Anda di halaman 1dari 40

AGAMA SHINTO

Oleh : Djam'annuri

PENDAHULUAN
Jepang adalah sebuah negara yang rakyatnya memiliki kehidupan beragama
yang cukup rumit. Agama Shinto, yang akan menjadi uraian tulisan, juga tidak identik
dengan agama Jepang, sungguhpun antara keduanya tidak dapat dipisah-pisahkan.
Dalam istilah "Agama Jepang" sekurang-kurangnya tercakup lima paham keagamaan,
yaitu agama rakyat, Seto, Buddhisme, Taoisme dan Konfusianisme. Di bawah istilah
tersebut tercermin adanya kesatuan dan keragaman dalam kehidupan agama-agama di
Jepang. Dikatakan "kesatuan" karena masing-masing agama yang telah disebutkan di
atas tidak hidup dalam keadaan yang terpisah satu sama lain, baik dalam sejarah
perkembangan masing-masing maupun dalam dinamika beragama sehari-hari. Di
sepanjang sejarah Jepang, masing-masing agama tersebut saling mempengaruhi satu
sama lain. Lagi pula, orang-orang Jepang pada umumnya memandang dan
menghayati agama lebih sebagai sebuah pandangan dunia yang terpadu daripada
sebagai alternatip-alternatip ajaran yang berdiri sendiri.
Di Jepang, seseorang atau sebuah keluarga sudah dianggap wajar dan biasa
bila berperan aktif baik dalam festival-festival agama Shinto, upacara peringatan
Buddha, maupun dalam melaksanakan etika Konfusianisme dan mengikuti
kepercayaan Taoisme dan agama rakyat. Bahkan, ada semacam pembagian tugas dan
wewenang antara agama-agama tersebut. Misalnya, urusan pekawinan menjadi
wewenang dan tanggungjawab para pendeta S.hinto, sementara urusan kematian
adalah wewenang para pendeta agama Buddha. Dengan demikian, pemelukan agama
bagi masyarakat Jepang pada umumnya bukan berarti bahwa seseorang harus memilih
suatu agama tertentu, sehingga orang tersebut mungkin menjadi pemeluk agama
Shinto atau Buddha atau Taoisme atau Konfusianisme, tetapi seorang Jepang
tradisional akan memeluk agama Shinto dan Buddha dan Taoisme dan Konfusianisme
sekaligus.
Kesatuan dalam agama Jepang juga terlihat melalui serangkaiantema yang
saling berhubungan, yang terdapat dalam hampir sepanjang sejarah Jepang dan
melintasi hampir semua agama yang ada. Tema-tema tersebut adalah: (i) kemiripan
yang sangat dekat antara manusia, dewa, dan alam; sifat agamis kehidupan keluarga;
(iii) penekanan pada pensucian, ritus dan jimat-jimat; (iv) mementingkan festival-

290
festival lokal dan kultus-kultus perorangan; (v) perembesan agama dalam kehidupan
sehari-hari; dan (vi) ikatan alami antara agama dan bangsa.
Sangat berbeda dengan agama-agama monoteistik, Islam misalnya, agama
Jepang, khususnya Shinto, tidak menekankan pada kepercayaan terhadap adanya satu
Tuhan Yang Mutlak dan tidak pula secara tajam menerapkan perbedaan antar dewa
dan manusia. Bagi agama tersebut, manusia, dewa dan alam membentuk suatu
segitiga saling hubungan yang harmonis. Keserupaan antara manusia, dewa dan alam
ini merupakan suatu dasar utama dalam agama Shinto atau para budha dan
boddhisattva menurut faham Buddhisme. Pengertian istilah kami itu sendiri,
sebagaimana akan diuraikan lebih lanjut di belakang, sangat membingungkan karena
jumlahnya sangat banyak, bahkan tak terhingga, dan jenisnya pun juga sangat
beragam. Segala objek dan bentuk kewujudan yang memiliki beberapa keistimewaan,
apakah itu benda atau manusia, memiliki sifat yang baik atau buruk, asal
menimbulkan rasa takut dan segan dapat disebut sebagai kami.
Keluarga Jepang, yang biasanya merupakan extended family, memiliki fungsi
keagamaan yang sangat penting, bukan saja dalam hubungannya dengan para
anggotanya yang masih hidup tetapi lebih-lebih dengan para anggota keluarga yang
sudah meninggal dunia. Dari segi yang tersebut akhir, agama Jepang sering diberi
label "pemujaan terhadap arwah nenek moyang" (ancestor worship), yang sarat
dengan berbagai macam ritus dan upacara untuk memuja dan menghormati arwah
leluhur. Akan tetapi, keluarga bukan saja penting untuk memuja nenek moyang
melainkan penting pula untuk memberikan keterpaduan bagi aktivitas-aktivitas
keagamaan. Setiap rumah biasanya memiliki sebuah miniatur tempat suci, sering
disebut kamidana, "rak dewa", untuk melakukan ritus harian. Kamidana juga dapat
ditemukan di tempat-tempat lain seperti warung-warung dan kapal-kapal yang tengah
berlayar. Selain itu, ada pula yang disebut dengan butsudan, suatu altar Buddha, untuk
menyampaikan sesaji harian kepada arwah nenek-moyang. Altar-altar keluarga ini
menunjukkan fungsi utama rumah dalam kehidupan agama di Jepang.
Upacara pensucian, baik fisik maupun spiritual, juga sangat penting dalam
agama Jepang. Di depan tempat suci agama Shinto, misalnya, terdapat air untuk
mencuci tangan dan membersihkan mulut sebelum mendekati tempat tersebut.
Pensucian dengan mempergunakan garam, air, dan api juga merupakan hal yang tidak
asing bagi agama-agama Jepang. Selain itu, ada pula upacara-upacara yang bertujuan

291
menjamin terpenuhinya kebutuhan manusia yang berkaitan dengan masalah pertanian,
kenelayanan dan sebagainya.
Beberapa ritus juga berhubungan dengan krisis-krisis hidup yang dialami
seseorang. Di samping itu dikenal pula adanya jimat-jimat yang dapat diperoleh dari
tempat-tempat suci agama Shinto maupun agama Buddha. Di zaman modern, salah
satu jimat yang sangat terkenal ialah jimat untuk "keselamatan dalam perjalanan".
Tempat-tempat suci agama Buddha dan Shinto di Jepang tidak
menyelenggarakan kegiatan mingguan. Sekalipun demikian, arti pentingnya tidaklah
berkurang. Melalui festival-festival keagamaan periodik, tempat-tempat suci tersebut
merupakan kekuatan penyatu yang menghubungkan setiap rumah dengan kelompok
keagamaan yang lebih luas. Beberapa kegiatan sosial dan ekonomi desa-desa yang
relatif kecil kadang-kadang juga berpusat di tempat-tempat suci agama Shinto.
Festival-festival lokal, dengan suasana karnavalnya, merupakan tipe khas kehidupan
agama di Jepang. Kultus-kultus perorangan, sekalipun tidak terorganisasikan dalam
skala yang bersifat nasional, tetap memainkan peranan yang sangat penting dalam
kebaktian agama.
Di sepanjang sejarah agama di Jepang, terlihat bahwa agama memainkan
peranan penting dalam kehidupan sehari-hari. Sebagai misal, sekalipun tidak ada
kunjungan mingguan secara teratur ke tempat-tempat suci, namun dalam kehidupan
seseorang terdapat tingkatan-tingkatan tertentu yang mengharuskannya berkunjung ke
tempat-tempat suci tersebut untuk mendapatkan perlindungan dan pemenuhan
keperluan-keperluan lainnya dari dewa. Demikian pula, sekarang upacara perkawinan
tradisional sering dilakukan di tempat-tempat suci agama Shinto, sementara upacara
kematian biasanya dilakukan di kelenteng-klenteng Buddha. Dalam pada itu,
langsung atau tidak langsung, agama juga memiliki hubungan yang khusus dengan
beberapa kegiatan ekonomi masyarakat, sebagaimana terlihat dari beberapa kegiatan
tempat-tempat suci yang melayani kepentingan kelompok-kelompok kerja tertentu,
semisal petani, pengrajin, nelayan dan sebagainya.
Sejarah agama Jepang juga memperlihatkan adanya hubungan yang sangat
erat dan jelas antara agama dan masyarakat. Jepang sebagai suatu bangsa, suatu ikatan
yang diyakini sudah ada sejak zaman primordial. Kaisar, yang dianggap sebagai
keturunan Dewi Matahari, adalah penguasa suci pulau-pulau Jepang yang merupakan
ciptaan dari para dewa. Oleh karena itu, kaisar adalah pusat simbolis dari ritus dan
pemerintahan. Sekalipun ia jarang mengatur pemerintahan secara langsung, namun

292
ritus-ritus yang dilakukannya dimaksudkan untuk kemakmuran seluruh negeri. Bukan
hanya agama Shinto, tetapi agama-agama lain di Jepang juga pernah memperlihatkan
tema semacam ini. Antara tahun 1868 hingga 1945, ikatan yang alami antara agama
dan bangsa ini dipergunakan oleh pemerintah untuk memperkuat semangat
nasionalisme dan militerisme.
Dari uraian yang telah dikemukakan, terlihat bahwa di Jepang terdapat adanya
semacam koeksistensi antara berbagai paham agama. Bukan tujuan pokok tulisan ini
untuk menguraikan lebih lanjut agama Jepang yang merupakan campuran dari
berbagai macam paham keagamaan itu. Uraian di atas dimaksudkan untuk
menempatkan agama Shinto secara tepat dalam kerangka kehidupan agama di Jepang
secara luas. Oleh karena agama tersebut memiliki sejarah yang cukup panjang dan
pada hakekatnya terbentuk sebagai hasil interaksi dengan berbagai macam tradisi
keagamaan, maka sulit menguraikan agama Shinto tanpa menghubungkannya dengan
agama-agama lainnya di Jepang, di samping sulit pula untuk membedakan secara
tajam agama tersebut dari tradisi-tradisi lainnya. Dalam konteks seperti itulah uraian
mengenai agama Shinto berikut akan dikemukakan.
ASAL-USUL DAN CIRI POKOK AGAMA SHINTO
Sedikit sekali yang diketahui mengenai masa prasejarah Jepang, khususnya
yang menyangkut asal-usul bangsa dan bahasa Jepang. Sekalipun demikian, para ahli
pada umumnya sepakat bahwa sebelum Buddhisme dan kultur Cina memasuki Jepang,
tradisi dan praktek-praktek keagamaam Jepang kuno berpusat pada lingkungan
keluarga, belum terorganisasi, dan hanya merupakan kumpulan tanpa nama dari
berbagai bentuk pemujaan alam, arwah nenek moyang, dan sananisme. Pada waktu
itu kehidupan sosial masyarakat Jepang tergambar dalam istilah matsurigoto, yang
dapat berarti "pemerintahan" dan "upacara keagamaan" sekaligus. Kepala suku bukan
saja menjadi pemimpin politik tetapi juga bertindak selaku pendeta tertinggi.
Setiap suku memiliki dewa sendiri, yang kadang-kadang dianggap sebagai
nenek moyangnya. Para dewa digambarkan sebagai manusia sebagaimana terlihat
dalam mite-mite kuno tentang terjadinya kepulauan Jepang. Pada umumnya segala
kewujudan yang menimbulkan perasaan segan dan takut dianggap mengandung sifat-
sifat kedewaan. Bahkan, benda-benda alam seperti binatang, pohon, gunung dan
sebagainya juga dijadikan objek pemujaan. Semuanya disebut kami. Kira-kira pada
abad

293
ke-4 Masehi, suku Yamato berhasil menguasai wilayah Jepang bagian tengah dan
selatan. Sejalan dengan itu, mite dan tradisi suku ini kemudian juga diangggap lebih
unggul daripada tradisi-tradisi suku-suku lainnya. Lambat laun mite suku Yamato
tersebut menjadi dasar utama bagi kepercayaan masyaralcat Jepang tentang asal-usul
kedewaan dan kelebihan bangsa Jepang daripada bangsa-bangsa lain.
Uraian utama dalam mite suku Yamato tersebut adalah tentang asal-usul alam
dan dunia ini, khususnya kepulauan Jepang. Pada mulanya, demikian antara lain
disebutkan, langit dan bumi masih dalam keadaan menyatu dan belum dapat dibeda-
bedakan. Kemudian mulailah muncul perbedaan-perbedaan: unsur-unsur ringan, yang
membentuk langit; dan unsur-unsur berat, Yang membentuk bumi. Dari awan putih
yang terletak di antara kedua unsur tersebut muncul tiga dewa, yang disebut Tiga
Kami Pencipta. Kemudian muncul pula dua dewa yang selanjutnya memperoleh
perhatian dan tempat istimewa dalam agama Shinto, yaitu dewa Izanagi dan dewi
Izanami. Keduanya menciptakan kepulauan Jepang lengkap dengan para dewanya,
seperti dewa bumi, dewa air, dewa gunung dan sebagainya, dan hal-hal penting
lainnya yang terdapat di alam ini. Setelah melahirkan dewa api, Izanami meninggal
dunia, dan kemudian menjadi Dewi Tanah Yomi, tempat orang-orang yang telah mati.
Ketika Izanagi pergi mengunjungi istrinya yang sudah mati itu, ia melangggar suatu
pantangan sehingga menjadi kotor dan berdosa. Oleh karena itu ia kemudian pergi ke
laut untuk melakukan upacara pensucian. Ketika sedang membersihkan diri di air,
dari matanya sebelah kiri terjadi Dewi Matahari, Amaterasu, dan dari air di matanya
sebelah kanan terjadi Dewi Bulan, TsukiYomi, sementara dari air yang dipergunakan
untuk membersihkan hidungnya terjadi Dewa Laut dan Gelombang.
Dewi Amaterasu memiliki seorang cucu yang bernama Ninigimikoto,yang
ditugaskannya untuk memerintah dunia disertai jaminan bahwa ia akan memerintah
dunia untuk selama-lamanya. Ia turun di daerah Kyushu. Putranya, Jimmu Tenno,
adalah kepala suku Yamato yang pertama dan juga kaisar Jepang pertama kali. Dari
garis inilah kemudian agama Shinto menanamkan kepercayaan di kalangan rakyat
Jepang bahwa negeri mereka senantiasa diperintah oleh satu dinasti kekaisaran
tunggal sejak awal mula sejarahnya sampai sekarang. Dalam garis ini pula para kaisar
Jepang menyatakan asal-usul mereka. Dengan demikian, kira-kira mulai saat suku
Yamato tersebut berkuasa, kultus dan tradisi keagamaan bangsa Jepang yang
beranekaragam sedikit demi sedikit mulai dipersatukan dan diorganisasikan ke dalam

