Anda di halaman 1dari 102

MUTIARA

TERPENDAM PAPUA
Potensi Kearifan Lokal untuk Perdamaian
di Tanah Papua
Mutiara Terpendam Papua
Potensi Kearifan Lokal untuk Perdamaian di Tanah Papua
Januari 2015

Penulis: Budi Asyhari-Afwan

Editor: Suhadi

Desain cover dan layout: Imam Syahirul Alim


xiv x 86 halaman; ukuran 15 x 23 cm
ISBN: 978-602-17781-8-0

Program Studi Agama dan Lintas Budaya


(Center for Religious and Cross-cultural Studies/CRCS)
Sekolah Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada,
Jl. Teknika Utara, Pogung.
Telp/Fax: 0274 544976.
www.crcs.ugm.ac.id; Email: info@crcs.ugm.ac.id
Kata Pengantar

K ATA P E N G A N TA R

Sejak awal didirikan (tahun 2000), Center


for Religious and Cross-cultural Studies
(CRCS) Sekolah Pascasarjana Universitas
Gadjah Mada telah mengembangkan tema
hubungan agama dan budaya lokal sebagai
salah satu fokus kajian. Tema tersebut
merupakan bagian dari salah satu kluster studi
yang dikembangkan CRCS. Kluster studi
yang dimaksud adalah Religion, Culture, and
Nature. Di antara cakupan utama dari kluster
ini adalah kedatangan, perkembangan, dan
varian ekspresi agama-agama dunia, termasuk
benturan-benturannya dengan budaya-budaya
setempat. Ekspresi keagamaan lokal warisan
leluhur, yang sering dikategorikan sebagai
agama lokal juga dikembangkan dalam kluster
ini. Agama lokal dalam konteks ini tidak
harus mengenai kepercayaan atau doktrin.
Ia dapat berupa tradisi-tradisi lokal, baik dalam
bentuk dan sifatnya yang ritualistik maupun
yang berupa ekspresi dan perilaku keseharian.

iii
Mutiara Terpendam

Buku ini adalah salah satu bentuk pengembangan kajian


di atas. Ia membahas tentang tradisi-tradisi lokal Papua.
Tradisi lokal Papua dibahas, sebenarnya bukan sebagai fokus
utama. Pembahasannya lebih merupakan ilustrasi untuk
mengembangkan konsep yang disebut kearifan lokal:
Tepatnya, kearifan lokal untuk perdamaian dengan melihat
beberapa tradisi lokal di Papua. Istilah kearifan lokal sangat
popular di masyarakat. Ia sering digunakan sebagai jargon
politik untuk kepentingan politik tertentu. Kearifan lokal
karenanya juga sering diidentikkan dengan politik identitas.
Kearifan lokal dikembangkan dan juga telah dikritik. Di antara
kritik yang cukup sinis adalah kearifan lokal tidak lebih dari
sekedar diskursus romantisisme. Kearifan lokal dipahami sebagai
revitalisasi tradisi atau budaya masa lalu yang seakan tanpa
cacat. Kearifan lokal diasumsikan sebagai konsep masa lalu yang
coba dipaksakan untuk diterapkan pada masa sekarang tanpa
sikap kritis. Kritik tersebut valuable dan patut diapresiasi, jika
memang kearifan lokal dipahami sebagai konsep yang statis.
Kearifan lokal yang dipahami penulis buku ini adalah
konsep yang menekankan pentingnya dinamika. Sebagai
konsep, kearifan lokal selalu terbuka terhadap berbagai
kemungkinan tantangan dan peluang. Ia tidak dipahami
bagai amplop yang tersegel, seakan tanpa ada (kemungkinan)
perubahan. Ia justru terus beradaptasi dengan ragam konteks
dalam lintasan sejarah. Ia bertransformasi. Kearifan lokal
adalah tentang perubahan sekaligus keberlanjutan. Ia adalah
tentang masa lalu, sekaligus tentang masa sekarang, dan bahkan
tentang masa depan. Kearifan lokal identik dengan dinamika,
transformasi, dan reproduksi. Sekali lagi, konsep inilah yang
dipahami oleh penulis buku ini.
CRCS telah menerbitkan dua buku semacam ini. Pertama
adalah Badingsanak Banjar-Dayak: Identitas Agama dan Ekonomi
Etnisitas di Kalimantan Selatan (2011). Buku ini menguraikan
model kearifan lokal yang dikembangkan oleh komunitas

iv
Kata Pengantar

Banjar dan Dayak di Kalimantan Selatan. Dengan kearifan


lokalnya, komunitas Banjar dan Dayak yang sekalipun masing-
masing memiliki identitas suku bangsa dan agama yang berbeda
telah berhasil mengelola kehidupan keragaman mereka. Mereka
yang berbeda mampu menjalin relasi sosial yang harmonis dan
produktif, terlepas dari potensi-potensi konflik yang senantiasa
mengancam. Orang Banjar dan orang Dayak masing-masing
telah menyesuaikan dirinya dalam kehidupan ko-eksistensi
dengan saling mengakui, mengakomodasi, dan menghargai.
Keduanya merayakan kehidupan bersama. Mereka masing-
masing sadar bahwa mereka berbeda. Namun, selain perbedaan
mereka memiliki banyak kesamaan, khususnya aspirasi dan
cita-cita hidup. Salah satu cara yang dilakukan keduanya dalam
mengelola pertemuan dan interaksi mereka adalah dengan
mendahulukan kesamaan daripada perbedaan. Dengan
menekankan kesamaan untuk kebersamaan, mereka berhasil
membangun semacam komunitas (baru) yang mengikat
keduanya sebagai saudara. Mereka merasa memiliki ikatan-
ikatan dan rasa solidaritas, menformulasi kepercayaan bersama,
dan mengkonstruksi ingatan-ingatan sejarah kebersamaan.
Kepercayaan dan konstruksi sejarah mereka, misalnya, adalah
bahwa nenek-moyang mereka (Dayak sebagai penduduk asli
dan Banjar sebagai pendatang) adalah saudara (badingsanak).
Konsep tersebut terus direproduksi dalam konsep dan perilaku.
Demikianlah cara kerja konsep kearifan lokal.
Buku kedua adalah Bulan Sabit di Pulau Dewata: Jejak
Kampung Kusamba Bali (2012). Seperti kasus di Kalimantan
Selatan sebelumnya, kasus Hindu dan Muslim di Bali yang
dibahas dalam buku ini juga menunjukkan sejarah relasi sosial
yang rukun oleh karena kearifan lokal yang dikonsepkan,
diimplementasikan, dan direproduksi. Seperti halnya komunitas
Banjar dan Dayak, komunitas Hindu dan Muslim di Bali selalu
diperhadapkan dengan potensi konflik akibat dari perbedaan
agama dan budaya yang dimiliki masing-masing. Namun
dengan kearifan lokalnya, misalnya yang disebut menyama

v
Mutiara Terpendam

(saudara), mereka mampu merespon potensi konflik tersebut


dengan terus mereproduksi konsep kearifan lokalnya. Konsep
menyama, misalnya, direproduksi menjadi menyama selam
(saudara Muslim). Konsep menyama yang awalnya dikhususkan
untuk sesama Hindu Bali, namun setelah pertemuan dan
interaksi mereka dengan komunitas Muslim, Hindu Bali
mengembangkannya menjadi menyama selam. Komunitas
Muslim dianggap dan diperlakukan sebagai saudara. Pada
gilirannya, umat Islam di Bali pun melakukan hal yang sama.
Kedua penelitian di atas menunjukkan kuatnya ko-
eksistensi komunitas-komunitas yang berbeda. Namun perlu
dicatat bahwa ko-eksistensi tersebut bukanlah sesuatu yang
given. Ia tidak berada begitu saja. Ia dikelola dengan proses
panjang. Ia ditempa dengan kearifan lokal. Kearifan lokal,
oleh karena itu, dapat juga dipahami sebagai sistem budaya
yang diciptakan, direproduksi, dan digunakan oleh komunitas
untuk mencapai tujuan komunitasnya (Maarif, 2014), dalam
konteks ini, perdamaian dan ko-eksistensi. Sebagai sistem
budaya, kearifan lokal adalah alat untuk mengembangkan
multikulturalisme yang menekankan pentingnya pengakuan,
penerimaan, penghargaan, dan perayaan perbedaan.
Berbeda dengan kedua penelitian di atas, tulisan ini
belum mengurai secara detil kearifan lokal di Papua. Namun
ia menunjukkan bahwa dengan melihat dinamika konflik
akibat keberagaman dan resolusinya melalui tradisi-tradisi
lokal, kearifan lokal untuk perdamaian sangat mungkin
dikonsepkan dan dikembangkan. Dalam literatur tentang
Papua, sebagaimana juga ditunjukkan oleh penulis, diskursus
konflik sangat dominan. Demikian dominannya, Papua seakan
sudah identik dengan konflik. Sisi inilah yang direspon oleh
penulis. Baginya, konflik memang ada dan menyejarah (sesuatu
yang sebenarnya tidak unik di Papua saja), tetapi resolusinya
juga selalu ada, empiris, dan menyejarah melalui tradisi-tradisi
lokal. Sayangnya, diskursus resolusi konflik melalui tradisi lokal

vi
Kata Pengantar

ini cukup marginal. Ia terpendam, padahal potensinya besar.


Konseptualisasi kearifan lokal untuk perdamaian dari tradisi-
tradisi Papua cukup menjanjikan.
CRCS menganggap penting untuk terus mengembangkan
kajian kearifan lokal. Kearifan lokal, in theory, menawarkan
tambahan pilihan pendekatan dan metode pengelolaan
keragaman, resolusi konflik dan perdamaian. Ia tidak dianggap
sebagai alternatif untuk menggantikan pendekatan-pendekatan
yang sudah ada dan sering digunakan seperti pendekatan
kuasa dan HAM. Sebagai pilihan pendekatan, kearifan lokal
sebagaimana pendekatan-pendekatan lainnya, dimungkinkan
dapat lebih efektif dan produktif dibanding dengan yang
lainnya. Secara teoritis, yang menjanjikan efektifitas kearifan
lokal sebagai pendekatan adalah, pertama, ia merupakan bagian
dari sejarah hidup masyarakat. Masyarakat sudah mengenalnya
baik sebagai konsep maupun sebagai praktik. Kedua, inheren
dalam konsep kearifan lokal adalah pemosisian masyarakat
sebagai subyek, bukan obyek. Mereka berposisi sebagai orang
yang mengetahui sebab dan akibat masalah (konflik misalnya),
dan karenanya diasumsikan dapat merumuskan resolusi atau
pemecahannya.

Samsul Maarif
(CRCS, Sekolah Pascasarjana UGM)

vii
Pengantar Penulis

PENGANTAR PENULIS

Keragaman suku bangsa di Papua beserta


sistem kebudayaannya sangat kaya. Pada satu
sisi, keragaman tersebut seringkali melahirkan
konflik. Penyebab konflik ini lebih karena
persoalan ringan. Konflik menjadi besar karena
dibumbui dengan identitas kesukuan dan atau
identitas keagamaan. Di sisi lain, sebagaimana
banyak riset akademik menyebutkan, keragaman
ini berhasil membentuk kepribadian dan sistem
moral masyarakat Papua. Menyadari besarnya
potensi konflik oleh karena banyaknya suku
bangsa, hampir setiap suku bangsa dan adat
di Papua memiliki mekanisme kultural yang
dibangun untuk menyelesaikan konflik dengan
damai. Mereka membangun mekanisme untuk
membuat kesepakatan-kesepakatan kultural
agar para pihak yang berkonflik melupakan
segala persoalan, tidak mengulangi konflik,
dan membangun toleransi serta perdamaian
ke depan. Sayangnya, kekayaan itu tidak
mengemuka. Ia tenggelam oleh ramainya
diskursus politik, sumber daya alam, dan konflik

ix
Mutiara Terpendam

kepentingan di Papua. Dalam konteks inilah pengungkapan


kekayaan nilai budaya dari tradisi lokal suku bangsa di Papua
sangat penting.
Kajian ini tidak dimaksudkan menelisik seluruh aspek
hidup orang Papua. Ia hanya ingin mengajak menilik ulang
kekayaan budaya suku-suku bangsa di Papua. Di mana hal ini
lepas dari upaya pembangunan Papua selama ini. Perbincangan
tentang Papua lebih fokus pada kajian politik, sumber daya alam,
dan konflik. Tiga kajian tersebut dikhawatirkan menimbulkan
gangguan dalam membangun perdamaian dan toleransi di
Papua. Dalam membincangkan politik, konflik, dan sumber
daya tetap penting untuk mempertimbangkan aspek kekayaan
kultural yang dimiliki Papua. Mempertimbangkan kekayaan
budaya Papua akan banyak memberi kontribusi positif dalam
membangun perilaku maupun pengambilan kebijakan. Selain
itu, kekayaan Papua bukanlah melulu pada sumber daya alamnya.
Papua juga kaya budaya. Kekayaan kultural ini layak menjadi
modal untuk membangun masa depan, bahkan memperkuat
perdamaian dan toleransi di Papua. Tidak terhitung riset
akademik yang menelisik kekayaan budaya Papua, utamanya
kekayaan tradisi lokalnya. Hampir semua riset itu memberikan
tekanan pada nilai kultural yang menuntun laku hidup orang
Papua. Dengan kata lain, menekankan aspek kekayaan budaya
jauh lebih bermakna daripada hanya fokus pada aspek politik,
sumber daya alam, dan konfliknya. Mengkaji tiga hal terakhir
itu penting. Akan tetapi, mestinya, pengetahuan tentang budaya
Papua menjadi pertimbangan dominan dalam membangun
Papua ke depan.
Karya ini hadir dengan semangat ingin melengkapi diskusi
tentang Papua yang sudah berlangsung lama di banyak tempat,
baik di Papua maupun di luar Papua. Tulisan ini mengkaji
kekayaan suku bangsa dengan tradisi lokal dan keragaman
agama. Menyangkut adat dan agama, tulisan ini memang tidak
secara rinci menjelaskan proses ritual, misalnya, tetapi hanya

x
Pengantar Penulis

mengambil nilai kulturalnya yang penulis anggap sebagai mutiara


terpendam dalam membingkai dan memperkuat perdamaian di
Papua. Meskipun demikian, tulisan ini juga belum sempurna.
Pengamatan langsung terhadap praktik ritual dan kehidupan
masyarakat Papua relatif minim. Kelemahan ini, setidaknya,
terjembatani dengan adanya FGD dan workshop yang penulis
ikuti di Papua dan Yogyakarta. Hasil-hasil riset tentang Papua
juga sangat menyumbang dalam memberikan banyak data,
utamanya yang fokus pada tradisi lokal, ritual lokal, kehidupan
suku bangsa, dan kehidupan keagamaan di Papua. Riset-riset
antropologi tersebut sangat membantu dalam memahami dan
menafsirkan makna dari tradisi, ritual, kehidupan suku bangsa,
dan kehidupan keagamaan di Papua. Oleh karena kelemahan
itu pula, penulis membuka pintu kritik dan masukan untuk
pengembangan kajian lebih lanjut.
***

Tulisan ini dibagi dalam tiga bab utama. Bab kedua akan
mendiskusikan tentang situasi Papua. Situasi Papua ini meliputi
migrasi, pendidikan, ekonomi, dan politik. Sistematika tersebut
mengandaikan ada kelindan yang saling mempengaruhi.
Meskipun migrasi bukan faktor satu-satunya, tetapi konteks
tersebut memiliki pengaruh besar terhadap situasi dunia
pendidikan di Papua, khususnya tentang akses pendidikan.
Terpenuhinya akses pendidikan ini kemudian berpengaruh
terhadap pemenuhan lapangan pekerjaan. Dengan kata lain,
faktor pendidikan berpengaruh terhadap situasi atau kondisi
ekonomi orang Papua. Dari sini pula, akhirnya persoalan politik
di Papua sulit ditemukan jalan keluarnya. Persoalan politik di
Papua terbatas pada kemerdekaan Papua atau tetap terintegrasi
ke dalam NKRI. Bab ketiga akan fokus pada eksplorasi
kekayaan budaya Papua, yakni tentang keragaman suku bangsa
dan agama. Keragaman-keragaman ini layak ditonjolkan
sebagai kekuatan kultural yang kaya di Papua. Kemudian bab
keempat melanjutkan bab ketiga. Yaitu membahas keragaman

xi
Mutiara Terpendam

suku bangsa dan agama di Papua yang merupakan modal sosial


berharga untuk perdamaian. Kita tidak perlu mencari sumber
kekuatan kultural dari luar Papua, jika ingin membangun
perdamaian di Papua.
***

Dalam menyusun karya ini, penulis melibatkan banyak


pihak, baik pihak-pihak di tempat penulis bekerja (CRCS)
maupun di luarnya. Penulis ingin mengucapkan terimakasih
kepada semua yang membantu tersusunnya tulisan ini. Ucapan
terimakasih pertama yang harus penulis sampaikan adalah
kepada Program Studi Agama dan Lintas Budaya (CRCS)
Sekolah Pascasarjana, UGM, yang mendukung sepenuhnya
penulisan karya ini. Khususnya kepada Mas Suhadi, yang
pertama sekali menantang penulis mengambil pekerjaan ini
dan banyak memfasilitasi diskusi draft rancangan buku ini.
Banyak terimakasih juga atas kesediaannya melakukan editing
buku ini. Terimakasih kepada Pak Zainal Abidin Bagir dan
Mas Samsul Maarif yang memberikan banyak masukan dalam
menentukan arah karya ini, Mas Agus Indiyanto yang bersedia
menulis mapping awal tentang keragaman agama dan suku
bangsa di Papua dan Papua Barat, Endy Saputra yang membantu
berdiskusi mengenai kerangka teori. Terimakasih kepada
Marthen Tahun yang rela penulis curi waktunya beberapa kali
untuk mendiskusikan draft tulisan ini. Kepada Mas Iqbal Ahnaf,
Najiah Martiam, Bapak Idrus al-Hamid, Mas Suparto Adam
Iribaram, Mas Yamin, dan Mas Umar (empat yang terakhir ini
dari STAIN al-Fatah Jayapura), dan masih banyak lagi atas
diskusi baik secara formal maupun informal mengenai tulisan
ini. Hal yang sama juga penulis sampaikan kepada peserta
FGD dan Workshop Keragaman dan Kerukunan di Papua di
Jayapura dan Yogyakarta. Meskipun keterlibatan mereka sangat
mendalam dalam proses penulisan, keseluruhan isi dari karya ini
tetap menjadi tanggungjawab penulis.

xii
Pengantar Penulis

Dukungan berarti lainnya dalam proses penulisan buku


ini adalah seluruh mahasiswa CRCS yang tergabung dalam
Divisi Riset (khususnya Bidang Data Center) dan juga para
alumni CRCS yang telah banyak membantu pencarian literatur.
Di antara yang dapat penulis sebutkan adalah Saiful Hakam
dan Paulus Widianta, yang sejak awal membantu melakukan
penelusuran literatur tentang Papua. Ichyak Ulumuddin
yang bersedia memetakan literatur tentang Papua. Hidayatul
Wahidah, Irza Meliana, Sulfia, dan Rahmanto yang membantu
melakukan anotasi bibliografi tentang Papua. Last but not least,
pekerjaan ini sungguh tidak mudah diselesaikan tanpa bantuan
dan suasana hangat semua staf CRCS, yang menjadi bagian
penting dalam proses penulisan karya ini: Lina Pary, Nurlina
Zulkarnain, Farida Arini, Widi, Mas Agus Catur Suprono,
dan Mas Bibit Suyadi. Kepada mereka penulis sampaikan
terimakasih sedalam-dalamnya.

Yogyakarta, Januari 2015

xiii
Mutiara Terpendam

Daftar Isi

Kata Pengantar >> iii


Pengantar Penulis >> ix
Bab I Pendahuluan >> 1
A. Etnisitas dan Agama >> 7
B. Modal Sosial >> 8
C. Keragaman Suku Bangsa sebagai Modal Sosial >> 10
Bab II Membaca Situasi Papua >> 13
A. Migrasi >> 14
1. Sejarah Migrasi >> 15
2. Pengaruh Migrasi >> 18
B. Komposisi Penduduk >> 19
C. Pendidikan >> 20
D. Ekonomi >> 24
1. Sumber Daya Ekonomi >> 24
2. Kemiskinan dan Akses Ekonomi >> 26
E. Politik >> 29
Bab III Keragaman Suku Bangsa dan Agama di Papua >>43
A. Suku Bangsa >> 44
B. Agama >> 47
C. Keragaman Suku Bangsa >> 50
D. Keragaman Agama >> 57
Bab IV Kearifan Lokal dan Agama Sebagai
Modal Perdamaian >> 61
A. Modal Perdamaian dari Kearifan Lokal >> 61
B. Modal Perdamaian dari Agama >> 69
Bab V Penutup >> 75
Daftar Pustaka >> 80
Biodata Penulis >> 86

xiv
Pendahuluan

BAB I
PENDAHULUAN

Papua memiliki beragam suku bangsa


dan bahasa. Masing-masing suku bangsa
memiliki sistem kebudayaan yang berbeda.
Pemaknaan mereka pun beragam tentang
alam sekitarnya. Suku bangsa yang bergaul
setiap hari dengan gunung dan hutan
memiliki perbedaan pemahaman tentang alam
dibanding suku bangsa yang menetap di pantai.
Sistem pencaharian mereka pun beragam.
Keberagaman banyak hal tersebut memiliki
pengaruh terhadap sistem pengetahuannya.
Hal ini berdampak pada perilaku keseharian,
norma sosial, model ritual, dan sebagainya.
Keragaman inilah yang patut memperoleh
perhatian. Kekayaan tradisi lokal memberikan
banyak pengetahuan tentang nilai kultural
yang hidup dan berkembang. Mempelajari
suku-suku bangsa di Papua memberi kekayaan
nilai yang luar biasa. Nilai-nilai yang dapat
menjadi modal berharga untuk membangun

1
Mutiara Terpendam

Papua sendiri. Oleh karena itu, kehidupan suku bangsa beserta


kebudayaannya memiliki nilai penting untuk dipelajari.
Pengetahuan tentang kebudayaan yang beragam di Papua,
sedikit atau banyak, akan menjadi landasan dalam merancang
bangunan masa depan perdamaian di Papua. Kekurangpahaman
atau minimnya pengetahuan tentang kekayaan kebudayaan
tersebut berimplikasi pada kekeliruan dalam memahami hati
orang Papua. Apalagi menghindar untuk memahami kultur dan
tata hidup orang Papua, dapat dimungkinkan muncul perilaku
yang, dari sisi norma, bertentangan dengan etika hidup orang
Papua, atau bahkan melukai mereka. Sebenarnya, hal ini berlaku
umum. Pengetahuan tentang kebudayaan suatu daerah akan
sangat bermanfaat untuk mengetahui pola hidup, pola perilaku,
dan sistem nilai yang digunakan.
Pengabaian terhadap kebudayaan mungkin juga akan
berakibat pada munculnya reaksi-reaksi yang berlebihan
terhadap persoalan yang berkembang. Minimnya pengetahuan
tentang kebudayaan akan berimplikasi pada pemecahan masalah
yang terjadi di tingkat lokal dengan sudut pandang berbeda.
Sudut pandang yang sama sekali tidak mempertimbangan nilai
lokal. Dalam konteks Papua, terjadinya konflik politik antara
orang Papua dan pemerintah Pusat adalah salah satu contoh
dari lemah dan minimnya pengetahuan tentang budaya lokal.
Pada gilirannya konflik politik yang berkepanjangan akhirnya
memunculkan gagasan dialog. Dialog sebagai upaya mencairkan
hubungan dan mencari jalan keluar yang menguntungkan kedua
pihak. Dari sinilah, dialog menjadi cara yang dapat dipahami
oleh orang Papua dan pemerintah pusat.
Dialog kemudian menjadi kata kunci. Semula istilah ini
lahir dari pemerintah pusat. Tetapi kemudian ia justru tumbuh
dari kultur suku-suku bangsa di Papua yang sebenarnya lebih
mengedepankan cara ini dalam tata hidupnya ketimbang
perang atau konflik. Bagi orang Papua, dialog merupakan cara
terbaik menyelesaikan persoalan antarsuku bangsa di Papua.

