Anda di halaman 1dari 31

BAB I

PENDAHULUAN
1. LATAR BELAKANG

Suku Dayak Ngaju di Kalimantan merupakan salah satu suku

yang memiliki adat serta tradisi yang berkaitan erat dengan ritual dan

kepercayaan. Dalam Tradisi Dayak Ngaju, ada sebuah kepercayaan yang

disebut sebagai Kaharingan. Kaharingan berasal dari kata bahasa

Sangiang (Dayak Kuno) “Haring” yang artinya Hidup. Kemudian

mendapat awalan “Ka” dan akhirannya “An” menjadi “Kaharingan”. 1

Selain itu, Kaharingan juga dapat diartikan dengan kehidupan yang abadi

dari Ranying Hatalla Langit. Kemudian dalam bahasa Sangiang,

Kaharingan berarti “hidup atau kehidupan”. Sedangkan dalam bahasa

dayak Ngaju sehari-hari, Kaharingan diartikan sebagai “ada dengan

sendirinya”.2 Jadi Kaharingan dapat diartikan sebagai ‘Kehidupan’ yang

abadi dari Ranying Mahatalla Langit untuk menuju pada kesempurnaan

hidup yang sempurna dari makna tersebut sehingga muncullah tradisi asli

Dayak yang masih sangat kental dalam pelaksanaan upacara ritual

keagamaannya.

Pada mulanya agama Kaharingan merupakan agama (atau lebih

tepatnya ialah kepercayaan) yang dianut oleh suku dayak Ngaju. Namun

pada saat ini, agama Kaharingan di anut oleh masyarakat dayak yang

berada di Kalimantan Tengah.

Kaharingan adalah religi suku atau kepercayaan tradisional suku


Dayak di Kalimantan. Istilah kaharingan artinya tumbuh atau hidup

seperti dalam istilah danum kaharingan (air kehidupan), maksudnya

agama suku atau kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa

(Ranying), yang hidup dan tumbuh secara turun temurun, dan dihayati

oleh suku dayak Kalimantan, ketika pemerintah Indonesia mewajibkan

penduduk dan warganegara untuk menganut salah satu agama yang

diakui oleh pemerintah republik Indonesia4. Karena Oleh sebab itu

kepercayaan kaharingan dan religi suku yang lain telah dimasukan dalam

kategori agama Hindu sejak 20 April 1980 mengingat adanya persamaan

dalam penggunaan sarana kehidupan melaksanakan ritual untuk korban

untuk mencapai Tuhan Yang Maha Esa. Pada Tahun 1944, kaharingan

diperkenalkan oleh Tjilik Riwut saat ia menjabat Residen Sampit yang

berkedudukan di Banjarmasin. Tahun 1945, pendudukan Jepang

mengajukan Kaharingan sebagai penyebutan agama Dayak. Tahun 1950,

dalam kongres serikat Kaharingan Dayak Indonesia, Kaharingan resmi

dipakai sebagai generik untuk agama dayak.5Sementara pada tahun 1980,

para penganutnya berintegrasi dengan Hindu, menjadi Hindu Kaharingan.

Pemilihan integrasi ke Hindu ini bukan karena kesamaan ritual, tetapi

dikarenakan Hindu adalah agama tertua di Kalimantan. Lambat laun

Kaharingan menjadi Kearifan Lokal Pada Komunitas Adat Terpencil

(KAT) Suku Dayak Meratus,” Jurnal Ilmiah Visi 13, no. 2 (December

2018): 127. Agama Kaharingan berkembang dan mendapat tempat ibadah

yang dinamakan Balai Basarah atau Balai Kaharingan, tempat beribadah


kepada Sang Pencipta Ranying Hatalla Langit (Tuhan Yang Maha Esa).

Pada tahun 2006 Kalimantan terdata 212 Balai Basarah. Agama

Kaharingan juga mempunyai Kitab Suci yang disebut Panaturan dan

buku-buku agama lain, seperti Talatah Basarah (Kumpulan doa), tawar

(petunjuk tatacara meminta pertolongan Tuhan dengan upacara menabur

beras), pemberkatan perkawinan, dan buku penyumpahan (untuk acara

pengambilan sumpah/pengukuhan jabatan).

Masyarakat beragama kaharingan mendirikan organisasi

keagamaan untuk pembinaan umat mulai dari SD hingga perguruan

tinggi, mengadakan Festival Tandak, seperti Musabaqah Tilawatil Quran

dan pesta paduan suara gerejawi (Pesparawi), serta membangun komplek

pemakam dan sandung. Sejak tahun 1980 mereka dimasukan sebagai

penganut Hindu. Dengan dasar ini suku dayak sudah diperbolehkan

mencantumkan agama Kaharingan dalam Kartu Tanda Penduduk.

Dengan demikian, suku Dayak yang melakukan upacara perkawinan

menurut adat Kaharingan, diakui pula pencatatan perkawinan tersebut

oleh Negara. Hingga tahun 2007, badan pusat Statistik Kalimantan

Tengah mencatat ada 223.349 orang menganut Kaharingan di Indonesia.

Pada tanggal 20 April 1980 Kaharingan dimasukan kedalam agama

Hindu Kaharingan. Organisasi alim ulama Hindu Kaharingan (MBAHK)

pusatnya di Palangka Raya.

Salah satu upaya membumikan teologi, terutama teologi

Akitabiah, masih sebuah usaha yang langka di negeri ini, apalagi di bumi
Kalimantan yang masih minim teolog. Padahal, masyarakat di sini dan

pada saat ini membutuhkan teologi kontekstual, selain untuk memahami

lebih dalam dan detail Alkitab, melainkan juga untuk

mengimplementasikannya dalam kehidupan sehari-hari dalam konteks

sosial budaya setempat. Dalam hal kematian, misalnya. Banyak

kesamaan antara pemahaman dalam Injil pada Kitab Perjanjian Baru dan

praktik di kalangan Dayak Ngaju. Seperti diketahui, pemahaman tentang

kematian dan kebangkitan roh perlu didasarkan pada pemahaman secara

utuh tentang Alkitab yang mencakup judul, tema, tujuan dan ruang

lingkup serta struktur sastranya.

Makna terdalam ritual kematian dalam Alkitab menjadi

perbandingan dalam penerjemahan Budaya Dayak Ngaju tentang

kematian, dalam hal ini spesifik pada ritual Tantulak Ambun Rutas

Matei. Menemukan makna sebuah teks dan melihat kesamaan untuk

menjelaskan fenomena di suatu tempat yang berbeda merupakan upaya

teologi kontekstual.

