batas moral, sehingga pada tahun 1629 kabuki wanita penghibur dilarang
dipentaskan. Pertunjukan kabuki laki-laki daun muda juga dilarang pada tahun
1652 karena merupakan bentuk pelacuran terselubung. Pertunjukan Yarō kabuki
(野郎歌舞伎 kabuki pria?) yang dibawakan seluruhnya oleh pria dewasa diciptakan
sebagai reaksi atas dilarangnya Onna-kabuki dan Wakashu-kabuki. Aktor kabuki
yang seluruhnya terdiri dari pria dewasa yang juga memainkan peran sebagai
wanita melahirkan "konsep baru" dalam dunia estetika. Kesenian Yarō kabuki
terus berkembang pada zaman Edo dan berlanjut hingga sekarang.

Dalam perkembangannya, kabuki digolongkan menjadi Kabuki-odori (kabuki


tarian) dan Kabuki-geki (kabuki sandiwara). Kabuki-odori dipertunjukkan dari
masa kabuki masih dibawakan Okuni hingga di masa kepopuleran Wakashu-
kabuki, remaja laki-laki menari diiringi lagu yang sedang populer dan konon ada
yang disertai dengan akrobat. Selain itu, Kabuki-odori juga bisa berarti
pertunjukan yang lebih banyak tarian dan lagu dibandingkan dengan porsi drama
yang ditampilkan
A. Sejarah kabuki zaman Edo

Kabuki-geki merupakan pertunjukan sandiwara yang ditujukan untuk penduduk


kota pada zaman Edo dan berintikan sandiwara dan tari. Peraturan yang
dikeluarkan Keshogunan Edo mewajibkan kelompok kabuki untuk "habis-habisan
meniru kyōgen" merupakan salah satu sebab kabuki berubah menjadi
pertunjukan sandiwara. Alasannya kabuki yang menampilkan tari sebagai atraksi
utama merupakan pelacuran terselubung dan pemerintah harus menjaga moral
rakyat. Tema pertunjukan kabuki-geki bisa berupa tokoh sejarah, cerita
kehidupan sehari-hari atau kisah peristiwa kejahatan, sehingga kabuki jenis ini
juga dikenal sebagai Kabuki kyogen. Kelompok kabuki melakukan apa saja demi
memuaskan minat rakyat yang haus hiburan. Kepopuleran kabuki menyebabkan
kelompok kabuki bisa memiliki gedung teater khusus kabuki seperti Kabuki-za.
Pertunjukan kabuki di gedung khusus memungkinkan pementasan berbagai
cerita yang dulunya tidak mungkin dipentaskan.

Di gedung kabuki, cerita yang memerlukan penjelasan tentang berjalannya


waktu ditandai dengan pergeseran layar sewaktu terjadi pergantian adegan.
Selain itu, di gedung kabuki bisa dibangun bagian panggung bernama hanamichi
yang berada melewati di sisi kiri deretan kursi penonton. Hanamichi dilewati
aktor kabuki sewaktu muncul dan keluar dari panggung, sehingga dapat
menampilan dimensi kedalaman. Kabuki juga berkembang sebagai pertunjukan
tiga dimensi dengan berbagai teknik, seperti teknik Séri (bagian panggung yang
bisa naik-turun yang memungkinkan aktor muncul perlahan-lahan dari bawah
panggung), dan Chūzuri (teknik menggantung aktor dari langit-langit atas
panggung untuk menambah dimensi pergerakan ke atas dan ke bawah seperti
adegan hantu terbang).

Sampai pertengahan zaman Edo, Kabuki-kyogen kreasi baru banyak diciptakan


di daerah Kamigata. Kabuki-kyogen banyak mengambil unsur cerita Ningyo
Jōruri yang khas daerah Kamigata. Penulis kabuki asal Edo tidak cuma diam
melihat perkembangan pesat kabuki di Kamigata. Tsuruya Namboku banyak
menghasilkan banyak karya kreasi baru sekitar zaman zaman Bunka hingga zaman
Bunsei. Penulis sandiwara kabuki Kawatake Mokuami juga baru menghasilkan
karya-karya barunya di akhir zaman Edo hingga awal zaman Meiji. Sebagai
hasilnya, Edo makin berperan sebagai kota budaya dibandingkan Kamigata mulai
paruh kedua zaman Edo. Di zaman Edo, Kabuki-kyogen juga disebut sebagai
sandiwara (shibai).
Secara garis besar ada 2 jenis pertunjukan Kabuki-kyogen dari semua karya yang
dihasilkan pada zaman Edo dan sekarang masih dipentaskan.

