Anda di halaman 1dari 5

BARITAN

DEFINISI
Saat ini masyarakat khsususnya anak muda sudah jarang sekali yang mengikuti acara
tradisi daerahnya seperti baritan. Banyak generasi milenial yang tidak memahami makna dan
fungsi ritual adat dan tidak tau makna dari tradisi baritan tersebut. Perubahan perilaku
masyarakat serta gaya hidup mereka, mudahnya akses untuk mempelajari dan mencoba hal-hal
baru menjadikan tradisi kebudayaan lama menjadi tergeser. Tergantikanya tradisi daerah dengan
budaya barat yang menurut mereka adalah sesuatau yang bagus. Banyak hal yang membuat
masyarakat jauh dari prosesi ritual yang telah diturunkan dari generasi ke generasi. Walaupun
demikian tradisi baritan masih tetap dilaksanakan dari dulu hingga sekarang meskipun banyak
masyarakat yang tidak mengetahui makna tradisi baritan tersebut, khususnya generasi yang lahir
pada era milenial.

Baritan menurut para pemangku adat berasal dari tembung cangkriman: Mbubarakan peri
lan dhemit (membubarkan peri dan setan). Sedangkan bagi pemuka agama, Baritan diartikan:
mbubarke setan karo wiridan (membubarkan setan dengan mengucapkan wirid (bacaan atau doa-
doa untuk mengagungkan nama Allah). Dalam pelaksanaan Baritan ini melibatkan pemuka
agama/Kayim/Modin, para pemangku adat, dan dalang. Baritan adalah salah satu bentuk tradisi
selamatan yang biasanya diadakan di perempatan jalan dengan tujuan untuk memohon petunjuk,
keselamatan dari Tuhan, dan wujud rasa syukur masyarakat yang dilaksanakan di bulan Syuro.

Baritan biasanya dilaksanakan satu tahun sekali, yaitu bertempatan pada malam tahun
baru hijriah atau 1 syuro pada masyarakat Jawa dan waktu pelaksanaan dilakukan sore hari
menjelang magrib atau setelah magrib. Tradisi baritan adalah sebuah upacara adat yang berkaitan
dengan kepercayaan masyarakat dan peristiwa alam. Kepercayaan masyarakat terkait ritual
tradisi baritan dilakukan untuk mencegah bencana alam yang mungkin akan terjadi di suatu
tempat, berdoa memohon perlindungan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Masyarakat sekitar
biasanya membawa takir (nasi putih yang dilengkapi dengan lauk pauk) yang terbuat dari daun
pisang dan dilengkapi dengan janur (daun kelapa muda). Isi dari takir itu adalah nasi, lauk-pauk,
sayuran, telur, dan serondeng (parutan kelapa muda yang diberi bumbu kemudian digoreng
menggunakan minyak).

SEJARAH
Baritan adalah tradisi peninggalan nenek moyang jauh sebelum adanya agama
berkembang di tanah Jawa atau dari ajaran anismisme dinamisme. Karena jaman dahulu
dipercaya bahwa tanah jawa sangat terkenal dengan keangkeran hutannya, sampai-sampai tidak
bisa ditinggali sama sekali, jika tetap ingin tinggal maka taruhannya nyawa atau tidak bisa hidup
lama. Maka dari itu agar dapat ditinggali oleh Aji Saka di berikan tumbal atau sesaji atau
“cokbakal” untuk memohon ijin menampati tanah Jawa ini, sedangkan Aji Saka sendiri
dipercaya sebagai legenda yang mengisahkan tentang peradaban ke tanah Jawa, dan pencipta
dari Aksara Jawa yang dikenal hingga sampai saat ini.

Lalu disempurnakan kembali oleh Syekh Subakir, beliau sendiri adalah ulama dari Persia
yang diutus ke tanah Jawa dalam rangka meyebarkan agama Islam. Belia diutus oleh Sultan
Muhammad I dari kekaisaran Ottonom di Turki pada tahun 1404 M, tak sendiri Syekh Subakir
bersama sang paman yang tak lain merupakan generasi Walisongo pertama, yaitu Maulana Malik
Ibrahim yang kemudian dikenal dengan nama Sunan Gresik. Selain itu kemampuan Syekh
Subakir dalam menyebarkan agama Islam dikenal luas oleh masyarakat Jawa, hal ini
dikarenakan selain menjadi pendakwah beliau memiliki kekuatan yang mampu mengusir para
lelembut atau sebangsa jin yang sangat kuat mendiami tanah Jawa pada saat itu. Maka dari
maksud dan tujuan dari Syekh Subakir agar membuat umat muslim merayakannya dengan nama
Baritan, yang sudah dilaksanakan hingga sekarang dan diadakan satu tahu sekali pada saat
penyambutan Tahun Baru Hijiriah.

