Anda di halaman 1dari 15

TUGAS FOLKLOR

BUDDHA, SHINTO, TAOISM, CONFUSIANISM

Oleh :

Kelompok 4

Irviandi Yonanta (1510752022)

Frizky Bless Yuzu (1610752035)

Azura Syadri (1710752007)

Annisa Alurrata Aini (1710751008)

Tauliyah Hakim Mudaris (1710753008)

PROGRAM STUDI SASTRA JEPANG

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS ANDALAS

PADANG

2020
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Hal rumit tentang Konfusianisme populer adalah bahwa, untuk memahaminya, Anda
perlu tahu sedikit tentang Taoisme (Taoisme), atau Shinto dalam kasus Jepang, dan
Buddha. Sama seperti agama Kristen menurut para profesor teologi berbeda dari yang
dilakukan orang Kristen setiap hari, Konfusianisme populer berbeda dengan pemahaman
akademis tentang Konfusianisme. Konfusianisme populer mengandung unsur-unsur
Konfusianisme, Daoisme atau Shinto, dan Buddhisme, serta gerombolan kepercayaan rakyat
lainnya. Ini karena Taoisme (atau Shinto dalam kasus Jepang), Buddhisme, dan
Konfusianisme, semuanya telah memainkan peran penting dalam membentuk budaya
Konfusianisme. Budaya Konfusianisme populer bersifat politeistis, memuliakan, jika tidak
harus percaya, banyak dewa yang berbeda. Agama semacam ini kadang-kadang disebut
agama alamiah, berbeda dengan agama-agama yang diwahyukan seperti Yudaisme, Kristen,
dan Islam. Karena mereka adalah penjumlahan dari perkembangan historis adat istiadat
budaya, mustahil untuk memberikan definisi ringkas tentang Daoisme dan Shinto, atau
meringkas apa prinsip agama pusat mereka.

1.2 Rumusan masalah

1. Apa itu Buddha?


2. Apa itu Shinto?
3. Apa itu Taoism?
4. Ap aitu Confusianism?

1.3 Tujuan penulisan

Berdasarkan latar belakang, dan rumusan masalah di atas, adapun tujuan penulisan ini
adalah untuk mengetahui lebih jauh mengenai Buddha, Shinto, Taoism, dan Confusianism.
Serta untuk melengkapi tugas mata kuliah Folklor.
BAB II
ISI

2.1 BUDDHA

1. Sejarah Kelahiran Buddhisme


Sejarah Buddhisme ini tidak luput dari Siddartha Gautama sebagai pendirinya. Ia
adalah seorang pangeran dari klan Shakyamuni. Ayahnya adalah seorang raja besar bernama
Shuddhona dan ibu bernama Maya. Braden (1968: 118) menyatakan bahwa ‘Ibunya, Maya,
adalah seorang perempuan yang cantik. Adapun ayahnya seorang raja yang memiliki
kekayaan dan kekuasaan yang besar serta dikenal mementingkan aturan-aturannya’.

Ia lahir di kaki gunung Himalaya, tepatnya di taman Lumbini, pada abad ke-6. Kisah
kelahirannya adalah sebuah kisah yang penuh dengan magis. Berawal dari mimpi Ratu Maya,
ibunya. Saat itu sang ibu bermimpi bahwa ada seekor gajah putih yang masuk ke dalam
pinggangya tanpa rasa sakit. Pada saat bersalin, ia tidak melahirkan seperti kelahiran
biasanya. Bayinya, Siddharta, lahir dari pinggangnya. Kemudian bayi itu berputar tujuh kali
dan berkata bahwa ia dilahirkan untuk mencapai Bodhi (kesadaran) dan ini adalah kelahiran
terakhirnya. Sayangnya, beberapa hari setelah persalinan tersebut, Ratu Maya meninggal
dunia dan Siddartha diasuh oleh saudarinya.

