Anda di halaman 1dari 24

SHINTOISME DAN SHAMANISME

Kelompok :
Arif Ikhromsyah Ismail (19407141013)
Ananda Rizky Amalia (19407141028)

PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH


FAKULTAS ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2021
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam perkembangan kepercayaan masyarakat Jepang, tentu tak


terlepas dari pengaruh besar dari agama Shinto. Shinto merupakan agama
bumi asli Jepang yang muncul sejak sebelum masehi. Shinto yang pada
awalnya merupakan perpaduan antara kepercayaan animisme dengan
pemujaan terhadap gejala-gejala alam, seiring berjalannya waktu bisa
menjadi agama resmi negara. Meskipun masuknya agama Buddha dan
Konfusius di Jepang sempat menjadi masif dan mengurangi eksistensi
agama Shinto. Dominansi agama pendatang tidak berlangsung lama, karena
budaya agama Shinto yang sudah melekat di jiwa masyarakat Jepang.
Bahkan agama Shinto sudah menjadi identitas Jepang, banyak masyarakat
Jepang yang saat ini tidak memeluk Shinto, namun tetap
mempraktekkannya dalam upacara-upacara masyarakat Jepang.
Sementara itu, aliran shamanisme membawa pengaruh besar terhadap
masyarakat Korea. Shamanisme merupakan sebuah kepercayaan dengan
fenomena sihir yang mengatur nasib atau peruntungan antara alam dan
manusia melalui hubungan dengan arwah dan para dewa. Shamanisme
bahkan menembus berbagai bidang kehidupan masyarakat Korea, seperti
sejarah, budaya, pengobatan, agama dan pemikiran. Namun, eksistensi
Shamanisme tidak berlanjut sampai era Korea modern. Setelah berdirinya
Republik Korea, semua warga negara diberi kebebasan untuk memilih
agama dan kepercayaan, namun Shamanisme gagal membangun posisi
dalam masyarakat Korea karena pandangan Shamanisme sebagai takhayul
dan menipu warga negara, atau merupakan budaya rakyat primitif.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana perkembangan hingga pengaruh Shintoisme terhadap
sistem kepercayaan Jepang?
2. Bagaimana perkembangan hingga Shamanisme terhadap sistem
kepercayaan Korea?
C. Tujuan Penelitian
1. Mengetahui perkembangan hingga pengaruh Shintoisme terhadap
sistem kepercayaan Jepang
2. Mengetahui perkembangan hingga Shamanisme terhadap sistem
kepercayaan Korea
BAB II
PEMBAHASAN

A. SHINTOISME
Shinto merupakan agama bumi asli Jepang yang muncul sejak
sebelum masehi. Shinto berasal dari dua kata Cina yakni Shen-tao, Shin
yang berarti dewa dan Tao yang berarti jalan. Secara harfiah, Shinto
mempunyai arti sejalan dewa atau “Jalan para dewa”. Hal ini mengacu pada
pemujaan masyarakat Jepang terhadap berbagai macam Kami (dewa). Nama
Shinto mulai ditetapkan pada abad keenam untuk membedakan Kami-no-
michi, jalan para dewa bangsa Jepang, dengan agama-agama pendatang
seperti, Butsudo atau jalan Buddha dan juga jalan para dewa dalam
Konfusius.1 Dalam literatur lain, disebutkan bahwa nama Shinto berasal dari
perubahan bunyi kata Tien-Tao yang berarti Jalan-Langit.2
Pada awalnya, Shinto merupakan perpaduan antara kepercayaan
animisme dengan pemujaan terhadap gejala-gejala alam. Pemikiran
masyarakat Jepang kuno yang menganggap semua benda, baik itu hidup
atau mati memiliki ruh atau spirit. Semua ruh atau spirit tersebut dianggap
memiliki daya serta kekuatan yang berpengaruh untuk kehidupan mereka.
Daya tersebutlah yang akhirnya disebut Kami. Yang dimaksud dengan Kami
sebenarnya dalam bahasa Jepang adalah penamaan suatu benda tidak hanya
mengenai bentuk konkret dari benda tersebut saja, tetapi juga ketika ada
sense yang berbeda dalam benda yang sama akan ada perbedaan nama.
Apalagi jika benda yang dimaksudkan adalah non-materi seperti Kami.
Spirit para dewa dipercayai dapat ditemukan pada segala hal yang dapat
menimbulkan perasaan takut dan segan. Sehingga berbagai gejala alam dan
benda-benda seperti pohon besar, gunung-gunung, atau peristiwa alam
lainnya dijadikan sebagai objek pemujaan. Agama ini pada awalnya sangat

