Anda di halaman 1dari 160

Vol. 6 No.

2, September 2014
ISSN : 2085 - 6075

Jurnal
Vol.6 No. 2, September 2014

II

III

Dari Politik Pembangunan ke Regionalisme ASEAN: 1


Melacak Genealogi Politik Luar Negeri Indonesia
Kontemporer
Ahmad Rizky Mardhatillah Umar

Program Penanggulangan Bencana ASEAN: 47


Analisis Kepentingan dan Kemampuan
Henk Edward Saroinsong Indonesia Menuju Komunitas ASEAN 2015
Spica A. Tutuhatunewa Agung Setiyo Wibowo
Achmad Djatmiko ASEAN Community 2015: 65
Eko Junor The Not-So-Big Bang Launch and
Evolution of a Community
Dempo Awang Yudhi
Endy M. Bayuni
Muhammad Abdullah
Mensinergikan Konektivitas Nasional dengan 87
Konektivitas Kawasan sebagai Penunjang
Integrasi Ekonomi Kawasan
Ina Hagniningtyas Krisnamurthi

Gearing Towards an ASEAN 107


Political-Security Community 2015
M. Chandra W. Yudha
Membumikan ASEAN : 124
Pemanfaatan Media Televisi dalam Membangun
Identitas Kolektif ASEAN Menyongsong Komunitas
ASEAN 2015
Fatimah Alatas

TENTANG PENULIS 147


SAPADARIREDAKSI

Sapa dari Redaksi

Dalam rangka menyongsong ASEAN memasuki era baru sebagai


suatu kesatuan yang lebih padu dan bersama sebagai Masyarakat ASEAN
yang akan berlaku sejak tangggal 31 Desember 2015 mendatang, maka
Jurnal Diplomasi untuk terbitan Volume 6 Nomor 2 Tahun 2014
mengambil tema yang sama yaitu Menyongsong ASEAN Community
2015.

Terdapat sebanyak 6 (enam) orang penulis yang menyumbang untuk


edisi khusus mengenai ASEAN ini. Mereka terdiri dari berbagai latar
belakang profesi, birokrat, wartawan, peneliti dan diplomat muda. Telah
banyak bahasan dan artikel serta penerbitan di berbagai media dan
kesempatan mengenai Komunitas ASEAN, namun masih dirasakan perlu
untuk terus ditingkatkan, dilancarkan dan diperluas pemasyarakatannya
sehingga semua kalangan dapat memanfaatkan status baru ASEAN
tersebut untuk membuat hidup masyarakat di kawasan lebih baik,
sejahtera, damai, adil dan saling bermanfaat satu dengan dengan yang lain
dalam suasana kerjasama yang lebih luas dan saling mendukung.

Asia Tenggara telah menikmati stabilitas dan pembangunan dalam


jangka yang relatif panjang. Tingkat pertumbuhan ekonomi dan
pembangunan kawasan ini juga mencapai rekor dalam sejarah. Dalam
dekade terakhir kita telah menyaksikan bahwa tidak hanya negara-negara

Jurnal DIPLOMASI Volume 6 No. 2, September 2014 III


anggota pendiri saja yang mengalami hal tersebut, namun juga negara-
negara yang bergabung belakangan yang lazim disebut CLMV
(Cambodia-Lao PDR-Myanmar-Viet Nam) mencapai stabilitas, keamanan
dan perdamaian namun juga mencapai keajuan pembangunan yang
mengesankan.

Dinamika dan persatuan ASEAN merupakan faktor penting dalam


mendorong dan mendukung percapaian-pencapaian tersebut. Proses
ASEAN telah menjadi pilar penting dalam mengusahakan perdamaian dan
stabilitas kawasan sehingga memungkinkan negara-negara anggota
tersebut terhindar dari konflik sosial dan peperangan. Dalam tingkatan
yang variatif, pembangunan ekonomi dan tranformasi sosial negara-
negara anggota tersebut dalam dekade terakhir cukup mengesankan.
Pencapaian kemajuan tersebut memberiakan makna penting bagi
keberhasilan ASEAN untuk secara lebih yakin memasuki era baru sebagai
suatu komunitas modern mengikuti pengelompokan yang sama di
kawasan Eropa dan Amerika.

Stabilitas, kemajuan dan pembangunan yang dicapai negara-negara


di kawasan Mekong tersebut tidak hanya berfungsi menjadi cap atas
manfaat dan kohesifitas ASEAN sebagai organisasi regional yang menjadi
benchmark bagi kawasan lain. Tetapi dapat menjadi faktor penting bagi
kita di Indonesia untuk melakukan kaji ulang mengenai peran
kepemimpinannya dalam ASEAN. Hal tersebut tidak hanya perlu dipikir
ulang karena sebagai negara pendiri atau negara yang disebut sebagai

IV Jurnal DIPLOMASI Volume 6 No. 2, September 2014


SAPADARIREDAKSI

negara dengan ekonomi terbesar di Asia Tenggara, tetapi lebih dari itu
semuanya karena capaian dan kemajuan demokrasinya yang fenomenal.

Transformasi Indonesia menjadi suatu demokrasi maju dalam waktu


singkat dan secara relatif mulus merupakan modal sangat besar dan
penting. Namun kemajuan tersebut belum dapat dilakukan di sektor
pembangunan ekonomi, perdagangan dan produksi. Kita masih menjadi
pasar besar yang empuk bagi negara lain. Kecenderungan yang berlanjut
akan membuat kekuatiran disalip oleh negara-negara tersebut dapat
menjadi kenyataan dalam waktu yang tidak terlalu lama.

Dalam waktu yang kurang dari 2 tahun dari sekarang kelihatannya,


pemikiran untuk memanfaatkan kesempatan yang terbuka dengan
berlakunya Komunitas ASEAN untuk kemajuan bersama jauh lebih
mendesak daripada melakukan pekerjaan penggalangan pendukungan
dari kelompok-kelompok masyarakat. Kalangan industri, pelaku usaha,
akademisi dan kalangan jurnalis memegang peran sentral dan kritis bagi
Indonesia untuk memasuki era komunitas ASEAN tersebut secara mulus
jauh dan terhindar dari turbulensi ekonomi dan sosial. Pemanfaatan
beberapa status dan keunggulan yang telah dicapai yang disebut
sebelumnya merupakan modal paling besar bagi Indonesia dalam
melanjutkan perannya dalam ASEAN serta memanfaatkannya secara lebih
baik bagi kesejahteraan bersama, stabilitas, dan kemajuan kawasan. Dalam
kaitan ini tentunya Jurnal Diplomasi akan terus melakukan upaya dan
inisiatifnya.

Jurnal DIPLOMASI Volume 6 No. 2, September 2014 V


Terima kasih banyak bagi para penulis artikel. Selamat membaca bagi
para pembaca, kiranya ASEAN lebih maju dan bersatu setiap hari.

Salam dari Redaksi.

Volume 6 No. 2, September 2014


Dari Politik Pembangunan ke Regionalisme ASEAN:
Melacak Genealogi Politik Luar Negeri Indonesia Kontemporer

Dari Politik Pembangunan ke Regionalisme ASEAN:


Melacak Genealogi Politik Luar Negeri Indonesia
Kontemporer

Ahmad Rizky Mardhatillah Umar


e-mail: ahmad.rizky.m@mail.ugm.ac.id

ABSTRACT

This paper aims to analyze how the bebas-aktif foreign policy dealing
with the contemporary development of global capitalism. Drawn upon
political economic approach, this article argues that Indonesias foreign
policy since 1945 has had some linkages with development agenda of
each political regimes in Indonesia. Foreign policy in post-independence
era, as noted by former Vice President Mohammad Hatta, was marked
by an attempt to avoid the rising conflicts between the US and the
Sovyet Union that can affect Indonesias relations with other states,
primarily in obtaining development funds through trading with other
third world countries. However this doctrine was relied upon domestic
political countour that is in fact fragile to political changes. Several cases
from Sukarnos nationalist government until Suhartos capitalist New
Order shows that regime change and the politics of development, both in
national and regional level, influenced Indonesias foreign policy. The

Jurnal DIPLOMASI Volume 6 No. 2, September 2014 1


Ahmad Rizky Mardhatillah Umar

relations between domestic demand, regional dynamics, and Indonesian


foreign policy will be brought into a further discussion in this article.

Keywords: Bebas-Aktif Foreign Policy, Political Economy, Global


Capitalism, Discourse

.. Betapa djuga lemahnja kita sebagai bangsa jang baru, menurut anggapan
Pemerintah kita harus tetap mendasarkan perdjoangan kita atas adagium: pertjaja
kepada diri sendiri dan berdjoang atas tenaga dan kesanggupan jang ada pada
kita...

-Mohammad Hatta-

A. Pendahuluan

Dalam salah satu tulisannya tentang politik luar negeri Indonesia,


Mohammad Hatta menyatakan, Indonesia, rich in natural resources and
having 84,000,000 inhabitants, comes automatically as an important factor onto
the chessboard of world politics (Hatta, 1958: 480). Menurut Hatta, salah
satu faktor yang menentukan posisi politik Indonesia dalam kancah global
adalah kekayaan sumber daya alam yang berlimpah dan jumlah penduduk
yang begitu besar.

2 Jurnal DIPLOMASI Volume 6 No. 2, September 2014


Dari Politik Pembangunan ke Regionalisme ASEAN:
Melacak Genealogi Politik Luar Negeri Indonesia Kontemporer

Sebagai negara bekas koloni yang baru saja merdeka, Indonesia


dihadapkan pada sebuah pilihan sulit: tarikan eksternal dan kebutuhan
dana untuk menyukseskan program pembangunan. Pilihan untuk
membangun perekonomian seringkali berujung pada masuknya sebuah
negara ke kubu-kubu politik tertentu dalam konteks politik internasional,
terutama untuk mendapatkan bantuan (aid). Inilah sebabnya, sebuah
pembangunan akan sangat menentukan bagi politik luar negeri sebuah
negara.

Tesis Hatta di atas pada dasarnya sangat relevan dengan kondisi


Indonesia saat ini. Dengan kekuatan sumber daya alam dan sumber daya
manusia, Indonesia menjadi objek dari proses akumulasi kapital yang
dilakukan oleh kekuatan-kekuatan dominan (Robison, 1986; Hadiz &
Robison, 2004). Akan tetapi, selama ini, tidak banyak studi tentang politik
luar negeri, terutama politik luar negeri Indonesia, yang membahas dari
sisi ekonomi politik pembangunan. Padahal, dalam sejarah politik luar
negeri Indonesia, bantuan (aid) terbukti sangat kental mempengaruhi
kebijakan luar negeri Indonesia, terutama di masa Orde Baru (Weinstein,
1971). Setelah orde baru runtuh, kebijakan-kebijakan Indonesia di luar
negeri juga sangat terkait dengan wacana-wacana pembangunan neoliberal
yang dibawa oleh lembaga-lembaga keuangan internasional untuk
mengatasi krisis ekonomi 1998 (Novotny, 2004; Agussalim, 2011).

Hal tersebut di atas, mengindikasikan secara jelas bahwa analisis


mengenai politik luar negeri dalam perspektif ekonomi politik
pembangunan sangat diperlukan. Politik Luar Negeri pada dasarnya

Jurnal DIPLOMASI Volume 6 No. 2, September 2014 3


Ahmad Rizky Mardhatillah Umar

adalah instrumen sebuah negara untuk bermain dalam percaturan politik


internasional (Kegley & Wittkopf, 2006). Ekonomi Politik Internasional
(EPI) sangat penting untuk mendefinisikan apa itu power dalam politik
internasional dan bagaimana power beroperasi dalam politik
internasional (Cox, 2004). Oleh sebab itulah, ekonomi politik
pembangunan menjadi sangat relevan untuk digunakan dalam analisis
politik luar negeri.

Paper ini akan mencoba untuk mengulas politik luar negeri


Indonesia dalam kacamata analisis tersebut. Paper ini, mengikuti perspektif
kritis, melihat politik luar negeri sebagai sebuah hasil dari pertarungan
antara wacana-wacana pembangunan yang dianut oleh rezim politik
tertentu. 1 Oleh sebab itu, berlawanan dengan perspektif realisme yang
melihat politik luar negeri hanya sebagai cara untuk membangun kekuatan
(power politics), paper ini melihat politik luar negeri sebagai hasil dari
kontestasi wacana tentang pembangunan yang tidak hanya dibuat oleh
pengambilan keputusan politik di dalam negeri, melainkan juga
merupakan hasil dari kontestasi wacana-wacana tertentu yang ada di balik
pengambilan keputusan tersebut. Hal inilah yang coba dianalisis melalui
paper ini.

Paper ini akan dibagi menjadi lima bagian. Bagian pertama akan
melakukan reorientasi teoretis untuk membaca nexus antara politik luar

1Perspektif kritis yang dimaksud dalam paper ini lebih banyak mengikuti pendekatan EPI-
Gramscian yang diajukan oleh Robert W. Cox yang digabungkan dengan pendekatan kritis
dalam studi pembangunan yang digunakan untuk melihat bagaimana pembangunan berkaitan
dengan politik luar negeri suatu negara. Uraian tentang pemikiran Cox lihat Sugiono (1999).

4 Jurnal DIPLOMASI Volume 6 No. 2, September 2014


Dari Politik Pembangunan ke Regionalisme ASEAN:
Melacak Genealogi Politik Luar Negeri Indonesia Kontemporer

negeri dan pembangunan dalam kajian-kajian tentang politik luar negeri


Indonesia. Bagian kedua sampai keempat secara berturut-turut akan
mengulas manifestasi politik luar negeri Indonesia dan pembangunan di
era Sukarno, Soeharto, dan pasca-Suharto. Bagian terakhir akan
memberikan kesimpulan beserta implikasi-implikasi kebijakan yang bisa
dipertimbangkan dalam menghadapi era Komunitas ASEAN 2015.

B. Politik Luar Negeri dan Pembangunan: Reorientasi Perspektif

Selama ini, studi-studi tentang politik luar negeri didominasi oleh


perspektif realisme yang bertumpu pada sentralitas negara. Dalam
perspektif ini, politik luar negeri didefinisikan tidak lebih dari sekadar
apa yang dilakukan oleh negara dalam berperilaku di alam politik
internasional yang anarkis. 2 Perspektif ini menekankan pada perilaku
negara dalam menghadapi power politics di lingkungannya. Ada dua
asumsi utama yang dipegang oleh perspektif ini dalam memandang
realitas politik internasional, yaitu bahwa (1) aktivitas politik ditandai oleh
egoisme manusia (human selfishness) yang mendorong manusia untuk
berperilaku secara rasional untuk kepentingan dirinya sendiri; dan (2)
absennya pemerintahan internasional yang membuat negara menjadi aktor
paling penting dalam seluruh mengatur politik dan keamanannya
(Donnelly, 2005).

2 Penjelasan terbaik tentang perspektif realisme dalam politik luar negeri Indonesia dapat dilihat

pada tulisan-tulisan Michael Leifer (1983), Sukma (1999), atau Emmers (2010). Perspektif ini
menjadi sangat dominan dalam studi-studi Hubungan Internasional pasca-Perang Dingin,
terutama untuk menjelaskan posisi Indonesia dalam politik regional dan internasional.

Jurnal DIPLOMASI Volume 6 No. 2, September 2014 5


Ahmad Rizky Mardhatillah Umar

Perspektif realisme dalam hubungan internasional melahirkan


sebuah pendekatan dalam kajian politik luar negeri yang dikenal sebagai
pendekatan problem-solver. Pendekatan ini, mewarisi argumen-argumen
dasar dari realisme, melihat kebijakan luar negeri sebagai sebuah problem
yang harus diselesaikan oleh pembuat keputusan di struktur negara.
Pembuat keputusan dianggap sebagai aktor yang mampu bertindak
rasional dan memutuskan atas dasar kepentingan nasional negara. Oleh
sebab itu, pendekatan ini sangat menekankan proses pembuatan
keputusan luar negeri.

Di antara karya yang terkemuka adalah Allison (1971) yang


membahas soal krisis misil Kuba. Dalam argument Allison, proses
pengambilan keputusan luar berada di tiga level: Pertama, level aktor
rasional, yang mengandaikan pembuatan keputusan luar negeri pada
seorang pembuat keputusan yang mampu berpikir secara rasional.
Pendekatan ini mengasumsikan pemerintah sebagai black box yang
dioperasikan oleh satu aktor sentral dimana birokrasi yang berjalan di
bawahnya menyesuaikan pekerjaan mereka. Kedua, level proses
organisasional, yang melihat politik luar negeri sebagai hasil dari
koordinasi antara departemen-departemen pemerintah yang dipandu oleh
Standard Operating Procedure yang bersifat spesifik. Ketiga, level
governmental-politics, yang melihat politik luar negeri sebagai outcome dari
perdebatan dan pertarungan kekuatan-kekuatan politik yang ada. Proses
ini melibatkan negosiasi dan kompromi antara pemerintah dan kelompok

6 Jurnal DIPLOMASI Volume 6 No. 2, September 2014


Dari Politik Pembangunan ke Regionalisme ASEAN:
Melacak Genealogi Politik Luar Negeri Indonesia Kontemporer

oposisi, sehingga politik luar negeri dapat dikatakan sebagai produk dari
proses politik institusional.

Selama bertahun-tahun, teori ini dikenal sebagai teori yang paling


established tentang politik luar negeri. Akan tetapi, teori ini juga
menyimpan problem dan bias tersendiri. Ada dua kelemahan mendasar
teori ini seperti dicatat oleh Korany (1992: 13). Pertama, teori ini gagal
menemukan sumber domestik dari pengambilan keputusan luar negeri
suatu negara. Pendekatan problem-solver, terutama dalam karya Allison,
melihat decision-maker sebagai aktor rasional yang hanya mengambil
keputusan berdasarkan pertimbangan untung-rugi dari kondisi objektif
politik yang ada. Padahal, aktor tersebut juga memiliki preferensi ideologi
tertentu dalam melihat sebuah isu. Begitu juga dengan birokrasi-politik
dan kekuatan-kekuatan politik yang ada hal ini terutama nampak di
negara-negara dunia ketiga.

Kedua, pendekatan birokratik-politik sangat menitikberatkan pada


mekanisme institusional dan mengabaikan presiden (atau, dalam bahasa
penulis, logika-logika kekuasaan yang beroperasi di sekitar Presiden).
Banyak negara di dunia ketiga yang berada dalam rezim otoriter dimana
Presiden punya pengaruh sedemikian luas. Pendekatan Allison terbatas
hanya berada di negara yang punya budaya demokrasi kuat, tapi gagal
menjelaskan fenomena di negara-negara yang tidak atau sedang menuju
transisi demokratik.

Jurnal DIPLOMASI Volume 6 No. 2, September 2014 7


Ahmad Rizky Mardhatillah Umar

Dengan demikian, pengambilan keputusan luar negeri tidak


terlepas dari variabel-variabel eksternal yang ada di sekitar pemerintah.
Hal ini penting, terutama jika kita ingin menjelaskan fenomena politik di
negara yang sedang berkembang. Studi Burges (2008) menyatakan bahwa
politik luar negeri Brazil pasca-Perang Dingin menunjukkan
kecenderungan untuk membangun hegemoni konsensual dengan
kekuatan-kekuatan politik di regional, yang sangat ditentukan oleh
perubahan diskursus tentang pembangunan dan konsolidasi demokrasi
di tahun 1990an (Burges, 2008: 75). Hal ini juga terjadi di Timur Tengah,
dimana desain politik luar negeri negara-negara di Timur Tengah sangat
erat kaitannya dengan sumber daya ekonomi (baca: minyak) dan kekuatan-
kekuatan eksternal yang berkepentingan di sana (Hinnesbusch, 2002).

Dengan demikian, terlihat semacam nexus antara politik luar


negeri dengan pembangunan di satu negara. Preferensi politik luar
negeri di Timur Tengah akan sangat erat kaitannya dengan diskursus dan
rezim pembangunan yang beroperasi di negara tersebut. Argumen Cox
(2004), walaupun tidak spesifik tentang politik luar negeri, menarik untuk
diikuti. Cox berargumen, ekonomi politik internasional memberi fondasi
pada politik internasional untuk memahami power. Bagi Cox, kekuasaan
tidak dilembagakan hanya melulu dengan kekuatan militer atau politik,
tetapi juga melalui basis produksi. Dalam konteks negara dunia ketiga, apa
yang dinyatakan oleh mantan Wakil Presiden RI Mohammad Hatta sejalan
dengan tesis ini bahwa posisi sebuah negara (Indonesia) akan ditentukan
oleh sumber daya apa yang ia miliki (Hatta, 1958). Artinya, posisi sebuah

8 Jurnal DIPLOMASI Volume 6 No. 2, September 2014


Dari Politik Pembangunan ke Regionalisme ASEAN:
Melacak Genealogi Politik Luar Negeri Indonesia Kontemporer

negara akan sangat ditentukan oleh bagaimana ia mengelola sumber daya


di dalam negeri dan berhubungan negara lain atau membangun kerjasama,
baik di bidang ekonomi maupun politik.

Dengan demikian, paper ini tidak melihat politik luar negeri hanya
sebagai produk keputusan birokrasi (Kementerian Luar Negeri) atau
keputusan individual (Presiden) sebagaimana dipahami kaum problem-
solver, melainkan sebagai hasil dari pertarungan wacana dan kepentingan
ekonomi politik yang ada di dalam dan luar negeri. Sehingga, politik luar
negeri pada dasarnya ialah dampak dari proses pembangunan yang
terjadi di dalam negeri. Pertanyaannya, apa yang membentuk diskursus
pembangunan di dalam negeri dan bagaimana diskursus tersebut
dilembagakan secara formal? Dalam konteks negara dunia ketiga, terutama
yang pernah punya pengalaman kolonialisme dan baru merdeka, warisan-
warisan kolonial punya peran yang penting dalam menentukan bagaimana
suatu negara akan dibangun.

Di negara-negara dunia ketiga, Model pembangunan ini pertama


kali dikampanyekan oleh IBRD kemudian berubah menjadi Bank Dunia
di dunia ketiga dalam laporan mereka tentang Kolombia di tahun 1948
(Escobar, 1995: 25). Menurut laporan di Kolombia, negara dunia ketiga
akan maju manakala mereka dapat menyelesaikan problem di dalam
negeri dengan membuka pasar (Escobar, 1995: 27). Negara-negara dunia
ketiga dianggap sebagai anak kecil yang harus belajar dari orang dewasa
(baca: Amerika Serikat dan negara-negara maju lain) untuk dapat maju.
Oleh sebab itu, pembangunan harus dikelola secara teknokratis dan

Jurnal DIPLOMASI Volume 6 No. 2, September 2014 9


Ahmad Rizky Mardhatillah Umar

membuka peluang pada pasar untuk mengembangkan dirinya sendiri (self-


regulating market). Dengan demikian, pembangunan di negara dunia
ketiga pada dasarnya bukanlah sesuatu yang genuine berasal dari dalam
negeri, melainkan juga, sampai pada titik tertentu, adalah sesuatu yang
ditanamkan dari luar. Politik pembangunan internasional menjadi
instrument penting dalam menegaskan kekuatan dan hegemoni negara-
negara maju terhadap negara dunia ketiga (Sugiono, 1999). Dalam
konstruksi neoliberal governmentality yang cukup populer di negara-negara
Asia pasca krisis, atau di negara-negara yang mengalami transisi
demokrasi, pembangunan bahkan bisa menjadi alat untuk mendisiplinkan
suatu negara melalui asistensi atau bantuan pembangunan (Carroll, 2010;
Li, 2012; Umar, 2013).

