“ GEISHA ”
Disusun Oleh :
ROSSY ULVIA
SAFITRI ALICIA
TANIA PUTRI WISESYA
Prodi :
SEKRETARI 2017 ( A )
Pahami Budaya Geisha di Jepang!
Apa itu Geisha? Sebagian besar orang tentu langsung membayangkan sosok wanita
Jepang ber-kimono lengkap dengan dandanan putih tebal dan rambut palsunya.
Geisha sering disalahartikan banyak orang sebagai wanita penghibur atau yng
berkaitan dengan prostitusi. Padahal, arti geisha sebenarnya adalah "seniman" atau
"artis", yang berasal dari huruf kanji gei [=seni] dan sha/mono [=orang].
Geisha merupakan bagian dari sejarah dan kebudayaan Jepang. Geisha sebagai bagian
dari sejarah dan kebudayaan Jepang cukup fenomenal. Di satu sisi menggambarkan
betapa anggun dan berbudayanya wanita Jepang tetapi disi lain memunculkan
gambaran negatif wanita Jepang itu sendiri. Geisha pernah diteliti antaralain oleh Ida
Anggraeni Ananda (1994). Kajian ini menyimpulkan bahwa sesungguhnya geisha
sebagai agen seni tidak sama dengan wanita penghibur yang lain. Seorang geisha asli
adalah wanita Jepang yang berbakat dan berkemampuan lebih dalam bidang seni,
moral dan intelektual dengan aktivitas yang terpola dan terkonsep. Pandangan bahwa
geisha adalah wanita penghibur adalah salah karena geisha menghibur melalui seni
dan penampilan keduanya berbeda.
Sejarah geisha dimulai dari awal pemerintahan Tokugawa, di mana Jepang memasuki
masa damai dan tidak begitu disibukkan lagi dengan masalah-masalah perang. Seorang calon
geisha harus menjalani pelatihan seni yang berat selagi usia dini. Berlatih alat musik petik
shamizen yang membuat calon geisha harus merendam jarinya di air es. Berlatih alat musik
lainnya juga seperti tetabuhan kecil hingga taiko. Berlatih seni tari yang menjadi kunci
kesuksesan seorang geisha, karena geisha papan atas umumnya adalah penari, tari Topeng
Noh yang sering dimainkan oleh geisha dihadirkan bagi masyarakat kelas atas berbeda
segmennya dengan pertunjukkan Kabuki yang lebih disukai rakyat jelata.
Sejarah Geisha sudah berlangsung selama ratusan tahun lalu. Tepatnya ketika sistem
pemerintahan Jepang berada di Kota Edo (kini Tokyo). Tidak akan ada yang menyangka
bahwa pada awal mulanya, Geisha adalah kaum lelaki yang pandai menari dan menyanyi
untuk memberikan hiburan pada para tamu. Perubahan pun terjadi, Geisha yang dikenal kini,
adalah kaum wanita Jepang yang dilatih di Okiya (rumah pelatihan Geisha) hingga memiliki
berbagai kemampuan seni Jepang yang luar biasa.
Para Gheisa mahir memainkan Shamisen atau alat musik tradisional Jepang berdawai
yang dimainkan dengan cara dipetik menggunakan alat petik bernama bachi. Mereka juga
dilatih untuk pandai menari serta menguasai beberapa jenis sastra lainnya. Selain itu, para
Geisha juga dilatih untuk bertingkah laku yang sopan dan bertutur kata yang lembut
Pemerintah Jepang pada 1779 mengakui Geisha sebagai sebuah profesi di Jepang.
Sebab para Geisha adalah wanita-wanita cantik dan terlatih untuk menghibur, pemerintah
pada masa itu mengkhawatirkan bila para Geisha terlibat pelacuran. Karenanya, ketika itu,
Geisha diawasi dengan ketat. Mereka diantar dan dijemput bila akan dan selesai melakukan
pekerjaannya di sebuah pesta.
Geisha menjadi salah satu budaya Jepang yang memiliki nilai-nilai kharismatik yang
masih cukup tinggi. Dengan ciri khas Kimono berwarna-warni mengikuti musim serta
pulasan bedak yang tebal dan lipstik warna merah yang mencolok, serta tatanan rambut
bersanggul yang ditata satu minggu sekali oleh para penata rambut profesional, Geisha sangat
mudah dikenali. Jika beruntung, pada waktu-waktu tertentu Mina-san bisa bertemu dengan
Geisha di pusat keberadaan Geisha di Kyoto – Jepang
Geisha merupakan bagian dari sejarah dan kebudayaan Jepang. Geisha sebagai bagian
dari sejarah dan kebudayaan Jepang cukup fenomenal. Di satu sisi menggambarkan betapa
anggun dan berbudayanya wanita Jepang tetapi disi lain memunculkan gambaran negatif
wanita Jepang itu sendiri. Geisha pernah diteliti antaralain oleh Ida Anggraeni Ananda
(1994). Kajian ini menyimpulkan bahwa sesungguhnya geisha sebagai agen seni tidak sama
dengan wanita penghibur yang lain. Seorang geisha asli adalah wanita Jepang yang berbakat
dan berkemampuan lebih dalam bidang seni, moral dan intelektual dengan aktivitas yang
terpola dan terkonsep. Pandangan bahwa geisha adalah wanita penghibur adalah salah karena
geisha menghibur melalui seni dan penampilan keduanya berbeda.