Ritual Tantulak Ambun Rutas Matei dalam budaya Dayak Ngaju

merupakan aktualisasi dari cara pandang orang Dayak Ngaju yang

melihat tatanan alam semesta sebagai sesuatu yang sudah tertata rapi.

Dalam tatanan demikian, keberadaan yang ilahi diyakini ada dalam setiap

unsur alam di samping keberadaannya di langit yang dipandang sebagai

sumber kehidupan, tetapi juga bisa mendatangkan musibah. Namun,

tatanan tersebut bisa terganggu karena ulah manusia, baik karena


perubahan-perubahan yang berkaitan dengan perkembangan alamiahnya

dari kelahiran sampai kematian, maupun aktifitasnya dalam kehidupan

sehari-hari. Jika tatanan tersebut terganggu, berarti ketenteraman ilah

terganggu, maka manusia menjadi yang terancam oleh karena kemarahan

para ilah yang bisa dinampakkan berupa musibah secara personal

maupun komunal. Ritual-ritual kematian yang dikategorikan untuk

menjaga tatanan itu dan memulihkan jika terjadi kekacauan agar tercipta

ketentraman yaitu suasana yang diwarnai ketenangan, kedamaian dan

kesejahteraan.

Salah satu teolog yang mengupayakan pengenalan akan Alkitab

dengan memandang suatu hal dari sudut pandang Alkitab itu sendiri

adalah Stephen B. Bevans. Pemetaan Bevans membantu peminat

kontekstual melihat keterkaitan ide pemikir kontekstual lain sekaligus

keunikannya.

Adapun rumusan masalah pada penelitian ini adalah “Bagaimana

pemaknaan kontekstualisasi model Stephen B. Bevans terhadap ritual

Tantulak Ambun Rutas Matei?”. Dengan demikian tujuan penelitian ini

adalah untuk mengetahui pemaknaan ritual Tantulak Ambun Rutas Matei

menurut teologi kontekstualisasi model Stephen B. Bevans.

2. RUMUSAN MASALAH

Dengan melihat permasalahan dan latar belakang tersebut, maka peneliti merumuskan
masalah penelitian sebagai berikut:
1. Apakah ada pengaruh pemahaman tentang kontektualisasi terjemahan Ritual
Tantulak Ambun Rutas Matei ?
2. Apakah ada pengaruh jika Ritual Tantulak Ambun Rutas Matei tidak
dikontektualisasikan ?
3. Apakah ada pengaruh jika jemaat Mengetahui Kontektualisasi Model Terjemaah
Bevans?
4. Apakah ada pengaruh jika Jemaat mengkontekstualisasikan Makna Ritual
Tantulak Ambun Rutas Matei dengan Model Terjemahan?
5. Apakah ada pengaruh pemahaman Model Kontekstualisasi Model Terjemahan
terhadap iman jemaat?
3. TUJUAN PENELITIAN

Tujuan penelitian merupakan arah pelaksanaan penelitian, yang

menguraikan apa yang akan dicapai dan biasanya disesuaikan dengan

kebutuhan peneliti dan pihak lain yang berhubungan dengan penelitian

tersebut.

Adapun yang menjadi tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk menjelaskan pengaruh pemahaman tentang kontektualisasi

terjemahan Ritual Tantulak Ambun Rutas Matei terhadap Iman

Jemaat.

2. Untuk menjelaskan pengaruh jika Ritual Tantulak Ambun Rutas Matei

tidak dikontektualisasikan.

3. Untuk menjelaskan pengaruh jika jemaat Mengetahui Kontektualisasi

Model Terjemaah Bevans

4. Untuk menjelaskan pengaruh jika Jemaat mengkontekstualisasikan

Makna Ritual Tantulak Ambun Rutas Matei dengan Model

Terjemahan.
5. Untuk menjelaskan pengaruh pemahaman Model Kontekstualisasi

Model Terjemahan terhadap iman jemaat

4. MANFAAT PENELITIAN

Manfaat Teoritis:

1. Untuk memperkaya hasil penelitian tentang Kontekstualisasi

terkususnya tentang Kontekstualisasi Ritual Tantulak Ambun Rutas

Matei.

2. Hasil penelitian dapat dijadikan masukan untuk penelitian-penelitian

lanjutan.

Manfaat Parktis:

1. Hasil penelitian dapat dijadikan sebagai bahan masukan dalam upaya

pengkontektualisasian Ritual Tantulak Ambun Rutas Matei.

2. Penelitian ini diharapkan dapat memberi kontribusi atau masukan

yang positif bagi peneliti lain yang hendak meneliti pada

topik/tema/judul yang relatif sama.

BAB II

A. Teologi Kontekstualisasi

1. Definisi dan Hakikat Teologi Kontekstual


Definisi kontekstualisasi teologi menurut John Titaley ialah manusia

memahami kehidupan dengan kesadaran bahwa Tuhan ikut terlibat

dalam kehidupannya sehari-hari meliputi budaya dengan menyertakan

Tuhan, kitab suci, ilahi, politik dan lain-lain. Dalam tulisan ini

pengertian kontekstualisasi akan dipersempit, seperti yang dirumuskan

oleh Titaley bahwa kontekstualisasi adalah ketika gereja mampu

menyadari keberadaannya sebagai bagian dari Negara Kesatuan

Republik Indonesia.

Menurut Stephan Bevans, kontekstualisasi teologi adalah upaya untuk

memahami Iman Kristen dipandang dari segi suatu konteks tertentu.

Apa yang membuat teologi itu kontekstual ialah pengakuan teologi itu

akan sumber teologi selain teks kitab suci dan tradisi yaitu

pengalaman manusia sekarang ini. Teologi yang berwajah kontekstual

menyadari bahwa kebudayaan, sejarah, bentuk-bentuk pemikiran

kontemporer, dan lain-lain harus diindahkan bersama dengan kitab

suci dan tradisi sebagai sumber-sumber yang sah untuk ungkapan

teologis. Bevans juga mengungkapkan faktor-faktor terjadinya

kontekstualisasi teologi. Ia menguraikannya atas dua bagian yakni

faktor internal dan eksternal. Faktor internal, yaitu faktor yang

didorong maju oleh kekuatan-kekuatan sejarah dan pergerakan zaman.

