Anda di halaman 1dari 20

ANALISA PERAYAAN MATSURI DALAM MASYARAKAT JEPANG

Disusun untuk memenuhi tugas Mata Kuliah Sistem Masyarakat Jepang

Dosen Pengampu:
Drs. Usmar Salam, M. Sc

Disusun Oleh:
KELOMPOK 8
Paska B. Darmawan

11/311514/SP/24397

Dhimas Luqman Hakim

11/317750/SP/24643

Baharuddin Robbani

11/317957/SP/24839

Ina Lailatus Siami

12/328624/SP/25009

Muthi Asih

12/328731/SP/25106

Anggit Setyamurty

12/335485/SP/25244

Jagad Hidayat Jati

12/335696/SP/25355

JURUSAN ILMU HUBUNGAN INTERNASIONAL


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2014
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Masyarakat Jepang merupakan masyarakat yang tergolong unik dengan berbagai kebiasaan
serta kebudayaan yang melekat didalamnya. Maka tak heran jika budaya Jepang selalu
menjadi magnet tersendiri bagi penggemar keunikan Jepang di seluruh dunia. Masyarakat
Jepang adalah masyarakat tradisional yang modern, karena masyarakat Jepang tetap
memegang kuat tradisi budaya tradisionalnya di tengah-tengah kemodernan yang mereka
miliki. Sepanjang sejarahnya, Jepang telah menyerap banyak gagasan dari negara-negara lain
termasuk teknologi, adat-istiadat, dan bentuk-bentuk pengungkapan kebudayaan. Jepang
telah mengembangkan budayanya yang unik sambil mengintegrasikan masukan-masukan dari
luar itu. Gaya hidup orang Jepang dewasa ini merupakan perpaduan budaya tradisional di
bawah pengaruh Asia dan budaya modern Barat.
Budaya Jepang juga sering menjadi sumber inspirasi kesenian modern. Hal ini dikarenakan
kebiasaan maupun budaya yang masyarakat Jepang lakukan tidak sekedar budaya yang turun
dari nenek moyang mereka akan tetapi banyak falsafah dan sejarah yang terkandung di
dalamnya. Budaya yang mengakar kuat pada diri setiap warga Jepang sebagai hasil kualitas
tinggi pendidikan mereka yang dipupuk sejak kecil. Sebagai contoh spesifik, aspek budaya
yang akan dibahas di sini adalah matsuri. Istilah matsuri dalam bahasa Jepang dapat diartikan
dengan festival, pesta rakyat atau pekan gembira dalam rangka peringatan peristiwa
bersejarah. Istilah matsuri dalam bahasa Jepang merupakan kata benda, sedangkan kata
kerjanya adalah matsuru yang berarti berdoa, bersembahyang, memuja, menyembah,
mendewakan, dan mengabdikan diri di tempat suci. Dalam kamus Daijiten, matsuri diartikan
dengan terjemahan menyembah leluhur dan dewa (Shinto dan Budha). Lalu memilih hari
yang tepat untuk upacara dan menyucikan diri, memberikan sesembahan, kemudian berdoa,
berterima kasih, menghibur roh, dan sebagainya.1
Matsuri di Jepang sangatlah beragam dan diselenggarakan disetiap musim. Di musim panas
yang bagi sebagian orang merupakan musim yang melelahkan, pun tetap diadakan Matsuri. 3
matsuri musim panas paling penting dan yang terbesar di Jepang yaitu Festival Gion di
Kyoto, festival Tenjin di Osaka, dan festival Kanda di Tokyo. Masyarakat Jepang yang kini

1 Matsuri. Kodansha Encyclopedia of Japan. 1998. Japan : Kondansha International Ltd.


2

telah modern nyatanya tidak pernah lepas dari ritual dan perayaan yang sarat akan mitos dan
kepercayaan tertentu.
1.2. Rumusan Masalah
Dengan latar belakang tersebut, kami mengajukan rumusan masalah:

Apa makna dan arti penting ketiga matsuri di musim panas bagi masyarakat Jepang?

1.3. Landasan Konseptual


Pespektif Masyarakat Jepang
Beberapa ciri yang menonjol dalam cara berpikir orang Jepang yang bersifat naturalistis,
pragmatis, dan realistis. Suatu pola berpikir yang tumbuh dan berkembang sebagai hasil dari
akulturasi ajaran agama Budha, agama Shinto, dan Konfusianisme, yang pada gilirannya
melahirkan berbagai sekte agama Budha Jepang yang bersifat sinkretis. Semua perbedaan
dalam berbagai ajaran agama yang mereka terima, ternyata tidak menimbulkan paradoks bagi
orang Jepang, bahkan sebaliknya, semuanya serba harmonis dan serasi, semuanya serba
bermakna dan berfungsi dalam kehidupan orang dan masyarakat Jepang, sesuai dengan
perkembangan zamannya baik dari sisi waktu maupun dari sisi ruang. 2
Masyarakat Jepang juga sangat percaya dengan sejarah dan mitos. Mitos merupakan simbol
dari sebuah sejarah yang diceritakan secara turun temurun dari generasi ke generasi. Mitos
juga dapat dikatakan sebagai salah satu cerita berbentuk simbolis yang menceritakan tentang
serangkaian peristiwa nyata dan imajiner yang menyangkut asal-usul dan perubahan alam
raya dan dunia, dewa-dewi, kekuatan atas kodrati, manusia, pahlawan dan masyarakat. Mitos
memiliki karakter imperatif dan bertentangan yaitu berakar dari satu konsep sejarah serta
secara langsung muncul di hal-hal yang bersifat kebetulan.3
1.4. Argumentasi Utama
Budaya adalah sesuatu yang terus berjalan dan berubah sesuai dengan perkembangan suatu
masyarakat. Bertahan atau tidaknya suatu kebudayaan tergantung pada kemauan dari
2 Siti Dahsiar Anwar. Cara Berpikir Orang Jepang: Sebuah Perspektif Budhisme. Makara, Sosial Humaniora,
Vol. 8, No. 3, Desember 2004: 120-125

