PENGERTIAN
Kabuki (歌舞伎?) adalah seni teater tradisional khas Jepang yang menggabungkan
unsur tari, pantomim, musik, dan drama. Aktor kabuki terkenal dengan kostum
mewah dan tata rias wajah yang mencolok, Riasan antara lain menggunakan
tepung beras untuk menciptakan efek porselen pada kulit. Bagi orang Jepang,
Kabuki mungkin memiliki arti seperti teater Shakespeare bagi orang Inggris atau
opera tradisional bagi orang Italia.
Kabuki disebut kesenian tradisional dengan mutu nilai adiluhung, karena pada
setiap elemennya menyimpan simbol-simbol yang berkait dengan nilai-nilai praktis.
Juga, gerakan tarian dalam kabuki, mengandung simbol-simbol terkait santunitas
dalam bersikap. Penonton yang mengerti simbol-simbol tiap gerakan, akan
mengerti jalan cerita yang sedang diusung para penari. Mereka yang tidak
mengerti makna tarian kabuki, di Jepang sana pada masa Edo, yaitu masa ketika
tarian ini lahir, akan dianggap kurang pendidikan atau kampungan.
2. Kelompok kedua disebut Kabuki kreasi baru. Pada kabuki kreasi baru, musik
pengiring dimainkan dari Geza (tempat atau ruang untuk pemusik yang dari arah
penonton terletak di sisi kiri panggung).
Cerita kabuki yang berasal dari didramatisasi kisah sejarah disebut Jidaimono.
Cerita kabuki dengan kisah berlatar belakang kehidupan masyarakat disebut
Sewamono. Selain itu, penulis cerita kabuki juga senang menggunakan istilah
sekai (dunia) sebagai kerangka dasar cerita, misalnya karya kabuki berjudul
Taiheiki no sekai (太平記の世界 Dunia Taiheiki?), Heike monogatari no sekai (平家
物語の世界 Dunia Kisah klan Heike?), Sogamono no sekai (曾我物の世界 Dunia
Sogamono?), atau Sumidagawamono no sekai (隅田川物の世界 Dunia
Sumidagawamono?). Penonton biasanya sudah tahu jalan cerita dan akrab
dengan tokoh-tokoh yang tampil dalam cerita. Penonton hanya ingin menikmati
jalan cerita seperti yang dikisahkan penulis cerita kabuki.
Di zaman Edo, pementasan Kabuki-kyogen perlu mendapat izin dari instansi yang
berwenang. Keshogunan Edo biasanya mengizinkan sebagian besar pementasan
yang diadakan sejak matahari terbit hingga sebelum matahari terbenam asalkan
materi pementasan tidak melanggar peraturan yang sudah ditetapkan.
Pementasan yang dilakukan malam hari sesudah matahari terbenam tidak
diizinkan. Alasannya pertunjukan kabuki banyak diminati orang dan pemerintah
kuatir kerumunan orang dapat melakukan kegiatan melawan pemerintah.
Pertunjukan kabuki pada masa itu memerlukan waktu istirahat yang lama,
antara lain untuk mengganti set panggung. Bagi penonton yang datang
menyaksikan kabuki, menonton kabuki perlu sehari penuh dan merupakan satu-
satunya kegiatan yang bisa dilakukan pada hari itu.
Kepopuleran kabuki tetap tidak tergoyahkan sejak zaman Meiji, tapi sering
menerima kritik. Di antaranya kalangan intelektual menganggap isi cerita kabuki
tidak sesuai untuk dipertunjukkan di negara orang beradab. Kalangan di dalam
dan luar lingkungan kabuki juga menuntut pembaruan di dalam kabuki, sehingga
mau tidak mau dunia showbiz kabuki harus diubah sesuai tuntutan zaman.
Kritik terhadap kabuki mengatakan banyak unsur dalam kabuki yang sebenarnya
tidak pantas dimasukkan ke dalam drama kabuki, misalnya: alur cerita yang tidak
masuk akal, tema cerita yang kuno atau berbau feodal, dan trik panggung yang
sekadar untuk membuat penonton takjub, seperti adegan aktor bisa "terbang"
atau berganti kostum dalam sekejap.
