Anda di halaman 1dari 26

MAKALAH PENGANTAR KEBUDAYAAN JEPANG

STUDI KASUS TENTANG AIMAI, AMAE, UNGKAPAN


CINTA, GALAPAGOS SYNDROME, DAN WASEIGO
Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Pengantar Kebudayaan Jepang A
Dosen Pengampu : Aji Setyanto, S.S., M.Litt.

Disusun oleh :
1. Kinar Rahma Aulia (205110200111026)
2. Nadiyah F. N. C. (205110201111012)
3. Ayu Rahmawati (205110201111031)
4. Hilda Firdaus (205110201111032)
5. Nur Lailiyul M. (205110201111034)
6. Daressa Widya A. (205110201111037)

PROGRAM STUDI SASTRA JEPANG


FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan kami
kesehatan jasmani dan rohani sehingga kami bisa menyelesaikan tugas Mata Kuliah
Pengantar Kebudayaan Jepang dengan tepat waktu. Penulisan makalah ini memiliki
judul “STUDI KASUS TENTANG AIMAI, AMAE, UNGKAPAN CINTA,
GALAPAGOS SYNDROME, DAN WASEIGO” yang merupakan salah satu syarat
untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Pengantar Kebudayaan Jepang A Program
Studi Sastra Jepang Fakultas Ilmu Budaya Universitas Brawijaya.
Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih
kepada Aji Setyanto, S.S., M.Litt. selaku dosen pengampu Mata Kuliah Pengantar
Kebudayaan Jepang yang telah memberikan ilmu selama mengajar, serta rekan-
rekan kami yang telah mendukung dan membantu dalam penelitian ini.
Penulis menyadari bahwa makalah ini tidak luput dari kesalahan dan
kekurangan. Penulis berusaha semaksimal mungkin dalam pengerjaan makalah ini,
namun dengan kekurangan yang ada, penulis menyadari jika makalah ini jauh dari
kata sempurna. Oleh sebab itu, penulis akan menerima dengan lapang dada terkait
kritik dan saran yang diberikan. Semoga makalah ini memberikan ilmu dan manfaat
bagi kita semua.

Malang, 29 Oktober 2021

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR................................................................................. i
DAFTAR ISI................................................................................................ ii
BAB I PENDAHULUAN............................................................................ 1
1.1 Latar Belakang Masalah.............................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah........................................................................ 2
1.3 Tujuan Penelitian......................................................................... 2
BAB II HASIL DAN PEMBAHASAN...................................................... 4
2.1 Budaya Aimai............................................................................... 4
2.1.1 Pengertian dan Konsep Aimai........................................... 4
2.1.2 Realisasi Budaya Aimai dalam Karya Sastra.................... 5
2.2 Budaya Amae............................................................................... 8
2.2.1 Pengertian dan Konsep Amae........................................... 8
2.2.2 Realisasi Budaya Amae dalam Karya Sastra.................... 12
2.3 Ungkapan Cinta di Jepang........................................................... 15
2.4 Galapagos Syndrome.................................................................. 16
2.5 Waseigo....................................................................................... 17
BAB III PENUTUP..................................................................................... 21
3.1 Kesimpulan.................................................................................. 21
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................. 23

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah


Kata budaya sendiri berasal dari bahasa sansekerta yaitu buddhayah yang
merupakan bentuk jamak dari buddhi dengan arti budi atau akal. Sedangkan
dalam Bahasa Inggris, budaya dikenal dengan kata culture yang berasal dari
bahasa latin yaitu colore yang berarti mengolah atau mengerjakan. Budaya
adalah suatu pola hidup atau tradisi masyarakat yang berasal dari akal manusia
itu sendiri dan berkembang secara turun temurun. Kebudayaan adalah suatu
kumpulan-kumpulan budaya yang berkembang dalam suatu masyarakat. Wujud
kebudayaan ada tiga yaitu ide (gagasan, nilai – nilai, norma, peraturan, dll),
aktivitas (tindakan berpola pada suatu masyarakat), dan artefak (benda-benda
hasil karya manusia).
Kebudayaan dalam suatu masyarakat terdiri atas tujuh unsur yang saling
berkaitan. Tujuh unsur tersebut adalah sebagai berikut.
1) Sistem Bahasa, terdapat dialek, bentuk, huruf, dan ragam bahasa.
2) Sistem Pengetahuan, meliputi Ilmu Sains, Ilmu Antropologi, Ilmu
Astronomi, dll.
3) Sistem Peralatan Hidup dan Teknologi, meliputi alat produksi, wadah,
alat transportasi, alat komunikasi, dll.
4) Sistem Mata Pencaharian, meliputi nelayan, petani, sopir, dll.
5) Agama, meliputi sistem kepercayaan, upacara keagamaan, dan umat.
6) Organisasi Sosial, meliputi sistem keluarga (Ie), sistem perusahaan, dan
sistem bernegara/pemerintahan.
7) Kesenian, meliputi Seni Rupa (seni patung, relief, rias, lukis, dll) dan
Seni Suara (seni vokal, instrumental, dan sastra).
Setiap bangsa memiliki kebudayaan masing-masing. Kebudayaan lahir
seiring lahirnya manusia di dunia dan kebudayaan digunakan sampai akhir hayat.
Setiap daerah memiliki kebudayaan yang berbeda walau terkadang terdapat
adanya kemiripan karena faktor geografis. Di Jepang terdapat berbagai

1
kebudayaan yang berkembang dalam suatu kehidupan masyarakat hingga saat ini.
Berbagai kebudayaan tersebut lahir dari berbagai pemikiran dan tradisi yang
dilakukan oleh suatu individu atau kelompok masyarakat. Dalam hal ini kami akan
membahas tentang budaya aimai, amae, ungkapan cinta di Jepang, galapagos
syndrome, dan waseigo.
1.2 Rumusan Masalah
Dari penjelasan singkat diatas, penulis dapat menyusun beberapa rumusan
masalah sebagai berikut.
1. Bagaimanakah konsep dan makna budaya aimai dalam kehidupan
masyarakat Jepang?
2. Bagaimana budaya aimai dalam kehidupan masyarakat Jepang yang
direalisasikan ke dalam karya sastra?
3. Bagaimanakah konsep dan makna budaya amae dalam kehidupan
masyarakat Jepang?
4. Bagaimana budaya amae dalam kehidupan masyarakat Jepang yang
direalisasikan ke dalam karya sastra?
5. Mengapa orang Jepang jarang mengatakan “aku cinta kamu”?
6. Apa yang dimaksud dengan istilah ‘galapagos syndrome’ yang ada di
Jepang?
7. Apa yang dimaksud dengan waseigo yang digunakan oleh masyarakat
Jepang?
1.3 Tujuan Penelitian
Dari rumusan masalah yang telah disusun, penelitian ini memiliki tujuan
sebagai berikut.
1. Untuk mengetahui konsep dan makna budaya aimai dalam kehidupan
masyarakat Jepang.
2. Untuk mengetahui budaya aimai dalam kehidupan masyarakat Jepang
yang direalisasikan ke dalam karya sastra.
3. Untuk mengetahui konsep dan makna budaya amae dalam kehidupan
masyarakat Jepang.