Faktor ini terdiri dari ciri inkarnatif agama Kristen, ciri sakramental

dan realitas dimana doktrin inkarnasi memaklumkan bahwa Allah

diwahyukan bukan terutama dalam gagasan-gagasan, melainkan


dalam realitas nyata. Faktor internal yang terakhir ialah suatu

pergeseran dalam pemahaman tentang hakikat pewahyuan ilahi.

Faktor eksternal yang diuraikan atas empat, yaitu pertama, suatu

ketidakpuasan umum, baik di dunia pertama maupaun di dunia ketiga

menyangkut pendekatan-pendekatan klasik dimana hanya terpaku

pada firman tanpa melihat pengalaman manusia. Kedua, teologi

tradisional yang mengabaikan teologi-teologi lain salah satunya

teologi hitam. Faktor yang ke tiga dan keempat, bertumbuhnya jati diri

gereja-gereja lokal dan pemahan tentang kebudayaan yang disediakan

oleh ilmu-ilmu kontemporer.

2. Model Teologi Kontekstual Terjemahan Menurut Beberapa Ahli

Menurut Stephen Bevans, dalam banyak hal setiap model teologi

kontekstual merupakan model terjemahan atau dalam bahasa Robert

Schreiter model terjemahan merupakan model yang paling umum

dalam teologi lokal. Terjemahan di sini tidak dimaksudkan dengan

terjemahan harfiah. Mengutip Charles Kraft, Bevans menyatakan

bahwa terjemahan yang baik adalah terjemahan atas makna yang

terkandung dalam sebuah teks, bukan melulu kata-kata atau tata

bahasanya. Dengan kata lain, terjemahan yang baik tidak lain adalah

terjemahan idiomatik, padanan fungsional atau dinamis. Selalu ada

sebuah isi yang mesti diadaptasi atau diakomodasi pada sebuah

kebudayaan tertentu. Kraft mengatakan: kebenaran teologis mesti

diciptakan kembali sebagai sebuah terjemahan atau transkulturasi


yang dinamis-sepadan dalam bahasa yang menyertai bingkai gagasan

para pendengar agar relevansinya yang benar bisa mereka pahami

secara tepat. Proses berteologi, seperti semua bentuk komunikasi

Kristen, mesti diarahkan kepada seseorang agar ia bisa melayani

tujuannya. Proses itu tidak bisa bergelantungan di udara kosong.

Sasaran dari metode terjemahan padanan yang dinamis ini ialah untuk

menghasilkan reaksi yang sama pada para pendengar atau pembaca

kontemporer sebagaimana yang dahulu terjadi pada para pendengar

dan pembaca asli. Meski demikian, Eugene Nida dan Charles Taber

menegaskan bahwa setiap terjemahan harus mempertimbangkan

dimensi pastoral. Karena itu, sebuah terjemahan Alkitab mesti tidak

hanya memberi informasi yang dapat dipahami orang, tetapi juga

menampilkan pewartaan itu sedemikian rupa sehingga orang dapat

merasakan relevansinya (unsur pernyataan perasaan dalam

komunikasi), dan kemudian bisa menanggapinya dalam tindakan

nyata.

Model ini pada umumnya adalah jenis pertama yang dipergunakan

dalam ruang lingkup penggembalaan. Keistimewaan dari model ini

adalah penekanannya pada pewartaan Injil sebagai sebuah pewartaan

yang tidak berubah. Berteologi dalam model ini menurut Schreiter

melewati dua langkah. Langkah pertama adalah membebaskan pesan

Kristiani dari kandang budaya sebelumnya. Sementara langkah kedua

adalah menerjemahkan pesan Kristiani ke dalam situasi baru. Dua


langkah ini ditempuh dengan bertolak dari prinsip dasar bahwa tradisi

Gereja disesuaikan dengan budaya setempat. Maka, para praktisi

model ini dituntut untuk mengenal secara lebih mendalam apa yang

telah dilakukan dalam tradisi Gereja dan apa yang dilakukan dalam

situasi budaya setempat. Dua langkah yang sama juga ditegaskan oleh

Bevans. Di sini, Bevans melihat bahwa dalam model ini, sebuah

pewartaan hakiki bisa dipisahkan dari cara pengungkapannya yang

terikat secara kontekstual. Maka, langkah pertama dari model ini

adalah melucuti pewartaan hakiki dari bungkusan konteks untuk

menemukan bernas Injil. Langkah kedua adalah mencari ungkapan

atau tindakan atau cerita yang cocok untuk konteks penerima.

Hesselgrave merupakan salah satu contoh teolog yang berteologi

seturut model terjemahan. Husselgrave memberi perhatian pada

perubahan dan tetap mempertahankan kemurnian dan keutuhan Injil.

Kontekstualisasi merupakan suatu proses dalam Kitab Suci.

Kontekstualisasi merupakan terjemahan atas isi yang tak berubah dari

Injil ke dalam bentuk-bentuk verbal yang sarat makna kepada rupa-

rupa orang dalam budaya serta situasi yang khas.

Agar komunikasi kontekstual atas Injil menjadi ampuh, seorang

pewarta melewati dua langkah. Langkah pertama adalah

mendekontekstualisasikan Injil. Pada langkah pertama ini seorang

pewarta berusaha untuk memahami Injil. Untuk memahami Injil,

seorang pewarta berusaha untuk melucuti bungkusan-bungkusan


budaya baik budaya di mana Kitab Suci maupun bungkusan budaya

dari sang pewarta. Sasaran yang diperjuangkan pada tahap pertama ini

adalah agar karunia kebenaran itu menjadi gamblang atau tercapailah

amanat yang bersifat adibudaya.

Langkah selanjutnya adalah mengkontekstualisasikan amanat ke

dalam pengertian yang khsusus seturut konteks jemaat setempat.

Dengan demikian, amanat itu menjadi sarat makna, relevan, persuasif

lagi efektif dalam budaya jemaat setempat. Dalam

mengkomunikasikan Injil ke dalam cara pandang yang berbeda,

seorang pewarta memberi perhatian kepada dirinya sebagai sumber,

perhatian pada amanat Injil sebagai substansi, dan kepada gaya

sebagai sarana komunikasi. Hesselgrave menyadari bahwa

kontekstualisasi Injil tidak pernah terjadi untuk selamanya dan

kontekstualisasi paling baik dilakukan oleh peserta suatu budaya.