1
Hori Ichiro. Japanese Religion Ed. 1. 1972. Tokyo: Kodansha International. Hal.
12
2
Michael Keene. Agama-Agama Dunia. 2006. Yogyakarta: Penerbit Kanisius. Hal
176
sederhana, bahkan tidak memberikan ketentuaapapun terhadap pemeluknya.
Tidak ada ajaran, kitab suci, seorang utusan, bahkan tata cara doa.
Sebelum masuknya agama Buddha dan Konfusius di Jepang, agama
Shinto belum memiliki nama dan belum terorganisir. Bahkan hanya
sekelompok orang yang meyakini adanya kekuatan alam dan arwah nenek
moyang kemudian memujanya. Kehidupan sosial masyarakat Jepang saat
itu, tidak ada batas antara agama dan negara atau disebut dengan
Matsurigoto (pemerintahan; upacara keagamaan) yakni kepala suku bukan
hanya sebagai pemimpin dalam hal sosial saja, tetapi juga sebagai wakil
para dewa di dunia.
1. Awal Munculnya Shintoisme
Abad pertama sebelum masehi, kedatangan bangsa Mongol di
Jepang melalui jalur selatan dan jalur tengah melalui Korea berhasil
menduduki sebagian Kyushu dan menyebar hingga ke Honshu.
Kemudian mereka mengelompokkan diri menjadi suku-suku yang
lebih kecil. Seiring berjaannya waktu, sebuah suku berhasil
mendapatkan kekuasaan wilayah paling besar. Suku tersebut bernama
Yamato, suku yang paling berpengaruh dan menguasai wilayah paling
besar pada abad ketiga atau keempat masehi. Oleh kerena itu, dewa-
dewa suku Yamato-lah yang dianggap paling unggul dibandingkan
dewa-dewa lainnya. Kepala suku Yamato bukan hanya bertindak
sebagai kepala negara namun juga sebagai pendeta utama bagi seluruh
rakyatnya.
Pada masyarakat Jepang kuno, legenda mengenai alam yang
paling dikenal adalah bahwa dulunya alam semesta beserta isinya
adalah satu bentuk yang tidak bisa dibedakan antara manusia, hewan,
langit, ataupun bumi. Berangsur-angsur unsur tersebut berpisah, unsur
yang ringan membentuk langit, sedangkan unsur yang berat
membentuk bumi. Diantara kedua unsur tersebut terbentuklah awan
putih sebagai asal mula adanya Kami, yang pertama adalah Dewa
Langit, yang kemudian memunculkan Dewa Pencipta Utama dan
Dewa Pencipta Dewa. Ketiga dewa ini disebut dengan Tiga Kami
Pencipta.
Setelah itu, muncul sepasang dewa dari awan putih atau
jembatan terapung di langit, yaitu Izanagi dan Izanami. Dewa Izanagi
dengan prinsip laki-laki dan Dewi Izanami dengan prinsip perempuan.
Kemudian menciptakan kepulauan Jepang yang lengkap dengan para
dewanya, seperti dewa bumi, air, gunung, pohon, makanan, api, dan
sebagainya. Diceritakan bahwa Dewi Izanami mati ketika melahirkan
dewa api, kemudian ia pergi menuju ke dunia Yomi, yaitu dunia bagi
roh yang telah meninggal dunia. Izanami akhirnya menjadi Dewi
Tanah Yomi. Ketika roh yang hidup ingin bertemu dengan roh yang
telah mati, ada beberapa pantangan yang tidak boleh dilanggar.
Namun, saat Izanagi akan pergi mengunjungi Izanami, ia melanggar
pantangan sehingga dirinya menjadi kotor dan berdosa. Demi
menghilangkan dosa tersebut, ia melakukan upacara misogi, dengan
membersihkan diri di air laut. Ketika membersihkan mata kirinya, dari
air yang keluar terjadilah Amaterasu atau Dewi Matahari, sedangkan
dari mata kanannya terjadi TsukiYomi atau Dewa Bulan. Sedangkan
dari air yang ia gunakan untuk mencuci hidungnya terjadilah
Susanowo, Dewa Laut dan Gelombang.3
Ninigi-no-mikoto yang merupakan cucu dari Dewi Matahari
(Amaterasu-omi-kami), mendapat tugas langsung dari Dewi Matahari
untuk memerintah dunia dan menguasai dunia untuk selamanya.
Ninigi-no-mikoto dipercaya turun di daerah Kyushu dan memiliki
seorang putra bernama Jimmu Tenno yang merupakan kaisar pertama
Jepang sekaligus kepala suku Yamato yang pertama. Jimmu Tenno
mulai berkuasa tahun 660 sebelum masehi.4 Dari sinilah muncul
kepercayaan dalam agama Shinto bahwa negeri Jepang akan

3
Robert Ellwood. Japanese Religion—The Ebook. ISBN 0-9747055-8-6 (ebook).
Hal. 98.
4
Joesoef Souyb. Agama-Agama Besar di Dunia. 1983. Jakarta: al-Husna Zikra.
Hal. 207.
senantiasa diperintah oleh sebuah dinasti tunggal sejak awal
sejarahnya hingga kini.
2. Ajaran-Ajaran Agama Shinto
Pemeluk agama Shinto sangat menghargai Kami. Syarat utama
mereka memuja kami tersebut adalah kesucian, bersih dari segala
kekotoran seperti penyakit, luka, menstruasi, dan sebagainya.
Ketidaksucian dianggap sebagai sumber kesengsaraan dan rusaknya
upacara keagamaan. Kekotoran ini dapat dihilangkan dengan cara
menjauhkan diri dari upacara keagamaan dan kehidupan sosial
sementara waktu. Selain itu, setelah masa kotor selesai, harus
melakukan upacara penyucian diri yang disebut dengan harae. Harae
atau harai adalah upacara agama Shinto untuk membersihkan diri dari
kekotoran, kesalahan, dan kesengsaraan dengan cara memanjatkan doa
kepada para dewa. Harae dipercaya dapat menjadikan diri seorang
kembali dekat dengan dewa.
Masyarakat Jepang percaya bahwa doa (norito) jika kalimatnya
disusun dengan baik akan mendatangkan kebaikan, sedangkan jika
tidak baik akan menimbulkan kesengsaraan. Dalam upacara penyucian
nasional (O-harae), norito diucapkan oleh suku Nakatomo, sehingga
sering disebut Nakatomo no harae. Selain itu, masih banyak upacara
keagamaan lainnya dalam Shinto. Upacara keagamaan ini memiliki
tujuan, tempat pelaksanaan, dan kultus yang berbeda-beda tergantung
dengan dewa yang dituju. Upacara ini disebut matsuri berupa
rangkaian ritus dalam upacara ini biasanya berupa pemberian sesaji,
pembacaan norito, musik, peribadatan, kemudian dilanjutkan dengan
pesta bersama minum sake dan makanan yang tadinya dijadikan
sesaji. Pengertian matsuri sendiri beraneka ragam. Kesalehan
seseorang terhadap dewa disebut matsuri, upacara keagamaan disebut
matsuri, pemikiran dewa yang dituangkan dalam pemerintahan juga
disebut matsuri.
3. Perkembangan Shintoisme
Jepang baru mendapatkan pengaruh dari dunia luar yang berasal
dari Korea sekitar abad ketiga hingga keenam. Tahun 405, ajaran etika
agama Konfusius dibawa ke Jepang oleh seorang sarjana asal Korea
bernama Wani. Hubungan antara Cina dan Korea melalui ekspedisi-
ekspedisi secara tidak langsung membawa ajaran Tao dan Buddha ke
Jepang. Namun pada saat itu, ajaran etika agama tidak dibawa atas
nama agama, melainkan hanya bentuk aturan berperilaku.
Kehidupan spiritual bangsa Jepang mulai dipengaruhi oleh
agama Buddha yang masuk ke Jepang pada tahun 538 atau 552 M.
Hal itu terjadi setelah pemerintahan kecil di semenanjung Korea
mengirimkan delegasi yang membawa banyak hadiah, sebuah patung
kecil sang Buddha serta beberapa kitab pengajaran agama Buddha. Di
dalam paket hadiah tersebut, terdapat surat yang mengatakan bahwa
agama Buddha adalah agama yang menjanjikan kebahagiaan hidup
bagi manusia. Didukung dengan hubungan Jepang dan Korea yang
sangat erat, maka para penguasa suku Yamato ketika itu
memperbolehkan ajaran agama Buddha masuk ke Jepang. Termasuk
sang kaisar Kotoku yang juga memeluk agama Buddha pada tahun
645 M.5
Agama Buddha saat awal masuk ke Jepang, hanya menjadi
agama di kalangan elit bangsawan. Hal itu karena ada banyak hal yang
harus dipelajari tentang agama Buddha. Apalagi pada waktu itu,
agama Buddha masih menggunakan bentuk-bentuk bangunan
tradisional, situs, dan bahasa model China, sehingga untuk bisa
memahami diperlukan kepandaian. Oleh karenanya, walaupun setelah
agama Buddha menjadi agama rakyat Jepang, tradisi dan agama asli
Jepang masih tetap bertahan.