294
suatu bentuk pemerintahan agama dengan suatu sistem ritus yang dipusatkan pada
Dewi Matahari, meskipun masih dalam keadaan tanpa nama.
Meialui paham Buddhisme, pengaruh-pengaruh asing mulai memasuki negeri
Jepang. Dalam waktu yang tidak terlalu lama, banyak di antara suku-suku terpandang
dan para bangsawan yang berpengaruh mulai memeluk agama tersebut, terutama
karena campur tangan penguasa. Pada tahun 655 misalnya, pemerintah pernah
mengeluarkan sebuah dekrit yang mengharuskan setiap keluarga Jepang untuk
memiliki butsudan, altar pemujaan Buddha, di rumah masing-masing. Di bawah
pemerintahan Nara (710-794), agama Buddha mencapai puncak perkembangannya,
yang ditandai dengan munculnya berbagai macam aliran agama tersebut di Jepang.
Akan tetapi tradisi dan praktek-praktek keagamaan masyarakat Jepang sebelumnya
tidaklah musnah, karena pada dasarnya agama Buddha di Jepang hanya menjadi
agama golangan elite saja, lagi pula ajaran dan filsafatnya cukup ruwet dan rumit
sehingga diperlukan kepandaian khusus untuk memahaminya.
Dalam pada itu, menjelang akhir abad ketujuh sebenarnya sudah mulai terlihat
tanda-tanda munculnya usaha untuk mempertahankan dan membangkitkan kembali
agama asli. Buddhisme cenderung dipandang sebagai paham yang asing, sehingga
lambat laun tumbuh kesadaran akan adanya perbedaan antara agama yang asli dengan
agama tersebut, dan timbul keinginan untuk mempelajari corak dan hakekat agama
sendiri. Karena Buddhisme menyebut dirinya dengan "jalan Buddha" (Butsudo atau
Buddhatao), maka untuk membedakan agama tradisional dari agama impor itu, dan
untuk mempertegas din dalam berhadapan dengan unsur-unsur asing lainnya,
dipergunakanlah nama "Shinto'', yang berarti "jalan kami". Kata tersebut berasal dari
istilah bangsa Cina, Shentao, tetapi di kalangan bangsa Jepang istilah "Shinto" dipakai
dalam arti "kamino-michi", jalan para dewa bangsa Jepang (kami).
Waktu itu agama Shinto masih tetap berpegang teguh pada sifatnya yang
sederhana dan corak keagamaannya yang animistis. Akan tetapi karena saat itu pula
bangsa Jepang sudah mulai membayangkan diri sebagai sebuah negara kekaisaran
yang mampu menyaingi kultur bangsa Cina yang jauh sudah lebih maju, dan agama
Shinto memberi kemungkinan diciptakannya suatu kultus nasional seperti yang
pernah dilakukan oleh para penguasa suku Yamato jauh sebelumnya, maka pemujaan
terhadap Dewi Matahari, yang pernah dikembangkan oleh suku tersebut, dihidupkan
dan digalakkan kembali. Kuil Dewi Matahari di Ise, yang konon menurut legende
didirikan pada tahun kelima sesudah Masehi, dijadikan tempat suci nasional. Di

295
samping itu, tahun 646M. dibentuk suatu badan yang bertugas mengurus masalah-
masalah Shinto. Badan tersebut ditempatkan langsung di bawah tanggung jawab
seorang pangeran. Tugas badan yang disebut Jingikan itu antara lain adalah
menyelenggarakan upacara dan perayaan keagamaan berdasarkan ketentuan-
ketentuan yang telah ditetapkan oleh undang-undang. Lambat laun upacara dan
perayaan keagamaan tersebut dianggap sebagai bentuk-bentuk kultus resmi dalam
agama Shinto.
Demikianlah, pemerintah mulai terlibat secara langsung dalam pengembangan
agama Shinto. Pemerintah juga mengeluarkan perintah untuk menyusun kitab-kitab
Kojiki dan Nihon Shoki atau yang sering disebut pula Nihongi. Kompilasi kitab Kojiki
selesai pada tahun 712, tetapi siapa penyusunnya tidak diketahui secara pasti. Isinya
berkenaan dengan mite-mite, legend-legende, dan uraian sejarah keluarga istana
kaisar Jepang sejak "Abad Para Dewa" hingga masa pemerintahan kaisar Suiko
(sampai 628 M.). Delapan tahun berikutnya, tepatnya 720 M., kitab Nihon Shoki
selesai disusun. Kitab ini terdiri dari 30 jilid dan memuat uraian tentang riwayat
Jepang sejak "Abad Para Dewa" hingga masa pemerintahan kaisar Hito (720 M.).
Separoh bagian pertama berisi mite-mite dan legende-legende tentang Jepang, dan
sisanya banyak yang memuat fakta-fakta sejarah.
Kedua kitab tersebut merupakan dokumen-dokumen tertulis pertama yang
memuat uraian tentang Jepang. Isinya, di samping memuat mite-mite, juga
menggambarkan dorongan politik maupun agama untuk menyatukan Jepang di
bawah satu kekuasaan pusat. Memang, keduanya disusun atas perintah langsung
kalangan istana. Akan tetapi, kedua dokumen tertulis itu juga memperlihatkan
pengaruh kebudayaan Cina yang waktu itu mulai terlihat nyata di Jepang, sebab, di
samping memuat unsur-unsur kosmologi Cina, bangsa Jepang sebenarnya belum
mengenal tulis-baca menjelang masuknya pengaruh Cina tersebut. Bahkan, pikiran
tentang pemilikan suatu sejarah atau tradisi sendiri dan mencatatnya dalam bentuk
tulisan juga dipinjam dan Cina. Dua bab pertama kedua dokumen tertulis tersebut
memberikan gambaran mengenai aneka macam ajaran berkenaan dengan generasi
para dewa dan penciptaan kepulauan Jepang, di bawah judul "Abad Para Dewa."
Dalam periode mitis ini, generasi-generasi para dewa (kami) mencapai puncaknya
dalam perkawinan antara Izanagi dan Izanami. Keduanya menciptakan kepulauan
Jepang dengan menusukkan "tombak permata dan Surga" dari jembatan di langit ke
dalam air asin yang terletak di bawahnya. Mereka kemudian turun ke negeri yang

296
telah tercipta itu dan menciptakan kami-kami dan isi alam lainnya. Dan pasangan
Izanagi-Izanami ini lahir Dewi Matahari yang menurunkan kaisar-kaisar Jepang.
Mudah dimengerti bahwa tujuan pokok kedua bab tersebut adalah untuk memberikan
justifikasi terhadap asal-usul kedewaan para kaisar Jepang yang kekuasaan mereka
diuraikan dalam bab-bab selanjutnya.
Kitab-kitab Kojiki dan Nihongi menggambarkan dua buah pemikiran
keagamaan penting: pertama, asal-usul kedewaan, atau semidewa, Jepang dan
rakyatnya; dan kedua, perkembangbiakan kami yang terkait erat dengan negeri dan
orang-orang Jepang. Dalam dokumen-dokumen awal itu terlihat adanya kecintaan
khas bangsa Jepang terhadap alam sebagai suatu perpaduan antara emosi keagamaan
dan estetika. Tema-tema ini tidak hanya terdapat dalam kitab-kitab Kojiki dan
Nihongi saja, tetapi juga dalam kehidupan masyarakat Jepang sejak masa prahistoris
dan seterusnya.
Pada abad ke-8 Masehi, pemerintah Jepang tetap melanjutkan kecenderungan
untuk memerintah berdasarkan sistem kombinasi religio-politik. Ia bertanggungjawab
terhadap kelayakan administrasi dan ritus-ritus keagamaan. Sebagaimana umumnya
dalam tradisi-tradisi kuno, ketepatan pelaksanaan ritus-ritus sangat diperlukan untuk
menjamin dan memelihara seluruh tata tertib kosmos. Upacara-upacara Shinto sampai
sekarang tetap berkaitan erat dengan fase-fase pertumbuhan tanaman padi. Saat
menanam padi diawali dengan suatu festival keagamaan, tetapi saat yang paling
penting adalah ketika musim panen. Pada waktu itu diselenggarakan upacara untuk
mempersembahkan padi baru kepada kami sebagai ungkapan rasa terimakasih kepada
dewa. Upacara penobatan seorang kaisar yang baru juga dilaksanakan sesudah
upacara panen ini. Upacara-upacara panting lainnya adalah upacara pensucian massal
yang diselenggarakan pada pertengahan dan akhir tahun.
Doa-doa keagamaan (norito), yang diperlukan untuk upacara-upacara Shinto
yang diselenggarakan secara umum, dicatat dalam sebuah kitab yang disebut
Engishiki, yang baru ditulis pada tahun 927 M. Doa tersebut dibaca oleh seorang
pendeta yang bertindak sebagai penghubung manusia dengan kami. Biasanya pendeta
tersebut "memanggil turun" kami pada permulaan upacara, dan "mengirimnya
kembali" pada akhir upacara. Caranya kadang-kadang dengan membuka dan menutup
kembali pintu-pintu yang menuju tempat suci bagian dalam, disebut shinden atau
ruangan kami, tempat meletakkan objek suci yang menjadi simbol kehadiran kami.

297
Ritus-ritus dan perayaan-perayaan Shinto pada umumnya berpusat di tempat-
tempat suci agama Shinto, yang disebut jinja atau miya [dalam bahasa Inggris, jinja
biasanya dialihbahasakan dengan "shrine" dan kata "temple" dipakai untuk menyebut
kelenteng Buddha, tera atau ji. Untuk selanjutnya dalam tulisan ini akan
dipergunakan kata "jinja" untuk menyebut tempat suci agama Shinto]. Bangunan-
bangunan jinja yang ada sekarang pada umumnya memperlihatkan pengaruh
arsitektur Buddha dan Cina, meskipun ada pula yang dibangun menurut model lama.
Jinja-jinja ini didirikan dengan mempergunakan tiang-tiang di atas tanah dan beratap
ilalang, seperti yang sekarang dapat ditemukan di Ise, salah satu kubu pertahanan
Shinto yang gigih berusaha menolak pengaruh Buddhisme.
Kegiatan-kegiatan agama bangsa Jepang kuno agaknya didasarkan pada ritme
tahun keagamaan dengan festival-festival musim semi dan musim gugur yang
menandai saat penanaman dan pengetaman padi. Sekarang pun, festival-festival
tersebut tetap merupakan perayaan-perayaan penting di sebagian besar jinja di daerah
perkotaan. Kegiatan keagamaan yang juga penting hingga sekarang ialah upacara-
upacara pensucian yang dilakukan pada pertengahan dan awal tahun, untuk
membersihkan diri dari kekotoran-kekotoran fisik maupun spiritual yang telah terjadi
selama setengah tahun sebelumnya. Festival-festival lainnya, yang diselenggarakan di
seluruh Jepang, ialah: (i) festival Tahun Baru; (ii) festival gadis atau festival boneka,
jatuh pada hari ketiga bulan ketiga; (iii) festival anak-anak, pada hari kelima bulan
kelima; (iv) festival bintang, pada hari ketujuh bulan ketujuh; (v) festival bunga seruni,
pada hari kesembilan bulan kesembilan. Kegiatan-kegiatan keagamaan lainnya juga
berlangsung menurut peristiwa-peristiwa dalam kehidupan seseorang. Anak yang baru
saja lahir biasanya dibawa ke jinja saat pertama ia ke luar dari rumah, dan pada usia-
usia tertentu ia dibawa lagi ke jinja. Pada masa-masa yang lebih kemudian, timbul
kebiasaan untuk melangsungkan perkawinan di dalam jinja. Kunjungan ke jinja juga
selalu dilakukan pada saat seseorang mengalami krisis. Sebagai misal, serdadu yang
akan pergi ke medan perang tentu akan berdoa memohon keselamatan dalam jinja
tempat ia dibawa ke sana pada waktu kecil dulu. Semua kunjungan ke jinja itu,
menurut keyakinan para pemeluk agama Shinto, membawa mereka berhubungan
dengan kami, kekuatan suci yang dianggap memelihara kehidupan mereka.
Uraian singkat mengenai asal-usul dan corak agama Shinto di atas
memperlihatkan bahwa unsur-unsur yang asli dan asing bercampur membentuk suatu
tradisi nasional Jepang. Uraian tersebut juga menunjukkan bahwa keliru jika

298
memandang Shinto semata-mata sebagai agama asli Jepang dengan
mempertentangkannya dengan ajaran-ajaran lain yang dianggap asing. Sekalipun
demikian, seorang sarjana Jepang yang sangat dihargai karena interpretasinya yang
kritis terhadap sejarah masa lampau agama Shinto, Tsunetsugu Muraoka,
mengemukakan tiga ciri pokok yang membedakan agama Shinto dari agama-agama
lainnya. Ketiga ciri pokok tersebut adalah: (1) Agama Shinto menekankan identitas
bangsa Jepang dengan keluarga kaisar dan asal-usul keturunan keluarga ini dari nenek
moyang kami; (2) Agama Shinto mempraktekkan sikap pengakuan yang "realistik"
terhadap hidup dan nilai-nilai yang ada di dunia ini, menerima hidup dan mati, baik
dan buruk, sebagai bagian-bagian yang tidak boleh tidak pasti ada dalam kehidupan di
dunia ini; dan (3) Agama Shinto sangat menghargai kejernihan dan kemurnian dalam
semua hal dan pikiran, berusaha menghilangkan kekotoran fisik dengan ritus-ritus
pengusiran setan dan pikiran-pikiran buruk dengan hati yang murni dan jernih. Ciri
pertama bersifat politik, yang kedua bersifat filosofis dan ketiga bersifat etis. Ketiga-
tiganya saling berhubungan dan berinteraksi membentuk "nada intelektual" yang
membentuk Shinto sepanjang sejarahnya.
Selain itu, seorang sarjana agama Shinto lainnya, Motohiko Anzu, menyifati
agama Shinto sebagai agama tipe "lahir sekali," bukan agama tipe "lahir dua kali."
Maksudnya, agama Shinto tidak memandang hidup setelah mati sebagai lebih penting
daripada hidup dunia ini. Menurut agama tersebut, dunia ini adalah satu-satunya
tempat untuk manusia sehingga masalah kehidupan di hari kemudian (eskatologi)
tidak begitu dikenal dalam agama Shinto.
Salah satu kesimpulan yang dapat diambil dari uraian tentang periode
pembentukan agama Shinto di atas ialah, bahwa segera setelah paham Buddhisme
masuk ke Jepang agama Shinto muncul dan memperoleh bentuknya yang awal. Akan
tetapi, agama tersebut tidak menciptakan bentuk-bentuk yang baru, melainkan
menghimpun dan mengorganisasikan warisan yang sudah ada sebelumnya menjadi
suatu tradisi yang khas. Tradisi khas ini meliputi mitologi, panteon kedewaan,
kependetaan, upacara-upacara keagamaan, dan tempat-tempat suci (jinja). Shinto
mengorganisasikan tradisi ini dalam rangka memberikan reaksi terhadap, dan
sebagian meniru, paham Buddhisme dan kultur bangsa Cina yang masuk ke Jepang.
Dengan demikian, sebenarnya terdapat ketegangan antara tujuan untuk memelihara
dan melestarikan tradisi bangsa sendiri dengan tujuan mengambil tradisi-tradisi asing.

