Anda di halaman 1dari 9

Shinto

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas


Bagian Seri Agama di

Shinto

Praktek dan keyakinan

Kami
Tari Ritual

Kemurnian Ritual

Politeisme

Animisme

Festival Jepang

Mitologi

Kuil Shinto

Daftar Kuil Shinto

Ichinomiya

Twenty-Two Kuil

Sistem Modern Peringkat Kuil Shinto

Asosiasi Kuil Shinto

Arsitektur Shinto

Kami Penting

Amaterasu

Sarutahiko

Ame no Uzume

Inari

Izanagi

Izanami

Susanoo

Tsukuyomi

Literatur Penting
Kojiki

Nihon Shoki

Fudoki

Rikkokushi

Shoku Nihongi

Kogo Shi
Jinn Shtki

Kujiki

Lihat juga

Agama di Jepang

Istilah Shinto

Daftar Dewa Shinto

Benda Suci

Buddhisme Jepang

makhluk Mitikal

Agama

Sebuah torii di Kuil Itsukushima


Shinto ( Shint?, secara harfiah bermakna "jalan/jalur dewa") adalah sebuah agama yang
berasal dari Jepang. Dari masa Restorasi Meiji hingga akhir Perang Dunia II, Shinto adalah
agama resmi di Jepang.
Shinto sebagai agama asli bangsa Jepang, agama tersebut memiliki sifat yang cukup unik.
Proses terbentuknya, bentuk-bentuk upacara keagamaannya maupun ajaran-ajarannya
memperlihatkan perkembangan yang sangat ruwet. Banyak istilah-istilah dalam agama Shinto
yang sukar dialih bahasakan dengan tepat ke dalam bahasa lainnya. Kata-kata Shinto sendiri
sebenarnya berasal dari bahasa China yang berarti jalan para dewa, pemujaan para dewa,
pengajaran para dewa, atau agama para dewa. Dan nama Shinto itu sendiri baru
dipergunakan untuk pertama kalinya untuk menyebut agama asli bangsa Jepang itu ketika
agama Buddha dan agama konfusius (Tiongkok) sudah memasuki Jepang pada abad keenam
masehi.
Pertumbuhan dan perkembagan agama serta kebudayaan Jepang memang memperlihatkan
kecenderungan yang asimilatif. Sejarah Jepang memperlihatkan bahwa negeri itu telah
menerima berbagai macam pengaruh, baik kultural maupun spiritual dari luar. Semua
pengaruh itu tidak menghilangkan tradisi asli, dengan pengaruh-pengaruh dari luar tersebut
justru memperkaya kehidupan spiritual bangsa Jepang. Antara tradisi-tradisi asli dengan
pengaruh-pengaruh dari luar senantiasa dipadukan menjadi suatu bentuk tradisi baru yang
jenisnya hampir sama. Dan dalam proses perpaduan itu yang terjadi bukanlah pertentangan
atau kekacauan nilai, melainkan suatu kelangsungan dan kelanjutan. Dalam bidang spiritual,

pertemuan antara tradisi asli Jepang dengan pengaruh-pengaruh dari luar itu telah membawa
kelahiran suatu agama baru yaitu agama Shinto, agama asli Jepang.

Daftar isi

1 Pengertian

2 Sumber Penulisan

3 Sejarah

4 Kepercayaan dan Peribadatan Agama Shinto


o 4.1 Kepercayaan agama Shinto
o 4.2 Peribadatan agama Shinto

5 Ritual Shintoisme
o 5.1 Matsuri

6 Dewa Dewi

7 Kitab Suci

8 Tujuan Agama Shinto

9 Referensi

Pengertian
Shinto adalah kata majemuk daripada Shin dan To. Arti kata Shin adalah roh dan
To adalah jalan. Jadi Shinto mempunyai arti lafdziah jalannya roh, baik roh-roh
orang yang telah meninggal maupun roh-roh langit dan bumi. Kata To berdekatan dengan
kata Tao dalam taoisme yang berarti jalannya Dewa atau jalannya bumi dan langit.
Sedang kata Shin atau Shen identik dengan kata Yin dalam taoisme yang berarti gelap,
basah, negatif dan sebagainya ; lawan dari kata Yang. Dengan melihat hubungan nama
Shinto ini, maka kemungkinan besar Shintoisme dipengaruhi faham keagamaan dari
Tiongkok. Sedangkan Shintoisme adalah faham yang berbau keagamaan yang khusus dianut
oleh bangsa Jepang sampai sekarang. Shintoisme merupakan filsafat religius yang bersifat
tradisional sebagai warisan nenek moyang bangsa Jepang yang dijadikan pegangan hidup.
Tidak hanya rakyat Jepang yang harus menaati ajaran Shintoisme melainkan juga
pemerintahnya juga harus menjadi pewaris serta pelaksana agama dari ajaran ini.

