Dosen: Sudiyono
Di Susun Oleh :
1. Siti Solehati
2. Luci Septiani
FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM MA’ARIF NU
METRO LAMPUNG
1440 H/ 2018 M
i
KATA PENGANTAR
Segala puji syukur yang kami panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah
memberikan hidayah untuk berpikir sehingga dapat menyelesaikan makalah pada mata kuliah
Perbandingan Madhzab.
Dalam penulisan ini kami tulis dalam bentuk sederhana, sekali mengingat
keterbatasan yang ada pada diri penulis sehingga semua yang ditulis masih sangat jauh dari
sempurna.
Atas jasanya semoga Allah SWT memberikan imbalan dan tertulisnya Makalah ini
dapat bermanfaat dan kami minta ma’af sebelumnya kepada Dosen, apabila ini masih belum
mencapai sempurna kami sangat berharap atas kritik dan saran-saran nya yang sifatnya
membangun tentunya.
Penulis
ii
DAFTAR ISI
iii
BAB I
PENDAHULUAN
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas maka dapat dirumuskan, “Bagaimana
sejarah, ruang lingkup ajaran serta sistem peribadatan agama Shinto?”
1
BAB II
PEMBAHASAN
1
Abu Ahmadi, Perbandingan Agama ,(Jakarta: PT. Rineka Cipta. 2001). hal 67
2
Abu Ahmadi, Perbandingan Agama, hal 6-7.
2
3. Masa sinkronisasi antara agama Shinto dengan tiga ajaran agama lainnya, yaitu dari
tahun 800M sampai tahun 1700M. Dalam waktu Sembilan abad lamanya, akhirnya
lahir Ryobu-Shinto (Shinto-Panduan). Dibangun oleh Kobo-Daishi (774-835) dan
Kitabake Chikafuza (1293-1354M) dan Ichijo Kanoyoshi (1465-1500M)3
Demikian pula dengan dewa-dewa yang mereka hormati juga banyak sekali kurang
lebih sekitar 800 dewa. Yang terpenting adalah Amaterasu Omi Kami (dewa matahari)
juga dewa pelindung dan pertanian. Mengenai pembuatan patung-patung dewa hampir
tidak dikenal di Jepang kecuali seperti Uzuma (dewa bahagia), Inari (dewa padi) dan
Ebisu (dewa nelayan). Meskipun terdapat patung-patung dewa namun mereka tidak
pernah memujanya. Sebagai gantinya mereka memuja benda suci yang bernama Mitama
Shiro (Shintai) yakni berupa cermin, pedang dan permata yang disimpan di kuil
pemujaan. Pada barang pemberian dewa ini terletak persatuan antara rakyat, keluarga raja
dan negara.4
Pemeluk agama Shinto selain mengagungkan para leluhur juga mengagungkan
kaisar, karena kaisar pertama dipandang sebagai keturunan langsung Dewi Matahari serta
dianggap juga kekal dan bersih dari segala macam kekurangan dan kecacatan.
Orang Jepang tidak menolak aliran-aliran apa saja yang datang ke sana, oleh karena
itu agama Buddha dan lain-lain yang datang ke Jepang dapat berkembang dengan baik.5
Dengan berakhirnya PD II sikap pemerintah Jepang berubah total selain mengakui
kekalahan dalam perang juga bersikap netral dalam agama dan menjamin hak
kemerdekaan agama sepenuhnya. Akhirnya pada bulan Desember 1945, dikeluarkan
sebuah ketetapan pemerintah yang dikenal dengan pedoman Shinto yang tujuannya
adalah membasmi semua bentuk paham militerisme dan ultra-nasionalisme, membakukan
kemerdekaan agama serta memisahkan agama dan negara. Selanjutnya agama Shinto
berdiri sendiri sebagai sebuah agama yang sama kedudukannya dengan agama-agama
lain.6
3
Joesoef Sou’yb, Agama-agama Besar di Dunia, Jakarta:Pustaka AlHusna, hal.209
4
Abu Ahmadi, Perbandingan Agama, hal 6-7.
5
Abu Ahmadi, Perbandingan Agama, hal 7.
6
Siti Nadroh dan Syaiful Azmi, Agama-Agama Minor. (Jakarta: PrenadaMedia Group. 2015), hal 63.
3
3. Kebersihan diri, tiap orang harus memelihara kebersihan dirinya sebab dewa tidak
mau menghampiri orang-orang yang berjiwa kotor. Oleh karena itu, pengikut agama
Shinto membenci sesuatu yang bisa mengotori badan dan baju mereka.
4. Memelihara pergaulan, orang-orang jahat jangan didekati sebab kejahatan itu timbul
dari jiwa yang jahat pula dan orang berusaha menjauhkan diri dari pancaran jiwa dan
roh jahat tersebut.
