Anda di halaman 1dari 10

Kebudayaan Jepang

1. Geisha: Seniman-Penghibur Tradisional Jepang

Ilustrasi Geisha
Geisha adalah salah satu dari sekian banyaknya budaya Jepang yang cukup terkenal. Terkadang, bagi
sebagian orang yang masih awam terhadap Geisha, akan menganggap Geisha sebagai sosok “makhluk
misterius” dan menjadi salah satu budaya, sekaligus profesi tradisional Jepang yang kerap disalahartikan.

Dalam bahasa Jepang sendiri, Geisha bermakna “orang seni” atau orang yang memiliki keterampilan
dalam seni tradisional Jepang, seperti menari, menyanyi, musik, ataupun upacara minum teh. Dengan kata
lain, Geisha adalah aktivis seni penghibur tradisional di negara Jepang.

Memang, awalnya pria lah yang memerankan Geisha ini, tetapi beberapa pria yang menekuni budaya
tradisional ini cenderung menurun, hingga akhirnya para wanita yang segera menggantikan peran mereka.

Geisha sudah ada sejak abad 18-an dan 19-an, serta masih sangat terkenal sampai saat ini. Sayangnya, di
zaman sekarang, kebudayaan Jepang yang satu ini cenderung menurun meskipun masih ada beberapa di
antara orang Jepang yang tetap mempertahankan Geisha.

Adapun sebutan lain untuk Geisha, yakni Maiko dan Geiko. Istilah tersebut mulai ada dan diterapkan di
zaman Restorasi Meiji. Istilah Maiko hanya diterapkan di tempat Kyoto, sementara istilah Geiko hanyalah
sebutan lain saja. Hal itu karena Maiko lah yang menjadi sebutan untuk Geisha pemula.
Lazimnya, budaya tradisional Jepang ini (geisha) memang sudah diajarkan dan dilatih sejak usia muda.
Tak hanya itu, rumah geisha juga rata-rata akan membawa gadis dari keluarga tidak mampu atau miskin
untuk menetap dan berlatih di sana. Rumah-rumah Geisha itu disebut Okiya.

Awalnya, Geisha pemula atau Maiko bekerja sebagai pembantu, lalu sebagai pembantu senior Geisha,
pemilik rumah sebagai anggota dari latihan mereka serta penolong biaya pendidikan dan pemeliharaan
mereka pula. Bahkan, hingga saat ini pun budaya pelatihan Geisha masih dijumpai di Jepang.

Namun, Geisha modern sudah tak lagi diangkat dan dididik oleh rumah Geisha (Okiya). Hal itu karena
Geisha sudah bersifat sukarela.

Sampai saat ini, Geisha masih menjadi daya tarik yang cukup besar dari negara Jepang sendiri, bahkan dari
para wisatawan asing. Akan tetapi, bagi para wisatawan yang ingin melihat budaya Jepang yang satu ini,
perlu mengetahui beberapa lokasi spesial, tepatnya di Kyoto, agar dapat menemukan seorang Geisha.

Uchi & Soto: Budaya Jepang dari Keluarga ke Korporasi

Cukup banyak orang mengagumi kebudayaan Jepang dan ingin mempelajarinya. Namun karena budaya
dan Bahasa Jepang terlihat jauh dari budaya kita, rasanya jadi rumit dan sulit. Dengan bantuan buku ini,
kerumitan itu akan terurai. Semua aspek dibahas dengan pendekatan secara langsung oleh orang Indonesia
yang pernah tinggal dan menimba ilmu di Jepang yang mana hingga kini berkerja sama dan berinteraksi
dengan bangsa Jepang.

2. Matsuri: Festival

Ilustrasi Matsuri (sumber: tokyocheapo)


Matsuri adalah semacam festival budaya di Jepang yang diselenggarakannya saat summer atau musim
panas. Matsuri ini berhubungan dengan festival dari kuil, yakni kuil Buddha dan kuil Shinto. Sebenarnya,
Matsuri sendiri adalah acara untuk berdoa dan bersembahyang. Hanya saja itu tak memfokuskan pada para
wisatawan yang datang. Hal itu karena banyak pula pengunjung atau wisatawan yang datang sekadar untuk
melihat festival budaya Matsuri ini.

