Shinto
Kami
Tari Ritual
Kemurnian Ritual
Politeisme
Animisme
Festival Jepang
Mitologi
Kuil Shinto
Ichinomiya
Twenty-Two Kuil
Arsitektur Shinto
Kami Penting
Amaterasu
Sarutahiko
Ame no Uzume
Inari
Izanagi
Izanami
Susanoo
Tsukuyomi
Literatur Penting
Kojiki
Nihon Shoki
Fudoki
Rikkokushi
Shoku Nihongi
Kogo Shi
Jinn Shtki
Kujiki
Lihat juga
Agama di Jepang
Istilah Shinto
Benda Suci
Buddhisme Jepang
makhluk Mitikal
Agama
pertemuan antara tradisi asli Jepang dengan pengaruh-pengaruh dari luar itu telah membawa
kelahiran suatu agama baru yaitu agama Shinto, agama asli Jepang.
Daftar isi
1 Pengertian
2 Sumber Penulisan
3 Sejarah
5 Ritual Shintoisme
o 5.1 Matsuri
6 Dewa Dewi
7 Kitab Suci
9 Referensi
Pengertian
Shinto adalah kata majemuk daripada Shin dan To. Arti kata Shin adalah roh dan
To adalah jalan. Jadi Shinto mempunyai arti lafdziah jalannya roh, baik roh-roh
orang yang telah meninggal maupun roh-roh langit dan bumi. Kata To berdekatan dengan
kata Tao dalam taoisme yang berarti jalannya Dewa atau jalannya bumi dan langit.
Sedang kata Shin atau Shen identik dengan kata Yin dalam taoisme yang berarti gelap,
basah, negatif dan sebagainya ; lawan dari kata Yang. Dengan melihat hubungan nama
Shinto ini, maka kemungkinan besar Shintoisme dipengaruhi faham keagamaan dari
Tiongkok. Sedangkan Shintoisme adalah faham yang berbau keagamaan yang khusus dianut
oleh bangsa Jepang sampai sekarang. Shintoisme merupakan filsafat religius yang bersifat
tradisional sebagai warisan nenek moyang bangsa Jepang yang dijadikan pegangan hidup.
Tidak hanya rakyat Jepang yang harus menaati ajaran Shintoisme melainkan juga
pemerintahnya juga harus menjadi pewaris serta pelaksana agama dari ajaran ini.
Sumber Penulisan
Pertama sumber luar (asing) yang banyak ditemukan pada sejumlah buku atau site
seperti wikipedia misalnya, menjelaskan dengan cukup detail tentang agama ini.
Kedua, ajaran Shinto menurut versi negara terutama saat agama ini ditetapkan sebagai
agama resmi zaman Meiji dahulu. Doktrin dan ajaran mulai ditulis yang sepertinya
lebih difokuskan pada ajaran kesetiaan pada negara dan kaisar.
Sejarah
Shintoisme (agama Shinto) pada mulanya adalah merupakan perpaduan antara faham serba
jiwa (animisme) dengan pemujaan terhadap gejala-gejala alam. Shintoisme dipandang oleh
bangsa Jepang sebagai suatu agama tradisional warisan nenek moyang yang telah berabadabad hidup di Jepang, bahkan faham ini timbul daripada mitos-mitos yang berhubungan
dengan terjadinya negara Jepang. Latar belakang historis timbulnya Shintoisme adalah samasama dengan latar belakang historis tentang asal usul timbulnya negara dan bangsa Jepang.
Karena yang menyebabkan timbulnya faham ini adalah budidaya manusia dalam bentuk
cerita-cerita pahlawan (mitologi) yang dilandasi kepercayaan animisme, maka faham ini
dapat digolongkan dalam klasifikasi agama alamiah. Nama Shinto muncul setelah masuknya
agama Buddha ke Jepang pada abad keenam masehi yang dimaksudkan untuk menyebut
kepercayaan asli bangsa Jepang. Selama berabad-abad antara agama Shinto dan agama
Buddha telah terjadi percampuran yang sedemikian rupa (bahkan boleh dikatakan agama
Shinto berada di bawah pengaruh kekuasaan agama Buddha) sehingga agama Shinto
senantiasa disibukkan oleh usaha-usaha untuk mempertahankan kelangsungan hidupnya
sendiri. Pada perkembangan selanjutnya, dihadapkan pertemuan antara agama Budha dengan
kepercayaan asli bangsa Jepang (Shinto) yang akhienya mengakibatkan munculnya
persaingan yang cukup hebat antara pendeta bangsa Jepang (Shinto) dengan para pendeta
agama Buddha, maka untuk mempertahankan kelangsungan hidup agama Shinto para
pendetanya menerima dan memasukkan unsur-unsur Buddha ke dalam sistem keagamaan
mereka. Akibatnya agama Shinto justru hampir kehilangan sebagian besar sifat aslinya.
