Anda di halaman 1dari 13

SEIJIN NO HI

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas


Dirayakan
Jepang
oleh
Jenis Nasional
Merayakan laki-laki dan perempuan yang
Makna sudah mencapai usia dewasa menurut
hukum (20 tahun)
Tanggal second Monday in January

Hari Kedewasaan ( Seijin no hi?) adalah hari libur resmi di Jepang yang jatuh hari Senin
minggu kedua di bulan Januari. Menurut undang-undang hari libur Jepang (Shukujitsu-h), hari
libur ini dimaksudkan untuk "merayakan generasi muda yang bisa hidup mandiri, dan
menyadari telah menjadi dewasa."

Upacara Seijin shiki diadakan pemerintah lokal di kota-kota dan desa-desa untuk meresmikan
penduduk yang telah atau segera genap berusia 20 tahun, usia orang telah dianggap dewasa
menurut hukum untuk boleh merokok, mengonsumsi minuman beralkohol, dan mengikuti
pemilihan umum.

Daftar isi

1 Asal usul
2 Upacara Kedewasaan
3 Referensi
4 Pranala luar

Asal usul

Upacara kedewasaan setidaknya sudah dilakukan di Jepang untuk pangeran muda sejak 714
Masehi. Upara ini ditandai dengan pemakaian jubah baru dan pergantian model rambut untuk
menandai dimulainya usia kedewasaan.[1] Sejak ditetapkannya Hari Kedewasaan di Jepang, dari
tahun 1948 hingga tahun 1999, perayaan ini selalu diadakan tanggal 15 Januari bertepatan
dengan hari tahun baru kecil untuk meneruskan tradisi genbuku yang selalu diadakan pada hari
yang sama. Pada tahun 2000, Hari Kedewasaan dipindah ke hari Senin minggu kedua di bulan
Januari sesuai Sistem Happy Monday yang memindahkan sebagian hari libur ke hari Senin agar
libur akhir pekan bertambah panjang.

Peserta upacara Seijin shiki adalah penduduk yang sehari setelah Hari Kedewasaan tahun lalu
hingga hari upacara berlangsung telah genap berusia 20 tahun. Penduduk yang diundang untuk
mengikuti upacara tahun 1960 misalnya, terdiri dari penduduk yang berulang tahun ke-20
antara tanggal 16 Januari 1959 hingga 15 Januari 1960. Sebagian pemerintah lokal juga
mengundang penduduk yang berulang tahun ke-20 antara tanggal 2 April tahun yang lalu
hingga 1 April tahun berjalan.

SEIJIN SHIKI

Upacara Kedewasaan ( Seijin-shiki?) biasanya diadakan pada pagi hari di balai kota
setempat. Semua orang dewasa muda yang telah berumur atau akan berumur 20 tahun antara
tanggal 2 April tahun sebelumnya dan 1 April tahun itu, serta berstatus penduduk (memiliki
jminhy) diundang untuk menghadiri upacara. Pejabat kota memulai upacara dengan pidato
dan hadiah kecil diberikan kepada penduduk dewasa yang baru.

Wanita menghadiri upacara dengan mengenakan kimono berlengan lebar yang disebut
furisode dan alas kaki yang disebut zri.[1] Kesukaran dalam mengenakan kimono sendirian
tanpa dibantu orang lain menyebabkan para wanita muda memilih untuk mengunjungi salon
kecantikan untuk dipakaikan kimono dan dirias. Satu set kimono formal berharga mahal, oleh
karena itu sebagian wanita meminjam kimono dari saudara, toko peminjaman baju, atau
secara khusus minta kepada orang tua untuk membelikannya. Pria mengenakan kimono formal
berwarna gelap dan hakama. Meskipun demikian, pria sering juga mengenakan pakaian formal
ala Barat berupa jas lengkap dengan dasinya.[2] Setelah upacara, mereka merayakannya
dengan berpesta, terutama minum minuman beralkohol.[1]