Akibat kritik yang diterima, dunia showbiz kabuki sejak zaman Meiji berusaha
mengadakan gerakan pembaruan dalam berbagai aspek teater kabuki. Gerakan
pembaruan yang disebut Engeki Kairyō Undō juga melibatkan pemerintah Meiji
yang memang bermaksud mengontrol pertunjukan kabuki. Pemerintah Meiji
bercita-cita menciptakan pertunjukan teater yang pantas dan bisa dinikmati
kalangan menengah dan kalangan atas suatu "masyarakat yang bermoral". Salah
satu hasil gerakan pembaruan kabuki adalah dibukanya gedung Kabuki-za
sebagai tempat pementasan kabuki. Selain itu, pembaruan juga melahirkan genre
baru teater kabuki yang disebut Shimpa.
Setelah Perang Dunia II, orang Jepang akhirnya mulai menyadari pentingnya
bentuk kesenian kabuki yang asli. Pada tahun 1965, pemerintah Jepang
menunjuk kabuki sebagai warisan agung budaya nonbendawi dan pemerintah
membangun Teater Nasional Jepang di Tokyo yang di antaranya digunakan
untuk pentas kabuki.
Aktor kabuki umumnya juga mempelajari gerakan dan dialog dari teater boneka
populer yang disebut bunraku.
Seiring apresiasi dari pemerintah dan kalangan kelas atas yang semakin
meningkat, teater kabuki menjadi semakin populer di Jepang.
Selama Perang Dunia II, komunitas teater kabuki menderita kerugian yang luar
biasa.
Butuh waktu beberapa dekade untuk memulihkan dan melatih jumlah aktor
yang memadai untuk menggantikan mereka yang menjadi korban perang.
Saat ini, teater kabuki masih cukup populer di kalangan masyarakat Jepang.
Kabuki antara lain dimainkan untuk kepentingan pariwisata sebagai bukti
pencapaian budaya tradisional Jepang.
3. Unsur-unsur
Musik kabuki
Musik pengiring kabuki dibagi berdasarkan arah sumber suara. Musik yang
dimainkan di sisi kanan panggung dari arah penonton disebut Gidayūbushi.
Takemoto (Chobo) adalah sebutan untuk Gidayūbushi khusus untuk kabuki.
Selain itu, musik yang dimainkan di sisi kiri panggung dari arah penonton disebut
Geza ongaku, sedangkan musik yang dimainkan di atas panggung disebut
Debayashi.
Judul
Judul pertunjukan kabuki disebut Gedai (外題?) yang kemungkinan besar berasal
dari kata Geidai (芸題 nama pertunjukan?). Judul pertunjukan (gedai) biasanya
ditulis dalam aksara kanji berjumlah ganjil, misalnya pertunjukan berjudul
Musume dōjōji (娘道成寺?) (4 aksara kanji) harus ditambah dengan Kyōkanoko (京
鹿子?) (3 aksara kanji) menjadi 京鹿子娘道成寺 (Kyōkanoko musume dōjōji?), supaya
bisa menjadi judul yang terdiri dari 7 aksara kanji. Selain judul pertunjukan yang
resmi, pertunjukan kabuki sering memiliki judul alias dan keduanya dianggap
sebagai judul yang resmi. Pertunjukan berjudul resmi Miyakodori nagare no
siranami (都鳥廓白波?) dikenal dengan judul lain Shinobu no Sōda (忍ぶの惣太?).
Pertunjukan berjudul Hachiman matsuri yomiya no nigiwai (八幡祭小望月賑?) juga
dikenal sebagai Chijimiya Shinsuke (縮屋新助?). Judul pertunjukan yang harus
ditulis dalam aksara kanji berjumlah ganjil menyebabkan judul sering ditulis
dengan cara penulisan ateji, akibatnya orang sering mendapat kesulitan
membaca judul pertunjukan kabuki.
Cara lengan menunjuk pada diri sendiri bagi perempuan. Adalah berbeda cara
menunjuk seorang gadis, seorang ibu cukup umur, dengan seorang nenek. Dari
perbedaan cara menunjuk itu saja, seorang penonton dapat mengerti tokoh yang
sedang dimainkan itu perempuan berusia berapa, dan tentu seperti apa tindakan
yang dianggap santun untuk seusiannya.
Pakaian dan rias wajah untuk tiap tokoh juga dibedakan. Dengan demikian,
pertunjukan kabuki yang lebih banyak dipresentasikan dalam bentuk tari, bisa
dikatakan semacam akumulasi dari gerak pantomim.
Daftar pustaka