2. Buddhisme Di Jepang
Menurut Hanayama (1966: 3) sesuai dengan Nihonshoki, catatan sejarah kronologi
Jepang, ajaran Buddhisme masuk ke wilayah Jepang pada tanggal 13 Oktober 552, di tahun
ketigabelas dari Dinasti Kimmei yang merupakan kaisar ke-29 Jepang.
Ajaran Buddhisme di Jepang masuk dengan adanya perantaraan bangsa Korea. Pada
saat itu, Korea dibagi menjadi tiga wilayah, yaitu wilayah Koma di utara, Shiragi, dan Kudara
yang keduanya terletak di bagian selatan. Penetrasi Buddhisme ini masuk ke Jepang saat
seorang penguasa Kudara bernama Seimeio mengirimkan salah seorang duta besarnya ke
Jepang. Duta besar ini sengaja diutus untuk menyebarkan ajaran-ajaran Buddhisme dengan
membawakan hadiah berupa patung Buddha yang terbuat dari perunggu dan juga bermacam-
macam kitab Sutra. Di sana, sang duta besar menceritakan tentang keluhuran ajaran-ajaran
Buddhisme dan bagaimana Buddhisme ini menyebar ke penjuru dunia. Kaisar Kimmei sangat
terkagum dengan keluhuran ajaran-ajaran Buddhisme dan juga keindahan patung Sang
Buddha sehingga dapat diterima.
Akan tetapi pendapat ini ditentang oleh Mononobe no Okoshi, konselor bidang
persenjataan dan Nakatomi no Kamako, pemuka kepercayaan Shinto. Mereka berpendapat
bahwa kekaisaran Jepang telah memiliki peribadatan dan kepercayaan sendiri. Jika ajaran
Buddhisme ini diterima, ditakutkan akan memicu kemarahan dari masyarakat Jepang itu
sendiri. Oleh karena tidak ada kesepakatan antara kedua belah pihak yang bertikai, maka
Mikado memutuskan untuk mengkolaborasikan ajaran dan tradisi Shinto dengan ajaran-
ajaran Buddhisme. Sayangnya, kolaborasi antara dua ajaran ini hanya terbatas bagi keluarga
kekaisaran dan khusus hanya klan Soga yang pro dengan ajaran Buddhisme ini.
Kaisar Yomei ini merupakan kaisar pertama yang mengakui dan menganut Buddhisme. Dari
masa inilah ajaran-ajaran Buddhisme Jepang mulai berkembang. Akan tetapi,
kepemimpinannya tidak begitu lama karena ia jatuh sakit. Keadaan Kaisar Yomei tidak
kunjung membaik, bahkan akhirnya meninggal dunia. Kabar kematiannya ini menimbulkan
kesedihan yang mendalam, terlebih pada kelompok-kelompok yang pro akan Buddhisme.
Kemudian ia digantikan oleh saudari perempuannya, Ratu Suiko dan dilanjutkan oleh anak
laki-lakinya yang bernama Pangeran Shotoku.
Pemerintahannya ini membawa angin segar untuk Buddhisme. Ia mendirikan fasilitas-
fasilitas memadai untuk menunjang perkembangan ajaran-ajaran Buddhisme, seperti
pendirian sekolah-sekolah Buddha dan institusi sentra pengajaran Buddha. Ia juga banyak
mengirimkan utusan dan pelajar ke China untuk mempelajari Buddhisme ini. Pada tanggal 1
Januari 594, Pangeran Shotoku berhasil mempersatukan dua klan yang terlibat perselisihan.
Masyarakat Jepang bersatu menganut Buddhisme dengan tetap mengkolaborasikannya
dengan kepercayaan Shinto yang mereka anut sebelumnya.
Pada tahun 622, Pangeran Shotoku meninggal dunia. Sepeninggalannya terjadilah
kekacauan yang ditimbulkan oleh klan Soga. Puncaknya, pada tahun 643, anak keturunan
Pangerang Shotoku dibantai oleh Soga no Iruka yang menjabat sebagai seorang menteri.
Pembantaian itu dilakukan di Istana pribadi mendiang Pangeran Shotoku, Ikaruga no Miya.
Sebenarnya, anak keturunan Pangeran Shotoku bisa saja menyerang balik klan Soga. Akan
tetapi hal itu tidak mereka lakukan karena mereka adalah pemeluk Buddhisme yang taat.
Dua tahun kemudian, Soga no Iruka dibunuh oleh Naka no Oe no Oji dan Nakatomi
no Kamako. Setelah itu, kepemimpinan dikembalikan pada Kekaisaran. Perombakan
pemerintahan ini dikenal dengan Reformasi Taika (perubahan besar-besaran).

Nakatomi no Kamako dinobatkan sebagai Kaisar Kotoku, sedangkan Naka no Oe no Oji


dinobatkan sebagai putra mahkota. Selama kepemimpinan tersebut, Buddhisme makin
berkembang dengan fasilitas-fasilitas yang diberikan Sang Kaisar. Pada masa itu juga, marak
sekali pembangunan kuil-kuil dan juga sentra pengajaran Sutra Ulambana. Untuk
mengapresiasi hal ini, maka diadakan Festival Urabon’e yang diadakan setiap musim panas
di Jepang. Kemudian kemempinan ini dilanjutkan oleh Ratu Saimei, ibu Naka no Oe no Oji.
Pada tahun 661, Naka no Oe no Oji naik tahta dan dinobatkan sebagai Kaisar Tenchi. Dengan
dukungan yang besar dari Kekaisaran Jepang ini, Buddhisme terus menerus berkembang dan
membentuk sekte-sekte baru