Pada pada konteks ini, untuk memahami nexus antara politik luar
negeri pembangunan, analisis perlu ditekankan pada wacana-wacana yang
membentuk pembangunan di suatu negara. Pada titik inilah perubahan
diskursus tentang pembangunan di Indonesia menjadi menarik untuk
ditelaah. Sebagai contoh, perubahan diskursus pembangunan nasionalistik
Sukarno ke developmentalistik Suharto mengakibatkan perubahan haluan
politik luar negeri, dari yang awalnya condong ke blok Sovyet menjadi
condong ke blok AS. Setelah Perang Dingin, ketergantungan Indonesia
pada lembaga keuangan internasional juga mengakibatkan haluan politik
luar negeri yang lebih pragmatis. Konstruksi politik luar negeri tak lepas
dari proyek-proyek governmentality yang ada di level global dan beroperasi

10 Jurnal DIPLOMASI Volume 6 No. 2, September 2014


Dari Politik Pembangunan ke Regionalisme ASEAN:
Melacak Genealogi Politik Luar Negeri Indonesia Kontemporer

di level nasional dengan melalui berbagai teknologi (Larner dan Williams,


2009). 3

Lebih khusus, politik luar negeri Indonesia pasca-Suharto juga


tidak terlepas dari diskursus pembangunan atau ekonomi-politik secara
lebih luas yang beroperasi di tingkat global, termasuk proyek-proyek
tentang perdagangan bebas atau regionalisme ASEAN yang mulai
menguat pasca-krisis Asia 1997-1998. Dalam konstruksi regionalisme
ASEAN, hal ini bisa dibaca pada blueprint Komunitas Ekonomi ASEAN
yang sangat dipengaruhi gagasan pasar bebas a la WTO dan gagasan lain
tentang Human Development yang ada di Komunitas Sosial Budaya ASEAN
(ASEAN, 2009). Secara lebih spesifik, posisi Indonesia dalam kerangka
regionalisme ASEAN selama ini juga dipengaruhi oleh kerangka rezim
pembangunan yang beroperasi di dalam negeri. Penerimaan Indonesia
terhadap Komunitas ASEAN di tahun 2003 erat kaitannya dengan
beroperasinya logika neoliberalisme dalam pengambilan keputusan
ekonomi di dalam negeri, yang bersifat satu haluan dengan integrasi
ekonomi di level regional (Weatherbee, 2013). Artinya, untuk memahami
politik luar negeri di ASEAN, diskursus pembangunan yang beroperasi
baik di level global maupun domestik juga harus dipertimbangkan.

3 Konsep Governmentality diperkenalkan oleh Michael Foucault dalam esainya, Governmentality.

Konsep tersebut melihat kekuasaan politik tidak terletak pada institusi-institusi formal, tetapi
relasi-relasi kekuasaan yang berada di sekitar arena pertarungan politik. Artinya, politik tidak
hanya dimaknai pada basis institusional-formal, tetapi juga secara diskursif dengan menelaah
relasi-relasi kekuasaan yang beroperasi pada praktik politik tertentu. Kajian tentang
governmentality dalam politik global bisa dilihat di Larner and Williams (2009), Harriss (2002),
atau Li (2007).

Jurnal DIPLOMASI Volume 6 No. 2, September 2014 11


Ahmad Rizky Mardhatillah Umar

Sehingga, posisi dan keterlibatan aktif Indonesia di ASEAN pada dasarnya


juga dideterminasi oleh variabel-variabel pembangunan.

Pada titik inilah kita bisa memahami, pada level teoretik, nexus
antara pembangunan dengan politik luar negeri. Lantas, bagaimana
nexus tersebut diejawantahkan? Kita bisa melihat relasi tersebut secara
genealogis, dalam kasus Indonesia, pada rezim-rezim pembangunan yang
beroperasi di dalam negeri sebagaimana nantinya akan digambarkan
secara lebih komprehensif pada artikel ini. Jika dipahami dalam konteks
pembangunan, kita akan sampai pada argument bahwa diskursus tentang
pembangunan yang ada di suatu negara berpengaruh terhadap konstruksi
kepentingan nasional yang ingin dicapai dalam politik luar negeri. negeri.
Pada titik inilah kajian ekonomi politik menjadi relevan untuk mengupas
faktor-faktor penting yang mempengaruhi politik luar negeri Indonesia
kontemporer. Tulisan ini akan membedah nexus tersebut secara lebih jauh
pada politik luar negeri Indonesia di era Orde Lama, Orde Baru, dan
Reformasi.

C. Indonesia Pasca-Kolonial dan Lahirnya Politik Bebas Aktif

Pada tanggal 2 September 1947, Wakil Presiden Muhammad Hatta


menyampaikan sebuah pidato di hadapan Badan Pekerja KNIP. Pidato
yang kemudian diberi judul Mendajung di Antara Dua Karang tersebut
menjadi sebuah pidato yang bersejarah, dan menjadi salah satu pidato
paling penting dalam sejarah politik luar negeri Indonesia, karena memuat

12 Jurnal DIPLOMASI Volume 6 No. 2, September 2014


Dari Politik Pembangunan ke Regionalisme ASEAN:
Melacak Genealogi Politik Luar Negeri Indonesia Kontemporer

pendirian pemerintah RI dalam menyikapi pertarungan politik


internasional. Pidato tersebut disampaikan dalam konteks posisi Indonesia
menyikapi perjanjian Renville yang baru saja dibatalkan oleh pemerintah
Amir Sjarifuddin (Hatta, 1947).

Menurut Hatta, pembatalan Renville yang terjadi karena


pergolakan di dalam negeri dan kecenderungan untuk memihak pada
politik anti-imperialisme Sovyet membuat Indonesia berada di bawah
tarikan dua kekuatan besar: kapitalisme, yang dipandu oleh paham lassez-
faire dan persaingan bebas, serta sosialisme yang memiliki materialisme
sejarah sebagai cara untuk mengatur manusia (Hatta, 1947: 484). Oleh
sebab itulah, menurut Hatta, dengan potensi yang menyeret Indonesia
masuk pada percaturan politik internasional tersebut, Indonesia harus
memiliki posisi tawar sendiri dengan politik luar negeri bebas aktif.
Dengan politik bebas aktif, Indonesia akan dapat melaksanakan
pembangunan dengan baik tanpa harus punya beban terikat pada salah
satu kubu yang sedang berseteru di tingkat internasional (Hatta, 1947;
Hatta, 1953: Hatta, 452; 1958: 489). Dalam pidatonya, Hatta menyatakan
pendirian politik luar negeri Indonesia sebagai berikut,

Pemerintah berpendapat bahwa pendirian jang harus kita ambil ialah


supaja kita djangan mendjadi objek dalam pertarungan politik
internasional, melainkan kita harus tetap mendjadi subjek jang berhak
menentukan sikap kita sendiri, berhak memperdjoangkan tudjuan kita
sendiri, jaitu Indonesia Merdeka seluruhnja. (Hatta, 1947: 9)

Jurnal DIPLOMASI Volume 6 No. 2, September 2014 13


Ahmad Rizky Mardhatillah Umar

Haluan politik luar negeri Indonesia ditegaskan oleh Hatta:


percaya kepada diri sendiri dan berjuang atas kesanggupan sendiri. Frase
ini menarik, karena mencerminkan diskursus nasionalisme yang saat itu
sedang tumbuh di Indonesia setelah kemerdekaan. Hatta melihat bahwa
pertarungan politik internasional saat itu didominasi oleh dua kekuatan
raksasa: Amerika Serikat dan Uni Sovyet. Menyikapi pertarungan
tersebut, Hatta menyatakan bahwa Indonesia mendasarkan sikapnya pada
kepentingan nasional yang menentukan sikap dan posisi Indonesia di
kancah global. Kepentingan nasional tersebut mengacu pada politik ke
dalam yang berisi strategi-strategi pembangunan pemerintah (Hatta,
1947).

Apa yang bisa diambil dari pembacaan Hatta tersebut? Selain


menampilkan diskursus nasionalisme yang sangat khas, sebagaimana
telah diulas sebelumnya, pidato mendajung di antara dua karang
menampilkan dua karakter utama yang kemudian menjadi sentral dalam
haluan politik luar negeri Indonesia pada waktu itu: Pertama, haluan politik
luar negeri Indonesia bertumpu pada kepentingan nasional yang
menentukan posisi dan sikap politik Indonesia. Kedua, kepentingan
nasional tersebut sangat berkaitan dengan proses pembangunan yang
dijalankan oleh pemerintah di dalam negeri. Artinya, sejak awal Hatta
sudah menegaskan adanya nexus antara politik luar negeri dan
pembangunan yang membuat posisi keduanya tidak bisa dipisahkan.

Dengan demikian, seperti disebut Weatherbee (2013), pidato Hatta


tersebut tidak bisa dipandang sekadar sebagai ideologi, tetapi lebih

14 Jurnal DIPLOMASI Volume 6 No. 2, September 2014


Dari Politik Pembangunan ke Regionalisme ASEAN:
Melacak Genealogi Politik Luar Negeri Indonesia Kontemporer

sebagai bentuk posisi realisme politik Indonesia. Pidato Hatta tersebut


menyiratkan diskursus tentang pembangunan pasca-kolonial yang
mengharuskan Indonesia untuk mencari dana pembangunan. Pencarian
dana pembangunan yang terhambat oleh adanya agresi dan konfrontasi
militer dengan Belanda membuat Indonesia harus memikirkan jalan;
apakah harus berpihak pada dua kekuatan atau harus bersikap
independen; sehingga bisa lebih lincah dalam bergerak. Pendirian
tersebut kemudian diperjelas oleh Hatta dalam tulisannya yang lain di
tahun 1953,

Indonesia cannot possibly reconcile herself to being tied to the


economies of a few nations, all the more so because certain articles of
export such as rubber are subject to much fluctuation in price. Only by
adhering to a peaceful yet independent policy can Indonesia adequately
safeguard its economic interests

(Hatta, 1953: 450)

Dari sana, terlihat bahwa haluan politik luar negeri yang diambil
oleh Indonesia sangat terkait oleh kebutuhan penting Indonesia, yaitu
ekspor karet. Menurut Hatta, kondisi ekonomi Indonesia saat itu masih
sangat lemah dan sangat bergantung dengan ekspor. Oleh sebab itu,
perdagangan dengan semua negara harus dilakukan untuk menopang
ekonomi nasional, juga menyukseskan agenda-agenda pembangunan yang
ada (Hatta., 1953: 450-451). Pada titik ini, kita bisa melihat bahwa politik
luar negeri bebas-aktif lahir dari sebuah konteks pembangunan pasca-

Jurnal DIPLOMASI Volume 6 No. 2, September 2014 15


Ahmad Rizky Mardhatillah Umar

kolonial yang mengharuskan Indonesia mencari strategi untuk


mendapatkan dana pembangunan. Indonesia tidak menyatakan memihak
karena akan merugikan basis produksi Indonesia dalam perdagangan
internasional. Pembangunan pasca-kolonial menjadi latar ekonomi-politik
atas politik luar negeri Indonesia.

Pernyataan Hatta tersebut juga menjadi entry-point untuk


memahami kiprah Indonesia dalam menggalang negara-negara koloni
untuk melawan penjajahan. Dengan politik luar negeri bebas-aktif,
Indonesia menggelar Konferensi Asia Afrika (KAA) di Bandung, Aliansi
NEFO (New Emerging Forces), dan aksi-aksi anti-kolonialisme. Konferensi
Asia Afrika menjadi salah satu capaian penting Indonesia untuk
mengejawantahkan prinsip pembangunan yang bebas dan aktif dengan
mengorganisir kekuatan-kekuatan pasca-kolonial yang baru lahir ke dunia.
Beberapa studi melihat Konferensi ini sebagai awal mula kebangkitan
gerakan-gerakan nasionalisme di Asia dan Afrika yang mulai
mempertanyakan kolonialisme negara-negara maju (Berger, 2003;
Nesadurai, 2008). Konferensi Asia Afrika ini melahirkan Deklarasi
Bandung dan Komunike Bersama (Final Communique) yang ditandatangani
oleh peserta dari 24 negara Asia dan Afrika. Ada 12 item yang menegaskan
format kerjasama ekonomi yang akan dibangun. Hal yang menarik dari
Komunike tersebut adalah adanya dorongan dari negara-negara peserta
Konferensi untuk memprioritaskan kerjasama pembangunan dan
berinteraksi secara ekonomi. Yang lebih menarik, proposal kerjasama
ekonomi tersebut juga mengakui adanya asistensi pembangunan melalui

16 Jurnal DIPLOMASI Volume 6 No. 2, September 2014


Dari Politik Pembangunan ke Regionalisme ASEAN:
Melacak Genealogi Politik Luar Negeri Indonesia Kontemporer

modal asing, yang ditanamkan melalui perjanjian bilateral atau multilateral


dengan tetap memperhatikan kedaulatan negara yang bersangkutan (Final
Communique, 1955; Nesadurai, 2008).

KAA Bandung memberikan dua implikasi penting bagi politik luar


negeri Indonesia. Pertama, KAA Bandung menjadi ajang utama bagi
Indonesia dalam menggalang dukungan negara-negara di Dunia Ketiga.
Kehadiran banyak negara yang baru merdeka menjadikan Indonesia
sebagai pusat dari kekuatan alternatif politik internasional pada waktu
itu. Kedua, KAA Bandung sukses menjadikan nasionalisme dunia-ketiga
sebagai diskursus utama politik luar negeri Indonesia poada waktu itu
(Mayall, 1990; Berger, 2003). Diskursus utama yang mengemuka dalam
aktivitas tersebut adalah diskursus anti-kolonialisme dan penggalangan
solidaritas negara-negara baru yang secara geografis memiliki potensi
perdagangan dengan Indonesia. Beberapa langkah ini menempatkan
Indonesia sebagai salah satu kekuatan negara dunia ketiga di level
internasional.

Namun, kebijakan luar negeri bebas-aktif ini lambat laun mulai


merapatkan Indonesia pada kekuatan-kekuatan Timur, terutama setelah
tahun 1959. Kampanye Indonesia untuk menolak keikutsertaan Malaysia di
Dewan Keamanan PBB serta kampanye pembebasan Irian Barat
mendekatkan Indonesia dengan Sovyet. Kedekatan tersebut
diejawantahkan melalui bantuan dana pembangunan dan dukungan
politik (Derkach, 1965). Keluarnya Indonesia dari PBB dan kampanye
pembebasan Irian Barat merupakan cara Indonesia dalam membangun

Jurnal DIPLOMASI Volume 6 No. 2, September 2014 17


Ahmad Rizky Mardhatillah Umar

posisi di negara-negara pascakolonial lain, yang juga tak lepas dari tarikan-
tarikan kekuatan politik yang memiliki sumber daya.

Ada dua penjelasan yang cukup penting dalam memahami shifting


dalam haluan politik luar negeri Indonesia di era ini. Pertama, faktor
Sukarno. Sejak Demokrasi Terpimpin dideklarasikan pada tahun 1959,
Sukarno sebagai Pemimpin Besar Revolusi memiliki peran besar dalam
menentukan arah politik Indonesia, baik ke dalam maupun ke luar.
Dengan faktor Sukarno, yang telah lama memiliki pemahaman tentang
nasionalisme sebagai landasan politik Indonesia, menjadikan sentiment-
sentimen anti-kolonialisme sebagai kampanye utama politik luar negerinya
(Bunnell, 1966). Beberapa peristiwa di sekitar 1960an, di antaranya
pemberontakan PRRI dan Permesta yang diduga dibekingi oleh AS
serta masuknya Malaysia sebagai anggota DK PBB menjadikan haluan
politik luar negeri Sukarno terhadap negara-negara Barat menjadi agak
keras, dan pada gilirannya mendekatkan Indonesia kepada Sovyet.

Kedua, tentu saja faktor PKI. Posisi politik luar negeri PKI dalam hal
ini cukup jelas melawan kolonialisme dan menggunakan strategi
perjuangan kelas sebagai senjata perlawanan. Konsekuensi dari sikap
politik ini adalah membangun aliansi dengan kekuatan-kekuatan
revolusioner, yang jelas akan merujuk pada Uni Sovyet. Kemarahan
Sukarno atas negara-negara Barat, juga keretakan hubungannya dengan
elit Islam (terutama Masyumi) menyusul PRRI-Permesta membuka jalan
bagi PKI untuk masuk ke dalam jantung pemerintahan Sukarno, dan
mempengaruhi politik luar negeri Sukarno (Bunnell, 1966).

18 Jurnal DIPLOMASI Volume 6 No. 2, September 2014


Dari Politik Pembangunan ke Regionalisme ASEAN:
Melacak Genealogi Politik Luar Negeri Indonesia Kontemporer

Namun, hal terpenting yang menentukan dalam perubahan haluan


politik Indonesia menjadi lebih dekat kepada Sovyet adalah bantuan.
Dalam kampanye pembebasan di Irian Barat dan konfrontasinya dengan
Malaysia yang menjadi momen politik penting Sukarno, Uni Sovyet
memberikan bantuan militer dan bersikap suportif terhadap proyek politik
anti-nekolim Sukarno (Derkach, 1965; Bunnell, 1966). Artinya, faktor
terpenting dalam berubahnya haluan politik Sukarno di era demokrasi
terpimpin adalah bantuan karena Indonesia sangat memerlukan dana
segar untuk membebaskan Irian Barat dan Sovyet yang memberikan hal
tersebut. Pada titik inilah kita akan memahami bahwa konstruksi politik
luar negeri Indonesia di era Orde Lama akan sangat terkait dengan
diskursus tentang pembangunan di level domestik dan internasional.

Akan tetapi, kekacauan politik pasca-30 September 1965 telah


menyebabkan Indonesia mulai disibukkan oleh isu-isu domestik.
Melemahnya Sukarno dan menguatnya kekuatan militer yang didukung
oleh gerakan massa membuat situasi politik berubah 180 derajat. Jenderal
Soeharto, yang menjadi bintang pada krisis politik tersebut, mengambil
alih kekuasaan pada tanggal 11 Maret 1966. Dimulailah apa yang disebut
dengan Orde Baru, yang membalik semua arah politik luar negeri
Indonesia hingga 32 tahun kemudian.

Jurnal DIPLOMASI Volume 6 No. 2, September 2014 19


Ahmad Rizky Mardhatillah Umar

D. Re-Stabilisasi: Politik Luar Negeri RI era Orde Baru

Pada tahun 1966, terjadi perubahan politik yang cukup drastis di


Indonesia: perpindahan kekuasaan dari Sukarno ke Soeharto. Ditopang
oleh kekuatan militer dan diuntungkan oleh efek politik pasca-G30S,
Soeharto memegang tampuk kekuasaan dan sejak 1968 menjadi Presiden
RI. Negara-negara Barat menyambut perpindahan kekuasaan ini karena
posisi Indonesia sebelumnya sangat dekat dengan Uni Sovyet. Meminjam
analisis Bunnell (1966), militer memang menjadi lawan terberat dari Partai
Komunis Indonesia yang selama masa demokrasi terpimpin didisiplinkan
oleh Sukarno (Bunnell, 1966: 47). Naiknya Soeharto memberikan arah baru
dalam haluan politik Indonesia.

Sejak awal memimpin, Soeharto menampilkan politik luar negeri


yang berbeda 180 derajat dari Orde Lama. Soeharto menormalisasi
hubungan Indonesia-Malaysia, kembali masuk ke PBB, turut mendirikan
ASEAN, hingga menjalin hubungan yang lebih baik dengan negara-negara
Barat. Prioritas Suharto, pada saat itu, adalah menegosiasikan kembali
hubungan yang retak antara Indonesia dan Malaysia serta menormalisasi
hubungan keduanya. Kampanye New Emerging Forces yang digaungkan
Sukarno dengan cepat ditinggalkan (Sukma, 1995). Soeharto dengan cepat
melepaskan retorika anti-kolonialisme yang digaungkan Sukarno dan
menggantinya dengan inisiatif yang lebih halus (Leifer dalam Sukma,
1995).

20 Jurnal DIPLOMASI Volume 6 No. 2, September 2014


Dari Politik Pembangunan ke Regionalisme ASEAN:
Melacak Genealogi Politik Luar Negeri Indonesia Kontemporer

Namun, pada kenyataannya, tidak semua prinsip politik luar negeri


Sukarno ditinggalkan oleh Soeharto. Pada konteks ini, Soeharto masih
menjalankan politik bebas-aktif dengan aktif dalam forum-forum
internasional, terutama di tingkat regional. Hal menarik yang muncul
dalam politik luar negeri Soeharto adalah inisiasi regional yang segera ia
canangkan pada tahun 1967 (bahkan sebelum ia dilantik menjadi Presiden)
dengan turut mendirikan ASEAN. Pada bulan Agustus 1967, ia mengutus
Menteri Luar Negeri Adam Malik untuk hadir pada pertemuan menteri
luar negeri lima negara Asia Tenggara di Bangkok, Thailand. Pertemuan
tersebut menyepakati dibentuknya forum kerjasama regional dalam format
ASEAN. Hal tersebut dapat dimaknai sebagai re-manifestasi politik luar
negeri bebas aktif dalam bentuk keterlibatan dalam forum-forum
kerjasama di tingkat regional. Seiring perkembangan waktu, ASEAN
kemudian bertransformasi menjadi skema regionalisme yang lebih serius.

Namun, kita juga perlu bertanya: apa yang menyebabkan


perubahan haluan politik luar negeri ini? Dalam kacamata ekonomi-politik,
kita bisa melihat bahwa politik luar negeri RI pada waktu itu lebih
cenderung didesain untuk mendapatkan utang luar negeri yang digunakan
untuk membiayai pembangunan. Segera setelah Soeharto mengambil alih
kekuasaan, Soeharto mendesain format pembangunan nasional dengan
menggunakan teknokrat-teknokrat liberal yang berada di sekelilingnya dan
IBRD (Bank Dunia) setuju untuk membiayai pembangunan tersebut
dengan mengucurkan dana untuk beberapa proyek. Sebagai kompensasi
atas dana pembangunan tersebut, Soeharto mengesahkan UU Penanaman

Jurnal DIPLOMASI Volume 6 No. 2, September 2014 21


Ahmad Rizky Mardhatillah Umar

Modal Asing pada tahun 1967 yang menjadi payung investasi asing dan
diplomasi untuk mendapatkan utang (Robison, 1986). Pengesahan UU
tersebut juga diikuti oleh pelaksanaan Indonesia Investment Conference di
Jenewa yang disponsori oleh Time, Inc. dan menghadirkan para pebisnis
Barat yang ingin berinvestasi di Indonesia. Konferensi tersebut dihadiri
oleh Adam Malik (Menteri Luar Negeri) dan Sri Sultan Hamengku Buwono
IX. (Time, 1967).