3 Cremers, Agus. 1997. Antara Alam dan Mitos. Flores : Nusa Indah.
3

masyarakat tersebut untuk melestarikannya. Masyarakat Jepang lebih memilih untuk tetap
melestarikan kebudayaannya ditengah-tengah arus modernitas yang sangat pesat.
Penyelenggaraan matsuri di Jepang sendiri merupakan wujud dari pelestarian budaya serta
simbol penghormatan terhadap leluhur yang dipegang erat oleh masyarakat Jepang. Terlepas
dari sekularitas agama yang ada di Jepang, keberadaan 3 matsuri terbesar di 3 kota berbeda di
Jepang, yaitu Festival Gion di Kyoto, festival Tenjin di Osaka, dan festival Kanda di Tokyo
adalah dapat menjadi tali perekat masyarakat Jepang.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Sejarah Matsuri


Matsuri () adalah istilah agama Shinto yang berarti persembahan ritual untuk Kami. Dalam
pengertian sekuler, matsuri berarti festival atau perayaan di Jepang. Di daerah Kyushu,
matsuri yang dilangsungkan pada musim gugur disebut kunchi. Berbagai matsuri
diselenggarakan sepanjang tahun di berbagai tempat di Jepang. Sebagian besar penyelenggara
matsuri adalah kuil Shinto atau kuil Buddha.4 Walaupun demikian, ada pula berbagai
"matsuri" (festival) yang bersifat sekuler dan tidak berkaitan dengan keagamaan.
Sebagian besar matsuri diselenggarakan dengan maksud untuk mendoakan keberhasilan
tangkapan ikan dan keberhasilan panen (beras, gandum, kacang, jagung), kesuksesan dalam
bisnis, kesembuhan dan kekebalan terhadap penyakit, keselamatan dari bencana, dan sebagai
ucapan terima kasih setelah berhasil dalam menyelesaikan suatu tugas berat 5. Matsuri juga
diadakan untuk merayakan tradisi yang berkaitan dengan pergantian musim atau mendoakan
arwah tokoh terkenal. Makna upacara yang dilakukan dan waktu pelaksanaan matsuri
beraneka ragam seusai dengan tujuan penyelenggaraan matsuri. Matsuri yang mempunyai
tujuan dan maksud yang sama dapat mempunyai makna ritual yang berbeda tergantung pada
daerahnya.
Pada penyelenggaraan matsuri hampir selalu bisa ditemui prosesi atau arak-arakan mikoshi,
dashi (danjiri) dan yatai yang semuanya merupakan nama-nama kendaraan berisi Kami atau
objek pemujaan. Pada matsuri juga bisa dijumpai chigo (anak kecil dalam prosesi), miko
(gadis pelaksana ritual), tekomai (laki-laki berpakaian wanita), hayashi (musik khas matsuri),
penari, peserta dan penonton yang berdandan dan berpakaian bagus, dan pasar malam
beraneka makanan dan permainan.
4 Matsuri. Japan Guide (online). <http://www.japan-guide.com/e/e2063.html>
diakses tanggal 8 November 2014
5 Toshiaki Harada, et.al. Matsuri: Festival and Rite in Japanese Life Institute for Japanese
Culture and Classics, Kokugakuin University. 1988. Diakses dari
<http://www2.kokugakuin.ac.jp/ijcc/wp/cpjr/matsuri/index.html> pada tanggal 8 November 2014

Dalam sejarahnya, matsuri berasal dari kata matsuru ( ?, menyembah, memuja) yang
berarti pemujaan terhadap Kami atau ritual yang terkait. Dalam teologi agama Shinto dikenal
empat unsur dalam matsuri: penyucian (harai), persembahan, pembacaan doa (norito), dan
pesta makan. Matsuri yang paling tua yang dikenal dalam mitologi Jepang adalah ritual yang
dilakukan di depan Amano Iwato.
Matsuri dalam bentuk pembacaan doa masih tersisa seperti dalam bentuk kigansai
(permohonan secara individu kepada jinja atau kuil untuk didoakan dan jichinsai (upacara
sebelum pendirian bangunan atau konstruksi). Pembacaan doa yang dilakukan pendeta Shinto
untuk individu atau kelompok orang di tempat yang tidak terlihat orang lain merupakan
bentuk awal dari matsuri. Pada saat ini, Ise Jing merupakan salah satu contoh kuil agama
Shinto yang masih menyelenggarakan matsuri dalam bentuk pembacaan doa yang eksklusif
bagi kalangan terbatas dan peserta umum tidak dibolehkan ikut serta.
Festival/matsuri di Jepang sering diselenggarakan berdasarkan musim. Seperti kita tahu
bahwa Jepang terdiri dari empat musim dan masing-masing musim tersebut dianggap spesial
bagi masyarakat Jepang. Festival yang berkaitan dengan perayaan salah satu musim ini
biasanya berbeda-beda antara satu tempat dengan tempat lainnya. Misalnya, ketika musim
dingin, daerah di kawasan utara lebih bersalju sehingga muncul beragam festival salju (yuki
matsuri). Ketika musim semi, bunga-bunga mulai bermekaran di seluruh penjuru Jepang lalu
diadakanlah festival melihat bunga Sakura dan sebagainya (hana matsuri). Musim panas yang
biasanya cukup melelahkan pun tetap dirayakan dengan adanya festival kembang api (hanabi
taikai) dan juga festival tarian musim panas (bon odori matsuri). Saat musim gugur tiba pun
cukup banyak terlihat festival musim gugur (aki matsuri) dengan pawai dan tarian.
Masyarakat di berbagai daerah juga sering menyelenggarakan festival/matsuri lokal. Ratarata festival lokal diselenggarakan oleh pemerintah kota atau perkumpulan masyarakat.
Tujuannya bisa bermacam-macam, misalnya untuk memperingati hari bersejarah tertentu
bagi masyarakat tersebut, menunjukkan daya tarik istimewa yang dimiliki kota tersebut,
menunjukkan rasa gotong royong, atau bahkan hanya sekedar untuk hiburan. 6 Karena bersifat
lokal, kemeriahan festival pun tergantung pada besar kecilnya kota penyelenggara. Meskipun
begitu, ada beberapa festival lokal yang menjadi dangat populer di seluruh Jepang karena
6 Makna Matsuri dalam Kehidupaan Orang Jepang. STBA Lia (online).
<http://www.stbalia.ac.id/modules.php?
op=modload&name=News&file=article&sid=23> diakses tanggal 8 November
2014
6