3. Buddhisme Jepang Pada Saat Ini


Setelah adanya Restorasi Meiji, aturan negara tidak mengizinkan lagi adanya
pendirian sekte dan kuil Buddha yang baru. Akan tetapi, setelah Perang Dunia Kedua usai,
terdapat beberapa perubaha aturan di Jepang. Salah satunya adalah izin untuk mendirikan
sekte, agama, dan kuil (1966: 100). Sayangnya, ajaran-ajaran luhur Buddhisme tidak lagi
menjadi sebuah dasar yang berlaku dalam masyarakat Jepang. Kini Buddhisme bukan sebuah
jalan hidup bagi mereka, tetapi hanya bagian dari budaya yang berakulturasi dengan
kepercayaan Shintoisme dan Kristiani.

2.2 SHINTO

1. Definisi Shinto
Shinto berasal dari dua karakter China yaitu 神 /shin yang berarti tuhan dan
道/dou yang berarti jalan. Dapat disebutkan bahwa 神道/Shinto berarti “jalan tuhan”. Seperti
sudah disebutkan di atas bahwa Shinto adalah agama warisan nenek moyang bangsa Jepang
dan para penganutnya melakukan upacara menyembah dewa atau kami dan menyembah
arwah leluhur. Masyarakat Jepang percaya bahwasanya meyakini keberadaan kami dan
melakukan upacara persembahan kepada kami akan mendapat perlindungan dari kami
tersebut dan akan terbebas dari bencana dan ketidakberuntungan. Sehingga banyak sekali
kami yang disembah berkaitan dengan alam seperti dewa matahari, dewa pohon, dewa air dan
lain sebagainya ( Ono : 1987). Dapat dikatakan bahwa agama Shinto adalah kombinasi dari
animisme, pemujaan pada alam semesta dan arwah nenek moyang.

Kuil tempat beribadah penganut Shinto adalah jinja yang tersebar di seluruh pelosok
negara Jepang. Jinja dikunjungi pada perayaan atau festival yang diadakan berdasarkan
kalender agama Shinto, pada saat seseorang ingin mendapat perlindungan dari dewa dan
ingin dikabulkannya keinginan-keinganan yang hendak dicapai dalam hidup. Selain di jinja,
ritual penyembahan dewa dan arwah leluhur dapat dilakukan di rumah. Tiap-tiap keluarga di
dalam rumahnya terdapat kamidana yaitu semacam miniatur jinja (Bunce : 1976).
Sebagaimana kita ketahui pada agama besar yang ada di dunia seperti Islam, Kristen dan
Budha, mempunyai kitab suci dan tokoh penyebar ajaran agama tersebut. Berbeda dengan
tiga agama di atas, Shinto tidak mempunyai kitab suci yang menjadi acuan bagi pemeluknya,
tidak mempunyai nabi atau tokoh yang diidolakan sebagai pendiri atau penyebar ajarannya
dan tidak ada organisasi atau lembaga yang mengajarkan tentang Shinto. (Bunce :1976).

Secara garis besar Shinto terbagi menjadi empat golongan besar yaitu Koshitsu Shinto
( Shinto Kerajaan ), Jinja Shinto ( Shinto Kuil ), Kyoha Shinto ( Shinto Sekte ) dan Minkan
Shinto ( Shinto Rakyat). ( Hori : 1990 ).

2. Sejarah dan Perkembangan Shinto

Sebelum terbentuknya negara Jepang sudah ada ritual keagamaan danfestival yang ber
kaitan dengan kekuatan gaib di luar manusia. Tujuandiadakan kegiatan ini adalah untuk mens
ucikan diri agar terhindar daribencana dan malapetaka dan untuk pemujaan kepada para dewa 
sebagaiungkapan rasa terima kasih atas hasil panen yang baik yang telahdiberikan oleh
kami.Masyarakat pada waktu itu juga menyembah arwahnenek moyang. Mereka beranggapa
arwah orang yang sudah meninggalakan menjadi kami
yang akan menjaga mereka dan anak cucunya yangmasih hidup untuk dapat hidup aman, seja
htera dan terhindar daribencana dan malapetaka.