Seijin shiki (?, upacara orang dewasa) adalah upacara tahunan yang diadakan
pemerintah lokal kota dan desa di Jepang yang mengundang penduduk yang telah mencapai
usia 20 tahun untuk merayakan usia yang telah dianggap cukup umur menurut hukum. Acara
diselenggarakan di gedung pertemuan, ballroom hotel, atau aula serbaguna milik pemerintah
lokal. Acara dimeriahkan dengan pidato, penerimaan cendera mata, jamuan makan, dan foto
bersama dengan pejabat lokal.
Di kota-kota besar, upacara diadakan pada Hari Kedewasaan yang jatuh pada hari Senin minggu
kedua bulan Januari. Di kota-kota kecil dan desa-desa, penyelenggaraan upacara sering
dimajukan di hari-hari awal Tahun Baru untuk memudahkan peserta yang terdaftar di di daerah
asal dan kebetulan sedang berada di kampung halaman. Jika hari penyelenggaraan upacara
tidak dimajukan, peserta yang tinggal di kota harus kembali lagi ke kampung halaman untuk
mengikuti seijin shiki.
Garis besar
Peserta upacara adalah penduduk yang merayakan ulang tahun ke-20 sehari sesudah upacara
tahun lalu hingga hari upacara dilangsungkan. Selain itu, sebagian pemerintah lokal juga
mengundang penduduk yang berulang tahun ke-20 pada tanggal 2 April tahun yang lalu hingga
1 April tahun berjalan (mengikuti sistem perhitungan umur yang digunakan sekolah-sekolah di
Jepang).
Di hari-hari penyelenggaraan seijin shiki bisa ditemui pemandangan wanita muda peserta seijin
shiki mengenakan kimono resmi jenis furisode dengan rias wajah dan tata rambut hasil salon,
sedangkan laki-laki mengenakan setelan kimono model Hakama. Wanita yang tidak ingin
direpotkan dengan kimono bisa mengenakan gaun resmi dan pria mengenakan setelan jas.
Pada sebagian kecil kasus, peserta upacara kadangkala memilih untuk tidak memasuki arena
seijin shiki dan malah bergerombol di luar dengan sesama peserta atau bekas teman-teman
sekelas bagaikan acara reuni. Di beberapa kota, peserta pria menunggu di luar tempat upacara
sambil bermabuk-mabukan hingga menimbulkan keributan.
Sejarah
Tradisi merayakan kedewasaan sudah berlangsung sejak zaman kuno di Jepang. Laki-laki
mengenal tradisi Genbuku, sedangkan wanita mengenal tradisi Mogi. Tradisi yang menurut
antropologi budaya dan folklor merupakan bagian dari inisiasi.

Upacara Seinen-sai ( perayaan generasi muda?) yang diselenggarakan 22 November


1946 di kota Warabi Distrik Kitaadachi, Prefektur Saitama merupakan asal usul upacara seijin
shiki seperti yang ada sekarang. Pada mulanya, upacara diadakan untuk memberi harapan
tentang masa depan yang cerah bagi generasi muda Jepang yang kehilangan segala semangat
dan cita-cita akibat Perang Dunia II. Upacara dirintis pemimpin lokal generasi muda bernama
Takahashi Shjir dan mengambil lokasi di sebuah sekolah dasar di kota Warabi yang dipasangi
tenda.
Pada tahun 1948, pemerintah Jepang mengambil perayaan Seinen-sai sebagai contoh dan
menetapkan tanggal 15 Januari tahun berikutnya (1949) sebagai Hari Kedewasaan (Seijin no
hi). Sejak itu, pemerintah lokal kota dan desa di Jepang selalu mengadakan upacara Hari
Kedewasaan tanggal 15 Januari sampai hari penyelenggaraan diubah menjadi hari Senin
minggu kedua di bulan Januari sesuai dengan Sistem Happy Monday.

Referensi

1. ^ a b c Allen, David; Sumida, Chiyomi (January 9, 2004). "Coming of Age Day, a big event
for Japanese youths, is steeped in tradition". Stars and Stripes.
2. ^ Robertson, Jennifer Ellen (2005). A companion to the anthropology of Japan. Wiley-
Blackwell. p. 158. ISBN 978-0631229551.

By DAVID ALLEN AND CHIYOMI SUMIDA | STARS AND STRIPES Published: January 9, 2004

OKINAWA CITY If you see a lot of people in colorful kimonos this weekend, you havent
stepped through a time warp.

Its Seijin no Hi, or Coming of Age Day, the day everyone who turns 20 during 2004 officially
will become adults in Japan.