2
Pendahuluan

Keragaman yang ada di Papua tecermin dari banyaknya suku


bangsa. Keragaman itu sebenarnya menyimpan titik-titik nilai
yang sama dalam setiap tata hidup suku-suku bangsa di Papua:
perdamaian dan dialog. Dari nilai inilah dialog seharusnya
menjadi titik tekan dalam menyelesaikan konflik Papua.
Meskipun demikian, dialog pun mensyaratkan hal lain jika
tujuan dialog adalah dalam rangka kesejajaran posisi antara Papua
dengan Jakarta dan daerah-daerah lain, yaitu kesejahteraan. Tanpa
mempertimbangkan dampak pembangunan terhadap orang
Papua, dapat dipastikan persoalan tidak mudah diselesaikan.
Pembangunan Papua sudah demikian pesat dari sisi ekonomi dan
produksi. Tetapi orang Papua (khususnya di desa dan gunung)
belum sepenuhnya merasakan dampak dari pembangunan
itu. Banyak sekali industri dan penambangan, tetapi pengaruh
ekonominya belum menjamah ke pedalaman Papua.
Jika ditilik dari sejarah, kondisi masyarakat Papua tersebut
memiliki riwayat panjang. Mungkin, bahkan Papua memiliki
pengalaman sejarah yang berbeda dengan daerah lain. Perbedaan
ini ditandai oleh masih berkuasanya Belanda di Papua hingga
1962. Itulah sebabnya mengapa perkembangan nasionalisme
Indonesia di provinsi ini memiliki corak berbeda. Perbedaan
ini mulai tampak sejak proses tersemainya nasionalisme Papua
pada 1925 dan nasionalisme Indonesia pada 1945 di Papua.
Richard Chauvel (2005) memberikan penjelasan bahwa salah
satu faktor penyebab munculnya nasionalisme Papua terletak
pada perjalanan sejarah Papua yang menyangkut perbedaan dan
persaingan antara orang Papua dan orang Indonesia (seperti
Ambon, Kei, Manado, dan Sangir), baik sebelum perang Pasifik
1942 maupun selama 1944-1962. Nasionalisme Papua lahir dari
benih yang ditanamkan Belanda. Sementara benih nasionalisme
Indonesia ditanamkan oleh orang Indonesia dari orang-
orang Indonesia bagian timur. Dari sinilah, penjelasan Chauvel
disepakati Meteray (2012: 19-27) yang menyebut orang Papua
kemudian memiliki nasionalisme ganda (dual nationalism).

3
Mutiara Terpendam

Namun, pemerintah Belanda saat itu mengesankan bahwa


mereka lebih memahami budaya orang Papua ketimbang
pemerintah Indonesia. Hal ini nampak pada pendekatan yang
dilakukan pemerintah kolonial Belanda kepada orang Papua.
Akibatnya, orang Papua merasa berbedadengan orang Indonesia.
Pemerintah Hindia Belanda menempatkan beberapa orang Papua
dalam posisi strategis pemerintahannya. Sementara pasca Papua
menjadi bagian dari Indonesia, pemerintah menempatkan posisi
orang Papua jauh di bawahnya. Beberapa jabatan penting di masa
pemerintahan Hindia Belanda di Papua diberikan kepada orang
Papua. Sebaliknya, ketika Papua menjadi bagian dari Indonesia,
beberapa jabatan pemerintahan di Papua tidak diberikan kepada
orang Papua. Posisi-posisi tersebut diberikan kepada orang luar
Papua yang dikirim ke Papua. Persoalan di atas, setidaknya, dapat
menjadi ilustrasi bagaimana posisi Papua. Pada satu sisi, ia
sangat tidak dapat dilepaskan dari nasionalisme Indonesia. Di sisi
lain, Papua belum merasakan detak nasionalisme tersebut dalam
kehidupan kesehariannya. Orang Papua belum sepenuhnya
merasakan manfaat menjadi bagian dari Indonesia.
Problem lama ini, akibatnya, tidak pernah lepas dari
persoalan politik. Masing-masing pihak, antara pemerintah
pusat ( Jakarta) dan Papua, memiliki perbedaan perspektif
yang tajam mengenai hal itu. Indonesia berusaha mendesakkan
isu nasionalisme Indonesia kepada orang Papua. Sementara
orang Papua ingin dihargai sebagai pemilik tanah Papua. Dua
perspektif ini melahirkan konflik panjang, meskipun banyak
pihak berusaha mencari solusi kondisi ini.
Rumitnya persoalan konflik politik tersebut sengaja
dihindari oleh tulisan ini. Sebagaimana dijelaskan di atas
tentang makna pentingnya kekayaan budaya di Papua, tulisan
ini lebih memilih menjelaskan tentang sisi lain Papua, yakni
fenomena sosial dan budaya Papua. Penelusuran terhadap
aspek tersebut, setidaknya, akan mengantarkan pada penjelasan
lebih jauh tentang upaya pembangunan Papua dari sisi budaya

4
Pendahuluan

dan manusianya. Sisi kebudayaan dan kemanusiaan ini belum


banyak disentuh dalam tulisan-tulisan akademis tentang Papua.
Celah ini yang ingin ditelisik melalui penggalian kehidupan
sosial, budaya, dan agama di Papua. Bagaimana kehidupan sosial,
budaya, dan agama di Papua? Seberapa besar modal sosial tersebut
dapat dimanfaatkan untuk membangun visi perdamaian dan
toleransi di Papua? Pertanyaan-pertanyaan ini dianggap mampu
mengisi celah dalam pengkajian tentang Papua. Namun, untuk
mengetahui lebih dalam mengenai hal-hal tersebut, lebih
dahulu akan dipaparkan mengenai situasi Papua dari empat
aspek berikut: migrasi, pendidikan, ekonomi, dan politik. Empat
hal ini dianggap sebagai latar penting untuk memahami Papua.
Latar ini bermanfaat untuk lebih dalam menyelami tentang sisi
kebudayaan dan kemanusiaan Papua.
Istilah Papua dalam tulisan ini tidak dimaksudkan
membatasi hanya tentang Provinsi Papua, melainkan mencakup
Provinsi Papua Barat dan Provinsi Papua. Papua dimaknai
sebagai tanah Papua secara keseluruhan. Dalam konteks tertentu,
istilah Papua Barat kadang akan dipakai. Kemunculan itu hanya
dimaksudkan untuk memperjelas uraian, khususnya yang
menunjuk lokasi. Sebagaimana diketahui, Provinsi Papua Barat
adalah pemekaran dari Provinsi Papua. Namun pemekaran ini
tidak besar pengaruhnya terhadap konstruksi identitas kultural
orang Papua. Ia hanya bersifat lebih administratif.
Pemekaran dimaksudkan untuk meratakan pembangunan.
Pembangunan yang sejak dulu tersendat di Papua. Pemekaran
dinilai sebagai solusi untuk mempermudah akses dan jangkauan
pembangunan dan persoalan pengurusan administrasi. Persoalan
kesulitan akses memang tidak kunjung selesai, meskipun Papua
sudah memiliki Otonomi Khusus (Otsus). Selain tentang akses,
problem-problem lain sering muncul, baik persoalan ekonomi,
kependudukan, kesehatan, dan sebagainya. Jika dilihat lebih
mendalam, ada beberapa faktor yang membuat Papua memiliki
kompleksitas persoalan terutama pasca implementasi Otsus.

5
Mutiara Terpendam

Pertama, proses menghilangkan pengaruh kolonial Belanda,


dan utamanya Pepera, pada tahun 19611963 dianggap tidak
pernah melibatkan rakyat Papua secara keseluruhan. Adalah
wajar jika sampai saat ini masih ada tuntutan dari beberapa pihak
untuk mengkaji kembali aspek historis dari proses integrasi
wilayah Papua ke dalam NKRI. Kedua, masyarakat Papua telah
mengalami peminggiran yang disebabkan oleh faktor internal
dan eksternal. Faktor internal lebih disebabkan oleh kapasitas
dan kultur lokal. Sementara, bersamaan dengan itu, kehadiran
faktor luar sangat besar pengaruhnya terhadap perkembangan
Papua, baik dari sisi persaingan ekonomi, fenomena migrasi,
dan disparitas pembangunan desa dan kota. Ketiga, Papua masih
menyimpan masalah terkait hubungannya dengan pemerintah
pusat. Hubungan Papua-Jakarta ini sampai sekarang tetap
didiskusikan untuk mencari solusinya. Dialog merupakan satu-
satunya cara yang diinginkan oleh kedua pihak. Yang menjadi
masalah adalah model dialognya. Dalam tulisan ini disebutkan
beberapa model dialog yang pernah dilakukan dan model yang
sedang dilakukan.
Sebelum lebih jauh, buku ini ingin fokus pada keragaman
di Papua. Dalam rangka itu, buku ini memakai beberapa teori
yang dimanfaatkan untuk membungkus eksplorasi lebih jauh
tentang keragaman suku bangsa dan agama. Bahwa keragaman
suku bangsa dan agama di suatu daerah, sebagaimana terlihat
dari kondisi sosial di Papua, pada dasarnya dapat dipandang
sebagai aset kolektif suatu masyarakat. Dengan kata lain,
keragaman suku bangsa merupakan bagian dari modal sosial
(social capital) karena mengandung kekayaan nilai-nilai kultural
yang dapat dikembangkan untuk membangun masyarakat.
Meski demikian, keragaman suku bangsa juga berpotensi
menciptakan konflik dan isolasi sosial. Selain itu, keragaman
suku bangsa di Papua juga disebabkan migrasi dari luar Papua,
misalnya, suku Jawa yang mayoritas Islam dimigrasikan dalam
program transmigrasi. Pada konteks ini, keragaman suku bangsa
dan agama berpotensi menjadi modal sosial karena mencakup

6
Pendahuluan

pula sistem nilai yang diyakini oleh masing-masing anggota


suku bangsa.
A. Etnisitas dan Agama
Menurut Gerry van Klinken (2004: 64-87) dalam artikel
Ethnicity in Indonesia, etnisitas diidentifikasi sebagai sebuah
kultur, berupa sistem adat, kepercayaan, dan agama. Etnisitas
kadang juga diartikan punya sifat isolatif pada sebuah masyarakat
yang tertutup di satu wilayah. Selain itu, Klinken menelusuri
konsep yang disarankan Fredrik Barth yang mengartikan
etnisitas sebagai akibat dari interaksi salah satu suku bangsa
dengan suku bangsa lain. Dengan kata lain, identitas salah satu
suku bangsa tidak berasal dari dalam suku bangsa itu sendiri,
melainkan berhubungan dengan kelompok suku bangsa lainnya.
Etnisitas bukanlah terbentuk dari isolasi, tapi interaksi (Klinken
2004). Etnisitas mencakup kepercayaan nenek-moyang, memori
kolektif, gagasan kekeluargaan, bahasa, dan agama. Seringkali
etnisitas bertalian dengan agama. Di Indonesia sendiri, etnisitas
dan agama memiliki pengaruh dalam sejarah konflik di
masyarakat.
Sejak zaman kolonialisme Belanda, perbedaan suku bangsa
dan agama menjadi cara kekuasaan politik menciptakan konflik
di Indonesia. Kita dapat merunutnya, antara lain, konflik Ambon
(Kristen dan Muslim), Partai Kristen Protestan mewakili suku
bangsa lokal Batak di Tapanuli Utara (1955), pemberontakan
Darul Islam tahun 1950-an di Aceh yang bersifat etnik, konflik
di Poso (Sulawesi Tengah) pasca-1998 melibatkan agama dan
asal usul tempat. Klinken menunjukkan bagaimana etnisitas
merupakan entitas yang diciptakan atau dibuat. Etnisitas
seringkali dikonstruksi oleh elit politik untuk menciptakan
krisis. Selain itu, Klinken menyebutkan mayoritas konflik suku
bangsa di Indonesia menggambarkan lima karakteristik yang
diajukan Ted Gurr dan rekan-rekannya yang memeriksa 233
konflik suku bangsa di seluruh dunia dalam empat dekade sejak
Perang Dunia Kedua.

7
Mutiara Terpendam

Ted Gurr, sebagaimana dikutip Klinken, membagi konflik


suku bangsa ke dalam lima kategori: (1) Etnonasionalis, satuan
etnik yang hidup dalam wilayah tertentu dan ingin memisahkan
diri dari negara (misalnya: Aceh, Papua); (2) Persaingan komunal,
persaingan antarkelompok untuk meraih kekuatan politik
(Kristen vs Muslim di Ambon dan Poso); (3) Etnokelas, upaya suku
bangsa tertentu untuk mencapai persamaan hak dan mengatasi
diskriminasi sebagai imigran dan minoritas; (4) Masyarakat adat,
hidup dalam wilayah tertentu dan menginginkan otonomi yang
lebih besar dari negara yang memerintah untuk melindungi
tanah adat (misalnya: Papua, Dayak Kalimantan); dan (5) Sekte
agama militan, kelompok-kelompok kecil yang berjuang untuk
ideologi agama (misalnya Laskar Jihad). Kategori-kategori
tersebut kenyataannya kadang tidak berlangsung secara terpisah.
Seringkali konflik suku bangsa berlatar agama sebenarnya
dipengaruhi persaingan komunal dari kalangan elit tertentu untuk
merebut kekuasaan. Pada konteks di Papua, Klinken melihat
konflik suku bangsa di sana memiliki unsur etnonasionalisme
dan masyarakat adat. Setelah tahun 1999, selain di Aceh, salah
satu gerakan ethnonationalist di Indonesia berlangsung di Papua
Barat. Sebelumnya, etnonasionalisme berlangsung di Ambon
(Republik Maluku Selatan) yang bercampur dengan politik
agama Kristen versus Islam.
Konflik suku bangsa di Indonesia mayoritas dilatarbelakangi
dua hal: agama dan tempat asal. Sejak 1920-an, menurut
Klinken, agama telah menjadi jantung politik Indonesia sejak
munculnya gerakan nasionalis. Hingga Orde Baru, agama dan
tempat asal dijadikan sarana menegakkan otoritarianisme atas
keragaman suku bangsa di Indonesia.
B. Modal Sosial
Menurut Bhandari dan Yasunobu, konsep modal sosial
(social capital) merupakan analisis yang menggabungkan sistem
nilai sosial-budaya yang multi-dimensional untuk menjelaskan
hasil dari suatu perkembangan sosial (Bhandari & Yasunobu

8
Pendahuluan

2009: 486). Konsep ini secara historis mengacu pada kajian para
sosiolog dan ekonom, seperti Adam Smith, John Stuart Mill,
dan Max Weber, yang memperlakukan kebudayaan sebagai
penjelasan gejala ekonomi. Umumnya, konsep ini dianggap
bersifat abstrak, karena berakar pada ide tentang kepercayaan
(trust), norma, jaringan informal, nilai-nilai, keyakinan,
kewajiban, kolektivitas, pertemanan, keanggotaan, keterlibatan
masyarakat, informasi, dan lembaga kolektif, yang berkontribusi
terhadap pembangunan sosial dan ekonomi.
Mayoritas teori modal sosial sama-sama menekankan
hubungan sosial yang menghasilkan keuntungan yang
produktif. Perbedaannya, terdapat teori yang menganggap
modal sosial sebagai sumber daya pribadi, sedangkan teori yang
lain menganggapnya sebagai sumber daya sosial. Teori-teori
tersebut memandang dasar modal sosial adalah hubungan sosial
yang menimbulkan manfaat bagi individu dan kolektif, yang
dibangun secara komunikatif. Bangunan kolektif ini memiliki
unsur-unsur yang penting, yakni: jaringan sosial (keluarga,
teman, masyarakat, dan asosiasi), norma-norma (norma-norma
bersama, nilai-nilai, dan perilaku), dan kepercayaan (pada orang
dan lembaga). Ketiga kategori ini dianggap sebagai sumber daya
kolektif yang berpengaruh positif pada pembangunan ekonomi.
Menurut Bhandari dan Yasunobu, Pierre Bourdieu
membedakan tiga bentuk modal sebagai aset kolektif yang
bersifat instrumental, yakni ekonomi, budaya, dan sosial.
Bordieu menekankan pentingnya jaringan sosial melalui
peluang dan keuntungan yang tersedia bagi anggota suatu
kelompok. Bourdieu mengindentifikasi tiga unsur modal sosial:
(a) hubungan sosial yang memungkinkan aktor mendapatkan
akses ke sumber daya; (b) jumlah sumber daya yang dihasilkan
oleh totalitas hubungan antara aktor; dan (c) kualitas sumber
daya tersebut.
Teori yang lain dikemukakan Coleman. Ia mengidentifikasi
modal sosial pada tataran fungsi, yakni berupa kombinasi

9
Mutiara Terpendam

entitas-entitas dalam struktur dan tindakan sosial. Coleman


mengindentifikasi tiga bentuk modal sosial: kepercayaan,
saluran informasi, dan arus informasi. Bagi Bourdieu dan
Coleman, jaringan sosial dipandang sebagai sarana kolektif
yang dapat dikelola. Sementara Hartmut Esser menunjukkan
dua aspek mendasar dari modal sosial, menyangkut produksi
dan penggunaannya. Selain menunjukkan sifat individual dan
kolektif yang selama ini dikemukakan teori modal sosial, Esser
kemudian membedakan antara: (1) modal sosial relasional,
yang menunjuk ke sumber daya yang tersedia untuk aktor
individual memanfaatkan relasi interpersonal dengan aktor
lain yang mengontrol sumber daya sosial; dan (2) modal sosial
sistem, yang merupakan properti dari struktur sosial, berupa
sistem kolektif para aktor, seperti memfungsikan kontrol sosial,
sistem kepercayaan, dan sistem moralitas, dalam kelompok,
organisasi, komunitas, dan wilayah (Esser 2008: 23-25). Nan
Lin mengembangkan teori berbasis jaringan modal sosial. Ia
membedakan modal sosial sebagai: (1) sumber daya yang
tertanam dalam satu jaringan sosial, (2) sumber daya yang dapat
menjadi akses melalui hubungan di dalam jaringan sosial. Teori
Nan Lin menekankan koherensi dan produksi dalam modal
sosial (Lin 2008: 50-69).
C. Keragaman Suku Bangsa sebagai Modal Sosial
Robert Putnam mengawali kajian tentang relasi modal
sosial dengan keragaman suku bangsa yang dipengaruhi proses
imigrasi. Ia mendasarkan modal sosial sebagai hubungan
timbal balik antarindividu dalam jaringan sosial, norma-norma,
dan kepercayaan yang muncul di antara mereka. Jaringan
sosial merupakan nilai, di mana kontak sosial mempengaruhi
produktivitas individu dan kelompok. Jumlah asosiasi dan
partisipasinya menunjukkan kekayaan modal sosial dalam
masyarakat. Dengan kata lain, modal sosial membutuhkan
persyaratan berupa keterlibatan masyarakat, partisipasi dalam
organisasi, dan hubungan sosial yang berpotensi meningkatkan

10
Pendahuluan

dan menguatkan norma-norma kepercayaan. Keterlibatan sipil


dalam jaringan sosial berfungsi memfasilitasi, mengkoordinasi,
berkomunikasi, memperkuat reputasi, dan menyelesaikan konflik
kolektif. Dalam penelitiannya di Amerika Serikat berjudul E
Pluribus Unum: Diversity and Community in the Twenty-first
Century, Putnam menyimpulkan, bahwa keragaman suku bangsa
memicu munculnya isolasi sosial tiap kelompok suku bangsa
terhadap kelompok suku bangsa lainnya (Putnam 2007: 141).
Hal ini mengakibatkan berkurangnya salah satu unsur modal
sosial, yakni kepercayaan. Isolasi sosial tersebut juga memicu
seleksi individual dalam melakukan komunikasi dalam jaringan
sosial.
Maurice Gesthuizen, Tom van der Meer, dan Peer
Scheepers menerapkan teori Robert D. Putnam tentang modal
sosial pada konteks keragaman suku bangsa (Gesthuizen et.al.
2009: 121-142). Mereka menguji tesis Putnam, yang masih
abstrak dan kurang empiris, tentang adanya isolasi sosial yang
dipengaruhi keragaman suku bangsa. Jika Putnam melakukan
riset di Amerika dan menyimpulkan adanya relasi negatif
antara keragaman suku bangsa dan modal sosial, mereka justru
menemukan relasi yang lebih positif dan kompleks di negara-
negara Eropa. Dengan metodologi dan analisis yang berlapis-
lapis, dari statistik, wawancara, bermacam variabel, dan berlapis
indikator, mereka mengukur pengaruh keragaman suku bangsa
terhadap modal sosial warga negara Eropa. Selain melalui
kuisioner, sekitar 27.000 orang diwawancarai secara tatap muka.
Temuan mereka justru membantah tesis-tesis yang dikemukakan
Putnam. Konflik suku bangsa di Amerika yang diteliti Putnam
mungkin juga dipengaruhi keragaman suku bangsa, karena
secara hipotesis aspek heterogenitas suku bangsa dapat memicu
solidaritas kelompok suku bangsa, sekaligus mengisolasi
anggotanya dari kelompok suku bangsa lain. Sebaliknya dari
tesis Putnam, ketiga peneliti tersebut justru menemukan jumlah
konflik yang sangat sedikit dalam masyarakat Eropa yang
beragam.

11
Mutiara Terpendam

Pada dasarnya, ketiga peneliti ini meletakkan dua variabel,


yakni variabel kontekstual dan individual. Tiap variabel masih
diklasifikasikan lagi menjadi beberapa indikator. Variabel
individual bersifat independen, mencakup indikator kepercayaan
antarpribadi (interpersonal trust), pendidikan, jenis kelamin, usia,
pekerjaan, urbanisasi, dan status perkawinan. Tiap indikator juga
masih dibagi lagi. Misalnya, indikator kepercayaan antarpribadi
dibagi ke dalam pertanyaan-pertanyaan dengan pilihan jawaban
yang formal dan informal. Artinya, relasi-relasi individu dalam
masyarakat apakah memiliki karakteristik yang resmi (pertemuan
organisasi masyarakat) atau tidak resmi (bercakap-cakap sehari-
hari). Pada sisi yang lain, variabel kontekstual bersifat dependen,
terdiri dari ketimpangan ekonomi, jaminan sosial, sejarah
demokrasi negara (jaminan keamanan dan kesejahteraan), dan
prosentase imigran.

12
Membaca Situasi Papua

BAB II
MEMBACA SITUASI PAPUA

Bab ini akan menampilkan kondisi kepen-


dudukan, pendidikan, ekonomi, dan politik
masyarakat Papua. Sebagian besar bahan yang
digunakan pada bagian ini adalah data statistik,
baik yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik
(BPS) maupun dari literatur lain tentang
Papua. Di bawah ini akan dijelaskan lebih rinci
mengenai kondisi migrasi, pendidikan, ekonomi,
dan politik di Papua sebagai latar kajian bab-
bab berikutnya. Beberapa hal tersebut dianggap
sebagai pengetahuan yang penting untuk
mengetahui dinamika Papua dewasa ini.

