Anda di halaman 1dari 66

Universitas Sumatera Utara

Repositori Institusi USU http://repositori.usu.ac.id


Departemen Sastra Jepang Skripsi Sarjana

2018

Bankonka (Penundaan Pernikahan Bagi


Wanita di Jepang)

Fazura, Kanasa
Univesitas Sumatera Utara

http://repositori.usu.ac.id/handle/123456789/8476
Downloaded from Repositori Institusi USU, Univsersitas Sumatera Utara
BANKONKA (PENUNDAAN PERNIKAHAN BAGI WANITA DI JEPANG)

SKRIPSI

Skripsi Ini Diajukan Kepada Panitia Ujian Fakultas Ilmu Budaya Universitas
Sumatera Utara Medan Untuk Melengkapi Salah Satu Syarat Ujian Sarjana
Dalam Bidang Ilmu Sastra Jepang

Oleh:

KANASA FAZURA

140708051

PROGRAM STUDI SASTRA JEPANG


FAKULTAS ILMU BUDAYA
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2018

Universitas Sumatera
Utara
BANKONKA (PENUNDAAN PERNTEAHAN BAGI WANITA DI JEPANG)

SKRIPSI

Skripsi Ini Diajukan Kepada Panitia Ujian Fakultas Ilmu Budaya Universitas
Sumatera Utara Medan tlntuk Melengkapi Salah Satu Syarat Ujian Sarjana
Dalam Bidang Ilmu Sastra Jepang

Disetujui Oleh:

Pei{ng 1,

Mhd. Puiiori Ph.D.

1011 2002 2 1 001

PROGRAM STUDI SASTRA JEPANG


' rAKULT ts n.MtJ BUDAYA
UNIVERSITAS SIJMATERA UTARA
MEDAN
2018
Disetujui Oleh :

Fakultas IImu Budaya


tiniversitas Sumatera Utai a
Medan

Nledan, 25 Septembe r 2018

Program Studi Sastra Jepanq


Ketua,

Ha hi on 95 rnoran1s. PH.D
198412 1 001
KATA PENGANTAR

Alhamdulillahi Rabbil ‘alamin, segala puji dan syukur penulis ucapkan

kehadirat ALLAH SWT, karena berkat rahmat dan karunianya kepada penulis

sehingga penulis dapat menyusun dan menyelesaikan skripsi ini, sebagai salah

satu syarat untuk menyelesaikan pendidikan akhir guna memperoleh gelar Sarjana

Sastra di Universitas Sumatera Utara. Adapun skripsi ini berjudul “BANKONKA

(PENUNDAAN PERNIKAHAN BAGI WANITA) DI JEPANG.

Penulis memperoleh banyak bantuan, bimbingan dan dukungan baik

secara morilmaupun materil yang diberikan secara langsung maupun tidak

langsung dari berbagai pihak selama penulisan skripsi ini. Untuk itu penulis

mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada pihak-pihak yang telah

membantu, antara lain :

1. Bapak Dr. Budi Agustono, M.S, selaku Dekan Fakultas Ilmu Budaya

Universitas Sumtera Utara.

2. Bapak Prof. Hamzon Situmorang, M.S, Ph.D, selaku Ketua Jurusan

Departemen Sastra Jepang Universitas Sumatera Utara dan Dosen

Pembimbing II, yang telah memberikan masukan dan waktunya bagi

kesempurnaan skripsi ini.

3. Bapak Mhd. Pujiono, M.Hum., Ph.D, selaku Dosen Pembimbing I yang telah

banyak meluangkan waktunya dan pikirannya dalam membantu penulis

mengerjakan skripsi ini, hingga selesai tepat pada waktunya. Hontouni

arigatou gozaimasu.

Universitas Sumatera
Utara
4. Para Staf Pengajar Jurusan Sastra Jepang Universitas Sumatera Utara, yang

telah memberikan didikan dan ilmunya selama masa perkuliahan.

5. Terlebih penulis ucapkan terima kasih yang paling dalam dengan tulus hati

kepada kedua orang tua tercinta ayahanda Fachrurrazi, ibunda Zuhraini dan

ummi Asma Muhammad yang telah memberikan kasih sayang dan bantuan

moril maupun materil serta doa yang tulus selama perkuliahan sampai

selesainya. Skripsi ini serta buat adik-adikku tercinta Kamila Fahira,

Fadhillah dan Muhammad Baihaqi.

6. Teman-teman seperjuangan di Sastra Jepang USU angkatan tahun 2014,

Cindy, Suci, Dea, Tasya, Fanni, Dillah dan yang lainnya, semoga kita diberi

kesuksesan dan selalu mengingat kenangan indah selama perkuliahan.

7. Dan semua pihak yang telah membantu penyelesaian skripsi ini, yang tidak

dapat penulis ucapkan satu persatu. Penulis menyadari bahwa skripsi ini

masih jauh dari kesempurnaan disebabkan keterbatasan kemampuan dan

pengetahuan penulis.

Akhirnya penulis berharap skripsi ini dapat menambah pengetahuan dan

wawasan bagi para pembacanya.

Medan, 25 September 2018

Penulis

KANASA FAZURA

NIM. 1407008051
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.......................................................................................................i

DAFTAR ISI....................................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah.................................................................................1

1.2 Perumusan Masalah.........................................................................................5

1.3 Ruang Lingkup Pembahasan...........................................................................6

1.4 Tinjauan Pustakadan Kerangka Teori..............................................................6

1.5 Tujuan dan Manfaat Penelitian........................................................................9

1.6 Metode Penelitian..........................................................................................10

BAB II PENGERTIAN DAN MASALAH-MASALAH BANKONKA DI

JEPANG

2.1 Pengertian Bankonka..................................................................................13

2.2 Dampak Bankonka di Jepang.....................................................................16

2.3 Kasus-kasus Bankonka di Jepang................................................................26

BAB III PROSES TERJADINYA BANKONKA DI JEPANG

3.1 Penyebab Terjadinya Bankonka Di Jepang.............................................29

3.2 Model Perubahan Terjadinya Bankonka Di Jepang..................................34

iii

Universitas Sumatera
Utara
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan...............................................................................................41

4.2 Saran..........................................................................................................42

DAFTAR PUSTAKA

ABSTRAK

iv

Universitas Sumatera
Utara
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Negara Jepang merupakan negara yang berkembang dengan

cepat.Perkembangan negara Jepang dari bangsa yang tertinggal oleh kemajuan

negara-negara Barat pada pertengahan abad ke-19, menjadi bangsa yang setingkat

dengan negara-negara Barat yang sudah maju dicapainya hanya dalam masa kurang

lebih 100 tahun.

Negara Jepang adalah salah satu negara dengan pengaruh budaya yang kuat,

dilihat dari tinjauan sejarah peradaban Jepang yang cukup kompleks.Budaya Jepang

menjadi salah satu jalan negara Jepang berkembang sebagai satu dari sekian negara

maju di dunia.Negara Jepang merupakan suatu negara modern yang masih terikat

kuat oleh nilai-nilai tradisional, terutama dalam pernikahan.

Pernikahan adalah sebuah bagian yang penting dari kehidupan

manusia.Pernikahan dianggap sebagai sebuah kewajiban sosial baik bagi pria maupun

wanita untuk mendapatkan status sebagai seseorang yang sudah dewasa.

Menurut Ohashi, wanita Jepang lebih menikmati dirinya sebagai wanita lajang

dibandingkan menikah. Menurut mereka pernikahan merupakan pilihan individu.

Pada saat yang sama wanita dapat mandiri secara ekonomi dengan adanya

Universitas Sumatera
Utara
kesempatan kerja yang luas. Akhirnya mereka memandang pernikahan sebagai

perkerja seumur hidup, karena pekerjaan sebagai wanita di rumah seperti mengurus

rumah dan mengasuh anak dianggap sebagai pekerjaan wanita seumur hidup

Ohashi,1995:8 dalam http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/20352073-MK-

Rita%20Silvia.pdf

Di negara Indonesia pernikahan dianggap sebagai suatu kewajiban bagi setiap

orang, karena negara Indonesia masih sangat menjunjung tinggi norma-norma agama

dalam suatu ikatan perjanjian pernikahan yang disahkan oleh negara. Sehingga suatu

hal yang tidak lazim jika seseorang menikah dengan usia yang terlambat.

Berkembangnya masyarakat suatu negara menjadi masyarakat modern

seringkali tidak hanya membawa perkembangan positif, tetapi juga dapat membawa

berbagai masalah-masalah sosial yang disebabkan oleh perubahan-perubahan yang

terjadi.Sama seperti negara industri yang lainnya, negara Jepang mengalami

pergeseran dalam nilai-nilai pernikahan dan keluarga.

Semenjak adanya perbaikan undang-undang Jepang tahun 1946 dalam hal

persamaan hak antara wanita dan pria dalam kesempatan memperoleh pendidikan,

akhir-akhir ini tekanan masyarakat kepada wanita untuk menikah pada umur tertentu

telah melemah dan kesadaran untuk menikah pada usia layak di Jepang semakin

rendah.

Jumlah wanita di negara Jepang yang menunda pernikahan semakin

meningkat dengan cukup pesat.Pergeseran pola pernikahan menyebabkan berubahnya

2
persepsi dan ekspektasi seseorang mengenai pernikahan.Budaya penundaan

pernikahan ini disebut dengan bankonka.

Bankonka ( 晩 婚 化 ) terdiri dari kanji Ban ( 晩 ) yang berarti malam atau

terlambat, kon (婚) yang berasal dari kata kekkon (結婚) yang berarti pernikahan, dan

ka ( 化 ) yang berarti perubahan. Jadi, secara keseluruhan bankonka adalah suatu

fenomena atau perubahan dimana seseorang menikah pada saat usianya sudah

melampaui usia layak menikah.

Faktor penyebab munculnya bankonka salah satunya adalah seperti yang

sudah dijelaskan sebelumnya yaitu meningkatnya kesempatan wanita untuk

memperoleh pendidikan dan semakin mudahnya wanita memasuki dunia

kerja.Sehingga di zaman modern ini wanita Jepang banyak yang mengutamakan

pendidikannya daripada pernikahan. Setelah lulus dari pendidikan tinggi wanita pasti

tidak ingin langsung menikah. Dengan tingginya pendidikan yang wanita dapatkan,

semakin tinggi pula obsesi mereka untuk bekerja.

Taraf pendidikan yang tinggi merubah pola pikir wanita yang semula

menganggap bahwa pernikahan adalah satu-satunya jalan bagi mereka untuk

mendapatkan kestabilan ekonomi, sekarang wanita yang sudah mandiri menganggap

bahwa pernikahan bukanlah satu-satunya pilihan.

Faktor-faktor ekonomi seperti peningkatan level pendapatan dan perubahan

ekonomi industri yang membuka banyak kesempatan bekerja bagi perempuan,

memudahkan wanita untuk membangun kehidupan bagi diri mereka sendiri di luar
3
kerangka pernikahan. Dahulu, pernikahan yang merupakan suatu keharusan bagi

wanita untuk bertahan hidup, sekarang sudah menjadi suatu pilihan, dan kini tiap

individu mempunyai kebebasan untuk memilih antara menikah atau tetap melajang.

Usia rata-rata pertama menikah wanita Jepang termasuk urutan tertinggi

kedua didunia. Budaya penundaan pernikahan ini dimulai pada pertengahan tahun

1970-an seiring dengan pertumbuhan ekonomi Jepang yang maju pesat, sehingga

membuka peluang bagi wanita untuk melanjutkan pendidikan kejenjang yang lebih

tinggi, serta meniti karir dibidang-bidang pekerjaan profesional.