Selain Hesselgrave, Paus Yohanes Paulus II juga menaruh perhatian

pada model ini. Tak dipungkiri lagi bahwa Paus Yohanes Paulus II

merupakan seorang yang sadar dan berminat terhadap kebudayaan.

Pada tahun 1982, Paus Yohanes Paulus II mendirikan Dewan

Kepausan untuk Kebudayaan. Dewan Kepausan ini diberi

kepercayaan dengan tugas pokok untuk memberi kepada Gereja secara

keseluruhan suatu daya dorong bersama dalam perjumpaan yang

senantiasa diperbaharui antara pesan keselamatan Injil dan

keanekaragaman kebudayaan dalam pelbagai kebudayaan di mana


Gereja mesti membawa buah-buah rahmatnya.

Baginya, melalui kebudayaan makhluk-makhluk insani dapat

menghayati kemanusiaannya secara penuh. Pentingnya dialog antara

iman dan kebudayaan-kebudayaan bangsa manusia. Kontekstualisasi

berawal dari atas ke bawah di mana Tradisi dan pranata kekristenan

menjadi standar untuk meresapi kebudayaan dan sebaliknya

kebudayaan diintegrasikan atau ditolak untuk menjaga keutuhan iman

dan keutamaan universalitas persekutuan Gereja.

3. Model Teologi Kontekstual Terjemahan Bevans

Model terjemahan merupakan sebuah proses menafsir namun tidak

secara harafiah untuk mengartikan atau menterjemahkan kata per kata

dari sebuah kalimat, melainkan model terjemahan merupakan

jembatan untuk menemukan makna secara relevan sesuai konteks

dengan arti yang konkret. Prinsipnya seperti injil yang kekal tidak

berubah, sedangkan konteks akan menjadi wadah injil yang akan

memberi penampilan yang berbeda. Misalnya seperti khotbah,

dikemas dan disampaikan dengan sampul yang berbeda-beda, namun

tetap bertujuan untuk mentransfer rasa yang sama, yaitu makna injil.

Model terjemahan merupakan model yang menghargai teks,

penghargaan terhadap konteks lebih menonjol bukan hanya sekedar

menjadi sarana yang akan berharga, apabila ada inti atau isi

didalamnya. Kelemahan dari model tersebut adalah model tersebut

tidak memiliki nilai sama sekali, tetapi akan sangat berharga dan
berfungsi apabila ada inti atau isi di dalamnya. Model terjemahan

bersifat dinamis, sehingga apabila tidak memahami model ini maka

akan timbul pemikiran yang berat sebelah, yang beranggapan bahwa

budaya lebih penting dari pada konteks atau sebaliknya.

Kebudayaan sering kali menjadi sorotan dalam model ini, namun

pertimbangannya budaya tidak dapat sepenuhnya menjadi sentral agar

diterima seutuhnya dengan begitu saja, namun tetap harus diimbangi

dengan sikap kritis, agar tidak timbul ketidaksetaraan dalam menilai

dan memahami model tersebut. Penghargaan terhadap model

terjemahan sangat bergantung pada kedua sisi, baik inti atau tradisi

dari konteks itu sendiri dengan konteks masa kini keduanya sama-

sama penting dan bernilai dinamis.

Stephen B. Bevans dalam buku Model-model Teologi

Kontekstual mengatakan bahwa model terjemahan merupakan model

yang paling sering muncul dalam pikiran orang ketika hendak

berteologi berteologi dalam konteks. Dalam menggunakan model

terjemahan kita menerima nilai-nilai yang terdapat dalam semua

kebudayaan atau konteks, sambil tetap berpegang teguh pada daya

kuasa Injil yang membarui dan menantang serta dapat juga menolak

budaya yang tidak sesuai dengan injil. Yang paling penting dalam

model ini yaitu meski Injil berupaya bekerja dengan dan di dalam

semua konteks namun pada akhirnya Injillah hakim atas semua

konteks.1
1
Ditunjukkan oleh para praktisi model terjemahan bahwa

kemungkinan model ini merupakan cara paling tua dalam konteks

berteologi secara sungguh-sungguh. Model ini tidak saja

menerjemahkan kata demi kata, misalnya dari kata mensa dalam

Bahasa Latin, ke bahsa Inggris table, lalu kemudian ke Bahasa

Indonesia, meja. Atau dari simbol budaya ke simbol kristiani,

misalnya dari tongkonan ke gereja, tetapi punya makna idiomatik.5

Mengutip pendapat Charles Kraft yang mengatakan bahwa model

berteologi ini bertujuan menerjemahkan pewartaan Injil ke dalam

konteks-konteks yang senantiasa berubah dan tidak lebih daripada

sekedar menemukan kembali semangat asli proses berteologi Kristen.

Bahkan kebenaran teologis itu harus diciptakan kembali sebagai

sebuah terjemahan atau transkulturasi yang dinamis-sepadan di dalam

bahasa yang sehubungan dengan gagasan para pendengar agar inti

hubungannya yang benar dapat dipahami. Yang khas di model

terjemahan ialah penekanannya pada pewartaan Injil sebagai sebuah

pewartaan yang statis. Model ini hendak menerjemahkan makna

doktrin-doktrin/ajaran tersebut kedalam kebudayaan yang lain. Ada

pemahaman dari luar yang mesti dimasukkan atau dicocokkan dengan

isi, apa yang ada di dalam kebudayaan tertentu.

Bevans mengemuakkan beberapa karakteristik model terjemahan.

Petama, penekanan pada dasar atau landasan alkitabiah. Kedua,

penafsiran selalu dihubungkan denga nisi Alkitab dan ketiga, Injil


menjadi yang lebih utama. Model terjemahan sangat menghargai teks.

Prinsipnya, Injil tidak berubah sehingga ia melampuai segalanya, dan

konteks menjadi wadah Injil. Konteks belum diberi keleluasan untuk

mengaktualisasikan nilai-nilai budaya.7 Di satu sisi model ini dapat

mempertahankan teks sebagai satu-satunya fondasi, tetapi di sisi lain

masih menaifkan budaya itu sendiri yang dapat menjadi sumber atau

paling tidak setara dengan Injil.