Sumber Penulisan

Pertama sumber luar (asing) yang banyak ditemukan pada sejumlah buku atau site
seperti wikipedia misalnya, menjelaskan dengan cukup detail tentang agama ini.

Kedua, ajaran Shinto menurut versi negara terutama saat agama ini ditetapkan sebagai
agama resmi zaman Meiji dahulu. Doktrin dan ajaran mulai ditulis yang sepertinya
lebih difokuskan pada ajaran kesetiaan pada negara dan kaisar.

Ketiga, sumber dari lembaga pendidikan seperti Encyclopedia Shinto.

Dan yang terakhir adalah sumber dari masyarakat itu sendiri.

Sejarah
Shintoisme (agama Shinto) pada mulanya adalah merupakan perpaduan antara faham serba
jiwa (animisme) dengan pemujaan terhadap gejala-gejala alam. Shintoisme dipandang oleh
bangsa Jepang sebagai suatu agama tradisional warisan nenek moyang yang telah berabadabad hidup di Jepang, bahkan faham ini timbul daripada mitos-mitos yang berhubungan
dengan terjadinya negara Jepang. Latar belakang historis timbulnya Shintoisme adalah samasama dengan latar belakang historis tentang asal usul timbulnya negara dan bangsa Jepang.
Karena yang menyebabkan timbulnya faham ini adalah budidaya manusia dalam bentuk
cerita-cerita pahlawan (mitologi) yang dilandasi kepercayaan animisme, maka faham ini
dapat digolongkan dalam klasifikasi agama alamiah. Nama Shinto muncul setelah masuknya
agama Buddha ke Jepang pada abad keenam masehi yang dimaksudkan untuk menyebut
kepercayaan asli bangsa Jepang. Selama berabad-abad antara agama Shinto dan agama
Buddha telah terjadi percampuran yang sedemikian rupa (bahkan boleh dikatakan agama
Shinto berada di bawah pengaruh kekuasaan agama Buddha) sehingga agama Shinto
senantiasa disibukkan oleh usaha-usaha untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya
sendiri. Pada perkembangan selanjutnya, dihadapkan pertemuan antara agama Budha dengan
kepercayaan asli bangsa Jepang (Shinto) yang akhienya mengakibatkan munculnya
persaingan yang cukup hebat antara pendeta bangsa Jepang (Shinto) dengan para pendeta
agama Buddha, maka untuk mempertahankan kelangsungan hidup agama Shinto para
pendetanya menerima dan memasukkan unsur-unsur Buddha ke dalam sistem keagamaan
mereka. Akibatnya agama Shinto justru hampir kehilangan sebagian besar sifat aslinya.
Misalnya, aneka ragam upacara agama bahkan bentuk-bentuk bangunan tempat suci agama
Shinto banyak dipengaruhi oleh agama Buddha. Patung-patang dewa yang semula tidak
dikenal dalam agama Shinto mulai diadakan dan ciri kesederhanaan tempat-tempat suci
agama Shinto lambat laun menjadi lenyap digantikan dengan gaya yang penuh hiasan warnawarni yang mencolok.
Tentang pengaruh agama Buddha yang lain nampak pada hal-hal seperti anggapan bahwa
dewa-dewa Shintoisme merupakan Awatara Buddha (penjelmaan dari Buddha dan
Bodhisatwa), Dainichi Nyorai (cahaya besar) merupakan figur yang disamakan dengan
Waicana (salah satu dari dewa-dewa penjuru angin dalam Budhisme Mahayana), hal im
berlangsung sampai abad ketujuh belas masehi. Setelah abad ketujuh belas timbul lagi
gerakan untuk menghidupkan kembali ajaran Shinto murni di bawah pelopor Kamamobuchi,
Motoori, Hirata, Narinaga dan lain-lain dengan tujuan bangsa Jepang ingin membedakan
Badsudo (jalannya Buddha) dengan Kami (roh-roh yang dianggap dewa oleh bangsa
Jepang) untuk mempertahankan kelangsungan kepercayaannya. Pada abad kesembilan belas
tepatnya tahun 1868 agama Shinto diproklamirkan menjadi agama negara yang pada saat itu

agama Shinto mempunyai 10 sekte dan 21 juta pemeluknya. Sejak saat itu dapat dikatakan
bahwa paham Shintoisme merupakan ajaran yang mengandung politik religius bagi Jepang,
sebab saat itu taat kepada ajaran Shinto berarti taat kepada kaisar dan berarti pula berbakti
kepada negara dan politik negara.