Kepuasan hidup yang diraih melalui kemandirian secara ekonomi dan

spiritual ini mengubah pandangan mereka terhadap pernikahan. Menikah menjadi

suatu pilihan individu, dan mereka babas untuk menentukan dan memilih kapan,

dimana dan dengan siapa mereka akan menikah.

Jumlah pernikahan di Jepang menurun dari tahun ke tahun. Berdasarkan data

National Institute of Population and Social Security Research, yang dikutip oleh

Japan Fact Sheet dalam “Women’s Issues : Changing Roles in a Changing Society”,

pada tahun 1980, presentase orang Jepang yang tidak menikah di usia 26 tahun adalah

55,1% untuk pria dan 24,0% untuk wanita

(http://eprints.dinus.ac.id/8301/1/jurnal_14012.pdf).

Pada tahun 2005 prosentasenya meningkat menjadi 72,6% untuk pria dan

59,5% untuk wanita. Survei terbaru menunjukkan bahwa 6% wanita Jepang lebih

memilih untuk hidup sendiri seumur hidup.Hal ini dikarenakan oleh faktor

4
pendidikan, semakin tinggi pendidikan wanita Jepang, semakin tinggi pula angka

penundaan untuk menikah.

Bankonka di Jepang tidak hanya terjadi pada wanita saja, namun juga terjadi

pada pria. Akan tetapi, dalam skripsi ini penulis hanya akan membatasi pada

bankonka yang terjadi pada wanita saja.

Untuk mengetahui lebih jauh tentang permasalahan penundaan wanita

menikah di Jepang ini penulis akan mencoba membahasnya melalui skripsi yang

berjudul “BANKONKA DI JEPANG”

1.2 Rumusan Permasalahan

Masyarakat Jepang terkenal sebagai masyarakat yang memegang kuat nilai-

nilai tradisional kebudayaannya. Sebelum Perang Dunia II, wanita Jepang diharuskan

menikah pada usia 20-24 tahun. Akan tetapi dewasa ini, banyak wanita Jepang yang

menunda perkawinannya dan tidak menikah pada usia yang dianggap sudah pantas

atau layak untuk menikah.

Berdasarkan pada latar belakang masalah di atas, permasalahan penelitian ini

dirumuskan dalam bentuk pertanyaan sebagai berikut :

1. Bagaimana penyebab terjadinyabankonka di Jepang?

2. Bagaimanamodel perubahan terjadinyabankonka diJepang ?

5
1.3 Ruang Lingkup Permasalahan

Dalam penulisan skripsi ini, maka penulis menganggap perlu adanya

pembatasan ruang lingkup masalah dalam pembahasan. Hal ini dilakukan agar

masalah tidak menjadi terlalu luas sehingga penulis dapat lebih terfokus dan terarah

dalam pembahasan terhadap masalah. Untuk mendukung pembahasan ini, penulis

juga akan membahas tentang proses terjadinya bankonka di masyarakat Jepang dan

dampak bankonka di masyarakat Jepang.

1.4 Tinjauan Pustaka Dan Kerangka Teori

1. Tinjauan Pustaka

Bankonka merupakan sebutan bagi gejala pernikahan di usia lanjut atau gejala

pernikahan yang terlambat, didasari oleh pilihan untuk menunda pernikahan. Kata

bankonka terdiri dari ban (晩), kon (婚), dan ka (化). Maka, bankonka secara harfiah

bankonka dapatditerjemahkan sebagai late marriage atau penundaan pernikahan di

Jepang .(http://fitrianapd.lecture.ub.ac.id/files/2013/11/BANKONKA.pptx).

Ada beberapa penilitian sebelumnya yang berhubungan dengan penelitian

penulis kali ini yang dikemukakan sebagai berikut.

Ambarita (2015) dalam skripsinya yang berjudul Koreika Shakai di Jepang.

Di dalamnya membahas dimana jumlah manula di Jepang lebih banyak daripada

jumlah pemuda yang disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya adalah Arufo
6
yaituaround fourty, istilah ini dipakai untuk wanita di Jepang yang berumur 39 akhir

sampai 40 keatas yang lebih mementingkan karirnya dibandingkan menikah dan

hidup berkeluarga.

Haryanti pada tahun (2012) dalam jurnalnya yang berjudul Penyebab

Menurunnya Tingkat Kelahiran di Jepang dan Strategi Penanggulangannya. Di dalam

jurnal ini Haryanti menuliskan bahwa penyebab menurunnya tingkat kelahiran di

Jepang adalah semakin meningkatnya jumlah orang Jepang yang menikah di usia

lanjut (bankonka) dan meningkatnya jumlah orang Jepang yang tidak menikah

(mikonka). Hal ini terjadi karena telah berubahnya cara pandang masyarakat Jepang

tentang pernikahan dan gaya hidup masyarakat Jepang itu sendiri.

Selain itu, Arianie (2013) menjabarkan fenomena bankonka ini yang

tercermin pada serial drama Kekkon Dekinai Otoko. Di dalam skripsinya menjelaskan

fenomena dengan sumber data serial drama yang bercerita tentang kisah kehidupan

Shinsuke Kuwano, pria berusia 40 tahun yang bekerja sebagai arsitek tapi belum

menikah karena sulitnya menemukan perempuan yang mau segera diajak menikah

dan analilis ini dilakukan figur Hayasaka dan Shinsuke dalam bentuk dialog dan

adegan drama serial.

Perbedaan antara penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah objek

yang diteliti. Jika penelitian sebelumnya seperti skripsi dari Ambarita

mendeskripsikan tentang koreika shakai yaitu meningkatnya jumlah manula dan

menurunnya usia muda, Haryanti membahas bahwa penyebab menurunnya tingkat

7
kelahiran di Jepang adalah semakin meningkatnya jumlah orang Jepang yang

menikah di usia lanjutdan meningkatnya jumlah orang Jepang yang tidak menikah,

dan Arianie hanya mendeskripsikan tentang bankonka hanya dalam serial drama

Kekkon Dekinai Otoko saja. Sedangkan penelitian penulis kali ini akan difokuskan

tentang bagaimana awal mula, penyebab, masalah serta dampak bankonka atau

wanita yang memilih untuk menunda pernikahannya di kehidupan masyarakat Jepang

di masa kini.

2. Kerangka Teori

Kerangka teori menurut Koentjaraningrat (2002:1) berfungsi sebagai

pendorong proses berfikir deduktif yang bergerak dari bentuk abstrak ke dalam

bentuk yang nyata. Dalam penelitian suatu kebudayaan masyarakat diperlukan satu

atau lebih teori pendekatan yang sesuai dengan objek dan tujuan dari penelitian ini.

Dalam hal ini, penulis menggunakan teori pendekatan kebudayaan dan juga teori

pendekatan sosiologi untuk meneliti tentang bankonka Jepang

Kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya

manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik manusia dengan

belajar (Koentjaraningrat, 2002: 180).Salah satu unsur kebudayaan adalah sistem

religi yang di dalamnya terkandung agama dan kepercayaan.Penulis menggunakan

teori ini secara selektif dalam melihat sebagaimana dalam tindakan wujud dan unsur

kebudayaan.

8
Penulis juga menggunakan pendekatan penelitian sosiologis, karena dalam

pendekatan ini mencakup golongan sosial yang berperan, jenis hubungan sosial,

konflik berdasarkan kepentingan, pelapisan sosial, peranan dan status sosial dan

sebagainya (Weber dalam Abdurrahman, 1999:11).

Menurut Weber dalam Abdurrahman (1999:11) tujuan penelitian ini adalah

memahami arti subjektif dan perilaku sosial, bukan semata-mata menyelidiki arti

objektifnya.Penulis menggunakan pendekatan ini adalah untuk mengetahui latar

belakang, kehidupan serta dampak dari permasalahan utama bankonka di Jepang.

1.5 Tujuan Dan Manfaat Penelitian

Sesuai dengan pokok permasalahan sebagaimana yang telah dikemukakan

sebelumnya, maka tujuan penelitian ini, sebagai berikut :

1. Tujuan Penelitian

Berdasarkan pembahasan di atas, maka tujuan dari penelitian ini adalah

untuk:

1. Untuk mendeskripsikan faktor penyebab terjadinya bankonka di Jepang

2. Untuk mendeskripsikan dampakbankonkadi masyarakat Jepang.

9
2. Manfaat Penelitian

Berdasarkan tujuan penelitian, hasilnya diharapkan memberi manfaat bagi

pihak-pihak tertentu, antara lain :

1. Bagi peneliti sendiri diharapkan dapat menambah wawasan dan

pengetahuan tentang bankonka di Jepang.

2. Bagi para pembaca, khususnya para pembelajar bahasa Jepang

diharapkandapat menambah informasi tentang permasalahan wanita-wanita

jepang yang menunda pernikahannya.dan tambahan informasi bagi peneliti

selanjutnya yang ingin meneliti bankonka di Jepang.

1.6 Metode Penulisan Penelitian

Dalammelakukan penelitian, sangat diperlukan metode-metode untuk

menunjangkeberhasilan tulisan yang akan disampaikan penulis kepada para pembaca.

Untukitu, dalam melakukan penelitian ini, penulis menggunakan metode

deskriptif.Menurut Koentjaraningrat (2002:30), penelitian yang bersifat deskriptif

yaitumemberikan gambaran yang secermat mungkin mengenai suatu

individu,keadaan, gejala, atau kelompok tertentu.

Oleh karena itu, data-data yangdiperoleh dikumpulkan, disusun,

diklasifikasikan, sekaligus dikaji dan kemudiandiinterpretasikan dengan tetap

mengacu pada sumber data dan informasi yang ada.

10
Selain itu untuk pengumpulan data penulisan menggunakan metode penelitian

kepustakaan (Library research).Menurut Nasution (1996 : 14), metode kepustakaan

atau Library Research adalah mengumpulkan data dan membaca referensi yang

berkaitan dengan topik permasalahan yang dipilih penulis.

Kemudian merangkainya menjadi suatu informasi yang mendukung penulisan

skripsi ini.Studi kepustakaan merupakan aktivitas yang sangat penting dalam kegiatan

penelitian yang dilakukan. Beberapa aspek yang perlu dicari dan diteliti meliputi :

masalah, teori, konsep, kesimpulan serta saran.

Data dihimpun dari berbagai literatur buku yang berhubungan dengan masalah

penelitian.Survey book dilakukan diberbagai perpustakaan. Data juga didapat melalui

Internet yang berhubungan mengenai fenomena-fenomena kependudukan di Jepang,

kebudayaan yang berpengaruh pada kehidupan sehari-hari, serta semua yang

berkaitan dengan pola hidup yang ada di Jepang.

Selanjutnya, penulis juga memanfaatkan berbagai fasilitas yang tersedia di

Perpustakaan Umum Universitas Sumatera Utara, Perpustakaan Program Studi

Bahasa dan Sastra Jepang Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara. Selain itu

penulis juga memanfaatkan berbagai informasi dari situs-situs internet yang

membahas tentang masalah Bankonka di Jepang untuk melengkapi data-data dalam

penelitian ini.

Langkah-langkah yang dilakukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

1. Pengumpulan data-data dari referensi yang berkaitan dengan judul penelitian.


11
2. Membaca buku, majalah, jurnal yang berkaitan dengan judul penelitian.

3. Mengumpulkan data-data dari website dengan judul penelitian.

4. Menganalisis data yang telah dibaca dan dikumpulkan.

5. Mengambil kesimpulan dan analisis yang telah dilakukan.

12
BAB II

PENGERTIAN DAN MASALAH-MASALAH BANKONKA DI JEPANG

2.1 Pengertian Bankonka

Bankonka ( 晩 婚 化 ) terdiri dari kanji Ban ( 晩 ) yang berarti malam atau

terlambat, kon (婚) yang berasal dari kata kekkon (結婚) yang berarti pernikahan, dan

ka (化) yang berarti perubahan.

