Anda di halaman 1dari 2

“Tradisi Sabtu Pahing untuk NKRI”

Oleh: Eni Chofifah

(enichopp@gmail.com)
Kehadiran tradisi sangat erat dengan tujuan identitas dan lebih ditekankan pada tujuan
kemanusian. Tentu terwujudnya kemanusiaan akan membangun toleransi dan perdamaian yang
berdampak baik terhadap keutuhan NKRI. Itu artinya, nasionalisme akan mudah diterapkan dan
menjadi solidaritas yang kokoh. Barang kali itu maksud yang diwariskan para pendahulu untuk
generasi yang akan datang. Apalagi itu terjadi pada masyarakat yang sering disebut sebagai
kaum tradisional, biasanya didominasi masyarakat wilayah pedesaan. Justru kaum ini lah yang
mempunyai ideologi kuat terhadap budaya dan tradisi luhur yang mereka miliki. Tidak terpapar
pemikiran yang biasa disebut pemikiran modern yang kadang bahkan seringkali mendistorsi
kepercayaan dan tradisi serta adat istiadat luhur yang masyarakat berhasil bangun dengan baik
dari generasi ke generasi, sehingga tidak terlalu terbawa arus globalisasi. Identitas pun terjaga.
Mereka, masyarakat yang punya kekuatan identitaslah yang unik.

Tradisi Sabtu Pahing ialah tradisi keagamaan yang dimiliki oleh masyarakat NU
(Nahdlatul Ulama) didaerah kecamatan Kejajar, kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah. Penulis
sendiri tumbuh dan besar dilingkungan tersebut. Lingkungan yang warganya didominasi Islam
NU dan bertetangga membaur baik dengan Islam Muhammadiyyah, membuat penulis ikut serta
menjadi pelaku dan saksi keberhasilan sebuah tradisi keagamaan masyarakat yang biasa mereka
sebut Ngaji Setu Paingan. Sabtu Pahing, nama hari yang diambil dari kalender Jawa.

Tradisi ini berupa kegiatan pengajian akbar yang dihadiri umum, khususnya warga NU,
yang bukan NU juga biasa turut hadir meramaikan acara. Karena disitulah tempat emas
perkumpulan para pedagang. Selain itu, karena tradisi ini di selenggarakan per-desa atau dusun
secara bergantian, otomatis kekuatan silaturahim antar warga semakin kuat karena dalam
tradisinya, sehabis masyarakat selesai mendengarkan pengajian dari ceramah ulama terpilih di
atas panggung, masyarakat melanjutkannya dengan berbondong-bondong mengunjungi rumah
saudara mereka di tempat terselenggaranya tradisi Sabtu Pahing-an. Terus bergulir bergantian
jadwal memutar antar desa. Silaturahim semakin kuat dan bertambah baik secara sosial.
Tradisi ini mempunyai lembaga-lembaga penegak khas NU. Diantaranya lembaga dari
kalangan bapak-bapak atau pemuda yang terikat dalam wadah bernama GP Anshor, ibu-ibu atau
pemudi dengan wadah benama Fatayat Muslimat NU, IPNU-IPPNU (Ikatan Pelajar Nahdlatul
Ulama – Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama), dan yang tidak kalah sangar adalah BANSER,
semacam lembaga keamanan multi fungsi, merekalah aparat keamanan NKRI paling ikhlas.
Tidak dibayar atau menuntut bayaran. Mereka tergerak sendiri untuk melindungi NKRI harga
matinya. Lembaga-lembaga ini tersebar di banyak wilayah nasional maupun internasional.

Uniknya lagi, dalam tradisi Sabtu Pahing-an ini, penceramah yang dipilih ialah Kiai
Intelektual yang juga pernah menempuh jalur pendidikan Pondok Pesantren yang jelas dan visi
misinya yaitu Nasionalisme. Sehingga setiap ceramah akan di bumbui rasa persaudaraan yang
kuat dan menumbuhkan sikap solidaritas tinggi. Ini didukung pula oleh penanaman nilai etika
masyarakat awam untuk menghormati keilmuan sang Kiai dalam kepercayaan konsep mendapat
“keberkahan” yang membuat masyarakat antusias dan dapat menjalani hidup lebih tasawufi.

Tradisi semacam ini memang menjadi tradisi di daerah lain juga khususnya daerah
Nahdliyin, namun beda untuk sebutan sebagai ciri masing-masing daerah. Tradisi khas dengan
hiburan budaya seperti pertunjukkan wayang jawa, gamelan, syair, dan budaya Jawa lain
dijadikan jalur dakwah. Inilah yang dibawa oleh para wali, seperti walisanga yang berdakwah
secara halus, menghormati keseragaman budaya, tidak memaksa, dan damai. Tidak
meninggalkan budaya asli yang baik. Akulturasi budaya ini popular dikalangan IPNU-IPPNU
dengan semboyan “Menjaga budaya yang baik, dan mengambil budaya yang lebih baik”.

Dalam opini penulis, menyimpulkan bahwa tradisi ini patut untuk dilestarikan. Tradisi
kecil keagamaan yang berkontribusi besar dalam kemanusiaan dan menjaga nilai-nilai budaya
Nusantara untuk keutuhan NKRI. Cara baik mencintai budayanya sendiri dan Cinta tanah air,
serta menjaga hak budaya daerah. Memang, disamping warga tradisional sering di cibir sebagai
manusia yang ketinggalan zaman, namun sekarang ini banyak Nahdliyin terpelajar yang tetap
mencintai budayanya. Apabila kita melihat dari sisi mental dan jiwanya, kita dapat belajar dari
beberapa wacana tentang kesufian dari manusia modern dengan sains versus kesufian manusia
dengan keyakinan. Keduanya sama-sama menuju pengenalan dirinya kepada Tuhan Esa. Jadi,
tradisional maupun modern adalah sama meski beda cara. Perbedaan dan keragaman ini lah yang
keberadaannya ditakdirkan bersinergi menjaga keseimbangan semesta-Nya.

Anda mungkin juga menyukai