Mitos terbentuknya negara Jepang tertulis dalam kojiki dan nihonshoki


yang merupakan cacatan tentang sejarah negara Jepang dariawal pembentukannya. Bahwa de
wa matahari Amaterasu Omikamimengutus cucunya yang bernama Niniginomikoto ke bumi 
Jepanguntuk memerintah di Jepang dan Jimmu Tenno anak dari Niniginomikoto adalah kaisar perta
ma Jepang dari klan Yamato. Ketika klanYamato mulai berkuasa di Jepang pada abad 3 M, kl
ani tidak hanyaberperan dalam pemerintahan tetapi juga berperan sebagai pendeta yangmenja
lankan ritualritual keagamaan sehubungan dengan pengakuannyasebagai titisan dewa matahar
i (Bunce : 1976

Pada masa pemerintahan Jinmu Tenno ini belum muncul istilahShinto. Istilah Shinto
baru muncul dan dikenal luas dalam kehidupanmasyarakat Jepang setelah masuk dan
diterimanya agama Budha dalampemerintahan dan kehidupan masyarakat Jepang. Untuk
membedakanagama Budha dengan agama yang sudah dipercayai dan dijalankan olehrakyat
Jepang maka dibuatlah istilah Shinto. Pada reformasi Taika (646M), Shinto dijadikan agama
negara dengan memasukkannya dalam salahsatu departemen dalam pemerintahan yang
disebut denganJingikan Dankuil Ise dijadikan kuil utama untuk menjalankan ritual dan
perayaanShinto secara nasional. Pada zaman ini agama Budha dan Konfusianismeyang
diterima melalui China dijalankan secara berdampingan denganShinto (Bunce : 1976).

Pada abad 7-8 masehi, sementara ajaran Budha dan Konfusianismemendominasi


Jepang, Shinto menjadi agama masyarakat dan berperansebagai mesin politik. Dalam
kehidupan masyarakat Jepang pada zamanHeian (794-1185), Shinto dan Budha tumbuh
berdampingan dan ritualkeagamaannya dijalankan sekaligus keduanya oleh rakyat Jepang.
Tidak ada pertentangan antara Shinto dan Budha karena dianggap dewa-dewayang dipuja
dalam Shinto terutama dewa matahari juga penjelmaan dariBudha sehingga pada masa itu
dikenal dengan sebutan Ryobu Shinto.Ryobu Shinto tidak berarti penyatuan dari agama
melainkanmelaksanakan peran masing-masing dalam kehidupan, contohnya dalamhal
pemujaan kepada Kami Adalah tanggung jawab pendeta Shintosementara penyelenggaraan
ritual kematian adalah tanggung jawabpendeta Budha. Bisa dikatakan ini semacam
pembagian tugas. Tetapisecara hirarki kedudukan Budha lebih tinggi daripada Shinto.

Semasa pemerintahan Ashikaga (1333-1568) agama Shintoterlupakan, demikian juga


ketika zaman Tokugawa (1615-1868). Padadua zaman tersebut agama Budha lebih mendapat
tempat dalampemerintahan. Memasuki zaman Meiji (1868-1945) ketika pemeritahandari
tangan shogun Kembali kepada kaisar, Shinto kembali mendapatperhatian oleh pemerintah.
Pada zaman Meiji ini didirikan Kokugakuin University Tempat dimana para pendeta Shinto
dididik dan agama Shintodijadikan sebagai agama negara dengan dibentuknya departemen
Shinto

.Setelah Jepang kalah dalam perang dunia dua dirubahnya undang-undang dasar
Negara Jepang tahun 1947, Shinto tidak lagi dijadikansebagai agama negara. Sejak saat itu
setiap warga negara Jepangmemiliki kebebasan dalam memilih agama dan menjalankan
ritualkeagamaan. Walaupun demikian warga negara Jepang tetap menjalankanritual-ritual
keagamaan Shinto seperti dijelaskan pada bagian berikut ini.

3. Penerapan Shinto dalam Kehidupan Bangsa Jepang

Sebagaimana sudah disebutkan sebelumnya bahwa Shinto adalah agama warisan dari nenek
moyang bangsa Jepang dan sampai sekarang ritual-ritual Shinto masih dijalankan oleh
sebagian besar masyarakat Jepang. Diantara ritual atau upacara Shinto yang masih dapat kita
temui sekarang adalah sebagai berikut, :