Menurut kamus koujien (広辞苑) (1998:67), definisi dari bankon (晩婚) adalah :

年をとってからの結婚. 根気を過ぎてからの結婚.

Toshi o totte kara no kekkon. Konki o sugite kara no kekkon.

Pernikahan di usia lanjut. Pernikahan setelah melampaui usia layak untuk menikah.

Kemudian menurut Inoue dalam Josei Gaku Jiten (女性学事典 – encyclopedia of

women’s studies 2000:88), yang dimaksud bankonka adalah pernikahan pada usia

yang lebih tinggi daripada usia ideal untuk menikah cenderung semakin bertambah

(http://thesis.binus.ac.id/doc/Bab2Doc/2013-2-00701-JP%20Bab2001.doc).

Pendapat lain mengenai pengertian bankonka menurut Takeuchi 2011:1

(http://ejurnal.bunghatta.ac.id/index.php?journal=JFIB&page=article&op=viewFile&

path[]=4913&path[]=4166). Yang dimaksud dengan bankonka adalah usia rata-rata

pada pernikahan pertama, perempuan cenderung mengalami peningkatan. Dari


13
beberapa pengertian di atas, dapat diketahui bahwa bankonka merujuk pada

pernikahan yang telah melewati waktu yang tepat untuk menikah dan waktu yang

tepat untuk menikah tersebut mengalami perubahan setiap tahunnya.Selain itu

penundaan tidak hanya terjadi pada wanita tetapi juga pada pria.

Masyarakat Jepang umumnya memegang teguh apa yang disebut sebagai usia

layak menikah atau kekkon no tekireiki ( 結 婚 の 適 齢 期 ). Wanita di Jepang

diharapkan untuk menikah pada usia yang tepat. Usia ini berkisar antara 24-25 tahun

untuk wanita. Wanita yang sudah melebihi batas usia ini tetapi belum menikah akan

mendapatkan tekanan dari masyarakat untuk segera menikah. Sehubungan dengan hal

ini Applbaum (http://thesis.binus.ac.id/doc/Bab2Doc/2013-2-00701-

JP%20Bab2001.doc) menyatakan:

Untuk dianggap sebagai seseorang yang dewasa di Jepang, orang harus

menikah.Bagi wanita yang menikah dan mengurus anak merupakan misi eksklusif

dalam hidup. Wanita yang belum menikah hingga melewati usia yang pantas untuk

menikah akan diperlakukan dengan tidak baik. Wanita yang belum menikah, mereka

tidak akan dianggap sebagai anggota penuh dalam masyarakat.

Akan tetapi kenyataannya semenjak adanya perbaikan undang-undang Jepang

tahun 1946, tekanan masyarakat kepada wanita untuk menikah pada usia tertentu

telah melemah dan kesadaran untuk menikah pada usia layak di Jepang semakin

rendah.

Semenjak adanya perbaikan undang-undang Jepang tahun 1946, akhir-akhir

ini tekanan masyarakat kepada wanita untuk menikah pada usia tertentu telah

14
melemah dan kesadaran untuk menikah pada usia layak di Jepang semakin rendah.

Setiap tahunnya usia rata-rata pada pernikahan pertama pria dan wanita di Jepang

semakin meningkat.

Secara keseluruhan bankonka adalah suatu budaya atau perubahan dimana

seseorang menikah pada saat usianya sudah melampaui usia layak menikah dalam

(http://thesis.binus.ac.id/doc/Bab2Doc/2013-2-00701-JP%20Bab2001.doc).

Istilah ini muncul di tahun 1970-anMenurut Teruo Ohashi, bankonka, kekkon

moratoriumuka (penundaan pernikahan)Menurut kementerian keuangan dlm Japanese

Women data bank, usia rata-rata menikah sblm PDII 23 thn, pasca PDII naik turun,

tahun 1960 stabil 25 thn, 1970-an naik terus, di 2000 menjadi 27, di 2008

30 dan seterusnyaa.

Tabel permasalahan pernikahan tahun 1952-2003 yang terjadi di Jepang.

Sumber : http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/20352071-MK-Alviany%20Muntaz.pdf

15
Budaya menunda pernikahan (bankonka) merupakan fenomena yang saat ini

sedang terjadi di Jepang. Jepang adalah negara dengan tingkat orang yang terlambat

menikah nomor satu di dunia (Ogura, 2010: 16)

(https://www.google.com/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=1&ved=0ah

UKEwiGhrPCvfXbAhWLbisKHaceAuEQFggsMAA&url=http%3A%2F%2Ffitriana

pd.lecture.ub.ac.id%2Ffiles%2F2013%2F11%2FBANKONKA.pptx&usg=AOvVaw

29UKjwoAup2s68Chv5oxbj).

2.2 Dampak negatif Bankonka di Jepang

Semenjak adanya perbaikan undang-undang Jepang tahun 1946, akhir-akhir

ini tekanan masyarakat kepada wanita untuk menikah pada usia tertentu telah

melemah dan kesadaran untuk menikah pada usia layak di Jepang semakin rendah.

Setiap tahunnya usia rata-rata pada pernikahan pertama pria dan wanita di Jepang

semakin meningkat. Seperti yang ditunjukkan pada gambar 1 berikut:

16
Gambar 2.1.1 Usia Rata-Rata Pernikahan Pertama (1960-2011)

Sumber: Ministry of Health, Labour, and Welfare (2011)

Dari gambar di atas terlihat bahwa usia rata-rata pernikahan pertama pria dan

wanita pada periode tahun 1960-1975 masih stabil, pria menikah pada usia kurang

lebih 27 tahun dan wanita pada usia kurang lebih 24 tahun. Hal ini dikarenakan di

periode ini sebagian besar wanita sudah menikah diusia 25 tahun. Di Jepang wanita

yang belum menikah pada usia layak menikah maka akan mendapatkan tekanan

sosial, baik dari orang tua maupun masyarakat sekitar.

Wanita akan dibandingkan dengan kue natal, yaitu kue yang hanya akan

dimakan pada tanggal 25 atau kue yang tidak laku dijual setelah tanggal 25. Ini

menimbulkan persepsi pada masyarakat Jepang bahwa wanita yang sudah melewati
17
usia 25 tahun akan mendapatkan kesulitan untuk mencari pasangan dalam Tokuhiro,

2010:8.

Akan tetapi usia rata-rata pernikahan pertama meningkat dengan cepat setelah

tahun 1975. Dan angka ini terus-menerus meningkat hingga tahun 2011 usia rata-rata

pernikahan pertama mencapai usia 30,7 tahun untuk pria dan 29 tahun untuk wanita.

Dari gambar di atas terlihat bahwa usia rata-rata pada pernikahan pertama di Jepang

tiap tahunnya semakin meningkat. Sehingga dapat disimpulkan bahwa terjadi

fenomena penundaan pernikahan di Jepang.

Dengan berjalannya waktu dampak-dampak yang ditimbulkan dari bankonka

di negara Jepang semakin lama semakin banyak. Berikut adalah beberapa dampak-

dampaknya yaitu,

1. Perubahan pandangan orang Jepang mengenai pernikahan. Pernikahan pada

masyarakat Jepang masa kini dianggap sebagai kerugian karena mereka harus

menanggung kehidupan keluarga, mengurus suami, mengurus rumah tangga

dan anak, dan tidak bisa menggunakan penuh uang hasil dari jerih payahnya

untuk memuaskan diri sendiri.

2. Menunda usia pernikahan pada wanita akan membuat penambahan umur yang

mengakibatkan produktivitas untuk menghasilkan keturunan berkurang.

Wanita yang hamil pada usia tua akan memiliki resiko yang cukup besar

daripada wanita yang hamil pada usia produktiv. Hamil di atas usia normal

tentu saja berbeda dengan hamil saat usia masih muda. Tingkat kesuburan ibu

18
akan menurun seiring bertambahnya usia. Jumlah dan kualitas sel telur yang

diproduksi menurun, perubahan hormon juga dapat memengaruhi ovulasi.

Itulah sebabnya, hamil di usia yang tidak lagi muda menjadi penuh resiko.

Beberapa resiko yang dapat dialami wanita hamil yang usianya lebih dari usia

normal adalah penyakit diabetes gestasional, penyakit hipertensi gestasional,

kelahiran prematur, bayi lahir caesar, ketidaknormalan kromosom, bayi yang

lahir dalam keadaan tidak sempurna, keguguran atau kematian saat lahir.

3. Semakin banyaknya wanita yang memilih menyalurkan energy dan waktunya

untuk hobi-hobi mereka. Dengan meningkatnya bankonka, baik pria maupun

wanita mencoba mengalihkan perhatian mereka kepada hal lain selain

pernikahan. Dari survey yang dilakukan pada pria dan wanita yang belum

menikah pada usia 18-34 tahun, pria menghabiskan waktu luangnya untuk

bekerja dan melakukan hobi (58,4 %) sedangkan wanita lebih tertarik untuk

melakukan perjalana (traveling) dan menghabiskan waktu bersama teman (66

%). (Takahashi, 1998:25). Dengan menghabiskan waktu untuk melakukan

hobi atau menghabiskan waktu bersama teman, mereka tidak akan terlalu

memikirkan pernikahan karena memiliki kegiatan yang dilakukan. Hal ini

menunjukkan bahwa pola hidup wanita masa kini berbeda dengan pola hidup

orang tua mereka yang hanya menghabiskan waktunya untuk mengurus

keluarga.

4. Pasangan telat menikah ketika memiliki seorang anak yang kemudian terus

beranjak remaja, ibu atau ayahnya akan sudah berada dimasa menjadi

19
pensiun. Sehingga finansial keluarga tidak dapat dipenuhi dengan baik.

Karena kebutuhan anak akan memakan biaya yang sangat banyak mulai dari

biaya kehidupan sehari-harinya, masuk sekolah menengah atas hingga kuliah

sampai lulus di universitas. Bahkan jika pasangan yang telat menikah tersebut

memiliki anak lebih dari satu atau memiliki banyak anak.

5. Banyaknya fenomena pasangan yang tinggal bersama tanpa status atau tidak

berstatus menikah.Tindakan tersebut lebih mirip dengan perjanjian dibawah

tangan, jadi tanpa adanya kontrak secara tertulis dan mengenai pasal atau

dasar hukumnya yang mengatur hal tersebut maka diketahui. Sehingga

mereka yang melakukan hal tersebut akan mengalami tekanan psikologis

akibat pandangan orang-orang sekitar mereka.