The official day is Monday, but municipal offices and conference centers have scheduled
ceremonies throughout the weekend.

In all, more the 1.52 million people officially will be recognized as adults, officials say.
Coming of Age Day means 20-year-olds can vote, drink and marry without parental permission.
They also become subject to all laws and social responsibilities.

Seijin no Hi has been celebrated since at least A.D. 714. The day originated when a young prince
donned fancy new court robes and sported an adult hairstyle to mark his passage into
adulthood.

In ensuing centuries, commoners adopted the celebration.

During the Edo Period, from 1603 to 1868, boys marked their passage to adulthood at age 15
by cutting their forelocks and strapping on swords. Girls at the time became adults at age 13.

In 1876, the official age of adulthood was set at 20.

Traditionally, Seijin no Hi was celebrated Jan. 15, but in 1999 the holiday was switched to the
second Monday in January.

Local ceremonies are called seijin shiki, meaning adult ceremony. All new adults in an area
are invited to attend. They listen to speeches by local officials and receive small presents.

Women traditionally wear furisode kimonos kimonos with long sleeves and traditional
zori slippers.

The styles for young men vary, with many opting for dark business suits and others a plainer
male kimono with the baggy hakama, or pantaloons.

After the ceremonies, new adults often gather in groups for a day and sometimes a night
on the town, attending parties and taking advantage of their new status as legal drinkers.

The Sunday before the holiday marks the busiest day of the year for Okinawa City
businesswoman Sugano Ogimi.

Starting at 5 a.m., more than 100 giggling girls and young boys begin arriving at her photo
studio, beauty parlor and formalwear shop for a final fitting for colorful kimonos and samurai-
style hakamas.

Coming-of-Age Day is the biggest event for our business, Ogimi, manager of the Nakada
Kaikan studio, said.

This Sunday, 40 staff members will assist her in fitting adults for a formal Coming of Age
ceremony at Okinawa Civic Hall.

Throughout Okinawa, about 17,000 young people will be officially recognized as adults.

Ogimi has been preparing young adults for their special day for more than 20 years.

She said it takes about 20 minutes to get one young woman made-up and dressed.
It is like in a war, Ogimi said, describing the morning of the ceremony day at the studio.

Her normal staff of five swells to 40 and they toil from 4 a.m. until 9 p.m., she said.

I tell everybody to make sure not to get sick and not to catch cold, she said. We cannot
afford to lose anyone.

Coming of Age Day represents about one-third of her annual business, she said.

The cost for renting a kimono, having a beauty makeover and getting a keepsake photograph
ranges from 50,000 yen to 180,000 yen ($467 to $1,680) at her shop.

Its much more expensive in major metropolitan areas.

In Tokyo, the kimono alone can rent for more than $1,000 a day; purchasing a kimono can cost
more than $10,000.

A lot of planning goes into getting ready for the big day.

Ogimi said some people make reservations for their rental kimono as early as February of the
preceding year.

Young people today prefer wearing the kimono in more unique and individualistic ways,
Ogimi said. For instance, there was a client who wanted me to make the length of her kimono
her knee high so she could wear platform sandals.

But the most unusual customer was a young man who slipped on his kimono and hakama, left
the studio and jumped on a horse for the ride to the civic hall, she said.

Risa Kochi, a 19-year-old dental assistant from Okinawa, visited the studio last week.

As she prepared for a photo session, Ogimi and an assistant put finishing touches on her
kimono, which was purchased by her mother, who watched and excitedly took snapshots of
her own.

I have been looking forward to Sundays ceremony for a long time, Kochi said.

Attending the ceremony will help me to be prepared to become a full-fledged and responsible
member of the society.

https://www.stripes.com/news/coming-of-age-day-a-big-event-for-japanese-youths-is-
steeped-in-tradition-1.15223#.WdGjTNDRtbs
KEKKON SHIKI

Pada bulan oktober banyak orang jepang yang melaksanakan pernikahan (Kekkon

Shiki). Memilih hari pernikahan yang terbaik adalah sesuatu yang harus diperhatikan. Jika di

Indonesia ada Pon, Pahing, dan sebagainya, di Jepang disebut dengan Rokuyo yang terdiri atas

6 buah yaitu Sengachi, Tomobiki, Sempu, Betsumetsu, Taian dan Jakku. Menurut orang Jepang

hari yang paling buruk adalah Betsumetsu, dan yang paling baik adalah Taian. Upacara

perkawinan di Jepang dibedakan menjadi tiga macam, yaitu Butsuzen Kekkon Shiki

(Perkawinan Berdasarkan Agama Buddha), Kirisutokyoo Kekkon Shiki (Perkawinan Berdasarkan

Agama Kristen) Dan Shinzen Kekkon Shiki (Perkawinan Berdasarkan Agama Shinto).