1. Ritual yang berkaitan dengan kehidupan individu ( tsukagirei ).

Dalam perjalanan kehidupan seorang individu berkebangsaan Jepang akan menjalani


ritual-ritual keagamaan yang terkait dengan Shinto. Diawali dengan individu pada saat
berumur lima bulan dalam kandungan ibunya, diadakan upacara atau ritual yang disebut
dengan obi-iwai. Setelah bayi lahir sebagai anggota baru dari satu keluarga maka ketika bayi
tersebut berumur tujuh hari diadakan upacara yang disebut dengan oshichiya. Kemudian bayi
tersebut dibawa ke jinja untuk pertama kali pada umur 32 hari bagi bayi laki-laki dan umur
33 hari bagi bayi perempuan, untuk mengikuti upacara yang disebut dengan hatsu-miyamairi.
Setelah anak mereka berumur 3, 5 dan 7 tahun dibawa ke jinja pada 15 November untuk
mengikuti perayaan shichi-go-san, untuk didoakan agar mendapatkan perlindungan dari
dewa. Beranjak dewasa diadakan seijinshiki yaitu upacara dewasa pada saat seorang anak
sudah beranjak dewasa dan berumur 20 tahun. Upacara ini dilaksanakan secara serentak di
seluruh Jepang. Bila sudah mendapatkan jodoh maka diadakan upacara pernikahan yang
disebut dengan kekkon shiki dan upacara terakhir yang diselenggarakan bagi seorang
individu di saat yang bersangkutan sudah meninggal dunia adalah nenkihoyo yaitu upacara
bagi keselamatan arwah.
2. Ritual yang dilakukan pada saat mengharapkan sesuatu disebut dengan nin-
i-girei.

Bila seseorang menginginkan sesuatu seperti ingin lulus ujian, mendapatkan jodoh,
mendapatkan pekerjaan yang baik dan lain sebagainya, maka individu tersebut akan
mengunjungi jinja memohon kepada kami agar keinginan-keinginan mereka terkabul.

3. Ritual yang dilaksanakan sepanjang tahun ( nenchuu gyouji ).

Dalam kalender Shinto banyak sekali festival atau matsuri yang diselenggarakan
setiap tahunnya. Masing-masing daerah mempunyai tradisi matsuri yang berbeda selain dari
matsuri yang lazim diselenggarakan di seluruh Jepang. Matsuri yang umum diselenggarakan
oleh seluruh masyarakat Jepang diantaranya adalah Obon matsuri, bonenkai, hatsumode dan
lain sebagainya. Festival ini diselenggarakan dalam rangka menyembah dan melayani kami. (
Ono : 1987 ).

4. Kegiatan yang berhubungan dengan keindahan atau estetika.

Masyarakat Jepang sangat menyukai keindahan yang berhubungan dengan alam.


Keindahan tersebut merupakan lambang hubungan manusia dengan kami yang tercermin
dalam penataan taman, seni merangkai bunga atau ikebana, bentuk tatami atau tikar Jepang
dan pengaturan tokonoma atau ruang tamu di rumah orang Jepang dan lain sebagainya.

5. Olah raga dan kesenian tradisional.

Masyarakat Jepang juga melakukan pemujaan dan persembahan kepada dewa dalam
bentuk olah raga dan kesenian seperti sumo, aikido, yabusame ( melempar panah di atas kuda
) dan bugaku ( tarian dan nyanyian).

6. Penyembahan arwah leluhur ( sosen suhai ).

Dalam Shinto, masyarakat Jepang selain menyembah kami juga menyembah arwah
leluhur yang disebut dengan sosen suhai. Ritual penyembahan arwah leluhur dilaksanakan
oleh masing-masing keluarga yang tergabung dalam kelompoknya yang disebut dengan ie.
Tiap-tiap keluarga bertanggung jawab memelihara dan menjaga makam keluarganya dan
secara rutin melakukan pemujaan sesuai dengan ajaran Shinto.

2.3 TAOISM

1. Definisi Taoism

Taoisme (Tionghoa: 道 教 atau 道 家 ) juga dikenal dengan Daoisme,


diprakarsai oleh Laozi (老子;pinyin:Lǎozǐ) sejak akhir Zaman Chunqiu yang hidup pada 604-
517 SM atau abad ke-6 sebelum Masehi. Taoisme merupakan ajaran Laozi yang berdasarkan
Daode Jing (道德經: Dàodé Jīng). Awalnya Daode jing disebut dengan Laozi Wuqianyan (老
子五千言) atau Tulisan Laozi Lima Ribu Kata. Semasa Dinasti Han (202 – 221 SM) kitab itu
mulai disebut Daodejing, karena membahas mengenai Dao ( Jalan ) dan De ( 德 , atau
Kebajikan) yang diajarkannya.

Banyak yang mengenal Taoisme sebagai sebuah falsafah tentang keseimbangan hidup
dan keselarasan alam saja. Taoisme sebenarnya sudah muncul beberapa ribu tahun sebelum
kemunculan Konfusianisme yang ajaran dan pemikirannya lebih terkenal dalam kehidupan
bermasyarakat masyarakat Jepang. Taoisme pada akhirnya (di China sendiri) menjadi agama
dan kepercayaan rakyat. Fokus ajarannya adalah pencapaian keharmonisan hidup,
kesempurnaan dan kerohanian. Taoisme sempat berkembang di lingkungan kekaisaran,
namun tersaingi oleh doktrin Konfusianisme. Bedanya Taoisme lebih memandang manusia
sebagai bagian dari alam dan keharmonisan hubungan, sedangkan Konfusianisme
menekankan adanya jarak dan hirarki antar manusia.

