Anda di halaman 1dari 13

1

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Jepang merupakan negara maju dalam berbagai bidang, seperti pendidikan,

teknologi, hiburan, dan lain sebagainya. Di tengah peradaban yang semakin maju,

masyarakat Jepang tetap mempertahankan kebudayaan tradisionalnya. Salah satu

bagian kebudayaan tersebut adalah kesenian rakyat. Banyak kesenian tradisional

Jepang yang masih bertahan kepopulerannya hingga saat ini seperti Kabuki, Shodoo,

dan lain sebagainya.

Berbicara mengenai kesenian tradisional Jepang, maka tak lepas pula dari

keberadaan geisha. Geisha muncul pertama kali di pertengahan zaman Edo (1600-

1868) dan didominasi oleh kaum pria karena pada waktu itu wanita dilarang untuk

ikut serta dalam seni pertunjukan di panggung. Namun dalam perkembangannya,

profesi ini berangsur-angsur didominasi oleh kaum wanita.

Geisha merupakan pelaku kesenian, secara harfiah, kata geisha terdiri dari

dua kata dalam bahasa Jepang, yaitu kata “gei” yang berarti seni atau keterampilan

seni, dan kata “sha” yang berarti orang sehingga kata geisha dapat diartikan sebagai

“orang yang telah berhasil mencapai sesuatu keterampilan”. Seorang geisha

dituntut untuk dapat menghibur para tamunya dengan penampilan cantik nan

anggun mereka, kemampuan menari, memainkan alat musik, menuangkan teh, dan
2

lain sebagainya. Hal ini dijelaskan dalam artikel yang terdapat dalam situs

insidejapantours;

“Though we think of a geisha as an elegant figure with white make-


up, red lips, an elaborate hairstyle and even more elaborate kimono,
this popular image is actually more typical of a maiko, or trainee geisha.
Fully qualified geisha are more likely to dress in subdued colours and
wear natural make-up, relying on skill rather than appearance to
entertain their clients.
Today's geisha are gatekeepers of Japan's traditional arts,
spending their whole lives mastering classical music, dance, games and
conversation. Even geisha who have been fully qualified for many years
continue to practise every day, never allowing her skills to become
rusty.”1

Dalam artikel di atas, dapat dipahami bahwa seorang yang sudah menjadi

geisha merupakan penjaga kebudayaan tradisional Jepang, yang menghabiskan

seluruh hidupnya dengan mempelajari dan menguasai musik klasik, tari, permainan,

dan percakapan, bahkan geisha yang sudah bertahun-tahunpun tidak akan pernah

membiarkan keterampilan mereka memudar. Mereka juga lebih mementingkan

keterampilan mereka itu dibandingkan penampilan luarnya.

Bagi orang awam yang tidak mengenal seluk beluk geisha mungkin sering

beranggapan bahwa mereka merupakan orang yang dekat dengan kesan prostitusi,

walaupun hal tersebut tidak sepenuhnya benar.

Anggapan tersebut kemungkinan muncul pada tahun 1751, ketika beberapa

pelanggan di sebuah markas prostitusi di Shimabara dikejutkan ketika ada

perempuan pembawa drum (onna taiko mochi) berjingkrak masuk dalam pesta.

1
“Geisha and Maiko, The Traditional Arts”, https://www.insidejapantours.com/japanese-
culture/geisha/. Diakses pada tanggal 06 April 2016. Pukul 11.13 WIB.
3

Perempuan pembawa drum ini kemudian disebut geiko, istilah yang masih dipakai

di Kyoto sebagai pengganti sebutan geisha. Beberapa tahun kemudian di Edo

muncul wanita penghibur yang serupa.2

Penyebab lain munculnya anggapan tersebut adalah terjadinya perang dunia

II, yang menyebabkan banyak kerugian, termasuk dalam hal yang berkaitan dengan

geisha. Sebagaimana dikutip dari artikel di situs geishaofjapan;