2
4. Untuk mengetahui budaya amae dalam kehidupan masyarakat Jepang
yang direalisasikan ke dalam karya sastra.
5. Untuk mengetahui alasan orang Jepang jarang mengatakan “aku cinta
kamu”.
6. Untuk mengetahui makna istilah ‘galapagos syndrome’ yang ada di
Jepang.
7. Untuk mengetahui makna waseigo yang digunakan oleh masyarakat
Jepang?

3
BAB II
HASIL DAN PEMBAHASAN

2.1 Budaya Aimai


2.1.1 Pengertian dan Konsep Aimai
Dalam sebuah percakapan, pemahaman tentang implikatur mutlak
diperlukan untuk dapat memahami makna tersirat suatu ujaran. Konsep
mengenai implikatur ini dipakai untuk memperhitungkan apa yang disarankan
atau apa yang dimaksudkan oleh penutur sebagai hal yang berbeda dari apa yang
dinyatakan secara harfiah (Brown dan Yule, 1983:11). Implikatur percakapan
adalah proporsi atau ‘pernyataan’ implikatif, yaitu apa yang mungkin diartikan,
disebutkan, atau dimaksudkan oleh penutur, yang berbeda dari apa yang
sebenarnya dikatakan oleh penutur di dalam suatu percakapan (Grice, 1975:43).
Implikatur suatu ujaran ditimbulkan akibat adanya pelanggaran prinsip
percakapan.
Ambiguitas dalam bahasa Jepang dikenal dengan istilah 'aimaisei'
merupakan fenomena kebahasaan yang sering dijumpai dalam contoh-contoh
kalimat bahasa Jepang. Untuk menghindari konflik dan menyamarkan
ketidaksetujuan, masyarakat Jepang menggunakan kesamaran yang disebut
aimai. Salah satu karakteristik konsep aimai sebagai bagian dari budaya dan
norma yang berdampak jelas pada pola berkomunikasi dalam masyarakat
Jepang.
Konsep aimai merupakan keadaan lebih dari satu makna yang
dimaksudkan, sehingga pada akhirnya malah menimbulkan ketidakjelasan,
penjelasan yang sulit dipahami maupun keadaan yang dirasa samar. Jadi
sesungguhnya untuk menciptakan dan menjaga keharmonisan serta keselarasan
hidup itulah konsep aimai berperan pada komunikasi mereka sehingga bisa
menghindari konflik yang mungkin akan merugikan semua pihak. Dalam
kelompok akhirnya mereka belajar untuk lebih berhati-hati ketika berurusan
dengan pikiran dan perasaan orang lain. Masyarakat Jepang sangat waspada
dalam menjaga atmosfer lingkungan mereka agar tetap harmonis.

4
2.1.2 Realisasi Budaya Aimai dalam Karya Sastra
Masyarakat Jepang menggunakan konsep aimai ini dalam komunikasi
sehari-hari mereka dengan semua orang yang ada di lingkungan mereka, bahkan
dalam tahap menerapkan konsep tersebut secara instingtif. Misalnya pada contoh
pertama dalam penggalan percakapan pada film ’Kimi ni todoke’ berikut:
Konteks : Kuronuma yang suka rela berperan menjadi hantu pada acara
jurit malam dalam rangka menyambut liburan musim semi, bersembunyi di balik
pepohonan untuk menakut-nakuti teman – temannya. Kazehaya yang bertugas
sebagai koordinator menemui Kuronuma dan bertanya,
風早 (Kazehaya) :「一人でこのところこわくないの?」hitori de kono
tokoro kowakunai no? Apa tidak takut sendirian di tempat ini?
黒沼 (Kuronuma) :「夜は終わりと好きなので、それに私お化けやくが
できて、嬉しくて。」yoru wa owari to suki nanode, sore ni watashi obake
yaku ga dekite, ureshikute. Saya suka saat malam berakhir, lagi pula saya senang
bisa menjadi hantu.
風早 (Kazehaya) :「お化けのに?」obake no ni? Walaupun menjadi hantu.
黒沼 (Kuronuma) :「みんなに喜んでもらえるから、すっごく嬉しいん
です。」minna ni yorokonde moraeru kara, suggoku ureshiin desu. Karena
bisa menyenangkan semua orang, saya senang sekali.
Jawaban Kuronuma ‘yoru wa owari to suki nanode, sore ni watashi obake
yaku ga dekite, ureshikute’ melanggar prinsip kerja sama maksim kuantitas
karena pertanyaan Kazehaya sebenarnya adalah ‘hitori de kono tokoro
kowakunai no?’ yang berdasarkan maksim kuantitas cukup dijawab dengan
‘uun’ (tidak) jika memang tidak takut. Namun, Kuronuma tidak menjawab ‘ya’
atau ‘tidak’ melainkan malah menerangkan bahwa ia suka suasana malam dan
senang bisa menjadi hantu karena bisa menyenangkan semua orang.
Adapun aimai yang terdapat pada pernyataan Kuronuma adalah
kalimatnya yang tidak selesai, yaitu ‘ureshikute’. Bentuk kata tersebut
merupakan rentaikei, yang berarti seharusnya masih disambung dengan kata
atau frasa lain, namun Kuronuma menghentikan kalimatnya pada kata

