Anda di halaman 1dari 4

NAMA : RIO FIERDIAWAN

NIM : 20104020051

KELAS: PBA B

TUGAS LAPORAN

PERKEMBANGAN ISLAM

Laporan ini saya buat berdasarkan teori akulturasi, adaptasi, konflik, rekonsiliasi dan
purifikasi dalam perspektif ilmu sosial mengenai perkembangan islam di desa saya guna
memenuhi tugas mata kuliah islam dan ilmu sosial humaniora. Setelah membaca dan
mempelajari beberapa teori diatas, maka saya dapat memberikan gambaran mengenai
perkembangan islam sebagai berikut:

1. Akulturasi

Ajaran Islam disambut dengan ragam budaya di Nusantara, atau Jawa, yang sudah
berakulturasi dengan budaya Hindu, Buddha, juga tradisi nenek moyang, hasil akulturasi Islam
dengan budaya lokal dinusantara yang telah ada sebelumnya kemudian menghasilkan sesuatu
yang baru dan merupakan perpaduan dari ragam budaya yang berbeda tersebut. Beberapa
contoh tradisi yang merupakan bentuk akulturasi Islam dengan budaya lokal di Nusantara,
khususnya di daerah jawaantara lain tradisi kenduri atau kenduren untuk mendoakan arwah
orang yang sudah meninggal dunia. Kenduri ini sudah ada sejak zaman Hindu-Buddha di
Jawa. Sunan Ampel menyesuaikan tradisi ini agar tidak menyimpang dari ajaran Islam.
Dalam agama nenek moyang dahulu terdapat aliran sesat penganut ajaran Tantrayana dari
sekte Bairawa Tantra, sebuah aliran yang memuja Dewi Durga. Bairawa Tantra tidak hanya
dipandang sesat menurut ajaran Islam namun oleh keyakinan masyarakat sendiri aliran ini
sesat dan meresahkan.Oleh karena itu Sunan Bonang membuat acara yang mirip dengan
upacara Panca Makaranya Bairawa Tantra yaitu ia kumpulkan masyarakat yang pada saat itu
laki-laki semua di sebuah tempat, kemudian disediakan makanan, kemudian Sunan Bonang
mengajari mereka berdo'a, setelah itu mereka makan bersama.Inilah yang akhirnya kita kenal
dengan nama kenduri atau slametan. Dalam acara kendurenan di lingkup kecil atau di rumah
warga, acara akan dimulai setelah kerabat atau tetangga yang diundang telah hadir. Acara
kendurenan biasanya akan dimulai dengan diawali sambutan dari perwakilan tuan rumah atau
shohibul hajat yang menjelaskan tujuan doa bersama dilaksanakan. Setelah itu kemudian
acara kendurenan diisi dengan pembacaan doa tahlil atau pembacaan surat yasin dan tahlil
sebagaimana yang dikehendaki oleh tuan rumah. Oleh karenanya, acara kenduren seperti ini
biasa disebut juga dengan istilah tahlilan atau yasinan. 

Pembacaan doa yang dipimpin oleh seorang kiyai ini akan diikuti oleh seluruh
warga yang hadir pada acara kendurenan ini. Selesai pembacaan doa, acara ditutup dengan
makan bersama dan pembagian berkat. Pada masa lalu, bentuk berkat yaitu makanan beserta
lauk lengkap sederhana ala jawa yang dikemas dalam besek (di daerah saya disebut pithi),
yaitu wadah yang terbuat dari anyaman bambu segi empat. Sedangkan pada masa kini, berkat
biasanya dikemas dalam cething plastik, dan adakalanya juga isi berkat pada masa kini masih
bentuk makanan mentah yang belum diolah. Berkat inilah yang dibawa pulang oleh masing-
masing tamu undangan setelah selesai acara selametan atau kendurenan. 

2. Adaptasi

Islam yang merupakan agama samawi tidak serta merta mengabaikan kondisi sosial
seperti budaya atau tradisi. Justru Islam sangat memperhatikan kondisi sosial yang telah atau
tengah terjadi, bahkan yang akan terjadi. Karena Islam sendiri hadir bertujuan untuk
kehidupan seluruh makhluk di bumi. Ketika Islam hendak mengatur kehidupan manusia
dengan ayat dan sunahnya, maka Islam pasti mempertimbangkan kondisi dan situasi
kehidupan manusia.

Islam datang di Nusantara ini dengan wajah dan perlakuan yang damai dan santai. Bukan
dengan cara peperangan maupun pertumpahan darah. Dan metode ini ternyata tak lepas dari
bentuk adaptasi para wali terdahulu dalam menyebarkan Islam di Nusantara.

Watak orang Nusantara yang sopan dan tepo seliro, menjadi wasilah tersebarnya Islam di
Nusantara, lebih lebih di daerah Jawa. Dimana etika dan norma norma sangat dipegang kuat
oleh penduduknya. Mereka sangat akan segan dengan orang yang memiliki pribadi yang baik,
tak peduli dari mana dan bagaimana latar belakangnya.

Konsep adapatasi ini lah yang sampai sekarang diterapkan para da’i dan mubaligh dalam
menyampaikan pesan pesan kebaikan dalam masyarakat. Kondisi masyarakat yang heterogen
memang harus disikapi dengan bijak dan dengan mengakomodasi suatu tradisi maupun
budaya yang ada di tengah tengah masyarakat.

3. Konflik

Perseteruan dan konflik ternyata juga mewarnai pergolakan dan penyebaran Islam di
Nusantara. Perseteruan ini bisa kita lihat dalam beberapa peristiwa pra kemerdekaan dan
pasca kemerdekaan. Persetujuan ini melibatkan kaum santri dan kaum abangan .