“Throughout the War increasing numbers of women left geisha


employment to help the war effort. Rationing and war time solemnity
made keeping the entertainment districts open impossible. Many women
including geisha were forced to work in factories creating munitions,
vehicles, pharmaceuticals and electrical goods for the army. Despite
the hardship there was a worse fate – the Comfort Women.
Many prostitutes of the time wore traditional dress and makeup
similar to geisha and the Americans unable to differentiate or
understand the concept of paid non-sexual companionship assumed that
they were the same occupation.”3

Penjelasan di atas menunjukkan bahwa efek yang ditimbulkan dari perang

adalah banyaknya geisha yang meninggalkan profesinya untuk membantu upaya

perang, maka pada saat itu industri hiburan tidak memungkinkan untuk tetap

dijalankan, dalam kesulitan tersebut, terdapat takdir yang paling buruk, yaitu

menjadikan wanita-wanita sebagai the Comfort Women atau ‘wanita penghibur’ dan

2
Cindy Kristanti W. Marpaung, Peran Sosial Geisha dalam Novel Yukiguni Karya Kawabata
Yasunari: Sebuah Pendekatan Sosiologi Sastra (Yogyakarta: Fakultas Ilmu Budaya,
Universitas Gadjah Mada, 2006). Skripsi. Hlm.
3
“World War II and the American Occupation War in the Pacific”,
http://geishaofjapan.com/history/world-war-ii-and-the-american-occupation/. Diakses
pada tanggal 10 April 2016. Pukul 10.36 WIB.
4

banyak dari wanita-wanita penghibur tersebut yang berdandan layaknya geisha

sehingga Amerika yang tak dapat membedakan antara geisha dengan wanita yang

melakukan prostitusi saat itu berasumsi bahwa mereka melakukan profesi yang

sama.

Terlepas dari pandangan tersebut, geisha tetap dijadikan salah satu ikon

kebudayaan di Jepang walaupun keberadaannya yang kontroversial karena

pergeseran makna tersebut. Salah satu faktor yang menjadikannya ikon kebudayaan

adalah karena geisha memiliki kekhasan yang terlihat dalam penampilannya yang

seolah-olah membawa 'identitas' kejepangan.

Identitas ini terlihat dari berbagai aspek, termasuk dalam aspek

berpenampilan. Walaupun telah dijelaskan sebelumnya bahwa seorang geisha lebih

mementingkan kemampuannya dibandingkan penampilan luar, seorang geisha

tetap menjaga identitasnya tersebut. Penampilan luar seorang geisha berbeda

dengan masyarakat Jepang pada umumnya. Tata rias seorang geisha umumnya

lebih sederhana dibandingkan dengan maiko, namun keduanya memiliki kesamaan,

yaitu menggunakan tata rias yang mencolok, seperti wajah yang diwarnai putih

dengan hanya menyisakan sedikit bagian pada tengkuk, bibir berwarna merah, serta

memakai kimono yang beragam corak dan warnanya.

Dalam tata riasnya, seorang geisha pada umumnya mengikuti pola

kebudayaan yang terdapat di Jepang, hal ini terlihat dari beragam corak dan bentuk

yang mengikuti perubahan musim di Jepang, misalnya. Di bulan tertentu ketika

bunga sakura mekar, maka para geisha menggunakan kimono dengan corak maupun
5

tema yang serupa dengan kondisi alamnya, begitu pula dengan aksesori yang

dipakai di rambutnya.

Pola-pola kebudayaan Jepang yang terlihat dalam diri geisha –dalam hal ini

tata riasnya—inilah yang ingin penulis teliti lebih lanjut keterkaitannya. Dalam

penelitian ini, penulis hanya mengambil objek penelitian berupa tata rias wajah dan

tata rias rambut dengan mempertimbangkan bahwa tata rias rambut dengan tata rias

busananya memiliki makna konotasi yang hampir sama.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, permasalahan dalam penelitian ini dapat

dirumuskan sebagai berikut:

1. Apa makna konotasi yang terkandung dalam tata rias geisha?

2. Bagaimana makna yang terdapat dalam tata rias geisha dapat

merepresentasikan kebudayaan Jepang?