5
‘ureshikute’. Penggunaan bentuk ini karena penutur yaitu Kuronuma
menganggap mitra tutur yaitu Kazehaya mampu menebak kemungkinan kata
selanjutnya yang dimaksud oleh Kuronuma, yaitu yoru wa owari to suki nanode,
sore ni watashi obake yaku ga dekite, ureshikute, zenzen kowakunain desu.
Jadi, pelanggaran prinsip kerja sama pada konteks ini adalah pelanggaran
prinsip kerja sama maksim kuantitas yang menciptakan implikasi kesantunan,
sedangkan penggunaan aimai bertujuan untuk bersikap santun dengan tidak
menyatakan secara eksplisit bahwa Kuronuma sama sekali tidak merasa takut di
malam hari. Apabila Kuronuma secara langsung menyatakan bahwa ia sama
sekali tidak takut, maka hal tersebut akan melanggar prinsip kesantunan dan ia
akan dianggap sombong.
Aimai hyōgen (ungkapan ambiguitas) merupakan salah satu konsep
strategi berkomunikasi yang masih digunakan dalam masyarakat Jepang yang
dapat didefinisikan sebagai suatu keadaan yang ditafsirkan memiliki lebih dari
satu makna yang dimaksudkan sehingga mengakibatkan ketidakjelasan,
ketidaktentuan, dan ketidakpastian. Contoh kedua adalah penggunaan amai
hyōgen pada ungkapan o-kimochi dake de kekkō desu node.
スタッフ1 (Staf 1) : 「 失 礼 い た し ま す 。 」 Shitsurei
itashimasu. Permisi.
菅野 (Sugano) : 「 あ り がと う 。ただ い ま 。」 Arigatō.
Tadaima. Terima kasih. Saya pulang.
スタッフ2 (Staf 2) :「申し訳ございません、菅野様。お帰
りに間に合わなくて。」Mōshiwake gozaimasen, Suganosama. O-kaeri ni
maniawanakute. Mohon maaf, Bu Sugano. Kami belum selesai membersihkan
kamarnya.
菅野 (Sugano) :「いいの。いいの。私が早く帰ってき
ちゃったから。」Ii no. Ii no. Watashi ga hayaku kaette kichattakara. Tidak
apa-apa, tidak apa-apa. Saya yang pulang terlalu cepat.
スタッフ3 (Staf 3) : 「 す ぐ 済 ま せ ま す の で 。 」 Sugu
sumasemasu node. Kami akan segera menyelesaikannya.

6
菅野 (Sugano) :「へいきへいき。あわてないでね。そ
うだ、あなたたち、あんみつとお団子とどちらがいいかしら。」Heiki
heiki. Awatenai de ne. Sou da, anatatachi, anmitsu to odango to dochira ga ii
kashira. Pelan-pelan…pelan-pelan saja. Tidak usah terburu-buru, ya. Oya,
kalian mau yang mana, ya. Anmatsu atau dango?
スタッフ2 (Staf 2) :「お気持ちだけで結構ですので。」O-
kimochi dake de kekkō desu node. Terima kasih banyak sebelumnya (tidak usah
repot-repot).
菅野 (Sugano) :「いいから。いいから。じゃ、ほら。
お団子。」Ii kara. Ii kara. Ja, hora. O-dango. Tidak apa-apa…tidak apa-apa.
Kalau begitu, ayo ini dango.
スタッフ2,3 (Staf 2&3):「ありがとうございます。」Arigatō gozaimasu.
Terima kasih banyak.
スタッフ3 (Staf 3) :「この前いただいた梅干しもすごく美
味しかったです。」Kono mae itadaita umeboshi mo sugoku oishikatta desu.
Umeboshi yang Ibu berikan kepada saya waktu ini juga sangat enak.
(Hoteru konsheruju, eps 02, 2015:06.27-07.00)
Situasi pada contoh kedua di atas dilakukan antara staf hotel dengan Bu
Sugano (tamu hotel). Bu Sugano yang sedang keluar dari kamarnya, tiba-tiba
kembali dalam waktu yang tidak lama. Saat Bu Sugano tidak berada di dalam
kamar hotel, dua orang staf sedang membersihkan kamarnya. Bu Sugano
merupakan salah satu tamu yang tinggal di hotel Vollmond dalam waktu yang
cukup lama. Oleh karena itu, hubungan antara para staf hotel dan Bu Sugano
sangat baik. Begitu juga yang terlihat pada percakapan di atas, Bu Sugano
digambarkan membawa buah tangan yang ingin diberikan kepada dua orang staf
hotel yang sedang membersihkan kamarnya. Ini terlihat dalam tuturan sō da,
anatatachi, anmitsu to o-dango to dochira ga ii kashira ‘oya, kalian mau yang
mana ya. Anmatsu atau dango?’. Penawaran Bu Sugano direspon oleh staf hotel
dengan tuturan berikut ‘okimochi dake de kekkō desu node’ ‘Terima kasih
banyak sebelumnya (tidak usah repot-repot)’.

7
Aimai hyōgen tersebut di atas memiliki makna bahwa si penutur
mengutarakan perasaan terima kasih atas kebaikan dari mitra tutur. Akan tetapi,
aimai hyōgen ini cenderung bermakna menolak sesuatu yang ditawarkan oleh
mitra tutur. Begitu pula yang tergambar pada percakapan di atas. Bu Sugano
menawari penganan anmatsu dan o-dango kepada dua orang staf yang sedang
membersihkan kamarnya. Namun, tawaran Bu Sugano ditolak secara halus salah
seorang staf tersebut dengan ungkapan ‘o-kimochi dake de kekkou desu node’.
Dalam bahasa Indonesia mungkin tidak memiliki padanan yang tepat untuk
ungkapan tersebut. Akan tetapi secara sederhana ungkapan tersebut memiliki
makna ‘saya menghargai perasaan/niat baik (kebaikan) Anda (menawarkan saya
hal tersebut). Jadi, Anda tidak perlu (repot-repot) sampai menyiapkan sesuatu
(untuk saya)’.
Dalam konteks di atas, penolakan staf hotel yang ditujukan kepada Bu
Sugano sebenarnya salah satu etika yang biasa dilakukan oleh penutur bahasa
Jepang dalam berinteraksi dalam komunitasnya. Jika dilihat dari posisi staf hotel,
maka menerima sesuatu yang berupa buah tangan merupakan hal yang tidak
lazim dilakukan. Oleh karena alasan itulah, staf tersebut berupaya menolak
tawaran Bu Sugano. Selain itu, etika berinteraksi dalam masyarakat Jepang
dilandasi dengan konsep honne-tatemae.
2.2 Budaya Amae
2.2.1 Pengertian dan Konsep Amae
Dalam kehidupan masyarakat Jepang terdapat budaya yang sampai sekarang
tetap berkembang dan direalisasikan dalam segala hubungan sosial. Budaya
tersebut adalah budaya amae. Budaya amae adalah hubungan yang dapat
menciptakan ketergantungan satu sama lain. Secara etimologis amae berasal dari
kata amai yang berarti manis. Dalam hal ini konteks amai (manis) bukan hanya
suatu rasa yang dapat dirasakan oleh lidah, melainkan menunjukkan sifat dari
seseorang. Sedangkan dalam bentuk kata kerja adalah amaeru yang berarti
memaniskan. Kata amae secara leksikal mempunyai arti kebaikan, hasil
perlindungan seorang ibu terhadap bayinya sekaligus ketergantungan yang manis
antara si bayi terhadap ibunya (Rowland dalam Sibiyan, 2005:8). Jika seseorang