1. Kelompok pertama Kabuki-kyogen disebut Maruhon mono yang mengadaptasi


sebagian besar cerita dari cerita Ningyo Jōruri (Bunraku). Kabuki Maruhon
mono juga dikenal sebagai Gidayu-kyōgen, tapi Gidayu-kyōgen tidak selalu sama
dengan Maruhon mono. Pada Gidayu-kyōgen, aktor kabuki membawakan dialog
sementara dari atas mawaributai (panggung yang bisa berputar, dari arah
penonton terletak di sisi kanan panggung) penyanyi yang disebut Tayu bernyanyi
sambil diiringi pemain shamisen yang memainkan musik Gidayu-bushi. Pada
Ningyo Jōruri yang semua penjelasan cerita dan dialog dinyanyikan oleh Tayu

2. Kelompok kedua disebut Kabuki kreasi baru. Pada kabuki kreasi baru, musik
pengiring dimainkan dari Geza (tempat atau ruang untuk pemusik yang dari arah
penonton terletak di sisi kiri panggung).

Cerita kabuki yang berasal dari didramatisasi kisah sejarah disebut Jidaimono.
Cerita kabuki dengan kisah berlatar belakang kehidupan masyarakat disebut
Sewamono. Selain itu, penulis cerita kabuki juga senang menggunakan istilah
sekai (dunia) sebagai kerangka dasar cerita, misalnya karya kabuki berjudul
Taiheiki no sekai (太平記の世界 Dunia Taiheiki?), Heike monogatari no sekai (平家
物語の世界 Dunia Kisah klan Heike?), Sogamono no sekai (曾我物の世界 Dunia
Sogamono?), atau Sumidagawamono no sekai (隅田川物の世界 Dunia
Sumidagawamono?). Penonton biasanya sudah tahu jalan cerita dan akrab
dengan tokoh-tokoh yang tampil dalam cerita. Penonton hanya ingin menikmati
jalan cerita seperti yang dikisahkan penulis cerita kabuki.

Di zaman Edo, pementasan Kabuki-kyogen perlu mendapat izin dari instansi yang
berwenang. Keshogunan Edo biasanya mengizinkan sebagian besar pementasan
yang diadakan sejak matahari terbit hingga sebelum matahari terbenam asalkan
materi pementasan tidak melanggar peraturan yang sudah ditetapkan.
Pementasan yang dilakukan malam hari sesudah matahari terbenam tidak
diizinkan. Alasannya pertunjukan kabuki banyak diminati orang dan pemerintah
kuatir kerumunan orang dapat melakukan kegiatan melawan pemerintah.
Pertunjukan kabuki pada masa itu memerlukan waktu istirahat yang lama,
antara lain untuk mengganti set panggung. Bagi penonton yang datang
menyaksikan kabuki, menonton kabuki perlu sehari penuh dan merupakan satu-
satunya kegiatan yang bisa dilakukan pada hari itu.

Sebagian penonton menyukai Jidaimono sedangkan sebagian lagi menyukai


Sewamono, sehingga kabuki dalam pementasannya dituntut untuk bisa
memuaskan selera semua kalangan penonton. Dalam usaha memuaskan selera
penonton, pada pementasan kabuki sering dipertunjukkan dua cerita sekaligus,
Jidaimono dan Sewamono yang dipisahkan dengan waktu istirahat. Pementasan
dengan jalan cerita yang campur aduk juga tidak sedikit asalkan penonton
senang. Ada juga pementasan yang bagaikan bunga rampai dari berbagai cerita
dan hanya mengambil bagian-bagian cerita yang disukai penonton saja.
Pertunjukan seperti ini disebut Midori-kyōgen (konon berasal dari kata Yoridori
midori yang dalam bahasa Jepang berarti serbaneka atau aneka ragam).
Sebaliknya kyogen yang mementaskan keseluruhan cerita secara lengkap disebut
Tōshi-kyōgen.

