MASRAMAN
1
BAB 1
PENDAHULUAN
2
Upacara Dewa Mesraman merupakan salah satu upacara keagamaan Hindu
yang termasuk dalam upacara Dewa Yadnya. Upacara ini diadakan setiap 210
hari yang tepatnya pada Hari Raya Kuningan bertempat di Pura Panti Timrah
di Desa Paksebali, Kecamatan Dawan Kabupaten Klungkung. Pura Panti
Timrah adalah pura Pasek Bendesa yang asal-usulnya dapat ditelusuri
kembali ke desa Timbrah di Karangasem, dengan jemaat (pengempon) sekitar
150 kepala keluarga. Dalam setiap pelaksanaan upacara tentunya melibatkan
semua lapisan masyarakat yang menjadi pendukung berlangsungnya upacara
tersebut. Keterlibatan masyakarakat ini dalam kajian sosiologis disebut
dengan partisipasi.
1.2 Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang dapat diambil dari latar belakang tersebut
adalah:
1. Apa makna dari tradisi Dewa Mesraman di Pura Panti Timrah, Desa
Paksebali?
2. Bagaimana upaya masrayakat untuk tetap melestarikan atau menjaga
tradisi Dewa Mesraman di Pura Panti Timrah, Desa Paksebali?
1.3 Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dibuatnya paper ini adalah untuk mengetahui apa makna
yang terdapat dari tradisi Dewa Mesraman di Pura Panti Timrah, Desa
Paksebali dan bagaimana uapaya masyarakat untuk tetap mennjaga tradisi
tersebut.
1.4 Manfaat Penulisan
Adapun manfaat yang dapat diberikan dalam pembuatan paper ini adalah
agar penulis maupun pembaca mengetahui apa makna yang terdapat dari
tradisi Dewa Mesraman di Pura Panti Timrah, Desa Paksebali dan bagaimana
uapaya masyarakat untuk tetap mennjaga tradisi tersebut, agar nantinya
masrayakat luas bisa ikut berpesan dalam menjaga tradisi tersebut.
3
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKAT
4
2.2 Pengertian Tri Hita Karana
Tri Hita Karana terdiri atas tiga kata yaitu tri, artinya, tiga, hita artinya,
kebahagiaan atau kesejahteraan dan karana artinya, sebab. Jadi Tri Hita Karana
(THK) berarti tiga komponen atau unsur yang menyebabkan kesejahtraan atau
kebahagiaan. Ketiga komponen Tri Hita Karana itu berkaitan erat antara yang satu
dengan yang lainnya. Ketiga komponen Tri Hita Karana itu meliputi hubungan
yang harmonis antara manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa (Parhyangan),
hubungan yang harmonis antara manusia dengan manusia (Pawongan), dan
hubungan yang harmonis antara manusia dengan alam lingkungan (Palemahan).
(Sudarta, 2008 : 84).
Istilah Tri Hita Karana muncul pada tahun 1969, dalam seminar tentang
desa adat. Pada kesempatan itu (Kaler, 1969 dalam Wiana, 2004 : 265)
mengimplentasikan Tri Hita Karana dalam wujud tata ruang, dan tata aktivitas
dalam desa adat. Unsur-unsurnya disebutkan meliputi Parhyangan (hubungan
yang harmonis antara manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa), Pawongan
(hubungan yang harmonis antara manusia dngan manusia), dan Palemahan
(Hubungan yang harmonis antara manusia dengan alam lingkungan). Meskipun
konsep Tri Hita Karana pada dasarnya adalah sebuah landasan yang bersumber
dari agama Hindu, sejatinya Tri Hita Karana adalah konsep universal yang ada
pada semua ajaran agamadi dunia (Windia dan Dewi, 2011).
Tri Hita Karana adalah bagian dari budaya Bali. Oleh karenanya, ada
analogi yang relevan antara sistem kebudayaan dengan Tri Hita Karna tersebut.
Koentjaraningrat (1993) menyebutkan bahwa kebudayaan sebagai suatu sistem
memiliki elemen/subsistem (i) pola pikir/konsep/nilai, (ii) sosial, dan (iii) artefak.
Sementara itu, Tri Hita Karana memiliki elemen/subsistem Parhyangan,
Pawongan, dan Pelemahan. Pada dasarnya, elemen pola pikir/konsep/nilai, adalah
sama dengan Parhyangan. Sementara itu, elemen sosial adalah sama dengan
Pawongan. Elemen artefak adalah sama dengan Palemahan.