8
mengatakan bahwa A bersikap amai terhadap B, itu berarti bahwa A membiarkan
B berlaku amaeru/berlaku manja terhadap A, artinya bersikap mengandalkan diri
dan mengharapkan sesuatu dari tali perhubungan antara kedua orang tersebut.
Amae tidak hanya terjadi pada hubungan orang tua dan anak saja, namun bisa
antara atasan-bawahan, senior-junior, guru-murid, dan lain sebagainya. Dalam
hubungan antara ibu dan anak, tidak dapat dipungkiri jika anak tidak dapat
dipisahkan dengan ibunya. Anak akan bersikap ketergantungan terhadap ibunya,
sedangkan pihak ibu merasa diuntungkan dengan ketidakdewasaan sang anak
yang bergantung pada dirinya. Dalam hal ini terjadilah pola amae, dimana sang
anak berperan sebagai amaeru (bermanja-manja), sedangkan sang ibu berperan
sebagai amayakasu (peran yang menerima amaeru), dimana sang ibu merupakan
tempat bergantungnya anak.
Menurut observasi yang dilakukan Vogel bahwa ibu Jepang akan
menyalahkan dirinya sendiri jika tidak memberikan cukup cinta terhadap
anaknya. Dan pada dasarnya para ibu Jepang merasa bersalah jika tidak
memberikan segalanya kepada anaknya (Vogel, 1966:186). Serta tanpa amae pada
masa bayi dan anak-anak, jiwa dan kepribadian akan terluka seumur hidup. Dalam
kehidupan masyarakat Jepang, para orang tua kebanyakan akan memanjakan anak
mereka dan menuruti semua kemauannya. Hal ini dilatarbelakangi oleh cerita
pada zaman dahulu dimana anak-anak sampai usia tujuh tahun disebut anak dewa.
Oleh karena itu, anak-anak sangat dimanja dalam masyarakat Jepang. Tangisan
anak-anak di dalam rumah dianggap sesuatu yang sangat menyedihkan, sebab
itulah orang tua sebisanya tidak memarahi anak. Dalam kepercayaan Jepang anak-
anak dianggap sebagai kelahiran kembali orang tuanya atau kakek-nenek mereka.
Oleh karena itu, mereka sangat disayangi (Situmorang, 2006: 62). Sikap ini terus
menerus mereka bawa sampai pada kehidupan sosial masyarakat.
Konsep amae juga terkait erat dengan berbagai aspek kehidupan orang
Jepang karena amae berkaitan dengan karakteristik dan pola pikir orang Jepang
lainnya seperti yang ada dalam budaya enryo, yaitu malu atau sungkan termasuk
ambiguitas dan penerapannya dalam komunikasi yaitu segan mengekspresikan
pendapatnya, oleh sebab itu mereka membutuhkan kedekatan dengan orang lain;

9
sasshi, yaitu sensitivitas atau kepekaan mitra bicara dalam menangkap maksud
tersirat dan termasuk empati non-verbal; uchi-soto, yaitu sikap atau kesadaran diri
dalam posisi sebagai anggota dalam kelompok atau luar kelompok; honne-
tatemae, honne adalah perasaan sesungguhnya, sedangkan tatemae adalah perihal
yang disampaikan dan bukan perasaan sesungguhnya; dan omotenashi adalah
keramahan dalam melayani dilakukan dengan sepenuh hati, tanpa mengharapkan
imbalan apa pun. Perilaku dan tindak tutur amae memiliki beberapa kategori
sesuai dengan karakteristik psikis dan pola pikir orang Jepang. Takeo Doi
mengidentifikasi berbagai perilaku dan tindak tutur amae tersebut dan
mendeskripsikannya, di antaranya adalah sebagai berikut.
1. Toiiru yaitu menarik perhatian dengan melakukan sesuatu sedemikian
rupa atau cenderung atraktif demi mencapai suatu tujuan.
2. Tanomu yaitu meminta atau mengandalkan diri.
3. Amanzuru yaitu sikap puas, cukup puas, termasuk pura-pura puas.
4. Tereru yaitu menjadi kikuk karena tidak bisa memenuhi harapan lawan
bicara.
Contoh dari amae adalah terdapat dalam dialog sebagai berikut.
Dialog I
ミラー (Miller) :「私はミラーです。よろしくお願いします。」
Watashi wa Miller desu. Yoroshiku onegaishimau. Nama saya Miller. Salam kenal
dan mohon bantuannya.
山田 (Yamada) :「私の名前は山田です。よろしくお願いしま
す。これ、私の名詞です。どうぞ。」Watashi no namae wa Yamada desu.
Yoroshiku onegaishimasu. Kore, watashi no meishi desu. Douzo. Nama saya
Yamada. Salam kenal dan mohon bantuannya. Ini kartu nama saya. Silakan.
ミラー (Miller) :「どうも ありがとうございます。これは山
田さんの会社の名前ですか。」Doumo arigatou gozaimasu. Kore wa Yamada
san no kaisha no namae desuka? Terimakasih. Apakah ini adalah nama
perusahaan Yamada?

10
山田 (Yamada) :「 ええ、そうです。車の会社です。」 Ee,
soudesu. Ya, benar.
ミラー (Miller) :「これは何ですか。」Kore wa nan desuka. Ini
apa?
山田 (Yamada) :「会社の電話番号です。」Kaisha no denwa
bangou desu. Ini adalah nomor telepon perusahaan.
ミラー (Miller) :「そうですか。」Sou desuka. Aa begitu.
Dalam dialog I menampilkan percakapan antara Miller dan Yamada dimana
kedua orang ini baru berkenalan satu sama lain. Pada dialog tersebut terdapat
tindak tutur amae yang dilakukan oleh keduanya. Hal yang perlu diketahui, orang
Jepang apabila setelah berkenalan bersedia memberikan kartu nama (yang berisi
identitas) maka berarti dia sudah percaya kepada orang tersebut, bahkan berharap
suatu saat dapat bekerjasama dalam hal-hal tertentu, demikian juga Yamada.
Perilaku amae Yamada di sini termasuk kategori tanomu. Miller yang baru saja
berkenalan dengan Tanaka terlihat membutuhkan perhatian dari Yamada. Sebagai
orang asing, Miller berharap bisa menjalin hubungan baik dengan Yamada, yang
mungkin suatu saat dapat membantunya dalam kesulitan. Hal tersebut nampak
dari perilaku Miller yang mengajukan beberapa pertanyaan kepada Yamada
meskipun sebenarnya dia sudah paham dengan informasi dalam kartu nama itu,
seperti これは山田さんの会社の名前ですか dan これは何ですか. Perilaku
dan tindak tutur amae oleh Miller ini termasuk kategori toriiru dan tindak tutur
amae oleh Yamada termasuk kategori amanzuru.
Dialog II
木村 (Kimura) :「鈴木さん、今日は休みですか。」Suzuki san, kyou
wa yasumi desuka. Apakah Suzuki san hari ini libur?
鈴木 (Suzuki) :「はい。」Hai. Iya.
木村 (Kimura) :「そうですか。映画館へ行きませんか。」
Soudesuka. Eigakan e ikimasenka? Begitu, ya. Bagaimana kalau pergi ke
bioskop?