1.3 Tujuan Penelitian

Suatu penelitian pasti memiliki tujuan yang ingin dicapai, begitu pula

dengan penelitian ini. Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk

menjawab rumusan masalah di atas, yaitu:

1. Mengkaji dan memahami makna konotasi yang terdapat dalam tata rias

geisha.
6

2. Mengkaji bagaimana makna konotasi yang terkandung dalam tata rias

geisha dapat merepresentasikan kebudayaan Jepang.

1.4 Ruang Lingkup Penelitian

Tata rias geisha dapat meliputi tata rias wajah, tata rias busana, maupun tata

rias rambut. Namun agar penelitian ini dapat lebih terfokus maka cakupan yang

akan digunakan dalam penelitian ini lebih spesifik pada hal-hal sebagai berikut:

1. Tata rias yang meliputi wajah, mata, bibir, hingga sebatas leher,

2. Tata rias kepala berupa rambut dan aksesorinya yang digunakan di

rambut.

1.5 Tinjauan Pustaka

Penelitian yang membahas mengenai geisha sebelumnya sudah pernah

dilakukan, di antaranya adalah skripsi dengan judul Studi Tentang Geisha dalam

Film Memoirs of a Geisha karya Helena Pandi dari Universitas Negeri Manado

pada tahun 2010. Dalam penelitiannya, Helena menganalisis bagaimana kehidupan

geisha hanya yang terdapat dalam film Memoirs of a Geisha.

Selain skripsi di atas, terdapat pula skripsi yang mengusung tema yang

hampir sama dengan penelitian ini, yaitu tata rias geisha. Penelitian tersebut

berjudul Analisis Tata Rias Geisha dan Maiko Tradisional dengan Geisha dan

Maiko dalam Film Memoirs of a Geisha karya Irena dari Universitas Bina

Nusantara pada tahun 2007. Walaupun tema yang diusung hampir sama, namun
7

terdapat perbedaan dengan penelitian ini, yakni dalam penelitiannya Irena

membahas tata rias geisha dan maiko tradisional dengan membandingkan dengan

tata rias yang terdapat dalam film Memoirs of a Geisha, sedangkan dalam penelitian

ini tata rias geisha digunakan untuk merepresentasikan kebudayaan Jepang.

Penelitian lainnya yang digunakan sebagai acuan adalah skripsi

dengan judul Peran Sosial Geisha dalam Novel Yukiguni Karya Kawabata

Yasunari: Sebuah Pendekatan Sosiologi Sastra karya Cindy Kristanti W. Marpaung

dari jurusan Sastra Jepang Universitas Gadjah Mada pada tahun 2006. Penelitian

tersebut membahas mengenai peran-peran sosial yang dilakukan oleh geisha serta

kepopulerannya dalam masyarakat Jepang.

1.6 Landasan Teori

Dalam penelitian ini penulis menggunakan teori semiotika oleh Roland

Barthes. Secara definitif, menurut Paul Cobley dan Litza Janz (2002: 4) semiotika

berasal dari kata seme, bahasa Yunani, yang berarti penafsir tanda. Literatur lain

menjelaskan bahwa semiotika berasal dari bahasa Yunani semeion yang berarti

“tanda“ (Ratna, 2008: 97). Tanda itu sendiri didefinisikan sebagai sesuatu yang atas

dasar konvensi sosial yang terbangun sebelumnya, dapat dianggap mewakili

sesuatu yang lain.