Di awal masa pemerintahan Orde Baru, utang menjadi diskursus


utama yang menggeret politik luar negeri. Konsekuensi dari utang adalah
strategi pembangunan. Negara-negara donor yang difasilitasi oleh
Amerika Serikat dan lembaga-lembaga keuangan internasional tentu saja
memiliki prasyarat-prasyarat tertentu agar pinjaman dicairkan. Untuk
menopang utang agar bisa memenuhi kriteria pembangunan yang
diinginkan oleh negara donor, Indonesia membentuk IGGI (Inter-
Governmental Group on Indonesia) yang berisi negara-negara yang
memberikan resep kebijakan bersama-sama dengan IMF dan IBRD (Bank
Dunia) (Robison, 1986). 4 Negara-negara donor yang tergabung dalam IGGI
tersebut secara rutin memberikan masukan kepada Indonesia mengenai
strategi pembangunan apa yang perlu dilaksanakan. Salah satunya,
Soeharto yang ditopang oleh para teknokrat dan ekonom-ekonom liberal
yang percaya pada teori-teori modernisasi menerapkan kebijakan yang
berbasis pada perencanaan lima tahunan. Model perencanaan

4 IGGI dibubarkan pada tahun 1992 dan digantikan oleh CGI (Consultative Group on Indonesia).

Jika IGGI bersifat preskriptif dan memberikan resep-resep kebijakan, CGI lebih bersifat
konsultatif. Lihat Sukma (1995).

22 Jurnal DIPLOMASI Volume 6 No. 2, September 2014


Dari Politik Pembangunan ke Regionalisme ASEAN:
Melacak Genealogi Politik Luar Negeri Indonesia Kontemporer

pembangunan tersebut terinspirasi dari teori WW Rostow dan dibangun


secara teknokratis (Robison, 1986).

Pada tahun 1974, kedatangan Perdana Menteri Jepang, Tanaka


datang ke Indonesia untuk melihat investasi yang sedang berjalan. Namun,
kedatangan perdana menteri Jepang tersebut segera mendapatkan protes
dari mahasiswa yang menolak investasi asing dan utang luar negeri.
Pemerintah merespons dengan keras; terjadilah peristiwa kerusuhan 15
Januari 1974 (Malari) di Jakarta. Peristiwa ini mencerminkan adanya
resistensi terhadap kebijakan luar negeri RI yang berbasis pada utang.
Selain itu, fenomena ini memperlihatkan diskursus tentang pembangunan
dimana kebijakan pembangunan yang developmentalistik diramu dengan
otoritarianisme yang merepresi kekuatan-kekuatan sosial lain. Dengan
mengedepankan investasi dan menjaga proyek tersebut dengan kekuatan
militer, Indonesia mendapatkan keuntungan dengan adanya oil boom dan
dana segar yang didapatkan oleh pemerintah melalui utang luar negeri
dan investasi. 5

Dari latar belakang tersebut, terlihat bahwa reposisi politik luar


negeri Indonesia era Soeharto sangat dipengaruhi oleh kedekatannya dan
juga ketergantungannya dengan negara-negara Barat. Diskursus
pembangunan terencana, yang sentral dalam proyek penyebaran
kapitalisme global di tahun 1960an, menjadi salah satu penyebab penting

5 Salah satu investasi asing yang mula-mula dibuka adalah konsesi tambang emas di Papua yang

dikelola oleh Freeport, perusahaan tambang asal Amerika Serikat. Setelah itu, dibukalah
investasi-investasi asing, terutama di wilayah finansial dan pertambangan, yang diuntungkan
oleh UU Nomor 1 tahun 1967 tentang Penanaman Modal Asing.

Jurnal DIPLOMASI Volume 6 No. 2, September 2014 23


Ahmad Rizky Mardhatillah Umar

mengapa kebijakan luar negeri Indonesia dibuat dengan soft dan tanpa ada
pretensi untuk membuat konfrontasi dengan negara-negara Barat,
terutama Amerika Serikat. Orde Baru meneruskan politik luar negeri
bebas-aktif dengan aktif di forum-forum ASEAN dan mendorong gerakan
non-blok. Hal ini menyebabkan Indonesia banyak tampil di forum-forum
tingkat regional. Namun, di sisi lain, Indonesia juga melakukan kebijakan
anti-Sovyet dengan memutus semua bentuk hubungan diplomatik dengan
Sovyet dan China sejak 1967 (Sukma, 1995).

Hal menarik lain yang perlu diulas adalah munculnya ASEAN.


Sejak didirikan pada tahun 1967, ASEAN lambat laun berkembang menjadi
format regionalisme yang lebih serius. Ada dua hal penting yang menjadi
latar belakang politik-keamanan dari kemunculan regionalisme ASEAN
pada waktu itu (Weatherbee, 2013): Pertama, untuk mentransformasikan
politik Indonesia pasca-konfrontasi menjadi partner dalam kerjasama
regional yang lebih peaceful; Kedua, untuk mengamankan kawasan Asia
Tenggara dari dampak negatif Perang Vietnam, dan yang kemudian,
katastrop Kambodia. Dua hal ini menjelaskan sedikit tentang perubahan
haluan politik Indonesia yang pada awalnya mengedepankan nasionalisme
anti-kolonial menjadi lebih cenderung mendorong kerjasama-kerjasama,
baik bilateral maupun multilateral.

Di era ini, menurut Weinstein (1971), politik luar negeri Indonesia


didesain untuk tidak menjadi agresifatau dengan kata lain, cukup pasif
dalam menyikapi isu-isu internasional. Indonesia hanya terlibat aktif
dalam inisiasi regional via ASEAN dan Gerakan Non-Blok, selain, tentu

24 Jurnal DIPLOMASI Volume 6 No. 2, September 2014


Dari Politik Pembangunan ke Regionalisme ASEAN:
Melacak Genealogi Politik Luar Negeri Indonesia Kontemporer

saja, organisasi-organisasi internasional lain yang lebih prominent.


Pertanyaannya, apa yang membuat posisi Indonesia pasif pada waktu itu?
Salah satu hal penting dari ketidakterlibatan Indonesia dalam konstelasi
politik yang lebih hangat pada waktu itu adalah, seperti dikatakan oleh
Menlu Adam Malik dalam salah satu wawancaranya, untuk membantu
Indonesia dan negara-negara dunia ketiga lain dalam mendapatkan
keadilan ekonomi dari negara-negara maju (Weinstein, 1971: 177). Kita
bisa melihat bahwa motifnya juga tidak terlepas dari pembangunan
ekonomi di dalam negeri.

Pernyataan Adam Malik di atas menjadi cukup jelas untuk


menggambarkan perubahan haluan politik Indonesia. Posisi Indonesia
yang lebih banyak mendorong kerjasama multilateral, baik di tingkat
global maupun regional, pada dasarnya adalah upaya untuk menjaga
hubungan baik dengan negara-negara Barat dalam soal ekonomi. Hal ini
terutama terjadi kepada Amerika Serikat. Dengan latar belakang politik
konfrontasi yang digencarkan oleh Sukarno, Indonesia ingin
menormalisasi hubungan dengan bersikap lebih pasif dalam politik luar
negerinya. Hal ini terjadi hingga awal tahun 1990an Soeharto sendiri lebih
banyak tampil dalam penyelesaian masalah-masalah domestik hingga saat
itu.

Namun, pada awal dekade 1990-an, Uni Sovyet jatuh dan Perang
Dingin usai. Kondisi ini mengubah prioritas politik luar negeri AS yang
tidak lagi menggelontorkan banyak uang ke Indonesia. Pada tahun 1992,
IGGI yang mendampingi Indonesia untuk membuat kebijakan

Jurnal DIPLOMASI Volume 6 No. 2, September 2014 25


Ahmad Rizky Mardhatillah Umar

pembangunan dibubarkan dan digantikan oleh CGI yang lebih bersifat


konsultatif (Sukma, 1995). Seiring dengan kebijakan luar negeri AS yang
berubah, Indonesia mulai memperkuat hubungan kerjasamanya melalui
negara-negara Gerakan Non-Blok ketika terpilih memimpin Gerakan Non-
Blok pada tahun 1992-1995. Di level ASEAN, pembicaraan mengenai
kerangka regionalisme yang lebih terbuka (open regionalism) juga muncul
melalui inisiasi APEC dalam pertemuannya di Bogor tahun 1995 (Beeson,
2009). Indonesia, di tahun 1990an, mulai mengubah haluan politik luar
negerinya dengan aktif mendorong berbagai kerjasama di tingkat global
dan juga regional.

Keterlibatan aktif Indonesia ini perlu dipahami pada kacamata


ekonomi-politik internasional pada waktu itu, yakni mulai berkembangnya
neoliberalisme di akhir tahun 1980an melalui Thatcherism di Inggris serta
naiknya Reagan, dan kemudian Bush, di tahun 1990an. Tren baru ini
mengimplikasikan adanya pembicaraan untuk melakukan integrasi
ekonomi di level yang lebih luas. Namun, semua hal tersebut kemudian
berubah ketika krisis Asia menerjang hampir semua negara di Asia
Tenggara pada 1997-1998, dan menyebabkan pergantian rezim di
Indonesia pada tahun 1998.

26 Jurnal DIPLOMASI Volume 6 No. 2, September 2014


Dari Politik Pembangunan ke Regionalisme ASEAN:
Melacak Genealogi Politik Luar Negeri Indonesia Kontemporer

E. Dari Neoliberalisme ke Regionalisme: Politik Luar Negeri RI Pasca-


Suharto

Setelah Soeharto jatuh, tampuk kepemimpinan Indonesia beralih


pada Habibie, seorang teknolog yang bergabung dengan pemerintahan
Soeharto sejak 1990. Habibie melanjutkan nota kesepahaman yang telah
dibangun dengan IMF untuk menstabilisasi perekonomian Indonesia.
Upaya Habibie dilanjutkan oleh Abdurrahman Wahid dan Megawati yang
melanjutkan pinjaman dengan IMF dan membangun kerangka kebijakan
pembangunan berbasis structural adjustment program dengan dukungan
dana dari beberapa lembaga donor: IMF, Bank Dunia, USAID, dll. (Hadiz,
2004; Hadiz & Robison, 2004). Beberapa latar kebijakan pembangunan ini
menandai era baru dalam politik luar negeri Indonesia pasca-Soeharto.

Presiden Habibie menghadapi warisan krisis Soeharto yang cukup


pelik. Ia harus menghadapi konflik-konflik komunal di berbagai kota di
Indonesia, krisis dan dugaan pelanggaran HAM di Timor Timur dan
kerusuhan 1998, rehabilitasi ekonomi akibat krisis di tahun sebelumnya,
serta image yang buruk di mata dunia internasional. Dugaan pelanggaran
HAM di Timor Timur menjadi beban terberat pemerintahan Habibie.
Tuntutan Timor Timur untuk merdeka menguat segera setelah Soeharto
lengser dari jabatannya. Pemerintah Indonesia, seperti dilakukan
sebelumnya di tahun 1990an, mendisiplinkan Timor Timur dengan cara
yang militeristik. Kegagalan pemerintah dalam menghentikan kekerasan
segera menarik mata dunia internasional, yang segera mengutuk tindakan
tersebut dan membuat pasukan-pasukan internasional, dipimpin oleh

Jurnal DIPLOMASI Volume 6 No. 2, September 2014 27


Ahmad Rizky Mardhatillah Umar

Australia dan disetujui oleh PBB, berdatangan. Pada tahun 1999, Timor
Timur menjadi negara baru yang berdaulat, lepas dari Indonesia
(Weatherbee, 2005).

Krisis Timor Timur menjadi preseden buruk bagi Habibie. Amerika


Serikat diketahui segera melakukan embargo militer kepada Indonesia atas
insiden di Timor Timur tersebut. Warisan yang ditinggalkan Habibie
menjadi cukup berat sementara ia harus bernegosiasi dengan lembaga-
lembaga keuangan internasional untuk mengucurkan bantuan ke
Indonesia, citra Indonesia juga buruk di mata dunia. Salah satu kebijakan
yang diambil oleh presiden Abdurrahman Wahid adalah memperbaiki
citra Indonesia yang baru saja jatuh akibat berbagai kasus yang menerpa:
Timor Timur, Aceh, Papua, dan Maluku (Smith, 2000). Aktivitas
Abdurrahman Wahid yang sering bepergian disebut oleh Anthony Smith
sebagai Foreign Policy President dapat dibaca sebagai sebuah langkah
untuk mengembalikan citra Indonesia yang terlanjur negatif, juga dalam
konteks menopang pembangunan politik Indonesia yang sedang bergerak
menuju transisi demokrasi (Smith, 2000: 506-508).

Ada dua hal yang dapat dibaca dari politik luar negeri Indonesia
era Habibie dan Gus Dur: mencari dana untuk asistensi proses transisi
menuju demokratisasi dan juga pembangunan ekonomi pasca-krisis
serta perbaikan citra Indonesia di mata dunia internasional. Hal ini juga, di
sisi lain, merupakan awal dari munculnya global governmentality yang
men-drive kebijakan-kebijakan yang ada di Indonesia. Kebijakan
pembangunan yang mula-mula diambil adalah desentralisasi, yang

28 Jurnal DIPLOMASI Volume 6 No. 2, September 2014


Dari Politik Pembangunan ke Regionalisme ASEAN:
Melacak Genealogi Politik Luar Negeri Indonesia Kontemporer

digalakkan oleh Bank Dunia dan USAID. Desentralisasi menandai upaya


untuk memasukkan modal sosial dalam proses perencanaan
pembangunan (Hadiz, 2004: 701-702; Li, 2007). Skema desentralisasi di
Indonesia mentransfer kewenangan hingga pada tingkatan pemerintah
daerah dan pemerintah desa, sehingga mengurangi otoritas pemerintah
pusat dalam pembuatan kebijakan publik dan memasukkan logika pasar
pada kelembagaan daerah, bahkan desa (Hadiz, 2004).

Konsekuensi dari hal tersebut adalah aktivitas-aktivitas lembaga


donor tidak lagi hanya berada di wilayah pusat, tetapi juga sampai ke
daerah. Salah satu bentuk kebijakan yang lahir dari desentralisasi tersebut
adalah Program Pembangunan Kecamatan yang dibiayai oleh Bank Dunia
(kini menjadi PNPM-Mandiri Perdesaan) (Li, 2007). Pada titik inilah politik
luar negeri di era pasca-Soeharto menemukan peran pentingnya, yaitu
sebagai pintu masuk dari aktivitas-aktivitas donor ini dan dengan kata
lain memberikan dana segar bagi Indonesia. Politik luar negeri Gus Dur
juga Megawati yang menggantikannyatidak dapat dilepaskan dari latar
belakang tersebut. Pada era inilah kita melihat satu fenomena baru:
Kementerian Luar Negeri bukan lagi satu-satunya aktor yang berperan
dalam hubungan antar-negara. Politik luar negeri kini berlangsung secara
lintas-sektoral karena hampir semua sektor pemerintahan bisa bekerjasama
dengan lembaga-lembaga donor yang ada. Hal ini kemudian dapat kita
lihat manifestasinya di isu-isu yang lain.

Namun, sayangnya pemerintahan Abdurrahman Wahid hanya


bertahan selama hampir dua tahun. Setelah serangkaian maneuver politik,

Jurnal DIPLOMASI Volume 6 No. 2, September 2014 29


Ahmad Rizky Mardhatillah Umar

MPR-RI meng-impeach Presiden Abdurrahman Wahid dalam sebuah


sidang istimewa. Terpilih sebagai pengganti Abdurrahman Wahid adalah
Megawati Sukarnoputri, putri dari mantan Presiden RI, Sukarno. Kendati
merupakan putri dari seorang mantan Presiden RI yang mengambil
langkah revolusioner dan tegas melawan negara-negara Barat, kebijakan-
kebijakan Megawati ternyata berbeda dengan ayahnya. Megawati segera
mengambil langkah normalisasi utang serta memperpanjang pinjaman
dengan IMF dan Bank Dunia (Anwar, 2003). Sama seperti Soeharto, ia lebih
banyak berurusan dengan pembangunan di level domestik dan lebih
banyak mempercayakan urusan luar negeri dengan Menteri Luar Negeri,
Hassan Wirajudha. 6

Mengapa Megawati lebih banyak berurusan dengan urusan


domestik daripada urusan-urusan yang lebih strategis di luar negeri?
Dalam perspektif ekonomi politik pembangunan, jawabannya bisa kita
temukan: kebutuhan untuk membiayai pembangunan yang dananya
berasal dari pinjaman. Pada tahun 2001-2003, Megawati banyak
menandatangani Letter of Intent yang berisi persetujuan untuk
menanamkan pola-pola Washington Consensus dalam kebijakan publik di
Indonesia dan mencairkan pinjaman untuk melaksanakannya. Compliance
dengan IMF mengharuskan Megawati untuk banyak mengambil kebijakan
yang kontroversial, bahkan bertolak belakang dengan latar belakangnya
yang sangat nasionalis, yaitu dengan mendivestasi BUMN dan secara

6 Hassan Wirajudha adalah seorang diplomat karier yang cukup senior di jajaran Departemen

Luar Negeri. Wirajudha kemudian banyak meneruskan kebijakan-kebijakan yang lebih bersifat
birokrat, seperti ASEAN (Bali Concord III tahun 2003) atau pertemuan-pertemuan bilateral. Lihat
Anwar dan Crouch (2003) dan Weatherbee (2013).

30 Jurnal DIPLOMASI Volume 6 No. 2, September 2014


Dari Politik Pembangunan ke Regionalisme ASEAN:
Melacak Genealogi Politik Luar Negeri Indonesia Kontemporer

perlahan melakukan liberalisasi atas banyak sektor publik, termasuk Migas


(Anwar and Crouch, 2003). 7 Hal ini bisa dibaca sebagai manifestasi real dari
neoliberal governmentality yang ditanamkan dalam ekonomi-politik
pembangunan Indonesia pasca-Orde Baru.

Di sini yang menarik adalah bahwa politik luar negeri Indonesia


justru lebih banyak disibukkan oleh agenda kebijakan Global War on Terror
Amerika Serikat yang menyeret Indonesia karena ada pengeboman di Bali
tahun 2002. Sejak tahun 2003, Indonesia membentuk Badan Nasional
Pemberantasan Terorisme melalui UU Anti-Terorisme yang segera
dirancang menyusul pengeboman. Sikap Indonesia ini menarik untuk
dicermati. Mengapa Indonesia lebih memprioritaskan pemberantasan
terorisme daripada ASEAN? Jika dianalisis dari kebijakan pembangunan
Indonesia, terlihat bahwa pemberantasan terorisme punya implikasi pada
hubungan kerjasama antara Indonesia dan Amerika Serikat/Australia,
yang bisa berakibat pada pemutusan kerjasama ekonomi yang berakibat
negatif terhadap kepentingan nasional Indonesia. Selain itu, juga,
Indonesia memiliki beberapa MoU kerjasama di bidang pemberantasan
terorisme dengan Amerika Serikat dan Australia yang memberikan
beberapa bantuan, dalam bidang itu, kepada Indonesia.

Menariknya, pada masa Megawati, Indonesia aktif dalam forum-


forum di tingkat regional (ASEAN). Indonesia menjadi tuan rumah dari

7 Salah satu kebijakan yang diambil oleh Megawati adalah privatisasi BUMN. Di antara kasus

yang terkenal dalam kebijakan privatisasi tersebut adalah privatisasi Indosat yang sahamnya
dibeli oleh SingTel, perusahaan telekomunikasi Singapura. Kebijakan privatisasi dan liberalisasi
dalam bentuk rangkaian UU tersebut dapat dibaca sebagai manifestasi kebijakan Washington
Consensus di Indonesia.

Jurnal DIPLOMASI Volume 6 No. 2, September 2014 31


Ahmad Rizky Mardhatillah Umar

KTT ASEAN di Bali, yang melahirkan Bali Concord II sebagai output dari
perundingan tersebut. KTT tersebut kemudian menjadi bersejarah karena
hasil perundingannya menjadi batu pertama dari ASEAN Community
yang digadang-gadangkan akan efektif terlaksana di tahun 2015. Namun,
karena Megawati lebih banyak mempercayakan kebijakan pada Menteri,
ASEAN masih menjadi agenda dari Kementerian Luar Negeri dan belum
menjadi agenda utama pemerintah. Bisa dicatat, juga sebagaimana
disampaikan Weatherbee (2013), bahwa ASEAN menjadi brainchild dari
kerja-kerja diplomatik di level Kementerian Luar Negeri RI. Hampir semua
urusan politik luar negeri diserahkan kepada Menteri Presiden hanya
sesekali, di perundingan yang sifatnya strategis, datang dan
menyampaikan sambutan.

Tahun 2004, Susilo Bambang Yudhoyono terpilih sebagai Presiden


RI setelah mengalahkan pasangan Megawati-Hasyim Muzadi di Pemilihan
Umum. Di paruh pertama pemerintahannya, Yudhoyono banyak terlibat
dalam mengurusi hal-hal domestik, seperti rekonstruksi Aceh pasca-
Tsunami atau gempa di Yogyakarta. Kementerian Luar Negeri menjadi
aktor yang sangat penting dalam menentukan kebijakan-kebijakan strategis
ke luar (Weatherbee, 2013). Namun, ada yang perlu dicatat: Yudhoyono
juga mengajukan konsep zero enemy and million friends sebagai haluan baru
politik luar negeri Indonesia. Konsep ini meniscayakan Indonesia untuk
bekerjasama dengan semua kekuatan untuk, (1) promote justice and order in
the international arena, (2) better investment policy for economic development, (3)
democracy and consolidation in regional integration, (4) protecting Indonesian

32 Jurnal DIPLOMASI Volume 6 No. 2, September 2014


Dari Politik Pembangunan ke Regionalisme ASEAN:
Melacak Genealogi Politik Luar Negeri Indonesia Kontemporer

nationals particularly migrant workers, (5) maintaining national unity, dan (6)
striving for amore effective foreign policy mechanism. (Puspitasari, 2010).
Konsep ini meniscayakan Indonesia untuk memilih multilateralisme
sebagai haluan dalam setiap perundingan internasional.

Belakangan, Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa yang


menggantikan Hassan Wirayudhamencetuskan istilah baru pada politik
luar negeri Indonesia, yaitu apa yang ia sebut sebagai Natalegawa Doctrine.
Wacana ini bertumpu pada persepsi tentang lingkungan regional dan
global yang diwarnai oleh cold peace dan dynamic equillibrium, yaitu
kondisi yang dinamis dan sangat cair dan memungkinkan siapapun bisa
mengambil kepemimpinan di tingkat global karena tidak adanya kekuatan
yang terlalu besar dalam politik internasional (Umar, 2011). Dengan
wacana tersebut, Marty melihat bahwa kebijakan luar negeri harus
mengedepankan ASEAN Centrality dan menjadikan ASEAN sebagai
benteng dalam menghadapi tantangan global. Itulah sebabnya, pasca-
2009, ASEAN menjadi salah satu proyek utama Kementerian Luar Negeri
Indonesia.