5
BAB 3
PEMBAHASAN
6
oleh orang dewasa, dan terbagi dalam beberapa kelompok, setiap kelompok terdiri
dari 5 orang. Peserta dalam magibung ini juga terbuka, siapapun yang saat itu
berada di lokasi prosesi diperbolehkan mengikuti magibung.
Persiapan nunas paica maupun magibung ini dilakukan oleh warga di
seputar pura Panti Timrah secara gotong royong. Warga membuat santapan yang
akan disajikan pada acara tersebut di rumah masing-masing. Adapun makanan
yang diolah tentu saja sesuai dengan ketentuan yang telah diturunkan semenjak
pendahulu mereka. Setelah proses mengolah bahan makanan yang dilakukan di
rumah masing-masing warga selesai, maka makanan tersebut dibawa ke pura
untuk dijadikan satu yang nantinya akan di sajikan pada saat prosesi nunas paica
dan magibung dilangsungkan.
Setelah prosesi nunas paica dan magibung selesai dilanjutkan pada prosesi
inti dari upacara Dewa Mesraman yang diawali dengan upacara masucian di pura
beji. Dalam upacara masucian ini semua perlengkapan upcara dibawa untuk
disucikan.
Hal menarik terjadi ketika prosesi masucian selesai, dan kembali menuju ke
pura Panti Timrah. Disekitar pura telah berkumpul banyak orang yang disinyalir
bukan hanya penduduk yang menjadi pengempon pura saja melainkan penduduk
lain yang berasal dari luar daerah juga ikut hadir dalam prosesi upacara Dewa
Mesraman. Pada saat itu juga disajikan tari rejang, sebagai penyambut ida betara
yang habis masucian. Penari dari tarian rejang ini adalah anak-anak, dimana anak-
anak ini bisa juga berasal dari luar pengempon pura Panti Timrah. Menurut
pemangku, hal ini bisa terjadi karena adanya suatu kaul (janji) dari seseorang
terhadap sesuatu hal, setelah keinginannnya terhadap sesuatu hal tersebut tercapai
maka sebagai rasa ungkapan syukurnya adalah dengan memberikan anaknya
untuk mengikuti tari rejang pada saat upacara Dewa Mesraman.
Ketika prosesi Dewa Mesraman dilangsungkan, pembawa joli (tandu)
dengan sendiri berubah secara jumlah. Dimana pada saat upacara masucian
pembawa joli ini hanya terdiri dari 2 orang, namun ketika prosesi mesraman,
ternyata pembawa joli ini bertambah banyak, lebih dari 4 orang dalam 1 joli.
Menurut keterangan dari pemangku(ketua adat), hal ini terjadi karena kemauan
7
anggota warga maupun orang yang berasal dari luar yang ingin ikut mengusung
joli sebagai wujud bhakti mereka kepada betara.
Semangat warga pengempon maupun diluar pengempon pura dalam
mengambil bagian dalam prosesi Dewa Mesraman memperlihatkan bagaimana
masyarakat meletakkan upacara Dewa Mesraman sebagai sesuatu yang sangat
berarti. Pengorbanan berupa materi maupun non materi yang dilakukan hanya
semata-mata sebagai wujud rasa syukur mereka kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Kata Masraman sendiri berasal dari kata mesra yang artinya bersenang-
senang dalam arti lahir dan batin.Setelah selesai prosesi tersebut, semua pemuda
yang ikut dalam ritual tersebut tampak tidak kelelahan, semua tampak senang dan
gembira. Sebenarnya tradisi ini berasal dari dusun Timrah, desa Bugbug,
Kabupaten Karangasem. Pada waktu itu untuk menjaga perdamaian perbatasan
antara Klungkung dan Karangasem maka dikirimlah utusan. Utusan dari Bugbug,
Karangasem ini tetap ingin mempertahankan tradisi leluhurnya, maka
dilaksanakan tradisi tersebut diperbatasan dinamakan Dewa Pasraman yang
sekarang secara administratif menjadi wilayah Klungkung dan di tempat aslinya
di Bugbug bernama perang Jempana.
8
3.2 Upaya Pelestarian Tradisi Dewa Mesraman
9
Walaupun tradisi ini sudah ada sejak ratusan tahun silam, namun baru
beberapa tahun belakangan dikenal oleh warga luar dan bahkan wisatawan.