Sedangkan secara terminologis, semiotik dapat didefinisikan sebagai ilmu

yang mempelajari sederetan luas objek-objek, peristiwa-peristiwa, seluruh

kebudayaan sebagai tanda. Ahli sastra Teew (1984:6) mendefinisikan semiotik


8

adalah tanda sebagai tindak komunikasi dan kemudian disempurnakannya menjadi

model sastra yang mempertanggung jawabkan semua faktor dan aspek hakiki untuk

pemahaman gejala susastra sebagai alat komunikasi yang khas di dalam masyarakat

manapun.

Dalam pengertian yang lebih luas, sebagai teori, semiotika berarti studi

sistematis mengenai produksi dan interpretasi tanda, bagaimana cara kerjanya, dan

apa manfaatnya terhadap kehidupan manusia (Ratna, 2008: 97).

Semiotika dalam budaya sebagaimana dijelaskan oleh Aart van Zoest (1993: 124-

131) adalah tanda-tanda yang terkandung dalam suatu kelompok masyarakat

tertentu, yaitu manusia dengan berbagai tradisi dan adat kebiasaannya.

Teori Semiotika Roland Barthes

Roland Barthes merupakan penerus pemikiran Saussure. Ia menggunakan

model sistematis dalam menganalisis makna dengan tanda-tanda. Fokus

perhatiannya tertuju pada signifikasi dua tahap (two order of signification) yang

mencakup denotasi dan makna konotasi. Makna denotasi dapat diartikan sebagai

makna ‘awam’ atau makna sebenarnya yang keberadaannya sudah disepakati dan

diakui oleh masyarakat luas, sedangkan makna konotasi adalah makna ganda yang

lahir dari pengalaman kultural dan personal, sehingga makna ini memiliki

pengertian yang lebih luas, yang berbeda-beda dalam tiap individu yang

memaknainya.
9

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan signifikasi dua tahap tersebut,

yakni makna denotasi dan makna konotasi dari tata rias geisha. Dengan

menggunakan teori semiotika Roland Barthes ini diharapkan dapat mempermudah

memecahkan masalah penelitian yang sebelumnya telah diajukan dalam penelitian

ini.

1.7 Sumber dan Metode Penelitian

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari hasil studi

literatur berupa bacaan dari buku-buku maupun jurnal yang relevan dengan

penelitian. Buku-buku maupun jurnal yang menjadi referensi dari penelitian ini

dapat bersumber dari buku-buku maupun jurnal berbahasa Indonesia, bahasa

Inggris, maupun berbahasa Jepang.

Sumber lain diperolehnya data-data yang akan digunkan dalam penelitian

ini adalah sumber dari internet yang berupa artikel-artikel yang relevan dengan

penelitian. Sumber dari internet ini tidak hanya digunakan untuk mencari data yang

berhubungan dengan tata rias geisha, tetapi juga digunakan untuk membantu

pengumpulan data mengenai tinjauan historis geisha. Namun pengumpulan data

lebih dititikberatkan pada sumber-sumber tertulis seperti buku maupun jurnal

mengingat sumber tersebut lebih dapat dipertanggungjawabkan.

Penelitian ini akan terbagi atas tiga tahap, yaitu tahap pengumpulan data,

tahap pengolahan data, dan terakhir adalah tahap analisis data. Pada tahap

pengumpulan data, penulis melakukan pengumpulan data yang diperoleh melalui


10

studi literatur yang didapat dari berbagai sumber data yang telah disebutkan

sebelumnya.

Pada tahap pengolahan data, penulis melakukan pengolahan dari tahap

sebelumnya, memilih data mana yang dapat dan relevan untuk digunakan dalam

penelitian ini. Kemudian menuliskannya dengan teknik penulisan yang berpedoman

pada buku Pedoman Penulisan Skripsi edisi revisi ketiga yang ditulis dan

diterbitkan oleh tim penyusun Universitas Gadjah Mada pada tahun 2015.