Sebagai sebuah model, makai dapat dipergunakan sebagai salah satu

pendekatan untuk memaknai sebuah simbol. Dalam kerangka itu,

penelitian ini menggagas model terjemahan sebagai model tertua dan

cukup sederhana untuk dipraktekkan dalam penerjemahan Ritual

Tantulak Ambun Rutas Matei, menjadi makna yang dapat dimaknai

secara teologis.2

4. Tujuan dan Fungsi Teologi Kontekstual Bevans

Secara etimologi, teologi kontekstual adalah refleksi dari individu

dalam konteks hidupnya atas Injil Yesus Kristus, maksudnya ialah

tentang bagaimana Injil yang sudah ada dan utuh itu dibubuhi sampul

yang baru yang bertujuan untuk memberikan keseimbangan melalui

refleksi teologis dari penerima Injil (individu) tersebut. Setiap

individu yang merefleksikan proses teologi kontekstual akan

memperoleh pemahaman, penerimaan, pendirian dan keseimbangan

terhadap kejadian atau peristiwa dari kenyataan yang dikondisikan

berdasarkan kebudayaan Packer mengatakan bahwa Injil merupakan


2
berita tentang Allah.

Artinya bahwa di dalam pemberitaan Injil mengandung berita tentang

siapa Dia, apa karakter-Nya, apa ciptaan- Nya. Setiap pemberitaan

Injil, Yesus menjadi pusat dari segalanya. Hal tersebut tentunya juga

tidak mengabaikan objek yang mendengar tentang Injil tersebut, yaitu

manusia. Tomatala mengatakan bahwa target primer dan sasaran

dalam penginjilan ialah manusia. Selain itu, Injil berperan untuk

memperbaiki paradigma dan praktik yang keliru dalam kebudayaan

tersebut. Kesalahpahaman tentang praktik keagamaan mengarah

kepada persepsi yang keliru. Jadi, melalui budaya yang ada dalam

suatu suku tertentu, Injil dapat diberitakan dengan tujuan untuk

mengubah paradigma masyarakat tersebut.

Dalam upaya pemberitaan Injil, pendekatan kontekstual relevan

dengan penginjilan dalam suatu budaya tertentu. Kobong menjelaskan

bahwa penginjilan kontekstual memberikan suatu tekanan kepada

pemberitaan Injil dengan penghayatan yang memberi sentuhan

terhadap penerima Injil.

Diorama. Masih terkait mempertahankan keaslian, sebagai bahan ajar

terpisah bagi pendengar berbeda, sepertinya Bevans melakukan itu

demi mengabadikan ‘rasa yang pernah ada’. Selain itu, narasi self-

evaluation seperti ‘aku malu’, ‘aku menyesal’, ‘aku harusnya lebih

baik’ sering mewarnai. Jadi, tiap esai mengandung dinamika

pemikiran dan suasana hati Bevans dalam menemukan kepingan


ketertarikannya selama lima dekade akhir. Sebagai potret

theologizing, buku ini adalah diorama berfikir Bevans yang lengkap.

Dari yang muncul berulang, kata terfavorit Bevans adalah

‘pengalaman’, ‘dialog’ dan ‘kontekstual’. Pengalaman adalah sumber

penting dalam berteologi sekaligus cara pandang yang merengkuh.

Kitab Suci dan tradisi doktrinal dipandangnya sebagai pengalaman

masa lalu, sedangkan budaya, perubahan dan lokasi sosial adalah

bagian dari pengalaman kekinian. Dari bingkai kata pengalaman,

Bevans kemudian melebarkan jendela teologinya ke narasi imperatif,

lokal, praktis, relatif, budaya, gereja, misi, dan hal- hal praktikal

kekinian.

Dialog Teologi (kontekstual) adalah mutually critical dialogue antara

pengalaman masa lalu dan masa kini. Prophetic dialogue adalah dialog

yang terbuka pada yang baru, mengejutkan, mengganggu,

konfrontatif, sekaligus setia pada tradisi dan kebenaran firman. Dalam

rentang dialog antar pengalaman, Bevans memosisikan keenam model

dengan ilustrasi kunci yang mudah dipahami dan diingat.

Sejak dalam Models of Contextual Theology (Bevans 2002, 3),

peneliti tegas bahwa teologi itu kontekstual. Setiap teologi pasti terkait

pada satu tempat tertentu, waktu tertentu, dan budaya tertentu. Setiap

teologi adalah upaya memahami iman Kristen dalam konteksnya,

sesuatu yang valid dalam tempat dan waktunya, disampaikan oleh dan

pada orang tertentu. Tidak ada model “one size fits all”. Teologi yang
secara universal valid atau mengekspresi semua pemahaman iman.

Global Theology bersimpul kenyataan bahwa sejak dulu hingga abad

ke- 21 ini, dunia berteologi melokal. Secara sederhana tapi menarik,

teologi kontekstual Bevans mengakar pada konsep Trinitarian.

Pemikir yang mempengaruhi. Bukan wahyu yang turun lewat mimpi

satu malam, dari langit hampa, ketika banyak penulis yang cenderung

mengaburkan sumber ide karya akademisnya, Bevans secara eksplisit

memperlihatkan pemikiran idolanya. Dari banyak yang dihormati,

nama Robert J. Schreiter dan karyanya banyak disebut. Schreiter

mengistimewakan sebagai teman, guru, dan rekan kerja. Bila

dibandingkan dengan Constructing Local Theologies (Schreiter 1985),

kita akan melihat jelas bahwa ‘kriteria teologi lokal’ Schreiter adalah

dasar dari ‘model-model teologi kontekstual’ pemikiran Bevans.

Bevans akhirnya lebih memilih istilah ‘teologi kontekstual’ daripada

inkulturasi, teologi lokal, atau teologi interkultural, dengan kesadaran

bahwa selain bermakna budaya atau tempat, juga untuk memberi

ruang pada makna lokasi dan perubahan sosial. Bevans menghargai

pemikiran gurunya, tetapi kesadarannya berteologi juga meluas dan

terbuka pada situasi dan kemungkinan baru. Missiology. Pola

misiologi Bevans digambarkan sebagai relasi segitiga misi, budaya

dan kerajaan Allah. Segitiga tersebut bermakna ‘No Reign of God

without Mission’, ‘No Mission without Culture’, ‘No Reign of God

without Culture’ dan seterusnya.


Pemikiran Bevans merengkuh teologi tradisional yang kekinian,

teologi global yang lokal, teologi konseptual yang juga praktikal,

refleksi apresiatif timbal balik Barat dan Timur. Selain plural, corak

pikir Bevans juga unik, subyektif, dan relatif. Pola teologi Bevans

yang relational- dialogue-diversity diekspresi dengan jelas.