Kepercayaan dan Peribadatan Agama Shinto


Kepercayaan agama Shinto
Dalam agama Shinto yang merupakan perpaduan antara faham serba jiwa (animisme) dengan
pemujaan terhadap gejala-gejala alam mempercayai bahwasanya semua benda baik yang
hidup maupun yang mati dianggap memiliki ruh atau spirit, bahkan kadang-kadang dianggap
pula berkemampuan untuk bicara, semua ruh atau spirit itu dianggap memiliki daya
kekuasaan yang berpengaruh terhadap kehidupan mereka (penganut Shinto), daya-daya
kekuasaan tersebut mereka puja dan disebut dengan Kami. Istilah Kami dalam agama
Shinto dapat diartikan dengan di atas atau unggul, sehingga apabila dimaksudkan untuk
menunjukkan suatu kekuatan spiritual, maka kata Kami dapat dialih bahasakan (diartikan)
dengan Dewa (Tuhan, God dan sebagainya). Jadi bagi bangsa Jepang kata Kami tersebut
berarti suatu objek pemujaan yang berbeda pengertiannya dengan pengertian objek-objek
pemujaan yang ada dalam agama lain.
Dewa-dewa dalam agama Shinto jumlahnya tidak terbatas, bahkan senantiasa bertambah, hal
ini diungkapkan dalam istilah Yao-Yarozuno Kami yang berarti delapan miliun dewa.
Menurut agama Shinto kepercayaan terhadap berbilangnya tersebut justru dianggap
mempunyai pengertian yang positif. Sebuah angka yang besar berarti menunjukkan bahwa
para dewa itu memiliki sifat yang agung, maha sempurna, maha suci dan maha murah. Oleh
sebab itu angka-angka seperti 8, 80, 180, 5, 100, 10, 50, 100, 500 dan seterusnya dianggap
sebagai angka-angka suci karena menunjukkan bahwa jumlah para dewa itu tidak terbatas
jumlahnya. Dan seperti halnya jumlah angka dengan bilangannya yang besar maka bilangan
itu juga menunjukkan sifat kebesaran dan keagungan Kami. Pengikut-pengikut agama
Shinto mempunyai semboyan yang berbunyi Kami negara no mishi yang artinya : tetap
mencari jalan dewa. Kepercayaan kepada Kami daripada benda-benda dan seseorang,
keluarga, suku, raja-raja sampai kepada Kami alam raya menimbulkan kepercayaan kepada
dewa-dewa. Orang Jepang (Shinto) mengakui adanya dewa bumi dan dewa langit (dewa
surgawi) dan dewa yang tertinggi adalah Dewi Matahari (Ameterasu Omikami) yang
dikaitkan dengan pemberi kamakmuran dan kesejahteraan serta kemajuan dalam bidang
pertanian.
Disamping mempercayai adanya dewa-dewa yang memberi kesejahteraan hidup, mereka juga
mempercayai adanya kekuatan gaib yang mencelakakan, yakni hantu roh-roh jahat yang
disebut dengan Aragami yang berarti roh yang ganas dan jahat. Jadi dalam Shintoisme ada
pengertian kekuatan gaib yang dualistis yang satu sama lain saling berlawanan yakni Kami
versus Aragami (Dewi melawan roh jahat) sebagaimana kepercayaan dualisme dalam agama
Zarathustra.
Dari kutipan di atas dapat dilihat adanya tiga hal yang terdapat dalam konsepsi kedewaan
agama Shinto, yaitu :

Dewa-dewa yang pada umumnya merupakan personifikasi dari gejala-gejala alam itu
dianggap dapat mendengar, melihat dan sebagainya sehingga harus dipuja secara
langsung.

Dewa-dewa tersebut dapat terjadi (penjelmaan) dari roh manusia yang sudah
meninggal.

