Anda di halaman 1dari 13

KEARIFAN LOKAL TRADISI DEWA

MASRAMAN

1
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Bali tidak hanya terkenal dengan keindahan alamnya saja, namun juga
terkenal dengan budayanya. Kehidupan masyarakat Bali yang berlatar belakang
sebagai masyarakat agraris hingga saat ini masih memegang teguh tradisi dan
religinya. Hal ini dapat kita temui dalam kehidupan keseharian masyarakat Bali
baik dalam hal aktivitas keseharian sebagai individu maupun dalam
aktivitas sosial kemasyarakatan. Ungakapan rasa syukur dan berbakti
kepada Tuhan Yang Masa Esa tercermin dalam aktivitas upacara, dimana upacara
dalam masyarakat Bali terbagi menjadi 5 macam upacara (panca yadnya), yaitu ;

1. Manusia Yadnya merupakan ritual yang dilakukan terhadap manusia,


mulai dari dalam kandungan hingga akhirnya dewasa. Hal ini bertujuan
untuk kesempurnaan hidup manusia dan mencangkup beberapa tahapan
hidup yang akan dihadapi manusia.
2. Pitra Yadnya merupakan ritual khusus yang dilakukan terhadap orang
yang sudah meninggal. Yadnya ini bertujuan untuk menghormati leluhur
dan memberikan tempat yang terbaik di surga.
3. Dewa Yadnya merupakan ritual atau upacara adat yang diperuntukan bagi
Tuhan dan semua manifestasinya. Pemujaan kepada Tuhan dilakukan
setiap hari melalui persembahyangan Tri Sandya dan Panca Sembah.
4. Rsi yadnya merupakan upacara terhadap Manusia yang akan mencapai
tingkatan yang lebih tinggi, atau setara guru dalam agama Hindu. Upacara
ini ditujukan untuk para Rsi, Pinandita ataupun orang-orang suci lainnya.
Upacara ini dilakukan saat orang akan mencapai tingkatan yang lebih
tinggi dalam kehidupan beragama baik itu dari segi fungsinya dalam
agama ataupun dalam masyarakat.
5. Bhuta yadnya merupakan upacara untuk roh-roh halus disekitar manusia
yang mengganggu manusia.

2
Upacara Dewa Mesraman merupakan salah satu upacara keagamaan Hindu
yang termasuk dalam upacara Dewa Yadnya. Upacara ini diadakan setiap 210
hari yang tepatnya pada Hari Raya Kuningan bertempat di Pura Panti Timrah
di Desa Paksebali, Kecamatan Dawan Kabupaten Klungkung. Pura Panti
Timrah adalah pura Pasek Bendesa yang asal-usulnya dapat ditelusuri
kembali ke desa Timbrah di Karangasem, dengan jemaat (pengempon) sekitar
150 kepala keluarga. Dalam setiap pelaksanaan upacara tentunya melibatkan
semua lapisan masyarakat yang menjadi pendukung berlangsungnya upacara
tersebut. Keterlibatan masyakarakat ini dalam kajian sosiologis disebut
dengan partisipasi.
1.2 Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang dapat diambil dari latar belakang tersebut
adalah:
1. Apa makna dari tradisi Dewa Mesraman di Pura Panti Timrah, Desa
Paksebali?
2. Bagaimana upaya masrayakat untuk tetap melestarikan atau menjaga
tradisi Dewa Mesraman di Pura Panti Timrah, Desa Paksebali?
1.3 Tujuan Penulisan
Adapun tujuan dibuatnya paper ini adalah untuk mengetahui apa makna
yang terdapat dari tradisi Dewa Mesraman di Pura Panti Timrah, Desa
Paksebali dan bagaimana uapaya masyarakat untuk tetap mennjaga tradisi
tersebut.
1.4 Manfaat Penulisan
Adapun manfaat yang dapat diberikan dalam pembuatan paper ini adalah
agar penulis maupun pembaca mengetahui apa makna yang terdapat dari
tradisi Dewa Mesraman di Pura Panti Timrah, Desa Paksebali dan bagaimana
uapaya masyarakat untuk tetap mennjaga tradisi tersebut, agar nantinya
masrayakat luas bisa ikut berpesan dalam menjaga tradisi tersebut.