5. Kerusakan jiwa itu karena hantu dan setan, dia memasuki jiwa manusia melalui suara
yang jahat oleh karena itu, orang harus berusaha agar jiwanya tidak dirasuki oleh
perkataan-perkataan yang keji dan kotor.
6. Tiap orang harus tulus dan berbudi luhur, apabila ia mati supaya dapat dimasukkan ke
dalam golongan Kami atau roh-roh baik.7
7
Abu Ahmadi, Perbandingan Agama, hal 9.
8
Abu Ahmadi, Perbandingan Agama, hal 6.
4
itu dukun/ahli sihir/pendeta-lah yang dianggap mampu untuk mengontrol mana ini,
untuk disucikan dengan ritual-ritual tertentu.9
2. Ajaran tentang Manusia
Konsep tentang manusia merupakan garis kesinambungan antara Kami dan
manusia. Kami diyakini bukan merupakan sesuatu yang mutlak dan transenden atas
manusia. Kami dan manusia berada dalam suatu hubungan yang diistilahkan Oya-ku
seperti halnya hubungan antara orang tua dan anak. Hal ini digambarkan dalam
mitologi garis keturunan Kaisar Jepang yang diyakini sebagai keturunan Dewa
Matahari. Jadi, manusia adalah putra Kami. Oleh karena itu, manusia adalah makhluk
yang hidup di bawah perlindungan dewa dan ditakdirkan hidup bahagia.
3. Ajaran tentang Dunia
Agama Shinto termasuk tipe agama “lahir satu kali” maksudnya memandang
dunia ini sebagai satu-satunya tempat kehidupan bagi manusia. Dalam pemikirannya
terdapat tiga jenis Dunia yakni pertama, Tamano-hara (tanah langit tinggi), sebuah
dunia suci, rumah dan tempat tinggal para dewa langit (Amatsu-kami). Kedua,
Yomino-kuni berarti dunia yang dibayangkan sebagai dunia yang gelap, kotor jelek,
menyengsarakan dan tempat orang-orang yang sudah meninggal dunia. Ketiga,
Tokoyono-kuni berarti kehidupan yang abadi, negeri yang jauh di seberang lautan atau
kegelapan yang abadi. Maksudnya dunia yang dibayangkan penuh dengan kenikmatan
dan kedamaian dianggap sebagai tempat tinggal arwah orang-orang yang meninggal
dalam keadaan suci. Ketiga dunia ini sering disebut kakuriyo (dunia yang
tersembunyi) dan dunia tempat tinggal manusia disebut ut-sushiyo (dunia yang
terlihat).
4. Ajaran tentang Etika
Menurut D.C Holten (ahli sejarah Jepang), menyatakan bahwa orang-orang
Jepang dilahirkan dalam ajaran Shinto kesetiaannya terhadap kepercayaan dan
pengamalan ajarannya menjadi kualifikasi si pertama sebagai “orang jepang yang
baik”. Beberapa ajaran tentang kepribadian terkandung dalam ajaran kesusilaan
biasanya dilakukan oleh para bangsawan atau para ksatria Jepang, antara lain:
a. Keberanian merupakan pokok utama yang ditanamkan pada anak dalam masa
permulaan hidupnya.
b. Sifat penakut dikutuk karena sifat ini dipandang dosa.
9
Harun Nasution, Falsafat Agama, (Jakarta: Bulan Bintang. 2003), hal 24-25.
5
c. Loyalitas yakni setia, pertama kesetiaan kepada Kaisar, anggota keluarga Kaisar,
masyarakat dan generasi yang akan datang.
d. Kesucian dan kebersihan adalah suatu hal yang sangat penting sehingga terdapat
upacara-upacara penyucian.
D. Tempat suci
Pada awalnya pemujaan dilakukan secara langsung, akan tetapi mulailah didirikan
bangunan-bangunan tertentu mulai dari yang sederhana sampai permanen. Adapun tempat
itu dinamakan jinja yang pada hakikatnya merupakan upacara pensucian dalam rangka
menyambut Kami. Upacara di jinja ini terbagi dalam tiga tahapan yakni upacara
pensucian pendahuluan (Kessai), kedua upacara pensucian (harai), ketiga upacara
persembahan sesaji. Ketiga upacara ini adalah untuk membantu manusia menemukan
kembali kesucian diri dan ketulusan hatiyang sebenarnya serta menolong agar dapat
hidup dalam kondisi kehidupan memuja Kami dengan kesungguhan.