Kebijakan luar negeri era Yudhoyono, dengan konsep million enemy


and zero friends tersebut, membuka wacana baru dalam kebijakan luar
negeri Indonesia. Politik luar negeri Indonesia menjadi salah satu faktor
penting dalam mempromosikan investasi dengan mencitrakan Indonesia
sebagai negara demokrasi muslim terbesar dan punya kenyamanan
investasi di dalamnya. Di samping itu, pada era ini juga kepemimpinan
Indonesia di ASEAN mulai kembali terlihat, setelah di era Megawati cukup

Jurnal DIPLOMASI Volume 6 No. 2, September 2014 33


Ahmad Rizky Mardhatillah Umar

vakuum (Weatherbee, 2013; Weatherbee, 2005). Indonesia mengawal


proses inisiatif Vientiane yang akhirnya melahirkan Piagam ASEAN (2007)
dan Roadmap Komunitas ASEAN (2009). Keterlibatan Indonesia dalam
konsolidasi ASEAN ini terutama terlihat dalam proposal-proposal
Indonesia terhadap Komunitas Politik Keamanan ASEAN, yang pertama
kali diajukan oleh Menlu Hassan Wirajudha pada tahun 2004. Salah satu
item yang kemudian lolos adalah struktur HAM ASEAN yang kemudian
berdiri secara resmi pada tahun 2009. Indonesia menjadi proponen penting
Komunitas Politik Keamanan ASEAN dan terutama terlibat dalam
pengaturan-pengaturan keamanan regional yang lebih canggih
(Weatherbee, 2013: 63-64).

Peran aktif Indonesia dalam Komunitas ASEAN ini bisa dijelaskan


dalam dua cara pandang. Pertama, adanya keinginan untuk menjadikan
Asia Tenggara sebagai kawasan yang stabil sehingga tidak rawan terhadap
adanya transfer konflik dari negara-negara lain. Pengalaman Indonesia,
dan beberapa negara lain, dalam perang melawan terorisme yang
menjadikan Asia Tenggara sebagai front kedua dalam menghadapi
ancaman terorisme telah membuat Asia Tenggara sangat vulnerable
terhadap konflik dan menciptakan ketidaknyamanan dalam hubungan
regional (Weatherbee, 2005). Kedua, hal ini juga sangat terkait dengan
perubahan diskursus pembangunan Indonesia yang kini, setelah pinjaman
dari IMF dilunasi pada tahun 2005, mulai menggencarkan Public Private

34 Jurnal DIPLOMASI Volume 6 No. 2, September 2014


Dari Politik Pembangunan ke Regionalisme ASEAN:
Melacak Genealogi Politik Luar Negeri Indonesia Kontemporer

Partnership untuk membiayai pembangunan di Indonesia. 8 Skema PPP


yang mulai muncul pasca-2005 ini mengharuskan Indonesia untuk
menciptakan lingkungan investasi yang nyaman, baik di tingkat lokal,
nasional, dan regional (Forsyth, 2005). Oleh sebab itu, ASEAN harus
didorong menjadi kawasan yang ramah investasi dan menguntungkan dari
sisi kepentingan ekonomi Indonesia.

Dari pemaparan di atas, terlihat bahwa politik luar negeri Indonesia


pasca-Soeharto sangat diwarnai oleh dua hal: (1) memperbaiki citra
Indonesia yang cukup buruk di mata dunia internasional akibat dugaan
pelanggaran HAM di Timor Timur; serta (2) kebutuhan untuk melakukan
pembangunan ekonomi pasca-krisis. Dua hal ini terlihat dalam pilihan
kebijakan luar negeri Indonesia dari era Abdurrahman Wahid hingga
Yudhoyono. Variabel pertama mendorong Indonesia untuk aktif dalam
forum-forum internasional dan mengedepankan Indonesia sebagai negara
mayoritas muslim terbesar yang berhasil dalam melaksanakan
demokratisasi; sementara variabel kedua mendorong Indonesia untuk
aktif dalam forum-forum regional di ASEAN. Pada era Yudhoyono,
dengan prinsip ASEAN Centrality, Indonesia terlihat banyak mendorong
proses konsolidasi regionalisme ASEAN yang lebih canggih. Namun, hal

8 Skema Public Private Partnership adalah skema baru pembangunan yang memasukkan dunia

usaha (Pasar) ke dalam proses pembangunan dalam bentuk kemitraan. Sehingga, negara tidak
lagi berperan sebagai aktor tunggal dalam pembangunan. Skema ini mulai dijalankan di
Indonesia era Presiden Yudhoyono dan sudah disiapkan secara teknokratis di era sebelumnya.
Skema ini sangat banyak ditemui dalam naska kebijakan Bank Dunia untuk negara-negara dunia
ketiga yang meminjam kepada mereka. Penjelasan lebih jauh tentang skema ini dapat dilihat di
Forsyth (2005) dan Weathenhall (2005).

Jurnal DIPLOMASI Volume 6 No. 2, September 2014 35


Ahmad Rizky Mardhatillah Umar

ini tak terlepas dari dinamika pembangunan di dalam negeri yang sedang
masuk ke dalam logika Public-Private Partnership pasca-2005.

Namun, sebagaimana juga dicatat oleh Weatherbee (2013), upaya


Indonesia untuk terlibat dalam ASEAN secara lebih jauh tidak serta merta
mengimplikasikan kepemimpinan Indonesia di ASEAN. Meskipun
Indonesia menjabat sebagai Ketua ASEAN pada tahun 2011 dan beberapa
proposal Indonesia lolos dalam proses pelembagaan ASEAN, politik luar
negeri ASEAN masih merefleksikan kepentingan Jakarta yang terlalu kuat
dan mendapatkan resistensi dari negara-negara anggota ASEAN yang lain
(Weatherbee, 2013). Selain itu, dalam beberapa isu regional, posisi
Indonesia baik di ASEAN maupun di PBB juga mendapatkan resistensi
dari kelompok-kelompok sosial yang ada di dalam negeri, salah satunya
pada isu nuklir Iran (Iisgindarsah, 2012). Hal ini dapat dibaca sebagai
sebuah konsekuensi dari proses demokratisasi dan, di sisi lain, juga
memperlihatkan bahwa perumusan kebijakan luar negeri masih
didominasi oleh kepentingan-kepentingan politik dan birokrasi dan belum
mengakomodasi sepenuhnya stakeholders dalam negeri.

F. Kesimpulan dan Implikasi Kebijakan

Paper ini berkesimpulan bahwa kebijakan-kebijakan luar negeri


sejak era kemerdekaan hingga pasca-Orde Baru pada dasarnya diambil
berdasarkan kebutuhan untuk membangun bangsa dan memenuhi
kebutuhan dalam negeri. Ketika Orde Lama, politik bebas-aktif

36 Jurnal DIPLOMASI Volume 6 No. 2, September 2014


Dari Politik Pembangunan ke Regionalisme ASEAN:
Melacak Genealogi Politik Luar Negeri Indonesia Kontemporer

dirumuskan agar Indonesia mampu bergerak secara lebih luwes dalam


memperdagangkan komoditas ekspornya. Dari sinilah politik luar negeri
bebas aktif diejawantahkan melalui KAA 1955. Namun, perubahan
diskursus pembangunan, terutama ketika era Demokrasi Terpimpin,
membuat Indonesia lebih condong ke arah Sovyet. Perubahan rezim dari
Orde Lama ke Orde Baru kembali mengubah haluan tersebut.

Di masa Orde Baru, paradigma pembangunan berubah menjadi


modernisasi yang mengimplikasikan dibukanya investasi asing dan
perekonomian pada modal asing. Munculnya developmentalisme Orde
Baru direspons oleh politik luar negeri dengan mencari utang yang bisa
digunakan sebagai talangan pembangunan. Konsekuensinya, dengan
adanya utang yang diberikan oleh negara-negara donor tersebut, Indonesia
harus memenuhi persyaratan kebijakan yang harus dilakukan sebagai
kompensasi cairnya pinjaman yang kemudian berdampak pada politik luar
negeri Indonesia pasca-Suharto. Di era ini, diskursus tentang
pembangunan di era ini didominasi oleh pandangan mengenai good
governance yang merupakan paket kondisionalitas pencairan pinjaman dari
lembaga keuangan internasional. Oleh sebab itu, terjadi pula perubahan
diskursus politik luar negeri Indonesia menjadi lebih bersifat fasilitatif
terhadap neoliberalisme yang ditanamkan di Indonesia.

Dari pemaparan di atas, paper ini berkesimpulan bahwa diskursus


pembangunan Indonesia menjadi salah satu variabel penting yang
berkontribusi terhadap politik luar negeri Indonesia. Meskipun tidak
secara langsung menjadi pertimbangan dalam pengambilan keputusan di

Jurnal DIPLOMASI Volume 6 No. 2, September 2014 37


Ahmad Rizky Mardhatillah Umar

level birokratik, diskursus pembangunan menjadi penting pada level


politik terutama dalam perumusan kebijakan di tingkat kepala negara
(Presiden). Oleh sebab itu, proses pengambilan keputusan luar negeri tidak
cukup dipahami sebagai produk kerja birokratik-teknokratik semata
sebagaimana dipahami dan disarankan kaum problem-solver (Korany, 1984),
tetapi juga sebagai produk dari pertarungan wacana politik pembangunan
di level global dan nasional. Pengambilan keputusan luar negeri,
sebagaimana terlihat dalam pemaparan artikel ini, sejauh ini, hanya
dilakukan di level birokratik (Kementerian Luar Negeri) dan politik
(Presiden), namun minim melibatkan partisipasi stakeholders di luar negara,
sehingga menyebabkan politik luar negeri Indonesia dalam banyak sisi
dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan eksternal, terutama lembaga-lembaga
pembangunan internasional.

Lantas, apa implikasi kebijakan yang muncul, terutama untuk


menghadapi Komunitas ASEAN yang kian dekat? Dari pembacaan di
artikel ini, ada dua hal yang penting untuk diperhatikan dalam
pengambilan kebijakan luar negeri Indonesia pasca-2015. Pertama, politik
luar negeri Indonesia di ASEAN sangat terkait dengan kebijakan-kebijakan
pembangunan yang sedang berjalan di dalam negeri. Sebab, jika
Komunitas ASEAN berjalan sesuai dengan blueprint yang ada, semua
sektor pembangunan akan terdampak. Dengan demikian, politik luar
negeri RI terhadap ASEAN harus juga melibatkan semua stakeholders yang
ada di ASEAN, terutama pelaku usaha kecil, masyarakat sipil, dan
pemerintah daerah yang semuanya terlibat dalam proses pembangunan di

38 Jurnal DIPLOMASI Volume 6 No. 2, September 2014


Dari Politik Pembangunan ke Regionalisme ASEAN:
Melacak Genealogi Politik Luar Negeri Indonesia Kontemporer

dalam negeri. Semua elemen tersebut adalah stakeholders yang harus


diperhatikan pendapatnya oleh pengambil keputusan luar negeri dan
politik luar negeri menjadi penting untuk memperhatikan siapa saja
stakeholders yang akan terdampak pada perubahan sosial-politik di level
regional maupun global.

Kedua, perlunya mempersiapkan komunitas ASEAN dalam proses-


proses perencanaan pembangunan yang ada di semua level. Kesiapan
Indonesia dalam ASEAN sangat ditentukan oleh kapasitas pemerintah
dalam merencanakan proses pembangunannya, baik di tingkat nasional,
kabupaten/kota, maupun desa. UU Perencanaan Pembangunan membagi
skema perencanaan pembangunan pada tiga level: partisipatif, teknokratis,
dan politis. Dari pembacaan di artikel ini, terlihat bahwa selama ini
kebijakan luar negeri Indonesia hanya menjadi domain teknokrasi dan
otoritas politik, tetapi minim partisipasi. Sehingga, proses neoliberal
governmentality menjadi mudah sekali masuk. Adanya pembacaan atas
nexus antara politik luar negeri dan pembangunan mengimplikasikan
adanya pembicaraan tentang politik luar negeri di dalam proses
perencanaan pembangunan yang partisipatif, paling tidak pada
Musyawarah Perencanaan Pembangunan Nasionaltentunya dengan
mengundang elemen-elemen stakeholders yang terdampak atas Komunitas
ASEAN atau politik luar negeri secara lebih luas. Sehingga, semua
stakeholders bisa mengartikulasikan kepentingannya dalam menyambut
Komunitas ASEAN 2015.

Jurnal DIPLOMASI Volume 6 No. 2, September 2014 39


Ahmad Rizky Mardhatillah Umar

Pada dasarnya, upaya untuk membuat kebijakan luar negeri


Indonesia perlu lebih dari sekadar bureaucratic-politics. politik luar negeri
Indonesia adalah manifestasi penting dari naskah Pembukaan UUD 1945
menjaga seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan
umum, dan turut menjaga ketertiban dunia. Dengan kata lain, proses
pembuatan keputusan luar negeri juga perlu memperhatikan variabel lain
pembangunan dan dampaknya terhadap masyarakat Indonesia. Pada titik
itulah politik luar negeri bebas-aktif akan menemukan relevansinya di era
Komunitas ASEAN.

40 Jurnal DIPLOMASI Volume 6 No. 2, September 2014


Dari Politik Pembangunan ke Regionalisme ASEAN:
Melacak Genealogi Politik Luar Negeri Indonesia Kontemporer

DAFTAR PUSTAKA

Anwar, D. F. & Crouch, H. (2003). Indonesia: Foreign Policy and Domestic


Politics. Trends in Southeast Asia Vol. 9.

Anwar, D. F. (1994). Indonesia in ASEAN: Foreign Policy and Regionalism.


Singapore: ISEAS.

Allison, G. (1971). Essence of Decision: Explaining the Cuban Missile Crisis.


Boston: Stuart and Little.

Agussalim, D. (2011). New Trends in Indonesians Foreign Policy


Orientation and Practices: From Regional To Global-Oriented. Nagoya
Graduate School of International Development. Accessed from
http://www2.gsid.nagoya-u.ac.jp/blog/anda/files/2011/08/56-
dafri-agussalim_trends-in-indonesias-foreign-policy.pdf

Beeson, M. (2009). Institutions in Asia-Pacific: ASEAN, APEC, and Beyond.


London and New York: Routledge.

Berger, M. (2004). The Battle for Asia: From Decolonization to Globalization.


London & New York: Routledge.

Bunnell, F. (1965). Guided Democracy Foreign Policy: 1960-1965 President


Sukarno Moves from Non-Alignment Indonesia 1 (2): 37-76.

Burges, S. (2008). Consensual Hegemony: Theorizing Brazilian Foreign


Policy after the Cold War International Relations 22 (1): 65-84.

Carroll, T. (2010). Delusion of Development: The World Bank and The Post-
Washington Consensus in Southeast Asia. New York: Palgrave.

Carroll, T. (2012). Neoliberal Development Policy in Asia Beyond The Post-


Washington Consensus. Jakarta: TIFA and INFID.

Jurnal DIPLOMASI Volume 6 No. 2, September 2014 41


Ahmad Rizky Mardhatillah Umar

Cox, R.W. (2004). Beyond Empire and Terror: Critical Reflections on the
Political Economy of World Order. New Political Economy Vol. 9 (3):
307-323.

Cox, R.W. & Schehter, M.G. (2002). The Political Economy of a Plural World:
Critical Reflections on Power, Morals and Civilization. London: Routledge.

Donnelly, J. (2005). Realism in Burchill, S. (ed). Theory of International


Relations. Basingstoke: Palgrave.

Derkach, N. The Soviet Policy towards Indonesia in the West Irian and the
Malaysian Disputes Asian Survey, Vol. 5, (11), pp. 566-571

Escobar, A. (1995). Encountering Development: The Making and Unmaking of


The Third World. New Jersey: Princeton University Press.

Emmers, R. (2003). Cooperative Security and the Balance of Power in ASEAN


and the ARF. London: RoutledgeCurzon.

Forsyth, T. (2005). Building Deliberative PublicPrivate Partnerships for


Waste Management in Asia. Geoforum 36 (4): 429-439.

Foucault, M. (1991). Governmentality in Sukma, A. and Gupta, A. (eds).


The Anthropology of the State. Oxford, Malden, and Victoria: Blackwell.

Hadiz, V.R. (2004). Decentralization and Democracy in Indonesia: A


Critique of Neo-Institustional Perspective. Development and Change,
Vol. 3 (4) :697-718

Hakim, L.N. (2011). Governance and New Mode of Governing: Indonesia


as a Metaphor Jurnal Sosial Politik. Vol. 15 (2): 111-123.

Harris, J. (2002). Depoliticizing Development: The World Bank and Social


Capital. New Delhi: Left World Books.

42 Jurnal DIPLOMASI Volume 6 No. 2, September 2014


Dari Politik Pembangunan ke Regionalisme ASEAN:
Melacak Genealogi Politik Luar Negeri Indonesia Kontemporer

Hinnesbusch, R. (2002). Introduction: Analytical Framework in


Hinnesbusch, R. and Ehteshami, A. (eds). The Foreign Policies of Middle
East States. Boulder: Lynne Rienner.

Hatta, M. (1947). Mendajung di Antara Dua Karang Pidato disampaikan


dalam Rapat Badan Pekerdja Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP),
Yogyakarta, 2 September 1947.

Hatta, M. (1953). Indonesias Foreign Policy. Foreign Affairs, 31 (3): 441-


452.

Hatta, M. (1958). Indonesias Between Power Blocs. Foreign Affairs 36 (3):


480-490.

Iisgindarsah. (2012). Indonesias Democratic Politics and Foreign Policy-


Making: A Case Study of Iranian Nuclear Issue, 2007-2008RSIS
Working Paper No. 236. Singapore: RSIS, Nanyang Technological
University.

Kegley, C.W. & Wittkopf, E.R. (2006). World Politics: Trends and
Transformation Belmont: Thomson-Wadsworth.

Korany, B. (1984). Foreign Policy in the Third World: An Introduction


International Political Science Review, Vol. 5 (1), pp. 7-20.

Larner, W. and Walters, W. (2009). Introduction: Global Governmentality:


Governing International Spaces" in Larner, W and Walters, W. (eds).
Global Governmentality: Governing International Spaces. (London:
Routledge).

Larner, W. and Walters, W. (2002). The Political Rationality of New


Regionalism: Toward a Genealogy of the Region. Theory and Society
31: 391-432.

Leifer, M. (1983). Indonesias Foreign Policy. London: Allen and Unwin.

Jurnal DIPLOMASI Volume 6 No. 2, September 2014 43


Ahmad Rizky Mardhatillah Umar

Li, T.M. (2007). The Will to Improve: Perencanaan, Kekuasaan, dan


Pembangunan di Indonesia. Penterjemah Hery Santoso dan Pujo Semedi.
Depok: Marjin Kiri.

Mayall, J. (1990). Nationalism and International Society. Cambridge:


Cambridge University Press.

Nesadurai, H. (2008). Bandung and the Political Economy of North-South


Relations: Sowing the Seeds for Revisioning International Society.
IDSS Working Paper No. 95. Singapore: Institute for Defense and
Strategic Studies.

Novotny, D. (2004). Indonesias Foreign Policy: In Quest for the Balance of


Threats. Presented to the 15th Biennial Conference of the Asian Studies
Association of Australia, Canberra, AU.

Novotny, D. (2012). Torn between US and China: Elite Perceptions and


Indonesias Foreign Policy. Singapore: ISEAS.

Puspitasari, I. (2010). Indonesias New Foreign Policy: Thousand Friends


Zero Enemy IDSA Issue Brief, November.

Robison, R (1986). Indonesia: The Rise of Capital. Singapore: Equinox.

Robison, R. (2006). Neo-liberalism and the Market State: What is the Ideal
Shell? in Robison, R. (ed). The Neoliberal Revolution: Forging the Market
State. New York: Palgrave.

Robison, R. & Hadiz, V.R. (2004). Reorganising Power in Indonesia: The


Politics of Oligarchy in an Age of Markets. London: RoutledgeCurzon.

Sugiono, M. (1999). Kritik Antonio Gramsci terhadap Pembangunan Dunia


Ketiga. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Sukma, R. (1995). The Evolution of Indonesia's Foreign Policy: An


Indonesian View Asian Survey, Vol. 35 (3) pp. 304-315.

44 Jurnal DIPLOMASI Volume 6 No. 2, September 2014


Dari Politik Pembangunan ke Regionalisme ASEAN:
Melacak Genealogi Politik Luar Negeri Indonesia Kontemporer

Sukma, R. (2003). Islam in Indonesias Foreign Policy: Domestic Weakness and


Dilemma of Dual Identity.London: Routledge.

Smith, A.L. (2000). Indonesia's Foreign Policy under Abdurrahman


Wahid: Radical or Status Quo State? Contemporary Southeast Asia, Vol.
22 (3), pp. 498-526

Smith, A.L. (2003). Indonesia in 2002: Megawati's Way Southeast Asian


Affairs, 97-116.

Umar, A.R.M. (2011). A Critical Reading of Natalegawa Doctrine. The


Jakarta Post, 7 January.

Umar, A.R.M. (2014). Normative Power or Global Governmentality? A


Critical Analysis of EUs Civil Society Strengthening Programs in Post-
New Order Indonesia, Paper presented at the 3rd Convention of European
Studies, Universitas Gadjah Mada, Indonesia, 21-23 Mei.

Weatherbee, D.E. (2005). Indonesian Foreign Policy: A Wounded


Phoenix, Southeast Asian Affairs, 150-170.

Weatherbee, D.E. (2013). Indonesia in ASEAN: Vision and Reality. Singapore:


ISEAS.

Weinstein, F.B. (1971a). The Indonesian Elite's View of the World and The
Foreign Policy of Development. Paper presented at the annual meeting of
the Association for Asian Studies, Washington, D. C, US.

Weinstein, F. B. (1971b). Indonesian Foreign Policy and the Dilemma of


Dependence: From Sukarno to Soeharto. Jakarta and Kuala Lumpur:
Equinox.

Wettenhall, R. (2005). Thinking Seriously about Public-Private


Partnerships as an MDGs Tool Asian Review of Public Administration,
17 (1-2): 66-80

Jurnal DIPLOMASI Volume 6 No. 2, September 2014 45


Ahmad Rizky Mardhatillah Umar

Dokumen

Investment: Indonesia Waits. Time, 10 November 1967.

Asia-Africa Conference Committee. (1955). Final Communique of the


Asia-Africa Conference

ASEAN. (2009). Blueprint on ASEAN Political & Security Community. Jakarta:


ASEAN Secretariat

ASEAN. (2009) Blueprint on ASEAN Social & Cultural Community. Jakarta:


ASEAN Secretariat.

UU Nomor 25 tahun 2004 tentang Perencanaan Pembangunan Nasional

46 Jurnal DIPLOMASI Volume 6 No. 2, September 2014


Program Penanggulangan Bencana ASEAN:
Aanalisis Kepentingan dan Kemampuan
Indonesia Menuju Komunitas ASEAN 2015

Program Penanggulangan Bencana ASEAN:


Analisis Kepentingan dan Kemampuan Indonesia
Menuju Komunitas ASEAN 2015
Agung Setiyo Wibowo

Abstrak

Komunitas ASEAN yang akan dimulai sepenuhnya pada tahun 2015 terdiri
dari tiga pilar: Komunitas Ekonomi ASEAN, Komunitas Politik Keamanan
dan Komunitas Sosial Budaya. Dari berbagai program turunan yang
tertulis dalam Cetak Komunitas Sosial Budaya, program penanggulangan
bencana dapat dikatakan sebagai salah satu program yang paling siap
untuk diwujudkan. Hal itu tidaklah berlebihan mengingat Indonesia
merupakan salah satu negara yang paling rawan bencana di dunia
sekaligus sebagai sebuah negara yang paling berpengalaman menerapkan
kebijakan penanggulangan bencana di tingkat nasional dan lokal.
Kepiawaian Indonesia dalam hal ini diperkuat dengan diumumkannya
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menjadi United Nations Global
Champion for Disaster Reduction oleh Sekretaris Jenderal Perserikatan
Bangsa-Bangsa pada The Third Session Global Platform for Disaster Risk
Reduction pada tahun 2011. Penghargaan tersebut merupakan pengakuan
dunia bahwa Indonesia yang dipimpin oleh Susilo Bambang Yudhoyono
berhasil membuat program pengurangan resiko bencana, khususnya
penanganan tsunami Aceh 2004 dan mentransformasi manajemen resiko di
Indonesia melalui berbagai terobosan. Tulisan ini berupaya menganalisis

Jurnal DIPLOMASI Volume 6 No. 2, September 2014 47


Agung Setiyo Wibowo

kepentingan, kemampuan dan kesiapan Indonesia dalam program


penanggulangan bencana di ASEAN dengan menggunakan pendekatan
konstruktivisme.