3
BAB 2

TINJAUAN PUSTAKAT

2.1 Pengertian Tradisi

Tradisi menurut terminologi, seperti yang dinyatakan oleh Siti Nur


Aryani dalam karyanya, Oposisi Pasca Tradisi, tercantum bahwa tradisi
merupakan produk sosial dan hasil dari pertarungan sosial politik yang
keberadaannya terkait dengan manusia. Atau dapat dikatakan pula bahwa tradisi
adalah segala sesuatu yang turun temurun, yang terjadi atas interaksi antara klan
yang satu dengan klan yang lain yang kemudian membuat kebiasaan-kebiasaan
satu sama lain yang terdapat dalam klan itu kemudian berbaur menjadi satu
kebiasaan. Dan apabila interaksi yang terjadi semakin meluas maka kebiasaan
dalam klan menjadi tradisi atau kebudayaan dalam suatu ras atau bangsa yang
menjadi kebanggaan mereka.

Tradisi merupakan segala sesuatu yang berupa adat, kepercayaan dan


kebiasaan. Kemudian adat, kepercayaan dan kebiasaan itu menjadi ajaran-ajaran
atau paham–paham yang turun temurun dari para pendahulu kepada generasi–
generasi paska mereka berdasarkan dari mitos-mitos yang tercipta atas manifestasi
kebiasaan yang menjadi rutinitas yang selalu dilakukan oleh klan-klan yang
tergabung dalam suatu bangsa.

Secara pasti, tradisi lahir bersama dengan kemunculan manusia dimuka


bumi. Tradisi berevolusi menjadi budaya. Itulah sebab sehingga keduanya
merupakan personifikasi. Budaya adalah cara hidup yang dipatuhi oleh anggota
masyarakat atas dasar kesepakatan bersama. Kedua kata ini merupakan
keseluruhan gagasan dan karya manusia, dalam perwujudan ide, nilai, norma, dan
hukum, sehingga keduanya merupakan dwitunggal.

4
2.2 Pengertian Tri Hita Karana

Tri Hita Karana terdiri atas tiga kata yaitu tri, artinya, tiga, hita artinya,
kebahagiaan atau kesejahteraan dan karana artinya, sebab. Jadi Tri Hita Karana
(THK) berarti tiga komponen atau unsur yang menyebabkan kesejahtraan atau
kebahagiaan. Ketiga komponen Tri Hita Karana itu berkaitan erat antara yang satu
dengan yang lainnya. Ketiga komponen Tri Hita Karana itu meliputi hubungan
yang harmonis antara manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa (Parhyangan),
hubungan yang harmonis antara manusia dengan manusia (Pawongan), dan
hubungan yang harmonis antara manusia dengan alam lingkungan (Palemahan).
(Sudarta, 2008 : 84).
Istilah Tri Hita Karana muncul pada tahun 1969, dalam seminar tentang
desa adat. Pada kesempatan itu (Kaler, 1969 dalam Wiana, 2004 : 265)
mengimplentasikan Tri Hita Karana dalam wujud tata ruang, dan tata aktivitas
dalam desa adat. Unsur-unsurnya disebutkan meliputi Parhyangan (hubungan
yang harmonis antara manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa), Pawongan
(hubungan yang harmonis antara manusia dngan manusia), dan Palemahan
(Hubungan yang harmonis antara manusia dengan alam lingkungan). Meskipun
konsep Tri Hita Karana pada dasarnya adalah sebuah landasan yang bersumber
dari agama Hindu, sejatinya Tri Hita Karana adalah konsep universal yang ada
pada semua ajaran agamadi dunia (Windia dan Dewi, 2011).
Tri Hita Karana adalah bagian dari budaya Bali. Oleh karenanya, ada
analogi yang relevan antara sistem kebudayaan dengan Tri Hita Karna tersebut.
Koentjaraningrat (1993) menyebutkan bahwa kebudayaan sebagai suatu sistem
memiliki elemen/subsistem (i) pola pikir/konsep/nilai, (ii) sosial, dan (iii) artefak.
Sementara itu, Tri Hita Karana memiliki elemen/subsistem Parhyangan,
Pawongan, dan Pelemahan. Pada dasarnya, elemen pola pikir/konsep/nilai, adalah
sama dengan Parhyangan. Sementara itu, elemen sosial adalah sama dengan
Pawongan. Elemen artefak adalah sama dengan Palemahan.