Oleh karenanya, tidak aneh sinyalemen Kartini-Kartono yang mengatakan bahwa ada
kecenderungan umum kaum wanita banyak dijadikan budak nafsu biologis para pria, baik
dalam fungsi prokreatif (melahirkan anak) maupun dalam fungsi “hiburan” (Kartini-Kartono,
1986:2). Jugun ianfu, merupakan salah satu tema yang menarik perhatian di antara sekian
banyak tema yang mengganggu rasa keadilan dan perghargaan harkat kemanusiaan
khususnya wanita. Fenomena ini telah meninggalkan trauma sosial yang dalam dan melukai
kelompok bangsa lain (Saya Shiraishi dan Takashi Shiraishi, 1998). Jugun ianfu adalah
sebutan untuk perempuan-perempuan Asia, khususnya, yang direkrut oleh pemerintah Jepang
pada masa pendudukan tentara Jepang sekitar Perang Dunia II dan dijadikan budak nafsu
seksual bala tentara Jepang (confort women). Perempuan-perempuan ini direkrut pada usia
yang sangat muda dengan dijanjikan untuk meneruskan belajar di negeri Jepang atau dengan
alasan untuk menjadi penyanyi atau penari.
Karena bangsa penjajah -kebanyakan tentara – tidak banyak membawa para wanita
istri-istri mereka sedangkan kegiatan seksual merupakan salah satu kebutuhan manusia, maka
sangat mungkin di daerah pendudukan ditemukan tentara yang memanfaatkan wanita pribumi
untuk dijadikan istri, memanfatkan rumah pelacuran, atau bahkan melakukan pemaksaan
terhadap wanita untuk pelampiasan nafsu. Kondisi daerah konflik dikatakan rentan terhadap
tindak kekerasan seksual, perkosaan dan sejenisnya (Wiwik Setyawati dalam Achie Sudiarti
Luluhima, 2000:169).
Ditemukan adanya banyak kasus tentara pendudukan melakukan perkosaan terhadap
wanita pribumi. Korban perkosaan oleh tentara atau sipil pada wanita pada masa perang
terjadi sepanjang sejarah. Bahkan hampir keseluruhan keberadaan tentara di daerah konflik
diwarnai noda perkosaan . Begitu pula yang terjadi pada pemerintah pendudukan tentara
Jepang di Indonesia. Hanya saja yang terjadi, tentara Jepang bahkan mengoperasikan dan
mengatur keseluruhan kebutuhan akan hal tersebut.
KERAHASIAAN GEISHA
Hal yang tidak boleh dilakukan oleh seorang Geisha pada saat dia menghibur
dan mereka harus pandai merahasiakan hal tersebut :
Uniknya, wanita Geisha sangat menutupi bagian auratnya yang bisa mengundang
nafsu kaum adam, ini terlihat dari pakaian para geisha (kimono).
Dan yang terbuka hanya bagian leher belakang yang berbentuk V.
Semakin panjang bentuk V-nya kebawah berarti sang Geisha semakin provokatif.
Perlu diketahui, memakai Kimono tidak semudah yang kita bayangkan ternyata baju
kimono memiliki 12 lapisan. dan itu harus sesuai dengan masing-masing setelannya !!
tahukah perlu waktu berapa lama? 1 Jam lebih!
Dan setelah kimono terpakai si wanita harus menyesuaikan gerakannya.
Untuk menentukan Geisha Muda dan Geisha Senior, lihat saja warna kerahnya.
jika warna kerahnya Merah berarti Geisha Muda, dan jika kerah warna putih berarti
Geisha Senior.
Apakah Benar Mitos Geisha Prostitusi?
Pulskers harus tahu jika profesi geisha itu tidak selamanya dilakoni oleh para perempuan
Jepang. Dan memang benar ternyata kaum lelaki Jepang pun ada yang memilih menjadi
geisha sebagai profesinya. Lelaki yang menjadi geisha disebut sebagai Honko, mereka pun
mengerjakan sebagaimana yang dilakukan oleh para geisha, menari, berdiskusi, bernyanyi
dan menemani tamunya di restoran, bar, dan rumah teh. Dan berdasarkan catatan bahwa
geisha pertama, adalah seorang lelaki.
