Anda di halaman 1dari 6

Sistem Religi dan Upacara Keagamaan

Sistem religi masyarakat Suku Dayak pada umumnya dan Suku Dayak Ngaju pada khususnya
memiliki kepercayaan pada Tuhan Yang Maha Esa yang telah menciptakan, menguasai dan
memilihara alam raya beserta isinya. Kepercayaan ini juga terdapat diberbagai suku di nusantara,
saat ini pula telah memperoleh pengakuan oleh pemerintah Indonesia dan disebut dengan agama
Hindu Kaharingan.

Menurut pendapat orang Dayak, agama Kaharingan telah ada sejak ribuan tahun yang lalu, sejak
awal adanya dunia ini, saat Ranying Hatalla Langit (nama tuhan mereka) menciptakan alam
semesta. Kaharingan telah lebih dulu ada sebelum kedatangan Hindu, Budha, Islam dan agama
Kristen ke wilayah mereka. Setelah kedatangan agama-agama lain kepada orang-orang Dayak,
Kaharingan menjadi dikenal sebagai agama leluhur dayak, atau agama kuno.

Kaharingan berarti "hidup, ada dengan sendirinya” (Riwut, 1979). Agama itu sendiri dari waktu
ke waktu telah disatukan dengan kehidupan masyarakat Dayak sejak lahir mereka (proses
pemberian nama), pernikahan, dan kematian, sebelum agama-agama lain memberikan pengaruh
kepada kehidupan masyarakat.

Orang Dayak memiliki tiga hubungan yang harus selaras dan seimbang, Pertama, iman
kepercayaan mereka kepada Ranying Hatalla, Kedua, hubungan antara manusia sebagai
masyarakat atau individu, dan Ketiga, hubungan mereka dengan alam semesta. Dalam
Kaharingan juga terdapat Konsep Pohon Hayat atau Pohon Kehidupan yang mereka sebut
Batang Garing. Pohon ini merupakan simbolisasi dari kehidupan swargaloka yang mereka sebut
Lewu Tatau. Simbolisasi ini seringkali muncul pada bangunan Sandung yang fungsinya sebagai
tempat sakral penyimpanan tulang-belulang sanak saudara yang telah meninggal.

Konsep Kehidupan Setelah Kematian Dalam Agama Kaharingan Dalam agama Kaharingan,
kematian adalah suatu peristiwa yang sangat sakral karena mereka percaya bahwa setelah
kematian terdapat kehidupan yang kekal, dimana jiwa mereka kembali berkumpul dengan
leluhur mereka.
 Tradisi Upacara Tiwah

Upacara Tiwah merupakan upacara sakral untuk membawa jiwa almarhum ke Lewu Tatau
(Dunia Makmur dan Sejahtera). Tiwah adalah ritual baik bagi kematian dan kehidupan. Terdapat
tujuh tujuan dalam Upacara Tiwah ini, yaitu (Schiller, 1987):

1. Memanggil jiwa-jiwa dari Rumah Sementara di Dunia (Sandung)


2. Memandikan jiwa-jiwa tersebut
3. Menyediakan pakaian bagi jiwa-jiwa
4. Penyediaan makanan bagi jiwa untuk bekal dalam perjalanan menuju Lewu Tatau
5. Memberikan kesempatan bagi jiwa-jiwa tersebut untuk memberikan salam perpisahan
dengan kerabatnya yang masih hidup
6. Mengawal jiwa-jiwa tersebut menuju ke "Dunia Makmur dan Sejahtera" (Lewu Tatau)
7. Menyatukan jiwa-jiwa tersebut kembali bersama Ranying dan Jata sebagai pencipta
mereka.

Satu-satunya cara agar orang yang telah meninggal untuk dapat memulai perjalanan mereka ke
Dunia Makmur dan Sejahtera adalah dengan menunggu adanya orang lain untuk membuka
makam mereka. Pada upacara ritual Tiwah, tulang-tulang orang yang telah meninggal dibawa
keluar dari kuburan lama mereka ke tempat yang baru dengan ritual sakral ini. Tulang dari
tempat yang lama tersebut kemudian ditempatkan pada sebuah miniatur makam berbentuk rumah
yang disebut Sandung, bersama-sama dengan tulang tersebut disimpan harta berharga dari orang
yang sudah meninggal itu.