Misalnya, aneka ragam upacara agama bahkan bentuk-bentuk bangunan tempat suci agama
Shinto banyak dipengaruhi oleh agama Buddha. Patung-patang dewa yang semula tidak
dikenal dalam agama Shinto mulai diadakan dan ciri kesederhanaan tempat-tempat suci
agama Shinto lambat laun menjadi lenyap digantikan dengan gaya yang penuh hiasan warnawarni yang mencolok.
Tentang pengaruh agama Buddha yang lain nampak pada hal-hal seperti anggapan bahwa
dewa-dewa Shintoisme merupakan Awatara Buddha (penjelmaan dari Buddha dan
Bodhisatwa), Dainichi Nyorai (cahaya besar) merupakan figur yang disamakan dengan
Waicana (salah satu dari dewa-dewa penjuru angin dalam Budhisme Mahayana), hal im
berlangsung sampai abad ketujuh belas masehi. Setelah abad ketujuh belas timbul lagi
gerakan untuk menghidupkan kembali ajaran Shinto murni di bawah pelopor Kamamobuchi,
Motoori, Hirata, Narinaga dan lain-lain dengan tujuan bangsa Jepang ingin membedakan
Badsudo (jalannya Buddha) dengan Kami (roh-roh yang dianggap dewa oleh bangsa
Jepang) untuk mempertahankan kelangsungan kepercayaannya. Pada abad kesembilan belas
tepatnya tahun 1868 agama Shinto diproklamirkan menjadi agama negara yang pada saat itu
agama Shinto mempunyai 10 sekte dan 21 juta pemeluknya. Sejak saat itu dapat dikatakan
bahwa paham Shintoisme merupakan ajaran yang mengandung politik religius bagi Jepang,
sebab saat itu taat kepada ajaran Shinto berarti taat kepada kaisar dan berarti pula berbakti
kepada negara dan politik negara.
Dewa-dewa yang pada umumnya merupakan personifikasi dari gejala-gejala alam itu
dianggap dapat mendengar, melihat dan sebagainya sehingga harus dipuja secara
langsung.
Dewa-dewa tersebut dapat terjadi (penjelmaan) dari roh manusia yang sudah
meninggal.
Ritual Shintoisme
Matsuri adalah kata dalam bahasa Jepang yang menurut pengertian agama Shinto berarti
ritual yang dipersembahkan untuk Kami, sedangkan menurut pengertian sekularisme berarti
festival, perayaan atau hari libur perayaan. Matsuri diadakan di banyak tempat di Jepang dan
pada umumnya diselenggarakan jinja atau kuil, walaupun ada juga matsuri yang
diselenggarakan gereja dan matsuri yang tidak berkaitan dengan institusi keagamaan. Di
daerah Kyushu, matsuri yang dilangsungkan pada musim gugur disebut Kunchi. Sebagian
besar matsuri diselenggarakan dengan maksud untuk mendoakan keberhasilan tangkapan
ikan dan keberhasilan panen (beras, gandum, kacang, jawawut, jagung), kesuksesan dalam
bisnis, kesembuhan dan kekebalan terhadap penyakit, keselamatan dari bencana, dan sebagai
ucapan terima kasih setelah berhasil dalam menyelesaikan suatu tugas berat. Matsuri juga
diadakan untuk merayakan tradisi yang berkaitan dengan pergantian musim atau mendoakan
arwah tokoh terkenal. Makna upacara yang dilakukan dan waktu pelaksanaan matsuri
beraneka ragam seusai dengan tujuan penyelenggaraan matsuri. Matsuri yang mempunyai
tujuan dan maksud yang sama dapat mempunyai makna ritual yang berbeda tergantung pada
daerahnya. Pada penyelenggaraan matsuri hampir selalu bisa ditemui prosesi atau arakarakan Mikoshi, Dashi (Danjiri) dan Yatai yang semuanya merupakan nama-nama kendaraan
berisi Kami atau objek pemujaan. Pada matsuri juga bisa dijumpai Chigo (anak kecil dalam
prosesi), Miko (anak gadis pelaksana ritual), Tekomai (laki-laki berpakaian wanita), Hayashi
(musik khas matsuri), penari, peserta dan penonton yang berdandan dan berpakaian bagus,
dan pasar kaget beraneka macam makanan dan permainan
Matsuri
Matsuri berasal dari kata matsuru (matsuru? menyembah, memuja) yang berarti pemujaan
terhadap Kami atau ritual yang terkait. Dalam teologi agama Shinto dikenal empat unsur
dalam matsuri: penyucian (harai), persembahan, pembacaan doa (norito), dan pesta makan.
