Anda di halaman 1dari 3

RESUME WEBINAR

PENGARUH AGAMA BUDDHA, SHINTO, DAN PEMIKIRAN KONFUSIUS DALAM


PERATURAN PEMERINTAH DAN KARYA SASTRA JEPANG

Setiap ajaran yang berkembang yang menyandarkan ajaran tersebut ke Buddha, sebenarnya
memiliki ciri-ciri tersendiri. Contohnya seperti Kuukai yang dulu mengajarkan di Jepang, mereka
menyebarkan ajaran yang disebut dengan Mikkyo yang merupakan ajaran-ajaran tersembunyi.
Ajaran ini sangatlah berbeda dari ajaran-ajaran Buddha lainnya. Karena ciri-ciri ajaran yang
bersandar ke Buddha bermacam-macam, maka disebutlah sebagai Buddhisme. Masyarakat Jepang
yang sekarang, banyak yang masih menganut paham Buddhisme, Shintoisme, dan Konfusianisme.
Pada saat zaman Meiji ketika ajaran Shinto menjadi agama yang diresmikan, maka seluruh
masyarakat Jepang harus disamaratakan meskipun ajarannya beragam.

Pertama-tama dimulai dari uang, karena manusia tidak bisa hidup tanpa adanya uang.
Setiap hal yang terdapat pada uang adalah hal yang penting. Pada uang jepang 10 yen, di dalam
motifnya ada byoudoin yang merupakan sebuah kuil yang ada di Kyoto. ‘Amida Nyorai” sebagai
Buddha utama jenis Buddha Mahayana untuk disembah/dipuja. Inti ajaran ini ialah jika percaya
pada salah satu Buddha saja sudah masuk ke nirwana. Aliran jenis Mahayana ini yang banyak
berkembang di Jepang. Dalam uang 10.000 yen, ada gambar Shotoku Taishi, alasan
mencantumkan gambar tersebut berkaitan dengan kebijakan yang dibuatnya, yaitu sistem
kepangkatan 12 level (Kan-i Juunikai no Seido). Dalam sistem ini, jabatan orang-orang di sekitar
Shotoku Taishi dapat dobedakan berdasarkan warna topi yang mereka pakai. Nama-nama pangkat
dalam sistem ini berasal dari ”Gorin Gojo” yang berarti 5 Nilai Moral dalam Konfusianisme. Pada
pemerintahan Shotoku Taishi, ajaran konfusianisme berkembang bersama dengan penggunaan
huruf kanji yang dibawa oleh teks-teks Buddha. Orang Jepang secara tidak sadar juga mempelajari
mengenai Buddha dan konfusianisme saat mempelajari huruf-huruf kanji. Ada istilah ”ronggo
yomi o ronggo shirazu” yang berarti membaca tanpa memahami ronggo. Istilah tersebut dapat
digunakan untuk menyebut orang yang beragama namun tidak mengerti dasar agamanya. Hal
inilah yang menjadi penyebab ajaran konfusianisme sangat kental dengan masyarakat Jepang masa
itu.
Pada uang 10.000 yen yang baru, terdapat gambar Shibuzawa Eichi (Bapak Manajemen
Keuangan Jepang Modern). Ia merupakan salah satu tokoh yang hidup pada akhir zaman Edo
sampai awal Meiji. Shibuzawa pernah menulis buku berjudul “Ronggo no Soroban”, buku ini
menjelaskan bagaimana nilai-nilai konfusianisme dapat diterapkan pada kehidupan bermasyarakat
terutama bidang ekonomi. Dapat disimpulkan bahwa tokoh-tokoh yang diabadikan dalam
beberapa mata uang tersebut memiliki keterkaitan dengan ideologi agama tertentu. Banyak orang
pada saat itu mengatakan bahwa orang Jepang tak punya agama, tetapi pandagan tersebut salah.
Sebab nilai-nilai dari Buddhisme dna Shintoisme ada dan sudah melebur dengan kehidupan
masyarakat Jepang.

Masuk ke dalam pembabakan zaman di Jepang dan perkembangan agama Shinto. Mulai
dari zaman Jomon, yang memiliki karakteristik takut akan fenomena alam dan berkembanglah
aliran animisme dan dinamisme. Pada zaman Yayoi, animisme dan dinamisme berkembang
semakin rumit, karena manusia pada zaman itu tidak hanya takut dengan fenomena alam, tetapi
juga sadar adanya sesuatu yang lebih besar dari dirinya. Pada zaman inilah muncul konsep adanya
dewa, sehingga mereka mulai melakukan pemujaan dan persembahan. Orang yang harus
memimpin pada zaman itu haruslah orang yang dapat berkomunikasi dengan para dewa atau
himiko (kini diwariskan pada miko) Seorang miko haruslah Wanita, karena didasari oleh ajaran
Shinto yang percaya bahwa perempuan merupakan penghubung antara dunia manusia dan para
dewa.