6. Terjadinya shoushika shakai dan menyebabkan timbulnya koreika shakai.

Shoushika shakai yaitu keadaan terus menurunnya jumlah kelahiran sehingga

menimbulkan hilangnya populasi dari generasi muda yang akan melanjutkan

kehidupan dari generasi yang terlebih dahulu sedangkan koreika shakai yaitu

bertambahnya jumlah penduduk lanjut usia serta menurunnya angka kelahiran

sehinga berkurangnya prosentase penduduk produktif. Grafik kelahiran anak

di Jepang terus menurun.Kementerian kesehatan Jepang mencatat, angka

kelahiran di Jepang di 2017 merupakan yang terendah dalam satu abad

terakhir.Dilansir dari Japan Today, Minggu (24/12/2017), ada 941.000 bayi

yang lahir sepanjang 2017.Angka ini 4% lebih rendah dibanding tahun 2016

lalu. Angka kelahiran di 2017 merupakan yang terendah sejak Kemenkes

20
Jepang mulai mengumpulkan data kelahiran tahun 1899 silam. Saat kelahiran

tak menyentuh angka 1 juta, jumlah kematian justru diperkirakan mencapai

1,34 juta hingga akhir tahun nanti. Angka ini tertinggi sejak Perang Dunia II

usai. Angka-angka tersebut tak termasuk warga asing yang tinggal di Jepang

yang jumlahnya mencapai sekitar 1% dari keseluruhan populasi.Jika tanpa

orang asing, penduduk Jepang disebutkan sekitar 125 juta jiwa. Pemerintah

Jepang setiap tahunnya terus mendorong agar satu keluarga memiliki lebih

banyak anak.Tapi yang terjadi justru populasi yang terus menyusut dan

menua. Orang berusia 65 atau lebih menyumbang 27,2 persen dari total

populasi, rasio tertinggi dalam catatan. Menurut data yang dikeluarkan pada

Juli lalu, mereka yang berusia 14 atau lebih muda jatuh ke rekor terendah

yakni 12,7 persen.

7. Wanita Jepang menjadi mandiri karena tidak tergantung pada penghasilan

suaminya.Wanita karier yang punya penghasilan cukup umumnya menikah

bukan demi status sosial atau jaminan finansial. Inilah yang menyebabkan

kaum wanita tidak khawatir dengan perceraian bahkan tidak khawatir jika

mereka sama sekali tidak menikah karena mereka merasa bisa hidup mandiri

tanpa tergantung kepada suami. Mereka menjadi istri yang terlalu mandiri,

merasa tidak tergantung dengan adanya suami.Mereka merasa bebas

menentukan langkah hidupnya sendiri tanpa harus mendialogkan dengan

suami. Wanita yang telat menikah maupun yang tidak menikah akan menjadi

parasit dalam keluarganya (parasite single). Parasite single adalah lelaki dan

21
perempuan belum menikah yang tetap tinggal dengan orang tuanya walaupun

mereka telah dewasa sehingga mereka dapat menikmati kehidupan bebas dan

mewah (Hiroyuki Takahashi and Jeanette Voss, “Parasite Singles;A Uniquely

Japanese Phenomenon?,” Japan Economic Institute (JEI) Report No. 31,

August 11, 2000 dalam Rohayati Paidi, tnp th: 2). Fenomena Parasite

single yang terjadi di Jepang merupakan akibat dari perubahan sosial-budaya

dan keadaan ekonomi masyarakat Jepang yang kemudian telah membawa

berbagai dampak terhadap kehidupan masyarakat Jepang. Hal ini juga

disebabkan para pelaku parasite single adalah generasi muda yang merupakan

pemegang tongkat estafet kelangsungan hidup bangsa Jepang.Selain berbagai

dampak yang ditimbulkan, hal ini juga telah memunculkan berbagai

pandangan dari masyarakat Jepang sendiri. Di pihak lain mereka memiliki

banyak sisa dari gaji mereka yang bisa mereka pergunakan untuk keperluan

mereka sendiri. Parasite singles yang semua kebutuhan primer, sandang dan

papan sudah dipenuhi oleh orang tua mereka menghabisakan uang yang

mereka peroleh dengan memenuhi kebutuhan sekunder dan tersier mereka.

Kebutuhan seperti fashion dan hobi mereka.Seperti contoh yang diberikan

oleh Masahiro Yamada, seorang wanita lajang menghabiskan sisa

penghasilannya dengan pergi ke salon dan berbelanja barang-barang

bermerek.Sementara itu, semua kebutuhannya telah dipenuhi oleh orang

tuanya.Dalam keluarga ini khususnya adalah faktor orang tua. Orang tua

memainkan peran untuk para golongan parasite singles terus menumpang dan

22
tidak berdikari. Kebanyakan orang tua menyokong dan membiarkan anak-

anak mereka tinggal bersama meskipun sudah dewasa dan bekerja. Alasan

para orang tua ini tidak lain mengenai keuangan. Hidup di Jepang apalagi

Tokyo tentu biaya sangat mahal ditambah pula kos di Jepang tidak

mengizinkan penduduknya tinggal mewah tanpa perencanaan pembelanjaan.

Setidaknya hal inilah yang menyebabkan para kaum muda tidak tinggal

sendirian tapi dengan orang tua.

8. Akan menyebabkan penundaan untuk memiliki anak (bansanka).Seiring

dengan berjalannya waktu, anggapan konvensional tentang keharusan

memiliki anak mulai mendapat tantangan.Perlahan-lahan muncul individu-

individu dengan mengakui childfree alias memutuskan tidak mau mempunyai

anak. Di sisi lain, ada pula orang-orang yang sekalipun tidak menolak

memiliki anak, tapi dengan terus menunda rencana kehamilan dengan macam-

macam alasan. Seperti masih ingin mengejar hal lain, takut akan

kekurangannya biaya, belum memiliki cukup waktu. Perkara waktu bisa

dikaitkan dengan kesibukan seseorang di pekerjaannya atau pilihannya

dengan masih ingin meneruskan pendidikannya.Bahkan ada perusahaan atau

instansi yang mencantumkan syarat masuk untuk belum memiliki anak atau

belum menikah. Di masyarakat negara Jepang, sudah banyak anggapan bahwa

hidup berkeluarga akan menimbulkan konsekuensi besar dan berpengaruh

terhadap kehidupan karier seseorang, khususnya bagi perempuan. Tanggung

23
jawab mengurus anak dan persoalan domestik masih sangat dilekatkan dengan

peran mereka.

9. Menyebabkan kemunduran ekonomi Jepang dikemudian hari. Pengurangan

penduduk di negara Jepang ini membuat pemerintah mulai khawatir.

Karena hal ini mengancam pertumbuhan ekonomi karena para pekerja

kesulitan membayar biaya bagi kaum manula yang jumlahnya meningkat.

Tiga faktor menjadi penyebab situasi ini yaitu, angka pernikahan turun,

budaya korporasi yang cenderung menghukum kaum ibu, dan bahwa di

negara Jepang sangat anti-imigrasi. Hal ini menyebabkan pertambahan

penduduk di masa depan adalah lambat.

Kubu yang paling khawatir dengan fakta ini memperkirakan populasi Jepang

bisa berkurang sepertiga dalam lima dekade ke depan.

Pemerintah negara Jepang telah berupaya meningkatkan angka kelahiran

melalui sejumlah langkah reformasi, seperti lebih banyak opsi pengasuhan

anak bagi kaum ibu yang bekerja. Tujuannya adalah meningkatkan angka

kelahiran per seorang perempuan, tetapi Tokyo gagal mecapainya.

Imigrasi yang merupakan jalan keluar paling mudah, masih tetap bukan

prioritas politik di negara Jepang.

Kurang dari dua persen dari penduduk Jepang lahir di tempat lain, dan jajak

pendapat memperlihatkan tidak banyak dukungan untuk meningkatkan angka

imigrasi. Dengan iti pemerintah negara Jepang mendorong masuknya pekerja

asing dari negara lain seperti Hong Kong, Filipina, Korea, Thailand, Vietnam,

24
India dan masih banyak negara lain untuk mengatasi masalah kekurangan

pekerja. Perdana Menteri Shinzo Abe bersikap hati-hati dalam masalah ini

karena meski mengemukakan dukungan untuk memperluas program imigrasi,

dia tidak mendukung usul yang lebih ambisius di sektor ini.

Jika dia mendukung pandangan soal imigrasi yang lebih kuat, kemungkinan

besar Abe akan mendapat tentangan politik yang lebih kuat terutama di daerah

pedesaan.

Akan tetapi waktunya sudah tepat bagi Abe untuk mengatasi masalah ini.

Pusat Penelitian Ekonomi Jepang menulis bahwa negara itu sudah saatnya

bersikap jujur tentang imigrasi.

“Kita…dihadapkan dengan satu pilihan antara menjadi bekas ekonomi yang

kuat dengan mayoritas penduduk berusia tua, dan menjadi kekuatan ekonomi

aktif dimana orang jepang dan orang asing hidup dan bekerja sebagai mitra,”

ujarnya. Masuknya pekerja asing perlulah didorong terus untuk memajukan

ekonomi negara. Pekerja asing ini sangat memungkinkan lebih banyak sumber

alam dieksplorasi untuk meningkatkan pendapatan negara, khususnya di

negara Jepang.

10. Banyaknya imigran yang datang ke negara Jepang dari negara lain. Mulai dari

hanya tinggal sementara atau bahkan sudah menetap di Jepang.Sebelumnya,

di negara Jepang ternyata telah lama enggan menerima dengan terbuka

terhadap imigrasi. Banyak orang-orang Jepang membanggakan diri terhadap

homogenitas budaya dan etnis mereka sendiri, bahkan seiring dengan

25
bertambahnya usia para penduduknya dan angkatan kerjanya yang semakin

menurun. Akhirnya, negara Jepang secara terus menerus mengalami

penurunan populasi.Dalam menanggulangi masalah tersebut, pemerintah

Jepang baru-baru ini akhirnya membuka diri dalam mengundang ketertarikan

pelajar dan pekerja yang terampil dari luar negeri.Pendatang bisa sekolah dan

bekerja di Jepang. Hasilnya, ternyata jumlah penduduk asing yang terdaftar

meningkat menjadi 2.323.428 jiwa, naik 6,9 persen dari tahun sebelumnya.

Banyaknya jumlah tenaga kerja, pelajar dan keluarga asing yang menetap di

Jepang justru menyumbang jumlah pemuda di negara Sakura itu. Populasi

keseluruhan orang Jepang ditambah dengan penduduk asing, turun 0,1 persen

dari tahun lalu menjadi 127.907.086 jiwa. Pemerintah negara Jepang juga

gencar menerima pekerja asing untuk bekerja diberbagai sector swasta yang

tersedia. Tapi, pemerintah negara Jepang cenderung sangat berhati-hati dan

menerapkan aturan ketat terhadap pekerja asing professional, terutama

berkaitan dengan kemampuan individu itu sendiri dan kemampuan berbahasa

Jepang yang mesti dikuasai sampai dengan level tertentu.

(http://etydwiyantari.blogspot.com/2011/12/masalah-dalam-kehidupan-

jepang.html).

26
2.3 Kasus-kasus Bankonka di Jepang

Di bawah ini dijelaskan terdapat contoh kasus bankonka yang ada di Jepang.

Kasus bankonka di bawah ini merupakan kasus fakta yang terjadi.

Pada era Showa, seorang wanita muda diharapkan menikah antara usia 20-24

tahun. Apabila dalam usia 25 tahun mereka belum menikah akan dianggap aneh oleh

lingkungan sekitarnya dan akan diolok-olok sebagai urenokori (barang yang tidak

laku) atau too ga tatsu yang artinya buah yang hampir busuk (Iwao 1993:59).

Pada masa pemerintahan Shogun Tokugawa , wanita tidak dapat memiliki

properti, tidak diperbolehkan ikut serta dalam kegiatan bisnis, wanita hanya boleh

belajar tulisan hiragana serta tidak boleh membaca tentang politik dan kesusasteraan

yang besar, dalam tulisan kanji. Hal ini menyebabkan wanita Jepang menganggap

perkawinan sebagai satu-satunya pilihan dalam hidupnya dan juga sebagai sumber

ekonomi (http://thesis.binus.ac.id/Doc/Bab1/2006-2-00923-JP-bab%201.pdf).