299
Ketegangan ini bukan hanya terjadi pada masa pembentukan agama Shinto, tetapi
juga dalam sepanjang sejarah agama Jepang selanjutnya.
SEJARAH PERKEMBANGAN AGAMA SHINTO
Di bawah dinasti Heian (794-1160), Jepang memperlihatkan adanya usaha-
usaha pembaharuan, baik di bidang politik maupun agama. Kalau pada masa-masa
sebelumnya terjadi ketegangan antara Buddhisme dan agama Shinto, baik karena
alasan-alasan politis maupun alasan-alasan doktriner, maka pada masa Heian ini
muncul usaha-usaha untuk merukunkan kedua agama tersebut, antara lain melalui dua
orang tokoh terkenal. Saicho (767-822) dan Kukai (774-835), yang setelah meninggal
dunia masing-masing terkenal dengan sebutan Dengyo Daishi dan Kobo Daishi.
Saicho mendirikan sekte Tendai pada tahun 805, dan Kukai mendirikan sekte Shingon
pada 809. Ajaran kedua sekte tersebut sangat berpengaruh terhadap kehidupan
spiritual bangsa Jepang selama berabad-abad, bukan saja karena keduanya
mengemukakan konsep-konsep baru yang mudah dimengerti oleh masyarakat awam
pada umumnya dan lebih dapat diterima oleh mereka yang hendak tetap memegang
teguh tradisi asli, namun juga karena bangunan filsafatnya cukup luas dan luwes,
berusaha memadukan ajaran dan pemikiran keagamaan yang beranekaragam. Sebagai
misal, kedua tokoh tadi berusaha memunculkan dewa-dewa yang terdapat dalam
agama Shinto berdampingan dengan dewa-dewa agama Buddha. Usaha semacam ini
sebenarnya tidak baru, karena sudah dimulai pada masa Nara, tetapi baru berhasil
pada masa Heian.
Saicho mengajarkan bahwa dewa-dewa agama Buddha sebenarnya sama
dengan dewa-dewa dalam agama Shinto. Para dewa tersebut bersama-sama
mengembangkan kedua agama tadi. Ajaran semacam ini juga dikemukakan oleh
aliran Tendai Shinto, suatu cabang agama Shinto yang didirikan atas dasar pengajaran
Saicho. Kukai mengetengahkan suatu teori inkarnasi baru yang mengajarkan bahwa
untuk menyelamatkan umat manusia Buddha selalu muncul dalam aneka kewujudan
di berbagai tempat yang berbeda-beda. Menurut teori ini, dewa-dewa agama Shinto
pada hakekatnya adalah penjelmaan-penjelmaan dari para Buddha itu. Oleh karena itu,
sebenarnya tidak ada perbedaan antara pemujaan terhadap dewa-dewa Buddha dengan
pemujaan terhadap dewa-dewa agama Shinto. Lebih lanjut dikatakan, bahwa Buddha
Gautama adalah sama dengan Dewi Matahari, sementara para dewa agama Buddha
yang lebih rendah tingkatannya adalah sama dengan dewa-dewa agama Shinto yang
tingkatannya Juga lebih rendah. Kombinasi atau sinkritisme antara paham Buddhisme

300
dan Shinto ini dikenal dengan istilah Ryobu Shinto, yang berarti agama Shinto yang
beraspek ganda. Kukai biasanya dianggap sebagai penemu dan pendirinya.
Satu hal yang perlu diketahui ialah bahwa sinkritisme tersebut bukan dalam
bentuk peleburan dua buah organisasi keagamaan menjadi satu buah sekte tersendiri,
tetapi merupakan perpaduan antara dua macam pemikiran keagamaan, sedemikian
rupa, sehingga memungkinkan keduanya tetap hidup berdampingan tanpa
mengorbankan salah satunya. Agama Shinto menerima agama Buddha dengan cara
menambahkan dewa-dewa agama ini ke dalam panteon dewanya sendiri; dan agama
Buddha menyatakan bahwa dewa-dewa agama Shinto sebenarnya adalah penjelmaan
dari dewa-dewa dalam agama Buddha. Lambat laun para dewa itu dianggap sama saja
sehingga segala macam perbedaan akhirnya dihilangkan.
Sebagai akibat dari perpaduan di atas, perbedaan antara agama Shinto dan
agama Buddha hampir-hampir tidak tampak lagi. Para pendeta agama Buddha
kemudian juga memperoleh keleluasaan dalam jinja-jinja Shinto. Bahkan, pengaruh
agama Buddha juga semakin bertambah kuat, sehingga upacara-upacara dan
perayaan-perayaan keagamaan dalam Shinto, hiasan-hiasan dalam jinja, juga patung-
patung dewa agama tersebut, banyak ditentukan berdasarkan keinginan para pendeta
agama Buddha. Sungguhpun demikian, percampuran kedua agama tersebut tidak
sempurna betul. Di kalangan rakyat umum tetap ada semacam pembagian tugas fungsi
antara keduanya, yang masih tetap berlanjut hingga sekarang. Agama Shinto
membimbing urusan keduniaan, sementara agama Buddha bertanggungjawab dalam
persoalan kematian. Peristiwa-peristiwa seperti kelahiran, perkawinan, festival,
perayaan kemenangan dalam perang, diurus oleh agama Shinto; tetapi hal-hal yang
menyangkut upacara-upacara untuk orang yang sudah mati menjadi wewenang dan
tugas agama Buddha. Oleh karena itu, agama Buddha di Jepang sering disebut dengan
"agama orang yang sudah mati."
Selain itu, paham Buddhisme pada dasarnya tetap terpusat di sekitar
kehidupan istana. Bahkan, lambat laun para pengikut Saicho dan Kukai mulai
melupakan cita-cita guru-guru mereka untuk membina kesejahteraan sosial. Dalam
pada itu, akhir masa Heian ditandai dengan timbulnya berbagai kekacauan akibat
pemerintahan yang semakin melemah dan korup. Oleh sebab itu, tumbuh harapan
umum terhadap munculnya suatu perubahan dan pembaharuan yang dapat membawa
kepada keadaan yang lebih baik. Harapan ini antara lain tampak dalam kebangkitan
spiritual yang menandai akhir masa kekuasaan dinasti Heian dan awal dinasti

301
Kamakura (1185-1336). Selama periode kebangkitan agama ini, agama Buddha yang
semula masih dianggap agama asing, dirubah menjadi Jepang. Gerakan-gerakan
pembaharuan keagamaan yang terpenting pada masa ini semuanya berasal dari agama
Buddha.
Masa Kamakura digantikan oleh masa dinasti Ashikaga (1336-1573). Selama
masa ini boleh dikatakan tidak pernah ada suatu bentuk pemerintahan yang stabil dan
mantap di Jepang. Kehidupan di bidang agama juga memperlihatkan kemerosotan.
Sedikit sekali orang yang berusaha mengadakan pembaharuan, baik di bidang sosial
maupun agama. Para pendeta dan lembaga-lembaga agama Buddha mengulang
kembali sejarah buruknya di masa lalu, yaitu lebih banyak melayani kepentingan
politik para bangsawan. Oleh karena itu, masa kekuasaan dinasti Ashikaga ini sering
disebut dengan "Abad-abad Kegelapan" dalam sejarah Jepang.
Pada tahun 1484, di Jepang muncul suatu aliran dalam agama Shinto yang
mengajarkan kesatuan antara Shinto, Buddhisme dan Konfusianisme  di Jepang,
Konfusianisme, juga Taoisme, tidak pernah membentuk suatu organisasi keagamaan
yang formal seperti yang dilakukan oleh Shinto dan Buddhisme]. Aliran ini disebut
Yoshida Shinto, yang didirikan oleh Yoshida Kanetomo (1435-1511). Kesatuan antara
ketiga agama tersebut digambarkan sobagai berikut: "Agama Buddha dapat dianggap
sebagai bunga dan buah dari semua prinsip aturan (dharrna) yang ada di alam ini;
agama Konfusius sebagai cabang dan rantingnya; dan agama Shinto sebagai akar dan
batangnya." Aliran ini, di samping menganggap kami sebagai kewujudan yang berada
di luar manusia, juga menganggapnya menempati dalam jiwa seseorang. Sejak akhir
zaman pertengahan sampai saat restorasi zaman Meiji, sekte Yoshida Shinto memiliki
banyak pengikut yang tersebar luas di seluruh Jepang dan cukup berpengaruh dalam
lingkungan para pendeta dan dalam menentukan bentuk-bentuk upacara agama Shinto.
Di bawah dinasti Tokugawa atau Edo (1603-1868), rakyat Jepang menikmati
masa yang penuh dengan ketentraman dan kedamaian. Sungguhpun demikian,
kehidupan dalam bidang agama tetap memperlihatkan adanya kemunduran. Pada
waktu itu, agama Buddha dijadikan satu-satunya agama yang diakui oleh negara.
Pemerintah mengawasinya dan mempergunakannya untuk tujuan-tujuan memelihara
ketertiban sosial maupun untuk mengatur kehidupan spiritual bangsa. Setiap
penduduk diharuskan mencatatkan diri di kelenteng-kelenteng sebagai pengikut
agama Buddha. Kebijaksanaan pemerintah ini semula sebenarnya dimaksudkan agar

302
tidak seorang pun warga Jepang yang menjadi pengikut agama Kristen. [Agama
Kristen, yang mewakili pengaruh Barat, masuk ke Jepang untuk pertama kalinya pada
1542, melalui kedatangan Portugis. Karena pemikiran-pemikiran yang dibawa agama
tersebut dianggap membahayakan, maka pada 1587 pemerintah mengambil keputusan
malarang semua bentuk kegiatan penyebaran agama tersebut di Jepang, dan
menempuh usaha yang tidak kepalang tanggung untuk menekan dan menghapusnya
dari Jepang: setiap orang Jepang yang menjadi pengikut agama Kristen, juga mereka
yang memberikan perlindungan kepadanya, diancam hukuman mati  . Akan tetapi,
kebijaksanaan tersebut kemudian memiliki beberapa tujuan yang lain. Peristiwa-
peristiwa seperti kelahiran, perkawinan, perpindahan pekerjaan, perjalanan, kematian
dan sebagainya, juga harus dilaporkan ke kelenteng-kelenteng. Dengan demikian, di
samping tugas-tugas keagamaan, kelenteng-kelenteng tersebut juga melaksanakan
berbagai tugas pemerintah.
Akan tetapi, di luar agama Buddha terlihat adanya perkembangan dalam
bidang pemikiran filsafat, yang pada masa-masa selanjutnya memainkan paranan
penting dalam sejarah agama Shinto. Di awal masa Tokugawa, muncul aliran Mito
yang dipelopori oleh Tokugawa Mitsukuni (1628-1700). Para anggota aliran ini terdiri
dari para ahli sejarah yang sangat berminat mempelajari teks-teks kuno Jepang dan
berusaha membangkitkan perhatian masyarakat terhadap sejarah budaya dan tradisi
asli Jepang. Kitab Nihongi diterbitkan dengan ditambah beberapa komentar. Kelak, di
abad kesembilanbelas, kitab yang berisi riwayat Jepang kuno ini sangat menarik
perhatian umum, khususnya bagian yang berkenaan dengan "Abad Para Dewa."
Mitologinya mengenai asal-usul kedewaan bangsa dan kaisar Jepang dijadikan dasar
keagamaan dalam pembaharuan sistem kekaisaran di Jepang.
Aliran lain, yang muncul pada masa ini, ialah Fukko Shinto, yang berarti
restorasi atau reformasi Shinto. Tokoh-tokohnya antara lain adalah Kada no
Azumamaro (1669-1736), Kamo no Mabuchi (1697-1769), Motoori Norinaga (1730-
1801), dan Hi-rata Atsutane (1776-1843). Pada umumnya, tujuan semua aliran
pembaharuan dalam agama Shinto adalah untuk meneliti kembali agama Shinto yang
asli, namun dengan mempergunakan metode atau cara berpikir orang-orang Buddha
atau Konfusius. Oleh karena itu, hasilnya justru teori-teori Shinto yang bercorak
Buddhis atau Konfusianis. Berbeda dari kecenderungan tersebut, aliran Fukko Shinto
bertitik-tolak dari penelitian yang cermat terhadap bahasa-bahasa Jepang kuno agar

303
memperoleh pengertian yang inti mengenai agama Shinto. Motoori Norinaga
menerbitkan karya utamanya, Kojikiden, yang memuat hasil-hasil telaahannya
terhadap kitab Kojiki; dan Hirata Atsutane, seorang tokoh yang sangat berpengaruh
terhadap gerakan anti asing di Jepang pada abad kesembilanbelas, menerbitkan Kodo-
taii, yang memuat pokok-pokok ajaran bangsa Jepang kuno. Karya-karya tersebut
memainkan peranan yang sangat penting pada masa kebangkitan agama Shinto dalam
abad-abad selanjutnya.
Pada akhir kekuasaan dinasti Tokugawa muncul ketidakpuasan masyarakat
terhadap pemerintah. Di sana-sini terjadi beberapa pemberontakan kecil sehingga
memperlemah kekuasaan pemerintah. Agama Buddha, yang sudah menjadi agama
negara, memperoleh kesan buruk. Para pemeluknya banyak yang menjadi sasaran
kritik, sementara perhatian umum terhadap agama asli semakin meningkat. Pada
penghujung masa Tokugawa, perasaan anti Buddha ini tumbuh meluas di kalangan
masyarakat, yang mengakibatkan banyak kelenteng ditutup dan para pendetanya
meninggalkan pos-pos mereka. Di samping itu, hubungan Jepang dengan asing
(Barat), yang sebelumnya ditutup sejak Jepang memulai masa isolasinya pada tahun
1639, dibuka kembali melalui penandatanganan perjanjian antara Komodor Perry dan
kaisar Jepang di tahun 1845. Akan tetapi, pembukaan hubungan baru ini pun hanya
mempersubur rasa ketidakpuasan masyarakat terhadap pemerintahnya. Di lain pihak,
berbagai macam kelompok agama yang baru mulai banyak bermunculan. Sebagai
misal, Kurozumi Munetada (1780-1850) mendirikan sekte Kurozumikyo. la adalah
seorang pendeta agama Shinto. Pada usianya yang ke-33, kedua orangtuanya
meninggal dunia akibat penyakit menular. Peristiwa ini memberikan pukulan batin
yang menyebabkannya jatuh sakit selama lebih kurang tiga tahun. Suatu saat ketika ia
sedang memuja Dewi Matahari, tiba-tiba ia merasa mendapatkan pengetahuan bahwa
dewa dan manusia pada hakekatnya adalah satu. Dalam kesatuan ini, tidak ada
kelahiran atau kematian melainkan semata-mata kehidupan yang abadi. Para pengikut
sekte yang didirikannya percaya bahwa spirit Dewi Matahari merasuki seluruh alam,
dan orang harus berusaha untuk menyatukan diri dengan spirit dewi ini agar dapat
merasakan dan menghayati kesatuan antara dewa dan manusia yang menjadi sumber
utama kebahagiaan hidupnya.
Sekte lain adalah Tenrikyo yang didirikan oleh seorang wanita bernama
Nakayama Miki (1789-1887), dan memperoleh pengakuan sebagai salah satu diantara
sekte-sekte agama Shinto baru di tahun 1908. Sesudah masa perang herakhir, sekte ini