Matsuri yang paling tua yang dikenal dalam mitologi Jepang adalah ritual yang dilakukan di
depan Amano Iwato. Matsuri dalam bentuk pembacaan doa masih tersisa seperti dalam
bentuk Kigansai (permohonan secara individu kepada jinja atau kuil untuk didoakan dan
Jichinsai (upacara sebelum pendirian bangunan atau konstruksi). Pembacaan doa yang
dilakukan pendeta Shinto untuk individu atau kelompok orang di tempat yang tidak terlihat
orang lain merupakan bentuk awal dari matsuri. Pada saat ini, Ise Jing merupakan salah satu
contoh kuil agama Shinto yang masih menyelenggarakan matsuri dalam bentuk pembacaan
doa yang eksklusif bagi kalangan terbatas dan peserta umum tidak dibolehkan ikut serta.
Sesuai dengan perkembangan zaman, tujuan penyelenggaraan matsuri sering melenceng jauh
dari maksud matsuri yang sebenarnya. Penyelenggaraan matsuri sering menjadi satu-satunya
tujuan dilangsungkannya matsuri, sedangkan matsuri hanya tinggal sebagai wacana dan tanpa
makna religius
Dewa Dewi
Dewi matahari Shinto disebut Tensho Daijin yang juga dikenal dengan Amaterasu Omikami.
Amaterasu adalah Ratu dari seluruh Kami, ia adalah anak dari Izanagi dan Izanami (Dewa
Pencipta dari mitologi Jepang). Keluarga Kekaisaran Jepang mengatakan bahwa mereka
adalah keturunan langsung dari garis keturunan Dewi Amaterasu. Oleh karena itu maka para
Kaisar Jepang dianggap sebagai keturunan para dewa. Kamus Istilah dan Konsep Buddhis
menyertakan informasi berikut berkaitan dengannya: Dewi Matahari yang terdapat dalam
mitologi Jepang, yang belakangan diadopsi menjadi seorang dewa pelindung dalam
Buddhisme. Menurut catatan sejarah tertua, Kojiki (Catatan tentang Hal-hal Kuno) dan Nihon
Shoki (Sejarah Negeri Jepang), ia adalah pemimpin mahkluk gaib dan juga leluhur dari
keluarga kerajaan. Dalam banyak tulisannya, Nichiren Daishonin memandang Tensho Daijin
sebagai personifikasi dari perbuatan-perbuatan yang melindungi kemakmuran orang-orang
yang memiliki hati kepercayaan dalam Hukum Sejati.
Kitab Suci
Kitab suci agama Shinto yang paling tua ada dua buah, yang disusun sepuluh abad
sepeninggal Jimmu Tenno (660 SM) yang merupakan kaisar Jepang yang pertama, yaitu;
Kojiki (Catatan dari hal-hal Kuno) yang mencatat peristiwa-peristiwa purbakala yang disusun
pada 712 M, dan Nihongi (Sejarah Jepang) yang ditulis pada 720 M oleh seorang pangeran
Jepang . Kemudian terdapat dua karya kemudian, yakni Yengishiki (Lembaga-lembaga pada
masa Yengi), dan Manyoshiu yaitu kumpulan dari 10.000 daun adalah karya utama, tapi ini
tidak dianggap sebagai kitab suci yang diwahyukan.
banyak. Keselamatan adalah hidup dalam jiwa dunia dengan mahluk-mahluk suci ini, Kami.
Jalan Untuk Mencapai Tujuan Dalam Shinto keselamatan dicapai melalui pentaatan terhadap
semua larangan dan penghindaran terhadap orang atau obyek yang mungkin menyebabkan
ketidak sucian atau polusi. Persembahyangan dilakukan dan persembahan dibawa ke kuil
untuk para Dewa yang dikatakan ada sejumlah 800 miliar di alam semesta. Manusia tidak
mempunyai Tuhan tertinggi untuk ditaati, tapi hanya perlu mengetahui bagaimana
menyesuaikan diri dengan Kami dalam berbagai manifestasinya. Kami seseorang tetap hidup
setelah kematian, dan manusia biasanya menginginkan untuk berharga dan dikenang dengan
baik oleh keturunannya. Oleh karena itu, pemenuhan kewajiban adalah unsur yang paling
penting dari Shinto.
Referensi
http://noerhayati.wordpress.com/2008/09/24/agama-shinto-sejarah-dan-ajarannya/
http://www.iloveblue.com/bali_gaul_funky/artikel_bali/detail/150.htm
http://hmikomlah.blogspot.com/2011/05/sejarah-ajaran-agama-shinto.html