Salah satunya kasus bankonka di Jepang pada tahun 2018. Di tahun 2018 ini,

seorang Putri Mako berencana akan melangsungkan acara pernikahan. Putri Mako

adalah anak tertua dari Pangeran Akishino dan Putri Akishino yang sekaligus cucu

dari Kaisar Akihito yang merupakan kaisar negara Jepang ke-125, yang naik takhta

sejak tahun 1989 dan diresmikan menjadi seorang kaisar di Jepang pada 12

November 1990 sampai sekarang, yang menggantikan ayahnya yaitu Kaisar Hirohito

yang telah meninggal dunia.

27
Pasangan Puri Mako dan Kei Komuro masih sama-sama berusia 26 tahun.Dua

sejoli ini bertemu enam tahun lalu dalam sebuah acara kampus yang diadakan di

sebuah restoran di Shibuya. Keduanya merupakan mahasiswa di International

Christian University di Tokyo.

Dan pasangan tersebut sudah melakukan upacara pertunangan tradisional

yang disebut nosai no gi pada tanggal 4 Maret lalu, pasangan ini akan melangsungkan

pernikahan mereka yang direncanakan pada 4 November mendatang. Kei Komuro

adalah seorang laki-laki yang merupakan teman sekampusnya. Calon suaminya

tersebut hanya bekerja di firma hukum dan bukan berasal dari keluarga keturunan

bangsawan melainkan berasal dari rakyat biasa.

. Namun sayangnya badan rumah tangga kekaisaran Jepang telah

mengumumkan bahwa pernikahan kekaisaran ini akan diundur hingga tahun 2020

karena kurangnya persiapan. Badan tersebut menyanggah adanya hubungan antara

penundaan tersebut dengan berita sebuah majalah mingguan mengenai sebuah

perselisihan keuangan (antara ibu Komuro dan mantan tunangannya)

Penundaan ini terjadi karena sang putri memikirkan tentang pernikahan lebih

dalam dan konkrit. Penundaan ini dianggap memberi lebih banyak waktu untuk

mempersiapkan pernikahan dan mempersiapkan bagaimana nanti kehidupan setelah

menikah karena sang putri dan calon pasangannya merasa masih belum cukup

dewasa, masih khawatir dengan kehidupan di dalam pernikahan dan sebenanrnya ini

adalah hal yang disesalkan. Dia menambahkan bahwa penundaan tersebut disebabkan

28
oleh “ketidakdewasaan” mereka dan mereka menyesali situasi yang telah mereka

sebabkan. Maksud keduanya untuk menikah tidak berubah sama sekali. Tapi

penundaan tersebut dikarena suatu alasan yang diungkapkan pun cukup unik.

Mako mengatakan saat ini kondisi kerajaan sedang disibukkan dengan banyak

hal. Sehingga, butuh lebih banyak waktu untuk merencanakan masa depan bersama

calon suaminya tersebut. Sang putri mengatakan bahwa dia ingin menunda

pernikahan dan acara terkait lainnya sampai tahun 2020

(https://www.japantimes.co.jp/)

29
BAB III

PROSES TERJADINYA BANKONKA DI JEPANG

3.1 Penyebab Terjadinya Bankonka Di Jepang

Ada berbagai macam yang menyebabkan bankonka terjadi di negara

Jepang.Salah satunya adalah perubahan landasan hukum negara Jepang sehingga

merubah sistem dan nilai pernikahan di negara Jepang. Setelah perang dunia ke II,

tepatnya pada tahun 1947 negara Jepang melakukan adanya perbaikan undang-

undang negara terutama mengenai sistem-sistem pernikahan dan pendidikan.Undang-

undang baru ini dibuat dengan berdasarkan pada awal pengenalan paham mengenai

demokasi dan penghormatan kepada manusia.

Sigelman (dalam Hazaririn, 1963) mendefinisikan pernikahan sebagai sebuah

hubungan antara dua orang yang berbeda jenis kelamin dan dikenal dengan suami dan

istri karena ikatan pernikahan. Dalam hubungan tersebut terdapat peran serta

tanggungjawab dari suami dan istri yang di dalamnya terdapat unsur keintiman,

pertemanan, persahabatan, kasih sayang, pemenuhan seksual, dan menjadi orangtua.

Hans Garth dan C. Wright Mills juga memberikan definisi perubahan sosial.

Mereka berdua mengatakan bahwa pengertian perubahan sosial adalah apapun yang

terjadi baik itu kemunculan, perkembangan, dan bahkan kemunduruan dalam kurun

waktu tertentu terhadap peran, lembaga, ataupun tatanan yang meliputi struktur sosial

30
(http://hariannetral.com/2015/09/pengertian-perubahan-sosial-dan-teori-perubahan-

sosial.html).

Tahun 1868 secara resmi dikenal sebagai tonggak dimulainya zaman Meiji,

yang merupakan awal keterbukaan negara Jepang setelah 260 tahun menutup diri dari

hubungan internasional. Di bawah berbagai kebijakannya, restorasi Meiji membawa

negara Jepang ke era modern dengan mengubah Jepang menjadi negara industri.

Perkembangan perindustrian yang pesat membawa kemajuan perekonomian

dan menjadi landasan bagi terbentuknya negara Jepang modern.Berkembangnya

masyarakat suatu negara menjadi masyarakat modern seringkali tidak hanya

membawa perkembangan positif, tetapi juga dapat membawa berbagai masalah-

masalah sosial yang disebabkan oleh perubahan-perubahan yang terjadi.Sama seperti

negara industri yang lainnya, negara Jepang mengalami pergeseran dalam nilai-nilai

pernikahan dan keluarga.

Seusai restorasi Meiji, mulai didirikan sekolah-sekolah baru yang mengikuti

gaya negara Barat. Disamping itu, diadakan pula perubahan dalam kebijakan

pendidikan sehingga tidak ada lagi pendidikan yang berdasarkan kelas sosial di

masyarakat. Berbagai paham yang dibawa oleh negara Barat di antaranya adalah

demokrasi, liberalisme, emansipasi, penghargaan terhadap ilmu pengetahuan,

kesetaraan pendidikan, serta gagasan peran ibu sebagai guru bagi anaknya.

Paham yang dibawa oleh negara Barat secara demokrasi adalah dimana semua

warga negaranya memiliki hak setara dalam pengambilan keputusan yang dapat

31
mengubah hidup mereka. Demokrasi mengizinkan warga negara berpartisipasi baik

secara langsung atau melalui perwakilan dalam perumusan, pengembangan, dan

pembuatan hukum. Demokrasi mencakup kondisi sosial, ekonomi, dan budaya yang

memungkinkan adanya praktik kebebasan politik secara bebas dan setara. Demokrasi

juga merupakan seperangkat gagasan dan prinsip tentang kebebasan beserta praktik

dan prosedurnya. Demokrasi mengandung makna penghargaan terhadap harkat dan

martabat manusia.

Selanjutnya secara liberalisme yang secara umum, liberalisme adalah sebuah

ideologi yang mengagungkan kebebasan. Liberalisme mencita-citakan suatu

masyarakat yang bebas, dicirikan oleh kebebasan berpikir bagi para individu. Paham

liberalisme menolak adanya pembatasan, khususnya dari pemerintah dan agama.

Dalam masyarakat modern, liberalisme akan dapat tumbuh dalam sistem demokrasi,

hal ini dikarenakan keduanya sama-sama didasarkan pada kebebasan mayoritas.

Banyak suatu negara yang tidak mematuhi peraturan tersebut

Secara emansipasi ialah istilah yang digunakan untuk menjelaskan sejumlah

usaha untuk mendapatkan hak politik maupun persamaan derajat warga negara

perseorangan dalam hubungannya dengan negara, kesamaan di depan hukum, tanpa

memandang gender, agama, harta benda, atau ciri orang perorang 'pribadi' lainnya.

Sering bagi kelompok yang tak diberi hak secara spesifik, atau secara lebih umum

dalam pembahasan masalah seperti itu.

32
Berbagai paham ini lambat laun kemudian dapat diterima oleh masyarakat

negara Jepang. Sebelumnya, hanya kaum pria saja yang berhak mengenyam

pendidikan. Setelah masuknya paham-paham tersebut akhirnya pemerintah Jepang

mengeluarkan kebijakan yang memberikan kesempatan besar bagi wanita untuk ikut

bersekolah dan juga mempelajari apa yang dipelajari laki-laki.

Pendidikan yang didapatkan oleh wanita perlahan-lahan mengubah cara

pandang wanita di negara Jepang terhadap pernikahan. Pernikahan bukan lagi suatu

keharusan. Wanita Jepang yang telah menyelesaikan studinya di universitas tentu saja

memilih untuk melanjutkan kegiatannya dengan berkarir.Wanita-wanita ini setelah

kehidupan karirnya memuaskan, tetap saja tidak langsung berpikir untuk mencari

pasangan hidup. Wanita masa kini lebih mementingkan karirnya daripada harus hidup

berumah tangga dan memiliki anak.

Sebuah situs bernama Bankonka no Kouzai, yang apabila diterjemahkan ke

dalam bahasa Indonesia adalah “Sisi Baik dan Buruk Fenomena Bankonka”,

menjelaskan berbagai pandangan masyarakat mengenai fenomena tersebut. Dalam

situs tersebut disebutkan bahwa penyebab fenomena bankonka dapat dikategorikan ke

dalam tiga penyebab utama yaitu perkembangan perempuan di masyarakat,

ketidakstabilan kondisi ekonomi baik bagi laki-laki maupun perempuan, serta

pemikiran bahwa dengan menikah berarti kebahagiaan juga menghilang

Situs tersebut mengulas tentang perkembangan perempuan di masyarakat

yang memiliki peran penting dalam fenomena ini. Semakin seorang perempuan

33
mengejar tingkat pendidikan dan karir, maka semakin lambat pula mereka akan

menikah. Waktu yang diperlukan untuk membangun karir dilakukan pada awal

hingga akhir umur 20-an. Perempuan yang sibuk membangun karir tidak akan

memiliki waktu yang cukup untuk mencari pasangan hidup. Sekalipun mereka pada

akhirnya menikah, akan berat bagi mereka meninggalkan karir yang selama ini telah

mereka bangun dengan susah payah dan menjadi ibu rumah tangga.

Ketidakstabilan kondisi ekonomi yang terjadi di Jepang beberapa tahun

belakangan ini juga menjadi salah satu penyebab fenomena bankonka. Dengan

banyaknya resesi yang terjadi di Jepang akhir-akhir ini membuat banyak anak muda

yang khawatir akan masa depan mereka. Tidak sedikit orang yang berpikiran kalau

menikah pada saat seperti ini di mana keadaan ekonomi tidak stabil adalah sebuah

resiko. Apabila suatu saat pekerjaan mereka hilang dan walaupun mereka bisa

membiayai biaya hidup mereka sendiri, belum tentu mereka bisa membiayai keluarga

mereka. Pemikiran-pemikiran seperti itu yang menyebabkan banyak orang yang tidak

mengambil resiko untuk menikah. Terlebih lagi apabila mereka memiliki anak.

Mereka memiliki kecenderungan untuk memilih jalan yang sudah pasti saja, dan hal

itu secara tidak langsung menjadi salah satu penyebab bankonka

(http://www.xn-- u9j424hfka43v89ppm9a.net/huantei/).