304
menyatakan diri ke luar dari kelompok agama Shinto, dan pada tahun 1970 diakui
sebagai sebuah agama yang berbeda dari agama Shinto.
Kaisar Tokugawa akhirnya turun dari tahta pada tahun 1868. Jepang kemudian
memasuki fase moderen dalam sejarahnya. Pada masa ini, hingga meletusnya perang
di tahun 1945, sejarah agama di Jepang berhubungan erat dengan kebijaksanaan-
kebijaksanaan politik pemerintah. Selama periode 1868-1945 itu kehidupan agama-
agama di Jepang, terutama yang berkaitan dengan agama Shinto, ditandai oleh empat
ciri pokok, yaitu: (1) usaha pemerintah untuk menciptakan sebuah negara teokrasi; (2)
penataan sistem jinja; (3) campur tangan pemerintah dalam urusan-urusan keagamaan;
dan (4) militerisme dalam agama. Masing-masing ciri tersebut secara singkat dapat
diuraikan sebagai berikut.
A. Usaha Menciptakan Negara Teokrasi
Pemerintah Meiji (1868-1912) berusaha mendirikan sebuah negara yang
didasarkan pada konsep saisei itchi, yaitu kesatauan antara upacara agama Shinto dan
negara. Banyak langkah-langkah drastis yang diambil pemerintah, terutama yang ada
hubungannya dengan agama, yang semuanya pada dasarnya bertujuan untuk
mendirikan sebuah negara teokrasi yang didasarkan pada kultus agama Shinto. Salah
satu di antaranya ialah menghidupkan kembali Jingikan, lembaga resmi yang pernah
dibentuk pada pertengahan abad ketujuh untuk mengurus masalah-masalah Shinto.
Kalau dulu lembaga tersebut merupakan salah satu di antara departemen-departemen
pemerintah, maka pada masa Meiji didirikan terpisah dari kabinet. Tugasnya adalah
mengurus masalah-masalah yang berhubungan dengan upacara-upacara keagamaan,
hak milik agama, kependetaan, pengaturan jinja-jinja, pendidikan agama, dan subsidi
pemerintah untuk jinja-jinja. Pada tahun 1870, pemerintah mengeluarkan sebuah
ketetapan yang isinya memperkuat hubungan antara agama Shinto dan negara, dan
secara jelas memperlihatican keinginan pemerintah untuk menciptakan sebuah kultus
nasional berdasarkan pemujaan terhadap Dewi Matahari. Pada saat yang sama,
petugas-petugas resmi juga dikirim ke seluruh negeri untuk menyebarluaskan ide
kesatuan antara agama Shinto dan negara itu.
Akan tetapi, kebijaksanaan pemerintah tersebut menghadapi tantangan yang
cukup kuat, baik dari pihak agama Buddha maupun dari kalangan kelompok-
kelompok agama baru yang banyak bermunculan pada akhir pemerintahan Tokugawa.
Oleh karena itu, pada Agustus 1871, Jingikan dibubarkar dan sebagai gantinya
didirikan Jingisho, semacam Kementerian Agama Shinto

305
Langkah-langkah yang ditempuh pemerintah tersebut sama artinya dengan
kebijaksanaan menerapkan politik perbedaan agama, dan memisahkan agama Shinto
dari agama Buddha. Peranan agama Buddha diperkecil, sementara agama Shinto
dijadikan kultus nasional. Pemerintah agaknya mengabaikan kenyataan bahwa
kepercayaan sebagian besar rakyatnya didasarkan pada sikap yang tidak membeda-
bedakan antara kedua agama tersebut. Munculnya gerakan anti-Buddha, yang
mencapai klimaks pada tahun 1871, justru menimbulkan goncangan sosial yang
cukup hebat. Oleh karena itu, pemerintah terpaksa menangguhkan rencananya semula,
dan bermaksud merukunkan kembali kedua agama tersebut. Jingisho lantas
dibubarkan, dan sebagai gantinya, pada April 1872, dibentuk Koybusho, dengan tugas
mengurus masalah-masalah baik Shinto maupun Buddhisme.
Fungsi utama Kyobu-sho adalah membimbing kehidupan agama dan moral
bangsa. Untuk melaksanakan fungsi tersebut pemerintah memberikan kekuasaan
kepada lembaga tersebut untuk mengatur masalah-masalah yang menyangkut sekte,
pembangunan tempat-tempat suci, sistem kependetaan, pengangkatan para pendeta,
pengawasan ajaran-ajaran agama dan sebagainya. Pada bulan Mei 1872, Kyobu-sho
dilengkapi dengan bagian administrasi yang bertugas mengawasi guru-guru agama
yang diangkat oleh pemerintah. Mereka ini ditugaskan untuk menyukseskan program
pemerintah dalam bidang pendidikan budaya bangsa yang didasarkan pada tiga
prinsip, yaitu: (i) pengembangan pemujaan terhadap dewa-dewa nasional; (ii)
penghayatan terhadap ajaran tentang "Akal Langit" dan "Jalan Keselamatan"; dan (3)
pemujaan kaisar dar loyalitas terhadap para pejabat pemerintah. Dengan demikian,
melalui kementerian ini, hampir seluruh kegiatan agama diletakkan di bawah
yurisdiksi pemerintah.
Akan tetapi pemerintah kemudian dihadapkan pada suatu persoalan baru.
Kebijaksanaannya untuk mempersatukan bangsa Jepang melalui sebuah kultus
nasional, seperti yang diajarkan agama Shinto, ternyata telah memberikan keuntungan
kepada berbagai kelompok keagamaan yang baru. Kelompok-kelompok ini
memperoleh pengikut yang cukup luas. Meski tidak ada satupun di antara kelompok-
kelompok tersebut yang memperlihatkan sifat-sifat yang bertentangan dengan agama
Shinto, namun ajaran-ajarannya sangat beranekaragam sehingga dikawatirkan dapat
menimbulkan pertentangan dalam masyarakat. Ketika terbukti bahwa usaha
mengawasi kelompok-kelompok tersebut sangat sulit dilaksanakan, maka pada tahun
1882 pemerintah memutuskan untuk menggolongkannya sebagai lembaga keagamaan

306
yang berdiri sendiri dengan nama yang tersendiri pula. Sejak saat itu, agama Shinto
dibedakan menjadi dua macam, yaitu Jinja Shinto dan Kyoha Shinto.
Perbedaan pokok kedua kelompok tersebut terletak pada perbedaan sikap
pemerintah terhadap masing-masing sekte tersebut. Jinja Shinto merupakan sistem
keagamaan yang dipraktekkan dalam jinja-jinja yang memperoleh dukungan dan
bantuan resmi dari pemerintah, dinyatakan sebagai agama yang berkembang secara
spontanitas dalam kehidupan bangsa Jepang, tanpa ada yang mendirikannya, dan
dilestarikan dengan tujuan memperkokoh kepercayaan dan ritus tradisional bangsa;
sementara Kyoha Shinto adalah suatu bentuk organisasi gabungan dari sekte-sekte
agama yang masing-masing sebenarnya berdiri sendiri dan pada umumnya dibentuk
berdasarkan ajaran dan petunjuk para pendirinya. Sekte-sekte yang tergabung dalam
Kyoha Shinto ini seluruhnya ada tigabelas, dan pada umumnya memiliki corak yang
sama.
Usaha pemerintah untuk mengawasi secara resmi kehidupan agama rakyatnya
akhirnya dihentikan. Tempat-tempat suci nasional dinyatakan bukan sebagai lembaga-
lembaga keagamaan, dan semua bentuk penyiaran dan khutbah-khutbah agama di
dalam jinja nasional dilarang. Tugas pengembangan kultus nasional selanjutnya
diserahkan kepada Jinja Shinto.
B. Penataan Sistem Jinja
Jinja-jinja yang tergabung dalam kelompok Jinja Shinto memperoleh
pengawasan dan bantuan dari pemerintah. Persoalan-persoalan yang menyangkut
organisasi, kependetaan, dan upacara-upacara keagamaan diatur dalam ketentuan-
ketentuan yang resmi. Kegiatan-kegiatannya difokuskan pada pelaksanaan upacara-
upacara dan festival-festival keagamaan yang dirasa tepat dan layak untuk
mengembangkan karakter bangsa. Selain itu dilakukan pula upaya untuk menciptakan
kesatuan ideologi yang dapat mengikat jinja-jinja tersebut. Usaha penyatuan ideologi
ini antara lain dilakukan melalui sebuah Piagam Pemerintah mengenai pendidikan
yang dikeluarkan pada tahun 1890. Isinya antara lain memberikan tekanan pada
loyalitas terhadap kaisar dan keharusan untuk menghormati "jalan para dewa".
Sebagai misal, piagam tersebut menentukan keharusan untuk memberikan
penghormatan terhadap gambar-gambar kaisar dan memelihara jinja-jinja Shinto. Di
samping itu, pemerintah juga menetapkan suatu sistem pengaturan jinja-jinja secara
bertingkat, mulai dari desa, kota, dan seterusnya, sampai pada tingkat pusat, yaitu
pada sebuah biro yang ditempatkan di bawah Kementerian Dalam Negeri. Setiap

307
kegiatan jinja juga diawasi, sehingga praktis tempat-tempat suci tersebut lebih
merupakan lembaga-lembaga pemerintah daripada lembaga-lembaga keagamaan yang
mandiri. Untuk memenuhi tuntutan dari golongan ultranasionalis yang menginginkan
agar dibentuk sebuah departemen terpisah yang langsung berada di bawah
pengawasan kaisar, maka pada tahun 1940 dibentuk Jingi-in, Badan Urusan Jinja,
sebagai perluasan biro yang sudah ada sebelumnya. Tujuan utama badan ini adalah
untuk mengembangkan peribadatan dan memajukan pendidikan agama Shinto di
kalangan rakyat. Sejak dibentuknya hingga dihapuskan pada akhir perang, badan
tersebut merupakan pusat administrasi pengaturan jinja-jinja dam memainkan peranan
penting dalam agama Shinto.

308
C. Campur Tangan Pemerintah dalam Agama
Sampai saat Perang Dunia II berakhir, prinsip dasar kebijaksanaan pemerintah
dalam bidang agama adalah pengawasan dan pengarahan semua organisasi
keagamaan menurut selera dan keinginan pemerintah. Lembaga-lembaga keagamaan
yang diakui memperoleh dukungan dan bantuan resmi, sementara yang tidak diakui
tidak memiliki kebebasan untuk menyiarkan ajaran-ajarannya dan tidak memperoleh
bantuan apapun dari pemerintah. Kebijaksanaan seperti ini tetap dipertahankan,
meskipun secara hukum pemerintah memberikan hak kemerdekaan beragama kepada
warganegaranya, seperti tercantum dalam Undang-undang Meiji Tahun 1889, pasal
28, yang artinya:
Semua warganegara Jepang, dalam batas-batas yang tidak membahayakan kedamaian
dan ketertiban, dan tidak bertentangan dengan kewajiban mereka sebagai warganegara,
menikmati kemerdekaan beragama.
Jelas, bahwa kemerdekaan yang diberikan itu adalah kemerdekaan yang ber
syarat, yaitu selama tidak membahayakan ketertiban umum dan tidak bertentangan
dengan kewajiban sebagai warganegara. Syarat ini ada atau tidak biasanya
pemerintahlah yang menentukan. Dengan kata lain, kemerdekaan beragama yang
diberikan itu bersifat sempit, sementara batas-batasnya cukup luas.
Berdasarkan jaminan kemerdekaan beragama yang ditetapkan melalui undang-
undang itu, maka kebijaksanaan pemerintah dalam mempergunakan Jinja Shinto
untuk kepentingan-kepentingannya, dinyatakan hanya untuk tujuan-tujuan
administratip; dan Jinja Shinto dinyatakan bukan sebagai suatu agama sehingga
memiliki kedudukan yang terpisah atau berbeda dari agama-agama lainnya, baik
dalam segi administrasi maupun hukum. Pemerintah membentuk dua buah badan:
satu untuk mengurus Jinja Shinto, dan satunya lagi untuk mengawasi agama-agama
yang lain. Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 1913, Jinja Shinto
digolongkan sebagai lembaga umum, sementara organisasi-organisasi keagamaan
diatur dengan Undang-undang Organisasi Keagamaan yang diberlakukan mulai 1
Januari 1940.
Undang-undang Organisasi Keagamaan tersebut memberikan wewenang dan
kekuasaan kepada Menteri Pendidikan untuk melakukan tindakan pengawasan
terhadap semua persoalan agama yang menyangkut organisasi, personal, kegiatan dan
pengajaran. Undang-undang tersebut juga mengharuskan setiap sekte agama untuk
memilih pimpinan yang baru dianggap sah jika sudah mendapat persetujuan dan