A. PERNIKAHAN SHINTO

Walaupun ada beberapa cara untuk merayakan sebuah pernikahan di Jepang, namun

kebanyakan pasangan mengikuti ritual tradisi Shinto. Shinto (cara-cara Dewa) adalah

kepercayaan tradisional masyarakat Jepang dan merupakan agama yang paling populer di

Jepang di samping agama Budha.

ROKUYO ()

Sampai saat ini masih banyak kalender dinding Jepang yang memuat hari-hari mistik.

Hari-hari mistik sampai sekarang ini masih dipercaya sebagai pedoman untuk memilih hari baik

untuk melakukan upacara yang sifatnya resmi seperti resepsi pernikahan dan upacara

pemakaman. Pekan yang disebut rokuy () terdiri dari 6 hari-hari mistik: sakigachi,

butsumetsu, tomobiki, sakimake, dan shakko.

Arti hari-hari mistik Jepang adalah sebagai berikut:


Sakigachi atau sensh ()

Hari baik untuk acara penting, asalkan acara tersebut diadakan pada pagi hari dan sebaiknya

tidak mengadakan acara penting sesudah tengah hari.

Butsumetsu ()

Hari sial untuk memulai sesuatu. Sebaiknya tidak mengadakan resepsi pernikahan atau

membuka bisnis.

Tomobiki ()

Hari untuk tidak mengadakan pemakaman. Tomo () artinya teman, Biki () artinya menarik.

Konon kalau mengadakan pemakaman pada hari ini, orang yang meninggal akan mengajak

teman-temannya yang masih hidup untuk ikut pergi bersama-sama ke alam sana.

Dai an ()

Hari mujur untuk melakukan segala macam kegiatan. Hari terbaik untuk menikah atau

mengadakan resepsi pernikahan.

Sakimake atau senbu ()

Hari harus berhati-hati. Pada hari ini sebaiknya menghindari keputusan yang sifatnya penting.

Shakk ()

Hari sial. Pada hari ini sebaiknya tidak mengadakan acara yang sifatnya penting seperti

pemakaman atau pernikahan.

TATA CARA DAN ALUR


Upacara pernikahan Shinto sifatnya sangat pribadi, hanya dihadiri oleh keluarga dan

kerabat dekat. Seringkali diadakan di sebuah tempat suci atau altar suci yang dipimpin oleh

pendeta Shinto (kannushi). Banyak hotel dan restauran yang dilengkapi dengan sebuah

ruangan khusus bagi upacara pernikahan. Selama hari-hari keberuntungan tertentu dalam

kalender Jepang, sangat lumrah untuk melihat lusinan pasangan mengikat janji dalam

pernikahan Jepang di tempat suci Shinto.

Di awal upacara pernikahan, pasangan dimurnikan oleh pendeta Shinto. Kemudian

pasangan berpartisipasi dalam sebuah ritual yang dinamakan san-san kudo. Selama ritual ini,

mempelai perempuan dan pria bergiliran menghirup sake, sejenis anggur yang terbuat dari

beras yang difermentasikan, masing-masing menghirup sembilan kali dari tiga cangkir yang

disediakan. Ritual ini bertujuan untuk memohon keselamatan dan kebahagiaan.

Saat mempelai perempuan dan pria mengucap janji, keluarga mereka saling

berhadapan. Setelah itu, anggota keluarga dan kerabat dekat dari kedua mempelai saling

bergantian minum sake, menandakan persatuan atau ikatan melalui pernikahan.

Upacara ditutup dengan mengeluarkan sesaji berupa ranting Sakaki (sejenis pohon

keramat) yang ditujukan kepada Dewa Shinto. Tujuan kebanyakan ritual Shinto adalah untuk

mengusir roh-roh jahat dengan cara pembersihan, doa dan persembahan kepada Dewa.