Terbukti, pada saat tradisi digelar banyak sekali warga luar Paksebali yang
sengaja datang menyaksikan ritual sacral ini. Mereka atau penonton sebagian
besar membaur dengan warga karena berpakaian adat Bali. Selain itu banyak juga
wisatawan yang menggunakan pakaian adat Bali. “Sangat sulit untuk
mendapatkan tontonan yang luar biasa seperti ini, dan ini baru pertamakalinya
saya melihat hal seperti ini,” kata salah seorang wisatawan asal Switzerland,
Braha. Dia bahkan mengikuti ritual ini hingga saat acara mesucian di Pura
Seganing dengan ikut berjalan kaki sejauh 2 km. Semangat warga pengempon
maupun diluar pengempon pura dalam mengambil bagian dalam prosesi Dewa
Mesraman memperlihatkan bagaimana masyarakat meletakkan upacara Dewa
Mesraman sebagai sesuatu yang sangat berarti. Pengorbanan berupa materi
maupun non materi yang dilakukan hanya semata-mata sebagai wujud rasa syukur
mereka kepada Tuhan Yang Maha Esa.
10
BAB 4
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa Upacara Dewa Mesraman yang
diselenggarakan di Desa Paksebali Kabupaten Klungkung sebagai salah satu
upacara tradisional yang dilakukan oleh masyarakat Bali dengan kandungan nilai
budaya yang cukup banyak, maka keberadaannya sangat penting untuk
dilestarikan. Ada beberapa langkah yang dapat dilakukan dalam upaya pelestarian
upacara tradisional tersebut diantaranya melakukan pendataan kembali baik lewat
perekaman prosesi upacara tersebut dan selanjutnya disebarluaskan pada generasi
muda Bali khususnya maupun masyarakat di luar Bali untuk dijadikan pengayaan
pemahaman tentang upacara tradisional yang ada di wilayah Indonesia. Prosesi
Dewa Mesraman memperlihatkan bagaimana masyarakat meletakkan upacara
Dewa Mesraman sebagai sesuatu yang sangat berarti. Pengorbanan berupa materi
maupun non materi yang dilakukan hanya semata-mata sebagai wujud rasa syukur
mereka kepada Tuhan Yang Maha Esa.
4.2 Saran
Sebagai generasi penerus kita hendaknya dapat berperan aktif terhadap hal-
hal yang terjadi disekeliling kita dan selanjutnya dapat menularkannya pada
generasi selanjutnya. Disamping itu kita hendaknya selektif terhadap nilai-nilai
baru yang muncul dan sekaligus dapat mengimbangi dengan nilai-nilai budaya
yang telah kita warisi dari nenek moyang terdahulu.
Bagi pengambil kebijakan upaya pelestarian terhadap nilai-nilai budaya
yang adiluhung hendaknya terus dilanjutkan, baik melalui tindakan penelitian
maupun cara-cara lain yang dapat menjaga kelestarian nilai-nilai budaya tersebut.
Mengingat Klungkung ini sempit namun Klungkung memiliki tradisi yang
sangat unik dan sangat memukau tersebut. Kita bisa memonton tradisi ini ketika
hari raya Kuningan yang setiap 6 bulan sekali. Kita sebagai generasi muda
Klungkung harus melestarikan dan menjaga tradisi tersebut. Karena tradisi ini
bisa kita jadikan sebagai khas yang berada di Klungkung seperti kabupaten
11
lainnya. Kita sebagai generasi Klungkung harus bangga dengan memiliki tradisi
ini dan kita harus bisa membuat tradisi ini menjadi suatu tradisi yang diketahui
dan dikenal dimancan negara.
12
DAFTAR PUSTAKA
Davis, Keith dan John W, 1990. Human Relation at Work dalam Drs. Moeljarto
Tjokrowinoto MPA, Beberapa Teknik di Dalam Hubungan Kerja,
Yogyakarta : BPA Universitas Gajah Mada.
http://dwibambang.blogspot.co.id/2012/05/upacara-dewa-mesraman-tinjauan.html
di akses 15 Desember 2016
http://www.kulkulbali.co/post.php?
a=291&t=jbk2015_dewa_mesraman_paksebali#.WGI_Ka44DA8 di
akses 15 Desember 2016
http://www.paksebali.desa.id/index.php/lihat-video/143/ di akses 15 Desember
2016
13