13
Mutiara Terpendam

A. Migrasi
Kenyataan yang tidak dapat dipungkiri bahwa perubahan
sosial dan ekonomi yang terjadi di Papua dan Papua Barat
banyak dipengaruhi oleh migrasi. Migrasi ikut mewarnai
sejumlah perubahan dan dinamika di banyak aspek kehidupan
di Papua. Maksud migrasi di sini adalah perpindahan penduduk
dari luar wilayah Papua dan Papua Barat ke dua provinsi ini.
Migrasi dapat bersifat sukarela (berdagang dan lain-lain), tapi
juga karena tugas kemiliteran dan kepegawaian, atau bahkan
keagamaan.
Secara sederhana migrasi didefinisikan sebagai aktivitas
perpindahan. Sedangkan secara formal, migrasi didefinisikan
sebagai perpindahan penduduk dengan tujuan untuk menetap
dari suatu tempat ke tempat lain yang melampaui batas politik/
negara atau pun batas administrasi/batas bagian suatu negara.
Bila melampaui batas negara maka disebut dengan migrasi
internasional (migrasi internasional). Sedangkan migrasi
dalam negeri merupakan perpindahan penduduk yang terjadi
dalam batas wilayah suatu negara, baik antardaerah atau pun
antarprovinsi. Pindahnya penduduk ke suatu daerah tujuan
disebut dengan migrasi masuk. Sedangkan perpindahan
penduduk keluar dari suatu daerah disebut dengan migrasi
keluar (Depnaker dalam Safrida 2014).
Definisi di atas kemudian diperjelas dengan definisi
yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik (BPS). Bahwa migrasi
adalah perpindahan seseorang melewati batas administrasi
provinsi menuju provinsi lain dalam jangka waktu enam bulan
atau lebih. Lebih jauh lagi, BPS menjelaskan bahwa terdapat
tiga jenis migran antarprovinsi. Migran semasa hidup (life
time migrant) adalah mereka yang pindah dari tempat lahir ke
tempat tinggal sekarang, atau mereka yang tempat tinggalnya
sekarang bukan di wilayah provinsi tempat kelahirannya.
Migran risen (recent migrant) adalah mereka yang pindah
melewati batas provinsi dalan kurun waktu lima tahun terakhir

14
Membaca Situasi Papua

sebelum pencacahan. Migran total adalah orang yang pernah


bertempat tinggal di tempat yang berbeda dengan tempat
tinggal pada waktu pengumpulan data (Safrida 2014; Munir
2011: 133-153).
Dalam tulisan ini, istilah migrasi yang digunakan adalah
perpindahan penduduk dari tempat lahir ke tempat tinggal
sekarang, atau mereka yang tempat tinggalnya sekarang bukan
di wilayah provinsi tempat kelahirannya, life time migration.
1. Sejarah Migrasi
Kajian perkembangan Papua mesti mengikutsertakan
diskusi tentang dinamika migrasi di Papua. Sejarah Papua
selalu berkelindan dengan pengaruh migrasi. Migrasi dapat
melalui jalur kekuasaan atau pemerintahan dan kadang selalu
diiringi dengan perdagangan. Migrasi karena faktor politik/
pemerintahan dimulai sejak Kepulauan Raja Ampat masuk
menjadi wilayah kerajaan Tidore. Catatan lain menyebutkan
bahwa Papua sudah berhubungan dengan Maluku sejak abad
XV-an. Meskipun dua catatan di atas tidak dapat menemukan
kapan persisnya hubungan itu muncul. Yang dapat ditemukan
hanya catatan yang menyebutkan bahwa pada awal abad XVI para
sultan di Ternate dan Tidore saling bersaing memperebutkan
pengaruh atas Raja Ampat di Papua (Athwa 2004: 43-46).
Hubungan politik/pemerintahan ini kemudian mengalir
menjadi hubungan perdagangan, di mana akhirnya pedagang
dari dua daerah ini (Maluku dan Papua) saling migrasi. Orang
Papua migrasi ke Maluku, demikian juga sebaliknya (migrasi
dua arah).
Migrasi kedua terjadi ketika Papua menjadi bagian dari
Hindia Belanda. Migrasi ini pun berkaitan dengan sistem
pemerintahan Hindia Belanda. Pemerintah Hindia Belanda
mengambil beberapa tenaga administrasi dari Maluku, Kei, dan
Manado (Meteray 2012: 25-26). Mulai saat ini pula, agama
menjadi isu cukup sentral. Jika sebelumnya di bagian barat pulau

15
Mutiara Terpendam

Papua migrasi yang terjadi berbanding lurus dengan persebaran


Islam di sana, maka pada migrasi gelombang kedua ini, yang
terjadi di Hollandia ( Jayapura) dan Manokwari, migrasi
berbanding lurus dengan persebaran Kristen. Periode ini, Kristen
menyebar dengan sangat masif, di mana perkembangannya
bukan hanya di pusat-pusat perkotaan, melainkan juga naik
ke gunung-gunung. Harus diakui, migrasi kedua ini hanya
berkonsentrasi pada dua hal selain kekuasaan, yakni zending dan
pendidikan. Sektor ekonomi kurang memperoleh perhatian. Hal
itu berbeda dengan migrasi pertama yang selalu berbarengan
dengan perdagangan dan ekonomi (Athwa 2004: 40).
Migrasi terbesar dan hingga kini memunculkan banyak
problem adalah sejak Papua secara resmi menjadi bagian
dari Republik Indonesia pada 1969. Pemerintah Indonesia
mengirim banyak sekali pegawai pemerintahan dari wilayah
Indonesia Timur, Tengah, dan Barat (Maluku, Sulawesi Utara,
Sulawesi Tengah, dan Jawa) dan program transmigrasi yang
dilaksanakan pada masa Orde Baru. Migrasi ini berakibat pula
pada dinamika ekonomi Papua (khususnya di perkotaan), di
mana banyak migran yang melakukan perdagangan di Papua.
Efek transmigrasi pada masa ini belum terasa. Memori sejarah
orang Papua terhadap pendatang tidak dapat dielakkan dari
fenomena pasca Pepera (Penentuan Pemilihan Rakyat). Pasca
Pepera, pemerintah Indonesia mengirimkan pasukan militer
dan pegawai pemerintahan untuk mengamankan, mengawal,
dan mengawasi sistem pemerintahan di Papua. Para pendatang
ini tentu saja membawa kebudayaan yang berbeda dengan
budaya Papua. Kebudayaan pendatang yang dimaksud termasuk
di dalamnya adalah ekonomi dan agama.
Stuart Upton menyatakan bahwa baru sejak 1971 ada
catatan mengenai migrasi di Papua. Catatan pada tahun 1971
menyebutkan angka pendatang mencapai 37.251 orang dari total
jumlah penduduk Papua 923.440. Sebagian besar pendatang
menetap di Papua. Setidaknya tinggal 5-9 tahun. Mereka

16
Membaca Situasi Papua

sebagian besar berasal dari Maluku dan Sulawesi Selatan (Upton


2009: 293-299). Pada periode ini, para pendatang yang menetap
adalah para penyebar agama, pegawai pemerintah, militer,
pedagang, dan transmigran.1 Tahun 2000 (tahun 1980 dan
1990, tidak ditemukan angka migrasi), angka tersebut menjadi
420.327 pendatang dari jumlah total penduduk Papua (termasuk
Papua Barat) 2.233.530. Sejumlah 31% dari jumlah tersebut
terkonsentrasi di Jayapura, 18% di Sorong, 12% di Merauke,
dan 11% di Manokwari. Tiga daerah tersebut merupakan
lokasi-lokasi strategis secara ekonomi, kecuali Merauke.
Merauke merupakan area pedesaan yang secara ekonomi tidak
menguntungkan bagi para pendatang. Dan pendatang yang
menetap di Merauke adalah para transmigran. Mereka bertani
dan sebagian ada yang harus membuka lahan dulu untuk lahan
pertanian mereka. Sebagian kecil dari transmigran juga ada di
Manokwari (Upton 2009: 297).
Tahun 2003, perubahan perbandingan antara orang asli
Papua dan non-Papua terjadi sangat signifikan, yakni 53% (asli
Papua) dan 48% (non-Papua) (Dale & Djonga 2011: xvii). Pada
tahun 2010, jumlah pendatang mencapai 891.942 dari total
populasi penduduk Papua (Provinsi Papua dan Papua Barat)
3.593.823.2

1 Program transmigrasi dimulai pemerintah Orde Baru sejak 1961, dan


transmigrasi ke Papua dimulai sejak 1963. Lebih jauh, lihat http://groups.
yahoo.com/group/Komunitas_Papua/message/20686. Diakses 30 April 2013.
Kebijakan transmigrasi ke Papua tersebut sering dikaitkan dengan Pepera yang
dilaksanakan pada 1969. Kebijakan ini memunculkan asumsi bahwa transmigrasi
ini adalah salah satu cara Indonesia untuk mempengaruhi gagasan Nasionalisme
Indonesia, yang kemudian memperoleh hasilnya ketika dilaksanakan Pepera.
2 Diolah dari data BPS 2010. Secara kuantitatif, kondisi perbandingan angka
tersebut menunjukkan terjadinya revolusi demografis yang radikal, yang
dimungkinkan akan terjadi pula dislokasi dan displacement orang asli Papua.
Faktor dari kenaikan angka demografis yang kurang seimbang tersebut adalah
karena adanya kebijakan pemekaran wilayah yang tanpa mempertimbangkan
kesiapan orang asli Papua di daerah setempat. Akibatnya, pemekaran wilayah
sama artinya dengan membuka peluang orang non-Papua ketimbang orang asli
Papua.

17
Mutiara Terpendam

Pendatang tidak melulu berasal dari daerah luar Provinsi


Papua, melainkan juga dari dalam Provinsi Papua sendiri.
Pada tahun 2000, sebagian besar pendatang yang berasal dari
provinsi lain di Indonesia memilih Mimika, Kota Jayapura,
dan Kota Sorong (Upton 2009). Pilihan ini sangat rasional.
Mimika merupakan daerah tujuan pendatang karena terdapat
PT. Freeport Indonesia. Kota Jayapura dan Kota Sorong
dikenal dengan pusat perdagangan. Sangat masuk akal jika
pendatang dari luar provinsi Papua memilih tiga daerah ini.
Sementara, hal itu berbanding terbalik dengan tujuan daerah
dari para pendatang yang berasal dari dalam provinsi Papua
sendiri. Sebagian besar bukan ke daerah yang menguntungkan
secara ekonomi, melainkan justru ke daerah-daerah gunung:
Jayawijaya, Paniai, dan Puncak Jaya.
2. Pengaruh Migrasi
Pertumbuhan angka migrasi di Papua ini mulai
memperlihatkan efeknya, utamanya perbedaan yang tajam
antara urban-rural, pergeseran peluang akses ekonomi, dan
kompetisi di sektor ekonomi strategis. Selain itu, fenomena
pendatang di Papua selalu seiring dengan perkembangan hal-hal
lain, termasuk agama. Sebagaimana disebutkan di atas, migrasi
periode pertama berdampak pada datang dan berkembangnya
Islam dan ekonomi di pesisir bagian kepala burung. Migrasi
kedua berbarengan dengan masuk dan berkembangnya Kristen,
pendidikan, dan institusi kesehatan. Sementara migrasi ketiga
berbarengan juga dengan pertumbuhan signifikan pemeluk
Islam di daerah-daerah urban di Papua, sekaligus juga naiknya
perekonomian dan perindustrian di Provinsi Papua.
Pengaruh yang paling terlihat dari migrasi ini, sebagaimana
disebutkan oleh Farhadian, adalah kultur Papua yang mengalami
perubahan. Dia memberikan contoh kehidupan kota Jayapura.
Jayapura digambarkan sebagai metropolitan yang semua
fasilitasnya berbanding terbalik dengan yang ada di wilayah
gunung. Kondisi kota itu mampu mengubah pandangan

18
Membaca Situasi Papua

budaya dan gaya hidup masyarakat. Dan semua itu dipengaruhi


oleh banyaknya pendatang dari luar Papua (Farhadian 2005:
49-53). Kondisi serupa sebenarnya dapat dilihat juga pada
perkembangan daerah-daerah lain di Papua (dan Papua Barat),
seperti di Fakfak, Mimika, dan Sorong. Populasi migran yang
makin bertambah di daerah-daerah ini memiliki pengaruh kuat
dalam perkembangan kultur masyarakat.
B. Komposisi Penduduk
Laju perkembangan pendatang ke Papua dapat dipahami,
setidaknya, jika melihat catatan Stuart Upton yang menjelaskan
bahwa pada tahun 1995 Papua sudah menjadi tujuan migrasi
dari luar provinsi tertinggi di seluruh Indonesia (Upton 2009:
315). Bahkan, pada 21 Mei 2010, Gubernur Provinsi Papua,
Barnabas Suebu, menyatakan bahwa dalam beberapa tahun
terakhir, arus migran yang masuk ke Papua terus meningkat.
Peningkatannya bahkan tertinggi di dunia: 5% pertahun.
Perhitungan dunia menyebutkan bahwa angka migrasi di
negara-negara di seluruh dunia rata-rata adalah 2% pertahun.3
Perkembangan ini tentu saja perlu memperoleh perhatian
karena, sebagaimana disebutkan di depan, meskipun migrasi
hanya sebagai satu faktor, dinamika migrasi memiliki implikasi
dan efek terhadap perkembangan sosial, ekonomi, agama,
dan budaya masyarakat setempat. Tahun 2004, Stuart Rees
menyatakan bahwa komposisi penduduk Papua Barat adalah
1.5 juta penduduk asli Papua dan hampir 1 juta penduduk
pendatang atau transmigran (Stuart Ress, et.al. 2004).
Perbandingan komposisi antara penduduk asli dengan
pendatang, dalam perkembangannya mengalami kenaikan
yang signifikan. Upton melihat perkembangan itu sejak 1970an
3 http://sampari.blogspot.com/2010/05/gubernur-papua-migrasi-ke-papua.
html. Diakses pada 30 April 2013. Menurut perkiraan 2030, pertambahan
penduduk Papua semakin kecil dibandingkan dengan penduduk migran. Angka
pertambahan penduduk Papua akan mencapai 1.67%, sementara penduduk
migrant akan bertambah 10%. Lihat Arie Sudjito, et.al., Meretas Jalan Perdamaian
di Tanah Papua (Yogyakarta: IRE, 2009), hlm. 56.

19
Mutiara Terpendam

hingga 2000. Menurutnya, migrasi menjadi faktor yang sangat


kuat dalam mempengaruhi seluruh dinamika kehidupan
masyarakat Papua. Pada sensus pertama yang dilakukan untuk
Papua, 1971, mencatat bahwa jumlah pendatang ke Papua
mencapai 37.251 jiwa (Upton 2009: 293). Pada sensus tahun
2000 (sensus 1980 dan 1990 tidak dicatat tentang migrasi),
jumlah pendatang mengalami kenaikan yang signifikan. Jumlah
pendatang mencapai 420.327 jiwa (Upton 2009: 297). Oleh
karena itu, Komposisi penduduk yang hampir seimbang antara
penduduk asli dan pendatang inilah kemudian memengaruhi
potret kehidupan beberapa kota di Papua baik dari sisi ekonomi
maupun agama.
Migrasi ke Luar Papua (Upton 2009)
Tahun 1971 1980 1990 1995
Migrasi keluar 6,449 15,559 30,786 47,356
Total populasi 923,440 1,107,291 1,630,107 2,233,530
% dari total populasi 0.7 1.4 1.9 2.1

Akan tetapi, faktor outmigration (migrasi keluar) juga cukup


kuat. Bahwa keberadan pendatang masuk ke Papua bukanlah
satu-satunya bentuk migrasi. Orang Papua yang pindah dan
menetap di provinsi lain juga menarik dipertimbangkan.
Sebagaimana dicatat oleh Upton di atas.
C. Pendidikan
Pendidikan merupakan salah satu poin yang dituangkan
dalam New York Agreement 1962. Bahwa setelah terjadi
pengambilalihan tanggungjawab administrasi dari Belanda
kepada Indonesia, maka Indonesia harus mengintensifkan
pembangunan pendidikan orang Papua dan menghapus
buta aksara. Belanda sudah memulai membangun lembaga
pendidikan di Papua. Namun, selama menjalankan kebijakan
pendidikan tersebut, baru 55% desa di seluruh tanah Papua yang
berhasil dibangun Belanda. Belum selesai sepenuhnya hingga
Belanda harus keluar dari tanah Papua sebagai risiko dari New

20
Membaca Situasi Papua

York Agreement antara Belanda dengan Indonesia mengenai


wilayah Papua. Pemerintah Indonesia kemudian melanjutkan
kebijakan Belanda tersebut. Sayangnya, pelaksanaan kebijakan
pendidikan pemerintah Indonesia belum sepenuhnya mampu
mencapai daerah gunung. Sehingga, tingkat pendidikan
terendah di Papua (hingga kini) adalah di daerah gunung.
Padahal, di sinilah letak di mana penduduk asli Papua tinggal.
Dengan kata lain, kebijakan pendidikan pemerintah Indonesia
masih belum sepenuhnya menyentuh kepentingan orang asli
Papua, melainkan baru menyentuh daerah yang dekat dengan
perkotaan (yang dihuni oleh sebagian besar pendatang).
Akibatnya, dari sisi pendidikan, secara nasional, orang Papua
berada pada tingkat yang rendah dalam peringkat melek
pendidikan.
Problem pendidikan di Papua, dan mungkin di beberapa
provinsi lain, adalah mengenai bangunan sekolah, staf
pendidik, dan fasilitas. Jawaban mengapa pendatang lebih
tinggi prosentasenya tidak serta merta berbanding lurus
dengan kesadaran mereka tentang pendidikan. Pendidikan
mereka lebih bagus karena sebagian besar pendatang tinggal
di perkotaan, sehingga akses pendidikan lebih mudah, di
samping juga tentang ketersediaan staf pendidik dan fasilitas
pendidikan lainnya. Oleh karena itu, rendahnya prosentase
tingkat pendidikan orang asli Papua, dengan demikian, adalah
akibat dari ketersediaan bangunan sekolah, staf pendidik, dan
fasilitas yang kurang bahkan tidak memadai (Upton 2009: 274).4
Kondisi ini berkaitan dengan kualitas birokrasi dan pelayanan
publik di Papua yang rendah. Hal ini sangat dipengaruhi oleh
rendahnya pendidikan dan lemahnya kapasitas sumber daya
manusia yang terlibat di dalamnya. Kapasitas sumber daya
manusia yang cakap dan profesional hanya dapat tercapai jika
didukung oleh fasilitas pendidikan yang memadai. Sayangnya,
4 Stuart Upton menjelaskan alasan tersebut dengan memanfaatkan hasil penelitian
disertasi Suharini Supangat yang meneliti tentang sekolah di Orang Lembah
Baliyem (1986) dan thesis S2 Michael Rumbiak tentang migrasi orang Nimboran
ke Jayapura. Lihat Stuart Upton (2009), hlm. 274.

21
Mutiara Terpendam

kondisi minimnya infrastruktur maupun rendahnya kualitas


pendidikan masih banyak ditemui di Papua. Hal ini terbukti
dengan hanya sekitar 40% masyarakat Papua yang mengenyam
pendidikan (Sudjito, et.al. 2009: 25).
Kebijakan pendidikan pemerintah Indonesia secara umum
tidak berpihak kepada kondisi sosial ekonomi masyarakat Papua.
Tingginya biaya sekolah, pada satu sisi, masih menjadi masalah
bagi orang tua murid. Masalah tersebut, di sisi lain, diperparah
oleh keberadaan sekolah yang tidak merata. Akibatnya,
masyarakat di daerah terpencil dan pedalaman merasa kesulitan
untuk memperoleh pelayanan pendidikan. Kebanyakan anak
usia sekolah terlambat memasuki jenjang sekolah karena
kondisi sosial ekonomi orang tua yang lemah, sehingga tidak
mampu membiayai sekolah anak-anaknya. Kesulitan semakin
bertambah dengan kondisi topografi yang sulit ditembus dan
jarak yang jauh untuk mencapai sekolah-sekolah terdekat.
Hambatan-hambatan ini yang mengakibatkan banyaknya anak
putus sekolah dan tidak melanjutkan studi. Problem topografi
sebenarnya merupakan problem utama pembangunan di Papua.
Jika pembangunan tidak merespon atau mempertimbangkan
topografi tersebut, sudah dapat dipastikan tidak akan berdampak
besar terhadap orang Papua.
Kondisi ini terbalik dengan keadaan yang ditunjukkan
statistik bahwa pendatang di Papua yang lebih banyak
mengakses pendidikan. Tingkat kelulusan jenjang pendidikan
pendatang lebih tinggi ketimbang orang Papua. Orang Papua
masih banyak yang tidak sekolah/tidak lulus Sekolah Dasar.
Stuart Upton mencatat perbandingan dalam bentuk grafik
mengenai prosentase tingkat pendidikan antara penduduk asli
dan pendatang dilihat dari usia pendidikan pada tahun 2000.
Sebagian besar penduduk asli yang berusia 16-24 tahun tidak
sekolah (40.2%), yang lulus Sekolah Dasar (25.5%), yang
lulus sekolah menengah (SLTP dan SLTA) (33.95%). Hal ini
kontras dengan penduduk pendatang, tidak sekolah (8.75%),

22
Membaca Situasi Papua

lulus Sekolah Dasar (19.85), lulus sekolah menengah (70.1%)


(Upton 2009: 271). Prosentase ini berpengaruh pada peluang
akses pekerjaan dan mungkin juga pada akses-akses yang lain,
misalnya mencalonkan diri menjadi pejabat publik atau legislatif.
Kesimpulan sementara mengenai sebab rendahnya
pendidikan di Papua adalah oleh tiga hal. Pertama, rendahnya
tingkat ekonomi masyarakat. Kedua, minimnya infrastruktur
pendidikan. Ketiga, jarak yang mesti ditempuh murid ke
sekolah. Tingkat pendidikan orang Papua di atas, langsung atau
tidak langsung, berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi
mereka. Makin sulit dan berat bagi orang Papua untuk bersaing
dalam kompetisi ekonomi dan bisnis di tanah mereka sendiri.
Kebutuhan dunia usaha, bisnis, utamanya pertambangan dan
industri mensyaratkan kualifikasi pendidikan yang tinggi.
Sementara, dengan fenomena dunia pendidikan di Papua
yang kurang memperoleh perhatian pemerintah, menggiring
mereka pada ketidakberdayaan berkompetisi dalam dunia usaha
dan sulit terjaring dalam penerimaan karyawan perusahaan
pertambangan dan industri. Jika bukan orang Papua yang tinggal
di perkotaan yang memperoleh akses ekonomi, maka pendatang
baru yang berasal dari luar pulau Papua yang terjaring dalam
seleksi tersebut. Dengan kata lain, kondisi pendidikan yang
berkelindan dengan faktor ekonomi merupakan pekerjaan berat
yang mesti diselesaikan oleh pemerintah untuk membawa orang
Papua ke tengah medan kompetisi pendidikan dan ekonomi.
Senafas dengan itu, sulitnya akses pendidikan yang
dialami orang Papua, secara kultural, akan berdampak pada
makin sulitnya mempertahankan identitas ke-Papua-an
mereka. Proses modernisasi yang mensyaratkan kualifikasi
dan kapabilitas tertentu tidak mampu membawa orang Papua
ke tengah persaingan modernitas, melainkan justru semakin
membawa mereka terdesak ke pelosok. Fenomena ini makin
memperlihatkan juga keterdesakan kultural mereka. Beragam
budaya yang masuk ke Papua sulit dibendung, sementara modal

23
Mutiara Terpendam

pendidikan dan ekonomi yang mestinya dapat dijadikan sebagai


sarana mempertahankan identitas belum kuat dimiliki, maka
yang terjadi adalah makin tenggelamnya kekayaan budaya
Papua.
D. Ekonomi
1. Sumber Daya Ekonomi
Papua merupakan provinsi dengan kekayaan alam yang
besar. Bukan hanya dalam hal industri dan penambangan,
melainkan juga dalam bidang kelautan, perkebunan, dan
kehutanan. Kekayaan alam ini menjadi sumber ekonomi yang
mampu memberikan banyak pemasukan bagi pemerintah
provinsi dan nasional. Sektor-sektor usaha ini belum sepenuhnya
tereksplorasi.
Sumber daya alam Papua (dan Papua Barat) sangat kaya.
Sektor pertambangannya sudah mampu memberikan kontribusi
lebih dari 50% perekonomian Papua dengan tembaga, emas,
minyak, dan gas. Di samping itu, masih terdapat beberapa
potensi tambang lain seperti batu bara berjumlah jutaan ton.
Bahan gamping dan pasir kuarsa diperkirakan memiliki potensi
hasil puluhan juta ton, demikian juga dengan lempung, marmer,
granit, dan hasil tambang lainnya seperti pasir besi, nikel, dan
krom. Selain itu, keluasan hutan yang kurang lebih mencapai 90%
daratan Papua merupakan potensi besar lainnya. Hutan produksi
di Papua memiliki potensi ekonomi yang tinggi, baik untuk
menghasilkan produksi plywood dan lainnya, seperti produksi
mebel. Sementara itu, di sektor perkebunan pun memberikan
banyak harapan bagi perkembangan dan peningkatan ekonomi
Papua. Perkebunan sawit, kakao, kopi arabica, buah merah, dan
karet merupakan sektor perkebunan yang cukup populer di
Papua. Sektor ini mampu menyerap banyak tenaga kerja.
Secara umum, sebenarnya laju perekonomian Papua
(juga Papua Barat) sangat ditentukan oleh pertambangan
dan penggalian. Melihat fluktuasi laju perekonomian di dua

24
Membaca Situasi Papua

provinsi ini, sangat tampak besarnya pengaruh pertambangan


dan penggalian. Jika di Provinsi Papua terdapat PT. Freeport,
maka di Papua Barat ada BP. Migas (Victor Rumere 2011:
82-98).5 Bagaimana pun, ini merupakan kondisi riil kontribusi
ekonomi Papua yang cukup signifikan, sehingga, tanpa menutup
mata terhadap adanya kesalahan dalam kebijakan pemerintah
mengenai pertambangan di Papua, sektor ini seharusnya
menjadi potensi besar untuk memberikan kesejahteraan kepada
masyarakat Papua. Selain itu, sektor yang sedang berkembang
di Papua adalah pariwisata. Setidaknya perkembangan ini
terlihat di Papua Barat, yang tampak cukup besar kontribusinya
terhadap laju perekonomian daerah setempat.6 Ringkasnya,
kekayaan alam Papua memberikan banyak peluang kepada
penduduk untuk memanfaatkannya sebagai sumber penguatan
ekonomi. Belum lagi jika melihat sektor pertanian, perikanan,
kelautan, dan peternakan. Suguhan kekayaan sumber daya alam
tersebut tentu saja, dan mestinya, akan memberikan peningkatan
ekonomi yang signifikan terhadap penduduk Papua.

5 Lihat juga, Institut Teknologi Bogor, Gambaran Umum Provinsi Papua, dalam
http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/53600/BAB%20IV %20
Gambaran%20Umum%20Provinsi%20Papua.pdf ?sequence=4. Diakses pada 02
Mei 2013. Namun, sektor pertanian lebih stabil pertumbuhannya dibanding
pertambangan. Meskipun tidak tajam, sektor pertanian sedikit demi sedikit
mengalami kenaikan, sebagaimana juga sektor usaha di bidang bangunan. Dalam
rentang waktu 20012010, dua sektor tersebut mengalami kenaikan yang stabil.
Hal ini berbeda dengan sektor pertambangan dan penggalian. PT. Freeport
mempengaruhi naiknya laju perekonomian Papua hanya pada tahun 2005,
sebagaimana juga BP Migas di Papua Barat pada tahun 2010. Tahun 2006 hingga
2010, PT. Freeport tidak kuat lagi pengaruhnya dalam laju perekonomian Papua.
Hal ini mungkin dipengaruhi oleh berbagai kasus yang terjadi di perusahaan
tersebut yang melibatkan masyarakat asli Papua. Sementara BP. Migas di Papua
Barat belum teruji pengaruhnya karena tidak diperoleh data laju pertumbuhan
ekonomi Papua Barat pada tahun 2012.
6 Mengenai sektor pariwisata ini dapat dilihat dalam Yansen Saragih dalam I
Ngurah Suryawan (ed.) (2011). Yansen memberikan contoh potensial pariwisata
Pulau Mansinam.

