Anda di halaman 1dari 5

1. Pendahuluan Jepang merupakan negera yang terkenal dengan agama Shinto.

Shinto merupakan kepercayaan yang dianut oleh masyarakat Jepang sejak zaman leluhur mereka. Menurut Miyake Hitoshi, dalam bukunya Nihon Shuukyou no Kouzou (Struktur Agama Jepang) agama dibagi menjadi tiga jenis yaitu Mikai Shuukyou atau agama yang berkembang pada masyarakat primitif, Minzoku Shuukyou atau agama yang berkembang pada bangsa tertentu, dan Fuhen Shuukyou atau agama dunia/universal. Dalam kategori tersebut, Shinto masuk dalam kategori minzoku shuukyou. Shinto memang agama yang lahir dan berkembang hanya di Jepang saja. Jepang merupakan Negara yang dibentuk dan dinaungi oleh banyak dewa, menurut para leluhur orang Jepang. Dewa-dewa tersebutlah yang dipuja oleh masyarakat Jepang sehingga terbentuklah suatu kepercayaan pada bangsa tertentu. Shinto bukan merupakan kepercayaan yang doktrinal sehingga sebagian orang tidak menganggap Shinto sebagai agama, karena agam mengandung dimensi ritual, etikal, sosial, eksperimental, dan doktrinal (Effendi, Djohan. 2000). Pada kepercayaan Shinto tidak ada ajaran mengenai duni setelah kematian ataupun dunia akhirat. Bagi kepercayaan Shinto setelah kematian maka sudah selesailah tugas manusia tersebut tidak ada alam lagi setelah itu. Mungkin untuk beberapa orang Jepang hal tersebut dapat menjadi hal yang lumrah dan beberapa dari mereka meyakini bahwa tidak ada dunia lagi setelah kematian. Namun untuk sebagian orang Jepang yang lain menganggap bahwa sebenarnya ada dunia setelah kematian. Hal tersebut disampaikan oleh agama Buddha yang masuk ke Jepang melalui Cina dan Korea sekitar abad ke 6. Dari agama Buddha masyarakat mengenal mengenai raise.

2. Hal yang Mempengaruhi Pemikiran Raise di Jepang 2.1.Definisi Raise Menurut etimologi rai artinya masa depan, se artinya dunia, sehingga raise berarti dunia yang akan datang/akhirat. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, akhirat memiliki arti alam setelah kehidupan di dunia atau alam baka. Menurut kamus bahasa Jepang ( ), raise adalah bukkyou de, sansei no hitotsu; shigo, umarekawattesumuyo; kousei; koshou; miraise; raisei, yang jika diartikan ke dalam bahasa Indonesia kurang lebih berarti kehidupan setelah kematian dalam ajaran Buddha.

2.2.Konsep Raise dalam Shinto Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, kepercayaan Shinto tidak memiliki konsep mengenai dunia setelah kematian atau akhirat. Berbeda dengan agama atau kepercayaan lainnya yang memiliki konsep dunia setelah kematian atau akhirat, Shinto sama sekali tidak menyinggung mengenai hal tersebut. Shinto adalah agama yang mementingkan kebahagiaan dan ketenangan secara duniawi. Jika agama lain seperti Islam, Buddha, dan sebagainya sangat mementingkan akhirat sebagai tolak ukur perilaku mereka di dunia, pada Shinto sebagai tolak ukur perilaku mereka adalah hubungan dengan masyarakat dan alam sekitarnya (gense shugi). Tidak peduli apakah nanti setelah kematian mereka akan dilahirkan seperti apapun, yang terpenting adalah ketika di dunia mereka dapat menjalankan hidup sebaik-baiknya. Seperti kutipan dari Otomo Tabito (665-751) berikut:
Kono yo ni shi tanoshiku araba komu yo ni wa mushi ni tori nimo ware wa nari namu Ikeru mono tsuhi ni mo shimuru mono ni araba ima aru hodo wa tanoshiku arana Bila di dunia ini telah ku reguk segala bahagia, ku rela terlahir kembali sebagai unggas atau pun serangga Bila dikatakan yang hidup ini akhirnya kan mati jua kini selagi ku hidup kan kuraih segala bahagia