Representasi filosofi konfusianisme di Jepang tercermin pada hierarki dan jarak antar
manusia. Hal ini bisa dilihat di lingkungan kerja, sekolah, bahkan dalam kehidupan
masyarkat biasa. Ajaran konfusianisme juga terbawa hingga ke dunia bisnis dan semangat
kerja. Sementara itu, Taoisme membawa kecenderungan untuk membentuk keselarasan
dengan alam, ajarannya pun tidak doktrinal, namun lebih terpaku pada keseimbangan, yin
dan yang. Selain itu, alam sering kali dikaitkan dengan hal-hal gaib seperti setan dan dewa.
Dalam hal ini, Shinto mirip dengan kepercayaan Taoisme di Cina, yang juga diperkenalkan di
Jepang bersamaan dengan masuknya Konfusionisme. Shinto dan Taoisme merupakan sebuah
usaha pencarian jalan Dewa dan jalan kesempurnaan ke langit.

2. Masuknya Pengaruh Taoisme Di Jepang

Berkembangnya pengaruh dari Cina ke Jepang tidak lepas dari peran orang-orang
Tionghoa yang datang dan menetap di Jepang. Mereka mempengaruhi Jepang dengan ajaran
yang dibawanya seperti Konfusianisme, Taoisme dan Agama Budha yang sangat erat dengan
kebudayaan di Cina yang dibawa ke Jepang.
Sejarah Cina melaporkan bahwa pada tahun 219 SM, Kaisar Shi Huangdi dari dinasti
Qin mengirimkan sebuah armada kapal dengan 3.000 anak lelaki dan perempuan untuk
mencari Pulau Penglai yang menurut legenda adalah tempat tinggal para manusia abadi, guna
membawa kembali tanaman yang berkhasiat mendatangkan kehidupan abadi. Tentu saja,
mereka tidak kembali membawa eliksir itu, tetapi menurut kisah turun-temurun, mereka
mendiami kepulauan yang kemudian dikenal sebagai Jepang.

Sebagai pendatang di Jepang, orang-orang Cina ini tetap hidup dengan budaya mereka
sendiri. Awalnya orang Jepang hanya melihat cara hidup orang-orang Cina, kemudian lama-
kelamaan mereka menganggap cara hidup orang Cina tersebut sebagai sesuatu yang indah
dan menganggap tinggi kebudayaan orang-orang Cina, hingga akhirnya mereka menirunya,
dan pengaruh Taoisme mulai terasa di Jepang. Unsur dari Taoisme yang berkembang di
Jepang terletak dalam bentuk penggunaan magic atau sihir yang disebut dengan shamanisme
di Jepang Namun, tidak hanya kepercayaan akan sihir yang diserap dalam kehidupan
spiritualitas masyarakat Jepang, tetapi juga banyak ajaran Taoisme lain yang
terimplementasikan dalam kehidupan spiritualitas dan pola pikir masyarakat Jepang.

3. Ajaran Tao

Ajaran Tao tidak memiliki konsep awal dan akhir dari dunia, namun ada roh di
seluruh benda di alam ini. Hal ini nyaris sama dengan ajaran Shinto dimana tidak ada dogma
mengenai kapan dunia ini berawal, kapan manusia diciptakan, oleh siapa manusia diciptakan
dan kapan seluruh kehidupan berakhir. Akan tetapi, ada juga keyakinan bahwa manusia bisa
menjadi dewa. Dalam ajaran Tao, diyakini bahwa seorang pemeluk Tao yang baik tidak akan
‘benar-benar’ mati. Orang yang baik diibaratkan bagai tumbuhan yang memiliki tunas,
meskipun batangnya mati, tunasnya yang mengakar akan tumbuh kembali. Hal ini
diinterpretasikan sebagai sebuah konsep reinkarnasi yang dimiliki oleh agama Budha dan
diyakini oleh masyarakat Jepang kebanyakan.

Taoisme tidak diakui secara legal tapi pemikirannya mengakar dalam kehidupan
masyarakat Jepang dan tersinkretisasi dalam beberapa ajaran agama atau kepercayaan yang
diadopsi Jepang dari luar maupun kepercayaan asli mereka. Taoisme memang mirip dengan
Shinto, namun walaupun di negara asalnya pemikiran Taoisme menjadi kepercayaan dan
agama, di Jepang tidak ada tempat pemujaan terhadap dewa tertentu. Di Jepang masih ada
pemujaan atau tindakan mensakralkan benda-benda yang dipercaya memiliki roh atau
berhubungan dengan alam gaib, seperti cermin, pisau/benda tajam, pedang dan lain-lain. Hal
ini amat mirip dengan kepercayaan Taoisme yang mensakralkan benda-benda tersebut.