B. Sejarah kabuki zaman Meiji

Kepopuleran kabuki tetap tidak tergoyahkan sejak zaman Meiji, tapi sering
menerima kritik. Di antaranya kalangan intelektual menganggap isi cerita kabuki
tidak sesuai untuk dipertunjukkan di negara orang beradab. Kalangan di dalam
dan luar lingkungan kabuki juga menuntut pembaruan di dalam kabuki, sehingga
mau tidak mau dunia showbiz kabuki harus diubah sesuai tuntutan zaman.
Kritik terhadap kabuki mengatakan banyak unsur dalam kabuki yang sebenarnya
tidak pantas dimasukkan ke dalam drama kabuki, misalnya: alur cerita yang tidak
masuk akal, tema cerita yang kuno atau berbau feodal, dan trik panggung yang
sekadar untuk membuat penonton takjub, seperti adegan aktor bisa "terbang"
atau berganti kostum dalam sekejap.

Akibat kritik yang diterima, dunia showbiz kabuki sejak zaman Meiji berusaha
mengadakan gerakan pembaruan dalam berbagai aspek teater kabuki. Gerakan
pembaruan yang disebut Engeki Kairyō Undō juga melibatkan pemerintah Meiji
yang memang bermaksud mengontrol pertunjukan kabuki. Pemerintah Meiji
bercita-cita menciptakan pertunjukan teater yang pantas dan bisa dinikmati
kalangan menengah dan kalangan atas suatu "masyarakat yang bermoral". Salah
satu hasil gerakan pembaruan kabuki adalah dibukanya gedung Kabuki-za
sebagai tempat pementasan kabuki. Selain itu, pembaruan juga melahirkan genre
baru teater kabuki yang disebut Shimpa.

Karya kabuki yang diciptakan di tengah gerakan pembaruan disebut Shin-kabuki,


dengan karya-karya baru banyak bermunculan hingga di awal zaman Showa.
Penggemar kabuki biasanya tidak menyukai sebagian besar karya kabuki yang
mendapat pengaruh gerakan pembaruan dan dipentaskan sebagai Shin-kabuki.
Penggemar Shin-kabuki cuma penulis terkenal seperti Tsubouchi Shoyo, Osanai
Kaoru, dan Okamoto Kido yang begita suka hingga menulis naskah baru untuk
kabuki. Sampai sekarang, karya-karya yang tergolong ke dalam Shin-kabuki yang
tidak disukai penggemar hampir tidak pernah dipentaskan.

Setelah Perang Dunia II, orang Jepang akhirnya mulai menyadari pentingnya
bentuk kesenian kabuki yang asli. Pada tahun 1965, pemerintah Jepang
menunjuk kabuki sebagai warisan agung budaya nonbendawi dan pemerintah
membangun Teater Nasional Jepang di Tokyo yang di antaranya digunakan
untuk pentas kabuki.

Selain itu, Ichikawa Ennosuke III berusaha menghidupkan kembali naskah-


naskah kabuki lama yang sudah jarang dipentaskan. Naskah kabuki yang jarang
dipentaskan dan dihidupkan kembali oleh Ichikawa Ennosuke III dikenal sebagai
Fukkatsu-kyōgen (kyogen yang dihidupkan kembali). Kabuki yang dipentaskan
Ichikawa Ennosuke III disebut Supa-kabuki (kabuki super), karena Ennosuke
mencoba teknik pementasan lebih berani dengan menghidupkan kembali trik
panggung (kérén) yang dulunya pernah dianggap selera rendah oleh banyak
orang. Belakangan ini, pertunjukan kabuki juga sering menampilkan dramawan
dan sutradara teater di luar lingkungan kabuki sebagai sutradara tamu.

Pementasan kabuki pada zaman sekarang sudah sangat berbeda dengan


pementasan kabuki pada zaman Edo. Kelompok kabuki berusaha memodernisasi
pertunjukan sekaligus memelihara tradisi pementasan. Kabuki sekarang sudah
dianggap sebagai seni pertunjukan tradisional yang sesuai dengan kemajuan
zaman.

Seiring dengan waktu, pertunjukan teater kabuki semakin berkualitas.


Penekanan bergeser dari tema tarian asli menjadi drama dan komedi
berdasarkan tema kontemporer seperti pengkhianatan atau intrik politik.

Aktor kabuki umumnya juga mempelajari gerakan dan dialog dari teater boneka
populer yang disebut bunraku.

Seiring apresiasi dari pemerintah dan kalangan kelas atas yang semakin
meningkat, teater kabuki menjadi semakin populer di Jepang.