5
Joesoef Sou’yb. Agama-Agama Besar di Dunia. 1983. Jakarta: al-Husna Zikra.
Hal. 209.
Menjelang akhir abad ketujuh, agama asli Jepang mulai kembali
bangkit. Akulturasi tradisi asli dengan agama Buddha dari luar,
sehingga membuat bangsa Jepang berpikir bahwa terdapat banyak
perbedaan antara keduanya. Dari sinilah mulai tumbuh kesadaran
masyarakat Jepang untuk mempelajari tradisi dan sejarah mereka
sendiri. Pada masa inilah mulai muncul nama Shinto, yang berasal
dari bahasa China, Shen-tao, untuk membedakan Kami-no-michi, jalan
para dewa bangsa Jepang, dengan Butsudo, jalan Buddha.
Kebangkitan tradisi Jepang terjadi pada masa pemerintahan
kekaisaran Suinin. Sebelumnya, sekitar tahun kelima masehi, kuil
Dewi Matahari di Ise didirikan dan mulai dijadikan tempat suci
nasional pada abad ketujuh. Upacara-upacara keagamaan di kuil ini
dipimpin langsung oleh para pangeran dan putri dari lingkungan
kekaisaran. Kemudian tahun 646, dibentuklah Jingi-kan merupakan
sebuah badan khusus yang mengatur masalah-masalah agama Shinto,
termasuk dalam menyelenggarakan upacara-upacara keagamaan yang
telah ditetapkan dalam undang-undang. Badan ini dipimpin langsung
oleh pangeran. Akhirnya penetapan tersebut lama kelamaan dianggap
sebagai kultus resmi agama Shinto saat ini. Kitab yang akan
digunakan yakni Kojiki selesai disusun pada tahun 712, dan tidak
diketahui pasti siapa penyusunnya. Isinya mengenai mite, legenda,
serta lingkungan istana mulai dari masa para dewa hingga
pemerintahan kaisar suiko tahun 628 M. Selanjutnya pada tahun 720,
Nihon Shoki dan Nihongi menyusun sebanyak 30 jilid, isinya
mengenai sejarah sejak masa para dewa hingga kekaisaran Jito tahun
702.6
4. Aliran-Aliran Shintoisme
Seiring perkembangannya, Shintoisme mulai banyak dipenuhi
aliran-aliran yang diciptakan oleh beberapa orang yang memiliki