Kalanganan abangan adalah merupakan varian masyarakat Jawa mereka yang tidak benar-
benar tidak acuh terhadap doktrin (agama IslamI tetapi terpesona oleh detil keupacaraan
(adat). Sementara di kalangan santri merupakan varian masyakat di Jawa yang memberikan
perhatian terhadap doktrin (ajaran agama Islam). Dan itu dicirikan bila disebut sebagai
seorang abangan maka orang tersebut harus tahu kapan harus menyelenggrakan ‘slametan’
(ritual adat dan kebiasaan budaya). Golongan ini memiliki toleransi kepercayaan agama:
Katanya jalan (Tuhan) itu memang banyak).
Dulunya kaum abangan didominasi oleh warga warga PKI, dan mereka sering kali berbuat
semena mena kepada warga , maupun masyarakat yang tidak sepaham dengan mereka. Oleh
karenanya kaum santri pada saat itu sering terlibat konflik dengan mereka.

Bahkan sampai Sekarang mungkin di beberapa tempat masih kita dapati hal semacam itu ,
meskipun tidak secara eksplisit ( kontak fisik ) . Biasanya masyarakat yang masih sepaham
dengan kaum abangan “ komunis “ akan sedikit terasigkan dimata masyarakat.

4. Rekonsiliasi

Kata rekonsiliasi sering muncul ketika ada dua kelompok atau lebih yang mula nya berseteru
lalu berdamai. Kasus rekonsiliasi didaerah saya jarang terjadi namun pada suatu saat pernah
ketika ada sekelompok golongan wahabi yang berseteru dengan ormas NU. Ini berawal
ketika ormas NU mengadakan kegiatan rutinan seperti yasinan dan tahlilan. Mereka yang
golongan wahabi tidak sependapat dengan kegiatan tersebut, mereka memberikan
pemahaman yang memprovokasi masyarakat bahwa kegiatan tersebut merupakan bid’ah dan
haram dilakukan. Pendapat mereka ini membuat geram masyarakat lantaran mayoritas warga
beraliran madzhab ahlu sunnah wal jamaah ( NU ). Perseteruan hebat pun terjadi antar kedua
golong tersebut , masyarakat yang golongan NU tidak terima dengan pendapat mereka dan
mengancam mereka jika tidak berhenti melakukan provokasi tentang haramnya melakukan
tahlilan, sedangkan golongan wahabi tetap dengan keyakinannya tentang haramnya
melakukan kegiatan tersebut. Kemudian datanglah toko agama masyarakat yang ingin
merekonsiliasikan masalah tersebut, ia lalu mempertemukan kedua golongan tersebut dalam
sebuah forum mediasi di balai desa. Ia menjelaskan kepada kedua golongan tersebut bahwa
islam adalah agama perdamaian, dan sebagai muslim yang baik, sepatutnya kita mempunyai
rasa toleransi kepada semua agama, golongan, aliran yang berbeda. Setelah mendengarkan
penjelasan dari tokoh agama tersebut, akhirnya kedua golongan tersebut mau berdamai.
Rekonsiliasi ini dinilai menjadi sebuah jalan terang bagi kelompok kelompok yang berbeda
latar belakang nya. Dan ketika pada masa nabi berdakwah di Madinah, ketika Islam datang
banyak sekali suku suku yang saling berseberangan, dan kehadiran nabi ternyata menjadi
mediator diantara mereka.

5. Purifikasi.

Purifikasi adalah serapan dari bahasa Inggris purification yang berarti pembersihan,


penyaringan dan pemurnian. Tujuan dari adanya purifikasi yaitu mengembalikan kondisi
kehidupan keagamaan seperti pada masa awal Islam, masa Rasulullah dan Khulafa al-
Rasyidin.

Budaya dan tradisi di daerah jawa sangat beragam, tentu dengan keberagaman tersebut
bukanlah tidak mungkin menimbulkan beberapa permasalahan jika di sangkut pautkan
dengan urusan agama. Salah satu contohnya adalah tradisi tumbal dan sesajen. Masyarakat
yang hidup dengan mata pencaharian sebagai petani melakukan upacara ritual sedekah bumi
dengan menyembelih kerbau atau kambing dan menanamkan kepalanya pada suatu tempat.
Tumbal dan sesajen disembahkan kepada penguasa bumi dan tanah agar hasil panen mereka
berlimpah dan terhindarkannya segala bentuk bencana dibumi. Begitu juga mereka yang
hidup disekitar kawasan gunung berapi melestarikan tradisi budaya penyembahan tumbal dan
sesajen, berupa hasil bumi dan hewan ternak dengan upacara ritual dan pembacaan mantera-
mantera minta perlindungan.

Budaya dan tradisi tersebut tentu dalam kacamata Islam sangat bertentangan, dan disinilah
tugas para penyebar Islam di masa awal tersebut untuk melakukan pemurnian akidah atau
kepercayaan masyarakat saat itu. Oleh karena itu, sunan kalijaga mengubah istilah sesaji
diganti menjadi selamatan, dari asal kata islam itu sendiri, yang memang berarti damai dan
selamat sejahtera. Niatnya diubah dari dipersembahkan kepada roh gaib atau dewa
sesambahan, menjadi sedekah berupa makanan kepada sesamanya, dalam hal ini tetangga,
kerabat, fakir miskin dan anak-anak yatim piatu.

Lambat laun dengan kepiawaian beliau beliaudalm berdakwah, luluhlah hati masyarakat
dengan ajaran Islam yang rahmatan Lil a alaminn.

Anda mungkin juga menyukai