Kata Kunci: Indonesia, Komunitas Sosial Budaya ASEAN, penanggulangan


bencana

Abstract

The ASEAN Community would be fully started in 2015 with three pillars:
ASEAN Economic Community, ASEAN Political Security Community and
ASEAN Socio-Cultural Community. Of various sub-programs written on
the Blue Print of ASEAN Socio-Cultural Community, the disaster
management program could be named as one of the readiest programs to
realize. It is not exaggerating due to the fact that Indonesia has the highest
potential to disaster prone in the world and at the same time it has
experienced to implement disaster management policy in the national and
local level. The Indonesian position is strengthened as President Susilo
Bambang Yudhoyono got the United Nations Global Champion for
Disaster Reduction from the United Nations General Secretary at the Third
Session Global Platform for Disaster Risk Reduction in 2011. The award can
be considered as a worlds recognition to Indonesia under Susilo Bambang
Yudhoyono administration that has succeeded in implementing disaster
risk reduction program, particularly in the 2004 Tsunami of Aceh and
transformed risk management breakthroughs in the country. This paper
aims to analyze the interests, capability and readiness of Indonesia toward

48 Jurnal DIPLOMASI Volume 6 No. 2, September 2014


Program Penanggulangan Bencana ASEAN:
Aanalisis Kepentingan dan Kemampuan
Indonesia Menuju Komunitas ASEAN 2015

disaster management program in ASEAN by using the constructivism


paradigm.

Keywords: Indonesia, ASEAN Socio-Cultural Community, disaster management

Pendahuluan

Para pemimpin ASEAN mengadopsi Bali Concord II pada 7 Oktober


2003 untuk mewujudkan Komunitas ASEAN 2020. Namun, pada KTT
ASEAN ke-12 di Cebu pada 13 Januari 2007 para pemimpin ASEAN
sepakat untuk mempercepat Komunitas ASEAN pada tahun 2015. Sebuah
hasrat dan keinginan bersama untuk hidup di kawasan yang memiliki
perdamaian abadi, keamanan dan stabilitas, pertumbuhan ekonomi yang
berkelanjutan, kesejahteraan bersama dan kemajuan sosial, serta untuk
memajukan kepentingan, cita-cita dan aspirasi bersama yang utama. 1

Dalam perkembangannya semua negara anggota ASEAN telah


meratifikasi Piagam ASEAN sehingga piagam tersebut dapat memasuki
tahap entry to force pada KTT ASEAN ke-14 di Thailand, Desember 2008.
Hal ini menunjukkan komitmen ASEAN untuk mengimplementasikan
Cetak Biru dari tiga pilar Komunitas ASEAN 2015: ASEAN Economic
Community, ASEAN Political Security Community dan ASEAN Socio-Cultural
Community. Sesuai dengan Pasal 1 Ayat 13 Piagam ASEAN yang erat
kaitannya dengan ASEAN Socio-Cultural Community tertulis bahwa semua
negara anggota sepakat untuk memajukan ASEAN yang berorientasi

1 The ASEAN Charter. 2008. Jakarta: ASEAN Secretariat, hlm.1

Jurnal DIPLOMASI Volume 6 No. 2, September 2014 49


Agung Setiyo Wibowo

rakyat yang di dalamnya seluruh lapisan masyarakat didorong untuk


berpartisipasi dalam, dan memperoleh manfaat dari, proses integrasi dan
pembangunan Komunitas ASEAN.2

Cetak Biru ASEAN Socio-Cultural Community menunjukkan


keseriusan ASEAN untuk lebih dekat dan lebih melibatkan masyarakat.
Hal ini merupakan upaya untuk menghilangkan kesan bahwa ASEAN
hanya didominasi oleh kalangan elit atau pejabat negara seperti yang telah
berjalan sejak 8 Agustus 1967. ASEAN sadar bahwa integrasi ekonomi
maupun politik-keamanan tidak akan berjalan sukses tanpa merangkul
masyarakatnya. ASEAN pelan-pelan dan secara bertahap berjalan dari
state-centered menjadi organisasi yang people-centered.

Lebih lanjut, dalam Cetak Biru ASEAN Socio-Cultural Community


disebutkan enam tema inti yang menjadi fokus ASEAN yakni
pembangunan manusia, kesejahteraan dan perlindungan sosial, keadilan
dan hak sosial, memastikan keberlanjutan lingkungan, membangun
identitas ASEAN, dan menyempitkan kesenjangan pembangunan. 3 Dari
banyak program turunan dalam keenam tema inti di atas, program
penanggulangan bencana4 dapat dikatakan paling penting sesuai dengan
kepentingan dan kemampuan Indonesia sebagai bagian dari Komunitas
ASEAN 2015. Oleh karena itu pertanyaan penelitian dalam makalah ini

2 Ibid, hlm.5.
3 ASEAN Socio-Cultural Community Blueprint. 2009. Jakarta: ASEAN Secretariat, hlm.1.
4 Sebuah program yang bertujuan untuk memperkuat mekanisme yang efektif dan kemampuan

untuk mencegah dan mengurangi kerugian bencana dalam kehidupan, dan dalam aset sosial,
ekonomi dan lingkungan dari negara-negara anggota ASEAN dan untuk bersama-sama
menanggapi keadaan darurat bencana melalui upaya nasional terpadu dan intensif kerjasama
regional dan internasional. Ibid, hlm.11.

50 Jurnal DIPLOMASI Volume 6 No. 2, September 2014


Program Penanggulangan Bencana ASEAN:
Aanalisis Kepentingan dan Kemampuan
Indonesia Menuju Komunitas ASEAN 2015

ialah bagaimana kepentingan dan kemampuan Indonesia dalam program


penanggulangan bencana di ASEAN?

Landasan Teori

Paradigma konstruktivisme dapat digunakan untuk menganalisis


kepentingan dan kemampuan Indonesia dalam program penanggulangan
bencana ASEAN. Paradigma ini didukung oleh empat asumsi utama.
Pertama, konstruktivisme menghargai identitas dan kepentingan negara.
Kedua, konstruktivisme melihat struktur internasional sebagai struktur
sosial yang dipengaruhi oleh faktor-faktor ideational seperti norma, aturan
dan hukum. Ketiga, konstruktivisme memandang dunia sebagai sebuah
proyek konstruksi dalam proses menjadi berlawanan dengan yang telah
ada. Keempat, konstruktivisme menitikberatkan pemikiran pada isu
ontologisme dan epistemologis. 5

Dalam konstruktivisme, hubungan internasional digerakkan oleh


intersubyektivitas aktor (atau agen) dari norma, aturan, gagasan,
kepercayaan dan nilai-nilai bersama yang diinstitusionalisasikan.
Intersubyektif bukan serta merta gabungan dari kepercayaan individu
akan tetapi dibagi bersama oleh orang-orang pertukaran diri sendiri dan
individu-ke-individu. Diinstititusionalisasikan berarti gagasan bersama
dibentuk dalam dunia sosial sebagai struktur atau institusi, praktek dan
identitas.

5 Paul R. Viotti dan Mark V. Kauppi. 2010. International Relations Theory. New York: Pearson, hlm.

277.

Jurnal DIPLOMASI Volume 6 No. 2, September 2014 51


Agung Setiyo Wibowo

Konstruktivisme memandang struktur sebagai hubungan sosial dan


makna bersama yang dipengaruhi oleh aturan, norma, kepercayaan dasar,
pengetahuan bersama, praktek dan bahkan elemen material. Ia melihat
pentingnya aturan yang bersifat konstitutif dan regulatif. Sementara itu,
norma diartikan sebagai nilai-nilai yang secara umum diterima dan
menentukan standar perilaku kepatutan bagi aktor (atau agen) dengan
identitas bawaannya. Sehingga norma dapat berfungsi untuk membentuk
identitas atau mengatur perilaku dan bahkan keduanya.

Konstruktivisme tidak mengkhususkan agen, aktor, atau unit


analisis tertentu. Agen yang dimaksud bisa jadi negara, akan tetapi juga
aktor non-negara seperti individu, maupun kelompok seperti gerakan
sosial, perusahaan multinasional, organisasi regional, kelompok advokasi
non-pemerintah atau kelompok tertentu. Semua agen non-negara tersebut
dapat mempengaruhi norma internasional, identitas dan perilaku negara,
sebagaimana halnya negara dapat mempengaruhi agen non-negara. Aktor
atau agen dan struktur dapat saling membentuk satu sama lain dalam
proses sosialisasi.

Dalam konteks ini, Indonesia ialah salah satu agen atau aktor yang
mempengaruhi faktor ideational di ASEAN khususnya dalam program
penanggulangan bencana. Kemampuan Indonesia dalam mempengaruhi
negara-negara di Asia Tenggara dapat dianalisis dari proses interaksi yang
amat panjang perjalanannya. Dimulai sejak berdirinya ASEAN pada 8
Agustus 1967, penandatanganan Treaty of Amity and Cooperation pada 1976,

52 Jurnal DIPLOMASI Volume 6 No. 2, September 2014


Program Penanggulangan Bencana ASEAN:
Aanalisis Kepentingan dan Kemampuan
Indonesia Menuju Komunitas ASEAN 2015

ratifikasi Piagam ASEAN sampai persetujuannya dalam percepatan


perwujudan Komunitas ASEAN 2015.

Program penanggulangan bencana ASEAN yang merupakan


turunan dari Cetak Biru Komunitas Sosial-Budaya ASEAN menunjukkan
bahwa negara-negara di Asia Tenggara tak terkecuali Indonesia telah
memiliki norma, aturan, gagasan, kepercayaan dan nilai-nilai bersama
yang diinstitusionalisasikan. Mereka telah memiki persamaan pemahaman
yang dikonstruksikan bahwa program penanggulangan bencana ialah satu
program yang perlu dibentuk untuk mengurangi resiko bencana bagi
rakyatnya. Program ini juga dirancang dapat merangkul dan melibatkan
rakyat atau masyarakat sipil lebih banyak sehingga mereka dapat
memperoleh manfaat dari Komunitas ASEAN 2015.

Kepentingan Indonesia dalam Program Penanggulangan Bencana


ASEAN

Kawasan Asia Pasifik yang di dalamnya termasuk Asia Tenggara


merupakan kawasan yang rawan bencana. Menurut Asia Pacific Disaster
Report 2012, kawasan ini merupakan kawasan paling rawan bencana di
dunia, di mana dua juta jiwa meninggal akibat bencana pada tahun 1970-
2011 atau setara dengan 75% dari total kematian yang diakibatkan
bencana. 6 Di antara negara-negara di Asia Tenggara, Indonesia ialah

6 Rizki Rosa. Nilai Strategis Latihan Bersama Penanggulangan Bencana Bagi Kawasan. Info

Singkat Hubungan Internasional. Vol. V, No. 12/II/P3DI/Juni/2013. Jakarta: Pusat Pengkajian,


Pengolahan Data dan Informasi Sekretariat Jenderal DPR RI, hlm.6.

Jurnal DIPLOMASI Volume 6 No. 2, September 2014 53


Agung Setiyo Wibowo

negara yang paling rawan bencana. Negara ini kerap kali menghadapi
berbagai bencana seperti gempa bumi, tsunami, letusan gunung berapi,
banjir, tanah longsor, kekeringan dan kebakaran hutan.

Data United Nations International Strategy for Disaster Reduction (UN-


ISDR) menunjukkan bahwa berdasarkan jumlah manusia di sekitar
wilayah bahaya yang kemungkinan besar kehilangan nyawa akibat
bencana, Indonesia menempati urutan pertama dari negara-negara di
dunia untuk bahaya tsunami, urutan pertama dari 162 negara untuk tanah
longsor, urutan ketiga dari 153 negara untuk gempa bumi, urutan keenam
dari 162 negara untuk banjir, dan urutan ke 36 dari 184 negara untuk
kekeringan. 7

Dampak secara ekonomi jika dihitung berdasarkan jumlah Gross


Domestic Product (GDP) menunjukkan bahwa potensi kerugian yang
ditimbulkan ialah sebagai berikut. Indonesia berada di urutan ke-5 dengan
kerugian 3,46 miliar Dolar AS akibat tsunami, urutan ke-11 dari 153 negara
dengan kerugian 79,15 miliar Dolar AS akibat gempa bumi, urutan ke-11
dari 162 negara dengan kerugian 0,84 miliar Dolar AS akibat tanah
longsong, dan urutan ke-20 dari 162 negara dengan kerugian 1,05 miliar
Dolar AS akibat banjir. Dengan kata lain, potensi kehilangan nyawa
(kematian) dan kerugian ekonomi dari bencana menempatkan Indonesia di
antara negara yang paling beresiko. 8

7 Indonesia Risk Profile. Lihat

http://www.preventionweb.net/english/countries/statistics/risk.php?cid=80 diakses pada 1


Juni 2014 pukul 09.27 WIB.
8 Ibid.

54 Jurnal DIPLOMASI Volume 6 No. 2, September 2014


Program Penanggulangan Bencana ASEAN:
Aanalisis Kepentingan dan Kemampuan
Indonesia Menuju Komunitas ASEAN 2015

Data di atas diperkuat oleh Bank Dunia bahwa secara keseluruhan


Indonesia bertengger di urutan ke-12 di dunia sebagai negara dengan
resiko kematian paling tinggi dari beragam bencana. 9 Diperkirakan sekitar
40% populasi Indonesia tinggal di wilayah yang rawan bencana atau
bahaya. Dengan penduduk sekitar 250 juta jiwa pada tahun 2014, maka
tidak kurang dari 100 juta jiwa penduduk di Indonesia hidup di wilayah
yang tingkat resiko kematiannya sangat tinggi akibat bencana. 10

Estimasi Bank Dunia di atas tidaklah berlebihan. Pada periode 1980-


2010 lebih dari 21 juta jiwa di seluruh penjuru Indonesia terkena dampak
sekurang-kurangnya 321 bencana yang menyebabkan 192.474 orang
meninggal dunia. Rata-rata jumlah penduduk yang terbunuh akibat
bencana yakni 6.209 jiwa per tahun. Pada periode tersebut Indonesia
mengalami kerugian ekonomi sebesar 23.601.677.000 Dolar AS. Itu berarti
setiap tahunnya negara ini harus menelan kerugian sebesar 761 juta Dolar
AS akibat bencana. 11

Komitmen Jakarta dalam program penanggulangan bencana di


ASEAN didorong oleh beberapa rezim internasional. 12 Pertama,
dicanangkannya Dekade Pengurangan Resiko Bencana Internasional pada
dekade 1990-1999 untuk mengurangi resiko bencana secara sistemik yang

9 Indonesias Country Report on Disaster Management. 3rd AIPA Caucus Report. Jakarta: AIPA
Secretariat, hlm.1.
10 Indonesia Population 2014. Lihat http://worldpopulationreview.com/countries/indonesia-

population/ diakses pada 1 Juni 2014 pukul 10.00 WIB.


11 Disaster Management in Indonesia: Summary Country Report 2012. The 4th Caucus of the

ASEAN Inter-Parliamentary Assembly, Bangkok, Thailand, 30 April-3 May 2012. Jakarta: AIPA
Secretariat, hlm.2.
12 Rencana Aksi Nasional Pengurangan Resiko Bencana 2006-2009. Jakarta: Perum Percetakan

Negara RI, hlm.1.

Jurnal DIPLOMASI Volume 6 No. 2, September 2014 55


Agung Setiyo Wibowo

membutuhkan pemahaman dan komitmen bersama dari semua pihak


terkait. Kedua, Dewan Ekonomi dan Sosial Perserikatan Bangsa-Bangsa
dalam Resolusi Nomor 63 tahun 1999 yang menyerukan kepada setiap
negara untuk menyusun dan melaksanakan Rencana Aksi Pengurangan
Resiko Bencana Nasional untuk mendukung dan menjamin tercapainya
tujuan dan sasaran pembangunan berkelanjutan. Ketiga, Hyogo Framework
for Action 2005-2015 yang menganjurkan seluruh negara di dunia untuk
menyusun mekanisme terpadu pengurangan resiko bencana yang
didukung kelembagaan dan kapasitas sumber daya yang memadai.

Tsunami Aceh pada tahun 2004 dan World Conference on Disaster


Reduction pada tahun 2005 merupakan momentum yang mendorong
Indonesia merancang Rencana Aksi Nasional Pengurangan Resiko Bencana
pada tahun 2006. Dalam perkembangannya Indonesia mengeluarkan
Undang-Undang No.24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana.
Undang-undang tersebut menunjukkan keseriusan pemerintah yang
sebelumnya menanggulangi bencana hanya berorientasi tanggapan
menjadi program yang berorientasi mengurangi resiko bencana. 13

Pada tahun 2008 Indonesia membentuk Badan Nasional


Penanggulangan Bencana (BNPB). Sebagai pendukungnya pada April 2009
Indonesia meluncurkan Platform Nasional Pengurangan Resiko Bencana.

13 Sebagai peraturan tambahan, 3 Peraturan Pemerintah, 2 Keputusan Presiden, dan 51 Kepala

Peraturan BNPB telah dirancang; 6 di antaranya terkait pengurangan resiko bencana, 16 terkait
tanggapan darurat, 11 terkait rehabilitasi dan rekonstruksi dan 18 di antaranya beragam isu.
Kementerian-kementerian sektoral dan badan-badan terkait dengan penanggulangan bencana
juga telah ditetapkan berdasarkan Undang-Undang Penanggulangan Bencana. Pemerintah
daerah baik tingkat 1 maupun tingkat 2 juga mengeluarkan peraturan terkait manajemen
bencana. Lihat Undang-Undang No.24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana.

56 Jurnal DIPLOMASI Volume 6 No. 2, September 2014


Program Penanggulangan Bencana ASEAN:
Aanalisis Kepentingan dan Kemampuan
Indonesia Menuju Komunitas ASEAN 2015

Platform multi-pemangku kepentingan tersebut tercetus atas inisiatif


pemangku kepentingan pengurangan resiko bencana yang datang dari
masyarakat sipil, media dan sektor privat. Keseriusan pemerintah
Indonesia dalam penanggulangan bencana juga ditunjukkan dalam
anggaran. Pada tahun 2008 anggaran nasional dalam penanggulangan
bencana sebesar Rp. 147.652.346.000. Pada tahun 2001 anggaran melonjak
mencapai Rp. 5.206.880.402.000. 14

Potensi resiko bencana dan kebijakan nasional dalam program


penanggulangan bencana nasional menjadi batu pijakan mengapa
Indonesia berkepentingan untuk turut mempromosikan program
penanggulangan bencana di tingkat ASEAN. Dalam pandangan Indonesia,
terwujudnya kerjasama regional dalam penanggulangan bencana tentu
sejalan dengan kepentingan nasional. Terbentuknya rezim
penanggulangan bencana regional tidak hanya mampu memperkuat
ketahanan maupun keamanan nasional. Ia akan sangat berdampak positif
terhadap rakyat Indonesia karena berpeluang mendorong partisipasi
dalam, memperoleh manfaat dari, proses integrasi dan pembangunan
Komunitas ASEAN 2015 sesuai yang tercantum dalam Piagam ASEAN.

14 Ibid, hlm.5.

Jurnal DIPLOMASI Volume 6 No. 2, September 2014 57


Agung Setiyo Wibowo

Kesiapan dan Kemampuan Indonesia dalam Mewujudkan Program


Penanggulangan Bencana di ASEAN

Indonesia dapat dikatakan sebagai laboratorium penanggulangan


bencana terbaik di dunia karena pengalaman, tantangan maupun potensi
bencana yang sangat tinggi. Maka tidak mengherankan jika Indonesia
mendapatkan sokongan dana baik bilateral maupun multilateral seperti
UN-ISDR, UNDP, OCHA, WHO, UNICEF, dan World Bank dalam
program-program penanggulangan bencana. Tidak sedikit pula organisasi
internasional yang turut bermitra dengan Indonesia dalam bidang ini
seperti Oxfam, MSF, ACF, Islamic Relief, Mercy Corps, dan CWS.

Pada The 3rd Session Global Platform for Disaster Risk Reduction di
Jenewa, Mei 2011 Sekretaris PBB mengumumkan bahwa Presiden Susilo
Bambang Yudhoyono menjadi United Nations Global Champion for Disaster
Risk Reduction yang pertama. Penghargaan tersebut merupakan pengakuan
dunia bahwa Indonesia yang dipimpin oleh SBY berhasil membuat
program pengurangan resiko bencana, khususnya penanganan tsunami
Aceh 2004 dan mentransformasi manajemen resiko di Indonesia melalui
berbagai terobosan. SBY juga merupakan kepala negara pertama yang
menindaklanjuti cetak biru internasional untuk pengurangan resiko
bencana yaitu Kerangka Hyogo ke dalam undang-undang penanggulangan
bencana tahun 2007. 15

15 UN Secretary-General honours Indonesian President as first global champion of disaster risk

reduction. The United Nations Office for Disaster Risk Reduction. Lihat
http://www.unisdr.org/archive/23632 diakses pada 7 Juni 2014 pukul 12.34 WIB.

58 Jurnal DIPLOMASI Volume 6 No. 2, September 2014


Program Penanggulangan Bencana ASEAN:
Aanalisis Kepentingan dan Kemampuan
Indonesia Menuju Komunitas ASEAN 2015

Jejak ASEAN dalam program penanggulangan bencana termaktub


dalam kerangka ASEAN Regional Forum (ARF) yang berdiri sejak 1994.
Tidak lain ialah Inter-Sessional Meeting on Disaster Relief (ISM DR) yang
diketuai bersama oleh salah satu negara anggota ASEAN dan non-ASEAN.
Hasil dari 7th ASEAN Regional Forum Inter-Sessional Meeting di Helsinki
pada Oktober 2007 menetapkan bahwa akan diadakan latihan
penanggulangan bencana di negara-negara ARF. 16

Indonesia ialah salah satu negara yang paling serius dan aktif
menindaklanjuti hasil forum tersebut. Di antaranya ditunjukkan dengan
beberapa program sebagai berikut. Pertama, Table Top Exercise dalam
kerangka ARF Disaster Relief Exercise di SESKOAL Jakarta pada 1-2 Mei
2008. Kedua, ARF for Disaster Relief Exercise 2011 yang diselenggarakan di
Manado, Sulawesi Utara pada Maret 2011. Ketiga, menyelenggarakan Asian
Ministerial Conference on Disaster Risk Reduction (AMCDRR) di Yogyakarta
pada 22-25 Oktober 2012.