Pada zaman Asuka hingga Heian merupakan masa dimana masyarakat Jepang mulai
membentuk peraturan-peraturan warisan dari zaman Jomon dan Yayoi menjadi lebih kompleks.
Pembagian tugas, siapa yang menanam dan siapa yang menjual. Peraturan-peraturan ini
dilegalisasi dengan bentuk UU yang masih sederhana atau disebut dengan ritsuryou. Namun,
prosesnya tidak didasarkan oleh logika, melainkan berdasarkan pemikiran atas kekuatan yang
berada diluar jangkauan manusia.

Pada zaman Nara dan Heian, pemikiran bahwa Shinto dan Buddha memiliki kemiripan
mulai bermunculan. Dengan didasari oleh banyaknya utusan pelajar Jepang yang belajar ke dinasti
Tang dan Kembali dengan ilmu yang dipelajari, salah satunya adalah ilmu agama Buddha. Hanya
lingkungan kaisarlah yang dapat mempelajari agama Buddha dan masyarakat biasa masih kuat
kepercayaannya pada agama Shinto. Pengaruh agama Buddha yang kuat dapat dilihat dari karya
sastra Genji Monogatari. Latar belakang dari penulis karya tersebut yang tumbuh di lingkungan
kekaisaran yang memiliki ketertarikan pada agama Buddha. Karena itulah hanya kalangan ataslah
yang dapat membaca dan menulis. Buddha dan Shinto menjadi dua aliran agama terbesar di Jepang.
Pada zaman inilah terdapat sebuah gerakan besar yaitu usaha penyatuan antara agama Shinto dan
Buddha. Namun, keuda agama ini masing-masing saling menguat pengaruhnya sampai Era
Sengoku. Buddhisme berkembang pesat pada masyarakat kalangan bawah pada masa peperangan
dimana masyarakat cemas akan kematian dan banyak terjadi pertumpahan darah. Inilah yang
menjadi awal kepopuleran Buddhisme. Agama Shinto tidak dapat memberikan ketenangan akan
hal itu, sebab Shinto hanya berisi tentang pemujaan dewa-dewa saja. Hal ini juga yang mendasari
karya sastra pada zaman peperangan yang sangat kuat pengaruh Buddhanya.

Masuk ke zaman Azuchi Momoyama, mulai bermunculan orang-orang yang mempelajari


Konfusianisme lebih mendalam. Pada zaman itu juga ada pendeta Buddha yang belajar tentang
Konfusianisme, akhirnya terjadi pencampuran antara Buddha dan Konfusianisme. Seiring
berjalannya waktu, muncul permasalahan baru yang disebabkan oleh pemahaman inti ajaran
Konfusianisme mengenai penghormatan terhadap leluhur. Hal ini menyebabkan masyarakat
zaman Edo mulai mencari leluhurnya dengan cara mengkaji sejarah. Pada pertengahan zaman Edo,
terdapat banyak pencetakan ulang buku-buku mengenai ajaran Shinto. Salah satunya adalah yang
ditulis oleh Motoori Norinaga yang berjudul “Kojiki Den”, Motoori dalam bukunya menjelaskan
mengenai makna dari Kojiki dan cara membacanya

Pada zaman Meiji terdapat pemisahan antara agama Buddha dan Shinto yang masih
tercampur dalam teks. Pemisahan ini merupakan dampak dari pemikiran Kokugaku. Pemikiran
tersebut menyatakan bahwa agama Buddha berasal dari luar Jepang, sedangkan Shinto merupakan
agama asli dari Jepang. Pada zaman ini, Konfusianisme menjadi pondasi utama dari pelaksanaan
kebijakan pemerintah. Mayoritas orang-orang yang mempelajari konfusianisme adalah samurai,
karena tidak ada peperangan maka samurai tersebut bertugas sebagai seorang samurai yang belajar.
Konfusianisme dianggap menjadi ajaran yang paling sempurna di kalangan masyarakat, karena
terdapat aturan yang jelas tentang siapa yang harus dihormati dan bagaimana pemimpin memiliki
kekuasaan yang mutlak.

Anda mungkin juga menyukai