25
Mutiara Terpendam

2. Kemiskinan dan Akses Ekonomi


Menurut BPS, hingga tahun 2003, Papua masih menjadi
provinsi termiskin di antara provinsi-provinsi lain di Indonesia.
Angka kemiskinan di Papua mencapai 38%, jauh di bawah angka
rata-rata kemiskinan nasional yang mencapai 17% (Widjojo
[ed.] 2010: 112-113). Kenyataan ini menjadi ironi jika dilihat
dari kenyataan tanah Papua yang memiliki sumber daya alam
berlimpah. Industri-industri di Papua memberi kontribusi besar
kepada pemerintah pusat, tetapi sama sekali belum berimbas
pada kesejahteraan masyarakat Papua sendiri. Anehnya, angka
kemiskinan ini justru meningkat pada masa Otonomi Khusus
(2004) yang mencapai 43% jika dibandingkan pada tahun 2003
yang mencapai 38% dari jumlah populasi 2.556.419 (Badan
Pusat Statistik Provinsi Papua tahun 2006, diambil dari Widjojo
[ed.] 2010).
Melihat kekayaan alam yang tersedia sebagaimana
dijelaskan secara singkat di atas, sebenarnya belum ada alasan
yang cukup untuk mampu menjelaskan ketidakseimbangan
antara sumber daya alam yang tersedia dengan kemampuan
ekonomi penduduk. Dalam banyak kajian, faktor yang sering
dimunculkan sebagai faktor utama adalah kapasitas atau
kemampuan sumber daya manusia. Dengan tingkat pendidikan
yang masih belum cukup, sebagaimana dipaparkan dalam
bahasan tentang pendidikan di atas, agaknya sangat sulit warga
Papua mampu memanfaatkan kekayaan alam di sekelilingnya.
Dengan rata-rata pendidikan yang hanya sekian persen yang
lulus SMA, maka akan sulit berkompetisi baik sebagai tenaga
kerja sektor industri maupun, bahkan, membuka usaha sendiri.
Alasan ini lebih didasarkan pada perkembangan modernisasi
yang demikian makin kuat masuk ke Papua.
Andreas Goo menyatakan bahwa gelombang modernisasi
yang masuk ke Papua masih sulit dipahami oleh orang Papua.
Orang Papua dianggap mengalami lompatan budaya yang
luar biasa dengan banyaknya peralatan modern yang masuk

26
Membaca Situasi Papua

ke Papua (seperti handphone, komputer, dan lain-lain). Dan


hal itu berdampak kurang baik dalam perkembangan sosial,
ekonomi, dan terutama budaya mereka. Yang mereka butuhkan
adalah jembatan yang mampu mentransformasikan budaya
orang Papua dengan modernisasi (Goo 2013). Ketiadaan
gerakan transformasi ini, yang mestinya hal itu dilakukan oleh
pemerintah, menjadikan proses pembangunan dan modernisasi
hanya dapat diterima dan dilaksanakan di beberapa tempat,
khususnya di lokasi-lokasi industri dan kawasan perkotaan.
Fenomena itu kemudian makin meminggirkan orang Papua
dalam persaingan ekonomi dan sosialnya. Dengan kata lain,
pembangunan, yang mesti diakui makin maju di Papua, belum
sepenuhnya mampu mengurangi angka kemiskinan orang
Papua sendiri. Naiknya angka kemiskinan di Papua lebih
disebabkan persaingan dalam sektor industri dan perdagangan
yang ketat.
Kondisi ini berdampak pada bagaimana orang Papua
mengakses ekonomi. Di samping sektor pendidikan menjadi
faktor penting, ada faktor lainnya yang juga sangat penting,
misalnya tingkat kepercayaan pemerintah kepada warganya
sendiri yang masih kurang untuk melakukan upaya-upaya
ekonomi dengan membuka peluang usaha. Pemerintah lebih
percaya pada perusahaan besar (yang hampir semua dari luar
Papua) untuk berinvestasi atau bahkan mengeksplorasi sumber
daya alam Papua. Pada satu sisi, ini dapat dipahami jika
melihat kapasitas SDM yang ada. Namun, di sisi lain, belum
dilakukannya upaya yang transformatif untuk mengangkat
kapasitas orang Papua supaya mampu bersaing dalam sektor
ekonomi tersebut merupakan hal yang sulit dipahami. Hal ini
perlu memperoleh perhatian karena derap Otonomi Khusus
yang demikian keras berdengung menjadi kurang memperoleh
relevansinya di Papua: sumber daya alam yang mestinya mampu
dikelola oleh orang Papua sendiri belum kunjung terlaksana
secara maksimal.

27
Mutiara Terpendam

Faktor lainnya adalah masih kerasnya suara amber-


koming (penduduk asli-penduduk pendatang). Oleh karena
lembaga pendidikan lebih banyak terdapat di perkotaan,
sementara pendatang sebagian besarnya ada di perkotaan, maka
kemungkinan kemampuan akses ekonomi pun lebih dimiliki
oleh pendatang. Kondisi ekonomi Papua masih terkait erat
dengan diskusi mengenai orang asli Papua dengan pendatang.
Faktor utamanya adalah kesejahteraan yang tidak terdistribusi
secara seimbang antara orang asli Papua dengan pendatang.
Pasar tradisional menjadi simbol perebutan ruang ekonomi
orang asli Papua dan pendatang. Kenyataannya, orang asli Papua
tergeser ruangnya dalam pasar tradisional. Pergeseran tersebut
juga menjadi penanda pergeseran identitas sosial dan ekonomi.
Sebagaimana disebutkan di atas, pendatang lebih dominan di
pasar tradisional dan ruang bisnis lainnya, sementara orang asli
tergeser ke pinggir.
Awal perebutan ruang simbolik dalam pasar tradisional
telah dimulai sejak kebijakan transmigrasi. Dan pergeseran
mulai terjadi di awal 1990-an, di mana para transmigran sudah
mampu bersaing di dunia pertanian dan perkebunan. Pada saat
itu pula mereka mulai mampu mendesak masuk ke ruang-ruang
strategis. Mereka bersaing dengan mama-mama Papua yang juga
menjual hasil buminya di pasar tradisional. Orang asli Papua
pun tergeser ke selasar pasar tradisional atau di pinggir jalan.
Sementara pendatang sudah menguasai los dan kios di dalam
pasar tradisional. Sejak saat itu, mulai muncul konflik di pasar
tradisional. Konflik antara rambut kriting (curly hair) dengan
rambut lurus (pendatang, orang luar, pendatang baru).
Informasi di atas berkelindan dengan analisis data statistik
yang menyebutkan mengenai beberapa sektor ekonomi yang
didominasi oleh pendatang. Analisis tersebut menunjukkan
bahwa para pendatang hampir menguasai semua sektor industri
dan ekonomi strategis. Meskipun kalah di bidang tertentu,
tetapi mereka tetap dapat bersaing di bidang tersebut.7 Faktor
7 Lihat analisis data statistik yang dilakukan Stuart Upton (2009), hlm. 290.

28
Membaca Situasi Papua

terakhir yang berkembang di Papua adalah kultur orang


Papua yang sulit dilepaskan dari kultur kehidupan hutan dan
gunung. Penelitian Farhadian tentang suku Dani sangat jelas
menggambarkan betapa kekuatan kultur lokal Papua masih
demikian kuat, sehingga simbol-simbol baru yang datang
kepada mereka masih dianggap sebagai sesuatu yang harus
dikhawatirkan supaya tidak menghambat kehidupan kultur
mereka (Farhadian 2005: 50-53).8
Politik
Dua provinsi yang terletak di ujung timur Indonesia
ini sebelumnya bernama Provinsi Papua. Pada masa Orde
Baru provinsi ini dikenal dengan nama Irian Jaya. Daerah
ini memang memiliki beberapa nama. Pada era pemerintah
Kolonial dinamakan Nederlands Nieuw Guinea. Kemudian
setelah referendum dan menjadi bagian dari Republik Indonesia
namanya berganti menjadi Provinsi Irian Jaya. Pada tahun
1999, Irian Jaya diubah lagi namanya menjadi provinsi Papua.
Berdasarkan Undang-Undang no. 45/1999, Provinsi Papua
dimekarkan menjadi Provinsi Papua dan Provinsi Irian Jaya
Barat. Pada tahun 2006, provinsi Irian Jaya Barat secara definitif
memiliki seorang Gubernur. Kemudian berdasarkan PP no. 24
tahun 2007 nama Provinsi Irian Jaya Barat berubah menjadi
Provinsi Papua Barat. Oleh karena alasan ini, dalam sensus
penduduk tahun 2000, Provinsi Papua Barat belum dipisahkan
dari Provinsi Papua. Baru pada sensus penduduk tahun 2010
Provinsi Papua Barat dianalisis sebagai unit wilayah tersendiri
(Indiyanto 2013).
Sejak proklamasi kemerdekaan Indonesia 1945, pemerintah
Belanda telah memisahkan daerah Papua dari Hindia. Papua
dan penduduknya disiapkan untuk pemerintahan mereka sendiri
8 Farhadian menggambarkan bagaimana anak suku bangsa Dani yang mengalami
kegagapan budaya ketika tinggal dan hidup kota Jayapura yang merupakan kota
metropolitan. Mempertahankan budaya sangat penting dan menjadi tantangan
berat bagi suku Bangsa Dani ketika berhadapan dengan perkembangan
modernisasi di Papua.

29
Mutiara Terpendam

yang tidak berhubungan dengan Belanda. Selama 10 tahun


rencana pembangunan yang dibuat Belanda pada tahun 1950,
UNTEA (United Nation Temporary Administration, Pemerintah
Sementara PBB) bertanggung jawab terhadap periode transisi.
Sejalan dengan itu, beberapa persiapan telah dilaksanakan pada
tanggal 1 Desember 1961 bersama dengan beberapa momentum
penting: Pemerintah Belanda menunjuk anggota masyarakat
lokal yang terpilih di Papua sebagai 50% dari Nieuw Ginea
Raad (legislatif ), bendera bintang kejora berkibar berdampingan
dengan bendera Belanda, dan pengenalan lagi kebangsaan Papua
Hai Tanahku Papua. Akan tetapi, Perjanjian New York 1962
ternyata dibuat sebagai referensi untuk pengalihan Nederland
Nieuw Guinea (Papua) dari Belanda ke Indonesia.
Pasca pengambilalihan Papua dari Belanda kepada Indo-
nesia tidak serta merta menyelesaikan persoalan. Banyak
yang menganggap, pengambilalihan tersebut hanya bersifat
administratif. Lebih tegasnya hanya kejelasan pemilikan wilayah
Papua. Kurang mempedulikan kebutuhan dasar, pembangunan,
kesejahteraan, pendidikan, dan kesehatan masyarakat Papua.
Di masa awal pasca pengambilalihan, memang pada satu
sisi pemerintah Indonesia sulit menghindar untuk tidak
menghadirkan pasukan militer ke Papua, karena alasan bagaimana
pun Papua perlu dijaga supaya tetap menjadi wilayah Indonesia.
Akan tetapi di sisi lain, upaya itu selain tidak berjalan bersamaan
dengan upaya pembangunan Papua, bahkan pemerintah
Indonesia melihat Papua seakan sebagai wilayah yang sama
sekali baru dan orang-orangnya tidak mengerti apa-apa. Oleh
karena itu, sangat wajar jika masyarakat Papua berusaha menolak
wilayahnya untuk masuk menjadi bagian dari NKRI.
Menghadapi penolakan tersebut, Indonesia menjalankan
dua cara dalam upaya menjaga Papua untuk tetap sebagai bagian
dari wilayahnya: militer dan dialog. Pendekatan militer atau
keamanan digunakan untuk menekan orang Papua untuk tetap
mengakui bahwa Papua adalah bagian dari wilayah Indonesia.

30
Membaca Situasi Papua

Selain itu, pendekatan keamanan dijadikan sebagai cara untuk


meredam gerakan separatis di Papua. Pendekatan berlangsung
hampir sejak terjadinya peralihan kekuasaan atas Papua dari
Belanda ke Indonesia tahun 1962. Utamanya, pendekatan
ini dilakukan secara efektif pada masa Orde Baru. Pada
masa ini, sebagaimana Timor Timur, Papua layaknya sebuah
medan perang bagi militer Indonesia. Militer merupakan cara
yang dianggap ideal oleh Indonesia dalam mempertahankan
kekuasaan atas Papua dan melawan gerakan-gerakan yang
terjadi di Papua. Pada satu sisi, pendekatan ini cukup bermakna
bagi Indonesia untuk mengatakan kepada dunia tentang
keseriusannya mempertahankan dan menjaga Papua. Namun
di sisi lain, pendekatan ini justru menambah luka orang Papua
pasca New York Agreement dan Pepera (Penentuan Pendapat
Rakyat) yang, bagi orang Papua, sangat manipulatif dan sama
sekali tidak mewakili kehendak hati orang Papua.
Cara kedua adalah dialog. Di samping cara militer terus
berlangsung, pemerintah juga berinisiatif mengadakan dialog
dengan masyarakat Papua. Dialog bukan dimaksudkan untuk
mendengar apa yang diinginkan oleh masyarakat Papua,
melainkan untuk memahamkan masyarakat Papua bahwa
mereka adalah bagian dari negara Indonesia. Penulis menyebut
dialog tersebut dengan dialog model pertama. Dialog yang
represif tanpa mempertimbangkan gagasan dan pikiran pihak
kedua. Dialog berlangsung satu arah. Ketika model pertama
ini gagal, kenyataannya, upaya dialog kemudian dicoba
diinisiasi oleh beberapa NGO/LSM dan juga tokoh adat,
tokoh masyarakat, tokoh pemerintahan, dan tokoh agama.
Penulis menyebut dialog tersebut dengan dialog model kedua.
Model dialog yang berupaya membangun kapasitas orang
lokal di Papua. Selain tetap mengupayakan kesetaraan posisi
dalam dialog dengan pemerintah, model ini menawarkan
sesuatu yang lebih jauh dari itu, yakni membangun kapasitas
orang Papua dalam rangka melakukan pembangunan yang
dilakukan oleh orang Papua sendiri. Setelah itu, dialog model

31
Mutiara Terpendam

ketiga berupa tawaran orang Papua terhadap pemerintah


untuk melakukan kerjasama dalam melakukan dialog setara.
Kerjasama ini dilakukan sejak perencanaan, isi dan cara dialog,
hingga perumusan hasil dialog. Kerjasama ini merupakan
model dialog yang mencoba menjembatani model dialog
pertama yang sama sekali tidak memberi ruang kepada orang
Papua untuk mengungkapkan suara mereka tentang identitas
dan tanah mereka. Padahal, itulah sejatinya hal yang mestinya
didengar oleh pemerintah.
Hal yang mesti segera disampaikan lebih dulu, bahwa
model-model tersebut tidak bermaksud membuat periodesasi.
Model-model tersebut, kenyataannya, masih berlangsung
hingga sekarang. Model pertama masih dilakukan pemerintah
dalam rangka melakukan indoktrinasi mengenai nasionalisme
Indonesia. Model kedua tidak kalah masifnya dengan beragam
program yang dilakukan oleh NGO, gereja, dan masyarakat
Papua sendiri. Demikian juga model ketiga, meskipun model ini
agak lebih baru, utamanya sejak ada kebijakan Otonomi Khusus.
Pertama, dialog Indonesia ( Jakarta)-Papua adalah upaya
Jakarta membangun nasionalisme Indonesia bagi masyarakat
Papua. Namun upaya dialog yang dilakukan tersebut disertai
dengan militerisme, sehingga hasilnya justru kontraproduktif:
Papua melawan. Upaya dialog justru melahirkan dualisme
nasionalisme. Masyarakat Papua tetap kuat berdiri pada posisi
merdeka, sementara di posisi yang lain, Jakarta membawa misi
nasionalisme Indonesia. Dialog sudah dimulai sejak pasca
Penentuan Pemilihan Rakyat (Pepera). Dialog ini dimaksudkan
sebagai cara menyemaikan ideologi nasionalisme Indonesia
kepada orang Papua. Dialog ini dilakukan karena banyak
kalangan di Papua yang menolak hasil Pepera. Orang Papua
menganggap bahwa Pepera penuh manipulasi. Orang-orang
Papua yang dihadirkan pada saat Pepera (sebagai wakil dari
kalangan adat di Papua) dianggap bukan representasi warga atau
suku bangsa Papua. Mereka saat itu secara sengaja ditunjuk oleh

32
Membaca Situasi Papua

pemerintah pusat untuk mewakili warga atau suku bangsa Papua.


Dengan demikian, perwakilan tersebut sudah diindoktrinasi
oleh Indonesia untuk menyetujui Papua menjadi bagian dari
Indonesia. Ketidaksetujuan ini memantik gelombang penolakan
berupa pemberontakan terhadap Indonesia.
Kedua adalah dialog pembangunan yang lahir dari inisiasi
masyarakat sipil. Dialog model ini adalah refleksi dari kegagalan
dialog pertama. Kegagalan model pertama akhirnya membuka
jalan bagi pihak lain di luar pemerintah untuk tetap berusaha
membangun perdamaian di Papua. Jauh dan menghindari isu
politik dan disintegrasi. Dalam model ini, gereja memiliki peran
signifikan. Gereja bukan hanya sebagai rumah ibadah, melainkan
mengambil alih peran pemerintah dalam hal melakukan upaya
menyejahterakan warga Papua. Dari gereja-gereja ini lahirlah
aktrivis-aktivis kemanusiaan. Kemudian muncul beberapa
NGO/LSM. Mereka akhirnya membentuk jaringan, baik
jaringan di antara NGO di Papua maupun dengan luar Papua.
Jaringan ini yang di kemudian hari menjadi titik penting dalam
upaya dialog yang lebih mencerahkan masyarakat Papua.
Dialog model kedua di atas bukan lagi berisi doktrinasi
nasionalisme, tetapi lebih pada penguatan lokal, baik berupa
capacity building, penguatan basis ekonomi, dan penguatan
basis budaya.9 Model ini, meskipun membutuhkan waktu lama,
boleh dibilang relatif berhasil. Masyarakat Papua lebih diajak
memikirkan tentang kehidupannya ketimbang memikirkan
identitas diri dan wilayahnya. Lebih diajak memikirkan
apa yang perlu dilakukan untuk kehidupan daripada sibuk
memikirkan kemerdekaan Papua. Setidaknya, dialog-dialog
seperti ini memberi pengaruh terhadap daya kritis masyarakat
Papua tentang sumber daya alam yang mereka miliki. Mereka
mulai mempertanyakan industri yang masuk ke Papua. Di
9 Basis budaya ini telah lama dicoba diberangus oleh pemerintah. Ekspresi budaya
masyarakat Papua dianggap sebagai ekspresi separatisme. Aktivitas seni dan
kebudayaan selalu diletakkan dalam konteks menentang pemerintah dan sebagai
sarana kampanye separatisme.

33
Mutiara Terpendam

samping itu, mereka kemudian juga mempertajam pertanyaan


mengenai kesenjangan ekonomi.
Model dialog ini lebih menekankan pada preparing
the ground, persiapan landasan dasar, untuk menggulirkan
perdamaian di tanah Papua dengan cara lain: membuka ruang
dialog dengan lebih terbuka dan membuat zona damai. Salah
satu yang berhasil dirumuskan dari pertemuan beberapa pihak
dalam rangka preparing the ground adalah membuat perencanaan
strategis resolusi konflik dan pembangunan perdamaian
dan peningkatan kapasitas. Rumusan inilah yang kemudian
ditafsirkan dalam banyak bentuk program kerja oleh banyak
NGO dari Papua maupun dari luar Papua. Misalnya IRE lebih
fokus pada mengkritisi dan mempersiapkan kapasitas lokal
dalam hal pemerintahan. Satunama fokus pada Bina Desa di
pedalaman Papua, dan Interfidei fokus pada tokoh-tokoh lintas-
agama, dan sebagainya. Semua program tersebut bermaksud
membangun kapasitas lokal untuk membangun perdamaian
dan mengakhiri konflik.
Hal yang sudah dilakukan oleh masyarakat sipil dalam
rangka mengembangkan masyarakat Papua adalah memperkuat
kapasitas lokal. Kapasitas ini mencakup kepemimpinan, ekonomi,
pendidikan, kerjasama, dan kesadaran tentang kekayaan alam.
LSM dari Papua dan dari luar Papua menginisiasi program-
program yang membidik manusia Papua. Menurutnya,
persoalan politik dianggap kurang merepresentasikan jeritan
hati orang Papua. Ia dilumuri oleh kepentingan yang justru
tidak semuanya menyuarakan kepentingan orang Papua. Oleh
karena itu, programnya lebih diarahkan bagaimana mengajak
orang Papua memikirkan diri, lingkungan, dan sumber dayanya.
Setidaknya, pendekatan ini lebih memberikan keleluasaan orang
Papua untuk mengembangkan diri dan potensi wilayahnya dan
untuk mempertajam analisa tentang pentingnya pembagian yang
seimbang terhadap eksplorasi hasil bumi Papua yang selama
ini dianggap tidak adil. Peningkatan kapasitas ini dilakukan

34
Membaca Situasi Papua

dengan beragam bentuk kegiatan dari mulai diskusi, pelatihan,


dan pertemuan lintas-lembaga. Kegiatan ini memberi jembatan
kepada orang Papua untuk meningkatkan kapasitasnya dan
sekaligus memahami lebih dalam mengenai potensi wilayahnya.
Ketiga adalah dialog kebangsaan, yakni dialog yang
berupaya menyamakan posisi antara Papua dan Jakarta. Dialog
model pertama yang dikontrol sepenuhnya oleh pemerintah
pusat tidak memberikan solusi yang diharapkan orang Papua:
menempatkan orang Papua sebagai subjek. Oleh karena itu,
lahir tawaran model dialog yang ingin memberikan jembatan
kepentingan sosial-politik orang Papua untuk memperkuat
kapasitasnya. Meskipun dengan itu tidak berarti kekerasan
berhenti. Di sana-sini masih terjadi penembakan misterius.
Banyak yang terbunuh. Banyak juga orang Papua yang masih
kesulitan mengembangkan perekonomiannya. Banyaknya
kekerasan yang masih berlangsung melahirkan tawaran
penyelesaian masalah tersebut tanpa kekerasan, yakni melalui
dialog. Tawaran ini dicetuskan dalam salah satu butir solusi
Kongres Rakyat Papua II tahun 2000. Tawaran ini gencar
dikampanyekan oleh masyarakat sipil di Papua. Pada 2009,
tawaran dialog ini makin gencar disuarakan oleh Jaringan
Damai Papua ( JDP) (Tim ALDP 2013: 236-237).
Dalam perkembangannya, tawaran dialog tersebut
membelah orang Papua: ada yang menolak dengan pertimbangan
kegagalan dialog-dialog di masa sebelumnya yang tidak pernah
menempatkan orang Papua dengan semestinya dan ada pula yang
tetap berupaya mengampanyekannya dengan langkah-langkah
yang lebih kongkrit. Membangun kesadaran, menyiapkan
pemahaman dan konsep bersama di antara berbagai komponen
masyarakat dan pemerintah.
Sembari aktivitas-aktivitas LSM tersebut berjalan, titik
balik yang sangat memberi harapan masyarakat Papua adalah
lahirnya keputusan Presiden Abdurrahman Wahid mengenai
pergantian nama dari Irian Jaya menjadi Papua. Pergantian ini

35
Mutiara Terpendam

memiliki pengaruh yang luar biasa. Pergantian ini seakan kembali


meneguhkan identitas lama orang Papua. Bukan orang Irian
Jaya. Implikasi dari pergantian ini adalah munculnya ekspektasi
masyarakat Papua mengenai kemerdekaan Papua. Sementara,
pergantian nama ini oleh pemerintah pusat dimaksudkan
memberi kebebasan orang Papua untuk mengembangkan
potensi wilayahnya. Kebebasan diberikan untuk mengeliminasi
niat Papua merdeka.
Model dialog ketiga ini berkembang bukan lagi
menempatkan Indonesia vis-a-vis Papua. Melainkan lebih
mengedepankan kesetaraan posisi antara Jakarta dan Papua
untuk kebaikan Papua. Neles Tebay mencoba membuat
jembatan yang dapat mensejajarkan posisi di antara keduanya.
Dia mengusulkan tujuh aspek fundamental, dari perspektif
orang Papua, jika akan mengadakan dialog tentang Papua
(Tebay 2012: 26-87). Pertama, agenda dialog harus berdasarkan
kesepakatan bersama. Kesepakatan agenda ini penting karena
berdasarkan pada model dialog pertama, agenda selalu sudah
disiapkan oleh Indonesia ( Jakarta). Agenda yang diusung
pun selalu menguntungkan satu pihak dan merugikan pihak
lain. Papua selalu dalam posisi dirugikan, baik persoalan
integrasi maupun mengenai pembangunan dan kesejahteraan.
Kesepakatan agenda akan mempermudah proses dialog karena
aspirasi dua pihak diserap dan akan didialogkan bersama. Kedua,
partner dialog. Banyak stakeholder yang perlu dilibatkan dalam
proses dialog. Sedapat mungkin partner dialog dipilih sesuai
dengan representasi yang ada di Papua dan Jakarta. Misalnya,
dalam dialog perlu melibatkan MRP, DPRD, perwakilan adat
dan suku bangsa, perwakilan agama, termasuk di dalamnya
representasi pendatang atau warga non-Papua. Neles Tebay
menambahkan bahwa beragamnya representasi partner dialog
ini dimaksudkan untuk membedah mengenai pelaksanaan dan
kendala penerapan UU No. 21/2001 tentang Otonomi Khusus
(Otsus) Provinsi Papua.