ASEAN Regional Program on Disaster Management (ARPDM) yang


merupakan kerangka kerjasama penanggulangan bencana di ASEAN juga
tak dapat dilepaskan dari peran strategis Indonesia. Program tersebut
merupakan tindaklanjut ASEAN Agreement on Disaster Management and

16Preliminary Information: The Eight ASEAN Regional Forum Inter-Sessional Meeting on


Disaster Relief (8th ARF ISM DR). Lihat
http://aseanregionalforum.asean.org/files/Archive/15th/Senior-Officials-Meeting/ Annex
%2019%20-%20Concept%20Paper-
%208th%20ARF%20ISM%20DR%20Banda%20Aceh%20December08.pdf diakses pada 7 Juni 2014
pukul 12.42 WIB.

Jurnal DIPLOMASI Volume 6 No. 2, September 2014 59


Agung Setiyo Wibowo

Emergency Response (AADMER) yang ditandatangani pada 26 Juli 2007.17


Indonesia juga menjadi salah satu ketua (co-chair) dalam APEC Task Force
on Emergency Preparedness (TFEP) untuk meningkatkan kesiapsiagaan
dalam menghadapi bencana alam yang juga mempengaruhi kerangka
kerjasama ASEAN dalam penanggulangan bencana.

Sejak berlakunya AADMER pada 24 Desember 2009 telah ada


beberapa pencapaian ASEAN dalam progam penanggulangan bencana. Di
antaranya ialah diadopsinya Program Kerja AADMER 2010-2015,
implementasi proyek di bawah ASEAN Standard Operating Procedure for
Regional Standby Arrangements and Coordination of Joint Disaster Relief and
Emergency Response (ASEAN-SASOP), dan pembentukan ASEAN-
Emergency Rapid Assessment Team (ASEAN-ERAT). Pada tahun 2009 juga
terbentuk AADMER Partnership Group (APG) yaitu sebuah konsorsium
tujuh organisasi masyarakat sipil yang membantu implementasi AADMER.
APG bermitra dengan ASEAN untuk mewujudkan implementasi
AADMER yang berpusat pada rakyat dengan fokus mempromosikan
visibilitas dan partisipasi mereka kelompok-kelompok yang rentan
bencana. 18

Keseriusan pemerintah Indonesia dalam program penanggulangan


bencana di Asia Tenggara juga ditunjukkan oleh dukungan sektor
pendidikan, riset dan teknologi. Misalnya LAPAN yang berupaya

17 Lihat ASEAN Agreement on Disaster Management and Emergency Response: Work Program for 2010-

2015. 2012. Jakarta: ASEAN Secretariat.


18 About Us. AADMER Partnership Group. Lihat http://www.aadmerpartnership.org/who-we-

are/about-us/ diakses apda 7 Juni 2014 pukul 13.28 WIB.

60 Jurnal DIPLOMASI Volume 6 No. 2, September 2014


Program Penanggulangan Bencana ASEAN:
Aanalisis Kepentingan dan Kemampuan
Indonesia Menuju Komunitas ASEAN 2015

mengkaji penanganan bencana berbasis ilmu pengetahuan dan teknologi.


Pada 26-27 Juli 2012 organisasi ini menjadi tuan rumah The 2nd Regional
Workshop of ASEAN Cooperation Project on Utilization of Space Based
Technologies for Disaster Risk Management. Kegiatan diselenggarakan atas
kerjasama Asian Disaster Reduction Center (ADRC), ASEAN Secretariat,
LAPAN dan Japan-ASEAN Integration Fund (JAIF). 19 Kegiatan ini masih
berada dalam satu rangkaian ASEAN Cooperation Project on Utilization of
Satellite Images for Disaster Risk Management. 20

Komitmen dan keseriusan pemerintah Indonesia dalam program


penanggulangan bencana di ASEAN diapresiasi oleh negara-negara di Asia
Tenggara. Mereka menilai bahwa Indonesia telah terbukti berpengalaman
dalam program penanggulangan bencana. 21 Sehingga pada tahun 2011
dibangun ASEAN Coordinating Centre for Humanitarian Assistance on Disaster
Management (AHA Centre) di Jakarta.

Keberadaan AHA Center sangat vital dalam program


penanggulangan bencana ASEAN karena beberapa hal. Pertama, sebagai
pusat informasi kebencanaan. Kedua, sebagai pusat koordinasi mobilisasi
bantuan. Ketiga, sebagai pusat koordinasi operasionalisasi atau joint
emergency response. Keempat, sebagai pusat koordinasi administrasi
penanggulangan bencana. Kelima, sebagai pusat pengkajian dan penelitian

19 Negara-negara ASEAN Bahas Penanganan Bencana Alam. Lembaga Penerbangan dan Antariksa

Nasional (LAPAN). Lihat http://www2.lapan.go.id/pers/siaran/sp_asean2012.pdf diakses pada


7 Juni 2014 pukul 12.17 WIB.
20 Ibid.
21 Indonesia Ditunjuk sebagai Pusat Koordinasi Bencana. Suaramerdeka.com, 10 Oktober 2011.

Lihat http://m.suaramerdeka.com/index.php/read/news/2011/10/10/98771 diaskes pada 7


Juni 2014 pukul 11.47 WIB.

Jurnal DIPLOMASI Volume 6 No. 2, September 2014 61


Agung Setiyo Wibowo

kebencanaan. 22 Indonesia dapat dikatakan sebagai negara yang paling


berkepentingan sekaligus berkontribusi dalam implementasi AHA Center
karena dua hal.

1. Keberadaan Indonesia Tsunami Early Warning System (InaTEWS)


yang bertindak sebagai regional watch provider untuk tsunami di
Asia Tenggara
2. Keberadaan ASEAN Earthquake Information System yang
bertindak sebagai regional watch provider jika terjadi gempa bumi di
kawasan

Kesimpulan

Program penanggulangan bencana ialah salah satu program dalam


Cetak Biru ASEAN Socio-Cultural Community yang paling sesuai dengan
kepentingan dan kemampuan Indonesia sebagai bagian dari Komunitas
ASEAN 2015. Sebagai salah satu negara yang paling rawan bencana di
dunia sekaligus telah berpengalaman dalam program pengurangan resiko
bencana, Indonesia berkepentingan untuk memperjuangkan terbentuknya
kerjasama penanggulangan bencana tingkat regional yang lebih konkrit.
Program penanggulangan bencana dinilai penting karena dapat dirasakan
manfaatnya secara langsung oleh rakyat dan melibatkan masyarakat
sehingga sejalan dengan proses mewujudkan komunitas ASEAN yang
berpusat kepada rakyat (people-centered). Akhirnya, ditunjuknya Indonesia

22 Lihat fungsi dan peran AHA Centre dalam http://www.ahacentre.org/ diakses pada 7 Juni

2014 pukul 11.49 WIB.

62 Jurnal DIPLOMASI Volume 6 No. 2, September 2014


Program Penanggulangan Bencana ASEAN:
Aanalisis Kepentingan dan Kemampuan
Indonesia Menuju Komunitas ASEAN 2015

sebagai pemimpin program penanggulangan bencana ASEAN dan


keberadaan AHA Center di Jakarta menunjukkan bahwa Indonesia siap
menghadapi berlakunya Komunitas ASEAN 2015.

Daftar Pustaka

Rosa, Rizki. Nilai Strategis Latihan Bersama Penanggulangan Bencana


Bagi Kawasan. Info Singkat Hubungan Internasional. Vol. V, No.
12/II/P3DI/Juni/2013. Jakarta: Pusat Pengkajian, Pengolahan Data
dan Informasi Sekretariat Jenderal DPR RI.
Viotti, Paul R. dan Mark V. Kauppi. 2010. International Relations Theory.
New York: Pearson.
The ASEAN Charter. 2008. Jakarta: ASEAN Secretariat.
ASEAN Socio-Cultural Community Blueprint. 2009. Jakarta: ASEAN
Secretariat.
Disaster Management in Indonesia: Summary Country Report 2012. The
4th Caucus of the ASEAN Inter-Parliamentary Assembly, Bangkok,
Thailand, 30 April-3 May 2012. Jakarta: AIPA Secretariat.
Rencana Aksi Nasional Pengurangan Resiko Bencana 2006-2009. Jakarta:
Perum Percetakan Negara RI.
Undang-Undang No.24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana.
Indonesias Country Report on Disaster Management. 3rd AIPA Caucus
Report. Jakarta: AIPA Secretariat.
ASEAN Agreement on Disaster Management and Emergency Response: Work
Program for 2010-2015. 2012. Jakarta: ASEAN Secretariat.

Jurnal DIPLOMASI Volume 6 No. 2, September 2014 63


Agung Setiyo Wibowo

Indonesia Risk Profile. Lihat


http://www.preventionweb.net/english/countries/ statistics
/risk.php?cid=80 diakses pada 1 Juni 2014 pukul 09.27 WIB
Indonesia Population 2014. Lihat
http://worldpopulationreview.com/countries/indonesia-
population/ diakses pada 1 Juni 2014 pukul 10.00 WIB.
UN Secretary-General honours Indonesian President as first global
champion of disaster risk reduction. The United Nations Office for
Disaster Risk Reduction. Lihat
http://www.unisdr.org/archive/23632 diakses pada 7 Juni 2014
pukul 12.34 WIB.
Preliminary Information: The Eight ASEAN Regional Forum Inter-
Sessional Meeting on Disaster Relief (8th ARF ISM DR). Lihat
http://aseanregionalforum.asean.org/ files /Archive/15th/Senior-
Officials-Meeting/ Annex %2019%20-%20Concept%20Paper-%208th
%20ARF%20ISM%20DR%20Banda%20Aceh%20December08.pdf
diakses pada 7 Juni 2014 pukul 12.42 WIB.
About Us. AADMER Partnership Group. Lihat
http://www.aadmerpartnership.org/who-we-are/about-us/
diakses apda 7 Juni 2014 pukul 13.28 WIB.
Negara-negara ASEAN Bahas Penanganan Bencana Alam. Lembaga
Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN). Lihat
http://www2.lapan.go.id/ pers/siaran/ sp _asean2012.pdf diakses
pada 7 Juni 2014 pukul 12.17 WIB.
Indonesia Ditunjuk sebagai Pusat Koordinasi Bencana.
Suaramerdeka.com, 10 Oktober 2011. Lihat
http://m.suaramerdeka.com/index.php/read/news/2011/10/10/
98771 diaskes pada 7 Juni 2014 pukul 11.47 WIB.
http://www.ahacentre.org/ diakses pada 7 Juni 2014 pukul 11.49 WIB.

64 Jurnal DIPLOMASI Volume 6 No. 2, September 2014


ASEAN Community 2015:
The Not-So-Big Bang Launch and Evolution of a Community

ASEAN Community 2015:


The Not-So-Big Bang Launch and Evolution of a Community
Endy M. Bayuni

ABSTRACT: The ASEAN Community is finally happening. Barring any


major development, the 10 members of the Association of Southeast Asian
Nations (ASEAN) will officially turn into a community on December 31,
2015. But dont expect a big bang creation of a new community a la Europe
Union. Instead, it will be the famous ASEAN Way of approaching things, at
a pace their members are comfortable with. In other words, slow. It is still
an evolving community nevertheless as countries in the region struggle to
stay afloat and ahead of the increasingly competitive world. Presently, the
pace of the evolution is dictated mostly by the internal dynamics (or lack of
it) of member countries, but sooner rather than later, the region must speed
up the process of political and economic integration, or else they will be
reduced as mere pawns, and not key players, in the emerging Asian
Century.

Keywords: ASEAN, ASEAN Community, ASEAN Economic Community,


ASEAN Political and Security Community, ASEAN Socio-Cultural
Community, ASEAN Regional Forum, Asian Century, Southeast Asia, East
Asia, APEC, EAS, Indonesia, Brunei, Cambodia, Laos, Malaysia, Myanmar,
the Philippines, Singapore, Thailand, Vietnam, China, India, Japan,
European Union, United States, evolution, big bang

Jurnal DIPLOMASI Volume 6 No. 2, September 2014 65


Endy M. Bayuni

ABSTRAKSI: Komunitas ASEAN akhirnya akan terjadi. Kecuali ada


perkembangan yang besar, 10 anggota Perhimpunan Negara Asia
Tenggara (ASEAN) secara resmi membentuk komunitas tanggal 31
Desember 2015. Jangan harap akan pembentukan dengan dentuman besar
(big bang) a la Uni Eropa. Malah kita akan menyaksikan pendekatan Cara
ASEAN (ASEAN Way) yang tersohor, dengan irama yang memberikan
kenyamanan bagi negara anggota. Dengan kata lain, lamban. Namun
evolusi komunitas tetap akan berlangsung karena negara dikawasan ini
harus berjuang untuk bertahan dan unggul didunia yang semakin
kompetitif. Saat ini, kecepatan evolusi lebih ditentukan oleh dinamika
internal negara anggota, namun cepat ketimbang lambat, kawasan ini
harus meningkatkan kecepatan proses integrasi politik dan ekonomi, atau
mereka tersingkir dan hanya menjadi pion, bukan pemain penting, di Abad
Asia ini.

Kata Kunci: ASEAN, Komunitas ASEAN, Komunitas Ekonomi ASEAN,


Komunitas Politik dan Keamanan ASEAN, Komunitas Sosial Budaya
ASEAN, ASEAN Regional Forum, Abad Asia, Asia Tenggara, Asia Timur,
APEC, EAS, Indonesia, Brunei, Kamboja, Laos, Malaysia, Myanmar,
Filipina, Singapura, Thailand, Vietnam, Tiongkok, India, Jepang, Uni
Eropa, Amerika, evolusi, big bang

66 Jurnal DIPLOMASI Volume 6 No. 2, September 2014


ASEAN Community 2015:
The Not-So-Big Bang Launch and Evolution of a Community

Introduction

If everything goes as planned, 10 countries in Southeast Asia will


officially become one single community on December 31, 2015. It is going to
be a community in name only, however. The ASEAN Community will look
nowhere near like the European Union, and even a further distance from
what the United States of America has established.

When the community idea was formally declared by the leaders of


the Association of Southeast Asian Nations (ASEAN) in Bali in 2003, it was
a bold and visionary decision. Some even felt that it was an overly
ambitious undertaking given that its members are ruled under vastly
different political systems, from an absolute monarchy (Brunei), communist
states (Vietnam, Laos and Cambodia) and military juntas (Myanmar and
now also Thailand), to semi-democracies (Malaysia and Singapore) and
nascent if not struggling democracies (the Philippines and Indonesia).

How do you bring people governed under different norms, values


and principles into a single community? What sort of community is this
going to be anyway, when about the only commonality that these countries
have is their geographical proximity?

After moving the deadline forward from the original 2020 to


January 1, 2015, ASEAN governments have backtracked a little, first
delaying the start of the community to December 31, 2015. Their leaders
argue that it is still in 2015, albeit at the end rather than the start of the year.

Jurnal DIPLOMASI Volume 6 No. 2, September 2014 67


Endy M. Bayuni

And second, instead of talking about the ASEAN Community, everybody


now quietly seems to have settled for a smaller and more realistic project,
the ASEAN Economic Community, or AEC for short.

Dont expect a big bang launch of the ASEAN community on the


last day of 2015.

The big celebrations that we will see in the 10 ASEAN capitals then
will most probably due to coincidence with people in the region ushering
the New Year 2016 rather than the new community. The ASEAN business
world will profit the most from the AEC, but for the rest of the people in
Southeast Asia, life will likely go on the way it has always been. Some may
even be ignorant of the community project completely. On the last day of
2015, we will see the soft-opening of a giant community project.

The ASEAN Community 2015 will go ahead and be declared as


currently scheduled. ASEAN member governments are unlikely to back
away from this commitment. The chief rationale that had prompted
ASEAN leaders in 2003 to commit themselves to the community idea has
not only remained, it has become even more imperative since then.

At the beginning of the millennium, ASEAN countries realized that


the Asian landscape was dramatically changing with the rapid economic
rise of China and India. Everyone was already talking about hailing the
Asian Century. ASEAN, which includes the early Asian economic tigers
Singapore, Malaysia and Thailand, realized that they could soon be

68 Jurnal DIPLOMASI Volume 6 No. 2, September 2014


ASEAN Community 2015:
The Not-So-Big Bang Launch and Evolution of a Community

eclipsed by the two rising economic giants. They may even be sidelined
into irrelevance, or at best become mere satellites of these two countries,
but of China in particular.

These concerns were real, and the ASEAN leaders decided then that
the way to stay ahead of the game and survive the era of globalization is by
turning the entire Southeast Asian region into a single community.

They later came up with the grand motto One Vision, One Identity,
One Community. Their combination will bring ASEANs total population
to about 600 million. That is just a little more than half of Chinas and
Indias. They know that together they stand a better chance than
individually to survive in this increasingly competitive global environment.

But more than a decade after their bold declaration of intention,


ASEAN is far from living up to their professed motto. With little
preparations taking place in the current run up to the 2015 deadline, the
realization of a single vision, identity and community will take place in
phases and only after the launch of the project in 2015, rather than before.

After the initial not-so big bang launch at the end of December 2015,
ASEAN will begin the evolutionary process of turning the region into a
community. Time will tell whether this is going to be a slow or rapid
evolution.

But time is not exactly on ASEANs side either.

Jurnal DIPLOMASI Volume 6 No. 2, September 2014 69


Endy M. Bayuni

The evolution of ASEAN

By the end of the century, ASEAN, which was founded on August


8, 1967, has evolved into one of the most successful regional organizations
in the world. It now holds meetings and summits that are well attended,
not only by representatives from their own member countries, but also
from major East Asian economic powers like China and Japan, and outside
it, like the United States, the European Union, Russia and India.

ASEAN has taken the mantle of the main driver of most key
initiatives to help promote peace and prosperity, primarily through greater
economic integration, initially in the wider East Asia, and now also the
much larger Asia Pacific region.

The ASEAN Regional Forum has become the main and only forum
to date through in which representatives the worlds major powers sit
down together each year to discuss the peace and security challenges in
East Asia. They may not have resolved any disputes, but the fact that they
sit down and address these challenges is progress. In the diplomatic
parlance, this is part of what is called confidence building measures.

ASEAN played a key role in the establishment the Asia Pacific


Economic Cooperation (APEC) forum in 1989 that helped to drive the
integration of the economies of the vast region. And in 2005, ASEAN
launched the East Asia Summit (EAS), now widely accepted as the primary
vehicle to establish or at least discuss the idea of an Asia Pacific

70 Jurnal DIPLOMASI Volume 6 No. 2, September 2014


ASEAN Community 2015:
The Not-So-Big Bang Launch and Evolution of a Community

community. As with APEC, ASEAN also finds itself in the drivers seat of
the EAS process.

ASEANs success in building its international reputation as a


diplomatic forum however has overshadowed the main contribution that it
has given to its own members at home: Long and uninterrupted years of
peace and stability in Southeast Asia that has allowed countries in the
region to focus on their economic development to bring greater prosperity
to their people. The impressive sustainable economic development of the
1980s and 1990s experienced by Singapore, Malaysia and Thailand, and to a
lesser extent Indonesia and the Philippines, would not have been possible
had it not been for ASEAN.

Some may rightly argue that ASEAN has evolved into nothing more
than a series of talking shops for diplomats, and later expanded to include
economic and defense officials. Even the ASEAN annual summits, which
regularly see the attendance of leaders from the United States, China and
Japan, are seen more as photo-op seasons, with limited substance for
their media delegations to report back home.

Never underestimate the power of diplomacy. Those few who have


followed ASEAN from the beginning would appreciate the contribution
that these diplomatic events have contributed to the peace and stability of
the region. The fact that most people in the region now take their peace and
stability for granted attests to the biggest contribution ASEAN has given to
the people in Southeast Asia.

Jurnal DIPLOMASI Volume 6 No. 2, September 2014 71


Endy M. Bayuni

This is diplomacy at its best: Contributing to the peace and


prosperity through constant engagements, without their own people even
knowing or appreciating it.

Historically, ASEAN began as a diplomatic forum.

ASEAN was the brainchild of the foreign ministers of its original


five founding members. On August 8, 1967, Adam Malik (Indonesia),
Narciso Ramos (Philippines), Abdul Razak (Malaysia), S. Rajaratnam
(Singapore) and Thanat Khoman (Thailand) in their meeting in Bangkok
agreed to end all hostilities, put aside their differences, including territorial
disputes, and work towards promoting peace for the sake of the prosperity
of their people.

ASEAN has never looked back since and has even managed to
convince others in the region to come on board, starting with Brunei in
1984 shortly after its independence, and followed by Vietnam in 1995,
Myanmar and Laos in 1997 and Cambodia in 1999. It is a matter of time
before newly independent Timor Leste joins and completes the picture of
Southeast Asia.

The foreign ministers remain very much in charge in charting


ASEANs future, although ASEAN itself has expanded to include two
summits every year, and various separate meetings of their ministers in
charge of other affairs, including economic and defense.

72 Jurnal DIPLOMASI Volume 6 No. 2, September 2014


ASEAN Community 2015:
The Not-So-Big Bang Launch and Evolution of a Community

The ASEAN Ministerial Meetings (AMM) of their foreign ministers,


held normally in July (August in 2014), is the centerpiece of ASEAN in
which many of the important decisions are taken. The week-long AMM has
expanded to include a series of meetings with ASEANs main trading and
security partners. In 1994, the ASEAN Regional Forum (ARF) was launched
as the principal forum for security dialogue in Asia, back-to-back with the
AMM to take advantage of the presence of so many foreign ministers from
around the world.

ASEAN principles: Non-interference and consensus decision making

Insiders and outsiders agree that ASEANs success as a regional


organization can be pinned down to the principles and norms governing
their conducts, as laid down by their foreign ministers since its launching
in 1967. Two in particular stand out: The principle of non-interference in
the affairs of others, and the consensus decision making mechanism.

Until recently, ASEAN has held to the principle of not commenting


on the domestic affairs of neighbors as this would immediately be
perceived as meddling. Since ASEAN countries are governed under
different political systems, adhering to this principle became important so
that they could move on and discuss matters of common interests,
particularly the economy.

Jurnal DIPLOMASI Volume 6 No. 2, September 2014 73


Endy M. Bayuni

In the 1970s and 1980s, this was not difficult to achieve when all five
ASEAN member countries were ruled by authoritarian governments. It
became harder and harder to stick to the non-interference clause when
some ASEAN countries became democracies (first the Philippines, and then
Thailand and Indonesia), and even more difficult when the group
expanded from the original five to 10 ASEAN countries by 1999.

The presence of Myanmar, which had been ruled by a ruthless


military junta, was causing so much discomfort among other ASEAN
members. While they managed to respect the non-interference rule, their
dialogue partners from outside the region, particularly from the West, had
problems sitting in the same room with representatives from such a pariah
state.

ASEAN too has become impatient with the lack of progress of


democratization in Myanmar, that it literally broke this principle of non-
interference for the first time when it twice denied the military junta from
taking over the rotating chairmanship. Myanmar took over the
chairmanship for the first time in 2014 but only after it started to implement
many of the promised political reform measures.