6
Robert Ellwood. Japanese Religion—The Ebook. ISBN 0-9747055-8-6 (ebook).
Hal. 97.
pengaruh besar terhadap suatu wilayah di Jepang, tentunya. Tahun
1484, Yoshida Kanetomo (1435-1511) di Yamashiro Kyoto,
mendirikan aliran Yoshida Shinto. Keluarga Yoshida mulanya adalah
keluarga pendeta istana, kemudian beralih menjadi pendeta di Jinja
Yoshida dan Jinja Hirano di Kyoto. Pengajaran dan paham agama
Shinto lingkungan keluarga Yoshida itu kemudian dijadikan dasar
aliran Yoshida Shinto. Aliran ini mengajarkan kesatuan dari ketiga
agama yaitu Shinto, Buddha, dan Konfusius, dengan agama Shinto
sebagai dasar utamanya. Kesatuan ketiga agama ini digambarkan
sebagai sebuah pohon. Agama Buddha dapat dianggap sebagai bunga
dan buah dari semua aturan (Dharma) di alam ini, agama Konfusius
sebagai cabang dan rantingnya, sedangkan agama Shinto adalah akar
dan batangnya. Aliran ini memandang kami sebagai wujud yang
berada di luar diri manusia, serta bertempat pada jiwa manusia. Saat
Restorasi Meiji tahun 1868, aliran ini tersebar luas di seluruh Jepang.
Setelah terjadinya restorasi Meiji, banyak aliran Shinto yang
bermunculan. Sejak saat itu Shinto dibedakan menjadi dua, Jinja
Shinto dan Kyoha Shinto. Jinja Shinto adalah sistem keagamaan di
tempat-tempat suci agama Shinto yang mendapatkan bantuan dari
pemerintah. Selain itu, sistem peribadatan Shinto lainnya yang
dianggap sebagai agama negara adalah Kokka Shinto. Dalam Kokka
Shinto terdapat beberapa aliran, yaitu
a. Aliran Kokutai Shinto atau Tenonisme yang mengajarkan bahwa
kaisar Jepang (tenno) adalah jelmaan dari Dewi Matahari. Saat
restorasi Meiji dilaksanakan, kaisar adalah kekuatan utama
bangsa Jepang, sehingga dianggap dapat ikut ambil bagian
dalam penentuan keputusan di majelis dewa. Kaisar juga
dikatakan sebagai wujud yang tak pernah salah dan
menimbulkan persepsi bahwa Kaisar juga memiliki kekuasaan
penuh terhadap alam.
b. Koshitsu Shinto adalah peribadatan yang khusus dilakukan
dalam keluarga kekaisaran Jepang. Pendeta atau pemimpin
upacara peribadatan Koshitsu Shinto dipimpin oleh kaisar
sendiri.
c. Shinto dalam lingkungan keluarga Jepang umumnya
berhubungan dengan persoalan keluarga seperti perayaan
kelahiran, kematian, ulang tahun, dan lain sebagainya. Untuk
masyarakat Jepang yang taat agama biasanya membeli tempat
suci kecil kemudian di letakkan ke dalam kamar tertentu.
Tempat suci tersebut diletakkan di atas rak yang disebut kami-
dana (rak atau papan dewa).
Sedangkan Kyoha Shinto adalah organisasi kumpulan sekte
agama yang berdiri sendiri. Seperti aliran Fukko Shinto pada masa
Tokugawa Mitsukuni (1628-1700). Aliran ini berarti Restorasi Shinto
atau Reformasi Shinto. Aliran ini dipelopori oleh beberapa orang,
yaitu Kada no Azumamaro (1669-1736), Kamo no Mabuchi (1679-
1769), Motoori Norinaga (1730-1801), dan Hirata Atsutane (1776-
1843) seorang pembaharu agama Shinto yang begitu berpengaruh
dalam gerakan anti-asing abad 19. Aliran-aliran Shinto yang
bermunculan sebelumnya sebenarnya memiliki tujuan yang sama
yaitu memurnikan ajaran agama Shinto yang asli. Namun dalam
perjalanannya kebanyakan pemurnian itu menggunakan metode
berpikir Buddhis atau Konfusianis, sehingga bukan Shinto asli yang
didapat justru Shinto yang bercorak Buddhis atau Konfusianis. Dalam
usahanya untuk memperoleh pengertian inti dari agama Shinto, Aliran
Fukko Shinto menggunakan teks-teks kuno, sehingga karya-karya dari
tokoh aliran ini menjadi sangat penting dalam masa kebangkitan
Shinto di masa berikutnya. Motoori Norinaga menerbitkan karya
utamanya, Kojiki-den, memuat hasil pengamatannya terhadap kitab
Kojiki.
Sekte lain yang muncul akhir masa Tokugawa antara lain adalah
sekte Tenrikyo yang didirikan oleh seorang perempuan bernama
Nakayama Miki (1798- 1887), baru diakui sebagai bagian dari Shinto
pada tahun 1908. Namun, setelah Perang Dunia II, sekte ini
menyatakan diri keluar dari dari Shinto. Kemudian sekte ini diakui
sebagai agama yang berdiri sendiri pada tahun 1970. Kekacauan-
kekacauan di akhir masa Tokugawa memaksa kaisar turun tahta tahun
1868. Hal ini menandai awal masa modern dalam sejarah Jepang.
5. Lembaga/ Badan Keagamaan
Berawal ketika pemerintah Meiji ingin mendirikan negara
dengan asas saisei Ichi, kesatuan agama dan politik, lebih kita kenal
sebagai negara teokrasi. Pemerintah kembali mendirikan jingi-kan,
badan usaha yang mengurusi masalah Shinto. Tahun 1869, lembaga
ini dipisahkan dari kabinet Jepang. Kemudian tahun 1870, pemerintah
mengeluarkan ketetapan tentang penguatan hubungan negara dengan
agama Shinto karena munculnya pertentangan kelompok agama
Buddha dan agama baru. Akhirnya, pada tahun 1871, Jingi-kan diganti
dengan Jingi-sho atau Kementrian Shinto namun tidak bertahan lama
karena pertentangan yang begitu hebat. Sehingga pada tahun 1872,
dibentuk Kementrian Agama (Kyobu-sho) yang bertugas mengurusi
agama Shinto dan agama Buddha. Tetapi ternyata kedua agama itu
ternyata tidak dapat dipadukan sehingga pada tahun 1875, pemerintah
melarang segala bentuk kerja sama agama Shinto dan agama Buddha.
Tahun 1884, pemerintah membubarkan lembaga keagamaan dan
mengakhiri pengawasan agama bangsa. Pengembangan kultus
nasional akhirnya diserahkan kepada Jinja Shinto.
Memasuki awal abad ke-20, pemerintah menyadari
diperlukannya penyatuan pandangan untuk menyatukan tempat suci
agama Shinto sehingga penataannya lebih efektif dan terkontrol. Oleh
karena itu, pemerintah menetapkan sistem pengaturan tempat suci
yang bertingkat mulai dari desa, kota, hingga tingkat pusat. Tahun
1935, Komite Peneliti Jinja mendesak pemerintah mendirikan badan
khusus agama Shinto karena badan yang ada tidak memenuhi, hingga
pada akhirnya dibentuk Badan Jinja (Jingi-in) pada tahun 1940.
Pada tanggal 3 November 1945, Jepang mengesahkan undang-
undang baru, yakni pasal 20 yang menyebutkan bahwa pengajaran
agama dilarang dilakukan di lembaga pendidikan umum, serta
penerimaan prinsip kemerdekaan beragama dan pemisahan agama dan
negara. Pemerintah tidak lagi dapat mengurusi urusan agama seperti
keyakinan dan tata cara peribadatan. Sejak saat itu, agama Shinto
adalah identitas Jepang yang begitu melekat di hati bangsanya.
Banyak masyarakat Jepang yang saat ini tidak memeluk Shinto,
namun tetap mempraktekkannya dalam momentum, seperti dalam
upacara-upacara masyarakat Jepang. Saat menjadi agama resmi
pemerintah, praktis agama Buddha menjadi tata cara peribadatan.
Ditambah lagi agama Shinto yang tidak memiliki tata cara khusus
dalam penyembahan Kami. Bentuk pemujaan, patung para dewa,
bahkan tempat sucinya terpengaruh oleh agama Buddha. Patung-
patung dewa yang semula tidak dikenal dalam Shinto akhirnya
diadakan, namun ciri kesederhanaannya hilang dan tergantikan dengan
ornamen-ornamen Buddha yang berwarna-warni serta begitu
mencolok.
B. SHAMANISME
Shamanisme merupakan sebuah kepercayaan dengan fenomena sihir
yang mengatur nasib atau peruntungan antara alam dan manusia melalui
hubungan dengan arwah dan para dewa. Pemahaman definisi Shamanisme
telah diakui sebagai fenomena keagamaan tradisional yang terkait erat
dengan alam dan dunia sekitarnya, yang di dalamnya, praktisi Shamanisme
diberkahi dengan kemampuan spesial untuk memasuki keadaan kerasukan
sehingga dapat berkomunikasi dengan makhluk supranatural7.