2.4 KONFUSIANISM

1. Definisi Konfusianism

Ajaran Konfusius merupakan pengaruh terbesar terhadap sejarah panjang bangsa


Tionghoa selama dua ribu tahun ini. Ajaran Konfusius ini disatukan oleh para murid-
muridnya setelah dia meninggal menjadi sebuah buku, sehingga terciptalah Literatur Lengkap
Ajaran Konfusius yang kemudian dijadikan sebagai kitab suci oleh para pengikutnya.
Literatur lengkap ajaran Konfusius ini lebih dikenal sebagai Analects. Yang oleh para
pengikut ajaran Konfusius dijadikan sebagai kitab suci.

Konfusius, nama latin yang diberikan oleh bangsa Eropa, lahir tahun 551 SM dan
meninggal tahun 479 SM. Nama marganya adalah Kong dan nama panggilannya Qiu. Ia
tinggal di Negara Bagian Lu (sekarang ini Qufu di Provinsi Shantong), dan keturunan
bangsawan. Ayahnya menjabat sebagai pejabat pemerintahan Negara Bagian Lu. Ayah
Konfusius meninggal ketika ia baru berusia tiga tahun, membuat masa kecilnya miskin.
Namun ia anak yang rajin serta penuh rasa ingin tahu, yang memiliki dorongan untuk
memperbaiki dirinya. Ia pun segera fasih dalam literatur nenek moyang dan menguasai topik-
topik yang dipelajarinya.

Konfusius hidup di masa akhir dari Masa Musim Semi serta Musim Gugur tahun 770
SM hingga tahun 476 SM). Ini adalah periode ketika Dinasti Zhou merosot dan para tuan
tanah feodal menguasai negara-negara bagian. Perang serta anarki merajalela di seluruh
negeri. Ini adalah masa ketika adat istiadat keagamaan diabaikan, musik dicemooh, dan
kekacauan merajalela Konfusius mengkhotbahkan gagasan tentang kebajikan, dengan
harapan untuk membawa perubahan terhadap masa yang kacau secara politik maupun sosial
itu. Filsafat politik Konfusius didasarkan pada pendidikan moral masing-masing individu. Ia
dorong setiap orang untuk berupaya berbuat baik dan mempengaruhi orang lain karenanya.

Kitab yang dipandang suci dalam agama Konfusius terdapat dalam kanon-kanon (KBBI:
karya drama yang dianggap ciptaan asli seorang penulis (2002: 502)) Konfusius. Kanon
tersebut terdiri dari dua bagian Wu Ching (lima kanon klasik) yang secara tradisional
dikaitkan dengan masa ajaran Konfusius atau sebelumnya, dan Ssu Shu (empat kitab) yang
berisi ajaran-ajaran Konfusius. Kelima kanon klasik itu adalah sebagai berikut.
1. Shu Ching (Shu jing﹐ 書經)

Kitab ini merupakan kitab sejarah yang berisi kronologi peristiwa-peristiwa purbakala
tentang istana dan adat istiadat. Kitab ini memiliki nilai-nilai yang sangat berharga bagi para
ahli sejarah untuk melacak kehidupan anak manusia masa dua ribu tahun sebelum masehi.
2. Shih Ching (Shi jing﹐ 詩經)

Kitab ini merupakan kitab sajak, karena di dalamnya terdapat tidak kurang dari tiga ratus
nyanyian dan sajak-sajak pemujaan yang menggambarkan masa-masa awal keberagamaan
orang Tiongkok.
3. I Ching (Yi jing﹐ 易經)

Kitab perubahan. Di dalamnya terdapat rangkaian diagram berdasar garis-garis penuh


dan garis-garis putus. Kitab ini pada dasarnya dimaksudkan untuk keperluan ramalan
(horoscope).
4. Li Chi (Liji)

Ini adalah kitab kebaktian yang merupakan petunjuk pelaksanaan upacara-upacara yang
bersifat kultus dan upacara-upacara di dalam istana.

5. Chun Chiu (Chun qiu﹐ 春秋)

Bermakna musim semi dan musim gugur. Kitab ini berisi catatan kronologis peristiwa-
peristiwa dalam wilayah Lu sejak 722 SM, sampai 481 SM, yakni pada masa pemerintahan
Chun Chiu yang merupakan pecahan dari Dinasti Chou.