36
Membaca Situasi Papua

Ketiga, poin yang sangat utama adalah melibatkan


orang Papua dalam dialog. Aspek ini sangat penting. Sejarah
menunjukkan, dialog yang dilakukan selama ini kurang menyerap
keterlibatan orang Papua. Penting untuk diingat bahwa benih
kebencian orang Papua terhadap Indonesia adalah peristiwa
Pepera yang bagi orang Papua, perwakilan dari warga Papua
dianggap tidak mewakili mereka. Perwakilan tersebut sengaja
dipilih oleh Indonesia, sehingga perwakilan ini pun membawa
kepentingan Indonesia. Peristiwa ini telah menimbulkan trauma
sejarah yang panjang. Oleh karena itu, keterlibatan orang Papua
dalam proses dialog akan sangat bermakna bukan hanya dalam
hal representasi, melainkan juga akan memberi nuansa solusi
yang lebih mendalam mengenai masalah di Papua.
Keempat, tahapan proses dialog, dialog ini memang tidak
mungkin dilakukan melalui forum besar yang menghadirkan
semua pihak, melainkan perlu ada tahapan yang dimungkinkan
mampu menampung semua aspirasi dengan forum-forum
yang lebih kecil. Namun, tahapan proses dialog ini mesti
mengedepankan pendekatan damai, kasih, dan demokrasi,
sebagaimana pernah itu disampaikan oleh Presiden Susilo
Bambang Yudoyono (SBY) dalam perayaan Natal Nasional di
Jakarta 26 Desember 2006 (Tebay 2012: 68). Tahapan pertama
adalah dialog di antara orang Papua asli di Tanah Papua untuk
membahas persoalan yang dialami selama ini. Dialog ini perlu
difasilitasi Majelis Rakyat Papua (MRP). Tahap kedua adalah
dialog antara orang asli Papua di Tanah Papua dan orang Papua
di luar negeri. Dialog ini dimaksudkan untuk menyamakan
persepsi tentang pembangunan orang dan daerah Papua. Dialog
ini pun perlu difasilitasi MRP. Tahapan ketiga, dialog antara
wakil-wakil dari orang Papua dan pemerintah Indonesia. Jika
pemerintah pusat mau berdialog dengan DPRD Papua, maka
hasil dialog dari orang asli Papua dapat disampaikan kepada
DPRD Papua untuk turut dibahas dalam dialog dengan
pemerintah Indonesia. Namun demikian, tahapan dialog seperti

37
Mutiara Terpendam

ini hanya akan berlangsung apabila memang disetujui oleh


orang Papua dan pemerintah Indonesia.
Kelima, keterlibatan fasilitator. Dialog membutuhkan
fasilitator yang netral dan dipercaya kedua belah pihak. Selama
ini, dialog mengenai Papua tidak pernah melibatkan fasilitator
atau pihak netral. Fasilitator dapat dihadirkan dari luar negeri.
Pihak luar negeri ini dihadirkan bukan sebagai peserta karena
peserta dialog adalah pemerintah Indonesia dan orang Papua.
Fasilitator dengan kenetralannya dimungkinkan akan lebih
memperlancar proses dialog (Tebay 2012: 70-71).10 Keenam,
perlu pembentukan tim. Untuk keperluan keseluruhan proses
dalam dialog tentang Papua diperlukan membentuk dua tim:
tim Jakarta dan tim Papua. Dan terakhir, ketujuh, adalah tentang
perlunya nilai kebenaran yang dibimbing oleh nilai keadilan,
dijiwai oleh nilai kasih, dan dilaksanakan dalam suasana
kebebasan dijadikan sebagai dasar penyelesaian persoalan Papua.
Model yang ditawarkan oleh Tebay ini boleh dibilang
merupakan langkah lanjut dari model dialog yang diinisiasi oleh
LSM. Model ini lebih mengedepankan kesetaraan posisi antara
Jakarta dan Papua. Mungkin, gagasan model ini didasarkan
pada pengalaman yang sudah dilakukan oleh para aktivis NGO.
Warga asli Papua sudah lebih matang untuk menyuarakan
aspirasi dan tuntutannya kepada pemerintah. Dari sisi kapasitas
sudah sangat mumpuni untuk mampu berposisi sejajar dengan
pemerintah. Model inilah yang sekarang sedang didengungkan
di Papua, meskipun tidak berarti aktivitas NGO untuk lebih
memperkuat kapasitas lokal berhenti.
Belum diketahui akan bagaimana hasil serangkaian
upaya dialog yang sudah dan sedang berlangsung. Setidaknya
ada titik cerah kesepahaman mengenai pentingnya dialog
demi terciptanya perdamaian di Papua yang merupakan hal
10 Neles Tebay menjelaskan beberapa pertimbangan mengapa perlu melibatkan
pihak luar negeri. Bahwa di samping karakter konflik dan hubungan antara
orang asli Papua dengan pemerintah pusat, juga sangat tidak bijak jika fasilitator
dihadirkan dari salah satu pihak peserta dialog.

38
Membaca Situasi Papua

penting yang akan menjadi titik pancang kedamaian di tanah


Papua. Dalam dua level yang berbeda, di pemerintah pusat
dan masyarakat sipil di Papua, tidak dapat dipungkiri peran
strategis dua orang yang sangat berkontribusi positif terhadap
lahirnya inisiatif membangun kedamaian di Papua, tentu
saja tidak menisbikan peran beberapa personal lain, seperti
Thaha M. al-Hamid dan lain-lainnya. Dua orang tersebut
adalah Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang mengeluarkan
keputusan untuk mengembalikan nama Papua menjadi
nomenklatur provinsi menggantikan nama Irian Jaya. Termasuk
juga mengizinkan berkibarnya bendera Bintang Kejora yang
dianggap sebagai simbol identitas budaya, bukan sebagai
simbol pemisahan dari NKRI. Kebijakan ini, secara politis dan
secara tidak langsung juga dalam sudut pandang identitas sosial
dan budaya, memberikan dorongan untuk memperteguh jalan
damai. Meskipun, dalam realisasinya, masih banyak terjadi
kekerasan dan penembakan.
Semangat yang dikeluarkan oleh pemerintah pusat ini
kemudian diambil sebagai titik pijak masyarakat sipil Papua
untuk mencoba mengeksplorasi kebijakan tersebut dalam ranah
lokal dan praktis. Pada titik ini, Neles Tebay memiliki peran
cukup besar untuk mencoba membuat skema, strategi, dan
praktik dialog. Posisi Tebay menjadi sangat penting dalam upaya
ini. Ia banyak diuntungkan karena ia adalah orang Papua dan
dalam gagasan-gagasannya selalu dalam perspektif orang Papua
dengan menyelipkan perlunya pihak ketiga (pihak netral) untuk
menjadi fasilitator dalam upaya dialog damai PapuaJakarta.
Titik penting yang diharapkan oleh Tebay, masyarakat
sipil, dan masyarakat adat di Papua adalah adanya kesetaraan
dalam dialog. Kesetaraan bukan hanya dalam praktik dialog,
melainkan dalam penyusunan tema dan komposisi peserta
dialog. Ini dianggap penting untuk menghindari model dialog
pertama yang mengesankan ada indoktrinasi nasionalisme
Indonesia dan tidak mengindahkan kepentingan orang Papua,

39
Mutiara Terpendam

di mana kemudian mencuatkan gagasan nasionalisme Papua di


kalangan orang Papua.
Dengan model ini, sebagaimana dijelaskan juga dalam
Papua Road Map, akan memunculkan representasi yang adil
baik dari pihak Papua dan Jakarta. Representasi ini akan
memunculkan rekognisi kedua pihak. Efek dari dialog yang
fair ini diasumsikan akan melahirkan solusi yang menyangkut
perekonomian orang Papua: redistribusi ekonomi berjalan
secara adil antara pribumi-pendatang (amber-komeng).
Dialog Papua-Jakarta merupakan salah satu solusi
bagi penyelesaian persoalan di Bumi Cenderawasih. Dialog
merupakan jalan win-win solution, seperti halnya Otsus,
meskipun dalam banyak hal Otsus lebih menguntungkan
Jakarta dan dana Otsus masih menyimpan banyak masalah.
Dialog merupakan jalan yang bermartabat. Namun, jangan
sampai dialog menghasilkan sesuatu yang tidak menguntungkan
orang Papua. Oleh karena itu, perlu ada rumusan dialog yang
tidak hanya memberi kesempatan pada Jakarta. Dalam dialog
ini memang sebaiknya sudah tidak lagi dengan pendekatan
kesejahteraan, karena hal itu tidak relevan lagi meskipun amat
penting. Dialog dan penyelesaian masalah dengan pendekatan
konprehensif yang melibatkan orang Papua sudah saatnya
segera dilakukan. Dialog model ini diharapkan akan menggeser
pandangan sebelumnya di mana pemerintah Indonesia kurang
memiliki komitmen dan kemauan politik atas masalah yang
dihadapi Papua. SBY dalam sebuah kesempatan menyampaikan
perlunya menyelesaikan masalah Papua dengan hati.
Isu dialog model terakhir ini bergulir sangat cepat hingga
kadang beberapa hal substantif dan pengistilahan belum sempat
disepakati, disempurnakan, dibakukan, dan dipahami bersama
dengan baik, namun telah berkembang dengan berbagai
persepsi. Secara teknis masih banyak hal yang harus diperhatikan
agar tidak berpengaruh terhadap substansi dan tujuan dialog.
Dialog Jakarta-Papua mengalami multitafsir. Orang berdebat

40
Membaca Situasi Papua

untuk menyebut kata Papua lebih dulu atau Jakarta lebih dulu.
Penempatan dua kata tersebut mengkonotasikan makna yang
berbeda-beda. Papua lebih dulu dimaknai sebagai tempat
keberadaan persoalan. Ada kalanya Jakarta dimaknai sebagai
kelompok penindas, sementara Papua menjadi korbannya.
Selain itu, tawaran dialog tersebut juga dibenturkan
dengan isu referendum oleh sebagian kelompok Papua yang pro-
merdeka. Hal ini karena masih belum ada kejelasan mengenai
makna dialog dan referendum di dua pihak. Dialog seharusnya
dipahami sebagai cara untuk menyampaikan permasalahan,
merumuskan, dan membuat pilihan. Sedangkan referendum
atau juga NKRI, Otsus, dan lain sebagainya merupakan hasil
atau pilihan dari berdialog. Oleh karena itu, tentu saja kotak
untuk meletakkan dialog tidak sama dengan kotak untuk
meletakkan referendum, NKRI, Otsus, atau pilihan lainnya.
Dialog adalah jalan atau cara untuk sampai pada kotak-kotak
berikutnya tersebut.
Dalam perkembangannya, dialog model ketiga ini
memang sudah melangkah sangat jauh. Neles Tebay dan LIPI
telah menggagas pertemuan di Singapura akhir November
2009. Pertemuan ini melibatkan aktifis LSM, pemuda,
mahasiswa, tokoh adat, dan kelompok akademisi. Hasil dari
pertemuan tersebut adalah terbentuknya Jaringan Damai Papua
( JDP). Agenda JDP antara lain melakukan sosialisasi konsep
dialog dan menghimpun berbagai masukan dari masyarakat
mengenai tawaran dialog. Selain itu JDP juga memiliki agenda
untuk memfasilitasi konsultasi publik di Papua dan Papua
Barat sebagai satu-satunya langkah pendekatan dan konsolidasi
dengan menghadirkan tokoh-tokoh Papua, termasuk di
dalamnya mantan Tapol, Napol, dan tokoh Papua di luar negeri.
Pemaparan mengenai dinamika situasi Papua di atas ingin
menggambarkan bahwa beberapa aspek tersebut sangat penting
dalam melihat Papua sekarang. Tilikan dari beberapa aspek di
atas menjadi latar penting untuk melihat lebih jauh tentang

41
Mutiara Terpendam

keragaman di Papua yang dapat dijadikan modal sosial dan


budaya untuk perdamaian di Papua. Dua pembahasan tersebut
akan dijelaskan dalam bab-bab selanjutnya.

42
Keragaman Suku Bangsa dan Agama Di Papua

BAB III
KERAGAMAN SUKU
B A N G S A DA N AG A M A
DI PAPUA

Melihat situasi Papua yang dijelaskan dalam


bab sebelumnya, bab ini akan menjelaskan
tentang keragaman di Papua. Keragaman
tersebut memiliki banyak nilai yang relatif
potensial dalam membangun perdamaian di
Papua. Bab ini banyak menyandarkan pada
studi literatur. Data lapangan yang ditampilkan
di sini diperoleh dari hasil penelitian yang
sudah diterbitkan oleh penulis atau peneliti
lain. Sebagian literatur yang disajikan di sini
berkaitan dengan keragaman suku bangsa,
agama, dan dinamika konflik suku bangsa di
Papua. Sebagian literatur lainnya mengkaji
tentang kekayaan suku bangsa dan agama di
Papua sebagai modal sosial mengembangkan
perdamaian. Dari literatur yang ada
menunjukkan kekayaan kearifan lokal di Papua

43
Mutiara Terpendam

memberikan modal mekanisme budaya dalam menyelesaikan


persoalan. Mengenai yang terakhir ini akan dielaborasi dalam
bagian selanjutnya (Bab IV).
Istilah suku bangsa dalam tulisan ini didefinisikan
sebagai suatu golongan manusia yang anggota-anggotanya
mengidentifikasi dirinya dengan sesamanya, biasanya
berdasarkan garis keturunan yang dianggap sama. Identitas suku
bangsa ditandai oleh pengakuan dari orang lain akan ciri khas
kelompok tersebut seperti kesamaan budaya, agama, bahasa,
perilaku, dan ciri-ciri biologis (Encyclopaedia Britannica 2007).
Dalam ensiklopedia ini tidak membedakan antara kelompok
etnis dan suku bangsa. Keduanya memiliki pengertian yang
sama. Sementara pilihan menggunakan istilah suku bangsa
daripada suku di tulisan ini lebih pada kelaziman dalam
naskah-naskah ilmiah di Indonesia yang mengkaji kearifan
lokal. Banyak literatur di Indonesia lebih lazim menggunakan
istilah suku bangsa daripada suku.
A. Suku Bangsa
Selain keragaman suku bangsa yang ada di Papua yang
mencapai ratusan, ragam ras juga sangat menonjol. Perbedaan
mendasar mengenai suku bangsa ini adalah ras Melanesia
dan Austronesia. Melanesia adalah ras asli orang Papua,
sementara Austronesia adalah ras pendatang, yang berasal dari
Bugis, NTT, maupun Manado. Konstruksi tentang ras asal ini
seringkali mempengaruhi jalinan sosial (termasuk transaksi
ekonomi). Namun, dalam rentang waktu yang lama, konstruksi
ini perlahan bukan menjadi masalah serius. Problemnya bukan
lagi tentang ras asal, melainkan tentang bagaimana memperoleh
akses ekonomi, pendidikan, dan kesehatan. Rumbewas (2005)
menambahkan, agenda utamanya sekarang adalah bagaimana
orang Papua dapat mempertahankan lima aset utama mereka:
aset alam, aset manusia, aset sosial, aset budaya, dan aset
ekonomi.

44
Keragaman Suku Bangsa dan Agama Di Papua

Menurut Sensus Penduduk tahun 2000, suku bangsa di


Papua berjumlah 312. Masing-masing suku bangsa memiliki
kebiasaan, bahasa, praktik, dan agama lokal (asli) yang berbeda.
Ditambah lagi dengan adanya 100 kelompok suku bangsa non-
Papua. Penelitian antropologi mengkategorikan tujuh zona
kebudayaan di seluruh tanah Papua: 1) Saireri; 2) Doberai; 3)
Bomberai; 4) Ha-Anim; 5) Tabi; 6) Lano-Pago; dan 7) Me-
Pago. Pengaruh kesukuan dalam zona kebudayaan tersebut
masih sangat kuat. Hubungan sosial di antara zona kebudayaan
ini sangat beragam. Hal ini karena masing-masing memiliki
sistem kebudayaan yang berbeda. Satu sisi, keragaman suku
bangsa menampilkan kekayaan kebudayaan tanah Papua. Di sisi
lain, keragaman ini menampilkan dinamika dan bahkan konflik.
Keragaman ini seringkali digunakan sebagai justifikasi
munculnya berbagai insiden di Papua. Insiden-insiden yang
menampakkan ketidakpedulian terhadap keharmonisan sosial
yang biasanya berujung tindak kekerasan yang sering didasari
oleh faktor perbedaan suku bangsa. Memang, kenyataan
menunjukkan bahwa komunikasi sosial anggota suku bangsa
sangat terbatas. Orang biasanya enggan berhubungan dengan
yang berasal dari suku bangsa lain, kadang juga dengan penganut
agama lain. Dengan kata lain, keragaman dan perbedaan masih
menjadi persoalan.
Heterogenitas suku bangsa yang demikian tinggi di
Papua, dengan demikian, memiliki dinamika yang kompleks.
Ditambah lagi dengan masing-masing suku bangsa memiliki
budaya berbeda. Realitas ini semakin menambah daftar
kompleksitasnya. Meskipun demikian, kompleksitas ini meski
diakui dan dipahami jika ingin membincangkan identitas
budaya di tanah Papua. Pengetahuan tentang keragaman
suku bangsa di Papua sangat penting. Sebagaimana diketahui,
masing-masing suku bangsa memiliki budaya dan pandangan
sendiri dalam melihat dunia sekitarnya. Ini juga menjadi titik
sulit dalam memahami kedalaman budaya Papua. Tentu saja,

45
Mutiara Terpendam

sangat tidak mungkin menyeragamkan identitas seluruh orang


Papua. Hal itu karena identitas suku bangsa demikian kuat.
Masing-masing suku bangsa memiliki tradisi, konsep agama,
struktur sosial, dan kondisi geografis yang berbeda. Ditambah
lagi dengan adanya lebih dari 253 bahasa yang digunakan
sehari-hari.
Dari sisi kondisi geografisnya, ratusan suku bangsa yang
beragam tersebut sebenarnya terbentuk oleh kondisi alamnya.
Terdapat tiga wilayah geografis berbeda yang menentukan
cara hidup masyarakat Papua. Pertama, daerah pantai yang
dihuni nelayan dan pelaut. Kedua, daerah pegunungan yang
padat penduduk dengan iklim yang sehat yang dihuni petani.
Ketiga, daerah tanah rawa yang sangat jarang penduduknya.
Kondisi geografis yang membentuk heterogenitas di Papua
ini sama sekali berbeda dengan heterogenitas di Bali dan
Jawa. Heterogenitas di Papua adalah heterogenitas yang
tersebar. Sementara di Jawa dan Bali heterogenitasnya terpusat.
Somantri (2008) menuliskan pengalaman menarik mengenai
hal ini. Setelah berkeliling ke banyak suku bangsa di Papua, dia
menyimpulkan bahwa terdapat banyak kesamaan di antara suku
bangsa yang berada dalam kawasan yang kontur geografisnya
hampir sama. Penampakan fisik, mata pencaharian, agama,
dan kepercayaan tentang sakralitas babi di dalam masyarakat
merupakan beberapa contoh kesamaan tersebut.
Orang Papua dari suku bangsa apa pun sebenarnya juga
memiliki kesamaan pandangan dalam beberapa hal. Misalnya
mengenai alam, budaya paternalistik, konflik, peperangan
(perang suku), dan mekanisme perdamaian dan toleransi. Mereka
memaknai alam sebagai bagian yang tidak terpisahkan dalam
kehidupan keseharian. Mereka menjaga alam sebagaimana
mereka menjaga diri mereka sendiri. Konflik dan perang
antarsuku bangsa beberapa kali terjadi dalam kehidupan suku
bangsa di Papua (Tjibaou 2005). Namun, itu bukan masalah
besar karena mereka juga menyediakan mekanisme kultural

46
Keragaman Suku Bangsa dan Agama Di Papua

untuk berdamai, untuk memulai dan menjaga perdamaian dan


toleransi. Tentang mekanisme ini lebih lanjut dapat dibaca di
Bab IV buku ini.
Tersebarnya heterogenitas suku bangsa yang memiliki
kekayaan budaya yang berbeda ini, pada sisi yang lain, menjadi
titik kerumitan tersendiri untuk mengenal budaya bersama
orang Papua. Ketidakmampuan memahami kata kunci yang
mewakili semua budaya di Papua akan berimplikasi fatal.
Misalnya, mungkin saja akan lahir kebijakan yang tidak mewakili
hasrat dan harapan seluruh masyarakat Papua. Kebijakan ini
akhirnya justru akan melahirkan resistensi dan penolakan. Hal
inilah yang dialami oleh pemerintah Indonesia sejak Pepera
hingga kini. Gietzelt (1985) menggambarkan hal itu. Bahwa ada
beberapa efek yang harus diterima oleh masyarakat Papua Barat
akibat hegemoni kebijakan pemerintah Indonesia. Masyarakat
mengalami tiga beban sekaligus: tekanan ekonomi, paksaan fisik,
dan penjajahan budaya. Masyarakat Papua menjadi korban proyek
peradaban. Program transmigrasi akhirnya membuat lahan
mereka diambil alih masyarakat dari daerah lain. Termasuk juga
upaya eksplorasi kekayaan alam mereka. Kedua hal ini, menurut
Gietzelt, adalah penyebab utama terjadinya disintegrasi sosial
orang Papua. Bentuk lain yang menjadikan masyarakat Papua
makin terpinggirkan adalah saat konsep kerja bakti digantikan
oleh konsep pekerjaan yang memperoleh gaji.
B. Agama
Isu agama muncul dan menjadi hangat di Papua pada
masa pasca Pepera dan dilanjutkan era Orde Baru hingga kini.
Sedikit banyak isu ini makin menghangat berbarengan dengan
isu pendatang. Pendatang selalu identik dengan Islam. Oleh
karena itu, ketika menjelaskan mengenai pendatang, selalu
dikaitkan dengan Islam. Bertambahnya populasi Muslim selalu
seiring dengan pertambahan populasi pendatang. Pendatang
yang berasal dari luar Papua pada kenyataannya sebagian besar
adalah Muslim.