11
鈴木 (Suzuki) :「すみません。今日は宿題をするつもりです。」
Sumimasen. Kyou wa shukudai wo suru tsumori desu. Maaf. Hari ini aku
berencana mengerjakan tugas sekolah.
木村 (Kimura) : 「 そ う で す か 。 頑 張 っ て ね 。 」 Soudesuka.
Ganbattene. Ah, begitu. Semangat!
Dalam dialog II terdapat tindak tutur amae yang dilakukan oleh Kimura dan
Suzuki. Kimura menanyakan kepada Suzuki apakah hari ini libur karena melihat
Suzuki yang tidak pergi ke sekolah seperti biasanya. Jawaban Suzuki adalah ‘ya’.
Lalu Kimura mengajak Suzuki ke bioskop karena Suzuki terlihat sedang bosan.
Namun, justru Suzuki menolak ajakan Kimura dengan alasan berencana
mengerjakan tugas sekolah. Dari jawaban Suzuki juga nampak tidak ada
kemungkinan bagi Kimura untuk bercakap-cakap lebih lama lagi. Tindak tutur
Kimura tersebut termasuk kategori tanomu, dan tindak tutur Suzuki termasuk
kategori tereru.
2.2.2 Realisasi Budaya Amae dalam Karya Sastra
Budaya amae banyak dimasukkan ke dalam berbagai karya sastra, seperti
komik, anime, film, dan lain sebagainya. Unsur-unsur penunjang dalam sebuah
karya sastra yaitu tema, penokohan, plot, setting, dan lain sebagainya. Tokoh-
tokoh dalam karya sastra mempunyai peranan yang sangat penting sebagai
penyampai pesan, amanat, moral yang sengaja ingin disampaikan kepada
pembaca oleh si pengarang. Dalam komik Hai Miiko, pengarang mencoba
menggambarkan kehidupan sosial, perilaku, maupun gaya hidup para tokoh dalam
keluarga maupun dalam lingkungan sosial yang digambarkan melalui sikap,
tingkah laku, serta dialog-dialog yang diucapkan guna menyampaikan pesan,
amanat, dan moralitas yang bermanfaat bagi pembacanya atau masyarakatnya.
Cuplikan (Jilid I halaman 127-136)
Rie : “Kita pergi ke department store beli jaket, yuk?”
Mama Rie : “Kali ini sabar dulu, ya.”
Rie : “Kenapa?! ‘Kan Mama sudah janji bakal belikan aku jaket baru
untuk pergi skating sama teman minggu depan!”

12
Mama Rie : “Waktu itu Mama kira kerjaan Papamu sudah pasti. Ternyata
sampai sekarang belum ada kepastian. Kau harus tunggu sampai pekerjaan itu
betul-betul dipegang Papa.”
Rie : “Aku gak mau tau, pokoknya udah janji!”
Mama Rie : “Rie! Mama sudah menjelaskannya padamu, tapi kenapa kau masih
nggak terima?! Jangan egois begitu! Pikir dulu sebelum bicara, Jangan
sembarangan ngomong!”
Rie : “Mama bohong!”
Mama Rie : “Dasar anak keras kepala!”
Miiko : “Aku mau lihat Rie sebentar, ya.”
Mama Rie : “Wah, maaf, biasanya kalau ngambek dia lari ke taman.”
Di taman.
Miiko : “Aku paham perasaanmu.”
Rie : “Kan nggak salah kalau anak kecil sekali-sekali mau tampil cantik.
Bayangkanlah aku ini selalu memakai pakaian bekas kakak-kakakku. Pakaianku
selalu berwarna kelabu atau coklat, aku ingin sekali-sekali pakai baju merah atau
pink seperti teman-teman. Dua bulan yang lalu, kantor Papaku bangkrut. Aku
sudah tau nggak mungkin dibelikan jaket baru! Tapi aku sengaja menguji Mama
ternyata memang sudah nggak ada harapan lagi. Rasanya lega setelah ngomong
denganmu. Kita pulang, yuk.”
Di rumah.
Rie : “Aku pulang.”
Miiko : “Wah, warnanya bagus sekali, merah jambu.”
Rie : “Jaket Mama dipotong-potong jadi begini?!”
Mama Rie : “Iya, Mama mau mencontoh pola baju di buku ini.”
Rie : “Tapi jaket ini ‘kan jaket kesayangan Mama. Ah, Mama...”
Dari cuplikan dialog di atas, dapat dilihat bahwa Mama Rie sangat
menyayangi Rie. Rie sangat menginginkan jaket berwarna merah muda dan Mama
Rie berusaha menuruti keinginan Rie dengan cara memotong jaket kesayangannya
menjadi kecil agar dapat dipakai oleh Rie. Dialog tersebut menunjukkan adanya