309
pemerintah, dan tidak boleh berhenti bekerja selama penggantinya belum disetujui
oleh pemerintah. Demikianlah, melalui Menteri Pendidikan dan para pejabat daerah
peinerintah melakukan pengawasan dan campur tangan yang sempurna terhadap
agama-agama. Dengan demikian, di satu pihak, Undang-undang Organisasi
Keagamaan tersebut memberikan kedudukan yang sah kepada agama-agama yang ada,
namun di lain pihak dijadikan alat oleh pemerintah untuk mengatur dan mengawasi
secara lebih ketat semua organisasi keagamaan yang ada.
D. Militerisme dalam Agama
Antara tahun 1931 sampai 1945, bangsa Jepang dapat dikatakan berada dalam
suasana perang. Di sepanjang periode itu, hampir semua lembaga keagamaan Shinto
dipakai untuk mempertebal semangat nasionalisme dan militerisme Japang. Fungsi
dan kedudukan semua Jinja menjadi semakin bertarnbah penting. Ritus dan kegiatan
yang dilakukan di dalamnya bukan saja memperlihatkan rasa antusias terhadap militer,
tetapi juga dijadikan ukuran kesetiaan seseorang terhadap kaisar dan negerinya.
Agama-agama selain agama Shinto, yang semula menjauhkan diri dari corak
pemujaan yang dilaksanakan dalam jinja-jinja tersebut, akhirnya juga ikut ambil
bagian secara penuh. Pendek kata, tidak ada organisasi agama yang tidak berperan
serta secara aktif dalam apa yang disebut dengan "Gerakan Mobilisasi Spiritual"
untuk memenangkan perang yang sedang dihadapi oleh pemerintah. Lebih-lebih
antara tahun 1941 hingga 1945, agama dapat dikatakan benar-benar telah menjadi
budak pemerintah, menjadi alat untuk mencapai tujuan nasional yang lebih jauh,
apalagi personal-personalnya terdiri dari para pegawai pemerintah yang harus tunduk
pada ketentuan-ketentuan yang ditetapkan oleh lembaga-lembaga pemerintah tingkat
pusat maupun daerah.
Memang, pada waktu itu Jepang sedang dilanda oleh banjir arus semangat
nasionalisme dan militerisme. Semua agama, tanpa kecuali, menceburkan diri ke
dalamnya. Dalam setiap pertemuan umum yang dikenal dengan "Upacara
Masyarakat", Piagam Pemerintah -- yang biasanya dianggap suci -- yang
mengumumkan negara dalam keadaan perang dibacakan kembali, dan dilakukan
upacara penundukan kepala ke arah istana kaisar dan menyanyikan lagu kebangsaan
Jepang. Lembaga-lembaga keagamaan banyak diambil alih oleh golongan militer.
Para anggotanya diorganisasikan ke dalam persekutuan-persekutuan dan kegiatan-
kegiatan patriotik, sehingga sedikit sekali yang memiliki kesempatan untuk
melakukan peribadatan. Kemenangan-kemenangan dalam perang dirayakan bersama

310
oleh semua pemeluk agama, di samping kadang-kadang juga dirayakan sendiri-sendiri.
Demikian pula, doa-doa untuk memperoleh kemenangan dalam perang dirumuskan
dan disusun bersama oleh para pemuka agama Buddha, Shinto dan Kristen.
Pemerintah juga menempuh berbagai usaha agar orang-orang berdoa bagi
kemenangan dalam perang menghayati keluhuran para dewa, percaya sepenuhnya
terhadap kemenangan Jepang dan sebagainya. Semua badan keagamaan juga
diharuskan menyesuaikan ajaran-ajarannya dengan ide "jalan kaisar". Dalam rangka
segala hukum agama, rumus keyakinan, katekisme, dan nyanyian-nyanyian agama,
semuanya harus diteliti dan diperbaharui. Penyesuaian teologi semua agama ini
dilakukan secara cermat dan teliti oleh pemerintah.
Dengan demikian, perang itu sendiri merupakan suatu pengalaman keagamaan
bagi rakyat Jepang pada umumnya. Mereka telah digerakkan dengan penuh semangat
menuju terbentuknya sebuah negara yang ditegakkan atas dasar emosi nasional yang
berpusat pada keyakinan terhadap watak dan asal-usul kedewaan kaisar dan bangsa
mereka. Ide kamikaze, nafas dewa, tapak bukan sekedar khayalan bagi mereka. Dalam
hal ini, baik agama Buddha agama Shinto, maupun agama Kristen di Jepang sama-
sama terbawa dan hanyut dalam arus emosi itu.
Dengan berakhirnya Perang Dunia II, yang sekaligus berarti kekalahan Jepang,
sikap dan pandangan pemerintah terhadap agama mengalami perubahan total. Tidak
lama setelah perang tersebut berakhir, tepatnya pada Oktober 1945, dikeluarkan
sebuah ketetapan yang berjudul "Removal of Rectr tions on Political, Civil, and
Religious Liberties." Sesuai dengah judulnya ketetapan tersebut mengharuskan
penghapusan semua undang-undang, katentuan, peraturan, atau ketetapan pemerintah
yang membatasi hak kemerdekaan beragama, berpikir, bersyarikat, dan berbicara.
Sebagai ganti Undang-undang Organisasi Keagamaan yang dulu mulai diberlakukan
pada tahun 1940, sejak Desember 1945 diberlakukan sebuah ketetapan baru yang
dikenal dengan Pedoman Shinto. Ketetapan tersebut pada pokoknya berisi pencabutan
segala bentuk dukungan dan bantuan pemerintah terhadap Jinja Shinto. Akan tetapi
dalam praktek pedoman tersebut tidak hanya berlaku untuk agama Shinto yang resmi
saja, melainkan juga terhadap semua agama, kepercayaan, dan aliran keagamaan
lainnya yang terdapat di Jepang.
Selain meniadakan sifat nasional agama Shinto, Pedoman Shinto juga
didasarkan atas tiga macam prinsip, yaitu: (i) pembasmian semua; faham militerisme
dan ultranasionalisme; (ii) pembakuan hak kemerdekaan beragarn dan (iii) pemisahan

311
agama dari negara. Oleh karena itu, pemakaian agama untuk tujuan-tujuan politik
dilarang. Paham Tennoisme, suatu paham agar Shinto yang mengajarkan bahwa kaisar
(tenno) adalah penjelmaan hidup dari Dewi Matahari, dilarang pula. Bahkan, pada 1
Januari 1946 secara resmi kaisar mengeluarkan sebuah pernyataan yang menetapkan
"keliru", baik terhadap konsep bahwa bangsa Jepang adalah lebih unggul
dibandingkan bangsa-.bangsa lain dan bahwa mereka telah ditakdirkan untuk
memerintah dunia, maupun terhadap konsep bahwa kaisar adalah dewa dalam wujud
manusia. Badan Urusan Jinja juga dibubarkan, dan semua lembaga yang melakukan
kegiatan pengajaran dan penyebaran agama Shinto, atau mendidik calon-calon
pendeta, ditutup. Pengaruh agama Shinto dalam lembaga-lembaga pendidikan juga
dihapuskan dan dihilangkan.
Perubahan drastis sikap pemerintah di atas sejalan dengan jaminan terhadap
hak kemerdekaan beragama yang diberikan secara penuh oleh undang-undang baru
Jepang yang ditetapkan pada 3 Nopember 1946. Menurut undang-undang itu,
kemerdekaan beragama dijamin sepenuhnya, dan tidak satupun organisasi keagamaan
yang akan memperoleh hak-hak istimewa dari pemerintah atau mendapatkan
kekuasaan politik apapun. Demikian pula tidak akan ada seorang pun yang dapat
dipaksa untuk ikut ambil bagian dalam berbagai kegiatan agama, perayaan, upacara
atau peribadatan agama yang manapun. Oleh sebab itu, di Jepang sekarang, agama
Shinto tidak lagi menjadi agama nasional yang dapat dipaksakan; tidak ada lagi
kewajiban untuk memberikan bantuan kepada agama tersebut; ajaran dan
peribadatannya juga sudah dihapuskan dari sistem pendidikan umum; dan Jinja Shinto
kini hanya diakui sebagai sebuah agama yang sama kedudukannya dengan agama-
agama lainnya di Jepang. Pemerintah Jepang sekarang menerapkan sikap netral
terhadap agama, sekaligus pula menghargai semua agama yang ada.
Kebijaksanaan pemerintah di atas telah menyebabkan jinja-jinja yang
tergabung dalam Jinja Shinto menjadi cerai berai, dan masing-masing kemudian
berkembang sendiri-sendiri sebagaimana layaknya kelompok-kelompok agama
lainnya. Akan tetapi tidak lama kemudian dibentuk suatu organisasi yang berusaha
menghimpun kembali jinja-jinja tersebut dalam satu ikatan persatuan. Organisasi ini
disebut Jinja Honcho, yang pada dasarnya merupakan kelanjutan dari Jinja Shinto.
Sekarang, lebih dari 90,5% Jinja agama Shinto yang tersebar di seluruh Jepang,
tergabung dalam organisasi tersebut. Jinja Honcho juga telah merumuskan prinsip-
prinsip ajaran Shinto dalam bentuk suatu ikrar keimanan, yang disebut Keishin

312
Seikatsuno-koryo, berarti "Ciri Umum Suatu Kehidupan yang Memuja Kami," pada
tahun 1956. Ikrar kepercayaan tersebut memuat tiga hal pokok, yaitu:
1. Keharusan untuk berterimakasih atas rahmat yang diberikan oleh kami, dan atas
kebahagiaan para leluhur, dan harus rajin mengerjakan peribadatan agama
Shinto, serta mengusahakan agar semuanya dilakukan dengan hati yang
tulus, sukacita dan suci.
2. Keharusan untuk menolong pihak lain dan dunia pada umumnya, dengan
melakukan usaha-usaha tanpa pamrih, dan mengusahakan kemajuan dunia
sebagai orang yang hidupnya menjadi perantara terlaksananya kehendak
kami.
3. Keharusan untuk mengikatkan diri dengan pihak lain dalam pengakuan yang
harmonis terhadap kaisar, berdoa agar negeri berkembang maju dan orang-
orang lain juga dapat hidup dalam perdamaian dan kemakmuran.
Akibat sikap netral agama tersebut, serta jaminan yang penuh terhadap hak
kemerdekaan beragama, maka banyak bermunculan kelompok-kelompok agama-
agama baru, yang disebut dengan Shinkyoha-shinto, sekte-sekte baru agama Shinto.
Jumlah yang sebenarnya kelompok agama-agama baru ini tidak diketahui secara pasti,
sebab di samping sebagian merupakan kelompok-kelompok yang dulu sudah
tergabung dalam Kyoha Shinto, yaitu organisasi gabungan dari tigabelas sekte yang
mendapat pengakuan dari pemerintah Meiji, sebagian lain memang merupakan sekte-
sekte yang benar-benar baru dalam arti belum pernah ada sebelumnya. Kelompok-
kelompok agama-agama baru ini dapat dibeda-bedakan menjadi lima macam, yaitu:
(i) kelompok monoteistik;
(ii) kelompok henoteistik;
(iii) kelompok Shinto-politeistik;
(iv) kelompok messianistik;
(v) kelompok yang terpengaruh Cina.
Masing-masing kelompok tersebut mempunyai organisasi yang giat
melakukan penyiaran pahamnya. Sebagian ada yang menyelenggarakan pendidikan
calon-calon guru agama dan mendirikan balai-balai pertemuan umum. Kelompok
yang lebih kecil pada umumnya mengadakan pertemuan-pertemuan rutin di rumah
tokoh-tokohnya, dan sebagian ada yang aktif dalam kegiatan sosial.
Munculnya kelompok agama-agama baru itu menambah kompleksitas dan
keanekaragaman agama Shinto. Sekarang, jumlah seluruh paham dan aliran dalam

313
agama Shinto sepanjang sejarahnya itu dapat digolongkan menjadi empat macam,
yaitu:
1. Minkan Shinto, atau disebut pula agama rakyat, yaitu paham dan
kepercayaan Shinto sebagaimana dipraktekkan di mana-mana di kalangan
rakyat, sekalipun tidak terorganisasi menjadi bentuk sekte atau kelompok
keagamaan yang berdiri sendiri.
2. Kyoha Shinto, yaitu ketigabelas sekte agama yang oleh pemerintah Meiji
dikelompokkan dalam sebuah nama karena dirasakan tidak ada cara lain
yang lebih baik untuk mengawasi sekte-sekte tersebut.
3. Kokka Shinto, yaitu kelompok agama Shinto yang dulu oleh pemerintah
ditetapkan sebagai agama negara, sehingga memperoleh dukungan dan
bantuan resmi dari pemerintah. Kelompok ini bukan agama dalam
pengertian biasa, tetapi merupakan sistem tradisi nasional yang bertujuan
menanamkan kesetiaan dan ketaatan rakyat Jepang terhadap pemerintahnya.
Ke dalam kelompok ini tergabung empat macam aliran atau paham agama
Shinto, yaitu Kokutai Shinto, yang lebih dikenal dengan istilah Tenoisme;
Koshsitsu Shinto, yaitu agama Shinto sebagaimana dipraktekkan dalam
lingkungan keluarga kaisar; Shinto Lingkungan Keluarga, yakni tradisi dan
upacara-upacara agama Shinto yang diselenggarakan dalam lingkungan
keluarga pemeluk Shinto, yang pada umumnya berhubungan dengan
persoalan-persoalan keluarga; dan Jinja Shinto, yaitu sistem kepercayaan
dan peribadatan yang umumnya terdapat dalam tempat-tempat suci agama
Shinto.
4. Shinkyoha-Shinto, yaitu kelompok agama-agama baru yang muncul
sesudah Perang Dunia II berakhir.
Hampir semua kelompok atau aliran agama Shinto yang telah disebutkan di
atas memiliki isi kepercayaan dan pola peribadatan yang tidak jauh berbeda.