Maka dari itu arti dari kata Baritan sendiri adalah Mbubarke Jin Lan Setan. Baritan
diadakan satu tahun sekali, yaitu pada memasuki tahun baru Hijriah dan juga bulan Suro.
Berbicara tentang bulan Suro, bulan ini sangat penting bagi masyarakat Jawa. Suro berasal dari
kata “asyura‟ (bahasa Arab) yang berarti kesepuluh (10 bulan Suro). Istilah ini kemudian
dijadikan sebagai bulan permulaan hitungan dalam takwim Jawa.
Takir adalah sesuatu hal yang sudah tidak asing bagi masyarakat Indonesia. Khususnya
masyarakat Jawa, takir sendiri adalah wadah yang terbuat dari daun pisang yang yang dibentuk
menyerupai perahu. Takir sendiri memiliki banyak makna bagi masyarakat Jawa khususnya.
Seperti tempat wadah sesaji dan tempat wadah ritual-ritual tertentu yang di lakukan dalam tradisi
masyarakat Jawa. Takir memiliki arti “tatake pikir‟ dengan makna bahwa memantapkan pikiran
hanya kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena sejatinya kita memang hidup dunia tidak lain hanya
untuk menyembah dan berserah kepadaNya. Bila berbicara tentang takir sendiri memiliki arti
dari sebuah wadah, dimana wadah tersebut dapat diisi oleh apapun tergantung yang memiliki
takir tersebut.

Takir dapat diibaratkan sebagai sebuah amalan dimana kita sebagai manusia dapat
memilih untuk mengisi amal kebaikan dan sebaliknya yaitu amal keburukan karena itu semua
kembali ke manusia itu sendiri. Namun berbicara tentang asal muasal takir, takir sendiri memang
sudah ada pada jaman nenek moyang dahulu jadi tidak ada sangkut paut dari satu agama, ini juga
bisa disebut sebagai akulturasi perpaduan hindu, budha, dan islam. Di dalam takir terdapat
makna kebaikan yang terkandung dalam penggunaan takir, seperti bentuknya yang menyerupai
perahu bermaksud agar ketika mengarungi bahtera rumah tangga mampu menghadapai cobaan
dan halangan yang datang, diberikan keluarga yang harmonis dan sampai maut memisahkan.

DESKRIPSI
Tradisi Baritan yang pada umumnya terdiri dari tiga tahap yaitu persiapan, pelaksanaan,
dan penutup. Tahap persiapan dimulai dengan mengumpulkan seluruh masyarakat pada setiap
RT di Mushola atau Masjid sekitar dan kemudian dilaksanakan rapat. Rapat tersebut membahas
tentang orang yang memimpin doa, tempat, waktu, dan banyaknya takir yang harus dibawa
setiap kepala keluarga saat pelaksanaan Baritan. Biasanya setiap kepala keluarga membawa takir
sebanyak anggota keluarga yang hadir dan dilebihkan satu buah takir. Tujuan membawa takir
dilebihkan yaitu untuk diberikan kepada masyarakat yang sedang lewat di jalan tempat
pelaksanaan Baritan, selain itu juga diberikan kepada masyarakat sekitar yang memiliki banyak
anggota keluarga di rumahnya. Masyarakat juga menyediakan meja besar sekaligus kursi yang
akan digunakan sebagai tempat untuk meletakkan takir. Rapat tersebut juga membahas tentang
terpal (barang seperti tikar, tetapi ukurannya sangat lebar dan terbuat dari bahan plastik), bambu,
dan masyarakat yang ditunjuk untuk bersedia menyediakan minum yang diberikan kepada
masyarakat pada saat pelaksanaan Baritan. Terpal dan bambu digunakan untuk atap tempat
pelaksanaan Baritan. Tujuan dibuat atap ini yaitu agar takir-takir yang berada di atas meja tidak
basah dan masyarakat yang melaksanakan Baritan dapat berteduh di bawahnya apabila hujan
turun.