5
BAB 3

PEMBAHASAN

3.1 Makan Tradisi Dewa Mesraman

Tradisi Dewa Mesraman ni merupakan tradisi yang terdapat di Kecamatan


Dawan, Desa Paksebali, Banjar Timrah yang tepatnya berada di Pura Panti
Timrah. Tradisi ini dilaksanakan setiap 6 bulan sekali yang tepat jatuhnya pada
hari raya Kuningan yang dilaksanakan di jaba pura Panti. Dimana tradisi ini
dilaksanakan sore menjelang malam hari. Sebelum Dewa Mesraman dilaksanakan
warga sekitar melakukan sederet rangkaian ritual. Seperti pada awal tradisi
dilaksanakannnya acara nunas paica yang dimana acara makan bersama untuk
anak-anak dan acara megibung yang dimana untuk orang dewasa dan orang tua.
Setelah acara tersebut dilanjutkan dengan proses inti daripada Dewa Mesraman ini
yaitu acara Mesucian yang dilakukan di Pura Beji yang terdapat disana.
Upacara Dewa Mesraman tergolong dalam upacara Dewa Yadnya, dimana
dalam pelaksanaannya memerlukan perlengkapan yang cukup banyak, sehingga
dibutuhkan persiapan yang matang juga. Persiapan pelaksanaan upacara ini
dilakukan jauh-jauh hari terkait dengan pembiayaan upacara, serta penyiapan
perlengkapan yang dibutuhkan saat pelaksanaan upacara.
Upacara Dewa Mesraman merupakan prosesi penting bagi pengempon
pura Panti Timrah, karena dengan upacara ini sebagai wujud bhakti kepada Ida
Sanghyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa). Prosesi upacara Dewa
Mesraman diawali dengan dilakukannya nunas paica (makan bersama) dan
magibung.
Nunas Paica (makan bersama) dilangsungkan di depan pura Panti Timrah,
peserta nunas paica ini adalah anak-anak yang berusia 1 sampai 12 tahun tidak
dibatasi oleh jenis kelamin maupun asal daerah. Artinya anak yang berasal dari
daerah lain pun yang saat itu berada di lokasi prosesi dilangsungkan
diperbolehkan mengikuti prosesi ini.
Magibung (makan bersama) dilangsungkan setelah prosesi nunas paica
selesai. Prosesi ini juga dilangsungkan di depan pura Panti Timrah. Perbedaan
dari magibung dengan nunas paica adalah dalam hal peserta. Magibung diikuti

6
oleh orang dewasa, dan terbagi dalam beberapa kelompok, setiap kelompok terdiri
dari 5 orang. Peserta dalam magibung ini juga terbuka, siapapun yang saat itu
berada di lokasi prosesi diperbolehkan mengikuti magibung.
Persiapan nunas paica maupun magibung ini dilakukan oleh warga di
seputar pura Panti Timrah secara gotong royong. Warga membuat santapan yang
akan disajikan pada acara tersebut di rumah masing-masing. Adapun makanan
yang diolah tentu saja sesuai dengan ketentuan yang telah diturunkan semenjak
pendahulu mereka. Setelah proses mengolah bahan makanan yang dilakukan di
rumah masing-masing warga selesai, maka makanan tersebut dibawa ke pura
untuk dijadikan satu yang nantinya akan di sajikan pada saat prosesi nunas paica
dan magibung dilangsungkan.
Setelah prosesi nunas paica dan magibung selesai dilanjutkan pada prosesi
inti dari upacara Dewa Mesraman yang diawali dengan upacara masucian di pura
beji. Dalam upacara masucian ini semua perlengkapan upcara dibawa untuk
disucikan.
Hal menarik terjadi ketika prosesi masucian selesai, dan kembali menuju ke
pura Panti Timrah. Disekitar pura telah berkumpul banyak orang yang disinyalir
bukan hanya penduduk yang menjadi pengempon pura saja melainkan penduduk
lain yang berasal dari luar daerah juga ikut hadir dalam prosesi upacara Dewa
Mesraman. Pada saat itu juga disajikan tari rejang, sebagai penyambut ida betara
yang habis masucian. Penari dari tarian rejang ini adalah anak-anak, dimana anak-
anak ini bisa juga berasal dari luar pengempon pura Panti Timrah. Menurut
pemangku, hal ini bisa terjadi karena adanya suatu kaul (janji) dari seseorang
terhadap sesuatu hal, setelah keinginannnya terhadap sesuatu hal tersebut tercapai
maka sebagai rasa ungkapan syukurnya adalah dengan memberikan anaknya
untuk mengikuti tari rejang pada saat upacara Dewa Mesraman.
Ketika prosesi Dewa Mesraman dilangsungkan, pembawa joli (tandu)
dengan sendiri berubah secara jumlah. Dimana pada saat upacara masucian
pembawa joli ini hanya terdiri dari 2 orang, namun ketika prosesi mesraman,
ternyata pembawa joli ini bertambah banyak, lebih dari 4 orang dalam 1 joli.
Menurut keterangan dari pemangku(ketua adat), hal ini terjadi karena kemauan