AJARAN DAN KEPERCAYAAN AGAMA SHINTO


A. Kami
Shinto adalah sebuah agama yang memuja daya-daya kekuasaan yang disebut
kami. Arti istilah ini sebenarya sangat sulit ditentukan, karena sebenarnya sangat
kabur dan membingungkan. Jika dimaksudkan untuk menunjuk adanya sifat-sifat
unggul atau kuasa dapat diartikan dengan "di atas" atau "unggul"; dan bila

314
dimaksudka sebagai sesuatu kekuatan spiritual, maka kami dapat dialih bahasakan
dengan "dewa", tuhan, god dan sebagainya.
Dalam pengertian dewa, bagi bangsa Jepang kami memiliki pengertian yang
jauh berbeda dari pengertian objek-objek pemujaan yang terdapat dalam agama-
agama lain. Istilah tersebut dapat berarti tunggal dan jamak sekaligus. Memang,
jumlah dewa dalam kepercayaan agama Shinto tidak terbatas, bahkan senantiasa
bertambah, sebagaimana diungkapkan dalam istilah yaoyarozu no kami, yang berarti
"delapan juta dewa". Agama Shinto justru memandang positif terhadap kepercayaan
tentang berbilangnya dewa. Menurut para pemeluk agama tersebut, sebuah angka
yang besar menunjukkan bahwa para dewa itu memiliki sifat yang agung, maha
sempurna, maha suci, maha murah dan sebagainya. Sebagaimana jumlah bilangan
yang besar, maka bilangan itu sendiri menunjukkan sifat kebesaran dan keagungan
dewa.
Istilah kami diterapkan terhadap kekuatan-kekuatan dan objek-objek
kepercayaan tertentu, tanpa membeda-bedakan apakah objek tersebut merupakan
benda hidup atau mati, bersifat baik atau buruk. Semua yang memiliki sifat-sifat
misterius dan menimbulkan rasa segan dan takut dapat dianggap sebagai kami.
Motoori Norinaga, seorang sarjana dan pembaharu ighinto di zaman modern,
memberikan penjelasan dan maksud istilah kami dalam kalimat yang artinya sebagai
berikut:
Pada mulanya istilah kami diterapkan terhadap dewa-dewa langit dan bumi yang
disebutkan dalam dokumen-dokumen kuno tertulis, dan terhadap spirit-spirit (mitama)
yang mendiami tempat-tempat suci tempat mereka dipuja. Di samping itu, bukan hanya
manusia tetapi burung-burung, binatang-binatang, tetumbuhan dan pohon-pohon, laut dan
gunung-gunung, dan semua benda lain, apapun bentuknya, yang patut ditakuti dan dipuja
karena memiliki kekuasaan yang tinggi dan luar biasa, semuanya disebut kami. Kami juga
tidak memerlukan sifat-sifat istimewa karena memiliki kemuliaan, kebaikan, atau
kegunaan yang khusus. Segala kewujudan yang jahat dan mengerikan juga disebut kami
apabila merupakan objek-objek yang pada umumnya ditakuti.
Dari kutipan di atas dapat diketahui adanya empat hal yang mendasari
konsepsi kedewaan dalam agama Shinto, yaitu: (i) dewa-dewa tersebut pada
umumnya merupakan personifikasi gejala-gejala alam; (ii) dewa-dewa tersebut dapat
pula berupa manusia; (iii) dewa-dewa tersebut dianggap mempunyai spirit yang
mendiami tempat-tempat di bumi dan mempengaruhi kehidupan manusia, dan (iv)

315
pendekatan manusia terhadap dewa-dewa tersebut bertitik-tolak dari perasaan segan
dan takut.
Sebagaimana telah disebutkan, jumlah dewa dalam agama Shinto sangat
banyak dan beranekaragam. Semuanya dianggap hidup damai bersatu dalam sebuah
panteon kedewaan. Di antara dewa-dewa ini adalah Dewi Matahari. Nama Jepang
untuk dewi ini adalah Amaterasuomi-kami, yang berarti "Dewi Langit Yang Agung
dan Bersinar," atau Amaterasuhi-rume, "Putri Langit Matahari Bersinar," atau
Amaterasumi-oya, "Ibu Langit Yang Agung dan Bersinar". Dewi ini memperoleh
perhatian yang paling banyak dari agama Shinto. Sekalipun demikian, ia bukanlah
Yang Tertinggi, sebab persoalan-persoalan penting tidak ditentukan oleh dewi
tersebut, melainkan oleh keputusan majlis dewa. Memang, pemikiran tentang dewa
tertinggi tidak dikenal dalam agama Shinto. Bahkan, antara dewa, manusia dan alam
terdapat kemiripan yang sangat dekat. Ketiga-tiganya membentuk suatu segitiga
hubungan yang setiap sudutnya saling menentukan.
Dewi Matahari sangat dihormati terutama karena diyakini sebagai leluhur
kaisar Jepang. la memiliki simbol berupa sebuah cermin, disebut yatakagami, yang
berarti "cermin-tangan-delapan," atau higata no kaganii, "cermin berbentuk
matahari," yang disimpan dalam sebuah kotak di jinja utama Ise. Simbol tersebut
dipuja sedemikian rupa, dan sering disebut dengan "Dewa Ise yang Agung."
Selain itu, karena perhatian masyarakat Jepang kuno terhadap kesuburan tanah
dan hasil-hasilnya sangat besar, maka dewa-dewa yang ada hubungannya dengan
hasil produksi atau makanan menempati kedudukan yang sangat penting setelah Dewi
Matahari. Dewa Inari, misalnya, adalah satu di antara dewa-dewa makanan, yang
jumlahnya tidak sedikit. Hampir setiap desa dan keluarga mempunyai tempat untuk
memuja dewa Inari, yang dianggap pula sebagai dewa yang memberikan kesuburan
kepada lahan-lahan pertanian.
Selain kedua dewa yang telah disebutkan di atas, terdapat pula jenis-jenis lima
lain yang dapat dikelompokkan menjadi: (i) dewa-dewa tanah; (ii) dewa-dewa gunung;
(iii) dewa-dewa laut; (iv) dewa-dewa air; (v) dewa api; (vi) dewa-dewa pohon; dan
(vii) dewa-dewa manusia. Alasan utama mengapa manusia juga didewakan agaknya
adalah karena, dalam pandangan agama Shinto, jiwa manusia yang sudah mati dan
dipuja itu akan dapat meningkat menjadi kami. Arwah para raja dan para anggota
keluarganya, arwah para pahlawan bangsa, dan arwah orang-orang yang dianggap
telah berjasa untuk kepentingan negara dan bangsa, semuanya diangggap sebagai

316
kami. Contoh hero worship, atau pemujaan pahlawan, semacam itu adalah pemujaan
arwah para korban perang, seperti yang dilakukan di jinja Yasukuni. Masih banyak
lagi macam dewa yang seperti dewa guntur, dewa hati, dewa pelindung keluarga,
dewa anak-anak, dewa pembimbing perahu dan sebagainya.
Dalam kaitannya dengan para dewa tersebut, mitologi Shinto secara panjang
lebar mengemukakan riwayat asal-usul alam dan para dewa sebagaimana disebutkan
dalam kitab-kitab Kojiki dan Nihongi. Kedua kitab ini dianggap sebagai kitab-kitab
suci, dan merupakan sumber utama pemikiran agama dalam Shinto sejak dulu hingga
sekarang. Sebagaimana telah disebutkan, tema pokok uraian mitologi tersebut adalah
cerita sekitar Dewi Matahari dan keturunannya yang telah memerintah dan
mempersatukan negeri Jepang. Mitologi tersebut tidak akan diuraikan lagi di sini, dan
sudah dirasa cukup diketengahkan secara singkat dalam uraian sebelumnya. Yang
jelas, melalui mitologi tersebut ingin ditunjukkan bahwa kaisar Jepang yang pertama
adalah keturunan dari Dewi Matahari. Menurut mitologi tersebut, simbol kekaisaran
Jepang yang berupa Tiga Benda Suci, yaitu cermin, pedang, dan permata, adalah
pemberian dewi tersebut kepada cucunya, Ninigi-mikoto, ayah dari Jimmu Tenno,
kaisar Jepang pertama.
B. Ajaran tentang Manusia
Dari uraian di atas dapat dinyatakan bahwa agama Shinto pada dasarnya
merupakan paham politeistik yang benar-benar murni, yang didasarkan pada
pemujaan terhadap personifikasi gejala-gejala dan benda-benda alam yang disebut
kami. Lebih jauh, menurut agama tersebut, kami bukan merupakan sesuatu kekuasaan
yang mutlak dan transenden atas diri manusia. Sebaliknya, diajarkan adanya garis
kesinambungan antara kami dan manusia, yang diungkapkan melalui istilah oyaka.
Maksud istilah ini ialah, bahwa antara kami dan manusia terjalin suatu hubungan
seperti hubungan antara orangtua dan anak, atau antara nenekmoyang dan
keturunannya. Dengan demikian "manusia adalah putra kami". Ungkapan ini
memiliki dua macam arti: pertama, hidup manusia berasal dari kami, sehingga
dianggap suci; dan kedua kehidupan sehari-hari adalah pemberian dari kami. Oleh
karena itu, menurut agama Shinto, pribadi dan kehidupan selayaknya harus dihormati
dan dihargai. Manusia sering pula disebut dengan hito, yang berarti "tempat tinggal
spirit", dan dalam bahasa Jepang kuno, disebut aohito-gusa, "manusia-rumput hijau",
karena dibandingkan dengan rumput hijau yang tumbuh subur. Selain itu, manusia
dapat disebut pula ame no masu-jito, "manusia-langit-yang berkembang", yang

317
maksudnya adalah makhluk suci yang memiliki kemampuun tidak terbatas. Setiap
pemeluk agama Shinto, idealnya wajib menyadari bahwa ia memiliki asal-usul yang
suci, jiwa yang suci, jasmani yang suci, dan tugas yang suci, dan harus hidup
bekerjasama untuk membangun sebuah dunia yang sejahtera.
Citra manusia dalam pandangan agama Shinto, seperti telah disampaikan
secara singkat di atas, sebenarnya tidak jauh berbeda dengan ajaran tentang manusia
dalam agama-agama lain. Akan tetapi, dalam praktek, hubungan antara manusia dan
dewa tersebut oleh agama Shinto dan para pemeluknya lebih banyak dipahami dalam
arti fisik dan genealogik, dan digunakan untuk menanamkan rasa fanatisme terhadap
keunggulan dan kelebihan bangsa Jepang dibandingkan bangsa-bangsa lain, sehingga
bukan kesejahteraan umat manusia yang diperoleh, melainkan malapetaka yang telah
merenggut nyawa sekian banyak manusia.
Konsep dosa tidak dikenal dalam agama Shinto. Segala bentuk upacara
keagamaan yang dikerjakan pada dasarnya bertujuan untuk menciptakan kondisi
"suci" yang sangat diperlukan dalam mendekati kami. Penyakit, luka, menstruasi, dan
kekotoran-kekotoran lainnya, dianggap sebagai hal-hal yang dapat merusak hubungan
manusia dengan kami. Pada saat-saat mengalami hal-hal seperti itu, orang harus
menjauhkan diri dari keikutsertaan dalam persoalan-persoalan agama dan kehidupan
sosial sebelum mengerjakan upacara-upacara pensucian, yang disebut harae.
Harae, atau harai, merupakan ritus dalam agama Shinto untuk men-
ghilangkan segala macam kekotoran, baik jasmani maupun rohani. Menurut mite,
ritus harae untuk pertama kali dilakukan oleh dewa Izanagi ketika ia membersihkan
diri dari kotoran yang dideritanya akibat melanggar suatu pantangan pada saat
berkunjung ke negeri Yomi. Untuk selanjutnya, ritus ini senantiasa dikerjakan
mendahului pelaksanaan upacara-upacara keagamaan, dan menjadi salah satu ritus
yang dianggap penting dalam agama Shinto. Alat yang digunakan ada tiga macam,
yaitu: (i) harai-gushi, sebuah tongkat kayu yang diberi kain atau sobekan-sobekan
kertas di ujungnya; (ii) onusa, yaitu sebuah ranting pohon suci, atau lainnya, yang di
ujungnya diikatkan kain atau sobekan-sobekan kertas; dan (iii) konusa, berupa suatu
alat yang berukuran kecil, dan digunakan oleh seseorang untuk mensucikan dirinya
sendiri. Dengan mengibaskan alat-alat tersebut ke kiri dan ke kanan, berulang-ulang,
di atas kepala, maka kekotoran seseorang dapat dianggap telah dihilangkan sehingga
ia dianggap suci dan siap melakukan pemujaan terhadap dewa atau mengikuti
upacara-upacara keagamaan.

318
C. Ajran tentang Dunia
Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, menurut pandangan seorang
ahli Shinto, agama tersebut termasuk tipe agama "lahir satu kali", dalam arti
memandang dunia ini sebagai satu-satunya tempat kehidupan bagi manusia. Sekalipun
demikian, dalam pemikiran agama Shinto ada tiga macam dunia, yaitu:
1. Takamano-hara, berarti "tanah langit yang tinggi", yaitu dunia suci yang
menjadi tempat tinggal para dewa langit.
2. Yomino-kuni, yakni tempat orang-orang yang sudah meninggal dunia, yang
dibayangkan sebagai dunia yang gelap, kotor, jelek, dan menyengsarakan.
3. Tokoyono-kuni [tokoyo berarti "kehidupan yang abadi," "negeri yang jauh di
seberang lautan," atau "kegelapan yang abadi, yaitu sebuah dunia yang dianggap
penuh dengan kenikmatan dan kedamaian, tempat tinggal arwah orang-orang yang
meninggal dunia dalam keadaan suci.
Kalangan dunia tersebut sering pula disebut dengan kakuriyo, yang berarti dunia yang
tersembunyi, sementara dunia tempat tinggal manusia hidup disebut utsushiyo, yang
berarti dunia yang terlihat atau dunia yang terbuka.
Dalam mite disebutkan bahwa, ketika penciptaan sedang berlangsung, unsur-
unsur alam yang halus dan ringan berubah menjadi langit, dan unsur-unsur yang berat
dan kasar menjadi bumi. Di samping itu, langit dianggap suci. Oleh karena itu,
agaknya, takamano-hara dianggap sebagai sebuah dunia yang suci dan cemerlang
yang segala sesuatunya lebih baik daripada dunia ini, dan tempat tinggal para dewa
langit. Bertitik-tolak dari pemikiran mitologis semacam ini, maka bangsa Jepang
percaya bahwa para dewa turun dari langit untuk menciptakan kesejahteraan dan
kedamaian di atas bumi ini. Akan tetapi, dikatakan pula bahwa hal tersebut bukan
berarti bahwa dunia langit secara esensial berbeda dari dunia bumi, tetapi dunia langit
hanya merupakan sebuah dunia yang lebih baik dari dunia manusia ini.
Menurut Motoori Norinaga, dalam mite terdapat ketentuan dari Dewi Matahari
mengenai suatu keabadian sejarah. Norinaga juga menyatakan bahwa manusia ini
akan senantiasa tumbuh dan berkembang serta berubah terus-menerus. Oleh sebab itu,
agama Shinto tidak memiliki ajaran tentang hidup di hari kemudian, atau hidup
setelah mati, meskipun percaya tentang adanya suatu dunia yang penuh kenikmatan
dan kedamaian tempat tinggal arwah orang-orang yang hidupnya suci. Agama
tersebut agaknya lebih menekankan pada pandangan yang lebih berorientasi kekinian