Pada situs Bankonka no Kouzai yang telah disebutkan di atas juga me-

nyebutkan bahwa pada era Showa, kebahagiaan seorang perempuan adalah dengan

menikah dan menjadi ibu rumah tangga. Lalu kalau begitu mengapa sekarang

semakin banyak perempuan yang bekerja? Ada kemungkinan bahwa sebenarnya pada
34
era tersebut pun ada perempuan-perempuan yang mempertanyakan kebenaran hal

tersebut. Tidak jarang kita mendengar seorang ibu yang berkata kepada anaknya

bahwa pada zaman ia masih muda ia tidak bisa bekerja. Bahkan ada pula ibu yang

menyuruh anaknya bekerja sesuai keinginannya karena dulu ia tidak bisa melakukan

itu. Jadi dapat disimpulkan bahwa dari zaman dahulu, ada banyak perempuan yang

sebenarnya ingin bekerja tetapi tidak bisa. Oleh karena itu, pada saat ini yang

perempuan bebas untuk menentukan karir serta jalan hidup mereka, pernikahan bukan

lagi menjadi sumber kebahagiaan utama bagi mereka. Memang dengan menikah

mereka bisa mendapatkan kebahagiaan, tetapi masih ada banyak bentuk kebahagiaan

lain selain pernikahan. Selain itu, jumlah perempuan yang berpendapat bahwa mereka

tidak ingin terikat juga semakin meningkat.

Perkembangan perempuan yang meneruskan studinya ke jenjang perguruan

tinggi terlihat mengalami kenaikan yang cukup signifikan. Data dari Kementrian

Pendidikan, Budaya, Olahraga, Sains dan Teknologi Jepang pada tahun 2013

menunjukkan bahwa pada tahun 1950, hanya 17,2% perempuan yang melanjutkan

studi mereka ke jenjang perguruan tinggi. Angka tersebut tidak selalu mengalami

kenaikan dan sempat mengalami penurunan walaupun tidak signifikan.

Pada tahun 1990, angka tersebut telah mengalami kenaikan lebih dari dua kali

lipat hingga 37,2%. Dalam kurun waktu 10 tahun, angka tersebut kembali meningkat

sebanyak 10% menjadi 47,6%. Sejak tahun 2006, perempuan yang melanjutkan studi

ke jenjang perguruan tinggi selalu berada di atas angka 50% dan baru mulai stabil di

35
angka 55% pada tahun 2009 hingga saat ini. Angka pertumbuhan tersebut dapat

dilihat dalam grafik berikut ini:

Sumber: Kementrian Pendidikan, Budaya, Olahraga, Sains dan Teknologi Jepang

pada tahun 2013.

Data tersebut membuktikan bahwa perkembangan perempuan di masyarakat,

khususnya dalam jenjang pendidikan memang terjadi. Namun berbeda dengan

pendidikan yang memang mengalami peningkatan dari 17,2% pada tahun 1950

menjadi 55,5% pada tahun 2013, pada jenjang karir, kenaikan dan penurunan terjadi

cukup sering dalam kurun waktu 60 tahun terakhir ini. Dari data yang juga didapat

dari Kementrian Pendidikan, Budaya, Olahraga, Sains dan Teknologi Jepang,

persentase perempuan yang melanjutkan ke jenjang karir setelah menyelesaikan

perguruan tinggi pada tahun 1950 adalah sebesar 45,2%. Angka yang cukup tinggi

mengingat hanya 17,2% perempuan yang melanjutkan studi ke perguruan tinggi pada

tahun itu. Persentase tertinggi terjadi pada tahun 1990 yaitu 81%.

36
Namun pada tahun-tahun setelahnya, persentase tersebut selalu mengalami

kenaikan dan penurunan. Angka pertumbuhan tersebut dapat dilihat secara lebih jelas

dalam grafik berikut.

Pada era Showa, peran seorang perempuan adalah mengurus pekerjaan rumah dan

dibiayai oleh suami mereka. Namun pada zaman sekarang, para perempuan itu sudah

mampu mendapatkan penghasilan sendiri tanpa bantuan seorang laki-laki untuk

menyokong biaya hidup mereka. Mereka dapat hidup bebas sesuai dengan keinginan

mereka. Memiliki hidup yang menyenangkan seperti itu tentunya akan membuat

perempuan berpikir ulang untuk memasuki jenjang pernikahan yang formal

(www.cao.go.jp).

Penelitian Menurut National Social Security National Social Security

Population Problem Research Institute pada tahun 2010 menyebarkan angket kepada

laki-laki dan perempuan lajang yang berumur antara 18 tahun hingga 34 tahun

mengenai alasan mereka belum menikah

37
(http://www.jili.or.jp/lifeplan/lifeevent/mariage/13.html). Hasil dari survei tersebut

mengungkapkan bahwa terdapat dua fakta berbeda yang mendasari fenomena ini

yaitu adanya perempuan yang tidak ingin menikah dan tidak bisa menikah. Banyak

wanita karir yang saat ini memilih untuk tidak menikah karena berbagai alasan,

seperti contohnya para perempuan yang sibuk mengejar karir atau orang-orang yang

khawatir akan ketidakstabilan ekonomi. Orang-orang tersebut termasuk ke dalam

kategori tidak ingin meni- kah. Orang-orang yang termasuk dalam kategori tidak bisa

menikah pada dasarnya memiliki keinginan untuk menikah, namun karena berbagai

alasan seperti belum menemukan pasangan yang ideal atau tidak mendapat

persetujuan dari orang tua membuat pernikahan menjadi hal yang sulit untuk

dilakukan. Berikut adalah grafik dari hasil angket tersebut.

Grafik Alasan Laki-laki dan Perempuan Lajang Umur 18-24 Tahun Belum Menikah

38
Hal-hal utama yang diubah dalam undang-undang baru adalah kebebasan

setiap anggota keluarga dari kekuasaan kepala keluarga, persamaan hak di dalam

berkeluarga antara suami dan istri, dan persamaan dalam hak kewajiban terhadap

semua generasi. Kehadiran undang-undang baru ini disambut oleh masyarakat

umumnya dengan sangat berantusias karena masyarakat di negara Jepang diharapkan

dapat membawa perubahan bagi kehidupan perempuan di masa yang akan datang.

Dalam undang-undang hak-hak manusia dijamin dan dianggap sebagai hak-

hak individu yang tidak dapat diganggu gugat.Dalam undang-undang 1946 sistem ie

dihapuskan dan sistem kerja berubah menjadi sistem kerja demokrasi pasal 24

mengenai persamaan kedudukan antara pria dan wanita dan menghormati individu
39
yang terdapat dalam kehidupan berkeluarga

(http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/20352073-MK-Rita%20Silvia.pdf).

Selain itu adanya faktor-faktor yang mempengaruhi terjadinya bankonka di

negara Jepang yaitu, wanita jepang menganut semboyan Sankou ( 三 高 ) yang

merupakan kriteria laki-laki ideal menurut wanita Jepang dalam memilih pasangan

hidup, sehingga mereka terlalu memilih dengan pasangan yang ideal. Bahkan mereka

tidak menginginkan berhubungan dengan seseorang tersebut jika tidak sesuai kriteria

yang ideal.

kriteria ideal menurut wanita di negara Jepang biasanya ada tiga yaitu, tinggi

pendapatan (kyuuryou ga takai / 給料が高い), tinggi pendidikan (gakureki ga takai /

学歴が高い), memiliki postur tubuh yang tinggi (sei ga takai / せいが高い) dalam

http://etydwiyantari.blogspot.com/2011/12/masalah-dalam-kehidupan-jepang.html

Penurunan minat untuk menikah dengan cara dijodohkan ini juga berpengaruh

terhadap semakin tingginya usia seseorang untuk menikah. Seperti yang dituturkan

oleh Fukutake (http://thesis.binus.ac.id/doc/WorkingPaper/2013-2-00701-

JP%20WorkingPaper001.pdf). Turunnya pernikahan berdasarkan perjodohan

berpengaruh besar terhadap semakin tingginya usia seseorang untuk menikah,

terutama karena penurunan perjodohan tidak dibarengi dengan munculnya pasar

pernikahan yang telah berkembang baik.

Maksudnya adalah meskipun sudah diberikan kebebasan untuk mencari

pasangan sendiri banyak masyarakat Jepang yang justru semakin kesulitan untuk
40
mencari pasangan dan mereka sendiri tidak memiliki waktu untuk mencari pasangan.

Sehingga banyak dari mereka yang belum menikah di saat usia mereka sudah

melewati usia layak menikah.

Wanita di negara Jepang lebih suka mempertahankan masa lajangnya, karena

mereka memiliki pemikiran apabila mereka lajang maka mereka memiliki suatu

kebebasan yang tidak terbatas.

Banyak wanita di negara Jepang yang lebih memilih menjadi wanita karir

daripada menikah yang kemudian menjadi ibu rumah tangga dan memiliki kewajiban

untuk mengurus anak, suami, dan mertuanya.Bagi wanita yang berorientasi pada karir

pernikahan dianggap penghalang untuk mencapai tujuan professional mereka, karena

apabila mereka menikah maka mereka harus mengorbankan keinginan pribadi mereka

untuk kepentingan keluarga.

Faktor kemandirian dalam keuangan yang menyebabkan wanita Jepang

terbiasa hidup sendiri sehingga semakin banyak wanita yang merasa jauh lebih baik

kehidupannya tanpa menikah, hal inilah yang semakin mempersulit dalam

menemukan pasangan hidup.

Adanya free seks atau seks bebas mendukung remaja di negara Jepang untuk

melakukan hubungan seks tanpa harus adanya status menikah, sehingga pernikahan

dianggap tidak lagi suci dan berarti bagi mereka, justru mereka berfikir dengan

menikah mereka akan menanggung beban dan tanggung jawab yang sangat besar di

masa yang akan datang.

41
Pembagian peran gender yang tidak seimbang atau yang disebut dengan

kesetaraan gender. Kesetaraan gender adalah kesamaan kondisi bagi laki-laki dan

perempuan dan tidak ada batas perbedaannya untuk memperoleh kesempatan serta

hak-haknya sebagai manusia, agar mampu berperan dan berpartisipasi dalam kegiatan

politik, hukum, ekonomi, sosial budaya, pendidikan dan pertahanan dan keamanan

nasional serta kesamaan dalam menikmati hasil pembangunan. Terwujudnya

kesetaraan gender ditandai dengan tidak adanya diskriminasi antara perempuan dan

laki-laki, dan dengan demikian mereka memiliki akses, kesempatan berpartisipasi,

kontrol atas pembangunan dan memperoleh manfaat yang setara dan adil dari

pembangunan.

3.2 Model Perubahan Terjadinya Bankonka di Jepang

Salah satu proses terjadinya bankonka yaitu karena mulai menghilangnya

sistem ie didalam keluarga di masyarakat Jepang. Ie adalah salah satu sistem keluarga

tradisional negara Jepang. Pernikahan di Jepang pada tahun 1946 terikat dalam sistem

ie, atau yang lebih dikenal dengan ie sheido yang berlaku pada masyarakat di negara

Jepang pada umumnya.

Pada era Meiji ie yang masuk ke dalam hukum perdata. Sistem tersebut secara

legal memberikan hak-hak yang berpusat pada kepala keluarga yang biasanya

merupakan anak laki-laki pertama yang lahir dalam keluarga tersebut. Namun sistem

itu dihapuskan pada tahun 1947 karena dianggap feudal dan

mendiskriminasikan perempuan.

42
(http://www.japantimes.co.jp/news/2009/11/03/news/marriage-ever-

changinginstitution/#.UsoivvQW2WE)

Pada era Showa (1926-1989) perempuan diharapkan untuk menikah antara

umur 20-24 tahun. Perempuan yang belum menikah pada umur 25 tahun biasanya

dicemooh oleh masyarakat sekitar dan mendapat julukan urenokori atau wanita yang

tidak laku. Pada zaman tersebut menikah adalah suatu keharusan (Iwao, 1993: 59).