Reaching a consensus within ASEAN was already difficult enough


when there were only five members. The comfort level that long-ruling
leaders like Soeharto, Mahathir Mohamad, Ferdinand Marcos, and Lee
Kwan Yew (and later Goh Chok Tong) established among themselves

74 Jurnal DIPLOMASI Volume 6 No. 2, September 2014


ASEAN Community 2015:
The Not-So-Big Bang Launch and Evolution of a Community

helped push ASEAN to reach consensus in some of the difficult decisions,


if after long give-and-take process, their ministers reached an impasse.

One notable example of this was when Indonesia eventually agreed


to the formation of the ASEAN Free Trade Area (AFTA) in 1992 after
resisting it for years, for the obvious reason that Indonesia had the most to
lose in a free-for- all competition. What is less obvious however was the
long exclusion list of goods from the free trade arrangements, with each
member country seeking to protect its dearest economic sectors.

This decision making through consensus has become the hallmark


of ASEAN, some even call it the ASEAN Way of running a complex
organization whose members come from diverse cultures, with different
historical backgrounds, and governed by different norms and values. It
may be a painfully slow process of reaching a decision, but in the end
everybody is on board after a give-and-take process.

But what has worked in the past may not necessarily work in the
present or in the future. The non-interference and the consensus decision
making mechanism may not serve ASEAN well, if they are not even
blocking its progress. ASEANs chief strengths may become its weaknesses
now.

ASEAN has already shown that it is prepared to break the non-


interference clause when it needed to in the way it dealt with Myanmar.
But it has yet to move away from a consensus decision making process, and

Jurnal DIPLOMASI Volume 6 No. 2, September 2014 75


Endy M. Bayuni

a single member can still block an entire project, no matter how important
it is for the region and for the majority member countries.

The creation of the ASEAN Charter, mandated at the same time in


2003 by their leaders, sought to remedy these shortcomings. But since the
negotiations over the charter were also subject to the consensus decision
making process, many of the bold and visionary ideas drawn up by
eminent ASEAN statesmen, including relaxing the non-interference clause
and introducing voting in making decisions, were quickly shot down. After
lengthy debates, the two principles were written into the Charter, of course
by way of consensus.

The Charter, endorsed at the ASEAN summit in Singapore in 2007,


was nevertheless the most significant piece of document in the history of
ASEAN for it turned the grouping into a formal organization with binding
rules and norms. It is also marks the first important step towards becoming
a community.

When the Charter formally came into force in December 2008, there
was no fanfare in ASEAN capitals to usher in the establishment of a new
formal organization. In some respects, this may have been a harbinger of
how the ASEAN Community will be greeted when it is launched at the end
of 2015.

76 Jurnal DIPLOMASI Volume 6 No. 2, September 2014


ASEAN Community 2015:
The Not-So-Big Bang Launch and Evolution of a Community

ASEAN Community: Responding to changing external environment

If ASEAN itself had evolved as a response to the internal challenges


facing countries in the region, the idea of the ASEAN Community came
more as a response to external factors, which were rapidly changing at the
beginning of the century.

ASEAN leaders have been kicking around the idea of promoting


greater regional integration, first within ASEAN itself, and then the larger
East Asia, and even the Asia-Pacific region. Economic integration is
happening nevertheless as countries in the region develop and begin to
trade with one another, and the early Asian economic giants like Japan and
South Korea investing in their Asian neighbors. The economic integration
of Asia was taking place at its natural rate, with little government push.

The urgency to formalize these growing and expanding


relationships among Asian countries became stronger at the turn of the
millennium, certainly within Southeast Asia, amidst talks about this being
the Asian Century. It was becoming obvious that the rapid economic
development and growth in China and India would soon dwarf the
economic achievements of ASEAN member countries, collectively and even
more individually. ASEAN countries were seeing their share of global
foreign direct investment dwindling as multinational companies turned to
China and India.

Jurnal DIPLOMASI Volume 6 No. 2, September 2014 77


Endy M. Bayuni

One challenge that ASEAN faces in promoting greater economic


integration in their region is the fact their economies are not exactly
complementary. Since they are essentially producing the same things, all
trying to develop their agro-industry and relying on natural resources, they
look more rivals rather than natural partners in the global market place.

Their expanded common market of 600 million people however


could be a telling factor for any investor, from within and outside ASEAN,
in deciding to locate their operation in the region. It also offers a decently
large pool of laborers to develop a strong manufacturing base in Southeast
Asia. The task at hand for ASEAN governments is to realign their economic
policies that facilitate investors to operate across the region. Major Japanese
carmakers like Toyota has already build a network of production and
marketing facilities across Southeast Asia.

But while ASEAN governments are busy gearing up for the


establishment of the new community, their foreign and economic ministers
are also preparing or pushing for the establishment of the larger
community, whether in East Asia through the ASEAN Plus 3 (with China,
Japan and South Korea), or the more ambitious Asia Pacific region, through
APEC or the new East Asia Summit. There is no denying that sooner or
later ASEAN will find the limitations of their own new community, even if
it takes off, and that the region should already be looking ahead towards a
larger community.

78 Jurnal DIPLOMASI Volume 6 No. 2, September 2014


ASEAN Community 2015:
The Not-So-Big Bang Launch and Evolution of a Community

When the ASEAN leaders announced the plan to establish the


ASEAN Community in 2003, they recognized that this community would
be founded upon three pillars: the ASEAN Political and Security
Community, the ASEAN Economic Community, and the ASEAN Socio-
Cultural Community.

The economic pillar is the easiest to build and it is already in a more


advanced state since ASEAN had already established various arrangements
under the ASEAN Free Trade Area (AFTA) in 1992. Developing the other
two pillars will be a bigger challenge, but they cannot be neglected lest we
see a hobbled community.

The different political systems governing ASEAN countries may


prove to be the biggest obstacle in forging the political and security
community. ASEAN shied away from imposing any condition for joining
their organization, other than geographical proximity and their
commitment to work towards peace and stability in the region as members
acceded to the ASEAN Treaty of Amity and Cooperation.

The European Union in contrast made it mandatory for former


communist states in East Europe, and now also Muslim-majority Turkey, to
meet basic norms in their political system, including commitment to
democracy and freedom of speech, before joining the group. This would
have been impossible or even unthinkable in ASEAN, but this also means
that it will be a community of countries with vastly different norms and
values.

Jurnal DIPLOMASI Volume 6 No. 2, September 2014 79


Endy M. Bayuni

Whether a real sense of community can develop out of this


collection of states with different political systems in ASEAN remains to be
seen. But there are clearly growing pressures from within their own people
for greater freedom and for more democracy. The ASEAN states are
responding to these pressures in different ways, some willing to give more
freedom, but others reacting even in more authoritarian way.

The ASEAN Socio-Cultural Community is even more challenging


but necessary to instill a real sense of community by bringing in greater
participation of the ASEAN people. Some ASEAN meetings have now been
expanded to include the representation of non-governmental organizations,
but with the host governments keeping the right to decide on the invitation
lists, many of the more vocal NGOs in the region have been kept out.

This raises the question about what exactly are we going to see at
the launching of the ASEAN Community at the end of 2015? Beyond the
declarations and statements, we can expect some progress, although to call
this a community would probably be far fetching.

Most will settle to call it the ASEAN Economic Community, or the


AEC.

ASEAN countries are already trading with one another more than
they have in the past, and with the community, they will have an even
larger market to fall back on. Some ASEAN companies are already setting
up operation in different member ASEAN countries, including Air Asia

80 Jurnal DIPLOMASI Volume 6 No. 2, September 2014


ASEAN Community 2015:
The Not-So-Big Bang Launch and Evolution of a Community

and the Malaysian-based CIMB bank. More companies from outside and
within the region will be investing and taking advantage of the huge
market and the large pool of workers.

There is already visa-free travel within the region for ASEAN


citizens, but ASEAN governments have shied away from endorsing free
flow of labor. And even the free flow of goods is a misconception since the
exclusion list of freely traded goods keeps growing ahead of the AEC
launching with member countries trying to protect their most politically
sensitive and lucrative industries.

With a year and a half to go before the launching, it doesnt look


like ASEAN governments will be introducing anything dramatically new in
the way of pushing the community agenda to a higher plateau before then.

The real evolution of the ASEAN Community will therefore take


place after the launching, and that depends to a large extent on how
ASEAN countries perceive the urgency imposed on them by the external
factors, and on whether ASEAN governments can sit down and resolve
their differences and overcome some internal challenges.

Can a community evolve? ASEAN needs to address internal challenges

Although the kind of community being envisaged by ASEAN is a


modest one, it is still a major and ambitious undertaking. ASEAN leaders

Jurnal DIPLOMASI Volume 6 No. 2, September 2014 81


Endy M. Bayuni

have been quick to point out that they have no plans of taking their
community along the European Union model, or even the more advanced
United States of America.

It remains unclear however the extent to which ASEAN states are


willing to make the sacrifices of turning Southeast Asia into a truly
borderless region that would live up to their motto of One Vision, One
Identity, One Community. In spite of their grand declarations, it is clear
that their governments are not prepared to make the necessary sacrifices.

Unless there is a greater effort on the part of ASEAN government to


push the community idea, few people in the region would embrace the idea
of an ASEAN identity. The decision by ASEAN embassies around the
world to raise the ASEAN flag alongside their national flag is about the
only visible effort at building this new identity. Again, the initiative is left
entirely to the diplomats, and it is primarily for showing to the rest of the
world. There is no similar effort at promoting the ASEAN identity within
the ASEAN states. There is little or no participation from the other
government agencies, let alone the non-government sectors.

ASEAN must overcome its identity crisis if it seriously wants to


push the community idea. It is already saddled by the unfortunate use of
an acronym for its identity, and one that is not exactly popular among its
own peoples. Should it be ASEAN Community or Asean Community? The
use of an acronym in naming the community is a reflection of how much
ASEAN is driven by technocrats and diplomats as they continuously add to

82 Jurnal DIPLOMASI Volume 6 No. 2, September 2014


ASEAN Community 2015:
The Not-So-Big Bang Launch and Evolution of a Community

the soup of alphabets each time they come up with new initiatives. It is not
uncommon to find an acronym within an acronym, like the AEC (ASEAN
Economic Community).

As good and as relevant their initiatives are, ASEAN people will


feel excluded from the conversations if they cannot decipher the long list of
acronyms being thrown at them. Selling the European identity to
Europeans was much easier because it has a clear and easily identifiable
name. People can easily say Im European. But can anyone in Southeast
Asia seriously say I am ASEAN? But since their leaders have settled on
the name ASEAN Community, at the very least, they need to sell this to the
people in the region.

Moving towards a single community also inevitably means giving


up some of the sovereignty currently in the hands of their governments to a
supra-national body, in this case, the Jakarta-based ASEAN Secretariat. But
the majority if not all of ASEAN governments are sticking firmly to the
notion of nation states, that it is hard to expect them to give up on some
sovereignty for the larger interests of their new community. The fact that
they are governed under vastly different political systems makes it even
more unlikely for them to agree on anything that has to do with
sovereignty.

The role of the ASEAN Secretary General by and large is still


confined to administrative and technical affairs. The position is being
rotated among ASEAN countries rather than on the bases of the merits of

Jurnal DIPLOMASI Volume 6 No. 2, September 2014 83


Endy M. Bayuni

the official. Political aspects are the domain of the foreign ministers and the
Secretary General is not treated as their equal.

And there is the question of the pittance contribution by each


ASEAN states towards the budget to run and manage the Secretariat
General even as its workload has been rising in preparing for the launching
of the ASEAN Community 2015. The Secretariat instead relies on the
generous funding from donor countries, most particularly Japan.

If ASEAN can address these three issues the question of ASEAN


identity, giving up some sovereignty when needed, and raising the budget
for the ASEAN Secretariat only then can we seriously start talking about
the evolution of a new ASEAN Community. This isnt going to happen
before December 31, 2015, but they will have to happen soon after, for the
future of the peoples in the Southeast Asian region.

Conclusion:

The challenges that come with the changing Asian political and
economic landscape have intensified in recent years that require ASEAN to
be even more responsive. Their leaders in 2003 made a bold declaration to
turn the region into a community as a response to the emergence of the
Asian Century. But, in spite of the urgency, we have seen little work in
virtually all ASEAN countries in seriously preparing their people for the

84 Jurnal DIPLOMASI Volume 6 No. 2, September 2014


ASEAN Community 2015:
The Not-So-Big Bang Launch and Evolution of a Community

launching of the community. Indonesia, being the largest member by far, is


among the ASEAN laggards.

It has become obvious to all by now that the question today is no


longer whether ASEAN needs to become a community, but more a
question of how soon it can move to realize the dream of a single
community for the vast and diverse region.

This is a question that ASEANs current and future leaders will


have to answer.

They dont have to start from scratch. A lot of the groundwork has
already been done since ASEAN was established in 1967. ASEAN officials,
particularly their diplomats, are already comfortable with one another
through constant engagements. ASEAN also has built a strong
international reputation as a credible regional organization. The move to
commit ASEAN towards a single community has already been declared in
2003, and a working charter, even with its flaws, should be good enough
for ASEAN governments to start the ball rolling.

The next phase of the evolution of the ASEAN Community after its
soft launching at the end of 2015 will be very much in the hands of the
current and future ASEAN leaders.

All they need now is the political will.

Jurnal DIPLOMASI Volume 6 No. 2, September 2014 85


Endy M. Bayuni

BIBLIOGRAPHY:

Acharya, Amitav. The Making of Southeast Asia International


Relations of a Region. Cornell University Press, 2013

The ASEAN Charter.


http://www.asean.org/archive/publications/ASEAN-Charter.pdf

Eminent Persons Group (EPG) and the ASEAN Charter (2006).


http://www.asean.org/asean/asean-charter/eminent-persons-group-epg-
on-the-asean-charter-2006

Roberts, Christopher B. ASEAN Regionalism: Cooperation, Values and


Institutionalisation. Routledge Security in Asia Pacific Series, 2012.

Severino, Rodolfo C. Southeast Asia in Search of an ASEAN


Community. Institute of Southeast Asian Studies (ISEAS), 2006

Soesastro, Hadi. An ASEAN Economic Community and ASEAN + 3


How Do They Fit Together? Pacific Economic Paper No. 338/2003. Australia-
Japan Research Centre.

Soesastro, Hadi. Developing Economic Integration the ASEAN


Economic Community and Beyond. ERIA Research Project Report 2007.

Wicaksono, Agus. Think ASEAN! Rethinking Marketing toward


ASEAN Community 2015 (review). ASEAN Economic Bulletin Vol. 24, No. 2,
August 2007

86 Jurnal DIPLOMASI Volume 6 No. 2, September 2014


Mensinergikan Konektivitas Nasional dengan Konektivitas Kawasan
sebagai Penunjang Integrasi Ekonomi Kawasan

Mensinergikan Konektivitas Nasional dengan Konektivitas


Kawasan sebagai Penunjang Integrasi Ekonomi Kawasan
Oleh: Ina Hagniningtyas Krisnamurthi

Abstract

Indonesias vision to actualize an integrated region is a manifestation of the


Indonesian constitusional mandate. These efforts are actualized through the
establishment of ASEAN Community. ASEAN Economic Community as one of
the pillars of the community supports the effort to create a Southeast Asian Region
which can give safety, stability, and prosperity for its people. In order to achieve
those goals, connectivity is a precondition with concerted efforts, as guided by the
MPAC. Those commitments in ASEAN motivate Indonesia to synergize its
national economic development through MP3EI with regionals dynamics as well
as actualizing Indonesia vision 2025.

Abstraksi

Visi Indonesia untuk mewujudkan kawasan yang terintegrasi


merupakan pengejawantahan amanat Konstitusi. Upaya tersebut antara
lain diwujudkan dengan pembentukan ASEAN, yang dalam
perkembangannya akan membentuk Komunitas ASEAN. KEA (Komunitas
Ekonomi ASEAN) sebagai salah satu pilar Komunitas ASEAN, turut
mendukung upaya untuk menciptakan kawasan Asia Tenggara yang
menjamin keamanan, stabilitas, dan kesejahteraan. Dalam rangka

Jurnal DIPLOMASI Volume 6 No. 2, September 2014 87


Ina Hagniningtyas Krisnamurthi

mewujudkan tujuan tersebut, konektivitas merupakan prasyarat dengan


concerted efforts, sebagaimana dipandu MPAC. Komitmen di ASEAN
tersebut mendorong Indonesia menyinergikan pembangunan ekonomi
nasional antara lain melalui MP3EI dengan dinamika regional sekaligus
sebagai upaya mewujudkan visi 2025 RI.

I. Visi Indonesia terhadap Integrasi Kawasan

Sesuai amanat Konstitusi ikut melaksanakan ketertiban dunia yang


berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial
(alinea ke-4 Pembukaan UUD45), Indonesia sejak awal kemerdekaan
telah mengejawantahkan visi terhadap integrasi kawasan Asia
Tenggara. Sebagai negara besar kepulauan dan berbatasan dengan
banyak negara, khususnya Asia Tenggara, Indonesia punya
kepentingan terhadap stabilitas kawasan.

Di dekade awal 1960-an, stabilitas Asia Tenggara belum kokoh


karena masih adanya riak-riak instabilitas di kawasan yang
disebabkan oleh baru mulai lepasnya negara-negara di kawasan dari
pengaruh kolonialisme. Selain itu, sebagai akibat dari pertarungan
dua hegemoni yang pada saat itu berkuasa, Asia Tenggara menjadi
kawasan yang diperebutkan kubu Soviet dan AS.

Menyikapi dinamika politik di kawasan saat itu, Malaysia, Filipina


dan Indonesia membentuk sebuah organisasi regional di kawasan

88 Jurnal DIPLOMASI Volume 6 No. 2, September 2014


Mensinergikan Konektivitas Nasional dengan Konektivitas Kawasan
sebagai Penunjang Integrasi Ekonomi Kawasan

yang bernama Maphilindo (Malaysia-Philippines-Indonesia). Saat


Indonesia masih tergabung dalam Maphilindo, Presiden RI ke-2 dalam
SU MPR tahun 1966 menyatakan perlunya perluasan cakupan kerja
sama Maphilindo guna meningkatkan daya saing kawasan Asia
Tenggara, baik secara ekonomi maupun militer.

Bersama dengan Malaysia, Filipina, Thailand, dan Singapura pada


tahun 1967 Indonesia menjadi salah satu penggagas ASEAN. Sejak
saat itu, Indonesia telah memberikan kontribusi besar terhadap
ASEAN, beberapa di antaranya melalui pencetusan Bali Concord I, II,
dan III yang merupakan landasan dan peta jalan bagi pembentukan
Komunitas ASEAN.

Globalisasi dunia sudah menjadi realitas dan tingkat keterkaitan


antarnegara/wilayah di dunia semakin erat, dimana hal tersebut
ditunjukkan oleh semakin kaburnya batas-batas antar negara dalam
konteks ekonomi dan kerja sama internasional lainnya. Menyikapi
hal tersebut, ASEAN perlu berintegrasi agar tetap relevan dalam
geopolitik dan geo-ekonomi regional dan global. Seperti yang
disampaikan oleh Menteri Luar Negeri .. mengedepankan
pengembangan arsitektur kawasan yang memungkinkan kerja sama
dalam menjawab tantangan-tantangan keamanan, baik yang bersifat
tradisional maupun non-tradisional guna mewujudkan kawasan
yang damai, aman, dan stabil sehingga memungkinkan negara-
negara di kawasan, khususnya Indonesia, dapat melaksanakan

Jurnal DIPLOMASI Volume 6 No. 2, September 2014 89


Ina Hagniningtyas Krisnamurthi

pembangunan ekonomi demi meningkatkan kesejahteraan rakyat.


(Pernyataan Pers Tahunan Menteri Luar Negeri, Tahun 2012)

Bagi negara-negara anggota ASEAN, Komunitas ASEAN merupakan


komitmen yang sudah menjadi keniscayaan. Sehingga, Indonesia
perlu berpartisipasi untuk mewujudkan stabilitas kawasan guna
memungkinkan bagi negara-negara di kawasan untuk melakukan
pembangunan ekonomi.

II. Komunitas ASEAN

Komunitas ASEAN dimaksudkan untuk menciptakan kawasan Asia


Tenggara yang menjamin keamanan bersama, stabilitas bersama, dan
kesejahteraan bersama di tengah dinamika dan konstelasi kawasan
dan global. Komunitas ASEAN terdiri atas tiga pilar yaitu pilar
politik dan keamanan, pilar ekonomi dan pilar sosial budaya. Ketiga
Pilar Komunitas ASEAN tersebut diarahkan untuk mencapai tujuan
tersebut dan masing-masing pilar merupakan suatu kesatuan dan
saling memperkuat satu sama lain.

Pembentukan Komunitas ASEAN 2015 merupakan respons strategis


ASEAN terhadap perkembangan dan dinamika kawasan dan global
agar ASEAN tetap relevan, baik ke dalam maupun ke luar, terutama
dengan pergeseran peta kekuatan politik dan ekonomi ke kawasan
Asia Pasifik. Di tengah dinamika regional dan global, kohesivitas

90 Jurnal DIPLOMASI Volume 6 No. 2, September 2014


Mensinergikan Konektivitas Nasional dengan Konektivitas Kawasan
sebagai Penunjang Integrasi Ekonomi Kawasan

ASEAN sangat penting untuk meningkatkan daya saing, atraktivitas,


pemerataan pembangunan, dan kontribusi bagi upaya menciptakan
stabilitas, perdamaian, dan kesejahteraan kawasan yang pada
gilirannya berkontribusi pada stabilitas, perdamaian, dan
kesejahteraan negara anggotanya.

III. Komunitas Ekonomi ASEAN (KEA)


Integrasi ekonomi yang dilakukan oleh ASEAN tidak dilakukan
secara singkat, namun telah dilakukan upaya untuk memperdalam
dan memperluas secara gradual selama hampir empat dekade, antara
lain melalui:
Preferential Tariff Arrangement/PTA (1977)
Blok perdagangan yang memberikan akses khusus pada produk
tertentu dari negara-negara anggota. Hal ini dilakukan dengan
mengurangi tarif, tetapi tidak dengan menghapus tarif sepenuhnya.
Sebuah PTA dapat dibentuk melalui pakta perdagangan. Hal ini
adalah tahap pertama dari integrasi ekonomi. PTA yang dilakukan
oleh ASEAN diatur dalam Perjanjian ASEAN (ASEAN, 2013). PTA
ASEAN ditandatangani di Manila pada 24 Februari 1977, dan dalam
Protokol Perbaikan pada Perpanjangan Preferensi Tarif bawah
Perdagangan Preferential ASEAN Pengaturan (PTA), ditandatangani
di Manila pada tanggal 15 Desember tahun 1987.