Alkitab dan tradisi itu unik. Bukan semata pengaruh era modern yang

subyektif atau postmodern yang serba relatif, Bevans percaya Alkitab

itu kumpulan teologi yang unik dan spesifik. Tradisi itu plural karena

asalinya merupakan contemporary expression atas sejarahnya masing-

masing. Essay Bevans diperkaya global theology yang lokal. Baginya,

berteologi adalah kesadaran diri akan kebutuhan untuk mengakarkan

refleksi, ekspresi atau aksi, dalam konteksnya. Teologi tentang Tuhan

adalah simbolisasi fungsi Tuhan menurut manusianya. Formulasi

skriptural dan doktrinal tentang Tuhan, ibarat ‘jari-jari yang menunjuk

ke bulan’. Teologi kontektual adalah korespondensi verbal-

konseptual dengan kitab suci, sebuah metode yang melihat titik temu

dari kemungkinan-kemungkinan. Tidak ada, satu pun ekspresi atau

tindakan, yang mampu menggambarkan kebenaran absolut.

Lima kriteria ‘classic’ Schreiter dan tiga kriteria Mesa dan Wostyn,

bagi Bevans masih valid kekiniannya. Dengan catatan, tidak ada

kriteria tunggal bagi sebuah teologi. Walau relatif, tidak benar bahwa

kriteria-kriteria itu tidak mengandung kebenaran, tidak kredibel atau

tidak pantas. Yang utama bukan soal mana yang benar dan salah,
sempurna kebenarannya di semua waktu dan situasi, tapi manakah

yang secara biblis lebih baik dan tepat dalam menjawab kebutuhan

momentum. Semua teologi, yang serba terbatas itu, sama pentingnya.

Teolog itu baik karena merespon pengalaman, secara kreatif dan

memadai (Bevans 2018, 48-50, 77). Praktikal dan Interdisipliner.

Teologi yang selalu dipagari konteks nyata justru membuatnya

bersifat imperatif, operatif dan praktis di ruangnya. Karena merupakan

dialog terus menerus antara pengalaman yang kompleks untuk saling

menjelaskan dan saling mengkritik, Bevans percaya teologi

kontekstual harus interdisipliner. Dalam perspektif global, dialog

intercontext dan interculture.

B. Konsep Kematian

1. Definisi dan Hakikat Kematian

a. Menurut Alkitab

Kematian dalam perspektif kristen tidak hanya berbicara tentang

definisi kematian atau berbicara dosa yang sangat berkaitan erat

dengan kematian rohani-jasmani melainkan tidak lepas dari sifat

dan kuasa Allah. Kematian itu adalah salah satu kenyataan hidup

karena dosa juga adalah salah satu kenyataan hidup. Kematian

datang karena dosa , Roma 5:12 “Sebab itu, sama seperti dosa

telah masuk ke dalam dunia oleh satu orang, dan oleh dosa itu juga

maut, demikianlah maut itu telah menjalar kepada semua orang,

karena semua orang telah berbuat dosa.” Kematian jasmani hanya


sebagian dari akibat dosa. Dosa tidak mempunyai belas kasihan

sehingga kita berpisah dari Allah, mengakibatkan manusia

memerlukan penebusan, sehingga manusia dapat dibawa kembali

kepada cahaya Tuhan. Allah sungguh bekerja bagi kebaikan

semua orang yang percaya kepada-Nya Dai telah melihat manusia

ketika dihancurkan oleh kejatuhan ke dalam dosa. Manusia tidak

mampu datang kembali kepada-Nya, dan oleh sebab itu Allah

sendiri yang menghampiri manusia. Inilah arti inkarnasi Yesus

Kristus. Siapa yang bisa mengalahkan dosa maut? Hanya Allah.

Oleh karena itu, Dia datang dalam wujud manusia. Bagaimana ia

datang? Dia memasuki aliran sejarah manusia untuk menyamakan

diriNya dengan manusia. Mengapa Dia datang? Dia berkata bahwa

Dia datang untuk memberikan nyawaNya sebagai tebusan bagi

banyak orang, Markus 10:45 “Karena anak manusia juga datang

bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani dan untuk

memberikan nyawa-Nya menjadi tebusan bagi banyak orang”.

Secara rohani seorang yang percaya pada Kristus mempunyai

hidup yang kekal berdasarkan iman pribadinya pada Dia. Yesus

berkata, “Sesungguhnya barangsiapa mendengar perkataanKu dan

percaya kepada Dia yang mengutus Aku, ia mempunyai hidup

yang kekal dan tidak turut dihukum, sebab ia sudah pindah dari

dalam maut ke dalam hidup, (Yoh. 5:24)”.

b. Menurut Masyarakat Dayak


a) Penguburan, menyerahkan arwah yang meninggal kepada Raja

Entai Nyahu yang tugasnya sebagai penjaga kuburan.

b) Tantulak Matei, untuk menjauhkan keluarga dari arwah yang

meninggal dari segala bentuk kesialan dan kematian.

Pemberitahuan kepada Duhung Mama Tandang bahwa seorang

manusia telah meninggal, agar Duhung Mama Tandang turun

kebumi un- tuk memandikan arwah dengan Nyalung

Kaharingan Belum dan mengantarkannya ke Lewu Bukit

Nalian Lanting sampai kelak up- acara tiwah dilaksanakan.

c) Upacara Tiwah. Arwah diantar ke lewu liau atau surga dipandu

oleh Rawing Tempun Telun.

Ketika jenazah telah dikebumikan, pada hari itu juga di rumah

duka disediakan dua buah ancak atau palangka atau tempat sesajen

yang telah dilengkapi dengan sajen berupa makanan-makanan

terten- tu, lalu ancak tersebut digantungkan. 51Maksud kedua

sajen tersebut adalah ditujukan kepada:

1) Roh baik yang telah mengusahakan segala sesuatunya hingga

berjalan lancar tanpa halangan, maksudnya sebagai ungkapan

terima kasih.

2) Ditujukan kepada Roh jahat agar tidak mengacaukan suasana

dan jangan mengganggu ahli waris dan keluarga yang sedang

dalam keadaan berduka

Pada saat kematian, harus ada binatang yang dikorbankan,


binatang yang nilainya paling tinggi, yaitu kerbau. Dan kerbau ini

di ikat pada tiang, sampai tiba waktunya ditombak sampai mati,

sebagian anggota tubuhnya (jantung, paru-paru, hati, ginjal, ujung

rusuk, ujung ekor, lemak dan darah) diambil sebagai persembahan

dan sebagian untuk dimakan bersama sebagai lauk pauk.