dinilai unik atau meriah. Festival lokal yang unik semacam ini biasanya dikunjungi tidak
hanya oleh masyarakat lokal tetapi juga orang-orang dari kota lain dan bahkan wisatawan
asing. Contohnya: Yuki Matsuri di Sapporo dan Fukushima, Gion Matsuri di Kyoto dan
Fukuoka, serta festival lokal lainnya.
Menurut Ono (1998: 51-52) terdapat empat unsur penting dalam Matsuri:
1. Oharai atau Pembersihan, bertujuan untuk menghilangkan polusi, ketidaksucian,
ketidakbenaran, dan juga kejahatan. Biasanya dilakukan oleh pendeta Shinto menggunakan
Haraigushi.
2. Shinsen yakni persembahan kepada para dewa. Sesajian yang paling umum adalah kue
mochi, arak (sake), ganggang laut, sayur-sayuran, buah-buahan, serta bunga-bunga petik.
Menurut Picken (1994 ;183), ada empat jenis persembahan pada umumnya yaitu:
a. Uang, biasanya dilakukan dengan melempar koin ke dalam kotak persembahan di
depan altar atau dengan menyumbangkan dana untuk kepentingan kuil.
b. Makanan dan minuman, baik yang sudah dimasak atau belum. Persembahan ini
berupa makanan kesukaan Kami yang dihormati sebagai orang yang bersejarah.
c. Barang, berwujud, kertas, kain sutra atau katun, senjata, bahkan alat pertanian.
Beberapa kuil terdapat pula persembahan berupa hewan.
d. Kegiatan simbolis, berupa berbagai macam hiburan,seperti tari-tarian, drama, gulat,
dan panahan juga dianggap sebagai persembahan kepada Kami. Selain bertujuan
untuk memberikan hiburan kepada Kami, musik dan tarian juga dinikmati oleh para
pemujanya.
3. Norito, yakni doa-doa yang diucapkan oleh pendeta Shinto. Isi doa-doa tersebut dapat
berupa pemujaan terhadap dewa, doa-doa tersebut biasanya mengandung unsur terimakasih
kepada para dewa.
4. Norai adalah jamuan makan bersama para peserta matsuri yang dilakukan pada akhir
upacara Shinto. Makanan yang dimakan adalah sessajian yang telah disediakan bagi para
dewa dan sudah di doakan oleh kannushi (pendeta Shinto)
2.2. Perbedaan Matsuri di Tiga Kota Besar
Terdapat tiga matsuri terbesar di Jepang, yaitu Gion Matsuri yang dilaksanakan di Yasakajinja, Kyoto pada bulan Juli, Tenjinmatsuri yang dilaksanakan di Osaka Temmangu, Osaka,
pada tiap tanggal 24-25 Juli dan Kanda Matsuri yang dilaksanakan di Kanda Myjin, Tokyo,
7

pada bulan Mei. Pada bagian ini, penulis akan menjelaskan lebih lanjut mengenai masingmasing matsuri
Kanda Matsuri
Kanda Matsuri adalah festival yang diadakan pada pertengahan Mei, pada tahun-tahun
dengan angka ganjil. Pada tahun genap, diadakan Sanoo Matsuri. Acara festival ini dirayakan
sepanjang minggu, dengan prosesi arakan sepanjang kota Tokyo pada hari Sabtu.
Kanda Matsuri adalah festival untuk menghormati dewa di kuil Kanda (Kanda Myojin), yang
merupakan kuil untuk tiga dewa : Daikokuten - dewa panen, Ebisu - dewa nelayan dan
pebisnis dan Taira Masakado penguasa feodal di Jepang pada abad 10 yang di-dewakan.
Kanda Matsuri ( ) Atau Festival Kanda, merupakan salah satu dari tiga festival Shinto
besar di Tokyo, bersama dengan Fukagawa Matsuri dan Sanno Matsuri. Festival ini dimulai
pada awal abad ke-17 sebagai perayaan kemenangan yang menentukan Tokugawa Ieyasu di
pertempuran Sekigahara dan dilanjutkan sebagai tampilan kemakmuran Keshogunan
Tokugawa selama periode Edo. 7
Selain itu, bentuk saat festival juga diadakan untuk menghormati Kami dari Kanda Myojin.
Festival ini digelar pada hari Sabtu dan Minggu terdekat dari 15 Mei, tetapi karena bergantian
dengan Sanno Matsuri, hanya diadakan pada tahun bernomor ganjil. Pada tahun-tahun ini,
festival berlangsung di Kuil Kanda di Kanda, Tokyo serta kabupaten sekitar Tokyo pusat.
Parade menonjol melibatkan sekitar lebih dari 200 mikoshi, selain musisi, penari dan
kendaraan hias.
Daya tarik utama yang perlu disaksikan di tahun-tahun ganjil adalah parade pada hari Sabtu,
ketika sekitar 300 orang berbaris melalui pusat distrik Tokyo seperti Kanda, Nihombashi,
Otemachi, Marunouchi, dan sebagainya. Kendaraan berhias dalam festival ini berbentuk unik
dan biasanya mewakili suatu keluarga maupun grup. Kuil portabel dengan phoenix yang
menghiasi atap melambangkan perlindungan dan penunjuk arah , serta burung air mizudori
yang melambangkan perlindungan terhadap kebakaran.8
Tenjin Matsuri

7 Todd Wojnowski. 2013. Kanda Matsuri: One of Tokyo's most famous festivals.
Japan Travel, Diakses dari <http://en.japantravel.com/view/kanda-matsuri0>,
tanggal 8 November 2014
8