Situasi tersebut sedikit berubah pada era pasca perang sekitar tahun 1946-

1955 setelah semakin banyak perempuan yang mulai menerima pendidikan di

perguruan tinggi serta bekerja setelah mereka menamatkan pendidikan mereka

(Iwao, 1993: 60). Baik dari segi pendidikan maupun ekonomi, perempuan Jepang

pada saat itu sudah mulai bisa mandiri sehingga keinginan mereka untuk menikah

pun semakin menurun karena menikah bukan lagi menjadi cara seorang perempuan

untuk mendapatkan status sosial serta kestabilan ekonomi. Pada tahun 1990 rata-rata

umur pertama kali menikah pada perempuan adalah 25,8 tahun dan 28,5 tahun untuk

laki-laki (Iwao, 1993: 60). Dari angka tersebut bisa dilihat bahwa fenomena

bankonka sudah mulai terjadi.

Memasuki era Heisei (1989-sekarang), rata-rata umur pertama kali menikah,

terutama pada perempuan, telah meningkat secara signifikan. Berdasarkan survei

yang dilakukan oleh Kementrian Kesehatan, Ketenagakerjaan, dan Kesejahteraan

pemerintah Jepang, rata-rata umur perempuan Jepang pertama kali menikah pada ta-

hun 2013 adalah 29.3 tahun. Angka tersebut meningkat sebanyak 0,1 tahun dari tahun

43
sebelumnya

(http://www.mhlw.go.jp/toukei/saikin/hw/jinkou/geppo/nengai11/kekka04.html).

Pada hasil survei tersebut, disebutkan pula bahwa dibandingkan dengan tahun

2012, orang yang menikah pada golongan umur 20-24 tahun menurun jumlahnya dan

orang yang menikah pada golongan umur 25-39 tahun meningkat jumlahnya. Selama

dua puluh tahun terakhir, kenaikan rata-rata umur perempuan pertama kali menikah

di Jepang terus meningkat dan tidak sekalipun mengalami penurunan. Fakta tersebut

membuktikan bahwa fenomena bankonka ini memang telah terus terjadi selama dua

puluh tahun belakang dan diperkirakan masih akan terus berkembang. Perubahan

angka tersebut dapat dilihat secara mendetail pada tabel berikut.

Tabel Perubahan Rata-rata Usia Perempuan Pertama Kali Menikah di Jepang

Survei berdasarkan Kementrian Kesehatan, Ketenagakerjaan, dan

Kesejahteraan pemerintah Jepang tahun 2013

44
Berdasarkan prefektur, prefektur yang memiliki rata-rata umur perempuan

pertama kali menikah yang paling rendah adalah Prefektur Fukushima yaitu 28,2 ta

hun. Sedangkan prefektur dengan rata-rata umur perempuan pertama kali menikah

yang paling tinggi adalah Tokyo yaitu 30,4 tahun. Data per prefektur ini menandakan

bahwa fenomena bankonka tidak hanya terjadi di kota-kota besar saja, tetapi juga

terjadi di seluruh daerah di Jepang. Data mengenai rata-rata umur pertama kali

menikah menurut prefektur tersebut dapat dilihat secara mendetail pada tabel 2.2 di

berikut ini.

Tabel 2.2 Rata-rata Umur Perempuan Pertama Kali Menikah di Jepang

Menurut Prefektur

45
Survei berdasarkan Kementrian Kesehatan, Ketenagakerjaan, dan

Kesejahteraan pemerintah Jepang tahun 2013 Disebutkan pula dalam situs

Kementrian Kesehatan, Ketenagakerjaan dan Kesejahteraan pemerintah Jepang

bahwa jumlah pasangan yang menikah pada tahun 2013 sejumlah 660.594 pasang.

Jumlah tersebut mengalami penurunan sebanyak 8275 pasang dari tahun

sebelumnya yaitu 668.869 pasang.

Proses terjadinya bankonka di negara Jepang adalah berubahnya pola

pemikiran masyarakat di negara Jepang tentang pernikahan. Yang membuka

wawasan pemikiran mereka untuk mementingkan kepuasan terhadap diri sendiri.

Pada awalnya pemerintah di negara Jepang tidak menyadari akibat dari penundaan

pernikahan yang terjadi. Bahkan pada saat itu tidak ada larangan dan tidak adanya

himbauan dari pemerintah terhadap penundaan pernikahan tersebut.

Bankonka mulai diberlakukan oleh masyarakat di negara Jepang adalah pada

masyarakat negara Jepang yang tinggal di daerah perkotaan, khususnya kota-kota

besar. Kemudian dengan berjalannya waktu, pemikiran orang-orang di daerah

perdesaan sedikit demi sedikit mulai terpengaruh untuk tidak menganut sistem ie lagi.

Tetapi sebagian masyarakat di negara Jepang yang masih menjunjung tinggi

nilai-nilai moral tradisional, khususnya di daerah perdesaan. Masyarakat di perdesaan

masih banyak yang ingin hidup membina rumah tangga seperti keluarga pada

umumnya. Karena mereka masih menganut tradisi-tradisi lama.

46
Sebagian masyarakat di negara Jepang masih berfikir dan percaya bahwa

kesadaran menikah tepat waktu atau sistem kekeluargaan terdahulu lebih baik

daripada sistem modernisasi yang terjadi pada saat ini. Bahkan mereka sama sekali

tidak menyetujui adanya kesetaraan gender yang terjadi. Karena itu menghilangkan

khas identitas pada wanita maupun pria (http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/20352073-

MK-Rita%Silvia.pdf).

Menurut Satoshi Sakata

(http://www.academia.edu/9503405/MeninjauSitemIedanFenomena-

FenomenaDalamKeluargadiJepangPascaPerangDuniaIIdanDampaknyaBagiMasaDep

anJepang), sistem ie adalah kerangka sosial yang dirancang untuk meneruskan

generasi ke generasi, di mana sebuah tempat tinggal keluarga, nama keluarga, dan

bisnis keluarga diwariskan dari ayah ke anak tertua yang dapat meluas untuk generasi

selanjutnya.

Salah satu hal yang menarik dari budaya Jepang adalah sistem

keluargatradisionalnya. Anak tertua (laki-laki) akan menjadi pemimpin. Pada era

Restorasi Meiji, pemerintah Meiji mengeluarkan hukum perdata yang dikenal dengan

Meiji Minpou atau Undang-undang Sipil Meiji, pada 1896.Sistem keluarga ini

merupakan ideologi politik di masa pemerintahan Meiji.

Di masa ini, keturunan adalah hal yang sangat dinanti, tujuannya untuk

meneruskan keluarga.Karena itulah pada masa ini pernikahan meningkat.Sistem ini

telah ada sejak zaman feodal, yaitu tepatnya di Zaman Edo (1600-1868). Menikah,

47
seperti di Zaman Edo, dinilai sebagai harapan terbesar kaum wanita. Sesuai dengan

era Meiji yang berorientasi kepada kemajuan bangsa Jepang, pernikahan dan

keturunan dianggap sebagai suatu keharusan untuk nama baik keluarga dan Jepang.

Tetapi, pasca Perang Dunia II, terutama dengan fenomena perkembangan

ekonomi yang meningkat drastis di Jepang, beberapa nilai-nilai dalam sistem ie ini

cenderung berubah. Perubahan tersebut bahkan mengarah kepada hal yang krusial,

terkait dengan masa depan bangsa Jepang itu sendiri.

Perubahan yang signifikan terjadi semenjak penghapusan Meiji Minpou secara

hukum pada 1947. Bahwa sistem ie di era Meiji semakin dikuatkan sejak

diberlakukannya Undang-Undang Sipil Meiji (Meiji Minpou). Sistem tersebut tidak

hanya mengikat kaum bangsawan, tetapi juga ke seluruh masyarakat hingga ke

wilayah pedesaan. Dalam sistem tersebut, sosok ayah, suami, dan anak laki-laki tertua

sangat dihormati.

Peran perempuan di dalam keluarga hanya sebagai seorang pengurus

rumah tangga saja. Bahkan pada zaman Meiji, pendidikan disusun berdasarkan pada

ajaran konfusius yaitu pendidikan yang diberikan bagi wanita adalah pendidikan yang

berhubungan dengan rumah tangga dan perawatan anak agar menjadi ibu dan istri

yang baik.

Dengan kata lain, tujuan pendidikan wanita sebenarnya pada waktu itu adalah

untuk membentuk wanita menjadi ryosai kenbo (ibu yang baik dan istri yang

bijaksana). Pendidikan tingkat dasar sampai dengan tingkat atas hanya dibatasi pada

48
pelajaran membaca, menulis, memasak dan menjahit.Hal ini menyebabkan

terbatasnya kesempatan pendidikan dalam bidang diluar urusan rumah tangga bagi

wanita.

Kedudukan seorang laki-laki (suami) lebih tinggi dibandingkan seorang

perempuan (istri).Di dalam kebiasaan masyarakat Jepang tradisional, perempuan

harus menghormati ayah, suami, dan anak laki-laki tertuanya. Secara garis keluarga,

seorang perempuan yang menikah akan terputus dengan sistem di keluarganya.

Setelah menikah ia akan terhubung dengan garis keluarga suaminya.

Pasca Perang Dunia II, yaitu pada tahun 1947, diberlakukan Undang-Undang

Showa (Shin Minpo) untuk menggantikan Undang-Undang Dasar Meiji yang berlaku

sebelumnya. Salah satu dampak dari pergantian undang-undang ini adalah

dihapuskannya sistem ie.

Perubahan struktur keluarga tersebut kemudian berimbas kepada perubahan

terhadap nilai-nilai, seperti nilai-nilai terhadap keluarga, pernikahan, anak, dan

perceraian.

Perubahan yang mendasar terhadap keluarga adalah, dari sistem yang bersifat

family oriented di struktur chokkei kazoku menjadi individualistic oriented.

Kepentingan individu lebih diutamakan dibanding kepentingan keluarga. Kepala

keluarga tidak lagi sebagai

pengatur dan paling berhak memutuskan suatu keputusan yang menyangkut anggota

keluarga yang lain.

49
Anak bukan lagi dianggap sebagai suatu keharusan, malah mulai dianggap

sebagai beban ekonomi.Dalam pernikahan sebelum terjadinya Perang Dunia II

dianggap sebagai kebahagiaan kaum perempuan, kini dianggap

sebagai belenggu kebebasan.

Banyak pemuda Jepang, baik laki-

laki maupun perempuan, menunda pernikahan atau bahkan memutuskan untuk tidak

menikah sama sekali. Pada masa tradisional, pernikahan diberlangsungkan atas dasar

perjodohan atau miai kekkon, sementara setelah begesernya nilai-nilai mengenai

pernikahan, di samping pernikahan yang terlambat atau tidak menikah sama sekali,

miai kekkon sudah jarang berlaku.

Kini pada umunya adalah renai kekkon atau pernikahan yang didasari atas

pilihan sendiri.Pada dasarnya, perubahan-perubahan nilai dalam keluarga yang

dikemukakan tersebut tidak terlepas dari transformasi negara Jepang menjadi dunia

modern yang menitik beratkan kepada kebijakan pembangunan ekonomi pasca

Perang Dunia ke II.

Urbanisasi juga menjadi faktor pembubaran keluarga dengan struktur

chokkeikazoku menjadi kaku kazoku atau bahkan tanshin setai. Peningkatan

urbanisasi terjadi pasca Perang Dunia II, khususnya antara tahun 1960 dan 1974,

hal ini karena banyaknya permintaan untuk tenaga kerja di daerah perkotaan.

Pada periode ini keluarga chokkei kazoku semakin menurundan menyebabkan

berubahnya arah sistem kekeluargaan menjadi lebih individualistik. Perubahan

50
chokkei kazoku menjadi kaku kazoku dan tanshin setai, chokkei kazoku misalnya

terdiri dari kakek-nenek, ayah-ibu, dan anak yang belum menikah, kemudian

memutuskan untuk tidak lagi tinggal bersama maka akan menghasilkan dua keluarga.