Matsuri sendiri berasal dari kata matsuru yang artinya menyembah atau memuja. Matsuri berarti
penyembahan atau pemujaan pada Kami. Dalam ajaran agama Shinto, terdapat empat unsur dalam matsuri,
yaitu harai atau penyucian, persembahan, norito atau pembacaan do’a, dan pesta makan.

Sementara apabila dilihat dari pengertian sekularisme, Matsuri berarti hari libur perayaan atau festival.

Matsuri ini berawal dari pembacaan do’a yang dilakukan pendeta Shinto, baik untuk individu maupun
sekelompok orang yang dilaksanakan di tempat yang tak tertampak oleh orang lain.

Adapun maksud dan tujuan diadakannya Matsuri ini adalah sebagai bentuk doa atas keberhasilan panen,
suksesnya bisnis, sembuh dari penyakit, dan sebagainya. Tak hanya itu, Matsuri sendiri juga
diselenggarakan sebagai bentuk perayaan tradisi yang berkaitan dengan peralihan musim atau mendoakan
arwah dari para figur terkenal.

Matsuri sendiri diadakan di berbagai tempat di Jepang. Meskipun lazimnya Matsuri dilaksanakan di kuil,
ada pula yang menyelenggarakan Matsuri di gereja dan atau dilaksanakannya dengan tidak mengaitkan sisi
keagamaan.

Waktu pelaksanaan dan makna upacara Matsuri juga bervariasi, tergantung dari tujuan penyelenggaraan
dan daerahnya.

Seiring berkembangnya zaman, penyelenggaraan Matsuri ini sering menyimpang dari maksud dan tujuan
yang sesungguhnya. Namun, di balik itu semua, sisi tradisional dari budaya Jepang yang satu ini tetap terus
dilestarikan hingga saat ini.

3. Sadou: Upacara Minum Teh


Ilustrasi Upacara Minum Teh (sumber: niindo)
Upacara minum teh atau Sadou ini terdapat dua jenis, yakni Ochakai dan Chaji. Ochakai adalah upacara
minum teh yang terbilang tidak terlalu formal karena biasanya orang Jepang akan mengundang teman dan
kerabatnya untuk melakukan kegiatan ochakai sebagai bentuk perayaan keberhasilan atau semacamnya.
Kemudian, Chaji juga merupakan upacara minum teh yang sifatnya formal dan sangat sakral, bahkan
pelaksanaannya dapat berlangsung lebih dari 4 jam.

Awalnya, upacara minum teh bermula dari agama Buddha (Zen) yang dibawa orang Tiongkok di abad ke-
6. Kemudian, upacara ini kerap dilakukan oleh orang Jepang sampai abad ke-12 yang mana pada abad itu
ditemukan varian teh baru Matcha, yaitu teh dari serbuk teh hijau.

Sampai akhirnya pada abad ke-16, upacara minum teh terus menyebar ke seluruh masyarakat Jepang dan
menjadi suatu budaya yang ada di Jepang hingga saat ini. Bahkan dengan rasa bangganya, orang-orang
Jepang selalu mencoba melestarikan budaya yang satu ini hingga ke ranah Internasional.

Sadou atau upacara minum teh ini memiliki tata cara dalam pelaksanaannya. Tuan rumah harus melakukan
persiapan, seperti menata ruangan, mendekor, menyiapkan peralatan Sadou-nya, dan semacamnya. Selain
itu, para tamu juga memiliki tata caranya sendiri sebelum diperkenankan memasuki ruangan yang telah
disediakan oleh tuan rumah. Kemudian, ada pula aturan duduk dan tata cara menerima dan menyerahkan
mangkuk tehnya.

Di balik itu semua, Sadou atau upacara minum teh yang sudah menjadi kebudayaan Jepang ini memiliki
banyak makna kehidupan, misalnya, sikap saling menghargai dan menghormati antara tuan rumah dan
tamu. Dengan begitu, budaya Jepang yang satu ini secara tak langsung menunjukkan karakter dari si tuan
rumah yang bertujuan agar terwujudnya ketenteraman satu sama lain.