47
Mutiara Terpendam

Pada tahun 1971, populasi Kristen di Papua mencapai


56.3%, Islam 22.0%, dan Katolik 21%. Pada tahun 1980, populasi
Kristen naik menjadi 64.5%, Islam turun menjadi 12.1%, dan
Katolik naik mencapai 23.3%. Pada tahun 1990, pertumbuhan
populasi Katolik, digabungkan dengan pertumbuhan populasi
Kristen menjadi 79.3% dan Islam juga naik menjadi 20.3%.
Tahun 2000, Katolik dan Kristen menjadi 75.5% dan Islam
menjadi 24.2%. Pada tahun 2010, populasi Kristen naik menjadi
59.63%, Islam turun menjadi 27.14%, dan Katolik naik menjadi
12.35% (Indiyanto 2013).
Mempertegas catatan angka di atas, mayoritas penduduk
Papua adalah beragama Kristen. Dan sebagian besar dari umat
Kristen tinggal di desa-desa dan gunung-gunung. Dua area
ini merupakan tempat tinggal penduduk asli Papua. Dalam
hal mata pencaharian, mereka sebagian besar adalah petani
kecil. Persebaran pemeluk Kristen yang sangat dominan di
area rural ini dapat dimaklumi, jika melihat sejarah masuknya
Kristen di Papua pada tahun 1881/1889 (Katolik) dan tahun
1927 (Kristen). Berbeda dengan masuknya Islam yang memilih
daerah perkotaan, pusat ekonomi, dan pesisir pada abad XIV/
XV, Katolik dan Kristen lebih dalam dari itu, bukan hanya di
wilayah perkotaan, melainkan naik ke gunung-gunung. Populasi
umat Islam di Papua lebih banyak menetap di daerah perkotaan
(khususnya, Sorong, Jayapura, dan Fakfak).
Masuknya Islam di daerah perkotaan berpengaruh pada
penguasaan para pendatang Muslim terhadap banyak sektor
ekonomi-bisnis di Papua, meskipun penguasaan ini tidak selalu
berujung konflik. Isu utama konflik biasanya berawal dari
keterdesakan orang asli Papua dalam wilayah pasar tradisional
dan bisnis. Mereka kalah bersaing dengan pendatang. Jika
konflik dikaitkan dengan agama, maka sebenarnya agama
adalah isu sertaan. Bukan isu utama. Akan tetapi, karena
kebetulan pendatang yang menguasai pasar tradisional dan
bisnis adalah beragama lain dari agama orang Papua, maka isu

48
Keragaman Suku Bangsa dan Agama Di Papua

agama kemudian menjadi isu penting. Sebagaimana pernah


terjadi konflik antarpenganut agama di Jayapura. Konflik ini
bukan karena sifat pemahaman ideologis antarpenganut agama
yang berbeda, melainkan akibat dari kecemburuan ekonomi
dari penganut agama yang berbeda. Efek agama terhadap
perekonomian pun menjadi terasa. Apalagi diperparah dengan
jumlah populasi pendatang yang naik secara fantastis, demikian
halnya dengan kenaikan signifikan jumlah penganut Islam di
Papua pada tahun 2000.
Meskipun demikian, kondisi tersebut bukanlah alasan
bagi umat beragama di Papua untuk melanjutkan isu tersebut
menjadi hal potensial terjadinya konflik. Setidaknya, para
tokoh agama utamanya dari Kristen dan Katolik yang telah
lama melakukan aktivitas penyadaran mengenai keberagaman
dan pluralisme. Sekretariat Keadilan dan Perdamaian (SKP),
misalnya, sering melakukan pertemuan bukan hanya melibatkan
umat Kristen dan Katolik, tetapi juga tokoh-tokoh dari agama
lain untuk membangun Papua yang berbasis pada perbedaan
yang dimiliki. Semangat itu tampak, minimal, dalam kumpulan
makalah yang diterbitkan menjadi buku yang berjudul
Membangun Budaya Damai dan Rekonsiliasi: Dasar Menangani
Konflik di Papua (2006). Buku ini merupakan hasil lokakarya
yang dilakukan pada 2002. Salah satu inisiatif lahirnya Papua
Tanah Damai adalah dari lokakarya ini. Dengan kata lain,
agama di Papua memiliki peran besar dalam membangun Papua
selama ini. Peran ini sebenarnya sudah terjadi sejak Belanda
masuk Papua bersamaan dengan zending.
Meskipun oleh sebagian orang, agama diyakini tidak akan
menjadi faktor utama yang dapat melahirkan konflik di Papua
secara umum, namun jika melihat penjelasan di atas, agama di
Papua memiliki pengaruh besar pada aspek-aspek lain, termasuk
ekonomi. Agama yang isunya selalu bergandengan dengan
pendatang tidak dapat dijauhkan dari kondisi perekonomian di
Papua. Pendatang, yang lebih menguasai sektor ekonomi, selalu

49
Mutiara Terpendam

dikaitkan dengan Islam. Stigma yang muncul adalah pendatang


berarti Muslim. Namun terlepas dari itu, perkembangan agama di
Papua sangat dinamis. Jika sebelumnya, agama tidak menjadi isu
penting di Papua, sekarang agama mulai menjadi salah satu isu
yang menjadi perhatian orang Papua. Sebagai contoh, komposisi
Majelis Rakyat Papua (MRP) selain merepresentasikan
perwakilan suku bangsa, juga perwakilan agama. Secara tidak
langsung, kriteria yang dimunculkan dalam Pilkada juga ada
unsur agamanya di mana selain harus orang Papua asli juga
mengharuskan dari agama tertentu. Contoh-contoh tersebut
memberikan gambaran bahwa agama mulai menjadi isu dan
faktor penting dalam kehidupan masyarakat Papua.
Jika penjelasan tersebut dikaitkan dengan hasil Sensus
Penduduk 2010 mengenai populasi agama di Papua dan Papua
Barat, akan kita pahami betapa makin pentingnya isu agama
di Papua (Indiyanto 2013). Dalam dua tabel yang menjelaskan
tentang populasi penganut agama di Papua dan Papua Barat,
kita akan melihat adanya perkembangan signifikan populasi
Muslim, sebagaimana secara ringkas juga telah disebutkan di
atas.
Situasi keagamaan di Papua diwarnai banyak aspek
kohesif, seperti kerjasama, penandatanganan bersama mengenai
toleransi dan utamanya mengenai Papua Tanah Damai. Setiap
pertemuan atau acara yang membicarakan perdamaian di Papua
selalu melibatkan tokoh suku bangsa dan tokoh agama. Agama
sudah mulai banyak dilibatkan dalam proyek besar seperti Papua
Tanah Damai. Dengan kata lain, sebagaimana disebutkan di
atas, agama juga telah masuk ke arena politik.
C. Keragaman Suku Bangsa
Papua memiliki ratusan suku bangsa yang sangat beragam,
meskipun jika dirumpunkan dapat dikelompokkan hanya pada
beberapa suku bangsa. Masing-masing memiliki ciri dan sistem
kebudayaan yang berbeda. Bagian ini akan menjelaskan tentang

50
Keragaman Suku Bangsa dan Agama Di Papua

keragaman suku bangsa di Papua. Bahwa, sadar atau tidak sadar,


keragaman suku bangsa di Papua merupakan modal sangat
berharga dalam kehidupan dan kedamaian di Papua. Keragaman
yang meskipun sesekali menimbulkan perselisihan, bahkan
perang, tetapi di dalamnya terdapat juga mekanisme kultural
untuk berdamai dan membangun kesepakatan dan solidaritas.
Membangun kedamaian.
Salah satu suku bangsa yang sering menjadi kajian
dan penelitian adalah suku bangsa Dani, atau sering disebut
orang Dani. Keyakinan kultural orang Dani atau suku bangsa
Dani adalah berdasarkan pada roh nenek moyang. Untuk
menghormati roh nenek-moyang ini, orang Dani melakukan
upacara. Pusat upacara antara lain adalah pesta babi. Orang
Dani memiliki orientasi hidup yang terjabarkan dalam banyak
konsep dan aktivitas keagamaan. Orientasi yang bermuara pada
kesejahteraan hidup. Uniknya, berperang masuk dalam orientasi
orang Dani, utamanya untuk mempertahankan hidup dan harga
diri. Konsep keagamaan terpenting orang Dani adalah konsep
atu. Atu dianggap sebagai kekuatan sakti dari nenek moyang,
yang diturunkan secara patrilineal. Tidak hanya keturunan laki-
laki, keturunan wanita juga dapat memiliki atu tersebut. Selain
itu, suku bangsa Dani juga memiliki konsep kepemimpinan.
Dalam suku bangsa Dani, kepemimpinan memiliki beberapa
level, baik dalam rumah tangga, komunitas, dan konfederasi.
Ada beberapa syarat untuk menjadi pemimpin (kain) di suku
bangsa Dani: kepandaian bercocok tanam, kepandaian berburu,
kepandaian berbicara, kepandaian berdiplomasi, keramahan,
kemurahan hati, kekuatan fisik, dan terutama keberanian dalam
peperangan dan pertempuran.
Selain suku bangsa Dani, ada suku bangsa lain yang
memiliki konsep kepemimpinan, yaitu suku bangsa Mee.
Konsep kepemimpinan dalam suku bangsa ini lebih mendasar,
di mana selalu dikembalikan pada konsep falsafah hidup orang
Mee, yaitu identitas diri: orang Mee. Pandangan hidup ini

51
Mutiara Terpendam

mempengaruhi seluruh gerak budaya orang Mee. Pandangan


hidup ini, misalnya, menuntun orang Mee untuk melakukan
aktivitas ekonomi, kepemimpinan, hidup sosial, dan sebagainya.
Dua contoh di atas sekadar untuk menyebutkan keragaman
konsepsi kebudayaan di antara suku bangsa di Papua.
Ada persamaan dan perbedaan antara konsep
kepemimpinan yang dimiliki dua suku bangsa tersebut. Orang
Dani mensyaratkan kecakapan personal ketika memilih seorang
pemimpin. Sementara orang Mee lebih melihat pada kekuatan
identitas personal. Sisi persamaan di antara dua suku bangsa ini
adalah kuatnya karakter yang tecermin dalam falsafah hidupnya.
Misalnya, orang Dani dan orang Mee melihat bahwa falsafah
hidup sangat penting dalam kehidupan mereka. Falsafah hidup
inilah yang bagi dua suku bangsa ini akan membimbing dalam
beraktivitas, baik aktivitas sosial, bertahan hidup, memperoleh
kesejahteraan, mengelola organisasi kesukuan, dan sebagainya.
Pandangan hidup ini pada akhirnya menampilkan
identitas orang Papua. Jika ditelusuri lebih jauh, bagi orang
Papua, identitas mereka berawal dari identitas kelompok kecil:
keluarga, desa kecil, atau sekelompok kecil desa-desa. Identitas
kelompok kecil atau individu itu didefinisikan melalui bahasa,
tradisi keluarga, agama, budaya, dan cara hidup secara umum
yang biasanya berbeda dengan tetangganya. Masing-masing
orang di tanah Papua mempunyai identitasnya masing-masing,
yang ditunjukkan dengan menyatakan dirinya manusia. Identitas
individual tersebut kemudian diikuti dengan ditambahkan
nama desa atau sungai asal mereka. Pada tahun 1800, baru
berkembang identitas umum orang Papua. Pada tahun 1898,
pemerintah kolonial Belanda membentuk pusat pemerintahan
di Manokwari. Melalui misi Kristen, masuklah para pengajar
dan penginjil di pantai utara. Oleh karena kontak terus-menerus
dengan orang asing, mulailah tumbuh identitas Papua.
sebuah identitas yang melebihi dari yang mereka alami sebagai
kelompok kecil sebelumnya. Dengan kata lain, sebenarnya

52
Keragaman Suku Bangsa dan Agama Di Papua

bukan Kristen yang berhasil menumbuhkuatkan identitas ke-


Papua-an. Mereka sendirilah yang memperkuat identitasnya
sendiri.
Rizzo (2004), dalam disertasinya From Paradise Lost
to Promised Land: Christianity and the Rise of West Papuan
Nationalism, ingin menguji apakah benar Kristen memiliki peran
besar dalam pembentukan identitas ke-Papua-an. Menurut
Rizzo, hal itu tidak benar. Warga Papua sendirilah yang berhasil
membangun identitasnya. Sebelum kontak dengan orang luar,
sebenarnya mereka sudah kuat identitasnya. Rizzo lebih jauh
memaparkan bahwa Kristen tidak memiliki konstribusi dalam
terbentuknya nasionalisme orang Papua. Menurutnya, orang
Papua memiliki identitas suku bangsa yang berbeda sebelum
bangsa Eropa masuk ke wilayah ini. Identitas orang Papua
Barat dibentuk oleh proses adaptasi terhadap lingkungan
sekitar dan hubungan dengan pihak luar: Maluku-Papua-
Ceramese. Jadi, identitas orang Papua, sebelum kedatangan
identitas etnis dari penjajah, telah terbentuk. Pembentukannya
melalui dan berbentuk sekumpulan mitos dan cerita. Hal ini
menjadi daya dorong utama dalam membentuk hubungan yang
dinamis dengan bangsa Eropa dan Kristen. Jadi Kristen tidak
membentuk orang Papua dan nasionalisme Papua. Tetapi orang
Papua sendiri sebenarnya sudah mengetahui tentang identitas
diri mereka.
Identitas ke-Papua-an tersebut makin menguat seiring
dengan sejarah pergolakan kekuasaan yang terjadi di tanah
Papua. Salah satu momen penting dalam pentas kekuasaan
terhadap tanah Papua terjadi pada tahun 1940-an hingga
1960-an. Saat itu, terjadi Perang Dunia II yang berimplikasi
pada proses penyerahan kedaulatan Belanda atas Indonesia
termasuk di dalamnya Papua. Proses peralihan kekuasaan di
Papua berujung kepada Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera)
JuliAgustus 1969 yang menyatakan Papua menjadi bagian
dari NKRI. Namun demikian, sejarah Papua setelah 1969

53
Mutiara Terpendam

menunjukkan bahwa hasil Pepera itu justru menjadi salah satu


akar konflik yang berkepenjangan hingga kini.
Konteks perjuangan identitas tersebut memiliki latar
sejarah yang susah diuraikan utamanya karena adanya kehidupan
suku bangsa yang sangat beragam di Papua. Identitas ke-Papua-
an, selama ini, lebih dilihat secara politik dan ras: bahwa mereka
selama ini dijajah oleh Indonesia sehingga mereka berjuang
untuk merdeka, dan orang Papua bukanlah ras Austronesia,
melainkan Melanesia yang dari sisi warna kulit dan potongan
rambut berbeda dengan ras Austronesia. Kesadaran ras tersebut
terbentuk hampir di seluruh suku bangsa di Papua. Ini dapat
dipahami karena kesadaran tentang ras dianggap sebagai cara
terbaik mengenal dan mempertahankan identitas ke-Papua-an
mereka.
Penelitian Harple (2000), Controlling the Dragon: An
ethno-historical analysis of social engagement (Indonesian Papua/
Irian Jaya), tentang suku bangsa Mimika/Kamoro di barat daya
Papua menjelaskan identitas tersebut. Dengan menggunakan
analisis etno-sejarah, Harple melakukan pelacakan sosial dan
budaya yang membentuk kesadaran sejarah tentang identitas
orang Papua. Mereka merasa berbeda dengan yang lain. Persepsi
dan aktivitas suku bangsa Mimika/Kamoro di masa lampau
mempengaruhi warganya dalam memaknai masa kini. Kamoro
memiliki konsep tentang amoko kwere (cerita mengenai leluhur)
yang akhirnya membentuk kesadaran dalam hubungan sosial
dengan pihak luar, pendatang. Cerita leluhur yang menggugah
identitas ras orang Papua. Melalui amoko kwere, yang selalu
ditransmisikan dari generasi ke generasi, menumbuhkan ikatan
dan kekuatan identitas kultural suku bangsa Mimika/Kamoro.
Dengan istilah yang berbeda, transmisi kesadaran ini terjadi di
hampir semua suku bangsa di Papua. Oleh karena itu, identitas
sebagai bangsa demikian kuat di Papua: Orang Papua.
Kesadaran tentang identitas tersebut memang tidak
selamanya mampu menyatukan dalam satu identitas bersama.

54
Keragaman Suku Bangsa dan Agama Di Papua

Hal ini karena setiap suku bangsa di Papua juga melakukan


pembentukan kesadaran tentang identitas suku bangsa.
Pergulatan internal tentang identitas kesukuan memberikan
kekuatan yang lain. Anggota suku bangsa memiliki identitas
ganda: identitas suku bangsa dan identitas orang Papua.
Sayangnya, identitas kedua lebih lemah ketimbang identitas
pertama. Tidak heran, jika kesadaran identitas yang mereka
pahami berujung pada kesadaran berikutnya, yakni ada pihak lain
yang berbeda dengan dirinya, berbeda dengan suku bangsanya.
Bahwa identitas anggota suku bangsa tertentu hampir dapat
dipastikan akan berbeda dengan identitas anggota suku bangsa
lain. Pemahaman bahwa ternyata ada pihak lain yang berbeda
dengan dirinya. Bahwa ada seseorang yang memiliki identitas
yang berbeda dengan identitas dirinya. Dan seterusnya.
Pemahaman inilah yang pada jalinan waktu selanjutnya justru
menjadi benih munculnya konflik antarsuku bangsa. Anggota
suku bangsa sudah terbentuk oleh sistem kebudayaan suku
bangsanya. Oleh karena itu perbedaan identitas, gesekan atau
konflik jarang dapat dihindari. Apalagi kemudian ditemukan
justifikasi pada sejarah masa lampau suku bangsanya melalui
cerita mengenai leluhur.
Dengan demikian, dapat ditegaskan bahwa keragaman
suku bangsa di Papua beserta sistem kebudayaannya bukan
tanpa dinamika. Bagi mereka, akhirnya, konflik adalah hal
yang biasa, sebagai akibat perbedaan pandangan tentang
sesuatu, atau akibat dari pengentalan kesadaran identitas
kesukuan. Schulman (1997) mencatat pengalaman perjalanan
dan pendakiannya di salah satu puncak tertinggi di dunia yang
berada di Papua. Di sekitar lembah Baliem: suku bangsa Dani.
Suku bangsa ini memiliki 30 klan. Konflik sering terjadi di antara
mereka. Biasanya masalah berawal dari kepemilikan babi atau
kecemburuan terhadap wanita. Sering juga menyangkut tanah
dan urusan materi. Dinamika yang sama juga terjadi di beberapa
suku bangsa yang lain, termasuk juga antarsuku bangsa seperti
perang suku bangsa (Andersen 2007).

55
Mutiara Terpendam

Konflik sosial yang terjadi di Papua tidak lepas dari


persoalan keragaman suku bangsa. Konflik sosial yang dipicu
karena perbedaan suku bangsa, budaya, dan golongan atau
kelompok. Konflik terjadi lebih karena permasalahan yang
dianggap merugikan dan mengganggu bahkan melanggar
aturan dan norma yang berlaku pada suku-suku bangsa yang ada
(Klinken 2004; Tjibaou 2005). Misalnya, masalah perzinahan
atau perselingkuhan, pembunuhan, kematian tidak wajar, dan
rasa dendam yang mendalam. Beberapa hal tersebut merupakan
penyebab perang antarsuku bangsa di daerah pedalaman Papua.
Di samping itu, konflik internal antarsuku bangsa yang terjadi
di masa lalu juga menjadi penyebab perang antarsuku bangsa
dan kelompok. Konflik sosial yang ada di daerah ini sering
disebut sebagai perang suku atau Dani wim dan Amungme wem.
Penyebutan ini disebabkan peristiwa perang suku yang terjadi
adalah antara suku-suku bangsa asli Papua yang mendiami
daerah tersebut, yakni suku bangsa Dani, suku bangsa Nduga,
suku bangsa Dem,suku bangsa Damal/Amungme, suku bangsa
Moni, suku bangsa Wolani, suku bangsa Ekari/Me, dan suku-
suku bangsa lainnya. Suku-suku bangsa tersebut dikenal sebagai
suku yang mempunyai tradisi perang sangat kuat (Tjibaou
2005).
Pelajaran yang dapat diambil dari penjelasan di atas
adalah bahwa keragaman suku bangsa di Papua tidak absen
dari dinamika. Oleh karena sebagian suku bangsa memiliki
sistem pengetahuan dan sistem kebudayan yang berbeda,
maka tentu saja itu mempengaruhi pandangan dunia masing-
masing terhadap lingkungannya. Sehingga sistem sosial yang
dibangunnya pun berbeda-beda. Di samping perbedaan
tersebut, terdapat kesamaan budaya di antara mereka. Misalnya,
sebagaimana diketahui, keragaman suku bangsa di Papua
sangat kaya. Kekayaan nilainya bukan hanya tentang bagaimana
menjalani hidup secara sosial dan ekonomi, melainkan juga
bagaimana kepemimpinan itu dapat terlaksana secara bijak.
Bahkan, kekayaan kultural tersebut juga sudah dianggap sebagai

56
Keragaman Suku Bangsa dan Agama Di Papua

agama mereka. Sistem religi, tradisi, kehidupan kultural yang


meliputi mereka sudah diakui oleh mereka sebagai bagian dari
keyakinan hidup dan agama mereka. Kekayaan ini tentu saja sulit
diadopsi oleh karena eksplorasi pengetahuan tentang mereka
tidak sampai pada keinginan lebih dalam menggali nilai-nilainya
(Klinken 2004; Tjibaou 2005). Oleh karena itu, belum ada
jembatan yang membawa kekayaan nilai kultural suku bangsa
ini ke dalam ranah hidup sosial modern di Papua (Farhadian
2005). Akibatnya, seakan kekayaan itu tetap dianggap sebagai
the other oleh nilai pembangunan yang dicobapaksakan
untuk dilaksanakan oleh orang Papua. Sementara, kekayaan
suku bangsa beserta sistem kebudayaannya merupakan modal
terbesar dalam membangun Papua.
D. Keragaman Agama
Bersandar pada penelitian Rizzo dan Harple di atas, agaknya
selama ini ada kesalahpahaman tentang kaitan suku bangsa
dengan agama di Papua. Bahwa ada generalisasi pemahaman
tentang agama orang Papua. Jika Kristen tidak dapat dianggap
memiliki kontribusi dalam pembentukan identitas ke-Papua-
an, maka tidak serta-merta dapat dikatakan bahwa agama
orang Papua identik dengan Kristen. Kesalahpahaman inilah
yang akhirnya memunculkan asumsi bahwa keragaman agama
di Papua menjadi persoalan. Pemahaman bahwa orang Papua
adalah Kristen, sementara agama lain bukanlah Papua lebih
karena sejarah panjang Papua. Dalam rentang lama banyak orang
Papua sudah menerima Kristen sebagai agama yang dianutnya.
Keberhasilan Kristen masuk ke desa-desa dan gunung-gunung
adalah faktor utama yang mempengaruhi pandangan orang
Papua tentang agama, meskipun sebenarnya banyak juga agama
lokal. Banyak suku bangsa di Papua memiliki ritual sendiri yang
berbeda dengan ritual Kristen.
Namun, tidak seluruhnya benar jika menyatakan bahwa
orang Papua tidak identik dengan Kristen. Banyak sekali suku
bangsa di Papua yang memang mengidentikkan diri sebagai

57
Mutiara Terpendam

Kristen. Banyak hasil penelitian menunjukkan hal itu. Salah


satunya adalah Bensley (1994), The Dani Church of Irian Jaya
and the Challenges Its Facing Today. Buku ini menjelaskan
kegelisahan masyarakat Dani menghadapi banyaknya pendatang
Muslim. Masyarakat Dani menganggap kehadiran pendatang
Muslim mengkhawatirkan bagi identitas orang Papua yang
Kristen. Bahwa orang Papua yang identik dengan Kristen
akan berhadapan dengan Islamisasi dan modernisasi sekaligus.
Tersirat dari dua penjelasan tersebut adalah bahwa orang Papua
sudah menyadari kehadiran orang lain yang memiliki tradisi,
kultur, dan agama yang berbeda. Dari sini pula, dalam sejarah
panjangnya, Papua menunjukkan keragaman dalam hal agama.
Bahwa ada juga agama lain selain Kristen di Papua: Islam,
Katolik, Hindu, dan lain-lain.
Islam dan Katolik sebenarnya tidak mengalami penolakan
oleh orang Papua. Penolakan lebih karena perilaku yang dinilai
menyinggung tata nilai harmoni di Papua. Perilaku keagamaan
yang sama sekali tidak menghormati adat dan agama yang sudah
lama dianut oleh orang Papua akan mengalami penolakan.
Dua agama ini, termasuk sebenarnya juga agama-agama
lain meskipun populasinya sangat sedikit, dapat hidup dan
berkembang di Papua. Dan dalam konteks sekarang, banyaknya
agama tidak menjadi persoalan dominan di Papua. Selalu ada
faktor lain yang mengiringi jika isu agama dimunculkan sebagai
penyebab konflik atau kekerasan.
Sekadar memberikan contoh dari penjelasan di atas
adalah kasus pembunuhan yang terjadi di Kota Sorong, Papua
Barat, pada 21 April 2014. Kasus pembunuhan seorang Haji
yang diawali ketika Pak Haji tersebut akan siaran on-air di
RRI Sorong. Saat itu, di depan RRI ada pemabuk. Pemabuk
tersebut meminta uang kepada Pak Haji. Mungkin karena
Pak Haji tidak memberi, kemudian pemabuk membunuhnya.
Kasus pembunuhan ini menjadi besar karena dibumbui menjadi
kasus agama. Bertebaran berita yang menginformasikan

58
Keragaman Suku Bangsa dan Agama Di Papua

agar perempuan tidak keluar rumah di malam hari dengan


mengenakan jilbab. Bentrokan ratusan warga pun terjadi.
Suasana mencekam sejak siang hingga menjelang sore.
Beberapa kawasan diblokade warga. Menjelang sore dan malam
suasana kembali pulih setelah polisi dan para pemuka agama
rembuk bersama dan mereka menghimbau warga Sorong agar
tidak terpancing provokasi. Kasus yang mirip sering terjadi di
beberapa daerah di Papua dan Papua Barat. Kasus yang semula
tidak ada faktor agamanya kemudian menjadi konflik besar.
Konflik besar terjadi setelah ada provokasi dengan memasukkan
isu agama.
Contoh kasus di atas memberikan klarifikasi bahwa isu
agama dalam konflik di Papua bukanlah isu utama. Dengan
kata lain, keragaman agama di Papua tidak mengkhawatirkan.
Agama bukan faktor konflik. Di Papua, keragaman agama,
sebagaimana di beberapa tempat lain, justru diterima dan
bahkan menjadi salah satu pendorong kemajuan di Papua.
Hal itu tampak pada, misalnya, komposisi MRP yang selalu
mempertimbangkan representasi agama. Cerminan keragaman
agama ini juga terlihat pada komposisi penduduk Papua
(dan Papua Barat). Meskipun umat Kristen adalah mayoritas
di Papua, umat agama lain juga tidak sedikit jumlahnya.
Kondisi keragaman agama ini sebenarnya sudah terlihat sejak
lama, bahkan sebelum Pepera. Dalam sejarahnya, di samping
memiliki beragam suku bangsa, di Papua juga sudah ada agama-
agama seperti Kristen, Katolik, dan Islam. Keragaman ini susah
dihindari dan tidak dapat dihilangkan. Bahkan keragaman ini
sangat mempengaruhi kondisi kehidupan masyarakat Papua
sejak dulu hingga sekarang, baik dalam sisi kehidupan sosial,
ekonomi, maupun budaya.
Sebagian diskusi literatur yang disajikan di atas memberikan
gambaran tentang keragaman suku bangsa dan agama dengan
dinamika dan konfliknya di Papua. Sebagian literatur lainnya,
yang mengkaji tentang kekayaan suku bangsa dan agama di

59
Mutiara Terpendam

Papua sebagai modal sosial untuk mengembangkan perdamaian


akan dielaborasi lebih jauh dalam bab selanjutnya (Bab IV).
Literatur-literatur yang telah dibahas di atas menyajikan
kekayaan kearifan lokal di Papua yang memberikan modal bagi
mekanisme budaya dalam penyelesaian persoalan atau konflik
di Papua.