Upacara Tiwah adalah upacara sakral terbesar yang berisiko

tinggi, sehingga pelaksanaan dan persiapan segala sesuatunya

harus dilaksanakan dengan benar-benar cermat, karena kalau

terjadi kekeliruan atau pelaksanaan tidak sempurna, para ahli

waris yang ditinggalkan akan menanggung beban berat, di

antaranya:

1) Pali akan pambelum itah harian

2) Tau pamparesen itah limbah gawie toh

3) Indu kakicas, pambelum itah harian andau

Banyak persyaratan yang harus dipenuhi, diantaranya harus

tersedia hewan korban seperti kerbau, sapi, babi, ayam bahkan di

masa yang telah lalu persyaratan yang tersedia masih dilengkapi

lagi dengan kepala manusia. Makna persembahan kepala manusia

ialah ungkapan rasa hormat dan bakti para ahli waris kepada

Salumpuk Liau yang siap diantar ke Lewu Liau. Mereka yakin

bahwa kelak di kemudian hari apabila Salumpuk Liau telah

mencapai tempat yang di tuju yaitu Lewu Liau, maka sejumlah

kepala yang dipersembahkan, sejumlah itu pula pelayan yang


dimilikinya kelak. Mereka yang terpilih dan kepala mereka yang

telah dipersembahkan dalam upacara sakral tersebut, secara

otomatis Salumpuk Liau-nya akan masuk Lewu Liau tanpa harus

di-tiwah-kan walau keberadaan mereka di Lewu Liau hanya

sebagai pe- layan. Di masa kini hal tersebut telah tidak berlaku

lagi. Kepala manu- sia digantikan oleh kepala kerbau atau kepala

sapi.

Dalam upacara Tiwah ada acara masak memasak

mempersiapkan makanan untuk Sangiang, Nyaring, pampahilep,

Sangkanak, Kambe, burung Bahotok, Burung Papau, Burung

Antang. Ada ketentuan cara mem- beri makan kepada mereka

yang tidak terlihat mata jasmani yaitu dilempar ke arah bawah

ditujukan kepada Salumpuk Liau yang sedang diantar ke Lewu

Liau, lemparan ke arah kanan ditujukan kepada Raja Untung dan

para Sangiang, lemparan ke arah belakang ditujukan kepada Raja

Sial, Kemudian diulangi lagi, ke arah belakang ditujukan ke-

pada Sangumang dan Sangkanak, ke arah atas ditujukan kepada

Bulan, Bintang, Matahari, Patendu, Kilat dan Nyahu.

2. Tempat dan Kehidupan Orang Mati

3. Ritual Tantulak Ambun Rutas Matei

Upacara kematian di kalangan umat Kaharingan dimulai dengan

proses perawatan jenazah, penguburan secara ritual dan proses

Tantulak Ambun Rutas Matei. Upacara Tantulak Ambun Rutas Matei


dilakukan tiga hari setelah upacara penguburan dengan tujuan untuk

mengantarkan arwah Liau Haring Kaharingan dari lewu pasahan

raung menuju Bukit Nalian Lanting tempat penantian bersama Nyai

Bulu Indu Rangkang untuk sementara ditiwahkan dan sekaligus

membersihkan keluarga duka dari sial atau rutas kapali belum artinya

dari segala pantangan hidup yang mengakibatkan kematian, hidup sial,

segala macam penyakit yang menimpa keluarga. Selain itu, upacara

ini juga bertujuan untuk memulihkan keseimbangan magis,

menjauhkan segala macam marabahaya dan menghilangkan segala

kemalangan atau kesialan dan hal-hal yang tidak baik yang dapat

timbul pada keluarga Tarantang Nule(keluarga duka) maupun pada

seluruh warga di kampung.Adanya upacara Tantulak Ambun Rutas

Matei ini berawal dari proses Kematian manusia dimuka bumi ini

(Lewu Injam Tingang Rundung Nasih Napui Burung)sebagai tempat

sementara untuk kehidupan keturunan Raja Bunu.

Ritual Tantulak Ambun Rutas Matei dilakukan sebelum prosesi

upacara adat Tiwah, yang di mana Tiwah merupakan upacara ritual

kematian tingkat akhir bagi masyarakat suku Dayak di Kalimantan

Tengah, khususnya dayak pedalaman penganut agama Kaharingan

sebagai agama leluhur warga dayak. Upacara Tiwah merupakan

tradisi upacara masayarakat suku Dayak penganut agama Hindu

Kaharingan. Upacara ritual ini merupakan kebahagian dan kehormatan

bagi keluarga apabila telah melaksanakan upacara bagi keluarga yang


telah meninggal dunia, karena mereka terlepas dari Pali dan perjanjian

dengan roh keluarga yang meninggal keluarganya. Pali belum dalam

kepercayaan Kaharingan adalah sebuah petaka besar, kesialan bagi

keluarga Almarhum yang ditinggalkan dari pengaruh-pengaruh buruk

yang menimpa keluarga, yang berakibat/berujung pada kematian. Jika

keluarga tidak mentaati alur jalan adat tersebut maka petaka itu akan

menimpa mereka, karena ritual ini memang berfungsi untuk

melepaskan, dan membebaskan keluarga yang ditinggalkan dari

malapetaka di dunia nyata mereka. Upacara adat ini dilaksanakan

bertujuan sebagai ritual untuk meluruskan perjalanan roh atau arwah

yang bersangkutan menuju Lewu Tatau (Surga – tempat Sangiang),

sehingga bisa hidup tentram dan damai di alam Sang Kuasa.

BAB III

KERANGKA KONSEP PENELITIAN

1. Kerangka Pikir

Pada penelitian ini, peneliti akan meneliti pemaknaan ritual Tantulak Ambun

Rutas Matei menurut teologi kontekstualisasi model Stephen B. Bevans.