4. Kimono: Pakaian Tradisional Jepang


Ilustrasi Kimono
Budaya Jepang yang terkenal selanjutnya, yakni Kimono. Tentunya kalian tidak asing lagi mendengar
istilah ini. Kimono adalah salah satu pakaian tradisional dari negara Jepang yang sudah terkenal hingga ke
kancah Internasional. Kimono yang terdiri dari ‘ki’ artinya pakai dan ‘mono’ berarti barang atau benda.

Mulanya, Kimono adalah pakaian yang dipakai dari kalangan bangsawan saja, yakni sekitar tahun 794-
1185 atau dalam sejarang Jepangnya diketahui sebagai periode Heian.

Kemudian, seiring berkembangnya zaman, pakaian Kimono ini semakin familiar dan popular di kalangan
masyarakat, bahkan sering pula dipakai oleh aktor kabuki saat melakukan pentas dan Geisha.

Akan tetapi, di tahun 1683, terjadilah pelanggaran dalam mengenakan pakaian Kimono, terlebih yang
mahal dan mencolok. Hingga akhirnya, Kimono kembali muncul pada abad ke-19 saat Jepang sudah mulai
mengembangkan diri akan dunia modern.

Pakaian Kimono sendiri pun berbeda-beda, tergantung dari perayaan yang diselenggarakan atau
dilaksanakan. Seperti halnya, Kimono yang dikenakan oleh wanita lajang akan berbeda dengan Kimono
yang dipakai oleh wanita yang sudah menikah. Berikut akan dijelaskan sedikit mengenai jenis-jenis
Kimono berdasarkan perayaannya.

 Mofuku merupakan Kimono dengan warna serba hitam yang digunakan oleh wanita dan pria
saat upacara berkabung atau berduka cita.
 Tomesode adalah bentuk Kimono yang sangat formal. Kimono Tomesode memiliki motif
berwarna emas dan perak, digunakan oleh wanita Jepang yang sudah menikah. Umumnya,
Kimono Tomesode dipakai untuk menghadiri acara pernikahan.
 Iromuji adalah Kimono yang tak memiliki pola dan terdiri dari satu warna saja.
Kimono Iromuji dapat dikenakan oleh semua wanita, baik yang lajang maupun sudah
menikah.
 Susohiki atau Hikizuri adalah kimono khusus yang dikenakan oleh Geisha atau para penari
Jepang. Adapun perbedaan Kimono ini apabila dibandingkan dengan Kimono biasanya,
yakni terletak pada bentuknya. Bentuk Kimono Susohiki atau Hikizuri cenderung lebih
panjang hingga menyapu lantai.
 Furisode merupakan Kimono formal untuk wanita yang belum menikah alias masih lajang.
Lazimnya dikenakan dalam acara khusus, termasuk upacara kedewasaan, upacara minum
teh (Sadou), dan atau menghadiri acara pernikahan.
 Komon adalah Kimono yang dibuat dari sutra serta memiliki motif yang hampir menutupi
seluruh Kimononya. Umumnya, Kimono Komon dipakai saat acara informal atau casual.

Pemerintahan Jepang di Hindia Belanda di tahun 1943 mendirikan sebuah Pusat Kebudayaan, disebut:
Keimin Bunka Shidoso, sebagai salah satu media dari gerakan propaganda Asia Timur Raya. Di dalam
Keimin Bunka Shidoso terdiri berbagai aliran seni seperti sastra, musik, tari, drama, film, dan seni rupa.
Agus Djaja ditunjuk sebagai ketua bidang seni rupa; untuk film dan drama ditunjuk Usmar Ismail; seni
sastra diketuai Armijn Pane; sedangkan seni tari dan suara oleh Ibu Sud.

Dalam konteks pendudukan Jepang ini, dunia seni lukis Indonesia justru memperoleh peluang berkembang
pesat. Dalam 3,5 tahun, diselenggarakan puluhan pameran yang berlangsung meriah di tempat khusus atau
di pasar malam (rakutenci), dan biasanya disertai pemberian penghargaan seni lukis terbaik.

Tentang jugun ianfu

Jugun ianfu atau wanita adalah istilah yang digunakan untuk merujuk kepada wanita yang melakukan
layanan seksual kepada anggota Tentara Jepang selama Perang Dunia II di koloni Jepang dan wilayah
perang.