Tenjin Matsuri telah menyebar luas dari Kuil Tenjin atau TenmanGu ke seluruh Jepang.
Festival ini dirayakan untuk Sugawara Michizane (845-903), yang didewakan sebagai Tenjin
setelah kematiannya dan dianggap sebagai dewa sastra. Festival ini dimulai sekitar tahun 950.
sebagai ritus pemurnian.. Tenjinmatsuri ( ) adalah festival tahunan (matsuri) yang
diselenggarakan di kota Osaka oleh kuil Osaka Temmangu pada tanggal 24 Juli dan 25 Juli.
Pembukaan festival (yomiya) diselenggarakan tanggal 24 Juli, sedangkan puncak perayaan
berupa prosesi darat (riku togyo) dan prosesi perahu (funa togyo) dilangsungkan pada tanggal
25 Juli.
Festival Tenjin dibuka di Kuil Temmangu dengan pemukulan dari Moyooshi Daiko, drum
dengan diameter sekitar lima meter. Itu terletak datar di keranjang dan dipukul oleh beberapa
orang, yang dikenal sebagai Ganji, memakai topi merah yang tinggi. Peserta lain dalam
prosesi melakukan berbagai usaha untuk mencegah drumer memukul drum. Mereka
menghilangkan alas di mana drum diletakkan dan memiringkannya ke segala arah, tetapi
drumer tetap memukul drum dengan marahmya. Drum diikuti oleh seorang tokoh bertopeng
di atas kuda yang mewakili Sarutahiko, dewa yang memimpin semua dewa lainnya di Jepang.
Ada Singa Penari untuk mengusir roh jahat, anak-anak berkostum, dan berbagai gerobak dan
tandu yang membawa pejabat lokal dan walikota Osaka.9
Parade dimulai dengan upacara keagamaan Shinto di mana ruh dewa Tenjin diantar dari kuil
ke mikoshi nya, atau kuil portabel. Sebuah mikoshi dijadikan tempat tinggal sementara bagi
dewa dan roh. Mikoshi tersebut dihiasi candi miniatur yang diatur di atas tandu. Dibutuhkan
tim orang kuat untuk memanggul di pundak mikoshi melalui jalan-jalan. Prosesi mikoshi
memberikan dewa kesempatan untuk mengunjungi orang-orang dan melihat tingkat
kesejahteraan. Mikoshi dari sejumlah dewa lain juga berpartisipasi dalam parade Tenjin
festival. Di malam hari, parade bergerak ke sungai, dengan berbagai tongkang dan kapal yang
membawa sinar lentera.

8 Kanda Matsuri. Japan National Tourism Organization. Diakses dari


<http://www.jnto.go.jp/eng/location/spot/festival/kanda.html>, tanggal 8
November 2014
9 Tenjin Matsuri, The Free Dictionary,
<http://encyclopedia2.thefreedictionary.com/Tenjin+Matsuri>, diakses tanggal
08 November 2014
9

Sungai kawa yang berada di tengah kota Osaka dipenuhi lebih dari 100 perahu yang
melakukan prosesi dan dimeriahkan dengan pesta kembang api. Perahu yang berisi pengikut
kuil Osaka Temmangu datang dari arah berlawanan dan berpapasan dengan perahu yang
membawa Gohren. Para sponsor dan undangan lainnya juga dapat naik di atas perahu yang
tidak termasuk dalam kelompok prosesi. Penonton yang berada di tepi sungai juga bisa
menyaksikan pesta kembang api dan pertunjukan Kagura, Danjiribayashi, Noh dan Rakugo
yang diadakan di atas perahu.
Perayaan Tenjinmatsuri juga dilangsungkan berbagai tempat di Jepang oleh kuil Shint yang
menyandang sebutan kuil Tenjin, tapi festival Tenjinmatsuri di Osaka merupakan festival
yang paling terkenal. Tenjinmatsuri adalah salah satu dari tiga festival terbesar di Jepang
bersama-sama dengan Kanda Matsuri di (Tokyo) dan Gion Matsuri (Kyoto).
Selama festival Tenjin, orang-orang dari Osaka menghormati dewa ilmu Tenjin dalam ritual
Shinto. Seorang anak dipilih untuk memainkan peran Tenjin dalam upacara ini. Anak yang
berperan sebagai Tenjin membawa tombak-seremonial, kapak bergagang panjang yang
disebut hoko dalam bahasa Jepang. Dalam ritual ini hoko merupakan penyakit yang
mengganggu kota. Upacara hoko dimulai di kuil Temmangu dengan ritual yang mencakup
tari dan doa. Pada akhir upacara, para pejabat kuil memberikan hoko kepada anak yang
memerankan Tenjin. Anak dan penjaga kuil berjalan bersama-sama ke sungai dan naik perahu
kecil berwarna putih dengan pohon ramping ditempatkan di depan dan di belakang. Seorang
pendayung lalu mengarahkan perahu ke tengah sungai. Setelah melakukan doa dan ritual,
anak tersebut kemudian melempar tombak itu dari kapal, yang melambangkan penghapusan
penyakit di kota tersebut.
Gion Matsuri
Gion Matsuri adalah festival musim panas kuil Yasaka yang merupakan salah satu festival
terbesar di Jepang selain Osaka Tenjin Matsuri dan Tokyo Kanda Matsuri. Festival ini
memiliki sejarah yang panjang dari 1,100 tahun yang lalu. Menurut tradisi, upacara ini sudah
mulai ada sejak 12 abad silam pada masa pemerintahan kaisar Seiwa. Tujuannya adalah untuk
menolak bahaya penyakit sampar. Ketika sebuah epidemi menyapu Kyoto dan banyak
warganya meninggal, saat itu, Kyoto adalah ibukota Jepang. Seorang saudara dari Dewi
Matahari tinggal di Gion (sekarang disebut Yasaka) sebuah Kuil di sana. Kepala pendeta
memsang enam puluh enam tombak pada tandu-kuil portabel, tertutup dan dihiasi dengan
rumit. Tandu ini kemudian dipanggul di dua kutubnya di bahu orang-orang yang
10

membawanya ke taman Kaisar. Ajaibnya, wabah berakhir dengan cepat. Dalam rasa syukur,
pendeta memimpin prosesi melalui jalan-jalan kota. Sejak saat itu, Kuil Yasaka telah menjadi
tempat dari festival musim panas yang sangat besar di mana prosesi ini terulang. Satu-satunya
gangguan dari tradisi ini adalah selama Perang Onin (1467-1477), yang sebagian besar
menghancurkan kota.
Gion Matsuri () adalah festival tahunan (matsuri) yang diadakan di Kyoto selama satu
bulan penuh di bulan Juli. Perayaan dimulai pada tanggal 1 Juli yang ditandai dengan ritual
Kippu iri dan diakhiri ritual Nagoshinoharae pada tanggal 30 Juli. Puncak-puncak perayaan
Gion Matsuri berupa:

Yoiyoiyama (malam sebelum Yoiyama, 15 Juli)


Yoiyama (malam sebelum prosesi, 16 Juli)
Yamaboko-junk (prosesi Yamaboko, 17 Juli)

Yamaboko adalah istilah untuk Yama dan Hoko. Yama adalah kendaraan beroda (float) besar
dari kayu dengan hiasan megah dan ditarik oleh banyak orang. Hiasan kendaraan (kenshhin)
pada Yama berupa benda-benda keagamaan dan benda-benda seni seperti karpet yang
didatangkan dari Eropa dan Tiongkok melalui Jalan Sutra. Perdagangan dengan Dinasti Ming
mencapai puncaknya pada zaman Muromachi, sehingga motif dari luar negeri banyak
dipamerkan dalam Gion Matsuri. Masing-masing Yama mempunyai tema yang biasanya
merupakan cerita dongeng yang berasal dari Tiongkok.
Hoko adalah jenis Yama dengan menara menjulang tinggi yang di ujung paling atasnya
terdapat hoko (katana dengan mata di dua sisi) walaupun ada juga Hoko yang tidak
bermenara. Hoko juga dijadikan panggung untuk kelompok orang berpakaian Yukata yang
terdiri dari pemain musik Gionbayashi dan peserta yang berkesempatan naik karena
memenangkan undian hasil membeli Chimaki atau Gofu (semacam jimat). Musik
Gionbayashi yang menurut telinga orang Jepang berbunyi "Kon-chi-ki-chin" baru menjadi
tradisi Gion Matsuri pada zaman Edo.
Ada dua puluh sembilan hoko atau kendaraan hias "tombak" dan dua puluh dua lebih kecil
yama atau kendaraan hias "gunung". Hoko terbesar seberat sepuluh ton dan dapat berukuran
hingga tiga puluh meter; mereka terlihat seperti menara yang sangat rumit di atas roda,
dihiasi dengan lukisan Cina dan Jepang dan bahkan permadani Perancis. Musisi bermain
seruling dan drum di bawah atap yang dipernis, dimana dua orang lain melemparkan jerami

11

lambang keberuntungan kepada orang banyak ketika kereta hias ditarik perlahan-lahan
dengan tali, di atas roda kayu besar, melalui jalan-jalan. Kereta hias Yama hanya seberat
sekitar satu ton dan dipikul pada tiang-tiang yang panjang oleh tim pria. Boneka berukuran
manusia diletakkan pada platform di atas masing-masing kereta hias mewakili karakter dalam
cerita setiap kereta hias.
2.3. Matsuri di Masa Kini, Partisipasi Masyarakatnya, dan Biaya Pelaksanaan.
Masyarakat Jepang adalah masyarakat tradisional yang modern. Bisa disebut seperti ini
dikarenakan masyarakat Jepang tetap memegang kuat tradisi budaya tradisionalnya di tengahtengah kemodernan yang mereka miliki. Kita lihat bahwa masyarakat memiliki keselarasan
dalam mejalani kehidupannya, selayaknya konsep (wa) yang berarti "keharmonian". Oleh
karena itu, masyarakat Jepang berusaha semaksimal mungkin menyeimbangkan unsur budaya
modern dan budaya tradisional yang ada di Jepang mulai dahulu hingga sekarang. Tak
terkecuali pada prosesi matsuri yang mereka gelar tiap tahunnya.
Dewasa ini penyelenggaraan matsuri yang dilaksanakan oleh orang Jepang mengandung dua
makna, yaitu makna pertama seperti yang dinyatakan oleh Kunio Yanagita (1982) bahwa
matsuri sebagai Nihon Jin Rashisa atau kekhasan orang Jepang dan kokoro zuku koto atau
kesadaran yang selalu ada dalam jiwa orang Jepang. Maksud kekhasan dan kesadaran ini ada
dalam diri orang Jepang karena dengan berbagai kegiatan masturi yang selalu mendampingi
kehidupan orang Jepang yang tampak dalam penyelenggaraan matsuri yang bersifat ritual dan
periodik yang di dalamnya mengandung unsur keagamaan, karena dilaksanakan dengan
tujuan menyembah dewa dan juga untuk memohon kepada dewa bagi kesejahteraan,
kebaikan dan dijauhkan dari marabahaya. Biasanya matsuri-matsuri yang masih kental nilai
agama dan kepercayaan ini sekarang kebanyakan hanya diselenggrakan di desa oleh anggota
ie (sistem kekerabatan dalam masayarakat Jepang yang bentuknya mengambil keluarga besar
yang anggotanya terdiri dari mereka yang masih mempunyai hubungan darah). Hal ini
disebabkan karena era modern menuntut hidup dengan bentuk keluarga kecil dan tinggal
terpencar. Pelaksanaan matsuri dengan makna pertama ini mulai jarang ditemukan dalam
keluarga-keluarga Jepang, khususnya masyarakat yang tinggal di kota-kota besar.
Makna kedua dari penyelenggaraan matsuri dewasa ini adalah sebagai hiburan. Jenis matsuri
ini berkembang di kota-kota besar maupun desa dan diselenggarakan oleh orang Jepang yang
tinggal di kota dan diselenggarakan oleh kelompok-kelompok tertentu yang tinggal dekat
kuil. Namun, Kunio Yanagita (1982) menjelaskan bahwa matsuri yang bermakna hiburan ini
12