Selama Perang Dunia II, komunitas teater kabuki menderita kerugian yang luar
biasa.

Butuh waktu beberapa dekade untuk memulihkan dan melatih jumlah aktor
yang memadai untuk menggantikan mereka yang menjadi korban perang.
Saat ini, teater kabuki masih cukup populer di kalangan masyarakat Jepang.
Kabuki antara lain dimainkan untuk kepentingan pariwisata sebagai bukti
pencapaian budaya tradisional Jepang.

Gedung teater Kabuki-za di Tokyo.

Lukisan gedung pertunjukan kabuki pada zaman Edo

Perintis kabuki, Izumo no Okuni sedang berpakaian laki-laki


Lukisan aktor kabuki di abad ke-18

3. Unsur-unsur

Musik kabuki

Musik pengiring kabuki dibagi berdasarkan arah sumber suara. Musik yang
dimainkan di sisi kanan panggung dari arah penonton disebut Gidayūbushi.
Takemoto (Chobo) adalah sebutan untuk Gidayūbushi khusus untuk kabuki.
Selain itu, musik yang dimainkan di sisi kiri panggung dari arah penonton disebut
Geza ongaku, sedangkan musik yang dimainkan di atas panggung disebut
Debayashi.

Judul

Judul pertunjukan kabuki disebut Gedai (外題?) yang kemungkinan besar berasal
dari kata Geidai (芸題 nama pertunjukan?). Judul pertunjukan (gedai) biasanya
ditulis dalam aksara kanji berjumlah ganjil, misalnya pertunjukan berjudul
Musume dōjōji (娘道成寺?) (4 aksara kanji) harus ditambah dengan Kyōkanoko (京
鹿子?) (3 aksara kanji) menjadi 京鹿子娘道成寺 (Kyōkanoko musume dōjōji?), supaya
bisa menjadi judul yang terdiri dari 7 aksara kanji. Selain judul pertunjukan yang
resmi, pertunjukan kabuki sering memiliki judul alias dan keduanya dianggap
sebagai judul yang resmi. Pertunjukan berjudul resmi Miyakodori nagare no
siranami (都鳥廓白波?) dikenal dengan judul lain Shinobu no Sōda (忍ぶの惣太?).
Pertunjukan berjudul Hachiman matsuri yomiya no nigiwai (八幡祭小望月賑?) juga
dikenal sebagai Chijimiya Shinsuke (縮屋新助?). Judul pertunjukan yang harus
ditulis dalam aksara kanji berjumlah ganjil menyebabkan judul sering ditulis
dengan cara penulisan ateji, akibatnya orang sering mendapat kesulitan
membaca judul pertunjukan kabuki.

Arti dari gerakan tarian Kabuki

Cara lengan menunjuk pada diri sendiri bagi perempuan. Adalah berbeda cara
menunjuk seorang gadis, seorang ibu cukup umur, dengan seorang nenek. Dari
perbedaan cara menunjuk itu saja, seorang penonton dapat mengerti tokoh yang
sedang dimainkan itu perempuan berusia berapa, dan tentu seperti apa tindakan
yang dianggap santun untuk seusiannya.

Pakaian dan rias wajah untuk tiap tokoh juga dibedakan. Dengan demikian,
pertunjukan kabuki yang lebih banyak dipresentasikan dalam bentuk tari, bisa
dikatakan semacam akumulasi dari gerak pantomim.
Daftar pustaka

 Bowers Faubion. 1974. Japanese Theatre. Tokyo : The Charles E. Tuttle


Company, Inc.
 Hattori Yukio. Ōinaru koya. Heibonsha.
 Kawatake Toshio, ed. Furuido Hideo ed. Kabuki tōjōjinbutsu jiten,
Hakusuisha ISBN 4-560-03596-2
 Kawatake Toshio. 2001. Kabuki. Japan : Tokyo Daigaku Shuppankai.
 Kamiyama Akira. "Kindai engeki no raireki" kabuki no "isshin nishō."
Shinwasha. ISBN 4-916087-64-X
 Nakamura Tetsurō. Kabuki no kindai: sakka to sakuhin. Iwanami shoten.
ISBN 4-00-022466-2
 Noguchi Tatsuji. Showa 44. Kabuki no Bi. Tokyo : Kagoshima Shuppankai
 Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Anda mungkin juga menyukai