7
Hyun-key, Kim Hogarth. 1998. Trance and Possession Trance in Korean
Shamanism. Hal 15-31.
Dalam Shamanisme, terdapat sebuah ritual yang harus
dilakukan, yang disebut sebagai ritual gut. Praktisi Shamanisme
adalah dukun/cenayang yang biasa disebut sebagai mudang, yang
merupakan penghubung antara manusia dengan arwah. Dalam ritual
gut dukunlah yang melakukan pemanggilan arwah dan menunjukkan
perubahan kepribadian sehubungan dengan kepribadian mereka yang
“digantikan oleh arwah yang dipanggil” setara dengan “kondisi atau
keadaan yang berhubungan dengan kerasukan”8.
Shamanisme telah menjadi sesuatu yang sangat penting dalam
semua bidang kehidupan masyarakat korea seperti sejarah, budaya,
pengobatan, Agama dan pemikiran. Shamanisme juga menembus
sampai ke kehidupan penduduk Korea. Shamanisme tidak memiliki
aturan tertulis, doktrin, atau kitab resmi, semuanya disebarkan melalui
lisan. Sebagai akibatnya, kepercayaan ini tidak memiliki tradisi
keagamaan yang tetap, Shamanisme merupakan kepercayaan rakyat
yang populer dimana ritual memainkan bagian yang paling penting.
1. Sejarah Munculnya Shamanisme
Shamanisme saat ini telah tercampur dengan unsur-unsur
budaya asing dan telah mengalami berbagai macam perubahan.
Shamanisme yang murni dapat ditemukan dalam kepercayaan kuno.
Seperti mitos dan ritual sebelum dipengaruhi oleh budaya asing. Di
Korea, Shamanisme dapat ditemukan pada mitos Dangun. Dangun
adalah nenek moyang bangsa Korea yang merupakan Raja pertama
Gojoseon pada masa kejayaan Jeoson kuno. Dangun memilih
Pyeongyang sebagai ibu kota negara dan mendirikan dinasti
Gojoseon. Setelah masa pemerintahan seribu lima ratus tahun Dangun
memasuki gunung dan menjadi roh gunung pada usia 1908.
Shamanisme Korea telah memainkan peran penting dalam
pengembangan peradaban Korea sejak zaman mitos Dangun pada

8
John Allan, Grim. 1984. Chaesu Kut: A Korean Shamanistic Performance. Hal.
234.
tahun 2333 SM. Sampai hari ini, peradaban Korea utara, yang
berpusat di Manchuria, dan peradaban Korea Selatan yang berpusat di
Gyeongju, telah sangat dibentuk oleh dinamika Shamanisme.
Shamanisme Korea mencakup berbagai kepercayaan dan praktik adat
yang telah dipengaruhi oleh Buddhisme dan Taoisme.
Perkembangan Shamanisme di Korea dapat dilihat dan dipahami
dengan mengetahui statusnya di tiga dinasti kerajaan yaitu pada
kerajaan Silla (356-935), Goryeo (918-1392) dan Yi atau Joseon
(1392-1910) yang pernah memerintah di wilayah Korea 9. Sejak dinasti
Gojoseon didirikan sekitar tahun 2333 SM, Korea telah mengenal
banyak agama dan kepercayaan seperti Buddha, Taoisme,
Konfusianisme, Kristen, Islam, dan lain-lain. Namun dasar
kebudayaan Korea terhubung dengan Shamanisme. Faktanya, Korea
pernah diperintah oleh penguasa yang menganut kepercayaan
Shamanisme yaitu raja kedua yang bernama Namhae Geo-seogan atau
biasa disebut dengan Namhae Chachaung. “Chachaung” sendiri
memiliki arti Shaman tinggi yang memerintah kerajaan Silla dari
tahun 57 Sebelum Masehi sampai 935 Masehi10.
Shamanisme Korea tidak diberi status nasional resmi di Korea
setelah penyatuan semenanjung Korea selama kerajaan Silla (676),
dan menjadi subjek penindasan dan tidak diperdulikan. Secara resmi,
Shamanisme dilarang dengan dibuatnya undang-undang yang
melarang kegiatan ritual dan mengusir dukun dari kota. Shamanisme
menjadi objek kritik dan penindasan sebelum Agama Konfusianisme
menjadi agama nasional pada abad ke-14. Hal ini terjadi bukan karena
ajaran agama itu sendiri melainkan karena sikap para dukun yang
tidak bermoral, menyesatkan dan disipatif.