Sedangkan keempat kitab yang berisi ajaran-ajaran Konfusius adalah:


1. Lun Yu (論語)

Terdiri dari dua puluh bab, dan kebanyakan isinya berupa anekdot-anekdot singkat dari
Konfusius, dalam bentuk dialog dengan para murid atau tokoh-tokoh lainnya. Selain itu,
dalam kitab ini juga ditemukan gambaran tentang bagaimana sikap Konfusius dalam
menghadapi persoalan. Karenanya kitab ini dipandang sebagai sumber primer dalam
mempelajari biografi Konfusius. Kitab ini disusun sekitar 70 tahun setelah dia meninggal.
Kitab ini kemudian dikenal dengan Analects.
2. Ta Hsueh (Daxue、大学)

Pelajaran terbesar, yang disusun oleh cucu Konfusius yang bernama Tzu Szu, suatu
karya besar tentang etika dan politik dan merupakan pengembangan dari pembahasan sebuah
bab dalam Li Chi.
3. Chung Yung (Zhong yong﹐ 中庸)

Suatu kitab keselarasan. Kitab ini disusun oleh Tzu Szu, berisi doktrin atau ajaran
tentang makna dan kesusilaan.
4. Meng Tze (孟子)

Suatu kitab yang disusun oleh Meng Tze yang sangat terkenal. Literatur Barat
menyebutnya dengan Mencius.

2. Kofusianism Di Jepang

Ajaran Konfusius datang ke Jepang sekitar abad ke 6, pada mulanya hanya dipelajari
oleh sejumlah kecil masyarakat, seperti golongan bangsawan dan pendeta Budha. Di jaman
Edo (1603-1868), ajaran ini memegang peranan yang lebih luas lagi, yaitu sebagai disiplin
pendidikan yang dipelajari oleh berbagai lapisan masyarakat. Dalam keadaan seperti itulah,
pola ideal tentang seorang Samurai lahir dan berkembang. Pola ideal ini kemudian disebut
sebagai Bushido atau dalam arti yang sebenarnya adalah “jalan ksatria” dan merupakan
pedoman moral bagi Samurai. Ajaran Konfusius megutamakan masalah moral, dan
pengendalian emosi dalam diri. Uang dianggap sebagai sebab kejahatan. Seorang pemikir
yang hidup di jaman sesudah Meiji, yakni Uchimura Kanzo menyamakan hal itu dengan
kepercayaan Kristen yang dianutnya
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Hari ini, jika Anda bertanya agama apa yang mereka ikuti, kebanyakan orang Jepang
akan mengatakan bahwa mereka tidak mengikuti agama apa pun. Ini sebagian karena kata
agama dipahami hanya berarti agama yang diwahyukan. Namun mereka tetap mengikuti adat
istiadat agama tradisional. Mereka memuja dewa-dewa Shinto, tidak kurang dari keyakinan
tetapi karena kebiasaan, pada acara-acara tradisional seperti Tahun Baru dan festival dan
beberapa masih menyimpan kamidana (ruang rak) di rumah untuk memuliakan berbagai
dewa. Ketika kematian terjadi, sebagian besar orang Jepang pergi ke kuil Budha untuk
upacara pemakaman. Orang Jepang masih membaca Analects sebagai Klasik mereka dan
sebagai sumber bimbingan moral. Meskipun mereka tahu kisah-kisah sihir Daoisme sebagai
agama melalui pengetahuan budaya bersama dan juga berbagi beberapa konsep seperti Yama
(enma dalam bahasa Jepang) sebagai dewa yang memimpin pembalasan moral, orang Jepang
tidak memuliakan dewa-dewa Daoisme sebagai agama atau melakukan ritual Daois.
Meskipun demikian, orang Jepang dan orang Asia Timur lainnya mengakui memiliki ikatan
yang sama dalam pengertian orang yang sama tentang moralitas manusia, yaitu dalam
Konfusianisme populer.

DAFTAR PUSTAKA
Fu, Shinta. 2014. Sejarah Perkembangan Ajaran Buddhisme Di Jepang.
https://www.academia.edu/

bunce, william k. (1976). religion in japan buddhism, shinto, christianity (2nd ed.). tokyo:
charles e. tuttle company
https://www.academia.edu/

Barrett, Tim ‘Shinto and Taoism in early Japan’ in Shinto in History: Ways of the Kami by
Mark Teeuwen (Editor) John Breen (Editor) (Author).  Also Kuroda Toshi’s ‘Shinto in the
history of Japanese Religion’ tr. by James C. Dobbins and Suzanne Guy

Liu Xiaogan, “Taoism”, dalam Our Religions, Arvind Sharma (ed), New York:
HarperCollins, 1993

Hutabarat, Melda. 2007. "Tokugawa dan Konfusianisme". Universitas Sumatra Utara.


Medan.

Anda mungkin juga menyukai