tetap memiliki unsur ritual karena dalam penyelenggarannya masih menegakkan umbulumbul sebagai yang mempunyai makna sebagai tangga tempat turun naiknya dewa pada saat
matsuri berlangsung. Ciri yang membedakan dengan penyelenggaraan matsuri bermakna
hiburan yaitu adanya kelompok penonton yang meramaikan penyelenggaraan matsuri itu.
Kelompok penonton yang datang meramaikan matsuri itu bukan untuk ikut berdoa, tetapi
mereka hanya sekadar ikut serta menjadi penonton dan memeriahkan matsuri tersebut.
Mereka hanya melihat keindahan dari hiasan-hiasan dan perlengkapan matsuri yang
ditampilkan dalam penyelenggaraan matsuri.
Di masa kini matsuri dilaksanakan bukan oleh anggota keluarga yang mempunyai hubungan
darah serta tidak diselenggarakan pada malam hari lagi. Matsuri diselenggarakan pada siang
hari oleh kelompok tertentu yang tidak mempunyai hubungan darah, bahkan tidak
mempunyai hubungan kerabat. Salah satu penyelenggaraan matsuri dengan makna hiburan
tampak pada penyelenggaraan Gion matsuri sebagai matsuri musim panas terbesar di Gion,
sebagai bagian kota Kyoto yang pada awalnya dilaksanakan hanya oleh keluarga kaisar atau
keluarga bangsawan. Dengan terjadinya perubahan struktur masyarakat dari masyarakat yang
ditopang oleh hasil pertanian menuju ke masyarakat industri dengan berbagai variasi
pekerjaan menyebabkan pelaksanaan Gion matsuri dilaksanakan bukan lagi matsuri dari
kalangan atas masyarakat Jepang. Berkembangnya masyarakat perkotaan mengakibatkan
Gion matsuri menjadi matsuri perkotaan yang dipelopori oleh kelompok pedagang sebagai
penyelenggara.
Penyelenggaraan Gion matsuri sebagai salah satu contoh matsuri di masa kini merupakan
peristiwa terjadinya pertemuan antara manusia dan manusia. Matsuri ini mempunyai makna
sosial tersendiri bagi orang Jepang karena kegiatan ini merupakan wadah untuk
melaksanakan berbagai macam kegiatan sosial secara bersama-sama, seperti bergotong
royong yang menunjukan rasa solidaritas orang Jepang yang bertujuan untuk mempererat
kebersamaan. Bagi orang Jepang, khususnya mereka yang tinggal di sekitar Kyoto, Gion
matsuri selain sebagai upacara keagamaan juga merupakan suatu festival (perayaan) yang
diselenggarakan secara meriah dan melibatkan seluruh masyarakat Kyoto dan dilaksanakan
secara periodik. Biaya untuk melakukan matsuri itu pun dilakukan secara patungan atau tiap
kelompok yang ikut serta tadi menyumbang dana. Kebanyakan kostum dan peralatan yang
dipakai juga dibuat sendiri dengan biaya mandiri. Biaya tambahan bisa mungkin didapat dari
pengajuan dana ke perintah daerah. Tak jarang juga ada penarikan retribusi atau pun
sumbangan seikhlasnya bagi penonton yang masuk ke wilayah perayaan matsuri.
13

BAB III
ANALISA

Festival Matsuri yang dilakukan di musim panas di tiga kota di Jepang hingga saat ini masih
dilaksanakan. Tujuan utama dari festival ini merupakan ritual penyembahan, dan tidak hanya
dilakukan dengan festival saja namun ada perayaan yang dilakukan dalam ie. Namun, ketika
apa yang dilakukan dalam ie semakin ditinggalkan, festival Matsuri masih ramai diadakan.
Padahal biaya yang dikeluarkan dalam mengadakan festival tentunya lebih besar dan
meskipun bisa mendapatkan bantuan oleh pemerintah setempat, persiapan yang harus
dilakukan individu masih membebani. Apalagi di era modern dimana masyarakat mulai
menghindari hal-hal yang tidak efektif, suatu fenomena aneh ketika festival Matsuri ini masih
tetap diadakan.
Alasan yang paling mendasar adalah adanya perspektif orang Jepang. Yaitu bagaimana orang
Jepang menerima perbedaan dalam berbagai ajaran agama yang mereka terima, semuanya
serba harmonis dan serasi, semuanya serba bermakna dan berfungsi dalam kehidupan orang
dan masyarakat Jepang, sesuai dengan perkembangan zamannya baik dari sisi waktu maupun
dari sisi ruang.

10

Juga bagaimana orang Jepang sangat percaya dengan mitos-mitos yang

berkembang di Jepang. Hal ini berpengaruh banyak terhadap bertahannya festival Matsuri di
Jepang modern. Karena Matsuri sendiri terlahir dalam ajaran Shinto yang merupakan
kepercayaan mayoritas penduduk Jepang
Bisa dikatakan bahwa Matsuri adalah simbol yang muncul atas budaya yang menunjukkan
identitas orang Jepang. Matsuri adalah bentuk percampuran kepercayaan shinto dan budha
menunjukkan bahwa masyarakat Jepang sangat terbuka membentuk Jepang saat ini yang
tidak terpetakan oleh kepercayaan. Banyaknya kepercayaan yang masuk di Jepang tidak
lantas membuat Jepang terpecah, justru membawa integrasi di masyarakat Jepang. Matsuri
10 Siti Dahsiar Anwar. Cara Berpikir Orang Jepang: Sebuah Perspektif Budhisme. Makara, Sosial Humaniora,
Vol. 8, No. 3, Desember 2004: 120-125

14

juga simbol kepercayaan orang Jepang terhadap dewa-dewa yang dipercaya merupakan
leluhur mereka.11 Hal ini menunjukkan makna Matsuri sendiri bagi orang Jepang, sebagai
manifestasi dari budaya dan kepercayaan yang telah berkembang lama di Jepang. Oleh
karena itulah festival Matsuri tetap dipertahankan.
Yang kedua adalah makna makna yang terkandung dalam Matsuri itu sendiri yaitu Nihon Jin
Rashisa atau kekhasan orang Jepang dan kokoro zuku koto atau kesadaran yang selalu ada
dalam jiwa orang Jepang. Konsep yang paling sering dikaitkan dengan orang Jepang adalah
Nihon Jin, dimana orang Jepang sangat menjunjung tinggi budaya dan sangat bangga dengan
identitas

mereka

sebagai

orang

Jepang.