Dewa-dewa tersebut dianggap mempunyai spirit (mitama) yang beremanasi dan


berdiam di tempat-tempat suci di bumi dan mempengaruhi kehidupan manusia.

Peribadatan agama Shinto


Agama Shinto sangat mementingkan ritus-ritus dan memberikan nilai sangat tinggi terhadap
ritus yang sangat mistis. Menurut agama Shinto watak manusia pada dasarnya adalah baik
dan bersih. Adapun jelek dan kotor adalah pertumbuhan kedua, dan merupakan keadaan
negatif yang harus dihilangkan melalui upacara pensucian (Harae). Karena itu agama Shinto
sering dikatakan sebagai agama yang dimulai dengan dengan pensucian dan diakhiri dengan
pensucian. Upacara pensucian (Harae) senantiasa dilakukan mendahului pelaksanaan
upacara-upacara yang lain dalam agama Shinto.
Ritus-ritus yang dilakukan dalam agama Shinto terutama adalah untuk memuja dewi
Matahari (Ameterasu Omikami) yang dikaitkan dengan kemakmuran dan kesejahteraan serta
kemajuan dalam bidang pertanian (beras), yang dilakukan rakyat Jepang pada Bulan Juli dan
Agustus di atas gunung Fujiyama.

Ritual Shintoisme
Matsuri adalah kata dalam bahasa Jepang yang menurut pengertian agama Shinto berarti
ritual yang dipersembahkan untuk Kami, sedangkan menurut pengertian sekularisme berarti
festival, perayaan atau hari libur perayaan. Matsuri diadakan di banyak tempat di Jepang dan
pada umumnya diselenggarakan jinja atau kuil, walaupun ada juga matsuri yang
diselenggarakan gereja dan matsuri yang tidak berkaitan dengan institusi keagamaan. Di
daerah Kyushu, matsuri yang dilangsungkan pada musim gugur disebut Kunchi. Sebagian
besar matsuri diselenggarakan dengan maksud untuk mendoakan keberhasilan tangkapan
ikan dan keberhasilan panen (beras, gandum, kacang, jawawut, jagung), kesuksesan dalam
bisnis, kesembuhan dan kekebalan terhadap penyakit, keselamatan dari bencana, dan sebagai
ucapan terima kasih setelah berhasil dalam menyelesaikan suatu tugas berat. Matsuri juga
diadakan untuk merayakan tradisi yang berkaitan dengan pergantian musim atau mendoakan
arwah tokoh terkenal. Makna upacara yang dilakukan dan waktu pelaksanaan matsuri
beraneka ragam seusai dengan tujuan penyelenggaraan matsuri. Matsuri yang mempunyai
tujuan dan maksud yang sama dapat mempunyai makna ritual yang berbeda tergantung pada
daerahnya. Pada penyelenggaraan matsuri hampir selalu bisa ditemui prosesi atau arakarakan Mikoshi, Dashi (Danjiri) dan Yatai yang semuanya merupakan nama-nama kendaraan
berisi Kami atau objek pemujaan. Pada matsuri juga bisa dijumpai Chigo (anak kecil dalam
prosesi), Miko (anak gadis pelaksana ritual), Tekomai (laki-laki berpakaian wanita), Hayashi
(musik khas matsuri), penari, peserta dan penonton yang berdandan dan berpakaian bagus,
dan pasar kaget beraneka macam makanan dan permainan

Matsuri

Matsuri berasal dari kata matsuru (matsuru? menyembah, memuja) yang berarti pemujaan
terhadap Kami atau ritual yang terkait. Dalam teologi agama Shinto dikenal empat unsur
dalam matsuri: penyucian (harai), persembahan, pembacaan doa (norito), dan pesta makan.
Matsuri yang paling tua yang dikenal dalam mitologi Jepang adalah ritual yang dilakukan di
depan Amano Iwato. Matsuri dalam bentuk pembacaan doa masih tersisa seperti dalam
bentuk Kigansai (permohonan secara individu kepada jinja atau kuil untuk didoakan dan
Jichinsai (upacara sebelum pendirian bangunan atau konstruksi). Pembacaan doa yang
dilakukan pendeta Shinto untuk individu atau kelompok orang di tempat yang tidak terlihat
orang lain merupakan bentuk awal dari matsuri. Pada saat ini, Ise Jing merupakan salah satu
contoh kuil agama Shinto yang masih menyelenggarakan matsuri dalam bentuk pembacaan
doa yang eksklusif bagi kalangan terbatas dan peserta umum tidak dibolehkan ikut serta.
Sesuai dengan perkembangan zaman, tujuan penyelenggaraan matsuri sering melenceng jauh
dari maksud matsuri yang sebenarnya. Penyelenggaraan matsuri sering menjadi satu-satunya
tujuan dilangsungkannya matsuri, sedangkan matsuri hanya tinggal sebagai wacana dan tanpa
makna religius