Prosesi pelaksanaan tradisi Baritan biasanya dimulai pada sore hari dan dilaksanakan di
perempatan jalan dekat dengan masjid atau mushola sekitar. Sebelum maghrib masyarakat
membawa takir ke tempat pelaksanaan Baritan. Semua masyarakat mulai dari anak-anak sampai
orang dewasa berkumpul di perempatan jalan. Masyarakat yang bertugas memimpin doa, duduk
di kursi dekat meja tempat meletakkan takir. Semua masyarakat berdoa dengan khusyu’
memohon perlindungan kepada Tuhan dan bersyukur atas segala rezeki yang telah diberikan.
Kegiatan selanjutnya dari prosesi tradisi Baritan yaitu membagikan takir kepada seluruh
masyarakat yang berada di tempat pelaksanaan Baritan. Semua masyarakat memakan takir
bersama di tempat tersebut. Prosesi penutup Baritan ditandai dengan doa bersama sebagai
penutup. Seluruh masyarakat mengambil takir yang tersisa dan membawa pulang.

Adanya pelaksanaan tradisi Baritan ini tentunya akan mengangkat dan melestarikan
budaya nenek moyang yang sudah dilaksanakan secara turun-temurun. Hal itu berarti tradisi
Baritan tidak boleh ditinggalkan dan harus dilestarikan karena merupakan warisan dari nenek
moyang. Tradisi Baritan ini yang dilaksanakan dengan berkumpul di perempatan jalan pada saat
pelaksanaan Baritan dan berkumpul di Mushola pada saat pelaksanaan rapat masyarakat dapat
menandakan bahwa adanya suatu nilai kebersamaan dalam masyarakat. Nilai kebersamaan juga
terlihat ketika mereka melakukan doa bersama dilanjutkan makan takir bersama-sama saat
pelaksanaan Baritan.

Takir dalam tradisi baritan berisi nasi dan beragam lauk pauk. Lauk pauk yang terdapat
dalam takir yaitu sambal goreng (biasanya campuran kentang, tempe, tahu, dan lain lain),
kacang, serondeng, telur, sayur dan mie. Hal ini mengibaratkan sebuah makna keberagaman.
Isian dalam sebuah takir tersebut menggambarkan keberagaman dalam kehidupan manusia di
dunia ini. Dalam kehidupan bermasyarakat hal tersebut mengibaratkan adanya keberagaman di
lapisan masyarakat sebuah desa, baik keberagaman terhadap kepercayaan dan keyakinan
terhadap Tuhan, maupun keberagaman dalam hal pekerjaan.
DAFTAR PUSTAKA

Aprilia, D., dan Syani, A. 2022. Eksistensi Tradisi Baritan di Kalangan Generasi Milenial: Studi
Kasus di Desa Telogorejo, Distrik Batanghari, Kabupaten Lampung Timur. Jurnal Ilmiah
Mahasiswa Sosiologi, 1(1): 93-103.
Asnawi, A.R. 2021. Tradisi Baritan Sebagai Media Penanaman Nilaireligius dan Budaya
Masyarakat Desa Salam Wonodadi Blitar. [Skripsi]. Institut Agama Islam Negeri
Tulungagung. Tulungagung.
Astuti, N.D. 2016. Analisis Nilai-Nilai Dalam Tradisi Baritan Sebagai Peringatan Malam Satu
Syuro di Desa Wates Kabupaten Blitar. Seminar Nasional Pendidikan, 1: 134-138.
Hidayati, W., Sulistyani, N., Sutrisno, W., dan Wijaya, A. 2021. TRADISI BARITAN: Sebuah
Upaya Harmonisasi Dengan Alam Pada Masyarakat Dieng. Solidarity, 10(1): 121-129.
Pratiwi, F.I 2021. Makna Simbol Komunikasi Takir Plonthang Dalam Tradisi Baritan (Studi
Kasus Masyarakat Desa Wringinrejo Kecamatan Gambiran Kabupaten Banyuwangi.
Universitas Muhammadiyah Jember. Jember.

Anda mungkin juga menyukai