319
dan keduniaan, apalagi dunia dianggap sebagai tempat tinggal manusia yang tidak
akan pernah musnah. Berdasarkan pandangan semacam ini, maka saat-saat kehidupan
manusia sekarang ini merupakan saat-saat yang penuh dengan nilai. Setiap pemeluk
Shinto diharuskan untuk berperan aktif secara langsung dalam perkembangan dunia
yang abadi itu, dan harus memanfaatkan setiap saat dalam kehidupannya semaksimal
mungkin. Mentalitas seperti ini, mungkin, merupakan di antara lain-lain faktor yang
telah membawa bangsa Jepang menuju tingkat kesejahteraan dan kemakmuran hidup
duniawi yang cukup tinggi, seperti yang dapat dilihat sekarang.
D. Matsuri, Festival Keagamaan
Selain ritus yang telah disebut sebelumnya, dalam agama Shinto dikenal
banyak sekali upacara-upacara dan festival keagamaan, yang bentuk dan tujuannya
sangat beranekaragam. Upacara-upacara ini disebut matsuri, dan pada umumnya
terdiri dari rangkaian ritus yang penuh hidmat yang kemudian diikuti dengan festival-
festival massal yang penuh dengan suasana kegembiraan. Rangkaian ritus matsuri
terdiri dari pemberian sesaji berupa makan dan minuman sake kepada dewa,
pembacaan norito, doa yang ditujukan kepada dewa, pertunjukan musik, pemujaan
dan diakhiri dengan pesta bersama untuk menikmati makanan dan minuman yang
disajikan kepada dewa tadi. Festival dilakukan dalam bentuk arak-arakan, tari-tarian,
pertunjukan sandiwara, perlombaan-perlombaan, dan pesta-pesta.
Dalam sepanjang sejarah agama Shinto, matsuri merupakan hal yang amat
penting. Kehidupan yang saleh dan taat adalah matsuri; dan hidup itu sendiri harus
sama dengan matsuri. Upacara-upacara keagamaan juga disebut matsuri. Oleh karena
dalam pemikiran bangsa Jepang lama kehidupan politik harus mengikuti keinginan
para dewa, maka tidak ada pemerintahan tanpa matsuri. Dari sini timbul konsep saise-
itchi, yaitu konsep kesatuan antara agama dan negara; dan matsuri-goto, yang berarti
pemerintahan, adalah sinonim dari kata matsuri.
Sebagai suatu festival keagamaan, jumlah matsuri sangat banyak, yang secara
garis besar dapat dibedakan menjadi empat macam, yaitu: (i) festival musim semi
(haru-matsuri), yang tujuannya adalah untuk memohon rahmat dewa agar diberi
panen yang melimpah; (ii) festival musim gugur (aki-matsuri), sebagai pernyataan
terimakasih kepada dewa atas hasil panen yang diperoleh; (iii) festival tahunan
(reisai), yang diselenggarakan pada bulan-bulan tertentu; dan (iv) festival arak-arakan
dewa (shinko-shiki), yaitu untuk memuja dewa tertentu agar memperoleh keselamatan
dari berbagai macam penyakit.

320
Dalam pada itu, pemikiran dan tradisi keagamaan yang berlaku dalam agama
rakyat (Minkan Shinto) juga sangat berpengaruh pada agama Shinto dan para
pemeluknya pada umumnya. Kehidupan manusia sejak lahir hingga meninggal dunia
dibagi menjadi beberapa tingkatan. Perpindahan dari satu tingkat ke tingkat lainnya
dianggap sebagai masa peralihan yang menganduung bahaya tertentu. Oleh sebab itu,
perpindahan tersebut biasanya diikuti dengan upacara-upacara. Yang terpenting di
antaranya ialah:
1. Upacara Masa Kanak-kanak Pada usia tujuh hari anak diberi nama, dan pada
usia tigabelas hari ia dibawa ke jinja untuk diperkenalkan kepada kami-
pelindung-setempat, sekaligus menyampaikan pemujaan kepadanya.
Kemudian pada usia lima tahun untuk anak laki-laki dan usia tiga atau
tujuh tahun untuk anak perempuan, ia dibawa lagi ke jinja setempat untuk
memanjatkan doa kepada kami agar memelihara pertumbuhan dan
perkembangannya. Sejak saat itu anak tersebut dianggap berada langsung di
bawah perlindungan kami.
2. Upacara Usia Dewasa. Dulu, anak laki-laki usia antara tigabelas sampai
sembilanbelas tahun, atau anak perempuan yang sudah mengalami menstruasi
pertama, secara resmi dianggap memasuki usia dewasa setelah dilakukan
upacara genpuku, yaitu upacara pemberian pakaian pertama berupa pakaian
dalam dan sebagainya. Sekarang, upacara semacam ini telah diganti dengan
upacara kewarganegaraan yang diselenggarakan pada setiap tanggal 15 Januari
dan diperuntukkan bagi semua warganegara keturunan Jepang yang pada saat
itu sudah berusia duapuluh tahun. Sesudah mengikuti upacara ini, mereka
dianggap telah dewasa dan dapat melakukan perkawinan secara sah
meskipun tanpa persetujuan wali.
3. Upacara Perkawinan. Upacara ini terdiri dari upacara pertunangan dan
upacara pernikahan. Yang pertama dilaksanakan dengan cara tukar-
menukar tanda pertunangan antara kedua calon mempelai, dan yang kedua
dilakukan dengan mengucapkan janji di hadapan kami untuk menjadi
suami istri dan dengan tukar-menukar gelas perkawinan. Hubungan antara
keduanya disahkan melalui upacara minum sake.
4. Upacara Usia Lanjut. Menurut kepercayaan masyarakat Jepang pada umumnya,
pada usia tertentu, tergantung pada tanggal kelahiran, setiap orang akan
mengalami tahun-tahun yang membahayakan kehidupannya karena adanya

321
pengaruh-pengaruh jahat tertentu. Pada saat-saat seperti itu harus diambil
tindakan pencegahan melalui cara-cara tertentu. Selain itu, permulaan usia yang
keenampuluh atau ketujuhpuluh sering dirayakan karena dianggap sebagai suatu
tingkat usia yang jarang terjadi.
5. Upacara Kematian. Upacara ini didasarkan pada keyakinan bahwa ruh seseorang
akan mengalami perkembangan setelah orang tersebut meninggal dunia. Segera
setelah seseorang meninggal dunia, dilakukan upacara-upacara untuk membantu
ruh tersebut dalam kehidupannya selanjutnya. Satu mangkuk nasi diletakkan di
atas bantal orang yang mati itu, dan disertakan pula sebilah pedang, atau benda-
benda tajam lainnya, untuk melindunginya dari ruh-ruh jahat. Pada malam
menjelang pemakaman, sanak keluarga yang paling dekat akan berjaga semalam
suntuk di dekat mayatnya. Pagi harinya, mayat tersebut dimandikan dengan air
hangat, dibungkus dengan kain putih, kemudian dimasukkan ke dalam peti.
Upacara pemakaman dilakukan oleh pendeta agama Buddha. Satu minggu
kemudian, orang yang telah mati itu diberi nama baru yang akan dipakainya di
alam ruh nanti. Keluarga yang ditinggalkannya akan berkabung selama 49 hari,
suatu jangka waktu yang tabu untuk melakukan upacara-upacara keagamaan.
Setelah itu upacara-upacara kematian dilaksanakan secara berkala, diawali
dengan festival untuk orang-orang yang telah meninggal dunia dan
kemudian pada ulang tahun kematian yang pertama, ketiga, ketujuh,
ketigapuluhtiga, bahkan ada yang sampai keempatpuluhnya. Apabila rangkaian
upacara kematian telah berakhir, maka ruh akan kehilangan individualitasnya dan
akan menyatu dengan kami leluhur. Ada kepercayaan bahwa ruh leluhur ini akan
menjelma kembali dalam diri keturunannya yang lahir kemudian.
Dari seluruh rangkaian upacara peralihan yang mengiringi perkembangan
hidup manusia sejak lahir sampai bertahun-tahun setelah iameninggal dunia, terlihat
jelas adanya suatu struktur kepercayaan yang terdapat dalam masyarakat Jepang pada
umumnya. Kehidupan dianggap bermula dari penerimaan ruh atau tama pada saat
kelahiran. Di bawah pemeliharaan dan perlindungan kami, ruh tersebut berkembang
dalam diri seseorang dari satu tingkat ke tingkat berikutnya sampai akhirnya ia
meninggalkan badan. Selanjutnya ruh tersebut juga dianggap akan mengalami
perkembangan hingga akhirnya dapat berubah menjadi kami, jika oleh keluarganya
yang masih hidup dilakukan upacara-upacara kematian secara tepat. Upacara-upacara
kematian ini jika dibandingkan dengan upacara-upacara yang mengiringi kelahiran,

322
seperti upacara pemberian nama pada hari yang ketujuh, upacara tahun ketiga, ketujuh
dan sebagainya, dari usia seseorang, terlihat adanya persamaan yang cukup simetris.
Agaknya, dalam alam pikiran masyarakat Jepang pada umumnya jiwa yang hidup dan
jiwa orang yang mati sama-sama mengalami suatu proses perkembangan yang hampir
serupa.
Sampai hari ini agama rakyat tetap merupakan bagian yang tidak dapat
dipisahkan dari kehidupan rakyat Jepang pada umumnya, termasuk didalamnya para
pememluk agam Shinto. Pemujaan terhadap arwah nenekmoyang juga masih tetap
berakar kuat; upacara-upacara dan festival-festival tahunan juga tetap memainkan
peranan penting, khususnya dalam lingkungan masyarakat tani. Bahkan, dalam kota
metropolitan Tokyo pun festival-festival tersebut juga memperoleh tempat
sungguhpun lebih merupakan pelestarian nilai-nilai dan warisan budaya Jepang
daripada kegiatan keagamaan. Sebagian dari waktu-waktu penyelenggaraan festival-
festival tersebut telah ditetapkan sebagai hari libur nasional, dan konon, di antara
buku-buku yang paling laris di Jepang adalah buku karya Shiozuki, Kankon Sosai
Nyumun, yang isinya memuat petunjuk cara-cara melakukan perkawinan, pemakaman
dan sebagainya, menurut tradisi asli rakyat Jepang.
JINJA DAN PERIBADATAN AGAMA SHINTO
Agama Shinto tidak memiliki bentuk peribadatan yang sudah tertentu waktu
pelaksanaannya. Sekalipun demikian, pemeluk agama Shinto yang taat akan tetap
memberikan pemujaan terhadap dewa setiap hari. Pada pagi hari, setelah bangun tidur
dan membersihkan diri, ia akan segera menuju ke depan altar keluarga. Di sini ia akan
membungkukkan badan, bertepuk tangan dua kali, diam sebentar dengan sikap yang
penuh hormat dan hidmat, dan kemudian baru pergi melaksanakan kegiatan hidupnya
sehari-hari. Pada kesempatan lain, ia akan menghadap ke arah matahari, gunung, jinja
Ise, atau lainnya, kemudian bertepuk tangan dua kali dan membungkuk sebentar
dalam sikap yang penuh hormat, sebelum ia pergi. Akan tetapi, tempat yang dianggap
paling baik untuk melakukan peribadatan adalah jinja.
Jinja merupakan sebuah bangunan yang sengaja didirikan untuk memuja kami,
dewa dalam agama Shinto. Kadang-kadang jinja juga dianggap sebagai tempat tinggal
kami, terutama karena adanya keyakinan bahwa kami yang dipuja di situ dapat
berubah wujud menjadi manusia dan tinggal di dalamnya. Bentuk dan ukuran jinja
bermacam-macam, tergantung pada latarbelakang sejarah masing-masing. Akan tetapi,
pada umumnya jinja tersebut terletak di daerah-daerah yang dikelilingi oleh hutan,

323
dan merupakan kelanjutan dari tempat-tempat pemujaan di zaman kuno. Tanggapan
pemeluk Shinto terhadap Jinja-jinja biasanya dikatakan lebih luas dari jinja-jinja itu
sendiri karena mencakup pula alam sekitarnya. Banyak jinja yang didirikan jauh dari
pusat keramaian manusia, di tengah-tengah kesunyian hutan, di lereng-lereng bukit
atau gunung, di dekat air terjun, atau di sebuah pulau yang belum begitu dikenal.
Hutan atau alam itu sendiri biasanya dianggap sebagai simbol dewa. Oleh karena itu,
apabila suatu jinja terletak di tengah-tengah keramaian mamusia, di kota misalnya,
maka paling tidak akan dilengkapi dengan sebuah kolam dan miniatur-miniatur
gunung serta jalan setapak, yang secara simbolis akan mengingatkan kembali pada
keindahan dan keajaiban alam. Dalam hubungan yang erat dengan alam itulah, para
pemeluk agama Shinto merasakan lebih dalam menghayati kesatuan mereka dengan
kami.
Prinsip yang dipegang teguh dalam bangunan-bangunan jinja ialah bahwa
Jinja tersebut harus mencerminkan kesederhanaan, mempergunakan papan-papan
polos dan menghindari hiasan atau dekorasi yang berlebih-lebihan. Akan tetapi,
pertemuan dengan agama-agama lain, khususnya Buddha, telah memberikan
pengaruh dan perubahan yang cukup besar terhadap jinja tersebut. Hal-hal baru yang
semula tidak dikenal, seperti hiasan-hiasan dalam bentuk lukisan dan ukir-ukiran,
mulai terdapat di dalamnya. Selain itu, teknik-teknik bangunan dan bahan-bahan
material moderen juga memberi pengaruh terhadap bentuk arsitektur jinja. Sekarang,
bangunan jinja yang terbuat dari besi beton bukan merupakan hal yang asing lagi.
Meskipun demikian, kesederhanaan dan keserasian dengan alam tetap merupakan
nilai-nilai yang sedapat mungkin dipertahankan.
Setiap jinja biasanya paling tidak terdiri dari dua bagian utama, yaitu Honden,
tempat suci utama yang terletak di bagian dalam, dan Haiden, ruang untuk melakukan
pemujaan. Jinja yang lengkap biasanya masih memiliki bagian-bagian yang lain,
seperti ruangan untuk memanjatkan atau membaca doa. (norito-den), ruang sesaji
(heiden), ruang untuk mempertunjukkan upacara tari (kagura-den), kantor jinja atau
bangunan untuk para pendeta yang mengurus jinja (samusho), tempat untuk mencuci
tangan (temizu-ya), dan pintu gerbang masuk menuju jinja (torii). Akan tetapi, bagian
terpenting jinja adalah honden, tempat suci utama yang dipergunakan untuk
menyimpan simbol suci dewa (shintai, jasad kami, atau mitama-shiro, simbol spirit
dewa). Honden, yang kadang-kadang disebut juga shinden atau shonden, ini tidak
pernah dibuka untuk umum.