9
Tongshik, Ryu. 2012. The History and Structure of Korean Shamanism. Hal. 94-
125.
10
Chukun, Chang. 1988. Shamanism, the Spirit World of Korea: An Introduction
to Korean Shamanism. Hal. 31.
Pada dinasti Joseon, terjadi pergantian pemerintah ke
Konfusianisme. Raja Sejong (1418-1450), Raja Songjong (1469-1494)
dan Raja Chungjong (1506-1544) merupakan tokoh inti dalam
perubahan tersebut. Raja Sejong mendirikan Chiphyŏnjŏn (Royal
Academy), mengembangkan Hunmin Jeongeum (penulisan fonetik 11
vokal dan 17 konsonan), yang merupakan pencapaian budaya yang
kaya. Pada saat yang sama, ia bertanggung jawab atas Konfusianisasi
negara dan usaha menghilangkan Agama Buddha yang terlebih dahulu
masuk.
Kecenderungan untuk menghapuskan agama Shamanisme
semakin besar setelah berdirinya dinasti Joseon pada tahun 1392,
karena pada saat itu Konfusianisme menjadi filosofi negara untuk
pengelolaan Negara. Para bangsawan kelas atas Korea yang belajar di
Tiongkok dan menjadi terobsesi dengan “China-centricism”
menjadikan mereka meremehkan Shamanisme dan menekan
pemerintah untuk menghapuskan tradisi dan menurunkan kelas dukun
ke kelas terendah dalam masyarakat, sehingga mereka tidak bisa
diperlakukan sebagai orang normal.
Pada tahun ke-13 masa pemerintahannya, Raja Sejong
menyetujui proposal dari kantor Inspektur Jendral (Saheonbu) yang
berisi bahwa kepindahan para dukun dari Mugyeok-ri atau desa untuk
tempat tinggal dukun perempuan dan laki-laki menyebabkan mereka
berbaur dengan masyarakat lain sehinggga menimbulkan
ketidaknyamanan, maka dari itu mereka mengusulkan agar para dukun
lebih baik tinggal jauh dari ibu kota dan dipisahkan dari orang-orang
biasa.
Di periode akhir Joseon, jumlah dukun bertambah banyak
sehingga Jeong Yak-yong (1762-1836) menulis dalam peringatannya
tentang pemerintahan rakyat (Mongmin Simseo) bahwa “setiap desa
dengan lebih dari tiga rumah tangga memiliki dukun.” Di bawah
norma pemisahan gender, dukun perempuan dengan akses yang lebih
mudah ke klien perempuan memiliki lebih banyak peluang untuk
memperluas pengaruh mereka. Dukun laki-laki secara bertahap
menghilang menjelang akhir dinasti.
2. Perdukunan dalam Shamanisme
Dukun dalam Shamanisme Korea dikenal dengan nama mudang
atau mansin yang berarti sepuluh ribu dewa yang mencerminkan
bahwa mereka yang melakukan persembahan untuk banyak Dewa.
Dukun wanita disebut dengan mudang sedangkan dukun laki-laki
disebut dengan baksu. Baksu adalah dukun pria. Kata "mudang"
dalam teori merujuk pada dukun pria dan wanita tetapi kebanyakan
dukun pada kenyataannya adalah wanita. Itulah sebabnya dukun pria
disebut baksu yang membedakannya dari mudang wanita. Pekerjaan
mereka tidak berbeda dengan mudang perempuan. Mereka juga
mengawasi ritual gut, pengusiran setan, atau meramal. Secara umum,
mereka hampir sama dengan mudang perempuan, dan tidak memiliki
keahlian khusus yang membedakan mereka. Mereka mengenakan
jubah dukun yang sama dengan mudang perempuan, dan mereka
melakukan berbagai ritual gut dengan cara yang sama seperti mudang
perempuan.
Sejak zaman Korea kuno, terutama saat urusan politik dan
kepercayaan belum terpisah, Raja berfungsi sebagai mudang dan juga
pengawas upacara sakral nasional. Ketika politik dan kepercayaan
berangsur-angsur terpisah, mudang bertanggung jawab hannya untuk
melakukan penyembahan untuk para dewa dan melakukan ritual
sakral. Mudang telah memainkan peran sebagai “pendeta” dalam
menjalani upacara sakral dan peran tabib dalam kegiatan
menenangkan atau mengusir roh. Selain itu, mudang juga berfungsi
sebagai seorang yang meramalkan masa depan dan juga berperan
sebagai perantara antara manusia dan Dewa untuk memecahkan
berbagai masalah dalam kehidupan.
Mudang memiliki fungsi sebagai penyembuh untuk penyakit
jiwa dan raga. Dalam masyarakat kuno penyakit dianggap disebabkan
oleh roh jahat. Peran mudang adalah untuk menenangkan atau
mengusir roh-roh yang mengganggu atau menemukan jiwa yang
hilang di alam lain lalu membawanya kembali dengan kemampuan
untuk melakukan perjalanan ke dunia roh. mudang juga dapat
meramal, memanfaatkan kemampuan mereka untuk melihat ke masa
sekarang, masa lalu, dan masa depan, dengan bantuan roh
pembimbing mereka. Oleh karena itu mudang adalah peramal, namun
tidak semua peramal adalah mudang, karena ramalan hanyalah salah
satu dari banyak aspek Shamanisme. Mudang adalah seorang empiris,
dalam arti bahwa mereka bertindak berdasarkan pengamatan atau
percobaan, bukan pada teori dan menganggap pengelihatan mereka
merupakan sesuatu informasi yang valid11.
Mudang secara umum dibedakan menjadi dua jenis, yaitu
Seseummu (Mudang keturunan) dan Gangsinmu (Mudang
kharismatik), tergantung bagaimana mereka menjadi mudang 12.
Mudang Seseummu adalah seorang dukun turun temurun. Dalam
kebanyakan kasus pekerjaan itu diturunkan dari ibu mertua yang
merupakan mudang kepada menantu perempuannya. Mereka tidak
pernah mengalami pengalaman gaib, mudang seperti itu tidak dapat
mempraktikkan ramalan atau menggunakan kekuatan gaib.
Selanjutnya adalah Mudang Karismatik, Mudang jenis ini akan
mengalami pengalaman Supernatural yang unik untuk bisa menjadi
mudang. Jenis mudang ini disebut Gangsinmu, atau mudang
perantara. Mudang ini, merupakan orang normal, mereka menderita
penyakit yang menyebar dari tubuh ke pikiran, dan orang tersebut
tidak dapat menjalani kehidupan normal apa pun.
3. Ritual dalam Shamanisme