Dari kutipan tersebut dapat disimpulkan bahwa apabila kebahagiaan dunia telah diraih, maka mereka rela jika setelah mati dilahirkan menjadi apa saja, bahkan unggas atau pun serangga. Yang terpenting bagi penganut kepercayaan Shinto adalah selagi mereka masih hidup di dunia, mereka harus meraih segala kebahagiaan dunia. Selain

itu menurut kepercayaan Shinto, kematian merupakan sesuatu yang kotor (kegare). Sesuatu yang kotor menurut Shinto yaitu yang berhubungan dengan darah (akafujo) dan yang berhubungan dengan kematian (kurofujo). Untuk itulah Shinto jarang sekali membahas soal kematian karena merupakan hal yang kotor. Bahkan hampir tidak ditemukan ritual upacara kematian pada tradisi Shinto.

2.3.Konsep Raise dalam Buddha Pada agama Buddha, dunia setelah kematian dijelaskan secara jelas di dalam kitabnya. Bagi agama Buddha, kematian bukanlah akhir segalanya. Kematian adalah suatu fase peralihan dari dunia sebelum kematian, ke dunia kehidupan yang baru. Dalam ajaran Buddha dikenal sebagai fase kelahiran kembali atau yang sering disebut reinkarnasi. Menurut agama Buddha hidup tidak hanya sekali, ada siklus lahir dan mati bagaikan siang dan malam. Manusia akan lahir kembali dengan wujud yang berbeda-beda sesuai dengan amalannya selama kehidupan di dunia. Buddha mengatakan,sesuai dengan karmanya mereka akan bertumimba-lahir dan dalam tumimba lahirnya itu mereka akan menerima akibat dari perbuatannya sendiri. Karena itu aku menyatakan: semua makhluk adalah ahli waris dalam perbuatannya sendiri (A.V, 291). Dalam agama Buddha terdapat ritual atau upacara kematian yaitu dengan cara kremasi. Kremasi atau pengabuan adalah praktik penghilangan jenazah manusia setelah meninggal dengan cara membakarnya. Sebenarnya Buddha tidak mewajibkan umatnya untuk pemakaman dengan cara kremasi, tetapi melihat sang Buddha Gautama menitipkan pesan sebelum kematiannya untuk memperabukan jenazahnya, maka umatnya pun, sebagian besar, mengikuti cara kremasi tersebut. Pemakaman tersebut biasanya dipimpin oleh pendeta Buddha. Buddha berkata pada umatnya bahwa kematian bukanlah suatu hal harus ditakuti karena Buddha menjamin dalam sabdanya sebagai berikut: Bila kematian tiba, tak ada yang kubawa serta, Harta, kemewahan bukan lagi milikku. Kedudukan, nama dan kekuasaan, semua t'lah sirna. Siapa mengiringi perjalananku ? Lenyap sudah tali ikatan, Teman, sahabat, keluarga tercinta, hanya tinggal kenangan Kini kuteringat

48 janji besar Amitabha Buddha, Tekad mulia menolong semua makhluk, Bebas dari derita, Untuk lahir di Surga Sukhavati. Kepada-Nya aku berlindung, Sepenuh hatiku berseru : Namo Amitabha Buddha ( berulang-ulang )