324
Setiap jinja mempunyai nama tersendiri, dan dewa yang dipujanya pun
berbeda satu sama lain. Sekalipun demikian, tidak ada seorang pendeta atau pemuja
yang hanya menaruh perhatian pada satu jinja saja. Juga, meskipun sesuatu jinja
menjadi sedemikian tersohor karema memiliki keistimewaan-keistimewaan tertentu,
namun dalam pandangan para pemeluk agama Shinto semua jinja sama baiknya.
Barangkali pandangan semacam ini tumbuh akibat penekanan yang bersifat nasional
kepada jinja pada umumnya dan dikesam-pingkannya arti khusus sesuatu jinja.
Sekalipun demikian berbagai julukan telah diberikan kepada jinja-jinja tersebut, yaitu
jingu, julukan tertinggi yang diberikan kepada dua buah jinja yang terdapat di Ise; gu,
diberikan kepada jinja-jinja yang memuja kaisar atau salah seorang anggota
keluarganya, atau yang memiliki sejarah yang penting; taisha, diberikan kepada jinja
yang memiliki kedudukan penting dalam wilayah tertentu; dan jinja atau sha yang
diberikan kepada jinja pada umumnya. Pada masa Meiji, jinja-jinja tersebut dibedakan
menjadi dua kelompok besar, yaitu kampeisha (jinja negara) dan kokuheisha (jinja
nasional). Tetapi sekarang tidak ada lagi sistem ranking jinja yang resmi.
Di antara seluruh jinja agama Shinto yang jumlahnya puluhan ribu, jinja Ise
menempati puncak hierarki jinja dalam Shinto dan merupakan jinja yang paling besar
dan paling suci di Jepang. Disebutkan bahwa jinja Ise ini merupakan pusat spiritual
bagi seluruh jinja dan pangkal kembali kepercayaan bangsa Jepang. Setiap duaratus
tahun sekali, jinja ini dibangun kembali, yang untuk pertama kalinya dimulai oleh
kaisar Jito (memerintah 686-689). Selain jinja ini masih cukup banyak jinja lain yang
juga cukup popular dan terkenal, baik yang dipersembahkan untuk memuja Dewi
Matahari maupun arwah para kurban perang dan sebagainya.
Objek yang dipuja dalam jinja pada umumnya hampir serupa. Ada yang
berwujud cermin, pedang, batu, benda-benda kenangan, patung, pohon, gunung, air,
burung, ular, rubah, dan lain sebagainya. Semuanya dapat dibedakan menjadi dua
macam, yaitu shintai, jasad dewa, yang merupakan simbol berupa benda, seperti
cermin, pedang, permata dan lain sebagainya; dan mitama-shiro, yaitu objek atau
benda yang diyakini menjadi tempat tinggal spirit yang dipuja. Secara teknis, kedua
istilah tersebut dapat dibedakan, namun pemakaiannya sangat membingungkan,
bahkan sering disamakan saja. Cermin yang terdapat di jinja Ise, misalnya, dianggap
sebagai Shintai, jadi merupakan jasad atau simbol dewa, tetapi Dewi Matahari juga
dikatakan menempat pada cermin tersebut. Dengan demikian cermin tersebut menjadi
shintai dan mitama-shiro sekaligus. Juga, di jinja Yasukuni, pedang dijadikan simbol

325
objek yang dipuja, namun juga dianggap sebagai tempat tinggal spirit yang dipuja.
Ada pula gunung-gunung yang disebut shintai-zan, yaitu gunung-gunung yang dipuja
dan dianggap suci karena menjadi tempat tinggal dewa. Gunung-gunung tersebut
kadang-kadang Juga dijadikan shinden, bagian jinja yang paling utama. Semua benda
yang dianggap suci dapat dianggap jasad atau simbol dewa. Tulisan-tulisan yang
sangat erat hubungannya dengan para dewa juga dijadikan jasad dewa, sekalipun
hubungan tersebut hanya mitologis saja. Simbol-simbol tersebut biasanya tidak
pernah diperlihatkan kepada orang, dan tersimpan rapi dalam sebuah ruang yang
tertutup. Oleh sebab itu, tidak sedikit para pemeluk agama Shinto, bahkan Juga para
pendetanya, yang tidak pernah melihat atau mengetahui benda yang mereka puja.
Sistem peribadatan yang dikerjakan dalam jinja dapat dibedakan menjadi tiga
macam, yaitu (i) upacara pensucian pendahuluan (kessai); (ii) upacara pensucian
(harai); dan (iii) upacara persembahan sesaji. Ketiga macam upacara tersebut
memiliki tujuan pokok membantu manusia memperoleh kembali kesucian dan
ketulusan hatinya yang sebenarnya dan menolongnya agar hidup dalam sebuah
kehidupan yang memuja kami dengan sungguh-sungguh.
Kessai, atau saikai, merupakan semacam upacara persiapan sebelum
malakukan upacara keagamaan. Bentuknya bermacam-macam, seperti berpantang
makan makanan tertentu, memusatkan perhatian hanya pada persoalan-persoalan
agama saja, atau membersihkan diri dengan cara mandi atau mencelupkan diri ke
dalam sungai atau laut. Air, memang, memegang peran utama dalam pensucian agama
Shinto. Kebiasaan untuk mensucikan diri dengan mempergunakan air ini disebut
dengan misogi, yang dapat dilakukan melalui berbagai macam cara, seperti mandi
atau memercikkan air ke tubuh.
Upacara harai, atau pensucian, dilakukan oleh seorang pendeta dengan cara
mengibaskan tongkat pensucian (harai-gushi) di atas kepala atau objek yang
disucikan.
Sesaji yang dipersembahkan kepada para dewa umumnya berupa makanan-
makanan yang istimewa, dilengkapi dengan pertunjukan musik dan tari-tarian, dan
dimaksudkan untuk mengungkapkan rasa terimakasih kepada dewa. Dalam
kesempatan seperti itu, dibacakan doa-doa yang diucapkan keras-keras. Isiya meliputi
pujian terhadap dewa, permohonan perlindungan dan rahmatnya, serta pernyataan
kesanggupan untuk memenuhi kehendak dewa dan untuk bersungguh-sungguh dalam
kehidupan ini.

326
Ada tiga tata urutan pokok dalam cara resmi pemujaan dewa, yang disebut
hairei, yaitu:
a. Pertama-tama orang harus menunduk terlebih dulu, yang biasanya dilakukan dua
kali.
b. Setelah itu, bertepuk tangan dua kali, dan
c. Kemudian diam sebentar dalam sikap kepala menunduk dan hormat pada dewa.
Sebelum memasuki jinja, seseorang diharuskan untuk melewati torii, yaitu
pintu gerbang yang memisahkan daerah jinja yang dianggap suci dengan daerah-
daerah profan sekitarnya. Setelah itu, kemudian beristirahat di dekat sebuah kolam,
membersihkan tangan dan mulutnya dengan air kolam tersebut, yang tujuannya
adalah untuk mensucikan badan pikiran sebelum melakukan pemujaan. Untuk
menghormati Dewa Air, ia harus memasukkan uang ke dalam kotak sumbangan yang
telah disiapkan, atau melemparkan uang tersebut ke dalam air kolam tadi. Selanjutnya
ia dapat menuju ke ruang pemujaan. Ketika berada di depan ruang suci bagian dalam
jinja, ia harus membungkuk, memasukkan uang ke dalam kotak sumbangan, bertepuk
tangan dua kali, dan diam sebentar dalam sikap kepala menunduk seraya
mengucapkan doa-doa. Apabila sudah dirasa cukup, ia boleh berlalu secara perlahan-
lahan.
Apabila ia bermaksud untuk tinggal lebih lama lagi dalam jinja, ia dapat pergi
menuju ke kantor jinja (samusho), yang biasanya terletak di bagian samping. Di sini
ia dapat masuk ke ruang pemujaan setelah mendaftarkan diri dan membayar biaya
administrasi. Dalam ruang pemujaan, seorang pendeta akan menggoyang-goyangkan
sebuah ranting pohon suci sakaki, atau tiruannya, beberapa kali di atas kepalanya
untuk mensucikan diri. Sesudah itu, ia diharuskan mengambil gohei, yaitu simbol
pemberian kepada dewa yang terbuat dari kertas atau kain. Setelah bertepuk tangan
dua kali dan diam sebentar dalam sikap yang penuh hormat, ia selanjutnya
meninggalkan tempat tersebut. Biasanya ia kemudian akan membeli ofuda atau
omamori, semacam jimat yang terbuat dari kertas, kayu atau logam, di kantor jinja.
Jimat tersebut nantinya akan diletakkannya dalam altar keluarganya, dan dipuja setiap
pagi dan malam hari untuk mendapatkan perlindungan dari dewa yang namanya
dituliskan dalam jimat itu. Ia dapat pula mengambil undian dari dalam sebuah kotak
untuk mengetahui bagaimana nasibnya di masa depan. Ketika ia telah melewati torii
lagi, ia harus membalikkan badan untuk menghadap ke arah jinja, kemudian
membungkukkan badan dalam-dalam sebelum berangkat pergi.

327
Upacara-upacara keagamaan dalam jinja dipimpin oleh pendeta. Selain untuk
mengatur jinja dibentuk sebuah kepengurusan yang anggotanya dipilih dari kalangan
pendeta dan kalangan jemaat yang bertempat tinggal di sekitar jinja. Dengan demikian,
tugas para pendeta agama Shinto pada umumnya ada dua, yaitu memimpin upacara
dan peribadatan agama Shinto pada umumnya, dan mengatur jinja.
Pendeta agama Shinto disebut shinshoku. Untuk menjadi seorang pendeta
terlebih dahulu harus melalui pendidikan khusus yang diselenggarakan oleh Jinja
Honcho, Persekutuan Jinja Shinto, atau melalui ujian saringan. Para pendeta Shinto
biasanya digolong-golongkan menjadi lima tingkatan, yaitu (i) saihu, yakni tingkatan
tertinggi yang hanya dimiliki oleh pangeran putri dari lingkungan keluarga kaisar; (ii)
guji, yaitu para pendeta yang memimpin dan bartanggungjawab atas pelaksanaan
upacara-upacara keagamaan dalam sesuatu jinja. (iii) gonguji, yaitu para pendeta yang
memiliki kedudukan setingkat di bawah guji dan bertindak selaku pembantunya; (iv)
negi, yakni pendeta-pendeta senior pada umumnya; dan (v) gonnegi, yaitu pendeta-
pendeta yunior. Ada pula kelompok pendeta yang disebut shoten, yaitu para pendeta
yang melulu bertugas menyelenggarakan upacara-upacara keagamaan dalam
lingkungan jinja istana kaisar. Mereka terbagai menjadi dua tingkat, shoten dan
shotenho (wakil Pendeta).
PENUTUP
Agama Shinto -- jika memang dapat disebut demikian -- adalah sebuah agarna yang
berakar pada tradisi dan kepercayaan asli bangsa Jepang, tetapi bentuk akhirnya
banyak yang berasal dari luar Jepang. Bagaimanapun, akibat yang diterima agama
tersebut karena adanya pangaruh-pengaruh tadi tidak dapat dikesampingkan begitu
saja, bahkan mungkin dapat dikatakan bahwa tanpa pengaruh-pengaruh tadi tidak
akan pernah lahir apa yang disebut agama Shinto. Sekalipun tradisi dan kepercayaan
asli tetap bertahan dan hidup dalam agama tersebut, tetapi unsur-unsur yang berasal
dari paham Buddhisme, Konfusianisme, Taoisme dan sebagainya, terlihat sangat kuat.
Pengaruh terbesar berasal dari Buddhisme. Boleh dikatakan, sejak abad
kesembilan sampai abad kesembilanbelas agama Shinto berada di bawah pengaruh
kekuasaan paham tersebut. Sepanjang periode itu, antara agama Shinto dan agama
Buddha telah terjadi percampuran sedemikian rupa sehingga agama Shinto selalu
disibukkan oleh usaha-usaha untuk mempertahankan eksistensi diri sendiri. Agama
Buddha pula yang menyebabkan dipergunakannya istilah "Shinto". Di samping itu,
para pendeta agama Shinto juga mengambil dan memasukkan unsur-unsur Buddhisme

328
ke dalam sistem agama mereka. Akibatnya, agama Shinto justru hampir-hampir
kehilangan sebagian besar sifatnya yang asli. Meskipun muncul usaha-usaha untuk
menghilangkan pengaruh Buddhisme tersebut, namun sumbangan pokok agama
Buddha, yaitu berupa pendalaman dan perluasan isi agama Shinto maupun
pandangan-pandangan filosofisnya, tetap terpelihara dengan baik dalam agama Shinto
hingga sekarang ini.
Pengaruh terbesar kedua diterima dan paham Konfusianisme, Meskipun
paham ini di Jepang tidak pernah membentuk suatu organisasi tersendiri. Oleh karena
paham ini didasarkan atas prinsip-prinsip yang relatif mudah bercampur dengan nilai-
nilai tradisional Jepang, maka tidak banyak mengalami benturan dengan agama
Shinto, bahkan justru memperkokohnya dengan memberikan suatu kerangka ideologis
dan etis kepada agama tersebut. Konfusianisme di Jepang telah merubah dirinya
sehingga lambat laun menyatu dalam kehidupan bangsa Jepang, dan berbeda dengan
Konfusinaisme yang terdapat di Cina maupun Korea. Secara politis, Konfusianisme di
Jepang telah memberikan kelengkapan intelektual dalam usaha pembaharuan sosial
politik Jepang. Paham tersebut telah mendorong tumbuhnya perhatian masyarakat
terhadap tradisi-tradisi asli Jepang, yang pada gilirannya, akhirnya mewujud dalam
bentuk gerakan loyalitas terhadap kaisar dan merubah agama Shinto menjadi sebuah
kultus nasional yang melebihi agama-agama lain.
Pengaruh paham Taoisme terhadap agama Shinto juga cukup mendalam.
Bentuk-bentuk kepercayaan yang dilengkapi dengan magi dan sihir sebenarnya
berasal dari pengaruh paham tersebut. Demikian pula, corak peribadatan asketik yang
terdapat dalam pelbagai macam sekte agama Shinto timbul sebagai akibat pengaruh
Taoisme.
Singkatnya, agama Shinto telah mengambil berbagai unsur dari ketiga paham
di atas. Konsep-konsep etik diambil dari Konfusianisme; kosmologi, almanak
keagamaan, peramalan, festival-festival, dan jimat-jimat, diambil dari Taoisme; dan
filsafat, kosmologi, ritus-ritus, objek-objek peribadatan, dan doa-doa keagamaan, dari
Buddhisme. Pengambilan tersebut bukan dalam arti yang sebenarnya, tetapi dalam arti
dipergunakan untuk melengkapi dan menjelaskan tradisi-tradisi Shinto asli. Dalam
proses selanjutnya, sifat asing unsur tersebut menjadi terlupakan. Corak seperti ini
telah menyebabkan semakin kompleksitasnya agama Shinto, agama "asli" Jepang,
negeri "matahari terbit."

329

Anda mungkin juga menyukai