Kerangka konsep pelitian merupakan landasan berpikir untuk melakukan

penelitian yang dikembangkan berdasarkan tinjauan pustaka. Berdasarkan

tinjauan pustaka dan kerangka teori yang telah diuraikan sebelumnya

berdasarkan teori Bevans mengenai model teologi kontekstual, berkaitan


dengan kebudayaan kita dapat melihat adanya jembatan antara kebenaran

Alkitab dan upaya untuk membumikan Alkitab tersebut dalam ritual adat

Suku Dayak Ngaju yaitu Tantulak Ambun Rutas Matei. Model terjemahan

dari Bevans dapat digunakan sebagai jembatan untuk melihat ritual ini

melalui kacamata Alkitab di mana model ini berupaya untuk menerjemahkan

sebuah situasi tanpa harus diterjemahkan kata per kata. Selain model

terjemahan, kita juga dapat menemukan kaitan antara Alkitab dan ritual adat

ini melalui model budaya tandingan, yang di mana ini bukan bersikap anti

budaya, melainkan pengakuan terhadap ambiguitas budaya dan konteks; baik

dan buruknya. Model ini mengkritisi dan menganalisis konteks. Konteks itu

sendiri membutuhkan pengakuan terhadap injil sebagai lensa dan pengarah.

2. Hipotesis

Pada jurnal oleh Ruat Diana (2021) yang membahas tentang makna

penebusan dalam upacara tiwah, dikatakan pada bagian kesimpulannya yaitu

upacara tiwah dalam agama Suku Dayak Ngaju merupakan kegiatan yang

mengandung makna yang unik. Mulai dari persiapan hingga tahap

pelaksanaannya tersirat makna-makna yang penting bagi penganut agama

Suku Dayak Ngaju. Dengan memahami konsep dan makna dalam upacara

tiwah ini, hal ini dapat dijadikan sebagai media kontekstualisasi untuk

menyampaikan Injil. Dalam pembahasan pada jurnal tersebut, ada tiga hal

yang dapat diamati dan dikontekstualisasikan tanpa mengubah makna dari

penginjilan itu sendiri dalam menyampaikan Injil, yaitu: Yesus sebagai

korban yang sempurna; Yesus sebagai jalan menuju lewu tatau; dan Yesus
sebagai pengantara antara manusia dan Allah. Melalui pemahaman dan

pengadopsian budaya tersebut, orang Kristen dapat menyampaikan Injil

dengan worldview yang dipahami oleh Suku Dayak Ngaju.9 Ritual Tiwah

ini merupakan satu rangkaian bersama dengan ritual Tantulak Ambun Rutas

Matei, di mana ritual Tantulak Ambun Rutas Matei dilakukan sebelum ritual

Tiwah. Kedua ritual ini adalah bagian dari rangkaian upacara kematian

dalam tradisi Suku Dayak Ngaju. Maka, sebagaimana ritual Tiwah

dipandang sebagai media penebusan, ritual Tantulak Ambun Rutas Matei

juga dapat dipandang dalam konteks Alkitab yaitu momen kebangkitan

Tuhan Yesus pada hari yang ketiga setelah hari kematiannya, dan

kebangkitan dari alam maut, serta melepaskan umat manusia (rutas kapali)

dari belenggu dosa (pali).

BAB IV

METODE PENELITIAN

1. Pendekatan Penelitian

Metode penelitian yang digunakan adalah kualitatif dengan pendekatan

literatur. Tahapan dalam penyusunan penelitian ini, yaitu: pertama,

menyajikan kebangkitan Yesus dari beberapa literatur. Kedua,

memaparkan konteks kebangkitan roh dalam ritual adat Tantulak Ambun

Rutas Matei menurut teologi kontekstual Bevans. Ketiga, menganalisis

makna ritual Tantulak Ambun Rutas Matei untuk menjawab keterkaitan

pemaknaannya terhadap Alkitab. Kemudian terakhir, peneliti menarik

kesimpulan atas pembahasan atau analisis terhadap pokok permasalahan


dalam penelitian ini.

2. Metode Pengumpulan Data

Jenis data pada penelitian kualitatif ini adalam nominal data. Nominal

data adalah data yang bisa digunakan untuk memberi label sesuatu tanpa

harus ada nilai kuantitatif atau urutan. Sumber data berasal dari buku

“Model-Model Teologi Kontekstual” yang ditulis oleh Stephen Bevans,

selain itu tinjauan pustaka dari jurnal “Makna Penebusan Dalam Upacara

Tiwah Sebagai Pendekatan Kontekstualisasi Injil” yang disusun oleh

Ruat Diana, dkk, tinjauan Pustaka dari buku “Upacara Korban dalam

Kitab Imamat dan dalam Budaya Dayak Ngaju: Sebuah Teologi

Kontekstual” oleh Dr. Tirta, serta membandingkan teori-teori tersebut

dengan Alkitab. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah

dokumentasi dalam kajian literatur.

3. Fokus Penelitian

Penelitian ini berfokus pada menemukan makna pada ritual Tantulak

Ambun Rutas Matei yang dilihat dari sudut pandang Alkitab menurut

teologi kontekstual model Bevans.

4. Analisa Data

Penulis menemukan bahwa adanya pemaknaan berbeda pada ritual

Tantulak Ambun Rutas Matei yang dapat dilihat dari sisi teologis Kristen

yang memandang kematian tidak hanya berbicara tentang definisi

kematian atau berbicara dosa yang sangat berkaitan erat dengan kematian

rohani-jasmani melainkan tidak lepas dari sifat dan kuasa Allah.


Kematian di sini adalah salah satu kenyataan hidup karena dosa juga

adalah salah satu kenyataan hidup. Kematian datang karena dosa , Roma

5:12 “Sebab itu, sama seperti dosa telah masuk ke dalam dunia oleh satu

orang, dan oleh dosa itu juga maut, demikianlah maut itu telah menjalar

kepada semua orang, karena semua orang telah berbuat dosa.”

11Kematian jasmani hanya sebagian dari akibat dosa. Dosa tidak

mempunyai belas kasihan sehingga kita berpisah dari Allah,

mengakibatkan manusia memerlukan penebusan, sehingga manusia

dapat dibawa kembali kepada cahaya Tuhan. Penebusan dimaknai pada

Tiwah, sedangkan kemenangan dan pelepasan dari dosa melalui

kenaikan Yesus dari alam maut pada hari ketiga dimaknai pada Tantulak

Ambun Rutas Matei yang mana peristiwa mengembalikan hambaruan

liau pada hari yang ketiga dan kemudian mendapat pelepasan dari segala

pali sebagai hasilnya. Hal tersebut sesuai dengan teori Teologi

Kontekstual Stephen B. Bevans yang mengatakan bahwa, pengalaman

masa lampau dijadikan sebagai pelengkap terhadap perubahan konteks

yang diperoleh melalui pengalaman secara personal ataupun kelompok.

Anda mungkin juga menyukai