Itulah sebabnya, dalam masyarakat Dayak Ngaju, Upacara Tiwah merupakan ritual terpenting.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan konsep-konsep kepercayaan dan religi dalam Kaharingan
seperti di bawah ini:

1. Ranying Mahatala Langit adalah sumber penciptaan dan semua hidup


2. Allah adalah Allah yang berdaulat atas alam semesta
3. Terdapat beberapa Dewa sebagai perantara antara manusia dan Allah
4. Tempat tinggal Allah berada pada Dunia Atas (Ranying) dan Dunia Bawah (Jata)
5. Simbolisme Ranying dan Jata adalah berupa Tingang (Enggang) dan Tambun (Naga)
6. Adanya kehidupan setelah kematian
7. Perjalanan ke Lewu Tatau (Dunia Makmur dan Sejahtera) bagi jiwa setelah meninggal

Satu-satunya cara untuk orang yang meninggal untuk memulai perjalanan mereka menuju Lewu
Tatau adalah menunggu orang lain untuk membuka makam mereka melalui Upacara Tiwah.

 Tradisi Upacara Gawai

Gawai merupakan tradisi masyarakat suku Dayak Kalimantan. Kebudayaan Gawai merupakan
salah satu dari berbagai macam kebudayaan dan tradisi, adat istiadat dan ritual yang erat
kaitannya dengan kehidupan masyarakat suku Dayak Kalimantan. Gawai biasa dilakukan suku
Dayak untuk mengungkapkan rasa syukur kepada Tuhan. Menurut pendapat Herman Ivo
(2002:292) gawai merupakan satu-satunya tradisi di dalam kebudayaan suku Dayak yang rutin
dilaksanakan setiap tahunnya di kota Pontianak, Kalimantan Barat.

Gawai dapat diartikan sebagai pembacaan mantera (nyanghathn) yang ditampilkan dalam bentuk
budaya tradisional. Upacara yang dilaksanakan merupakan bentuk wujud dari rasa syukur kepada
Jubata. Jubata merupakan pencipta dan pemelihara segala sesuatu yang ada di alam nyata
ataupun dialam maya. Oleh karena itu bagi masyarakat suku Dayak, Jubata sangat dihormati,
dimuliakan serta dianggungkan. Sebab itu mereka percaya segala sesuatu yang ada di alam ini
berasal dari Jubata, seperti salah satunya ialah hasil panen raya. Upacara tersebut rutin
dilaksanakan masyarakat Dayak Kalimantan Barat setiap tahunnya dimasa panen raya.

Upacara panen raya bagi suku Dayak juga dikenal dengan berbagai nama, orang Dayak Hulu
menamai dengan Gawai, di Kabupaten Sambas dan Bang kayang biasa dikenal dengan sebutan
Maka’Dio, sedangkan orang Dayak Kayaan, dikampung Mendalam Kabupaten Putus Sibau biasa
menyebut dengan sebutan dengan Denge. Pelaksanaan Gawai biasanya memakan waktu hingga
tiga bulan yakni, April hingga Juni, oleh karena itu pelaksanaan Gawai di Kalimantan Barat
biasa dilakukan pada tanggal 20 Mei setiap tahunnya.

Gawai berperan penting bagi masyarakat suku Dayak guna mengungkapkan rasa syukur. Selain
itu Gawai pada masyarakat suku Dayak juga berguna untuk menjaga dan menciptakan rasa
solidaritas antar sesama. Keterlibatan seluruh masyarakat pada kegiatan Gawai ini tentunya
memerlukan kerjasama antar individu, sehingga dapat membentuk rasasolidaritas antar individu
pada suku Dayak.
Bahasa

Pada dasarnya, saat ini, bahasa Banjar yang digunakan secara luas di Kalimantan Tengah adalah
bahasa dan bahasa Indonesia. Persebaran bahasa Banjar ke Kalimantan Tengah disebabkan oleh
besarnya jumlah perantau suku Banjar asal Kalimantan Selatan dan pada umumnya mereka
menguasai perdagangan sehingga bahasa Banjar digunakan sebagai bahasa perdagangan dan
bahasa sehari-hari. Masyarakat suku Jawa di lokasi transmigrasi umumnya menuturkan bahasa
Jawa sebagai bahasa sehari-hari.

Bahasa Dayak yang dominan digunakan oleh suku Dayak di Kalimantan Tengah, di antaranya
adalah bahasa Dayak Ngaju yang digunakan di daerah Sungai Kahayan dan Kapuas. Bahasa
Bakumpai dan bahasa Maanyan dituturkan oleh penduduk di sepanjang daerah aliran Sungai
Barito dan sekitarnya dan bahasa Ot Danum yang digunakan oleh suku Dayak Ot Danum di hulu
Sungai Kahayan dan Sungai Kapuas.