Dengan adanya penghapusan sistem ie pasca perang dunia ke II di Jepang

yang berpengaruh kepada perubahan nilai-nilai keluarga dari struktur keluarga

chokkei kazoku menjadikaku kazoku dan tanshin

setai(http://www.academia.edu/9503405/MeninjauSitemIedanFenomena-

FenomenaDalamKeluargadiJepangPascaPerangDuniaIIdanDampaknyaBagiMasaDep

anJepang).

Setelah beberapa tahun kemudian negara Jepang baru menyadari akan

perubahan dan banyaknya dampak negatif dari penundaan pernikahan tersebut untuk

negara Jepang sendiri, bagi masyarakat maupun pemerintahannya. Dahulu, biaya

acara pernikahan di negara Jepang sangat mahal.Tetapi sekarang pemerintah banyak

memberi keringanan bagi orang yang membuat pesta pernikahannya.

Sekarang pemerintah di Jepang banyak keikutsertaan dan menghimbau

masyarakatnya untuk tetap menikah tepat waktu dan mempunyai keturunan. Bahkan

pemerintah mau menanggulangi biaya kelahiran serta hidup anak yang dilahirkan,

jika keluarga merasa kurang mampu, pemerintah juga memberikan fasilitas lebih

terhadap wanita yang hamil dan yang sedang mempunyai anak

kecil(http://etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/87046/potongan/D3-2015-

3125294- introduction.pdf).

51
BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan

Melihat dari uraian dan penjelasan sebelumnya, maka dapat diambil

kesimpulan sebagai berikut :

Bankonka mulai berkembang sejak pasca Perang Dunia II di mana

perkembangan perempuan di masyarakat mulai muncul. Rata-rata usia perempuan di

Jepang pertama kali menikah terus meningkat sejak tahun 1990 dan terus mengalami

kenaikan hingga sekarang. Bankonka ini terjadi di seluruh penjuru Jepang yang

berarti menepis argumen bahwa ini hanya terjadi di kota besar.

Faktor penyebab terjadinya bankonka di Jepang adalah perubahan landasan

hukum negara Jepang sehingga merubah sistem dan nilai pernikahan di negara

Jepang. Setelah perang dunia ke II yaitu tahun 1947, negara Jepang melakukan

adanya perbaikan undang-undang negara terutama mengenai sistem-sistem

pernikahan dan pendidikan. Undang-undang baru ini dibuat dengan berdasarkan pada

awal pengenalan paham mengenai demokasi dan penghormatan kepada manusia.

Diadakan juga perubahan dalam kebijakan pendidikan yang tidak ada lagi

berdasarkan kelas sosial di masyarakat, yaitu diantaranya berbagai paham yang

dibawa oleh negara Barat adalah demokrasi, liberalisme, emansipasi, penghargaan

terhadap ilmu pengetahuan, kesetaraan pendidikan.

52
Model perubahan terjadinya bankonka di Jepang adalah sejak tahun 1946 saat

Amerika Serikat datang dan membuat perubahan yang cukup besar terutama dalam

mengubah pola pemikiran masyarakat Jepang menjadi modernisasi, yang salah

satunya adalah perubahan sistem keluarga tradisional negara Jepang atau yang

disebut dengan sistem ie.

Bankonka mulai diberlakukan oleh masyarakat di negara Jepang adalah pada

masyarakat negara Jepang yang tinggal di daerah perkotaan, khususnya kota-kota

besar.Kemudian dengan berjalannya waktu, pemikiran orang-orang di daerah

perdesaan sedikit demi sedikit mulai terpengaruh untuk tidak menganut sistem ie lagi.

4.2 Saran

Bagi para pembaca yang ingin meneliti mengenai budaya Jepang disarankan

agar memahami konsep budaya yang baik dan benar serta melakukan

peninjauan terhadap data-data yang akurat agar dapat menghasilkan penelitian

yang lebih baik.

53
DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman, Dudung. 1999. MetodePenelitianSejarah. Jakarta: PT Logos WacanaIlmu.

Ambarita, Ruth. 2015. FenomenaKoreikaShakai Di Jepang. Medan: Universitas Sumatera

Utara.

Applbaum, Kalman D (1995). Marriage With the Proper Stranger: Arranged Marriage in

Metropolitan Japan. Ethnology Arianie, ErvinaYuni. 2013. FenomenaBankonkaPada

MasyarakatJepang Yang TercerminDalam Drama Serial “KekoonDekinaiOtoko”

Karya Ozaki Mayasa.

Dayakisni Tri, Hudaniah. 2009. Psikologi Sosial. Jakarta: UMM Press.

Gentaro, Ozawa. 2004. Wadai no tatsujinkurabu. Tokyo: Kin SeishunShubbansha.

Haryanti, Pitri. 2012. PenyebabMenurunnya Tingkat Kelahiran di

JepangdanStrategi Penanggulangannya.UniversitasKomputer Indonesia

Inoue dalamJoseiGakuJiten (女性学事典 – encyclopedia of women’s studies) (2000:88)

Malang: UniversitasBrawijaya

Iwao, Sumiko. 1993. The Japanese Woman : Traditional Image and Changing Reality. New

York : The Free Press

Koentjaraningrat. 2002. IlmuSosial( AntropologidanKebudayaan). Jakarta: Rineka Cipta.

Nasution,S. 1996. MetodePenelitianNaturalistikKualitatif. Bandung: Tarsito..


Situmorang, Hamzon. 2013. MizokuGaku (Ethnologi) Jepang. Medan: Universitas Sumatera

Utara.

Sumber: Ministry of Health, Labour, and Welfare. 2011.

http://fitrianapd.lecture.ub.ac.id/files/2013/11/BANKONKA.pptx

http://etydwiyantari.blogspot.com/2011/12/masalah-dalam-kehidupan-jepang.html

https://www.japantimes.co.jp/

http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/20352073-MK-Rita%20Silvia.pdf

https://www.academia.edu/9503405/Meninjau_Sitem_Ie_dan_Fenomena-

Fenomena_Dalam_Keluarga_di_Jepang_Pasca_Perang_Dunia_II_dan_Dampaknya_Bagi_Masa

_Depan_Jepang

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/37191/3/Chapter%20II.pdf , ihttp://www.yomiur

i.co.jp/adv/chuo/dy/opinion/20130128.htm

http://ejurnal.bunghatta.ac.id/index.php?journal=JFIB&page=article&op=viewFile&path[]=4913

&path[]=4166

http://eprints.dinus.ac.id/8301/1/jurnal_14012.pdf

http://thesis.binus.ac.id/doc/Bab2Doc/2013-2-00701-JP%20Bab2001.doc

http://repository.unsada.ac.id/353/4/BAB%20II.pdf

http://library.binus.ac.id/eColls/eThesisdoc/Bab1/2006-2-00923-JP-bab%201.pdf

http://etd.repository.ugm.ac.id/downloadfile/87046/potongan/D3-2015-315294-introduction.pdf
https://student.unud.ac.id/hita/news/49653

http://eprints.dinus.ac.id/8301/1/jurnal_14012.pdf

http://www.academia.edu/9503405/Meninjau_Sitem_Ie_dan_Fenomena-

Fenomena_Dalam_Keluarga_di_Jepang_Pasca_Perang_Dunia_II_dan_Dampaknya_Bagi_Masa

_Depan_Jepang

http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/20352073-MK-Rita%20Silvia.pdf http://lib.ui.ac.id/file?

file=digital/20315450-S42365-Hubungan%20antara.pdf http://lib.ui.ac.id/file?

file=digital/20352071-MK-Alviany%20Muntaz.pdf

http://hariannetral.com/2015/09/pengertian-perubahan-sosial-dan-teori-perubahan-sosial.html

http://www.xn-- u9j424hfka43v89ppm9a.net/huantei/

http://www.jili.or.jp/lifeplan/lifeevent/mariage/13.html

http://www.japantimes.co.jp/news/2009/11/03/news/marriage-ever-

changinginstitution/#.UsoivvQW2WE

http://www.mhlw.go.jp/toukei/saikin/hw/jinkou/geppo/nengai11/kekka04.html

https://www.google.co.id/search?q=FENOMENA+BANKONKA+PADA+PEREMPUAN+DI+J

EPANG
ABSTRAK

Judul dari penelitian ini adalah Bankonka di Jepang. Penulis memilih

judul ini karena penulis tertarik untuk membahas tentang penundaan pernikahan

pada wanita di Jepang.

`Bankonka adalah suatu budaya atau perubahan dimana seseorang

menikah pada saat usianya sudah melampaui usia layak menikah atau merujuk

pada pernikahan yang telah melewati waktu yang tepat untuk menikah dan waktu

yang tepat untuk menikah tersebut mengalami perubahan setiap tahunnya.

Bankonka pertama kali masuk ke Negara Jepang setelah perang dunia ke

II, negara Jepang melakukan adanya perbaikan undang-undang negara terutama

mengenai sistem-sistem pernikahan dan pendidikan. Undang-undang baru ini

dibuat dengan berdasarkan pada awal pengenalan paham mengenai demokrasi dan

penghormatan kepada manusia.

Perubahan sistem keluarga tradisional negara Jepang atau yang disebut

dengan sistem ie mulai tidak diberlakukan lagi oleh masyarakat di negara Jepang

pada saat Amerika Serikat datang dan membuat perubahan yang cukup besar

terutama dalam mengubah pola pemikiran masyarakat Jepang menjadi

modernisasi, terutama pada masyarakat negara Jepang yang tinggal di daerah

perkotaan, khususnya kota-kota besar. Kemudian dengan berjalannya waktu,

pemikiran orang-orang di daerah perdesaan sedikit demi sedikit mulai terpengaruh

untuk tidak menganut sistem ie lagi.

Universitas Sumatera
Utara
Tetapi masyarakat di negara Jepang yang masih menjunjung tinggi nilai-

nilai moral tradisional, khususnya di daerah perdesaan. Masyarakat di perdesaan

masih ada yang menggunakan juga sistem ie. Karena mereka masih menganut

tradisi-tradisi lama.

Sejak jaman Tahun 1868 secara resmi dikenal sebagai tonggak dimulainya

zaman Meiji, yang merupakan awal keterbukaan Jepang setelah 260 tahun

menutup diri dari hubungan internasional. Di bawah berbagai kebijakannya,

restorasi Meiji membawa Jepang ke era modern dengan mengubah Jepang

menjadi negara industri.

Pada jaman dahulu wanita di Jepang mengutamakan pernikahan di usia

muda, tujuannya untuk meneruskan keluarga. Karena itulah pada masa ini

pernikahan meningkat.

Menikah di Zaman Edo, dinilai sebagai harapan terbesar kaum wanita.

Sesuai dengan era Meiji yang berorientasi kepada kemajuan bangsa Jepang,

pernikahan dan keturunan sangat diharapkan dan dianggap sebagai suatu

keharusan untuk nama baik keluarga dan Jepang. Bahkan di setiap sekolah

pendidikan wanita hanya sebatas pelajaran untuk mengurus rumah tangga yang

baik.

Namun sekarang pernikahan dan mempunyai keturunan bukan lagi

dianggap sebagai suatu keharusan, malah mulai dianggap sebagai beban ekonomi.

Dalam pernikahan sebelum terjadinya Perang Dunia II dianggap sebagai

kebahagiaan bagi kaum perempuan di Jepang, kini dianggap

sebagai belenggu kebebasan.

Anda mungkin juga menyukai