11
Tae Go, Kim. 2009. Korean Shamanism: What is Korean Shamanism?. Hal. 8.
12
Ibid. 2009: 147
Ritual dalam perdukunan sebagian besar dibagi menjadi yang
dilakukan untuk Dewa dan roh dalam masyarakat dan dilakukan untuk
Dewa di alam semesta. Ritual perdukunan dilakukan untuk berbagai
tujuan. Salah satunya untuk membawa kebahagiaan dan kekayaan.
Bentuk paling sederhana ritual Shamanisme, yang dapat dilakukan
siapa pun adalah berdoa sambil menggosokkan telapak tangan. Gut
adalah ritual yang tidak dapat dilakukan oleh semua orang.
Gut merupakan ritual paling penting dalam perdukunan Korea,
di mana orang-orang bertemu dan bersatu dengan Dewa dan roh
melalui mediasi seorang mudang, dan dengan demikian berusaha
menyelesaikan masalah mereka. Dalam gut, orang membuat
persembahan kurban, mengungkapkan keinginan mereka dan
mendengar kehendak Dewa dan roh yang diekspresikan melalui
mudang yang dirasuki.
Gut menunjukkan kepercayaan tradisional pada pola pikir
masyarakat Korea. Seiring dengan kepercayaan bahwa Dewa adalah
makhluk yang absolut, pemikiran bahwa kematian bukanlah suatu
akhir tapi keadaan tersebut hanya merupakan perpindahan jiwa yang
telah mati ke dunia lain setelah kehidupan, hal ini sepenuhnya terlihat
di ritual gut. Dengan cara berpikir seperti ini, orang Korea dapat
menghadapi kehidupan dengan tenang dan tidak pernah kehilangan
ketenangan dalam keadaan apapun.
Proses gut terdiri dari serangkaian prosedur ritual terpisah yang
disebut Geori, masing-masing Geori memiliki struktur sendiri.
Seluruh gut terdiri dari tiga bagian: menyambut roh, berkomunikasi
dengan mereka dan mengusir mereka. Di setiap Geori, mudang
pertama-tama memanggil dan menyapa para dewa, mendengarkan
perkataan mereka dan berdoa untuk kebutuhan dan keinginan klien,
dan akhirnya mengirim mereka kembali ke alamnya.
Ada berbagai macam gut yang dapat digolongkan ke dalam jenis
yang berbeda sesuai dengan tujuannya. Sebuah gut selalu dilakukan
dengan motif yang nyata dan bertujuan menentukan skala dan
prosesnya. Dalam masyarakat Korea kontemporer, ada banyak ritual
gut yang di lakukan, dan ada juga banyak variasi dari berbagai macam
daerah. Namun secara luas dapat diklasifikasikan sebagai berikut:
a. Gut untuk orang yang sudah mati: Jinogi Gut (area Seoul),
Ssikgim Gut (Pulau Jeolla dan Chungcheong), Ogu Gut (pantai
timur), Siwang Maji (pulau Jeju), Siwang Gut, Dari Gut dan
lain-lain (sebelah utara), Neok Geonjigigut/ Sumang Gut (Gut
untuk orang yang tenggelam dan juga perkawinan hantu).
b. Gut penyembuhan: Byeong Gut/Uhwan Gut, Gwisin Puri,
Salpuri, pudkgeori, dan lain-lain
c. Gut untuk mudang: Naerim Gut (Gut inisiasi untuk Mudang)
Jinjeok Gut (Gut yang didedikasikan untuk pembimbing
Mudang).
d. Gut untuk meminta keberuntungan:
1) Gut perseorangan (Private Gut): Jaesu Gut, Seongju Maji
(diadakan saat pindah rumah atau renovasi rumah), Honin
Yetam (diadakan sebelum pernikahan), Dosin Gut, Jeolgi
Gut (Gut musiman) dan lain-lain.
2) Gut komunitas: Daedong Gut, Byeolsin Gut, Bugunje,
Dodang Gut, Dangsan Gut, Yeongdeung Gut
(Maji/Sonamji), Pungeoje, Yeonsin Gut (dilakukan di
kapal ikan) dan lain-lain.
4. Perkembangan Shamanisme di Korea
Setelah berdirinya Republik Korea setelah Perang Korea, semua
warga negara diberi kebebasan untuk memilih agama dan
kepercayaan, namun Shamanisme masih gagal membangun posisi
dalam masyarakat Korea karena pandangan Shamanisme sebagai
takhayul dan menipu warga negara, atau merupakan budaya rakyat
primitif, sesuai dengan pernyataan menyesatkan dari para peneliti
Jepang yang bermaksud menghasilkan landasan akademis untuk
penjajahan Korea pada paruh pertama abad ke-20. Pada skala evolusi
peradaban cendikiawan kolonial menyebut Shamanisme Korea
sebagai sesuatu yang tidak berkembang, sedangkan di Jepang sudah
dikembangkan menjadi Shinto, dan menyatakan bahwa keduanya
berasal dari akar yang sama13.
Sepanjang sejarahnya, Shamanisme telah memengaruhi agama
Buddha, Taosime, dan Konfusianisme sembari memasukkan unsur
ketiganya. Karena itu, ia memiliki efek mendalam pada budaya dan
cara berpikir masyarakat Korea. Meskipun arus bawah dalam
kesadaran Korea, Shamanisme telah didorong ke pinggiran
masyarakat kontemporer. Kebanyakan orang Korea saat ini tidak lagi
menganggapnya sebagai kepercayaan, melainkan sebagai bagian dari
warisan budaya mereka.
Posisi Shamanisme di Korea masih sangat ambigu. Meskipun
ada banyak tempat suci Shamanisme di setiap kota, yang dikunjungi
oleh orang-orang untuk tujuan keagamaan, Shamanisme tidak secara
resmi diakui sebagai agama. Mudang tidak terdaftar sebagai
perwakilan dari lembaga keagamaan seperti halnya biksu, pendeta
atau pendeta Buddha, karena tidak ada kategori yang sah untuk
memasukkan mereka. Semua agama besar dikelola oleh Departemen
Agama di Kementerian Kebudayaan, Olahraga dan Pariwisata, yang
dibagi menjadi 2 subdivisi sesuai dengan karakter agama. Namun,
Shamanisme Korea tidak diakui sebagai agama resmi yang terdaftar di
Kementerian, dan oleh karena itu pada 2012 tidak ada subdivisi yang
dialokasikan untuk mengawasi urusan Shamanisme.
Namun Shamanisme masih hidup dan dinamis di Korea saat ini,
meskipun telah mengalami banyak perubahan dari bentuk yang
diambil ketika Korea adalah negara pedesaan kecil. Jumlah mudang
tetap tinggi dan banyak orang masih mencari bantuan dari mereka.