7
anggota warga maupun orang yang berasal dari luar yang ingin ikut mengusung
joli sebagai wujud bhakti mereka kepada betara.
Semangat warga pengempon maupun diluar pengempon pura dalam
mengambil bagian dalam prosesi Dewa Mesraman memperlihatkan bagaimana
masyarakat meletakkan upacara Dewa Mesraman sebagai sesuatu yang sangat
berarti. Pengorbanan berupa materi maupun non materi yang dilakukan hanya
semata-mata sebagai wujud rasa syukur mereka kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Kata Masraman sendiri berasal dari kata mesra yang artinya bersenang-
senang dalam arti lahir dan batin.Setelah selesai prosesi tersebut, semua pemuda
yang ikut dalam ritual tersebut tampak tidak kelelahan, semua tampak senang dan
gembira. Sebenarnya tradisi ini berasal dari dusun Timrah, desa Bugbug,
Kabupaten Karangasem. Pada waktu itu untuk menjaga perdamaian perbatasan
antara Klungkung dan Karangasem maka dikirimlah utusan. Utusan dari Bugbug,
Karangasem ini tetap ingin mempertahankan tradisi leluhurnya, maka
dilaksanakan tradisi tersebut diperbatasan dinamakan Dewa Pasraman yang
sekarang secara administratif menjadi wilayah Klungkung dan di tempat aslinya
di Bugbug bernama perang Jempana.

8
3.2 Upaya Pelestarian Tradisi Dewa Mesraman

Kegiatan upacara keagamaan sangat dipegang teguh oleh masyarakat Hindu


di Bali. Pura pura besar dan kecil bertebaran di seluruh pulau Bali. Bukan sesuatu
yang mengherankan jika hampir setiap hari anda menyaksikan upacara agama
diadakan di pura yang berbeda-beda.
Dalam konteks pelaksanaan upacara Dewa Mesraman yang dilangsungkan
di pura Panti Timrah setiap 210 hari yang tepatnya pada saat hari raya Kuningan
melibatkan berbagai unsur masyarakat. Mulai dari anak-anak sampai orang
dewasa.
Keterlibatan anak-anak dalam upacara Dewa Mesraman terlihat dari prosesi
nunas paica, dimana anak-anak dilibatkan dalam tahapan upacara dengan
mengumpulkan mereka dalam makan bersama. Baik anak laki-laki maupun
perempuan dikumpulkan dalam satu tempat dan diwadahi dalam satu acara.
Keterlibatan anak-anak juga terlihat dari pembawa umbul-umbul atau panji-panji
simbol keagamaan dan pementasan tari rejang. Dari sini ini terlihat bagaimana
proses pewarisan nilai-nilai kebersamaan dan pewarisan terhadap nilai-nilai
keagamaan sudah diajarkan semenjak kecil.
Keterlibatan orang dewasa bisa dilihat mulai dari saat perencanaan yakni
kehadiran mereka saat sangkepan, sampai dengan pasca pelaksanaan upacara.
Dimana semangat ngayah (gotong royong) sangat terlihat. Bagi masyarakat Bali
ngayah ( gotong royong) sudah tertanam sebagai budaya, dimana ngayah bagaikan
oksigen, yaitu suatu kebutuhan hakiki yang menafasi darah religiusitas serta bagai
air dan api kosmis yang mencuci jernih keruh-keruh karma kita atau membakar
bebaskan benih-benih kemalasan (tamas) yang mencengkram dharma.
Umat Hindu yang turut serta dalam pelaksanaan upacara ini ternyata tidak
hanya berasal dari para pengempon yang tinggal di desa Paksebali saja, namun
juga berasal dari luar desa Paksebali. Hal ini sangat dimungkinkan karena
pengempon masih mempunyai hubungan keluarga namun secara tempat tinggal
berada di luar desa Paksebali. Selain itu, masyarakat yang tidak mempunyai kaitan
keluarga pun juga banyak hadir dan turut serta dalam pelaksanaan upacara. Hal ini
dimungkinkan karena mereka menaruh rasa hormat terhadap upacara Dewa
Mesraman sebagai suatu tradisi dan budaya Bali yang mempunyai nilai luhur.