13
amae antara Mama Rie dan Rie. Seorang ibu berusaha menyenangkan hati
anaknya dengan cara menuruti keinginan anaknya.
Dalam anime Ano Hana juga terdapat tindak tutur amae yang dilakukan oleh
pemeran tokoh. Dalam anime tersebut menceritakan tentang kelompok sahabat
(Super Peace Busters) yang telah lama berkawan. Dalam perjalanannya,
persahabatan ini mengalami banyak rintangan, baik dalam hubungan pertemanan
maupun hubungan percintaan. Menma merupakan salah satu anggota kelompok
Super Peace Busters yang digambarkan sebagai anak yang ceria, baik hati, dan
juga manja. Menma sangat menyayangi para sahabatnya, sehingga Ia sangat
menyukai waktunya yang dihabiskan bermain bersama temannya.
ゆきあつ (Yukiatsu) : 「 そ れ ひ ど く な い か ? 」 Sore hidokunaika?
Bukannya itu tidak adil?
ぽっぽ (Poppo) :「めんまにはジャグラス出させて、それでピ
ピットン? じんたんひでえー。」Menma ni wa Jagurasu desasete, sorede
pipitton? Jintan hidee~ Tidak adil kan, kalau kamu dapat Jaguras, tapi Menma
dapat viviton. Jintan curang!
つるこ (Tsuruko) : 「 意 地 悪 良 く な いよ 。 」 Ijiwaru yokunaiyo.
Jangan membohonginya.
めんま (Menma) :「いいのっ!め。。めんまピピットンがいい
の!」Iino! Me… Menma Pipitton ga iino! Tidak apa-apa kok! A- Aku tidak
keberatan ditukar dengan Viviton.
あなる (Anaru) :「ほんとに?」Hontoni? Beneran?
めんま (Menma) :「うん。」Un. Iya.
Pada kutipan 「いいのっ!め。。めんまピピットンがいいの!」
menunjukkan bahwa Menma sangat menginginkan beramaeru dengan temannya.
Dapat diperhatikan pada kalimat tersebut, Menma yang tidak keberatan mendapat
sebuah karakter Viviton yang memiliki kemampuan standar daripada karakter
kuat Jaguras yang Ia tukar dengan Jintan. Meskipun teman-temannya membela
Menma, namun Menma tetap membiarkan Jintan mengambil karakter tersebut

14
supaya Jintan senang dan dapat terus bersamanya. Sehingga, secara tidak langsung
Jintan mengizinkan Menma untuk beramaeru dengannya.
2.3 Ungkapan Cinta di Jepang
Menurut Takeo Doi (1992), perilaku amae dapat terlihat secara jelas dalam
perilaku seorang bayi kepada ibunya. Tetapi, perilaku amae juga dilakukan oleh
orang dewasa. Amae didefinisikan sebagai sebuah emosi atau perasaan yang
melatarbelakangi sebuah perilaku “manja” agar mendapat sebuah kebaikan dari
orang lain. Amae juga dapat diartikan sebagai “passive love”, yaitu perilaku ingin
dicintai dan diperhatikan oleh orang lain.
Dalam diskusi yang dilakukan oleh kanal YouTube Asian Boss kepada tiga
orang Jepang yang berjudul Why Japanese Never Say “I Love You”(Panel
Discussion) | Asian Boss, dikatakan bahwa orang Jepang jarang mengucapkan
kata cinta secara eksplisit kepada lawan bicaranya. Orang Jepang cenderung tidak
mengutarakan perasaan mereka secara verbal, sehingga orang lain harus dapat
membaca perasaan mereka melalui tingkah laku yang menunjukkan rasa cinta.
Bahkan saat menjalin sebuah hubungan seperti berpacaran, orang Jepang tidak
mengatakan “aku cinta kamu” kepada pasangannya. Kata tersebut hanya
diucapkan pada saat menikah atau sebelum menikah. Dalam komunikasi antar
anggota keluarga, anak perempuan di Jepang cenderung dapat berbicara banyak
hal namun terbatas dengan sang ibu. Sedangkan anak perempuan mengalami
kesulitan apabila berbicara dengan sang ayah. Pada masa kecil, anak-anak di
Jepang sering melakukan kontak fisik dengan orang tua mereka. Hal itu dapat
terlihat dalam budaya mandi bersama yang dimiliki orang Jepang. Kegiatan mandi
bersama dirasa lebih intim dan lebih menunjukkan rasa cinta daripada sekedar
ungkapan atau ucapan cinta. Kemudian saat dewasa kontak fisik perlahan
berkurang menjadi jarang atau bahkan tidak sama sekali. Orang Jepang
menganggap bahwa memeluk atau melakukan kontak fisik dengan orang tua
merupakan hal yang aneh bagi orang dewasa. Menjelang dewasa, orang Jepang
kebanyakan hidup secara mandiri dan terpisah dari orang tua. Kebanyakan dari
mereka jarang atau bahkan tidak pernah memberikan kabar ke orang tua, bahkan
ada yang menelpon sekali dalam satu tahun. Hal ini terjadi karena beberapa alasan,

15
yaitu sang anak tidak tahu apa yang harus mereka bicarakan dengan orang tua
mereka dan ada kemungkinan sang anak dianggap membutuhkan kiriman uang
dari orang tua.
Alur kehidupan Jepang di masa sekarang terbilang sangat cepat dan padat.
Pelajar yang pergi bersekolah sejak pagi hingga sore, lalu ketika sampai di rumah,
mereka makan malam dan tidur. Banyak ayah di Jepang yang lebih mementingkan
pekerjaan daripada keluarga. Budaya kerja lembur hingga malam untuk
mendapatkan uang yang lebih banyak menjadikan sang ayah jarang pulang ke
rumah dan menghabiskan waktu bersama keluarga. Beberapa anak bahkan tidak
tahu siapa dan di mana ayah mereka. Hal tersebut menunjukkan minimnya relasi
atau komunikasi dengan keluarga. Terlepas dari kesibukan orang tua dan anak
yang cenderung menjaga jarak, perilaku amae masih ada sampai saat ini. Seperti
halnya yang diutarakan oleh Kizuki, salah satu anggota diskusi dalam panel
diskusi tersebut. Sejak kecil Kizuki tinggal bersama kakeknya dan hidup terpisah
dari orang tuanya. Suatu hari ia jatuh sakit dan tidak dapat bekerja untuk
sementara waktu. Saat itu ia dalam keadaan finansial yang buruk, dan untuk
pertama kalinya ia menelpon ayahnya dan meminta bantuannya yang pada
akhirnya sang ayah menolongnya. Sejak saat itu, ia mulai berbicara mengenai
orang tuanya. Bahkan, di hari ulang tahun ke-30-nya ia berterima kasih kepada
orang tuanya karena telah melahirkan dirinya ke dunia. Menurutnya, itu adalah
hal terbaik yang dapat ia lakukan untuk menunjukkan rasa cintanya kepada orang
tuanya.
Berdasarkan diskusi tersebut, orang tua dan anak di Jepang harus mulai
terbuka terhadap satu sama lain. Mengucapkan kata seperti “aku mencintaimu”
bukanlah budaya Jepang. Tetapi apabila orang Jepang mulai membiasakan diri
dan berterus terang terhadap satu sama lain, hal itu akan membuka jalan baru bagi
orang Jepang untuk mengekspresikan perasaan mereka.
2.4 Galapagos Syndrome
Darwin mengamati adaptasi fantastis berbagai spesies terhadap lingkungan
yang unik dan terisolasi di Kepulauan Galapagos. Habitat yang unik dan isolasi
yang berkepanjangan memungkinkan spesies berevolusi secara berbeda dari