2. Pelaku Seni
Arti sebenarnya dari geisha itu sendiri adalah pelaku seni, seniman atau seniwati. Namun
banyak masyarakat dunia yang menganggap profesi geisha tidak bedanya dengan pelaku
prostitusi (PSK). Jika Pulskers mencarinya di mesin pencarian google, maka akan ditemukan
sebuah pengertian yang menyatakan bahwa geisha adalah perempuan Jepang yang dilatih
untuk menghibur para pria dengan cara berbincang-bincang, menari dan bernyanyi.
Bahkan jauh di masa lalu, para geisha dipaksa melakukan sebuah upacara yang disebut
dengan "mizuage." Sebuah upacara menyambut datangnya masa dewasa bagi seorang
perempuan. Selama upacara berlangsung para maiko (geisha yang masih dalam pendidikan)
"dijual" kepada penawar tertinggi untuk melepaskan masa gadisnya. Meski demikian upacara
tersebut dianggap sakral dan para maiko tetap dihormati.
Sobat unik menjadi seorang geisha adalah menjadi seorang yang tidak dikenal, dan hal
demikian disampaikan dalam sesi pendidikannya. Para geisha diharuskan menyembunyikan
semua yang merujuk pada identitas mereka, seperti nama, alamat rumah dan sebagainya
meskipun tamu itu benar-benar seorang terhormat.
4. Aurat
Seorang geisha yang sedang melayani tamu dengan membuatkan minuman teh akan menarik
kimononya, sehingga keindahan kulit lengannya dapat dilihat oleh lelaki yang menjadi
tamunya. Perilaku tersebut adalah sebuah simbol sensualitas ataupun godaan yang akan
dinikmati oleh tamunya, dan itu memang diharuskan.
5. Stigma
Seperti semua tentang geisha adalah hal yang negatif, padahal banyak hal yang tidak bisa
dibayangkan dari seorang geisha terutama dalam kacamata budaya. Keberadaan dan sikap
mereka sangat ekslusif, maka tak heran orang orang akan mengatakan hal apapun di luar
kebenaran. Bahkan dengan adanya geisha versi modern, yang konsepnya jauh dari ajaran
geisha sebenarnya, meubah semua nilai-nilai luhur geisha sebagai pelaku seni.
Pulskers, karena seorang geisha adalah seorang yang memiliki berbagai keterampilan, bahkan
untuk kimono saja mereka membuatnya sendiri. Meskipun banyak kimono yang dijual di
toko-toko pakaian "tentu saja buatan mesin, namun mereka selalu menjahitnya sendiri dengan
kain yang terbuat dari sutra. Kimono tersebut tidak akan mereka ganti, selama menjadi
seorang geisha. Selain itu untuk merias wajah, mereka menghabiskan dua jam lamanya untuk
membuat wajah dan penampilan mereka cantik dan menarik.
7. Okiya
Pulskers, para geisha bekerja di sebua tempat yang disebut dengan Okiya, dan dibina oleh
seorang "okasan" (nyonya rumah). Namun meskipun mereka bekerja keras menemani para
tamu bahkan menjaga dan mengurus rumah para kliennya, upah mereka masuk ke kantung
saku okasan. Uang tersebut akan disimpan dan digunakan untuk merawan rumah para geisha
(okiya) serta menjaga kelangsungan bisnisnya.
8. Maiko dan Hangyoku (geisha muda)
Maiko adalah sebutan untuk geisha muda atau perempuan yang sedang menjalani pendidikan
untuk menjadi seorang geisha di Kota Kyoto. Namun di Tokyo perempuan muda ini dikenal
dengan sebutan "hangyoku". Untuk membedakan keduannya adalah, para hangyoku memakai
kimono yang lebih panjang dengan motif bervariasi sehingga terlihat lebih modis. Sementara
para maiko sebaliknya, mereka memakai kimono yang sama satu sama lain, bahkan tanpa
motif yang ada dikainya sekalipun.
Untuk mengatakan nama dan daerah asal mereka saja para geisha tidak diperbolehkan,
apalagi menjalin hubungan asmara dengan seorang lelaki. Mereka baru boleh menjalin
hubungan asmara dan menikah ketika sudah tidak lagi berprofesi sebagai geisha, atau
pensiun.
Pulskers harus tahu yang satu ini, mereka merias wajah agar terlihat putih dengan bedak yang
mengandung timah. Unsur kosmetika berbahaya itu baru diketahui ketika sebuah penelitian
dilakukan di era Meiji.
FOTO FOTO GEISHA