Prosesi singkat ini sederhana dalam pelaksanaannya namun sungguh-sungguh khidmat.

Maknanya untuk memperkuat janji pernikahan dan mengikat pernikahan fisik kedua mempelai

secara rohani.

Apabila sepasang mempelai Jepang ingin melaksanakan pernikahan tradisional Jepang

yang murni, maka kulit sang mempelai perempuan akan dicat putih dari kepala hingga ujung

kaki yang melambangkan kesucian dan dengan nyata menyatakan status kesuciannya kepada

para dewa.
Mempelai perempuan umumnya akan diminta memilih antara dua topi pernikahan

tradisional. Satu adalah penutup kepala pernikahan berwarna putih yang disebut tsuni kakushi

(secara harafiah bermakna "menyembunyikan tanduk"). Tutup kepala ini dipenuhi dengan

ornamen rambut kanzashi di bagian atasnya di mana mempelai perempuan mengenakannya

sebagai tudung untuk menyembunyikan "tanduk kecemburuan", keakuan dan egoisme dari ibu

mertua - yang sekarang akan menjadi kepala keluarga. Masyarakat Jepang percaya bahwa

cacat karakter seperti ini perlu ditunjukkan dalam sebuah pernikahan di depan mempelai pria

dan keluarganya.

Penutup kepala yang ditempelkan pada kimono putih mempelai perempuan, juga

melambangkan ketetapan hatinya untuk menjadi istri yang patuh dan lembut dan kesediannya

untuk melaksanakan perannya dengan kesabaran dan ketenangan. Sebagai tambahan,

merupakan kepercayaan tradisional bahwa rambut dibiarkan tidak dibersihkan, sehingga

umum bagi orang yang mengenakan hiasan kepala untuk menyembunyikan rambutnya.

Hiasan kepala tradisional lain yang dapat dipilih mempelai perempuan adalah wata

boushi. Menurut adat, wajah mempelai perempuan benar-benar tersembunyi dari siapapun

kecuali mempelai pria. Hal ini menunjukkan kesopanan, yang sekaligus mencerminkan kualitas

kebijakan yang paling dihargai dalam pribadi perempuan. Mempelai pria mengenakan kimono

berwarna hitam pada upacara pernikahan.

Ibu sang mempelai perempuan menyerahkan anak perempuannya dengan

menurunkan tudung sang anak, namun, ayah dari mempelai perempuan mengikuti tradisi

berjalan mengiringi anak perempuannya menuju altar seperti yang dilakukan para ayah orang

Barat.

Jika kita menerima surat undangan pernikahan dari seorang teman warga negara

jepang, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan:


Menjawab Undangan Pernikahan

Setelah undangan diterima, diharuskan kita segera membalas isi undangan tersebut,

dengan mengirimkan kartu pos apakah dapat hadir atau tidak.

1. Jika Tidak Dapat Hadir

a. Dalam kartu pos kita tulis ucapan selamat & alasan tidak bisa hadir, misalnya:

"Kekkon omedetou gozaimasu. Zannen nagara, toujitsu wa kaigaishucchou no tame,

shussekisuru koto ga dekimasen. Douzo oshiawase".

(Selamat atas pernikahan anda. Sayang sekali, pada hari tersebut saya tidak bisa hadir karena

ada tugas ke luar negri. Semoga berbahagia).

b. Mengirimkan hadiah tanda ikut bergembira. Tetapi perlu diingat, ada beberapa barang yang

tidak bisa diberikan karena dipercaya orang jepang dapat merusak kehidupan rumah

tangganya kelak, yaitu:

c. Pisau, gunting, dan barang yang dapat memutuskan sesuatu, karena khawatir

akanmemutuskan ikatan pernikahan kelak.

d. Barang pecah belah sepeti gelas kaca, keramik, dll karena khawatir akan memecah belah

kerukunan berumah tangga.

2. Jika Dapat Hadir

a. Dalam kartu pos kita ucapan selamat & terima kasih atas undangan tersebut, misalnya:

"Kekkon omedetou gozaimasu. Yorokonde shussekisaseteitadakimasu".