16
tempat lain di bumi. Salah satu contoh peristiwa yang persis menggambarkan
keadaan tersebut adalah Jepang. Di Jepang, dimana negaranya yang menerapkan
isolasi diri dari pengaruh luar namun memiliki teknologi yang sangat maju.
Budaya nasional dan regional telah terbukti memiliki efek pada penyebaran
dan difusi inovasi. (Rogers & Shoemaker, 1971). Fenomena ini dapat diamati
dengan cara khusus ketika melihat bagaimana teknologi yang dikembangkan di
Jepang dengan norma-norma budayanya dan gagal menjadi populer di seluruh
dunia di mana karena terdapat perbedaan norma. Perbedaan-perbedaan tersebut
dapat dibandingkan dengan cara menganalisis teknologi unik asli Jepang dan
membandingkan perbedaan tersebut dengan perbedaan terukur yang muncul di
antara budaya seperti dimensi budaya milik Hofstede (Hofstede, 1983).
Fenomena aliran inovasi teknologi yang berbeda ini telah dianalogikan
dengan teori evolusi dan disebut dengan “Galapagos Syndrome” (Flávio, 2014).
Sama seperti spesies di sekitar lingkungan yang unik di Pulau Galapagos mampu
berkembang dengan cara yang unik. Teknologi tersebut terbukti tidak cocok di
kebudayaan lain pada beberapa kesempatan. Istilah “Galapagos Syndrome”
paling banyak digunakan di Jepang untuk merujuk pada ponsel flip setelah
smartphone menjadi populer di dunia.
2.5 Waseigo
Menurut Tanabe (1989, 2), wasei eigo adalah: “Wasei eigo adalah bahasa
Jepang yang terbentuk dari kosakata bahasa Inggris dan dituliskan dengan
katakana, sehingga disebut juga dengan istilah katakana eigo. Wasei eigo tersebut
dibuat oleh orang Jepang, dan mengalami perubahan lafal yang membuatnya
berbeda dengan kosakata pembentuk di bahasa aslinya. Termasuk juga kosakata
bahasa Jepang mengalami peniruan dari bahasa Inggris.” Berdasarkan pemaparan
dari Tanabe di atas, dapat disimpulkan bahwa wasei eigo adalah bahasa Jepang
yang terbentuk dari kosakata bahasa Inggris yang digunakan oleh orang Jepang
yang mengalami perubahan dengan bahasa Inggris asalnya, baik bentuk maupun
makna. Secara singkat, wasei eigo adalah bahasa Inggris versi orang Jepang, dan
banyak dari bahasa tersebut tidak digunakan dan tidak dimengerti oleh penutur

17
asli bahasa Inggris. Tanabe (1989:5-10) mengklasifikasikan wasei eigo ke dalam
14 jenis, yaitu:
a. Jenis wasei eigo berupa kata dan kata majemuk(単語と複合語)(Tango
to Fukugougo)
a) Kata (単語) (Tango), kata yang terbentuk langsung dari satu kata dan
memiliki makna yang sama dengan kata pembentuknya.
b) Kata majemuk ( 複 合 語 ) (Fukugougo), gabungan 2 kata yang
mengalami penyingkatan dan memiliki makna yang sama dengan kata
pembentuknya.
b. Jenis wasei eigo makna yang sama dan makna yang berbeda(同義と異議)
(Dougi to Igi)
a) Makna yang sama (同義) (Dougi), kata yang memiliki makna yang
sama dengan kata pembentuknya.
b) Makna yang berbeda (異議) (Igi). kata yang memiliki makna berbeda
dengan kata pembentuknya.
c. Jenis wasei eigo bentuk apa adanya dan bentuk singkatan(完全形と省略
形)(Kanzenkei to Shoryakukei)
a) Bentuk apa adanya (完全形) (Kanzenkei), kata yang dituliskan apa
adanya dengan huruf katakana.
b) Bentuk singkatan ( 省 略 形 ) (Shoryakukei), kata yang mengalami
penyingkatan dengan menghilangkan bagian tertentu.
d. Jenis wasei eigo adaptasi bunyi dan adaptasi tulisan (音声借用と文字借用)
(Onseishakuyou to Mojishakuyou)
a) Adaptasi bunyi ( 音 声 借 用 ) (Onseishakuyou), kata yang terbentuk
berdasarkan bunyi kosakata pembentuknya.
b) Adaptasi tulisan ( 文 字 借 用 ) (Mojishakuyou), kata yang terbentuk
karena mengalami penyesuaian lafal dan penulisan dalam bahasa Jepang.
e. Jenis wasei eigo perubahan kelas kata(品詞の転換:帰化)(Hinshi no
Tenkan: Kika), kata yang mengalami perubahan kelas kata.

18
f. Jenis wasei eigo bentuk gabungan (混種) (Konshu), kata yang terbentuk oleh
penggabungan dua kata berbeda bahasa. Disebut juga dengan istilah hybrid.
Tipe ini dibagi menjadi dua bagian, yaitu:
a) Tipe A (混種 A 型:英語と日本語) (Konrui A gata: eigo to nihongo),
penggabungan kata bahasa Inggris dan kata bahasa Jepang.
b) Tipe B (混種 B 型:英語と他の外国語) (Konrui B gata: eigo to hoka
no gaikokugo), penggabungan kata bahasa Inggris dan kata bahasa yang
lain.
g. Jenis wasei eigo kaban go(かばん語)(Kabango), disebut juga dengan
istilah portmanteau words, yaitu kata yang terbentuk dari penggabungan dua
kata yang menjadi satu kata baru.
h. Jenis wasei eigo kata bentukan prefiks dan sufiks (語頭と語尾の接辞に
よる造語)(Gotou to gobi no setsuji ni yoru zougo), kata yang terbentuk
karena mengalami pelekatan prefiks dan sufiks Bahasa Inggris. Namun,
karena pelekatan prefiks dan sufiks ini tidak sesuai dengan aturan bahasa
Inggris, kata bentukannya tidak ada dalam bahasa Inggris.
i. Jenis wasei eigo singkatan ( 略 語 ) (Ryakugo), kata yang mengalami
penyingkatan dan dilambangkan dengan huruf alfabet pada kata tersebut.
Pada umumnya dibentuk oleh huruf pertama masing-masing kata.
j. Jenis wasei eigo substitusi (置き換え) (Okikae), kata Bahasa Jepang yang
diubah secara literal ke dalam bahasa Inggris.
k. Jenis wasei eigo pembalikan kata (倒置) (Touchi), kata yang terbentuk
karena membalikan kata.
l. Jenis wasei eigo akronim(頭字語)(Toujigo), kata yang dibentuk dengan
cara menyingkat bagian depan morfem masing-masing kata.
m. Jenis wasei eigo bentuk frasa dan bentuk kalimat(プレーズ型とセンテン
ス型)(Pureezu gata to Sentensu gata).
n. Bentuk frasa (プレーズ型) (Pureezu gata), pembentukan kata yang berasal
dari frase bahasa Inggris.