Jugun ianfu merupakan wanita pemuas seksual bagi tentara Jepang yang ada di Indonesia dan juga di
negara-negara jajahan Jepang lainnya pada kurun waktu tahun 1942-1945.

jugun ianfu meliputi orang - orang Jepang, Korea, Tiongkok, Malaya (Malaysia dan Singapura),
Thailand, Filipina, Indonesia, Myanmar, Vietnam, Indo (kelompok etnik mestizo di indonesia), orang
Eropa di beberapa daerah kolonial (Inggris, Belanda, Prancis, Portugis), dan penduduk kepulauan
Pasifik.

Jumlah perkiraan dari jugun ianfu ini pada saat perang, berkisar antara 20.000 dan 30.000.

Menurut riset Dr. Ikuhika Hata, seorang profesor di Universitas Nihon. Orang Jepang yang menjadi
jugun ianfu ini sekitar 40%, Korea 20%, Tionghoa 10%. Dan 30% sisanya dari kelompok lain.

Para perempuan di Indonesia biasanya direkrut menjadi jugun ianfu berdasarkan (diambil begitu saja
di jalan atau bahkan di rumah mereka), diiming-imingi untuk sekolah ke luar negeri, atau akan
dijadikan pemain sandiwara (seperti yang terjadi pada ikon perjuangan jugun ianfu asal Indonesia,
Ibu Mardiyem). Para mantan jugun ianfu masih merasakan trauma psikologis dan gangguan fungsi
fisik akibat pengalaman pahit yang pernah mereka alami. Belum lagi masyarakat yang tidak
memperoleh informasi dengan benar, justru menganggap mereka sebagai wanita penghibur (tanpa
paksaan).

Tentang Seikerei
Seikerei berasal dari ajaran agama Shinto, Shinto merupakan agama dari Jepang, di mana dewa atau
Tuhan yang disebut dengan kata "kami". "Kami" merupakan entitas supernatural yang diyakini
menghuni segala sesuatu.

Hubungan antara "kami" dan alam menyebabkan Shinto dianggap animistik. Dalam kepercayaan
orang Jepang, "kami" berjumlah 8 juta buah yang tersebar di seluruh dunia, bisa berupa laut, api,
pegunungan, dan semua hal ada yang ada di alam.

Penganut agama Shinto di Jepang menyembah dewa atau roh matahari Amaterasu. Kenapa
menyembah matahari? Karena penganut Shinto meyakini bahwa Amaterasu merupakan dewa
tertinggi di antara ribuan dewa lainnya. Ajaran inilah yang kemudian melahirkan tradisi Seikerei.

A. Ditentang rakyat Indonesia

- Pertentangan Seikerei di Singaparna

Pasalnya, pasca-perpindahan kekuasaan dari Belanda ke Jepang, rakyat Singaparna diharuskan untuk
melakukan Seikerei. Tradisi ini ditolak oleh pemimpin pesantren di Singaparna, KH Zainal Mustafa,
karena termasuk syirik atau menyekutukan Tuhan, sehingga bertentangan dengan hukum Islam. Oleh
sebab itu, KH Zainal Mustafa menguatkan santrinya untuk menolak Seikerei agar tidak menyekutukan
Tuhan.

Kedatangan Jepang ke Indonesia pada 1942 memicu terjadinya banyak perlawanan dari rakyat di
beberapa wilayah, salah satunya dari Singaparna, Tasikmalaya. Hal ini dikarenakan Jepang
mewajibkan kepada rakyat Indonesia untuk menghormati bendera Jepang, Hinomaru, setiap pagi
sambil menghadap matahari terbit, untuk memuliakan Kaisar Jepang Tenno Heika.

Perintah ini menimbulkan perlawanan dari KH Zainal Mustafa dan para santrinya di

pesantren Sukamanah, Tasikmalaya, pada Februari 1944.

"Perintah Jepang untuk melakukan kyujo yohai (penghormatan kepada istana kaisar Jepang)
dianggap sebagai gangguan terhadap agama mereka," tulis Aiko Kurasawa dalam Mobilisasi dan
Kontrol.

N - Ditentang oleh Ki Bagus Hadikusumo

Selain KH Zainal Mustafa, tokoh lain yang juga menentang adanya Seikerei yaitu Ketua Pengurus
Besar Muhammadiyah, Ki Bagus Hadikusumo. Gerakan menundukkan badan ke arah matahari ini
dianggap mirip dengan gerakan ruku' dalam salat.