(Selamat atas pernikahan anda. Dengan senang hati saya akan menghadirinya).
Pakaian Yang Digunakan Para Undangan

Pakaian yang digunakan, untuk pria adalah black suit (setelan berwarna hitam),

sedangkan untuk wanita dapat menggunakan gaun, kimono, atau pakaian daerah lainnya.

Mempersiapkan Hadiah Pernikahan Berupa Uang

Mempersiapkan uang yang disebut "Goshuugi" (congratulatory monetary gift) yang

dimasukan ke dalam amplop khusus yang disebut "Shuugibukuro" (congratulatory envelope).

Kira-kira uang yang diberikannya adalah 20 ribu-30 ribu yen jika teman kantor. Goshuugi

tersebut diberikan kepada resepsionis pernikahan sambil mengucapkan salam persahabatan,

misalnya:

Honjitsu omedetou gozaimasu... Kokorobakari no oiwaidesu

(Selamat... ini sedikit hadiah untuk mempelai).

Sambutan (Speech) & Pembawa Acara (MC)

Jika kita diminta untuk memberikan sambutan atau sebagai pembawa acara, ada

beberapa kata yang tidak boleh diucapkan yaitu: Wakareru (berpisah), owaru (berakhir),

hanareru (berjauhan), kiru (memotong) karena khawatir hal tsb akan terjadi dalam rumah

tangga kelak.

Contoh:
1. Ucapan penutup acara pernikahan

(X) Hiroen o owari ni shimasu (Kita akhiri upacara ini)

(O) Hiroen o ohiraki ni shimasu (Kita tutup upacara ini).

2. Ucapan ketika mempersilakan memotong kue

(X) Wedingu keeki o kiru ( silakan memotong kue)

(O) Wedingu keeki ni naifu o ireru (silakan memasukan pisau ke wedding cake).

Pesta Lanjutan (Nijikai)

Setelah upacara pernikahan tersebut selesai, beberapa kerabat atau sahabat dekat

akan diundang ke pesta lanjutan yang disebut "Nijikai" (post reception party).

Ucapan Perpisahan

Setelah upacara/ pesta pernikahan selesai, kita berpamitan pada mempelai dengan

mengucapkan salam perpisahan, misalnya:

"Oshiawaseni... Totemo tanoshii paatii deshita".

(Semoga berbahagia... pestanya sangat menyenangkan).

Beberapa Ucapan Selamat Kepada Mempelai

Kekkon omedetou gozaimasu. Suenagaku oshiawaseni

(Selamat atas penikahan anda. Semoga awet dan berbahagia)

Kekkon omedetou gozaimasu. Ofutari no mirai ga subarashiimono de arimasuyouni

(Selamat atas pernikahan anda. Semoga penuh dengan harapan indah bagi berdua)
Kekkon omedetou gozaimasu. Ofutari de, nakayoku, atatakai katei o kizuiteitte kudasai.

(Selamat atas pernikahan anda. Semoga berdua rukun selalu dan membentuk keluarga yang

menyenangkan)

SOUVENIR

Seperti umumnya di Indonesia, para tamu yang diundang pada pesta pernikahan di

Jepang, perlu membawa goshugi atau uang pemberian yang dimasukkan dalam amplop, yang

dapat diberikan baik sebelum atau sesudah upacara pernikahan.

Di akhir resepsi pernikahan, tandamata atau Hikidemono seperti permen, peralatan

makan, atau pernak-pernik pernikahan, diletakkan dalam sebuah tas dan diberikan kepada

para tamu untuk dibawa pulang.


SHINTO PRACTICE energy in silence The archer hits the target in deep night, or blind- folded.
How do we grasp this secret of the archer? The answer lies in the practice of shinto-exercises.
These are a non-verbal way to gain insight into the outside world as a reflection of the inner
world. To hit the target outside, the archer closes his eyes and concentrates upon his inner
core, his essence. Shinto has developed a series of exercises aiming at the balance of body,
mind and nature, based on an awareness of space and time and the interconnectedness of all
life in the cosmos. This awareness generates new energy. It is an effective way to prevent
illness in todays world, whether psychological or physical. The exercises transmit to us an
ancient wisdom. They offer us powerful insights into humanitys place within nature. The
concept of nature is all- inclusive, encompassing family and friendship, work, human society,
city as much as country and the cycles of life, death and regeneration.

Anda mungkin juga menyukai