Matsuri

adalah

simbol

budaya

yang

merepresentasikan Jepang. Bagaimana Jepang menghargai kepercayaan, dewa, dan arwah


leluhur. Dengan kenyataan tersebut, tentu keberadaan matsuri dipertahankan. Karena dengan
mempertahankan budaya Matsuri, maka rakyat Jepang juga menjunjung identitas Nihon Jin.
Lalu, apabila dilihat dari pola pikir masyarakat Jepang, keberadaan Festival Matsuri di
Jepang hingga saat ini merupakan pencerminan dari Nihonjin no Shii Hoho. Hal tersebut
menyebabkan munculnya beberapa pemahaman mengenai matsuri dalam masyarakat Jepang,
yaitu adanya anggapan bahwa dunia fenomena merupakan hal yang mutlak, Genseshugi
(pemahaman keduniawian), serta menerima dan mengakui tabiat manusia yang alami.12
Pertama, masyarakat Jepang percaya bahwa dunia fenomena merupakan hal yang mutlak.
Maksudnya adalah dunia fenomena atau dunia saat ini manusia hidup merupakan
penggambaran yang sangat mirip dengan kehidupan setelah kematian. Sehingga manusia di
dunia dapat dengan mudah mencapai satori dan menjadi dewa13 seperti Kami asalkan mereka
memiliki kewibawaan atau kemuliaan yang diakui oleh manusia lainnya. Dalam perayaan
Matsuri, pemujaan dan rasa syukur tidak hanya diberikan kepada Kami, tetapi juga kepada
dewa yang dahulunya adalah manusia yang dihargai.

11 Hendry Joy, Understanding Japanese Society, Croom Helm, New York, 1995, p.
9
12 Siti Dahsiar Anwar. Cara Berpikir Orang Jepang: Sebuah Perspektif Budhisme. Makara, Sosial
Humaniora, Vol. 8, No. 3, Desember 2004: 120-121
13 Siti Dahsiar Anwar, p. 121
15

Matsuri Tenjin, merupakan salah satu perayaan penghormatan kepada Dewa Ilmu, Dewa
Tenjin. Dahulu Tenjin bernama Sugawara-no-Michizane. Pada Zaman Meiji ia adalah seorang
politisi terkenal dari Kyoto. Setelah pengasingannya ke Dazaifu, Sugawara mengabdikan sisa
hidupnya untuk belajar dan menjadi ahli sastra. Karya-karyanya menjadikan Sugawara
menjadi orang berilmu yang dianggap mulia. Sehingga, masyarakat saat itu menganggapnya
sebagai transformasi dewa.
Pada festival Kanda Matsuri, perayaan diberikan kepada keluarga Tokugawa pada Zaman
Edo sebagai penjelmaan dewa selain Kami. Pada saat itu, Tokugawa Ieyasu berhasil menjadi
pemimpin Jepang. Ia mendapatkan kekuasaannya setelah memenangkan pertempuran
Sekigahara. Selain itu, keluarga Tokugawa dianggap sebagai penjelmaan dewa, karena telah
mampu memberikan kemakmuran kepada masyarakat Jepang di Zaman Edo.
Kedua, pemahaman masyarakat Jepang terhadap keduniawian atau Genseshugi. Reinkarnasi
merupakan hal yang sangat mungkin dan mudah. Masyarakat Jepang percaya bahwa untuk
dilahirkan kembali ke dunia manusia, mereka cukup dengan menyatakan niatnya untuk
meminta ampun dan menyebut nama Budha (Kami). 14 Dengan begitu maka siapapun akan
terselamatkan dan dapat terlahir kembali di dunia manusia, dimana dunia tersebut merupakan
tujuan utama dari kehidupan.
Perayaan Matsuri mencakup beberapa unsur utama. Dalam mempermudah terjadinya
reinkarnasi bagi masyarakat Jepang, unsur utama yang dimaksudkan adalah Oharai, Norito,
dan Shinsen. Oharai atau pensucian dimaksudkan untuk menghilangkan kejahatan dan
kesalahan. Dengan begitu manusia akan kembali bersih jauh dari dosa-dosa yang telah
dilakukan sebelumnya. Biasanya dilakukan oleh pendeta Shinto menggunakan Haraigushi.
Norito atau pembacaan doa-doa dilakukan oleh pendetan Shinto. Berisi pemujaan terhadap
dewa-dewi dan ucapan terima kasih serta syukur. Norito selalu dilengkapi dengan Shinsen
atau persembahan. Hal ini dimaksudkan agar Kami mau mendengarkan doa, niat baik untuk
meminta ampun, serta ucapan syukur dan pemujaan yang dilakukan oleh manusia. Dengan
begitu diharapkan upaya manusia untuk melalui jalan reinkarnasi akan dimudahkan.
Cara beripikir masyarakat Jepang yang ketiga adalah pengakuan terhadap tabiat alami
manusia. Manusia dilahirkan dengan berbagai macam nafsu. Bahkan ketika melaksanakan
kegiatan keagamaan sekalipun, nafsu merupakan hal yang tidak dapat dipisahkan. Sehingga
14 Siti Dahsiar Anwar, p. 122
16