2.4.Pandangan Orang Jepang mengenai Raise Pandangan orang Jepang tentang raise (alam akhirat) terbentuk oleh pemikiran agama Buddha. Tidak memikirkannya alam akhirat yang dianggap samar- samar, karena orang Jepang mempunyai pemikiran yang gensei chushin (memusatkan pemikiran pada hal yang duniawi). Boleh dikatakan orang Jepang daripada memikirkan dunia akhirat lebih menaruh perhatian pada kehidupan duniawi (Hirosachiya.1992: 119). Dari kutipan Hirosachiya tersebut dapat dilihat bahwa Jepang mengambil konsep raise dari agama Buddha. Di Jepang pun agama Buddha menjadi agama yang cukup banyak dipeluk oleh masyarakat Jepang. Namun agama Buddha di Jepang bukanlah agama Buddha beraliran Mahayana yang sama seperti negeri asalnya yaitu Tibet. Agam Buddha di Jepang telah menjepang sehingga tidak semua ajaran Buddha diambil sepenuhnya oleh Jepang. Bahkan agama Buddha itu sendiri telah menyatu dengan ajaran Shinto sehingga lahirlah shinbukkyou atau peleburan agama Buddha dan Shinto. Dari agama Buddha tersebut masyarakat Jepang mengambil konsep mengenai dunia setelah kematian atau alam akhirat. Bagi sebagian orang Jepang, memikirkan dunia setelah kematian itu mungkin suatu hal yang tidak terlalu penting. Namun sebagian besar orang Jepang ternyata merasa lega jika keluarganya telah melakukan upacara kematian secara Buddha bagi keluarganya yang sudah meninggal. Seperti yang dikutip oleh Hirosachiya berikut: Jika kami mengunjungi Jiin (kuil Buddha), hati kami terasa tenteram. Bila mendengar Sutra Buddha, meskipun kami tidak mengerti artinya timbul rasa terima kasih atau bersyukur. Pada waktu ada kematian orang tua kami merasa lega karena telah menyelenggarakan upacara kematian secara Buddha (Hirosachiya, 1992; 1). Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, sang Buddha telah berjanji pada sumpahnya bahwa Buddha akan menjamin umatnya selamat setelah kematian jika

mereka secara berulang-ulang mengucapkan Namo Amitabha Buddha / Namo Amida Butsu. Namun pada ajaran Buddha di Jepang, ucapan tersebut hanya cukup diucapkan satu kali saja dalam seumur hidupnya. Setelah mengucapkan Namo Amitabha Buddha / Namo Amida Butsu mereka harus menganggap dirinya sebagai orang yang tidak baik, karena dengan hal tersebut mereka menyadari bahwa betapa buruknya perilaku mereka dan mereka akan secara terus menerus berbuat kebaikan dalam masyarakat dan lingkungan sekitarnya. Hal tersebutlah yang akan membuat mereka diselamatkan oleh Buddha karena mereka bersungguh-sungguh ingin menjadi orang baik tetapi dengan selalu menganggap diri mereka masih belum baik sampai ajal menjemput.

3. Kesimpulan Masyarakat mengambil konsep raise dari agama Buddha. Namun tidak sepenuhnya ajaran Buddha tersebut diambil oleh masyarakat Jepang. Masyarakat Jepang yang pragmatis hanya mengambil bagian-bagian yang mereka piker patut untuk mereka ambil dan cocok dengan Jepang. Seperti halnya konsep raise atau dunia setelah kematian, orang Jepang mengambil konsep tersebut mungkin dengan dasar ingin menyelamatkan diri setelah kehidupan mereka di dunia selesai. Walaupun mereka sudah meraih segala bahagia di dunia, jika mereka tidak selamat di dunia setelah kematian maka kebahagiaan mereka di dunia menjadi sia-sia. Pada manusia terdiri dari dua dimensi, dimensi abadi dan dimensi yang tidak abadi. Dimensi abadi adalah roh manusia sedangkan dimensia yang tidak abadi adalah jasad manusia. Jika manusia telah meninggal, maka yang akan lenyap adalah jasadnya, tetapi rohnya yang bersifat kekal tidak akan lenyap. Untuk itulah manusia menyadari bahwa mereka sebenarnya roh mereka akan tinggal di suatu tempat yang mereka tidak ketahui keberadaannya. Untuk itu mereka mencari keselamatan di dunia dan juga keselamatan di akhirat. Mungkin hal tersebut juga mendasari orang Jepang yang pada awalnya tidak mementingkan dunia setelah kematian, menjadi peduli dengan hal tersebut.

Anda mungkin juga menyukai