Kesenian

 Rumah Adat Suku Dayak


Salah satu jenis rumah adat yang dimiliki oleh Suku Dayak adalah Rumah Bentang. Rumah
tersebut, biasanya dihuni oleh lebih dari 20 kepala keluarga. Dikutip dari buku Antropologi oleh
Emmy Indriyawati (2009:21), Rumah Bentang terdiri dari atas 6 kamar dengan berbagai
fungsinya, yaitu kamar menyimpan alat perang, kamar menyimpan gadis, kamar upacara adat,
kamar agama, dan kamar tamu. Selain Rumah Bentang, juga terdapat jenis rumah lain yaitu
Rumah Panjang. Dikutip dari buku Identitas Dayak: Komodifikasi dan Politik Kebudayaan oleh
Yekti Maunati (2004:62), dijelaskan bahwa Rumah Panjang selain berfungsi sebagai bentuk
arsitektur, namun juga sebagai perwujudan hubungan sosial orang-orang Dayak.
 Seni Tari Suku Dayak
Tarian dari suku Dayak Banyak dijadikan sebagai tarian tradisional asal Kalimatan Tengah. Hal
tersebut disebabkan karena mayoritas penduduk daerah Kalimantan Tengah merupakan Suku
Dayak. Dikutip dari laman Multi Media Center Provinsi Kalimantan Tengah, Suku Dayak
memilik jenis kesenian tari yang beragam. Selain itu, setiap tarian memiliki makna tersendiri.
Beberapa contoh tarian tradisonal dari suku Dayak dan maknanya sebagai berikut:
1. Tari Balean Dadar
Tari Balean Dadas merupakan tari tradisional Suku Dayak digunakan untuk meminta
kesembuhan pada Ranying Hantala Langit. Dalam tarian tersebut, biasanya akan diikuti seorang
dukun perempuan yang disebut dengan Balean Dadas
2. Tari Giring-Giring
Tarian Giring-Giring merupakan tari tradisional Suku Dayak Maanyan yang digunakan sebagai
bentuk ekspresi kegembiraan.
3. Tari Kayau
Tari Kayau merupakan tarian tradisional dari Suku Dayak Iban yang digunakan untuk
melindungi suku dari ancaman terutama musuh.
4. Tari Kinyah Mandau
Tari Kinyah Mandu merupakan tari tradisional yang digunakan untuk bela diri.
5. Tari Tambun dan Bunga
Tari Tambun dan Bunga merupakan tari tradisional dari Palangkaraya (Kalimantan Tengah). Tari
tersebut, menceritakan tentang kisah keberanian Tambun dan Bungai dalam mengusir para
pencuri panen padi.
 Seni Musik Suku Dayak
Salah satu alat musik yang berasal dari Suku Dayak adalah Sape. Alat musik tersebut, biasanya
dimainkan dalam acara festival rakyat atau ritual-ritual seperti syukuran panen. Dikutip dari
buku Ketergantungan Masyarakat Dayak Terhadap Hutan: di Sekitar Taman Nasional Kayan
Mentarang oleh Asung Uluk Dkk (2001:73), beberapa contoh lagu-lagu yang dimiliki Suku
Dayak seperti kulung kuwai, kulung punai, kulung kuju, dan kulung nyakilang.
DAFTAR PUSTAKA

Harysakti, A., & Mulyadi, L. (2014). Penelusuran Genius Loci Pada Permukiman Suku Dayak
Ngaju di Kalimantan Tengah. Spectra, 12(24).

Lawangan, D., & Sigiro, E. P. KEKERABATAN BAHASA TAMUAN, WARINGIN, DAYAK


NGAJU, KADORIH, MAANYAN, DAN DUSUN LAWANGAN.

Maarif, Syamsul D. (2021). Mengenal Sistem Kesenian Suku Dayak: Tari, Rumah Adat, Alat
Musik.

Syafrita, I., & Murdiono, M. (2020). Upacara Adat Gawai Dalam Membentuk Nilai-Nilai
Solidaritas Pada Masyarakat Suku Dayak Kalimantan Barat. Jurnal Antropologi: Isu-Isu
Sosial Budaya, 22(2), 151-159.

Anda mungkin juga menyukai