Dalam setiap jinja setidaknya terdiri dari dua bagian utama, yakni honden (bagian
dalam jinja) dan haiden (ruang pemujaan). Adapun jinja yang lengkap terdiri dari norito-
den (ruang memanjatkan doa), heiden (ruang sesaji), kagura-den (ruang pertunjukan
upacara tari kagura), shamusho (ruang pengurus jinja), te-zu-mi-ya (tempat mencuci
tangan) dan torii (pemisah batas antara daerah suci jinja dengan daerah biasa).
Jinja- jinja memiliki tingkat dan diatur dalam sistem rangking yang mana masing-
masing tingkatan mendapat bantuan dari pemerintah. Dengan menilai dari segi
kekhususan pemujaannya seperti pemujaan nenek moyang kaisar, kaisar adan anggota
keluarganya atau dengan latar belakang sejarah tertentu.10
10
Harun Nasution, Falsafat Agama., hal 86-87.
6
3. Yengishiki, berisi nyanyian-nyanyian dan puji-pujian yang disusun pada abad ke-10 M
terdiri atas lima puluh bab. Sepuluh pertama berisikan ulasan-ulasan kisah-kisah
purbakala yang bersifat kultus, dilanjutkan dengan peristiwa selanjutnya sampai abad
ke-10 M. Inti isinya ialah mencatat dua puluh lima Norito yakni doa/puji-pujian yang
panjang untuk upacara keagamaan.
4. Manyoshio, himpunan sepuluh ribu daun yang disusun pada antara abad ke-5 dan
abad ke-8 M serta berisikan bunga rampai terdiri dari 4496 buah sajak.
Kitab Kojiki dan Nihonji menguraikan tentang abad para dewa sampai kepada
Amaterasu Omi Kami (Dewa Matahari) dan Tsukiyomi (Dewa Bulan) yang diangkat
menguasai langit dan putranya Jimmu Tenno yang diangkat untuk menguasai tanah yang
subur (Jepang) lalu disusul dengan silsilah keturunan Kaisar Jepang serta upacara
keagamaan dan pemujaan kepada Kaisar beserta para dea-dewinya.11
11
Harun Nasution, Falsafat Agama., hal 64-65.
7
4. Pada masa Muromachi (1338-1583)
Pada masa ini, muncul aliran dalam agama Shinto yang disebut Yoshida Shinto
yang mengajarkan kesatuan agama Shinto dengan Buddha dan Konfusius dengan
agama Shinto sebagai dasarnya. Sedangkan kesatuan agama Shinto dengan Buddha
dinamakan dengan Shinbutsu Shugo.
5. Pada masa Tokugawa (1603-1868)
Pada masa ini, agama Buddha ditetapkan sebagai agama resmi negara dan setiap
penduduk diwajibkan mencatatkan diri di klenteng-klenteng sebagai penganut
Buddha. Adapun tujuan dari kebijakan ini adalah untuk membendung masuknya
pengaruh agama Kristen yang dianggap sebagai ancaman bagi persatuan bangsa
Jepang dan sekaligus Kristen dituduh sebagai usaha terselubung kekuatan asing yang
ingin menaklukkan Jepang sehingga mengakibatkan agama Kristen dilarang di Jepang
dan secara otomatis tidak dapat berkembang.
6. Pada masa Restorasi Meiji (1868-1912)
Pada masa ini agama Kristen masih belum dapat menyebarkan agama dengan
leluasa, karena pemerintah melakukan gerakan pemurnian agama yakni memisahkan
agama Shinto dan Buddha. Pada tahun 1870, pemerintah membuat keputusan untuk
memperkuat hubungan agama Shinto dengan negara serta menciptakan kultus
nasional pemujaan terhadap Dewi Matahari sehingga membuat Jepang menjadi
negara teokrasi berdasarkan pada kultus agama Shint. Di lain pihak, para pendeta
Buddha justru bekerja sama dengan orang-orang Kristen untuk menuntut pemisahan
agama dari negara dan mewujudkan kebebasan beragama bagi seluruh masyarakat
Jepang.
Akhirnya pada tahun 1889, pemerintah mengeluarkan UU yang isinya
diantaranya adalah memberikan kebebasan beragama kepada semua warga Jepang
selama tidak membahayakan perdamaian, ketertiban dan tidak berlawanan dengan
kewajibannya sebagai warga negara serta menetapkan bahwa kepala negara dipegang
oleh Kaisar yang juga didukung oleh agama Konfusius dengan mendorong minat
masyarakat terhadap tradisi-tradisi Jepang kuno seperti minum teh, memakai pakaian
Kimono dll. Akhirnya, agama Kristen menjadi kaum oposisi yang berhadapan dengan
pemerintah dan kebanyakan dianut oleh kaum samurai yang tersingkir.