60
Kearifan Lokal dan Agama Sebagai Modal Perdamaian

BAB IV
KEARIFAN LOKAL DAN
AGAMA SEBAGAI MODAL
PERDAMAIAN
Pada bab sebelumnya, disajikan kajian literatur
tentang keragaman suku bangsa dan agama
beserta dinamikanya di Papua. Bab ini, dengan
menggunakan studi literatur juga, berusaha
menjelaskan tentang kekayaan kearifan
lokal dan agama yang dimiliki Papua. Kajian
terhadap kekayaan ini memberikan modal
sosial yang sangat berharga dan potensial untuk
mengembangkan perdamaian di Papua.
A. Modal Perdamaian dari Kearifan Lokal
Perdamaian di Papua terbangun melalui
jaringan internal suku bangsa maupun dengan
luar suku bangsa. Konflik antarsuku bangsa
memang masih sering terjadi sebagai upaya
peneguhan identitas kesukuannya. Akan tetapi,
konflik suku bangsa tersebut sebenarnya dapat
teratasi dengan mekanisme yang mereka

61
Mutiara Terpendam

bangun sendiri dalam beragam bentuk pertemuan antarsuku


bangsa. Pertemuan tersebut dapat mengakhiri konflik dan
sekaligus membangun perdamaian dan solidaritas di antara
mereka. Sehingga kita dapat mengatakan bahwa perdamaian
bukanlah hal baru di Papua.
Kearifan lokal adalah kekayaan Papua dalam mengelola
perbedaan dengan mekanisme memperoleh jalan keluar dari
konflik dengan cara damai. Ada beberapa contoh mekanisme
kultural dalam menyelesaikan konflik, termasuk mengelola
dinamika perbedaan.Beberapa contoh berikut ingin menunjukkan
bahwa Papua memiliki modal yang sudah lebih dari cukup untuk
mempertahankan perdamaian di bumi Cenderawasih. Modal-
modal perdamaian ini memberikan gambaran tentang nilai
perdamaian dari keragaman adat di Papua.
Lebih dalam dari itu, sebenarnya ada satu kesamaan
nilai di antara suku bangsa di Papua, yakni nilai persaudaraan.
Meskipun konflik suku bangsa acapkali terjadi, tetapi selalu saja
ada mekanisme kultural di antara mereka untuk segera dapat
menyelesaikan konflik tersebut. Penyelesaiannya juga dengan
cara damai. Hal ini terjadi sebenarnya adalah karena rasa empati
bagi orang Papua sangat penting, kalau bukan malah utama.
Kehadiran seseorang yang berinteraksi dan berkomunikasi
bukan dilihat dari isi atau pesannya, melainkan pada bagaimana
rasa empati itu dirasakan. Rasa empati ini melahirkan
kepercayaan. Dan kepercayaan terhadap seseorang inilah yang
mempengaruhi seluruh proses komunikasi. Misalnya, proses
informasi akan berjalan lebih baik jika disampaikan oleh orang
yang dianggap kredibel dan dapat dipercaya. Oleh karena itu,
seringkali orang yang dipercaya tersebut adalah yang masih
memiliki hubungan kerabat dekat dari keluarga besar mereka.
Hal ini merefleksikan suatu kenyataan bahwa konsep
persaudaraan sangat kuat di Papua. Jika kehadiran seseorang
berhasil memunculkan rasa empati maka berimplikasi pada
pengakuan orang Papua kepadanya sebagai saudara, maka

62
Kearifan Lokal dan Agama Sebagai Modal Perdamaian

bangunan kepercayaan akan terbangun kuat. Jika sudah


demikian, interaksi dan komunikasi akan didasari oleh rasa
saling percaya dan saling jujur. Hal ini tidak dapat ditafsirkan
bahwa orang Papua adalah tertutup. Orang Papua sebenarnya
memiliki sifat sangat terbuka dengan orang lain. Contohnya,
jika orang Papua menyebut orang lain (misalnya, tamu) dengan
sebutan bapak atau tuan, itu artinya mereka belum sepenuhnya
menerima. Sebaliknya, jika memanggil dengan sebutan anak,
misalnya, itu artinya ada penerimaan sepenuhnya. Dengan
begitu berarti mereka telah menerimanya sepenuh hati (Goo
2013). Jika sudah demikian, siapa pun tamunya itu akan
dianggap sebagai saudara, sebagai bagian dari keluarga. Artinya,
nilai persaudaraan sangat terbuka dan sangat penting di Papua.
Konsep persaudaraan ini merupakan modal kuat membangun
perdamaian di Papua.
Ada sikap kehati-hatian dalam masyarakat Papua ketika
berkomunikasi dengan orang lain. Agaknya, ini dipengaruhi oleh
kondisi politik di Papua yang selama ini menempatkan orang
Papua sebagai korban, bukan subyek. Bahwa orang Papua adalah
obyek. Kemanusiaan, dalam tradisi lokal Papua, sangat dihargai.
Prinsipnya mereka tidak ingin mengganggu orang lain. Namun
jika diganggu kepentingan, hak, dan harga dirinya, maka mereka
akan melawan. Perlawanan ini sering berujung perang. Meskipun
demikian, perang selalu berakhir dengan perundingan. Adat di
Papua menyediakan media kultural untuk mencari penyelesaian
masalah, konflik, atau perang di antara mereka.
Masyarakat adat Papua memiliki mekanisme penyelesaian
masalah, konflik, atau perang di antara mereka dengan para-para
adat. Para-para adat adalah rumah atau bangunan yang menjadi
media kultural untuk acara-acara sakral dan memecahkan
masalah antarsuku bangsa. Tempat ini sengaja dibuat secara
khusus karena segala persoalan, keperluan, kepentingan, dan
kesepakatan-kesepakatan di antara mereka. Para-para adat ini
menjadi hal yang pokok dalam budaya Papua sejak lenyapnya

63
Mutiara Terpendam

rumah Mau (rumah yang berfungsi sebagai tempat inisiasi


anak laki-laki, salah satu bentuk kegiatan ritual pokok yang
telah lenyap seiring masuknya agama Kristen Protestan yang
melarangnya). Para-para adat dianggap sebagai tempat yang
disucikan dalam arti simbolis. Oleh karena itu, dalam hal
perawatan, perbaikan, pembongkaran, serta pembangunannya
diawali dengan musyawarah adat yang dipimpin secara langsung
oleh Ondoafi, tetua adat.
Dalam para-para adat ini juga dimanfaatkan untuk
menyelesaikan pertikaian antarsuku bangsa. Para pihak yang
bertikai difasilitasi untuk berkumpul dan mencari jalan keluar
bersama. Masing-masing mengusulkan kepentingannya.
Masing-masing menjelaskan persoalannya. Dalam tradisi ini
ditampung segala keinginan, hingga diperoleh kesepakatan
bersama, hingga persoalan tersebut dianggap sudah selesai.
Tidak perlu lagi diungkit. Setelah itu, masih di forum tersebut,
dibangun kesepakatan bersama untuk tidak mengulangi lagi
dan menjaga keharmonisan kehidupan antarsuku bangsa.
Selain mekanisme kultural di atas, ada juga mekanisme lain
yang disebut tikar adat. Sebuah mekanisme yang memfasilitasi
persoalan antaranggota suku bangsa atau adat. Kalau ada
masalah keluarga, orang-orang tua mengajak warganya untuk
menyelesaikan masalah di atas tikar. Seperti halnya dalam para-
para adat, seluruhnya mesti disampaikan hingga tidak muncul
lagi buntut masalahnya. Kalau sudah di atas tikar adat, masalah
yang ada kemudian diselesaikan secara baik (Goo 2013). Tikar
adat ini tidak melulu menyelesaikan persoalan keseharian. Tikar
adat ini, bahkan, menjadi ajang warga adat untuk mengeluarkan
aspirasi, baik yang berkaitan dengan persoalan individu maupun
kelompok.
Tikar adat adalah konsep yang dibangun oleh suku bangsa
atau adat. Sejatinya, tikar adat dapat disamakan dengan rapat
warga yang ada di beberapa daerah lain. Perbedaannya adalah
jika rapat warga mungkin tidak dihadiri oleh semua warga.

64
Kearifan Lokal dan Agama Sebagai Modal Perdamaian

Sementara, dalam tikar adat, semua anggota adat hadir. Perbedaan


lainnya, jika dalam rapat warga hanya berlangsung beberapa
jam, maka tikar adat dapat diselenggarakan hingga malam.
Sampai persoalan selesai. Jika ingin menghimpun aspirasi, maka
tikar adat akan diakhiri apabila sudah sama sekali tidak ada yang
menyampaikan pendapat. Dinamakan tikar adat karena dalam
proses pertemuannya menggunakan tikar. Sebagaimana rapat
warga, proses tikar adat juga ada yang memandu dan memimpin
jalannya rapat. Hingga kini, tikar adat masih sering dilakukan,
meskipun sudah agak terpinggirkan oleh kebijakan pemerintah.
Mekanisme kultural ini terpinggirkan akibat dari kebijakan
pemerintah yang membuat sekat-sekat kelompok di Papua.
Kelompok Merah-Putih, pro-Merdeka, Otonomi Khusus, dan
pemekaran. Maksudnya, jika ada persoalan, orang Papua sudah
jarang memanfaatkan mekanisme kultural tersebut, melainkan
melimpahkan ke pihak aparat keamanan (negara). Padahal, jika
diselesaikan di tikar adat dan para-para adat, tidak ada yang
merasa diuntungkan dan dirugikan, karena posisi individu
secara sosial akan kembali normal. Oleh karena itu, sebenarnya
nilai-nilai adat Papua sudah memiliki potensi besar untuk
dihidupkan kembali dalam membangun perdamaian, toleransi,
dan solidaritas sosial. Sementara, jika dilimpahkan ke pihak
aparat keamanan, yang diperoleh adalah penghakiman. Siapa
yang salah dan siapa yang benar. Ujungnya, siapa yang menang
dan siapa yang kalah. Padahal, dengan mekanisme pelimpahan
ini, pihak keamanan (negara)-lah yang akan selalu menang.
Sementara orang Papua baik yang dikalahkan dan dimenangkan,
disalahkan atau dibenarkan, sama-sama mengalami kekalahan,
karena yang memiliki otoritas atas budaya mereka bukan diri
mereka sendiri, melainkan pihak di luar dirinya.
Model seperti ini sebenarnya dapat dimanfaatkan
sebagai modal untuk membangun kedamaian di Papua. Dan
oleh karena modal itulah Papua menjadi wilayah yang damai.
Papua memiliki budaya dan warisan kebudayaan yang dapat

65
Mutiara Terpendam

memperkuat warganya untuk mempertahankan kedamaian


dan harmoni, tanpa menghilangkan identitas kesukuan dan
sebagai bangsa Papua. Selain solidaritas kesukuan, orang Papua
juga memiliki solidaritas keagamaan, meskipun solidaritas
yang terakhir ini tidak serta merta berkonotasi negatif. Selain
nilai-nilai adat, mereka juga disatukan oleh nilai kekristenan,
walaupun kadang sulit dibedakan antara nilai Kristen dan nilai
adat. Hal itu tecermin dengan solidaritas kemanusiaannya yang
pada saat yang sama nilai tersebut terkandung dalam nilai adat
dan juga agama.
Pengelolaan solidaritas antarsuku bangsa, sebagai contoh
yang paling terkenal, adalah bakar batu dan bayar kepala.
Mekanisme ini pernah dipakai antara lain pada penyelesaian
damai di wilayah Kwamki Lama, Timika, Papua, pada Juli-
September 2006, ketika pecah perang antarsuku bangsa Damal,
Amungme, dan Dani. Bakar batu dan bayar kepala merupakan
representasi pengelolaan solidaritas melalui ritual dan keadilan.
Upacara bakar batu digelar selama lima hari. Pada hari
yang ditentukan, para anggota suku bangsa yang bersengketa
berkumpul, dan membuat perapian berbahan batu-batuan dan
ranting-ranting kering. Para wanita memasak sayuran dan ubi-
ubian di atas perapian tersebut. Setelah matang, semua anggota
suku bangsa yang hadir menyantap masakan tersebut (Tukan
2014). Upacara bakar batu seolah berfungsi sebagai sebuah
momen melupakan tragedi dan peperangan yang sudah terjadi
di antara mereka.
Momen pelupaan seringkali mengandung sebuah ketidak-
adilan bagi korban. Untuk menanggulangi hal ini, agar semua
pihak merasa ikhlas dapat menerima segala peristiwa yang telah
terjadi, diselenggarakanlah bayar kepala. Bayar kepala dapat
dikatakan sebagai pembayaran santunan kepada keluarga
korban yang meninggal. Pembayaran ini dapat mencapai ratusan
juta rupiah perjiwa. Namun, jumlah tersebut tidak seberapa
dibandingkan dengan nyawa. Mekanisme ini dipercaya sebagai

66
Kearifan Lokal dan Agama Sebagai Modal Perdamaian

sebuah pemutusan mata rantai dendam dan penghentian konflik


di kemudian hari (Tukan 2014).
Di beberapa daerah, bakar batu mengalami konteks-
tualisasi. Wamena, sebuah daerah tempat tinggal bersama
masyarakat pemeluk Kristen, Katolik, Islam, Hindu, dan
Buddha, misalnya, menjadi contoh bagaimana bakar batu
dikontekstualisasikan. Di Wamena, menu bakar batu ada yang
diganti dengan ayam dan daging (selain babi). Ini dilakukan
untuk mengakomodasi kehadiran penduduk Muslim dalam
pesta upacara. Kontekstualisasi ini memberikan makna bahwa
ritual bukan melulu sebagai ritual untuk melupakan tragedi.
Bakar batu adalah juga sebagai media untuk membangun
toleransi dan perdamaian. Demikian halnya dengan tradisi
bayar kepala. Ia tidak saja dapat bermakna sebagai media
resolusi konflik, tetapi lebih dari itu adalah membangun
kesepakatan-kesepakatan kultural agar perdamaian dapat
diwujudkan di antara mereka.
Ritual-ritual tersebut memiliki implikasi kuat dalam
tata perilaku toleransi. Bangunan kesadaran hidup bersama
dengan pihak lain semakin kokoh. Bahwa pihak lain tidak
lagi dianggap berbeda dan mengancam identitas kultural dan
eksistensi mereka. Pihak lain dianggap sebagai bagian dari
kehidupan masyarakat mereka. Sebagai salah satu contoh dari
implikasi tersebut adalah, dalam hal jabatan pemerintahan,
penduduk Islam memiliki hak menjadi pegawai pemerintahan,
sama seperti penduduk lain yang mayoritas (Kristen) (Kandipi
2014).
Ritual lain yang memperkuat modal perdamaian di
Papua adalah ritual pernikahan suku bangsa Dani (OBrien
1969). Dalam disertasinya yang mencermati ritual pernikahan
suku bangsa Dani, OBrien menjelaskan bahwa ritual tersebut
ternyata menyimpan dua fungsi sosial. Yaitu untuk menyatukan
dasar politik masyarakat dan untuk membangun persatuan atau
mengurangi permusuhan. OBrien mengungkap struktur dan

67
Mutiara Terpendam

fungsi sistem pembayaran (maskawin) dalam ritual pernikahan


masyarakat suku bangsa Dani. Akan tetapi, di balik tradisi
itu, OBrien menemukan ada aspek politik di dalamnya. Ada
kepentingan politik dari maskawin pernikahan, baik bagi
individu maupun kelompok dalam masyarakat tersebut. Bahwa
maskawin dijadikan sebagai alat untuk mengkonfirmasi kelegalan
dari pernikahan. Maskawin juga memberikan kontrol suami
atas akses seksual kepada istri. Tradisi ini akhirnya menyediakan
arena kepada pria untuk memperoleh dan mengukuhkan status
politik dengan cara memamerkan dan memberikan kekayaan.
Namun demikian, menurut OBrien, di balik semua itu, pada
dasarnya tradisi pemberian maskawin pernikahan dalam tradisi
suku bangsa Dani ini berfungsi sebagai sarana untuk menyatukan
dasar politik masyarakat sekaligus menjaga persatuan dan
mengurangi permusuhan di antara mereka.
Pernikahan, dengan demikian, bukan sekadar untuk
menjalin hubungan dua individu dan dua keluarga besar.
Pernikahan juga memiliki makna lebih. Pernikahan adalah
ruang untuk membangun kesepakatan politik, transaksi sosial,
dan bahkan penyatuan komunitas. Pernikahan memiliki misi
keharmonisan di antara keluarga dan klan. Ujungnya, pernikahan
adalah arena membangun persatuan dan perdamaian.
Contoh-contoh di atas, dan masih banyak lagi yang lain,
memberikan nuansa lain. Banyak cerita yang memberikan
nuansa negatif tentang Papua (selalu politis dan konflik), seakan
menutup betapa Papua menyediakan banyak kearifan lokal yang
menyimpan nilai budaya damai. Banyak tradisi lokal di Papua,
yang meskipun sekadar tradisi pernikahan dan tradisi sederhana
lainnya, jika diamati dengan jeli, selalu menyertakan misi
perdamaian. Dengan kalimat lain, mengembangkan kedamaian
dan perdamaian di Papua relatif tidak membutuhkan pihak
lain. Papua sendiri sejatinya relatif memiliki banyak pondasi
dari kekayaan tradisi lokal atau budaya adat. Inilah modal
perdamaian yang belum banyak dimanfaatkan.

68
Kearifan Lokal dan Agama Sebagai Modal Perdamaian

B. Modal Perdamaian dari Agama


Selain pengelolaan perdamaian dalam bingkai kekerabatan
suku bangsa, toleransi agama-agama juga dapat ditemui di
Papua. Potret toleransi dapat ditemui pada saat hari besar
keagamaan. Ketika Natal tiba, penduduk yang beragama Islam
berkunjung ke tetangga yang beragama Kristen. Sementara,
pada saat perayaan Idul Fitri, hal yang sama dilakukan oleh
masyarakat yang beragama Kristen. Ini merupakan hal lumrah
yang terjadi di Papua (al-Hamid 2014: 94-100).
Barangkali toleransi tidak cukup merepresentasikan
kenyataan hubungan Kristen-Muslim di Papua. Gambaran
toleransi ini lebih tepat apabila direpresentasikan dengan kata
pengakuan. Satu dan lain agama saling mengakui keberadaan
lainnya. Contoh jelas ketika Gereja Manuran, di Raja Ampat,
Papua Barat, diterjang tanah longsor pada Juli 2013. Gereja
dengan ribuan jemaat itu rusak ketika longsor datang mendadak.
Kejadian itu juga merenggut korban jiwa (Kompasiana,
18/8/2014). Untuk menggalang dana pembangunan kembali
gereja tersebut dibuatlah acara doa bersama. Kepanitiaan terdiri
dari elemen Kristen dan Muslim. Ketika acara dilaksanakan,
dana berhasil dikumpulkan dari masyarakat yang beragama
Islam dan Kristen. Dana tersebut sepenuhnya diberikan kepada
panitia pembangungan gereja. Potret seperti ini juga terjadi di
kalangan Muslim suku bangsa Fak-Fak (Republika 2/10/2011).
Potret ini, bagaimana pun, dapat dilihat sebagai potret pengakuan
atas keberadaan berbagai agama di Papua.
Seorang antropolog dari Universitas Cenderawasih,
Andreas Goo, dalam FGD Keragaman dan Kerukunan di
Papua (2013) membuat kesaksian menarik. Dia menceritakan:
...waktu saya jalan-jalan ke Kaimana dan Fak-Fak, saya
lihat tidak ada jarak dalam soal agama.... Kita orang Papua
juga harus sadar bahwa perubahan terus terjadi setiap hari
dan hanya kualitas dan jumlahnya yang berbeda. Agama,
suku bangsa, dan Islam Papua sudah bersatu, tapi kalau

69
Mutiara Terpendam

Kristen dengan agama suku bangsa saling bertentangan.


Kalau ada konflik antara Islam dan Kristen maka pasti ada
agency yang bermain di situ.
Kutipan di atas tidak ingin menonjolkan konflik peran
agama-agama, melainkan bahwa ada penerimaan orang Papua
terhadap agama lain. Bahwa konflik yang selama ini terjadi
tidak dapat dengan cepat diklaim sebagai konflik agama. Bahwa
selalu ada faktor lain yang menjadi pendulum utamanya.
Kesadaran bahwa ada kebersatuan antara agama dengan
suku bangsa yang ada di Papua merupakan modal berharga.
Selain itu, berkembangnya kesadaran bahwa konflik yang selama
ini terjadi, khususnya yang dikaitkan dengan agama, bukanlah
konflik agama, merupakan modal lain yang sangat signifikan
dalam mempengaruhi bangunan perdamaian di Papua. Dua
kesadaran ini sangat berguna sebagai pijakan menyuburkan
visi Papua Tanah Damai. Bahwa selain modal adat atau
kearifan lokal yang terepresentasi dalam suku bangsa, agama
juga memperoleh ruang untuk mengambil peran besar. Peran
suku bangsa dan agama ini dapat dijadikan jembatan dialog.
Sehingga, istilah yang berkembang di Papua mengenai dialog
yang dianggap merebus batu, karena tidak menghasilkan apa-
apa selain mengerdilkan orang Papua, akan terkurangi. Tidak
salah jika selama ini, dialog yang dipahami oleh orang Papua
adalah untuk upaya kemerdekaan mereka (Widjojo [ed.] 2010:
147).
Banyaknya kerjasama antaragama makin tampak. Ker-
jasama tersebut dilakukan baik dalam forum-forum atau
pertemuan formal maupun non-formal. Gerakan Papua Tanah
Damai adalah salah satu gagasan yang mempertemukan
jalinan antaragama untuk memperkuat visi tersebut. Selain
itu, pertemuan-pertemuan informal berupa saling kunjung
antartokoh agama di Papua sangat intensif dilakukan. Yang tidak
kalah penting adalah komunikasi antarumat beragama. Mereka
hidup bertetangga, bahkan di beberapa daerah mereka hidup

70
Kearifan Lokal dan Agama Sebagai Modal Perdamaian

satu rumah. Perbedaan agama bukan lagi terjadi antartetangga,


melainkan sudah dalam satu keluarga. Jalinan hubungan formal,
informal, non-formal, dan kekerabatan makin mengukuhkan
kuatnya pemahaman tentang perbedaan.
Tebay (2006), dalam bukunya Upaya Lintas Agama demi
Perdamaian di Papua Barat mencoba menguraikan peran dari
tokoh-tokoh agama dalam proses resolusi konflik dengan
menggunakan motto Papua Tanah Damai. Pada tahun 2000,
para pemimpin agama bersatu untuk mengkampanyekan
perdamaian. Pemimpin agama berharap kedamaian dengan
adanya hubungan baik di antara pemimpin agama.
Setelah Dialog Nasional antara Presiden B.J. Habibie
dan Tim 100 pada 1999 sampai 2008, tidak pernah ada lagi
dialog yang dilakukan dalam rangka menyelesaikan konflik di
Papua. Namun dialog sebagai salah satu solusi tetap menjadi
keinginan berbagai pihak di Papua maupun di luar Papua.
Sebagai contoh pada 16-17 Agustus 2004 Centre for Peace and
Conflict Studies, Universitas Sidney mengadakan international
workshop mengenai Peace Building and Development in West
Papua, Dialogue versus Violence: Hearing Other Voices. Proyek ini
menghasilkan position paper mengenai resolusi konflik di Papua
melalui dialog (Widjojo [ed.] 2010: 147). Dialog menjadi
titik yang sangat penting dalam upaya membangun hubungan
Papua-Jakarta, khususnya untuk membangun kehidupan di
Papua. Sementara di dalam Papua sendiri, upaya dialog tetap
menjadi poin utama dengan visi Papua Tanah Damai yang
dideklarasikan secara resmi pada tahun 2002. Upaya ini diawali
dengan melakukan seminar 5-7 Juli 2001 dan 25-30 November
2002 mengenai Papua (Tebay 2006).
Sebelumnya, jika Sekretariat Keadilan dan Perdamaian
(SKP) masih fokus pada NGO yang berbasis agama Katolik,
maka pada tahun 2000 mulai muncul gerakan kaum agamawan
Papua dari Kristen, Islam, Hindu, dan Buddha. Mereka
berinisiatif untuk berkumpul dan membangun pertemuan

71
Mutiara Terpendam

lintas-iman (interfaith) serta mendeklarasikan kampanye


perdamaian dengan slogan Papua Tanah Damai (PTD) dan
menetapkan tanggal 5 Februari sebagai Hari Perdamaian Papua
serta membuat acara khusus setiap tanggal 21 September dalam
rangka memperingati Hari Perdamaian Sedunia. Kelompok
interfaith dengan giat mempromosikan PTD ke seluruh wilayah
Papua, giat membangun jaringan dengan kelompok interfaith di
daerah lain bahkan ke tingkat internasional.1 Realitas perbedaan
sosial antara berbagai komponen etnis atau ras tidak boleh
ditutup-tutupi atas nama toleransi dan perdamaian. Sebaliknya,
persoalan yang ada perlu diangkat, dipahami dengan baik, untuk
kemudian dicarikan jalan keluarnya.
Upaya ini dimaksudkan memberi ruang yang sangat luas
kepada orang Papua untuk lebih berperan di tanahnya sendiri.
Peran-peran ini sedapat mungkin akan menghiasi bukan hanya
pada level pemerintahan, tapi juga mengakomodasi simbol-
simbol budaya Papua yang sebelumnya hal ini dianggap
sebagai ekspresi separatisme oleh pemerintah pusat. Selain
itu, melakukan penguatan sumber daya manusia Papua untuk
mampu bersaing dalam dunia usaha dan bisnis. Wilayah ini
merupakan area kompetitif yang selalu menjadi momok bagi
orang Papua. Mereka selalu kalah bersaing, bahkan dalam dunia
pertanian sekalipun.
Pentingnya rekognisi orang Papua didasari, setidaknya,
oleh dua alasan. Pertama, menyangkut upaya perubahan radikal
pada tataran inklusivitas orang Papua yang sebenarnya masih
tersekat dalam kelompok suku-suku bangsa kecil yang terbatas
baik secara ruang maupun waktu. Rekognisi juga melawan
kenyataan empiris terkotak-kotaknya orang asli Papua sendiri.
Orang asli Papua harus terlibat untuk berpikir dan bertindak
dalam kerangka kepentingan bersama Papua. Kedua adalah
1 Mgr. Leo Laba Ladjar, Uskup Gereja Katolik Jayapura, Pendeta Herman Saud, J.
Budi Hernawan, Thep van den Broek, dan I Gusti Made Sunartha adalah beber-
apa wakil dari kelompok Lintas Iman Papua yang aktif mempromosikan gagasan
Papua Tanah Damai ke banyak daerah di Indonesia dan luar negeri.