19
o. Bentuk kalimat ( セ ン テ ン ス 型 ), pembentukan kata yang berasal dari
kalimat bahasa Inggris.

20
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Di dalam akhir penulisan skripsi ini, penulis membuat beberapa kesimpulan dari
keseluruhan bab sebelumnya yaitu :
1. Budaya adalah suatu pola hidup atau tradisi masyarakat yang berasal dari
akal manusia itu sendiri dan berkembang secara turun temurun.
2. Konsep aimai merupakan keadaan lebih dari satu makna yang
dimaksudkan, sehingga pada akhirnya malah menimbulkan ketidakjelasan,
penjelasan yang sulit dipahami maupun keadaan yang dirasa samar.
3. Aimai hyōgen (ungkapan ambiguitas) merupakan salah satu konsep strategi
berkomunikasi yang masih digunakan dalam masyarakat Jepang yang dapat
didefinisikan sebagai suatu keadaan yang ditafsirkan memiliki lebih dari
satu makna yang dimaksudkan sehingga mengakibatkan ketidakjelasan,
ketidaktentuan, dan ketidakpastian.
4. Budaya amae adalah hubungan yang dapat menciptakan ketergantungan
satu sama lain.
5. Konsep amae juga terkait erat dengan berbagai aspek kehidupan orang
Jepang karena amae berkaitan dengan karakteristik dan pola pikir orang
Jepang lainnya seperti yang ada dalam budaya enryo, sasshi, uchi-soto,
honne-tatemae, dan omotenashi.
6. Dalam hubungan antara ibu dan anak, tidak dapat dipungkiri jika anak tidak
dapat dipisahkan dengan ibunya. Dalam hal ini akan terjadi pola amae,
dimana sang anak berperan sebagai amaeru, sedangkan sang ibu berperan
sebagai amayakasu dimana sang ibu merupakan tempat bergantungnya
anak.
7. Orang Jepang cenderung tidak mengutarakan perasaan mereka secara
verbal, sehingga orang lain harus dapat membaca perasaan mereka melalui
tingkah laku yang menunjukkan rasa cinta.
8. Mengucapkan kata seperti “aku mencintaimu” bukanlah budaya Jepang.
Tetapi apabila orang Jepang mulai membiasakan diri dan berterus terang

21
terhadap satu sama lain, hal itu akan membuka jalan baru bagi orang Jepang
untuk mengekspresikan perasaan mereka.
9. Istilah “Galapagos Syndrome” paling banyak digunakan di Jepang untuk
merujuk pada ponsel flip setelah smartphone menjadi populer di dunia.
10. Di Jepang, dimana negaranya yang menerapkan isolasi diri dari pengaruh
luar namun memiliki teknologi yang sangat maju.
11. Waseigo adalah bahasa Inggris versi orang Jepang, dan banyak dari bahasa
tersebut tidak digunakan dan tidak dimengerti oleh penutur asli bahasa
Inggris.

22
DAFTAR PUSTAKA

Adibah, Farah. (2011). BUDAYA AMAE DALAM KOMIK "HAI MIIKO" KARYA
ERIKO ONO. Medan: Universitas Sumatera Utara.
Ambarita, Desy Julita. (2009). TINJAUAN BUDAYA AMAE DALAM POLA
PENGASUHAN ANAK JEPANG MENURUT TEORI TAKEO DOI. Medan:
Universitas Sumatera Utara.
Asian Boss. (2017). WHY THE JAPANESE NEVER SAY "I LOVE YOU" (PANEL
DISCUSSION) | ASIAN BOSS [Video]. YouTube.
https://www.youtube.com/watch?v=j1AgdVmnsE0&t=310s
Dewi, Ni Made A. A., & Wedayanti, Ni Putu L. (2019). KESANTUNAN
BERBAHASA YANG TERCERMIN DALAM AIMAI HYŌGEN. PUSTAKA,
19(2), 89-93. Badung: Universitas Udayana.
Doi, L. T. (1973). THE JAPANESE PATTERNS OF COMMUNICATION AND
THE CONCEPT OF AMAe. Quarterly Journal of Speech, 59(2), 180-185.
Doi, T. (1992). ON THE CONCEPT OF AMAE. Infant Mental Health
Journal, 13(1), 7-11.
Goddard, James. (2017). RECOGNITION OF ENGLISH LOANWORDS
(WASEIEIGO) AMONG JAPANESE UNIVERSITY STUDENTS. 22, 59-66.
Japan: Kitasato University.
Hawkinson, Eric. (2018). JAPAN’S GALAPAGOS SYNDROME AND
EDUCATIONAL TECHNOLOGY DEVELOPMENT AND DESIGN. Japan:
The University of Fukuchiyama. doi:10.26484/2017/tjsss00317075
Hidayah, N. (2016). KEAMBIGUITASAN MAKNA KALIMAT IKLAN PADA
WEBSITE RESMI PRODUK SHISEIDO. E-Journal Linguistik Bahasa Jepang,
03(02), 1-11. Surabaya: Universitas Negeri Surabaya.
Kumagai, H., & Kumagai, A. (1986). THE HIDDEN "I" IN AMAE: "PASSIVE
LOVE" AND JAPANESE SOCIAL PERCEPTION. Ethos, 14(3), 305-320.
Lisamayasari. (2013). AIMAI DALAM IMPLIKATUR PERCAKAPAN BAHASA
JEPANG: KAJIAN PRAGMATIK. Tesis, Medan: Universitas Sumatera Utara.
Palandi, H. E. (2021). KONSEP BUDAYA AMAE DALAM PERILAKU DAN
TINDAK TUTUR BANGSA JEPANG. Konferensi Tahunan Atma Jaya 19,
138-143.
Sompotan, Rizta E. (2019). KONSEP AMAE DALAM KOMUNIKASI KELOMPOK
SOSIAL JEPANG PADA FILM ANO HANA (あの花) KARYA MARI
OKADA (TINJAUAN PSIKOLOGI SOSIAL SASTRA). Other thesis,
Universitas Komputer Indonesia.

23

Anda mungkin juga menyukai