8
7. Pada masa setelah berakhirnya PD II-dewasa ini
Semenjak berakhirnya PD II , sikap pemerintah Jepang berubah ttal dalam
sikapnya terhadap agama yakni menjadi netral dan menjamin hak kemerdekaan
beragama sepenuhnya yang dibuktikan dengan UU 1947 yang sebelumnya merupakan
TAP pemerintah yakni pedoman Shinto isinya diantaranya memisahkan agama dan
negara dan pembatasan kekuasaan Kaisar yang hanya merupakan simbl rakyat saja.
Sehingga membuat agama Shinto menjadi agama yang sama kedudukannya dengan
agama lain.12 Meski begitu, banyak agama yang masuk dan berkembang di Jepang,
masyarakat Jepang tetap menganggap bahwa agama asli mereka adalah agama Shinto.
Dewasa ini, masyarakat Jepang pada umumnya menganggap dirinya menganut salah
satu agama yakni agama Shinto, Buddha dan Kristen. Namun, ada juga yang
menganut dan menjalankan ketiga-tiganya.13
G. Praktik Keagamaan
Agama Shinto tidak memiliki bentuk peribadatan yang sudah ditentukan. Setiap
pemeluk agama ini akan mengunjungi tempat suci sesuai kehendaknya, biasanya setiap
tanggal 1 atau 15 tiap bulan atau pada saat penyelenggaraan matsuri (pemujaan terhadap
Kami). Di dalam penyembahan terhadap Kami biasanya dipimpin oleh pendeta-pendeta
yang disebut shinshoku dan memakai pakaian khusus. Dua kali sehari pendeta-pendeta
tersebut menyajikan sajian di dalam kuil dengan membaca mantera-mantera dan puji-
pujian. Kuil Shinto di Jepang banyak sekali sekitar dua ratus ribu buah dan pendeta-
pendeta tersebut dapat turun-temurun14 namun untuk menjadi seorang pendeta harus
melalui pendidikan kependetaan yang diselenggarakan oleh jinja Honcho (persekutuan
tempat suci Shinto) atau melalui ujian. Biasanya para pendeta dibedakan dalam lima
tingkatan adalah sebagai berikut.
1. Saishu (tingkatan tertinggi), hanya dimiliki oleh seorang pangeran putra dari kalangan
keluarga kaisar
2. Guji, para pendeta yang memimpin sesuatu jinja serta bertanggung jawab akan
pelaksanaan upacara pada jinja-nya.
3. Gon-guji, kedudukannya dibawah sebagai pembantunya Guji.
4. Negi, pendeta biasa atau pendeta senior.
5. Gon-negi, pendeta muda (junior).
12
Nadroh dan Syaiful Azmi, Agama-Agama Minor, hal 61-63.
13
Nadroh dan Syaiful Azmi, Agama-Agama Minor., hal 106-117.
14
Nadroh dan Syaiful Azmi, Agama-Agama Minor, hal 69-72.
9
Ada pula kelompok pendeta yang disebut shoten dan shoten-ho (wakil pendeta),
biasanya hanya bertugas dalam jinja istana kaisar.15 Apabila pemeluk itu taat maka
melakukan pemujaan kepada Dewa setiap hari yakni pada pagi hari membersihkan diri
terlebih dulu sebelum menuju altar keluarga, membungkukkan badan, bertepuk tangan
dua kali, diam sebentar dengan sikap hormat dan khidmat kemudian melakukan aktivitas
keseharian. Pada kesempatan lain bisa juga menghadap kepada matahari, gunung atau
tempat suci.16
15
Nadroh dan Syaiful Azmi, Agama-Agama Minor., hal 88.
16
Nadroh dan Syaiful Azmi, Agama-Agama Minor.,, hal 72.
10
BAB III
KESIMPULAN
Agama Shinto adalah agama resmi rakyat Jepang. Agama ini diproklamirkan sebagai
agama negara pada tahun 1868 dan mempunyai kira-kira 10 aliran dengan penganut sekitar
21 juta jiwa. Kata Shinto berasal dari bahasa Tionghoa/Cina, Shen yang artinya roh dan Tao
artinya jalan dunia, bumi dan langit. Jadi Shinto berarti perjalanan roh yang baik.
Konsep tentang manusia merupakan garis kesinambungan antara Kami dan manusia.
Kami diyakini bukan merupakan sesuatu yang mutlak dan transenden atas manusia. Kami dan
manusia berada dalam suatu hubungan yang diistilahkan Oya-ku seperti halnya hubungan
antara orang tua dan anak. Hal ini digambarkan dalam mitologi garis keturunan Kaisar
Jepang yang diyakini sebagai keturunan Dewa Matahari. Jadi, manusia adalah putra Kami.
Oleh karena itu, manusia adalah makhluk yang hidup di bawah perlindungan dewa dan
ditakdirkan hidup bahagia.
11
DAFTAR PUSTAKA
12