9
Walaupun tradisi ini sudah ada sejak ratusan tahun silam, namun baru
beberapa tahun belakangan dikenal oleh warga luar dan bahkan wisatawan.
Terbukti, pada saat tradisi digelar banyak sekali warga luar Paksebali yang
sengaja datang menyaksikan ritual sacral ini. Mereka atau penonton sebagian
besar membaur dengan warga karena berpakaian adat Bali. Selain itu banyak juga
wisatawan yang menggunakan pakaian adat Bali. “Sangat sulit untuk
mendapatkan tontonan yang luar biasa seperti ini, dan ini baru pertamakalinya
saya melihat hal seperti ini,” kata salah seorang wisatawan asal Switzerland,
Braha. Dia bahkan mengikuti ritual ini hingga saat acara mesucian di Pura
Seganing dengan ikut berjalan kaki sejauh 2 km. Semangat warga pengempon
maupun diluar pengempon pura dalam mengambil bagian dalam prosesi Dewa
Mesraman memperlihatkan bagaimana masyarakat meletakkan upacara Dewa
Mesraman sebagai sesuatu yang sangat berarti. Pengorbanan berupa materi
maupun non materi yang dilakukan hanya semata-mata sebagai wujud rasa syukur
mereka kepada Tuhan Yang Maha Esa.

10
BAB 4

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa Upacara Dewa Mesraman yang
diselenggarakan di Desa Paksebali Kabupaten Klungkung sebagai salah satu
upacara tradisional yang dilakukan oleh masyarakat Bali dengan kandungan nilai
budaya yang cukup banyak, maka keberadaannya sangat penting untuk
dilestarikan. Ada beberapa langkah yang dapat dilakukan dalam upaya pelestarian
upacara tradisional tersebut diantaranya melakukan pendataan kembali baik lewat
perekaman prosesi upacara tersebut dan selanjutnya disebarluaskan pada generasi
muda Bali khususnya maupun masyarakat di luar Bali untuk dijadikan pengayaan
pemahaman tentang upacara tradisional yang ada di wilayah Indonesia. Prosesi
Dewa Mesraman memperlihatkan bagaimana masyarakat meletakkan upacara
Dewa Mesraman sebagai sesuatu yang sangat berarti. Pengorbanan berupa materi
maupun non materi yang dilakukan hanya semata-mata sebagai wujud rasa syukur
mereka kepada Tuhan Yang Maha Esa.

4.2 Saran
Sebagai generasi penerus kita hendaknya dapat berperan aktif terhadap hal-
hal yang terjadi disekeliling kita dan selanjutnya dapat menularkannya pada
generasi selanjutnya. Disamping itu kita hendaknya selektif terhadap nilai-nilai
baru yang muncul dan sekaligus dapat mengimbangi dengan nilai-nilai budaya
yang telah kita warisi dari nenek moyang terdahulu.
Bagi pengambil kebijakan upaya pelestarian terhadap nilai-nilai budaya
yang adiluhung hendaknya terus dilanjutkan, baik melalui tindakan penelitian
maupun cara-cara lain yang dapat menjaga kelestarian nilai-nilai budaya tersebut.
Mengingat Klungkung ini sempit namun Klungkung memiliki tradisi yang
sangat unik dan sangat memukau tersebut. Kita bisa memonton tradisi ini ketika
hari raya Kuningan yang setiap 6 bulan sekali. Kita sebagai generasi muda
Klungkung harus melestarikan dan menjaga tradisi tersebut. Karena tradisi ini
bisa kita jadikan sebagai khas yang berada di Klungkung seperti kabupaten

11
lainnya. Kita sebagai generasi Klungkung harus bangga dengan memiliki tradisi
ini dan kita harus bisa membuat tradisi ini menjadi suatu tradisi yang diketahui
dan dikenal dimancan negara.

12
DAFTAR PUSTAKA

Davis, Keith dan John W, 1990. Human Relation at Work dalam Drs. Moeljarto
Tjokrowinoto MPA, Beberapa Teknik di Dalam Hubungan Kerja,
Yogyakarta : BPA Universitas Gajah Mada.
http://dwibambang.blogspot.co.id/2012/05/upacara-dewa-mesraman-tinjauan.html
di akses 15 Desember 2016
http://www.kulkulbali.co/post.php?
a=291&t=jbk2015_dewa_mesraman_paksebali#.WGI_Ka44DA8 di
akses 15 Desember 2016
http://www.paksebali.desa.id/index.php/lihat-video/143/ di akses 15 Desember
2016

13

Anda mungkin juga menyukai