masyarakat Jepang sangat menghargai dan menerima tabiat alami tersebut. 15 Pencerminan
terhadap pengakuan tabiat tersebut dapat dilihat dari penyelenggaraan festival Matsuri itu
sendiri. Penyelenggaraan Matsuri pada satu sisi merupakan kegiatan ritual keagamaan yang
dilakukan oleh masyarakat Jepang sebagai pelaksanaan pemujaan kepada dewa-dewi,
mengucapkan syukur, dan meminta perlindungan serta pengampunan. Namun di sisi lain,
penyelenggaraan Matsuri dengan mengadakan festival dalam skala yang besar menunjukkan
hasrat manusia untuk bersenang-senang. Pembiayaan terhadap festival itu sendiri yang tidak
kecil mengindikasikan bahwa kesederhanaan tidak diterapkan sebagai upaya menahan nafsu
manusia. Festival Masturi menyajikan pemuas atas rasa haus manusia akan kesenangan.
Makna Matsuri saat ini tidak lagi hanya sebatas dengan ritual keagamaan, tetapi juga sebagai
sumber hiburan yang terdapat pada tarian, parade, serta makanan yang disajikan.
Perayaan di masing-masing kota juga mengandung makna masing-masing yang menjunjung
sejarah kemenangan dan kejayaan Jepang masa lalu serta dewa yang dianggap memegang
peran penting di kota festival tersebut berlangsung. Seperti peringatan kemenangan yang
Tokugawa Ieyasu di pertempuran Sekigahara dan gambaran kemakmuran Keshogunan
Tokugawa selama periode Edo di Tokyo, festival yang dirayakan untuk Sugawara Michizane
yang dinobatkan sebagai Dewa Pengetahuan (God of Studies) di Osaka, dan festival untuk
menolak bahaya penyakit sampar sejak pemerintahan kaisar Seiwa di Kyoto. Tujuan utama
dilakukannya festival Matsuri menunjukkan identitas orang Jepang yang kuat, sedangkan
keberadaan festival yang masih bertahan hingga saat ini menunjukkan kebanggaan
masyarakat Jepang atas leluhur dan bangsanya.
Selain itu, sesuai dengan konsep yang dijelaskan Nelson Grabun mengenai budaya
masyarakat dalam melakukan rekreasi dengan menamainya play, pay, and pray.16 Dimana
dalam masyarakat Jepang, rekreasi adalah hal yang wajib dilakukan dan biasanya dalam
rekreasi yang mereka kunjungi terdapat kuil sehingga rekreasi dilakukan sekaligus dengan
berdoa. Maka dengan diadakannya festival Matsuri di musim panas ini akan menguntung di
bidang pariwisata dengan terpenuhinya tujuan pray dan play, mengingat kebiasaan yang
dilakukan masyarakat Jepang. Konsep pay juga terlihat ketika beberapa festival Matsuri
mendapatkan dana dari sumbangan pengunjung festival. Hal ini juga memperkuat alasan
15 Siti Dahsiar Anwar, p. 123
16 Hendry Joy, Understanding Japanese Society, Croom Helm, New York, 1995, p.
181
17

mengapa festival Matsuri di musim panas tetap dilakukan hingga sekarang. Menjadi alasan
logis mengapa festival ini tetap diadakan, karena selain alasan budaya dan kepercayaan,
festival Matsuri musim panas juga membawa keuntungan secara ekonomis sekaligus menjadi
daya tarik tersendiri bagi wisatawan yang berasal dari luar Jepang.

BAB IV
KESIMPULAN

Dari penjelasan sebelumnya, dapat dilihat bahwa perayaan matsuri masih dilaksanakan oleh
masyarakat Jepang hingga sekarang karena tiga faktor. Faktor pertama adalah adanya
kepercayaan masyarakat Jepang yang kuat akan mitos-mitos yang telah diturunkan oleh
nenek moyang mereka. Hal ini juga dipengaruhi oleh nilai-nilai Shinto dan Buddhism yang
dianut oleh sebagian besar masyarakat Jepang. Faktor kedua adalah bagaimana matsuri
menjadi bentuk aktualisasi mereka sebagai bangsa Jepang. Matsuri menggambarkan tradisi
mereka dari masa ke masa dan seringkali menggambarkan perjuangan mereka dari masa
lampau hingga mampu men jadi bangsa yang berhasil seperti sekarang. Faktor terakhir adalah
matsuri sebagai sarana rekreasi dan pariwisata. Matsuri, meskipun membutuhkan biaya yang
besar, tetap dilaksanakan di beberapa kota karena menjadi sarana rekreasi bagi warga sekitar
dan juga menjadi daya tarik wisata, sehingga matsuri juga mendatangkan pendapatan bagi
warga setempat.

18

DAFTAR PUSTAKA.
Kanda

Matsuri.

Japan

National

Tourism

Organization.

<http://www.jnto.go.jp/eng/location/spot/festival/kanda.html>,

tanggal

Diakses
8

dari

November

2014
Makna

Matsuri

dalam

Kehidupaan

Orang

Jepang.

STBA

Lia

(online).

<http://www.stbalia.ac.id/modules.php?op=modload&name=News&file=article&sid=
23> diakses tanggal 8 November 2014
Matsuri. Japan Guide (online). <http://www.japan-guide.com/e/e2063.html> diakses
tanggal 8 November 2014

Matsuri. Kodansha Encyclopedia of Japan. 1998. Japan : Kondansha International Ltd.


Tenjin

Matsuri,

The

Free

Dictionary,

<http://encyclopedia2.thefreedictionary.com/Tenjin+Matsuri>, diakses tanggal 08


November 2014
Anwar, Siti Dahsiar. Cara Berpikir Orang Jepang: Sebuah Perspektif Budhisme. Makara,
Sosial Humaniora, Vol. 8, No. 3, Desember 2004
Cremers, Agus. 1997. Antara Alam dan Mitos. Flores : Nusa Indah.
Harada, Toshiaki, et.al. Matsuri: Festival and Rite in Japanese Life Institute for Japanese
Culture

and

Classics,

Kokugakuin
19

University.

1988.

Diakses

dari

<http://www2.kokugakuin.ac.jp/ijcc/wp/cpjr/matsuri/index.html> pada tanggal 8


November 2014
Joy, Hendry. 1995. Understanding Japanese Society, Croom Helm, New York
Wojnowski, Todd. 2013. Kanda Matsuri: One of Tokyo's most famous festivals. Japan
Travel, Diakses dari <http://en.japantravel.com/view/kanda-matsuri0>, tanggal 8
November 2014

20

Anda mungkin juga menyukai