Oleh sebab itu, Ki Bagus Hadikusumo pun melarang kaum Muslim untuk melakukan Seikerei, karena
bertentangan dengan ajaran Islam. Larangan yang dibuat oleh Ki Bagus Hadikusumo terdengar oleh
pimpinan Kempetai (unit militer Jepang) di Yogyakarta.

Ki Bagus Hadikusumo kemudian diminta untuk menghadap pimpinan Kempetai dan ditanya
mengenai alasannya melarang Seikerei. Setelah dikemukakan alasannya, Kempetai masih berusaha
untuk menaklukkan hati Ki Bagus Hadikusumo, tetapi gagal.

Tentang Partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia

Partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia atau disingkat menjadi Masyumi, adalah partai politik Islam
yang pernah ada selama era Demokrasi Liberal di Indonesia. Partai ini dibubarkan oleh Presiden
Sukarno pada tahun 1960 karena keterlibatan tokoh-tokohnya dalam Pemerintahan Revolusioner
Republik Indonesia (PRRI).

- Masyumi didirikan oleh Jepang pada tahun 1943 selama pendudukan mereka di Indonesia untuk
mengendalikan umat Islam.

- Setelah Proklamasi Kemerdekaan Indonesia pada 7 November 1945, Masyumi menjadi organisasi
politik terbesar dalam waktu kurang dari satu tahun.

- Masyumi termasuk dalam kategori organisasi Islam, bersaing dengan Nahdlatul Ulama dan
Muhammadiyah.

- Selama periode demokrasi liberal, anggota Masyumi menduduki kursi di Dewan Perwakilan Rakyat
dan memiliki Perdana Menteri, seperti Muhammad Natsir dan Burhanuddin Harahap.

- Pada pemilihan umum 1955, Masyumi meraih posisi kedua dengan 20,9% suara dan 57 kursi di
parlemen.

- Masyumi populer di daerah modernis Islam seperti Sumatera Barat, Jakarta, dan Aceh.

- Meskipun 51,3% suara Masyumi berasal dari Jawa, partai ini dominan di daerah di luar Jawa,
menjadi partai terdepan bagi sepertiga populasi di luar Jawa.

- Di Sumatra, Kalimantan, dan Sulawesi, Masyumi memperoleh jumlah suara signifikan, mencapai
42,8% di Sumatra, 32% di Kalimantan, dan 33,9% di Sulawesi.

- Pada tahun 1958, beberapa tokoh Masyumi bergabung dalam Pemerintahan Revolusioner Republik
Indonesia (PRRI), dan akibatnya, Masyumi dibubarkan bersama dengan Partai Sosialis Indonesia oleh
pemerintah.

- Setelah pembubaran, para anggota dan simpatisan Masyumi mendirikan Keluarga Bulan Bintang
untuk mengkampanyekan pemberlakuan syariah.

- Setelah kejatuhan Soeharto pada tahun 1998, upaya kedua untuk membangkitkan Masyumi
dilakukan dengan mendirikan Partai Bulan Bintang yang berpartisipasi dalam pemilihan umum pasca-
Reformasi.

Osamu Sierei Aturan Hukum Pada Zaman Jepang

Osamu Sierei adalah sebutan untuk undang – undang yan dikeluarkan oleh Panglima Tentara ke 16
Jepang pada tanggal 7 Maret 1942. Adapun undang – undang antara lain adalah berkenaan dengan
jabatan Gubernur Jenderal pada masa Hindia Belanda yang dihapuskan. Jabatan tersebut kemudian
diambil alih oleh panglima tentara Jepang yang di Jawa. Namun para pejabat pemerintah sipil
beserta pegawainya di masa Hindia Belanda tetap diakui kedudukannya. Syaratnya adalah memiliki
kesetiaan terhadap tentara pendudukan Jepang.

Ada beberapa peraturan terkait dengan hukum yang termaktub dalam pasal-pasal Osamu Sierei
antara lain:

Pertama, pada Pasal 3 menyebutkan, semua badan pemerintahan dan kekuasaannya, hukum dan
undang – undang dari pemerintah yang dahulu tetap diakui untuk sementara waktu asal saja tidak
bertentangan dengan peraturan pemerintah militer.