Dewa Dewi
Dewi matahari Shinto disebut Tensho Daijin yang juga dikenal dengan Amaterasu Omikami.
Amaterasu adalah Ratu dari seluruh Kami, ia adalah anak dari Izanagi dan Izanami (Dewa
Pencipta dari mitologi Jepang). Keluarga Kekaisaran Jepang mengatakan bahwa mereka
adalah keturunan langsung dari garis keturunan Dewi Amaterasu. Oleh karena itu maka para
Kaisar Jepang dianggap sebagai keturunan para dewa. Kamus Istilah dan Konsep Buddhis
menyertakan informasi berikut berkaitan dengannya: Dewi Matahari yang terdapat dalam
mitologi Jepang, yang belakangan diadopsi menjadi seorang dewa pelindung dalam
Buddhisme. Menurut catatan sejarah tertua, Kojiki (Catatan tentang Hal-hal Kuno) dan Nihon
Shoki (Sejarah Negeri Jepang), ia adalah pemimpin mahkluk gaib dan juga leluhur dari
keluarga kerajaan. Dalam banyak tulisannya, Nichiren Daishonin memandang Tensho Daijin
sebagai personifikasi dari perbuatan-perbuatan yang melindungi kemakmuran orang-orang
yang memiliki hati kepercayaan dalam Hukum Sejati.

Kitab Suci
Kitab suci agama Shinto yang paling tua ada dua buah, yang disusun sepuluh abad
sepeninggal Jimmu Tenno (660 SM) yang merupakan kaisar Jepang yang pertama, yaitu;
Kojiki (Catatan dari hal-hal Kuno) yang mencatat peristiwa-peristiwa purbakala yang disusun
pada 712 M, dan Nihongi (Sejarah Jepang) yang ditulis pada 720 M oleh seorang pangeran
Jepang . Kemudian terdapat dua karya kemudian, yakni Yengishiki (Lembaga-lembaga pada
masa Yengi), dan Manyoshiu yaitu kumpulan dari 10.000 daun adalah karya utama, tapi ini
tidak dianggap sebagai kitab suci yang diwahyukan.

Tujuan Agama Shinto


Tujuan utama dari Shinto adalah mencapai keabadian di antara mahluk-mahluk rohani, Kami.
Kami dipahami oleh penganut Shinto sebagai satu kekuasaan supernatural yang suci hidup di
atau terhubung dengan dunia roh. Agama Shinto sangat animistik, sebagaimana kebanyakan
keyakinan timur, percaya bahwa semua mahluk hidup memiliki satu Kami dalam hakikatnya.
Hakikat manusia adalah yang paling tinggi, karena mereka memiliki Kami yang paling

banyak. Keselamatan adalah hidup dalam jiwa dunia dengan mahluk-mahluk suci ini, Kami.
Jalan Untuk Mencapai Tujuan Dalam Shinto keselamatan dicapai melalui pentaatan terhadap
semua larangan dan penghindaran terhadap orang atau obyek yang mungkin menyebabkan
ketidak sucian atau polusi. Persembahyangan dilakukan dan persembahan dibawa ke kuil
untuk para Dewa yang dikatakan ada sejumlah 800 miliar di alam semesta. Manusia tidak
mempunyai Tuhan tertinggi untuk ditaati, tapi hanya perlu mengetahui bagaimana
menyesuaikan diri dengan Kami dalam berbagai manifestasinya. Kami seseorang tetap hidup
setelah kematian, dan manusia biasanya menginginkan untuk berharga dan dikenang dengan
baik oleh keturunannya. Oleh karena itu, pemenuhan kewajiban adalah unsur yang paling
penting dari Shinto.

Referensi

http://noerhayati.wordpress.com/2008/09/24/agama-shinto-sejarah-dan-ajarannya/

http://www.iloveblue.com/bali_gaul_funky/artikel_bali/detail/150.htm

http://hmikomlah.blogspot.com/2011/05/sejarah-ajaran-agama-shinto.html

Anda mungkin juga menyukai