Tahap terakhir adalah tahap analisis data, pada tahap ini penulis melakukan

klarifikasi sesuai pertanyaan yang terdapat dalam rumusan masalah. Kemudian,

dilakukan analisis data menggunakan teori semiotika Roland Barthes untuk

memahami makna konotasi maupun makna denotasi yang terdapat dalam sumber

data.

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan

kualitatif dengan metode deskriptif analisis. Secara etimologis deskripsi dan

analisis berarti menguraikan, meskipun demikian, analisis yang berasal dari bahasa

Yunani analyein telah diberikan arti tambahan, tidak semata-mata menguraikan

melainkan juga memberikan pemahaman dan penjelasan secukupnya. Metode

deskriptif analitis dilakukan dengan cara mendeskripsikan fakta-fakta yang

kemudian disusul dengan analisis (Ratna, 2008: 53).

Menurut Soegiyono (2009) metode deskriptif analitis bertujuan untuk

mendeskripsikan atau memberi gambaran terhadap suatu objek penelitian yang


11

diteliti melalui sampel atau data yang telah terkumpul dan membuat kesimpulan

yang berlaku umum.

1.8 Sistematika Penulisan

Adapun sistematika penulisan TATA RIAS GEISHA SEBAGAI

REPRESENTASI KEBUDAYAAN MASYARAKAT JEPANG ini terdiri dari lima bab,

yaitu sebagai berikut:

Bab I Pendahuluan, meliputi latar belakang, rumusan masalah, ruang

lingkup penelitian, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori,

sumber dan metode penelitian, serta sistematika penulisan,

Bab II berisi penjelasan mengenai teori yang digunakan serta tinjuan historis

geisha,

Bab III merupakan rincian tata rias yang digunakan geisha, yang

menjelaskan bagian-bagian dari tata rias wajah maupun tata rias rambut

geisha,

Bab IV Analisis makna konotasi yang terkandung dalam tata rias geisha

serta bagaimana makna tersebut dapat merepresentasikan kebudayaan

Jepang,

Bab V Kesimpulan dan penutup, bab terakhir yang berisi kesimpulan yang

diambil dari hasil analisis pada bab-bab sebelumnya untuk menjawab

rumusan masalah yang telah diajukan sebagai fokus penelitian ini secara

singkat.
12

DAFTAR PUSTAKA

Ratna, Nyoman Kutha. 2008. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra dari

Strukturalisme hingga Postrukturalisme. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Pandi, Helena. 2010. ”Studi Tentang Geisha dalam Film Memoirs of a Geisha”.

Skripsi. Manado: Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Manado.

Irena. 2007. “Analisis Tata Rias Geisha dan Maiko Tradisional dengan Geisha dan

Maiko dalam Film Memoirs of a Geisha”. Skripsi. Jakarta: Faculty of

Humanities, Universitas Bina Nusantara.

Marpaung, Cindy Kristanti W. 2006. “Peran Sosial Geisha dalam Novel Yukiguni

Karya Kawabata Yasunari: Sebuah Pendekatan Sosiologi Satra”. Skripsi.

Yogyakarta: Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada.

Tim Penyusun. 2015. Pedoman Penulisan Skripsi (cetakan ketiga). Yogyakarta:

Universitas Gadjah Mada.

Sumber Internet:

“Kajian Analisis Semiotik dengan Pendekatan Roland Barthes”,

https://adi2012.wordpress.com/2012/11/10/kajian-analisis-semiotik-

dengan-pendekatan-roland-barthes/. Diakses pada tanggal 06 Desember

2015. Pukul. 06.37 WIB.


13

“Geisha and Maiko, The Traditional Arts”,

https://www.insidejapantours.com/japanese-culture/geisha/. Diakses

pada tanggal 06 April 2016. Pukul 11.13 WIB.

“World War II and the American Occupation War in the Pacific”,

http://geishaofjapan.com/history/world-war-ii-and-the-american-

occupation/. Diakses pada tanggal 10 April 2016. Pukul 10.36 WIB.

Anda mungkin juga menyukai