Kedua, Pasal 131 IS menyebut bahwa pembagian golongan penghuni Indonesia masih tetap berlaku.
Untuk golongan Eropa, Timur Asing Cina, dan Timur Asing bukan Cina yang tunduk secara sukarela
kepada hukum perdata Eropa tetap berlaku baginya Burgerlijk Wetboek (BW) dan Wetboek van
Koophandel (WvK) serta aturan-aturan hukum perdata Eropa yang tidak dikodifikasikan. Sedangkan
golongan Pribumi dan golongan Timur Asing bukan Cina yang tidak tunduk secara sukarela kepada
hukum perdata Eropa tetap berlaku aturan-aturan hukum perdata adatnya.

Tingkat sosial masa pendudukan Jepang sebagai berikut: Orang-orang Jepang, Orang Indonesia
berpendidikan yang mendukung Jepang, Golongan Timur Asing, Rakyat dan Orang Belanda dan
Eropa.

Selanjutnya, pemerintah Balatentara Jepang juga mengeluarkan Gun Seirei Nomor Istimewa 1942
yaitu Osamu Seirei Nomor 25 Tahun 1944 yang memuat aturan- aturan pidana yang umum dan
aturan-aturan pidana yang khusus, sebagai pelengkap peraturan yang telah ada sebelumnya.

Selain itu Gun Seirei Nomor 14 Tahun 1942 juga mengatur susunan lembaga peradilan yang terdiri
atas:

Tihoo Hooin, berasal dari landraad (Pengadilan Negeri);

Keizai Hooin, berasal dari landgerecht (Hakim Kepolisian);

Ken Hooin, berasal dari Regentschap Gerecht (Pengadilan Kabupaten);

Gun Hooin, berasal dari Districts Gerecht (Pengadilan Kewedanaan);

Kokyoo Kootoo Hooin, berasal dari Hof voor Islami etische Zaken (Mahkamah Islam Tinggi);

Sooyoo Hooin, berasal dari Priesterraad (Rapat Agama),

Gunsei Kensatu Kyoko, terdiri atas Tihoo Kensatu Kyoko (Kejaksaan Pengadilan Negeri), berasal dari
Paket voor de Landraden.

Adapun wewenang Raad van Justitie dialihkan kepada Tihoo Hooin dan Hooggereschtshof tidak
disebut dalam undang-undang itu.

Asal-usul Kimigayo

Lagu kebangsaan Jepang tercipta lewat sebuah puisi lama bertajuk Kokin Wakashu, yang diterbitkan
pada sekitar tahun 900 sebagai puisi anonim. Puisi tersebut diketahui banyak dimasukkan ke dalam
berbagai antologi, yang kemudian digunakan sebagai lagu perayaan ulang tahun oleh semua orang di
Jepang. Hingga peristiwa Restorasi Meiji pada 1868, Jepang belum memiliki lagu kebangsaan.

Pada 1869, datanglah seorang pemimpin band militer asal Irlandia, John William Fenton, ke Jepang.

Menyadari Jepang belum memiliki lagu kebangsaan, Fenton menyarankan kepada seorang perwira
bernama Iwao Oyama, agar lagu kebangsaan Jepang segera dibuat.

Iwao Oyama lantas mengambil frasa 'Kimigayo' dari lagu perayaan yang umum dinyanyikan
masyarakat Jepang, yang liriknya berasal dari Kokin Wakashu.

Lagu Kimigayo yang melodinya dibuat oleh Fenton pertama kali ditampilkan di depan Kaisar Jepang
pada 1870.
Pemerintah pendudukan Jepang akhirnya hanya boleh memperdengarkan lagu Kimigayo dan
melarang lagu Indonesia Raya, yang diciptakan pada 1928, karena takut rakyat akan mulai melakukan
perlawanan.

Penolakan terhadap lagu Kimigayo tentu bukan tanpa sebab. Banyak pihak menganggap lagu ini
digunakan untuk mempromosikan fasisme. Selain itu, bagi sebagian masyarakat Jepang, Kimigayo
dianggap sebagai bagian dari masa lalu mereka yang kelam.

Anda mungkin juga menyukai