72
Kearifan Lokal dan Agama Sebagai Modal Perdamaian

terkait konsep Indonesia. Indonesia adalah konsep supra-etnis


yang mengatasi identitas-identitas suku bangsa yang jumlahnya
ribuan di wilayah Republik Indonesia. Dengan rekognisi, orang
Papua didorong membangun kesadaran sebagai bagian dari
suatu entitas yang lebih besar daripada suku bangsanya sendiri
atau bahkan klannya sendiri (Widjojo [ed.] 2010: 50).
Contoh lagi yang relatif sering diteliti adalah keharmonisan
kehidupan beragama di Kabupaten Fak-Fak: Satu Tungku Tiga
Batu. Penggunaan istilah yang sama tentang keharmonisan
juga terjadi di Sorong dan Kaimana. Konsep ini diambil dari
pengamatan terhadap kehidupan masyarakat Fak-Fak yang
meskipun memiliki keragaman dalam hal agama (Kristen,
Islam, dan Katolik), namun tampak rukun dan tidak ada konflik
kekerasan. Akan tetapi, ada yang menyatakan bahwa jika
pergi ke Fak-Fak akan menemukan bangunan Katedral Santo,
Masjid Agung Jami, dan Gereja Bethel Indonesia. Jika diamati,
selintas tiga bangunan tersebut akan membentuk segitiga garis
imajiner mirip seperti gambaran tungku dengan tiga batu. Hal
ini menggambarkan tentang terbangunnya toleransi dengan
saling kerjasama di antara tiga umat beragama tersebut. Tungku
adalah simbol yang dimaknai sebagai kehidupan sosial dalam
masyarakat. Batu adalah simbol yang dimaknai sebagai agama.
Satu Tungku dengan demikian diartikan sebagai kehidupan sosial
dalam bermasyarakat yang menyatu dan harmonis. Sementara
Tiga Batu berarti memiliki makna adanya tiga agama yang
menyangga. Satu Tungku Tiga Batu akhirnya dimaknai sebagai
satu kehidupan sosial dalam masyarakat yang disangga oleh
tiga agama.
Konsep Satu Tungku Tiga Batu sangat menarik. Konsep
ini sungguh merefleksikan tatanan hidup beragama masyarakat
Fak-Fak. Mengapa Tungku yang didahulukukan dan Batu
diletakkan di belakang? Mengapa tidak Tiga Batu Satu Tungku?
Ada kesadaran bersama bahwa toleransi dalam kehidupan
sosial adalah cita-cita bersama. Sementara untuk mencapai

73
Mutiara Terpendam

keharmonisan tersebut dibutuhkan kekuatan. Di Fak-Fak


penopang kehidupan sosial adalah agama. Oleh karena itu,
agama diambil kekuatannya untuk menjadi penopang tungku
keharmonisan dan toleransi dalam kehidupan sosial. Yang
diutamakan adalah kehidupan sosial yang damai dan toleran.
Agama berposisi sebagai pemberi nilai/ajaran agar tujuan
tersebut terjaga. Posisi agama sebagai penyangga kehidupan
sosial ini akhirnya membutuhkan peran para tokoh agama.
Tokoh agama bukan saja berfungsi untuk membina umatnya
sendiri, melainkan juga membangun jalinan sosial dengan
tokoh agama lain. Hubungan baik ini pada akhirnya berimbas
pada konstruksi interaksi dan kerjasama antarumat beragama
(Ernas 2014).
Hubungan baik inilah yang dalam banyak hal sangat
bermanfaat dalam menyelesaikan banyak problem sosial di
Papua, salah satunya konflik. Tebay (2006) memberikan contoh
tentang itu. Tebay menguraikan peran dari tokoh-tokoh agama
dalam proses resolusi konflik. Motto yang diusung adalah Papua
Tanah Damai. Pada tahun 2000, para pemimpin agama bersatu
mengkampanyekan perdamaian. Menurut Tebay, membangun
perdamaian di Papua mesti dimulai dengan mengembalikan
kehormatan terhadap martabat kemanusiaan orang Papua.
Dalam konteks ini, para pemuka agama relatif memiliki peran
penting dalam membangun kedamaian di Papua.

74
Penutup

BAB V
PENUTUP

Sejarah keterpurukan Papua bukan baru


dimulai sejak Papua masuk menjadi bagian
RI. Keterpurukannya sudah terjadi sejak masa
kolonial Belanda menguasai Papua. Di mana
saat itu, warga Papua dalam strata sosial dan
politik menjadi kelas tiga. Strata pertama
adalah warga Belanda. Strata kedua ditempati
oleh warga luar Papua yang dipekerjakan oleh
pemerintah kolonial di Papua. Dan strata
ketiga warga Papua sendiri. Mereka tidak
diberi kesempatan sedikit pun dalam sistem
pemerintahan kolonial Belanda di Papua.
Hingga kemudian saat pemerintah kolonial
memberikan kesempatan kepada warga asli
Papua untuk belajar (baca: sekolah). Setelah
itu persaingan antara warga asli Papua dengan
warga luar Papua mulai terjadi. Namun,
persaingan itu tidak banyak menolong posisi
kelas sosial dan politik warga Papua. Sebab
hanya beberapa orang Papua yang memperoleh
kesempatan untuk sekolah.

75
Mutiara Terpendam

Pasca Pepera kemudian Papua menjadi bagian dari RI


dengan nama baru Irian Jaya. Setelah bergabung dengan RI,
kondisi orang Irian Jaya tidak mengalami perubahan. Bahkan
pemerintah RI dianggap gagal meneruskan program pendidikan
yang sebelumnya sudah dicanangkan pemerintah kolonial.
Akibat dari tidak adanya perhatian pemerintah terhadap
akses pendidikan ini membuat makin tertutupnya orang Irian
Jaya memperoleh akses politik. Kondisi ini diperburuk oleh
kebijakan pemerintah yang mendatangkan warga luar Papua
untuk mengelola pemerintahan di Irian Jaya. Akibat lanjutnya
adalah perasaan sakit hati yang dirasakan orang Irian Jaya
terhadap pemerintah RI. Jika sebelumnya mereka merasa
ditelikung dalam Pepera, kebijakan mendatangkan warga luar
Irian Jaya makin menambah ketidakpercayaan orang Irian Jaya
terhadap pemerintah RI.
Di pihak lain, pemerintah RI memandang Irian Jaya
sebagai provinsi yang membutuhkan investasi pembangunan.
Sayangnya, program pembangunan ini tanpa melibatkan
dan mempertimbangkan orang Irian Jaya. Dengan kata lain,
pembangunan manusianya tidak memperoleh perhatian. Hal
ini berimplikasi pada bidang sosial, ekonomi, dan politik di
Irian Jaya ditentukan oleh orang luar Irian Jaya. Kecemburuan
pun memperoleh relevansinya. Gerakan-gerakan separatis
pun bermunculan. Keinginan merdeka bergelora. Sementara
pemerintah menyikapi hal ini dengan reaktif. Pasukan bersenjata
dihadirkan untuk melawan para separatis. Kondisi hubungan
Irian Jaya-Jakarta (Indonesia) makin buruk. Satu pihak ingin
memperoleh kemerdekaan akibat ketidakadilan yang selama
ini diderita. Pihak lain menganggap Irian Jaya sudah resmi
menjadi bagian dari RI, sehingga setiap gerakan yang mencoba
menggoyangnya akan dilawan.
Melihat kondisi ini, pemerintah menawarkan langkah
dialog untuk memediasi ketegangan. Dialog pun dilakukan.
Bahkan sudah berkali-kali. Tetapi konflik bersenjata juga tidak

76
Penutup

kunjung berhenti. Dialog sama sekali tidak mampu memecahkan


masalah. Buntu! Orang Irian Jaya mengibaratkannya sebagai
merebus batu. Tak ada gunanya. Kegagalan dialog pada
dasarnya disebabkan oleh perspektif awal masing-masing
pihak dalam dialog. Orang Irian Jaya memiliki persepsi bahwa
dialog diselenggarakan dalam rangka untuk memperoleh
kemerdekaan. Sementara pemerintah RI menempatkan posisi
lebih superior di atas orang Irian Jaya. Irian Jaya adalah bagian
dari Indonesia. Menurut pemerintah, dialog bertujuan untuk
memberikan peluang akses kepada orang Papua. Pembangunan
akan segera dilaksanakan. Akan tetapi, orang Irian Jaya tidak lagi
peduli dengan pemerintah RI. Kepercayaan mereka terhadap
pemerintah RI semakin luntur.
Beberapa LSM pun hadir untuk membantu mencari jalan
lain dialog. Ketika Irian Jaya berganti nama menjadi Papua
lagi, program-program LSM makin masif. Gerakan tersebut
bukan ingin melerai konflik Papua-Jakarta, melainkan ingin
menyentuh kebutuhan dasar orang Papua, yakni meningkatkan
kapasitas, baik kapasitas dalam pengelolaan pemerintahan
maupun kesadaran hak ekonomi dan politik. Gerakan ini
memang tidak dapat diharapkan akan memperoleh hasilnya
dengan cepat. Ini adalah program jangka panjang. Penguatan
kapasitas ini penting, sembari upaya dialog Papua-Jakarta tetap
dilakukan dengan opsi ada kesejajaran posisi di antara keduanya.
Tidak ada yang di atas dan di bawah. Agenda dialog juga dibahas
bersama sebelumnya. Tentu saja dengan mempertimbangkan
kondisi sosial dan budaya orang Papua.
Menyimak perjalanan ketegangan, konflik politik, dan
kegagalan dialog di atas, agaknya ada ruang kosong yang
selama ini belum disentuh dalam proses tersebut. Tampak sekali
perspektif Papua sama sekali tidak menjadi bahan pertimbangan
dalam pengambilan kebijakan maupun agenda dialog. Perspektif
Papua yang dimaksud adalah bagaimana orang Papua melihat
dirinya, kelompoknya, lingkungannya, alamnya, dan dunianya.

77
Mutiara Terpendam

Padahal, Pengetahuan tentang perspektif Papua sangat penting


untuk memperoleh pondasi tentang apa yang sebenarnya
diinginkan oleh orang Papua. Jika tidak, agaknya sulit untuk
membangun Papua dengan hati. Sulit membangun Papua
dengan cara damai.
Pengetahuan tentang Papua tersebut dapat diperoleh
dengan mencoba menyelami budaya yang dimiliki orang Papua.
Memahami juga tentang agama-agama mereka. Papua memiliki
kekayaan budaya dan tradisi yang luar biasa. Masing-masing
suku bangsa memiliki sistem kebudayaan dengan seperangkat
ritualnya yang bermacam-macam. Sistem kebudayaan inilah
yang membangun sistem pengetahuan dan pandangan dunia
(worldview) orang Papua. Bagaimana mereka memaknai diri,
kelompok, lingkungan sosial, alam, dan bahkan tuhannya.
Bagaimana mereka mengelola kehidupan di dalam kelompoknya.
Bagaimana mereka membangun sistem untuk berhubungan
dengan suku bangsa lain. Jika terjadi konflik antaranggota suku
bangsa terjadi, mekanisme kultural apa yang tersedia untuk
menyelesaikannya. Ritual apa saja yang memberikan nilai
terbangunnya solidaritas, toleransi, dan perdamaian di antara
mereka. Jika terjadi konflik antarsuku bangsa, mekanisme
kultural apa yang tersedia untuk menyelesaikannya. Ritual-
ritual apa yang memfasilitasi lahirnya kesepakatan pasca
konflik. Bagaimana mekanisme terbangun agar masing-masing
suku bangsa membuat kesepakatan untuk damai, toleransi, dan
penuh solidaritas.
Setelah sedikit banyak menelisik keragaman suku bangsa
dan agama orang Papua, sebenarnya banyak sekali nilai kultural
dari kearifan lokal yang dapat digunakan sebagai modal sosial
memperkuat perdamaian, toleransi, dan solidaritas di Papua.
Banyak sekali ritual, meskipun ritual sederhana seperti pemberian
maskawin perkawinan, ternyata di dalamnya menyimpan makna
solidaritas, peneguhan identitas, dan toleransi. Dan ujungnya
adalah mengantisipasi konflik. Nilai-nilai itulah yang absen

78
Penutup

dalam proses dialog. Pemerintah selama ini abai terhadap nilai-


nilai kultural warganya. Hal ini tidak hanya terjadi di Papua.
Di banyak wilayah di Indonesia, kebijakan pemerintah kurang
memperhatikan perspektif lokal ini. Padahal, dalam konteks
Papua, untuk memperkuat perdamaian dan toleransi relatif tidak
membutuhkan campur tangan pihak lain. Kekayaan budaya
yang dimiliki Papua sudah lebih dari cukup untuk digali dan
dimanfaatkan sebagai modal sosial membangun perdamaian
dan toleransi.
Oleh karena itu, kesimpulan yang dapat diambil adalah,
dalam konteks Papua, keragaman suku bangsa dan agama di
Papua adalah kekayaan budaya yang sangat berharga. Mutiara
terpendam! Kekayaan tersebut merupakan alternatif solusi jika
ingin membangun dialog dengan hati. Alternatif solusi yang
menempatkan orang Papua sebagai subyek, bukan obyek.
Ketersediaan beragam modal sosial dan kultural akan menjamin
titik cerah perdamaian dan toleransi di bumi Cenderawasih.

79
Mutiara Terpendam

Daftar Pustaka

Buku
Andersen, Oysten Lund, 2007. Suku Ketengban di daerah
Nongme dan Lingkungan Mereka, Jayapura: Universitas
Cendrawasih.
Athwa, Ali, 2004. Islam atau Kristenkah Agama Orang Irian?,
Jakarta: Pustaka Dai.
Bhandari, Humnath & Kumi Yasunobu, 2009. What is Social
Capital? A Comprehensive Review of the Concept, Asian
Journal of Social Science, 37.
Chauvel, Richard, 2005. Constructing Papuan Nationalism:
History, Ethnicity, and Adaptation, Policy Studies 14,
Washington: East-West Center.
Dale, Cypri J. P. & John Djonga, 2011. Paradoks Papua: Pola-pola
Ketidakadilan Sosial, Pelanggaran Hak atas Pembangunan,
dan Kegagalan Kebijakan Afirmatif, dengan Fokus di
Kabupaten Keerom, Papua dan NTT: FOKER LSM,
YTHP, Sunspirit For Justice and Peace.
Encyclopaedia Britannica, 2007. Anthropology, The study of
ethnicity, minority groups, and identity.
Ernas, Saidin, 2014. Dinamika Integrasi Sosial di Papua
Fenomena Masyarakat Fakfak di Provinsi Papua Barat,
dalam Jurnal Kawistara, Vol. 4 No. 1.

80
Daftar Pustaka

Esser, Hartmut, 2008. The Two Meanings of Social Capital,


Dario Castiglione, Jan W. Van Deth, Guglielmo Wolleb
(eds), Handbook of Social Capital, Oxford: Oxford
University Press.
Farhadian, Charles E., 2005. Christianity, Islam, and Nationalism
in Indonesia, New York: Routledge.
Forum Mahasiswa Peduli Masyarakat Pegunungan Tengah
(FMPMPT) Papua, Transmigrasi di Papua, dalam
https://groups.yahoo.com/neo/groups/Komunitas_Papua/
conversations/topics/20686. Diakses 30 April 2013.
Gesthuizen, Maurice, (et.al), 2009. Ethnic Diversity and Social
Capital in Europe: Tests of Putnams Thesis in European
Countries, Scandinavian Political Studies, Vol. 32 No. 2.
Gietzelt, Dale, 1985. Indonesia in West Papua: The Dynamics of
Indonesianization, Thesis di Departement of Anthropology,
University of Sydney.
Hamid, Idrus al-, 2014. Jayapura dalam Transformasi Agama dan
Budaya: Memahami Akar Konflik Kristen-Islam di Papua,
Disertasi di Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
Harple, Todd S., 2000. Controlling the Dragon: An Ethno-
Historical Analysis of Social Engagement (Indonesian Papua/
Irian Jaya), Disertasi di The Australian National University.
Indiyanto, Agus, 2013. Profil Penduduk menurut Agama yang
Dianut di Propinsi Papua dan Propinsi Papua Barat
Berdasarkan Sensus Penduduk 2010, Yogyakarta: CRCS
UGM. Tidak dipublikasikan.
Institut Teknologi Bogor, Gambaran Umum Provinsi
Papua, dalam http://repository.ipb.ac.id/bitstream/
handle/123456789/ 53600/BAB%20IV%20Gambaran%20
Umum%20Provinsi%20Papua.pdf ?sequence=4. Diakses
pada 02 Mei 2013.

81
Mutiara Terpendam

Jennifer Bensley (1994), The Dani Church of Irian Jaya and the
Challenges Its Facing Today.
Kandipi, Dian, Faiths Co-exist Peacefully in Papuan Town,
Khabar Southeast Asia diakses dari http://khabarsoutheastasia.
com/en_GB/articles/apwi/articles/features/2013/12/18/
feature-04 pada tanggal 18 Agustus 2014.
Klinken, Gerry van, 2004. Ethnicity in Indonesia, dalam Colin
Mackerras (ed), Ethnicity in Asia, London dan New York:
Routledge.
Lin, Nan, 2008. A Network Theory of Social Capital, Dario
Castiglione, Jan W. Van Deth, Guglielmo Wolleb (eds),
Handbook of Social Capital, Oxford: Oxford University Press.
Maarif, Samsul (et al.), 2014. Peran Kearifan Lokal Kasultanan
Ngayogyakarta Hadiningrat dalam Pengelolaan
Keragaman. Dalam Mendukung Keistimewaan Yogyakarta
melalui Perspektif Keilmuan Multidisiplin Guna Membangun
Kemandirian Bangsa. Yogyakarta Sekolah Pascasarjana,
UGM.
Meteray, Bernard, 2012. Nasionalisme Ganda Orang Papua , Ja-
karta: Kompas.
Mujiburrahman (et al.), 2011. Badingsanak Banjar-Dayak:
Identitas Agama dan Ekonomi Etnisitas di Kalimantan
Selatan. Yogyakarta: CRCS UGM.
Munir, Rozy, 2011. Migrasi,Ed. Sri Moertiningsih Adioeto-
mo & Omas Bulan Samosir Dasar-dasar Demografi,
Depok: Penerbit Salemba Empat dan Lembaga Demo-
grafi Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
OBrien, Denise, 1969. A Highland New Guinea Society, The
Graduate school of Yale University.
Parimartha, I Gde (et al.), 2012. Bulan Sabit di Pulau Dewata:
Jejak Kampung Kusamba Bali. Yogyakarta: CRCS UGM.

82
Daftar Pustaka

Putnam, Robert D, 2007. E Pluribus Unum: Diversity and


Community in the Twenty-first Century, Scandinavian
Political Studies, Vol. 30 No. 2.
Ress, Stuart, et.al., 2004. Peace Building and Development in
West Papua--Dialogue versus Violence: Hearing Other
Voices: A Report on Workshop IV, August 16-17, 2004,
and Future Directions for the Project, The West Papua
Project Position Paper No 5, November 2004.
Rizzo, Susanna G., 2004. From Paradise Lost to Promised Land:
Christianity and the Rise of West Papuan Nationalism,
Disertasi di University of Wollongong, New South Wales,
Australia.
Rumbewas, Spener, 2005. Poverty in Three Villages in Papua,
Disertasi bidang Development Studies, Massey Universtiy,
New Zealand.
Rumere, Victor, 2011. Pengembangan Ekonomi dan Investasi
Berbasis Migas di Papua Barat, dalam I Ngurah Suryawan
(ed.), Tanah Papua di Garis Batas: Perspektif, Refleksi &
Tantangan, Malang: Setara Press.
Safrida, 2014. Kerangka Teori dalam http://www.damandiri.
or.id/file/safridaipbbab3.pdf. Diakses pada 6 Januari 2015.
Saksi Mata, Gubernur Papua: Migrasi ke Papua Tertinggi di
Dunia, edisi Jumat, Mei 21, 2010, dalam http://sampari.
blogspot.com/2010/05/gubernur-papua-migrasi-ke-papua.
html. Diakses pada 30 April 2013.
Schulman, Neville, 1997. Zen Exploration In Remotest New
Guinea, UK: Summersdale.
Sekretariat Keadilan dan Perdamaian (SKP), 2006. Membangun
Budaya Damai dan Rekonsiliasi: Dasar Menangani Konflik
di Papua. Jayapura: SKP.

83
Mutiara Terpendam

Somantri, Lili, 2008. Mengenal Suku Bangsa di Pegunungan


Tengah Papua, Makalah Seminar Papua Sudah,
diselenggarakan oleh Perhimpunan Pencinta Alam
JANTERA, di Gedung PKM UPI, Bandung, pada 19
November 2008.
Sudjito, Arie, et.al., 2009. Meretas Jalan Perdamaian di Tanah
Papua, Yogyakarta: IRE.
Tebay, Neles Kebadabi, 2012. Angkat Pena demi Dialog Papua:
Kumpulan Artikel Opini tentang Dialog Jakarta-Papua
Tahun 2001-2011, Yogyakarta: Interfidei.
Tebay, Neles, 2006. Upaya Lintas Agama demi Perdamaian di
Papua Barat (Interfaith Endeavours for Peace in West Papua),
Human Rights series, Missio, 24, Aachen, Germany.
Tebay, Neles, 2006. West Papua: The Struggle for Peace with Justice,
London: Catholic Institute for International Relation.
Tim ALDP, 2013. Fokus Papua, Jayapura: ALDP dan Cipta
Media Bersama.
Tjibaou, Jean-Marie, 2005. Kanaky, Canberra: Pandanus Books.
Tukan, Peter, Bakar Batu dan Bayar Kepala Akhiri Perang Suku
di Papua, Pelita diakses dari http://www.pelita.or.id/baca.
php?id=32356 tanggal 10 Agustus 2014.
Upton, Stuart, 2009. The Impact of Migration on The People of
Papua, Indonesia, Disertasi Department of History and
Philosophy, University of New South Wales, Australia.
Widjojo, Muridan S. (ed.), 2010. Papua Road Map: Negotiating
The Past, Improving The Present, and Securing The Future,
Jakarta: KITLV-Jakarta, LIPI, Yayasan Pustaka Obor
Indonesia.

84
Daftar Pustaka

Berita dan Transkrip


Muslim Suku Fak-Fak Timika Sumbang Pembangunan
Gereja, Republika 2 Oktober 2011, diakses dari
http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/islam-
nusantara/11/10/02/lsfg8x-muslim-suku-fakfak-timika-
sumbang-pembangunan-gereja, pada tanggal 18 Agustus
2014.
Kompasiana, Potret Kerukunan Umat Beragama di Tanah
Papua, dalam http://sosbud.kompasiana.com/2013/07/15/
pot ret-ker ukunan-ummat-beragama-di-tanah-
papua-572763.html. Diakses tanggal 18 Agustus 2014.
Transkrip FGD Keragaman dan Kerukunan di Papua, Lemlit
STAIN al-Fatah Jayapura, pada 23 Mei 2013 di Jayapura.

85
Mutiara Terpendam

BIODATA PENULIS

Budi Asyhari-Afwan, lulusan program master di Prodi Agama


dan Lintas Budaya (CRCS), Sekolah Pascasarjana UGM.
Tujuh tahun terakhir aktif di Divisi Riset dan Data Center
CRCS UGM. Minat utama risetnya di sekitar ritual lokal serta
hubungan agama dan politik. Dia adalah salah satu penulis
Laporan Tahunan Kehidupan Beragama di Indonesia yang
diterbitkan CRCS UGM. Di luar CRCS UGM, dia aktif
menjadi redaktur Majalah Al-Manar.

86

Anda mungkin juga menyukai