Do Hyun, Han. 2000. Shamanism, Superstition and the Colonial Government.


13

Hal. 36.
Selain itu, karena semakin banyak orang tertarik pada budaya
tradisional Korea dalam beberapa tahun terakhir, sikap masyarakat
terhadap Shamanisme telah berubah. Akibatnya Shamanisme telah
berubah secara positif. Shamanisme sekarang sering dianggap sebagai
ekspresi unik dari budaya Korea.
Pada abad ke-21 di Seoul saat pasca-industri pengetahuan publik
tentang gut meningkat dan akses praktik gut dipermudah. Sekarang,
altar persembahan menjadi lebih besar dan mengesankan daripada
yang digambarkan dalam foto-foto dari akhir abad ke-19. Karena
sekarang dengan waktu singkat, seorang mudang dapat membeli
berbagai keperluan untuk ritual di toko-toko, tidak perlu menunggu
adanya tenaga kerja yang menyiapkannya. Tambahan dari lampu
elektrik dan pengeras suara juga menambah efek dalam ritual gut. Saat
ini di Korea selatan, penampilan ritual gut menjadi budaya yang
dihargai dan komoditas berharga yang menghasilkan keuntungan
ekonomi. Ritual gut telah didokumentasikan selama ribuan tahun. Gut
dilakukan baik secara pribadi untuk klien (Sonnim) yang ingin
menenangkan leluhur mereka atau roh lain, dan dilakukan untuk
publik sebagai simbol warisan nasional.
BAB III
PENUTUP

A. KESIMPULAN
Ajaran Shintoisme berkembang dengan baik di kehidupan masyarakat
Jepang. Berawal dari sebuah kepercayaan sebuah kota di Jepang, kemudian
meluas bahkan menjadi agama negara. Peristiwa Restorasi Meiji yang
terjadi pada abad ke-19, mengantarkan agama Shinto menjadi agama resmi
negara. Sejak itu pula, muncul banyak aliran atau sekte yang dilandasi dari
ajaran agama Shinto. Sekte tersebut muncul baik dari organisasi dibawah
bantuan pemerintah dan yang berdiri sendiri. Agama shinto sangat
diperhatikan oleh pemerintah, bahkan dibuatkan lembaga khusus agama.
Namun, menginjak abad ke-20, pemerintah menghendaki agar agama
dipisahkan dari negara. Meskipun begitu, ajaran agama Shinto tetap
dipraktekkan ketika upacara-upacara penting masyarakat Jepang.
Shamanisme yang percaya akan kekuatan sihir yang mengatur nasib
atau peruntungan antara alam dan manusia melalui hubungan dengan arwah
dan para dewa. Pemahaman ini merupakan fenomena keagamaan tradisional
karena kaitannya yang erat dengan alam dan dunia sekitarnya . Meskipun
eksistensi Shamanisme memperngaruhi banyak aspek kehidupan
masyarakat Korea kuno, namun dalam perkembangannya tidak mampu
menghadapi modernisasi. Sehingga saat Korea mulai memasuki era modern,
Shamanisme mulai ditinggalkan, namun tidak dihilangkan karena dianggap
sebagai warisan budaya.
DAFTAR PUSTAKA

Chukun, Chang. 1988. Shamanism, the Spirit World of Korea: An Introduction to


Korean Shamanism. Berkeley: Asian Humanities Press.
Do Hyun, Han. 2000. Shamanism, Superstition and the Colonial Government.
Seoul: The Review Korean Studies, Vol. 3, No. 1.
Ellwood, Robert. Japanese Religion—The Ebook. ISBN 0-9747055-8-6 (ebook)
Hyun-key, Kim Hogarth. 1998. Trance and Possession Trance in Korean
Shamanism. Seoul: Seoul Press.
Ichiro, Hori. Japanese Religion Ed. 1. 1972. Tokyo: Kodansha International.
Joesoef Sou’yb. Agama-Agama Besar di Dunia. 1983. Jakarta: al-Husna Zikra.
John Allan, Grim. 1984. Chaesu Kut: A Korean Shamanistic Performance.
Nagoya: Asian Folklore Studies Vol. XLIII.
Keene, Michael. Agama-Agama Dunia. 2006. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Tae Go, Kim. 2009. Korean Shamanism: What is Korean Shamanism? Seoul:
Seoul Press.
Tongshik, Ryu. 2012. The History and Structure of Korean Shamanism. Seoul:
Yonsei University Press.

Anda mungkin juga menyukai