Jurnal DIPLOMASI Volume 6 No. 2, September 2014 91


Ina Hagniningtyas Krisnamurthi

Common Effective Preferential Tariff ASEAN FTA/CEPT-AFTA(1992)


Pada KTT ke-5 ASEAN di Singapura tahun 1992 telah ditandatangani
Framework Agreement on Enhancing ASEAN Economic Cooperation
sekaligus menandai dicanangkannya ASEAN Free Trade Area (AFTA)
pada tanggal 1 Januari 1993 dengan Common Effective Preferential Tariff
(CEPT) sebagai mekanisme utama. Pendirian AFTA memberikan
impikasi dalam bentuk pengurangan dan eliminasi tarif,
penghapusan hambatan-hambatan non-tarif, dan perbaikan terhadap
kebijakan-kebijakan fasilitasi perdagangan. Dalam
perkembangannya, AFTA tidak hanya difokuskan pada liberalisasi
perdagangan barang, tetapi juga perdagangan jasa dan investasi
(Kementrian Luar Negeri RI, 2012).
ASEAN Trade in Goods Agreement/ATIGA (2009)
ATIGA merupakan pengganti perjanjian Common Effective Preferential
Tariffs atau CEPT. ATIGA merupakan penyederhanaan, dari yang
sebelumnya terpencar di CEPT kemudian dijadikan satu untuk
mempermudah pelaku usaha melihat ketentuan ASEAN (Bustami,
2010). ATIGA ditanda tangani oleh 10 menteri perdagangan dari
negara-negara anggota ASEAN pada tanggal 26 Februari 2009.
ASEAN Comprehensive Investment Agreement/ACIA (2009)
ACIA merupakan gabungan dari revisi dan penggabungan wilayah
ASEAN Investment (AIA) dan Perjanjian Jaminan Investasi (IGA)
perjanjian investasi ASEAN menjadi tunggal. Mengingat lingkungan
global yang kompetitif untuk investasi asing langsung, ACIA
dirancang dengan tujuan untuk menciptakan rezim investasi yang

92 Jurnal DIPLOMASI Volume 6 No. 2, September 2014


Mensinergikan Konektivitas Nasional dengan Konektivitas Kawasan
sebagai Penunjang Integrasi Ekonomi Kawasan

lebih bebas dan lebih terbuka terhadap pencapaian ASEAN,


berdasarkan integrasi ekonomi international best practices. ACIA
dibayangkan untuk memfasilitasi transformasi ASEAN menjadi
pusat investasi yang akan mampu bersaing secara efektif dengan
negara berkembang lainnya. Melalui kesepakatan ini, ASEAN sangat
memanifestasikan komitmennya untuk membangun daerah investasi
terpadu dan menunjukkan tekad yang kuat untuk menciptakan
lingkungan bisnis yang stabil dan dapat diprediksi (ASEAN, 2012).

Di era tahun 1997-1998 kawasan Asia mengalami The Asian Crisis,


yaitu sebuah krisis ekonomi di kawasan yang menyebabkan
terjadinya krisis likuiditas keuangan sehingga mengganggu
perekonomian Asia Tenggara. Hal tersebut menuntut ASEAN untuk
meningkatkan daya saing dan daya tariknya guna menggerakkan
kembali perekonomian di kawasan. Tuntutan berintegrasi juga
datang seiring dengan meningkatnya ekonomi RRT dan India, serta
berbagai proliferasi Free Trade Agreements (FTAs) di kawasan.

Negara-negara anggota ASEAN memutuskan untuk mempercepat


pembentukan Komunitas ASEAN dari tahun 2020 menjadi tahun
2015 antara lain didorong oleh adanya tren penurunan biaya
produksi di ASEAN hingga 20%, peningkatan kemampuan daya
saing kawasan ASEAN, dan penyelarasan pencapaian Millenium
Development Goals 2015.

Jurnal DIPLOMASI Volume 6 No. 2, September 2014 93


Ina Hagniningtyas Krisnamurthi

KEA memiliki empat karakterisik utama, yaitu: pertama, pasar


tunggal dan basis produksi, dimana akan terdapat aliran bebas
barang, aliran bebas jasa, aliran bebas investasi aliran modal yang
lebih bebas, dan aliran bebas tenaga kerja terampil. Kedua, kawasan
ekonomi yang berdaya saing tinggi, dimana memberikan peluang
untuk meningkatkan daya saing setiap negara yang terlibat sekaligus
kawasan. Tidak diragukan bahwa kerjasama dan kolaborasi kawasan
dapat menjadi kekuatan untuk mendongkrak competitive advantage
dan menjadi magnet bagi dunia global. Ketiga, kawasan dengan
pembangunan ekonomi yang merata, dimana kesenjangan
pembangunan diantara Negara-negara ASEAN akan dicoba untuk
dijembatani guna memperlancar proses integrasi. Keempat, kawasan
yang terintegrasi penuh dengan ekonomi global, yang mana di
tengah meningkatnya globalisasi, ASEAN bertujuan untuk menjadi
segmen yang lebih dinamis dan lebih kuat dari rantai pasokan global
dan bertekad untuk mencapai suatu Komunitas Ekonomi ASEAN.
Wilayah ini menyajikan peluang bagi investor untuk mengakses
tidak hanya pasar ASEAN tetapi juga beberapa ekonomi terbesar di
dunia.

Kajian Economic Research Institute for ASEAN and East Asia (ERIA)
berjudul The Impact of the AFTA menyebutkan beberapa manfaat dari
integrasi ekonomi ASEAN yang dapat diraih, antara lain:
meningkatkan pertumbuhan dan pembangunan ekonomi;
meningkatkan skala ekonomi dan efisiensi proses produksi;

94 Jurnal DIPLOMASI Volume 6 No. 2, September 2014


Mensinergikan Konektivitas Nasional dengan Konektivitas Kawasan
sebagai Penunjang Integrasi Ekonomi Kawasan

mendorong pembentukan FTA sebagai upaya menembus pasar;


menumbuhkan daya saing dan; meningkatkan daya tarik investasi.

Capaian integrasi ekonomi ASEAN dalam konteks pemenuhan


komitmen AEC Blueprint hingga akhir 2013, yaitu secara ASEAN wide
telah mencapai 81,7% dengan 229 prioritized measures telah
terimplementasi sampai dengan tahun 2013. Indonesia sendiri telah
mencapai 84,1% dalam AEC Blueprint dengan mengimplementasi
233 prioritized measures sampai dengan tahun 2013. Capaian Indonesia
berada di atas Laos dan Myanmar yang masing-masing mencatat
capaian sebesar 83,5%.

Dalam periode dua dekade terakhir, capaian-capaian riil dari


integrasi ekonomi ASEAN adalah sebagai berikut: peningkatan total
nilai perdagangan diantara negara-negara ASEAN sebesar lima kali
lipat dari USD570 miliar di tahun 1993 menjadi USD2,5 triliun di
tahun 2012; terjadi peningkatan total PDB diseluruh negara ASEAN
sebesar delapan kali lipat dari USD 450 juta pada tahun 1993 menjadi
USD2,3 triliun di tahun 2012, sedangkan untuk PDB per kapita juga
mengalami peningkatan dari USD2.533 di tahun 1993) menjadi
USD5.869 di tahun 2012; peningkatan aliran investasi asing langsung
ke ASEAN juga mengalami peningkatan dari USD24 miliar di tahun
1993 menjadi USD110,3 miliar di tahun 2012; terjadi penurunan
tingkat kemiskinan dari 45% di tahun 1993 menjadi 17,8% di tahun
2011.

Jurnal DIPLOMASI Volume 6 No. 2, September 2014 95


Ina Hagniningtyas Krisnamurthi

Selain itu, ASEAN dalam angka dapat diterjemahkan menjadi


kekuatan ekonomi ketiga terbesar di Asia, setelah RRT dan India,
kawasan dengan rata-rata pertumbuhan ekonomi sebesar 6% dalam
periode 15 tahun, secara kolektif merupakan 3% dari total PDB dunia,
dimana capaian tersebut setara dengan 30% dari ekonomi RRT atau
25% lebih besar dari ekonomi India.

IV. Tantangan dan Peluang Komunitas Ekonomi ASEAN

Pembangunan konektivitas merupakan tantangan utama dalam


pembentukan KEA mengingat konektivitas merupakan prasyarat
dalam upaya pembentukan integrasi ekonomi. Sebagai sebuah pusat
produksi dan pasar bersama ASEAN harus memastikan agar negara-
negara anggotanya terkoneksi dengan baik agar tidak kehilangan
competitive advantage-nya sebagai sebuah kawasan yang secara
ekonomi terintegrasi. Dengan dapat mewujudkan konektivitas yang
baik di antara negara-negara anggotanya, maka ASEAN secara tidak
langsung juga akan meningkatkan daya saingnya sebagai suatu
kawasan. Konektivitas yang terjalin diantara negara-negara ASEAN
juga akan menjadi salah satu pemicu pemerataan pembangunan
ekonomi di kawasan. Selain itu, sebuah kawasan yang terkoneksi
dengan baik akan meningkatkan peranan dan nilainya apabila akan
berintegrasi pada rantai nilai global. Karakteristik geografis ASEAN
yang terdiri dari mainland dan archipelagic, serta tingkat

96 Jurnal DIPLOMASI Volume 6 No. 2, September 2014


Mensinergikan Konektivitas Nasional dengan Konektivitas Kawasan
sebagai Penunjang Integrasi Ekonomi Kawasan

pembangunan ekonomi Negara-negara anggotanya yang beragam


membuat tantangan tersendiri dalam meningkatkan konektivitasnya.

Tantangan lain yang perlu diselesaikan yaitu implementasi


komitmen high-impact measures, ratifikasi perjanjian/protokol dan
harmonisasi peraturan domestik secara tepat waktu. Hal ini
diperlukan agar komitmen-komitmen yang telah dibuat dapat segera
diimplementasikan sepenuhnya guna mendukung proses integrasi di
kawasan. Selain itu, perlunya dilakukan peningkatan pemahaman
masyarakat, baik dari kalangan bisnis maupun bukan, mengenai
Komunitas Ekonomi ASEAN. Mengingat masyarakat merupakan
ujung tombak dari pelaksanaan integrasi ekonomi maka pemahaman
terkait Komunitas Ekonomi ASEAN mutlak untuk dimiliki agar
masyarakat dapat mendapatkan keuntungan yang maksimal dari
proses integrasi ini.

Penguatan institusi, termasuk Sekretariat ASEAN, agar dapat


memberikan dukungan maksimal dalam mencapai tujuan Komunitas
ASEAN juga merupakan tantangan tersendiri. Sekretariat ASEAN
sebagai fasilitator memegang peranan kunci dalam memastikan
proses integrasi ini dapat berjalan sesuai dengan rencana yang telah
disepakati oleh Negara-negara ASEAN. Tantangan lain dalam proses
pembentukan Komunitas Ekonomi ASEAN adalah mempertahankan
sekaligus memperkuat sentralitas peran ASEAN dalam integrasi
ekonomi di kawasan dan global. ASEAN harus dapat

Jurnal DIPLOMASI Volume 6 No. 2, September 2014 97


Ina Hagniningtyas Krisnamurthi

mempertahankan peran dan kepentingannya diantara dinamika


geopolitik dan geoekonomi global yang sangat dinamis.

Komunitas Ekonomi ASEAN selain memunculkan tantangan bagi


Indonesia, juga membawa peluang. Jumlah penduduk ASEAN yang
mencapai 600 juta jiwa membuka peluang pasar sekitar 350 juta jiwa
bagi produk-produk Indonesia. Integrasi ekonomi yang terjadi juga
mendorong Indonesia untuk dapat meningkatkan daya saingnya
guna dapat bersaing dengan negara ASEAN lainnya. Hal tersebut
akan menjadi stimulus guna mempercepat proses peningkatan daya
saing nasional.

Agar integrasi ekonomi dapat berjalan dengan efektif diperlukan


sebuah sistem yang terintegrasi. Demikian juga halnya dengan
Komunitas Ekonomi ASEAN, saat ini ASEAN sedang dalam tahap
proses mengintegrasikan sistem perdagangannya guna
memperlancar arus perdagangan melalui ASEAN Single Window.
Guna mewujudkan sebuah sistem yang terintegrasi, dibutuhkan
sebuah tata aturan yang transparan dan efisien, dimana proses ini
menjadi sebuah pemacu guna menciptakan tata aturan yang
transparan dan efisien di Indonesia.

Selain semakin lancarnya arus barang diantara negara-negara


ASEAN, Komunitas Ekonomi ASEAN juga akan mendorong
pergerakan manusia di kawasan. Sebagai suatu potensi pariwisata
yang cukup besar seperti Indonesia, hal ini akan membawa peluang

98 Jurnal DIPLOMASI Volume 6 No. 2, September 2014


Mensinergikan Konektivitas Nasional dengan Konektivitas Kawasan
sebagai Penunjang Integrasi Ekonomi Kawasan

yang baik bagi sektor pariwisata di Indonesia. Selain itu, spill-over


effect dari sektor pariwisata diharapkan dapat mendorong
pertumbuhan ekonomi di Indonesia, serta mendorong pembangunan
di daearah-daerah wisata yang umumnya terpencil.

V. Pengembangan Konektivitas ASEAN

Dengan karakter geografis terdiri dari mainland dan archipelagic,


ASEAN dituntut untuk memperkuat konektivitas agar proses
pembentukan KEA berlangsung lancar. Konektivitas yang baik akan
mendorong perwujudan KEA 2015 berlangsung lancar. Upaya untuk
membangun konektivitas ASEAN membutuhkan concerted efforts
tidak saja dari seluruh anggota ASEAN, namun juga partisipasi mitra
wicara dan mitra pembangunan ASEAN. Komitmen ASEAN untuk
meningkatkan konektivitasnya tercermin dalam Master Plan on
ASEAN Connectivity (MPAC) yang disahkan pada 2010 di Vietnam.

Master Plan on ASEAN Connectivity (MPAC) disahkan pada KTT


ASEAN ke-17 di Hanoi, Vietnam tanggal 28 Oktober 2011. MPAC
merupakan dokumen konsolidatif berbagai komitmen yang telah
disepakati oleh negara anggota ASEAN di berbagai bidang yang
berhubungan dengan peningkatan konektivitas. Tiga pilar utama
MPAC, yaitu konektivitas fisik (physical), kelembagaan (institutional),
dan antarmasyarakat (people-to-people). MPAC merupakan solusi
ASEAN menghadapi tantangan masih kurang terhubungnya

Jurnal DIPLOMASI Volume 6 No. 2, September 2014 99


Ina Hagniningtyas Krisnamurthi

antarnegara anggota dalam proses pembangunan Komunitas ASEAN


pada tahun 2015.

MPAC memuat 19 key strategies, 84 key actions, dan 15 priority projects


yang dianggap penting guna merekatkan kawasan ASEAN dalam
menciptakan Komunitas ASEAN yang aman, damai, sejahtera, dan
humane.

Dari 15 proyek prioritas (priority projects) dalam MPAC, 3 (tiga)


proyek yang terkait langsung dengan kepentingan Indonesia, yaitu:
Pekanbaru-Malaka Interconnection berupa pengembangan jaringan
listrik tegangan tinggi antara Semenanjung Malaysia dengan
Sumatera, yang merupakan salah satu inisiatif kelompok Sub-
Regional Indonesia-Malaysia- Thailand Growth Triangle (IMT-GT);
West Kalimantan-Sarawak Interconnection berupa pengembangan
jaringan listrik bertegangan tinggi dari Kalimantan Barat hingga
Serawak, yang merupakan salah satu inisiatif kelompok Sub-Regional
Brunei-Indonesia-Malaysia-Philippine East ASEAN Growth Area
(BIMP-EAGA). Studi sistem RoRo (roll-on-roll-off) untuk
pengembangan perkapalan jarak pendek yang sangat bermanfaat
bagi wilayah kepulauan di ASEAN seperti di Indonesia dan Filipina.
Rekomendasi hasil studi menyebutkan tiga rute prioritas untuk
dikembangkan yaitu DumaiMalaka, BelawanPenangPhuket
Triangle Route, dan Davao/General SantosBitung.

100 Jurnal DIPLOMASI Volume 6 No. 2, September 2014


Mensinergikan Konektivitas Nasional dengan Konektivitas Kawasan
sebagai Penunjang Integrasi Ekonomi Kawasan

Dalam rangka merealisasikan MPAC telah dibentuk beberapa


mekanisme guna memonitor dan mendukung implementasinya.
Mekanisme dimaksud di antaranya adalah ASEAN Connectivity
Coordinating Committee (ACCC), National Coordinators, dan Sekretariat
ASEAN. ACCC bertugas untuk mengawasi implementasi MPAC dan
membangun kemitraan dengan Mitra Wicara dan organisasi/badan
internasional dalam merealisasikan konektivitas ASEAN. Dalam
kaitan itu, perwakilan Indonesia sebagai anggota ACCC dijabat oleh
Wakil Tetap/ Duta Besar RI untuk ASEAN.

ACCC telah melakukan beberapa pertemuan sejak tahun 2011 yang


telah menyusun matriks implementasi dan scorecard implementasi
dari ASEAN Connectivity, modalitas koordinasi antar berbagai
mekanisme ASEAN Connectivity, penyelenggara Symposium
Internasional mengenai ASEAN Connectivity, dan memfasilitasi
kemitraan dengan mitra wicara. National Coordinators berfungsi
sebagai koordinator nasional dari berbagai komitmen yang telah
diberikan oleh masing-masing negara anggota ASEAN. Tugas
National Coordinator adalah untuk mendorong realisasi ASEAN
Connectivity berjalan dengan lancar di tingkat nasional. ACCC dan
NC telah bertemu sejak tahun 2012 setiap tahun guna berkoordinasi
dalam mencai solusi atas berbagai hambatan yang terjadi di tingkat
nasional untuk implementasi MPAC.

Sejauh ini, dari total 125 measures MPAC, sebanyak 12 measures telah
berhasil diselesaikan, 79 measures dalam proses implementasi, 23

Jurnal DIPLOMASI Volume 6 No. 2, September 2014 101


Ina Hagniningtyas Krisnamurthi

measures mengalami keterlambatan implementasi, 9 measures belum


dimulai, dan 2 measures akan dipercepat implementasinya. Pada 2015
ditargetkan 76,8% MPAC sudah berhasil diimplementasikan.
Implementasi MPAC masih perlu dioptimalisasikan, khususnya
efektivitas terkait mobilisasi dan koordinasi resource yang ada.

VI. Penguatan Konektivitas Nasional

Sebagai negara kepulauan, konektivitas menjadi tantangan besar


yang harus diselesaikan. Salah satu dampak dari lemahnya
konektivitas nasional adalah tingginya biaya distribusi barang,
seperti mahalnya biaya pengiriman barang antarpulau di Indonesia
dibandingkan antara Indonesia dengan negara lain. Hal ini
menyebabkan kurang kompetitifnya Indonesia dalam konteks untuk
menjadi sebuah production base di kawasan serta dalam hal menjadi
bagian dari rantai suplai baik di kawasan maupun global.

Guna menjawab tantangan tersebut, Indonesia telah memiliki


Masterplan Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi
Indonesia (MP3EI) yang diluncurkan pada Mei 2011 sangat strategis
dalam mengakselerasikan pembangunan ekonomi nasional. MP3EI
melengkapi RPJPN 20052025 dan RPJMN 20102014 dengan 6
koridor ekonomi yang membutuhkan total investasi Rp.4.012
triliun, dimana digunakan skema pemerintah mendanai 1/10
kebutuhan total investasi tersebut.

102 Jurnal DIPLOMASI Volume 6 No. 2, September 2014


Mensinergikan Konektivitas Nasional dengan Konektivitas Kawasan
sebagai Penunjang Integrasi Ekonomi Kawasan

Sejak 27 Mei 2011, realisasi proyek MP3EI hingga triwulan I/2014


capai Rp.838,9 triliun, dengan rincian sebagai berikut; implementasi
204 proyek infrastruktur senilai Rp.397,7 triliun, dimana sebesar
Rp.131,8 triliun berasal dari APBN, sebesar Rp.153,2 triliun berasal
dari BUMN, dan sebesar Rp.53,89 triliun berasal dari sektor swasta.

Implementasi MP3EI masih menghadapi beberapa kendala yang


perlu diselesaikan, antara lain: penyelesaian Peraturan Daerah
Rencana Tata Ruang Wilayah (Perda RTRW) di Sumatera,
Kalimantan, dan Sulawesi, serta Papua; pembebasan lahan pada
berbagai proyek infrastruktur prioritas; penyelesaian Izin Pinjam
Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) oleh Kemenhut; kekurangan pasokan
bahan baku lokal untuk industri makanan-minuman, migas, dan
tekstil di Koridor Ekonomi Jawa; kekurangan pasokan energi listrik
di Koridor Ekonomi Kalimantan.

VII. Kesimpulan

Dalam hal integrasi ekonomi di kawasan, antara konektivitas regional


dengan konektivitas nasional tidak dapat dipisahkan, kedua hal
tersebut saling terkait dan bersifat mutually reinforcing. Indonesia akan
mendapatkan keuntungan penuh dari konektivitas yang terjadi di
kawasan apabila secara nasional Indonesia telah terkoneksi dengan
baik. Oleh karena itu, penting kiranya bagi Indonesia untuk dapat
mensinergikan antara kerangka kerja sama konektivitas ASEAN

Jurnal DIPLOMASI Volume 6 No. 2, September 2014 103


Ina Hagniningtyas Krisnamurthi

(MPAC) dengan kebijakan dalam negeri Indonesia (MP3EI). Dalam


hal ini, Indonesia harus memastikan bahwa koridor-koridor ekonomi
yang terdapat dalam MP3EI dapat mendukung dan terintegrasi
dengan titik-titik dimana Indonesia akan terkoneksi dengan negara-
negara ASEAN lainnya sesuai dengan MPAC.

Sebagai anggota ASEAN, Indonesia harus dapat memanfaatkan


forum-forum konektivitas yang ada untuk bisa menyuarakan
kepentingan Indonesia. Melalui forum-forum dan mekanisme yang
ada diharapkan Indonesia dapat mengarahkan kebijakan konektivitas
di ASEAN tidak hanya mengakomodir konektivitas di ASEAN
mainland, tapi juga archipelagic ASEAN seperti Indonesia dan Filipina.

Melihat implementasi proyek-proyek MP3EI, sumber pembiayaan


masih didominasi oleh APBN dan BUMN dimana hal tersebut belum
sesuai dengan konsep MP3EI yang mengedepankan investasi pihak
swasta. Terkait hal ini, Indonesia bisa menggunakan skema-skema
dan mekanisme triple-helix yang ada untuk meningkatkan peran
sektor swasta dalam proyek-proyek MP3EI. Melalui ASEAN,
Indonesia dapat mendorong partisipasi negara-negara mitra wicara
dalam pembiayaan proyek-proyek MP3EI. Selain itu Indonesia juga
dapat memanfaatkan ASEAN Infrastructure Fund (AIF) sebagai
alternatif pembiayaan pendamping yang dapat menarik sektor
swasta untuk berinvestasi dengan skema Public, Private Partnership
(PPP).

104 Jurnal DIPLOMASI Volume 6 No. 2, September 2014


Mensinergikan Konektivitas Nasional dengan Konektivitas Kawasan
sebagai Penunjang Integrasi Ekonomi Kawasan

Daftar Pustaka

Salam, D. (2013, April 18). 4 pilar ASEAN Economic Community 2015.


Retrieved 2014, from Marketeers: http://www.the-
marketeers.com/archives/4-pilar-asean-economic-community-
2015.html

The Official Investment Promotion Website of the ASEAN. (2012).


Competitive Economic Region. Retrieved 2014, from Invest in ASEAN:
http://investasean.asean.org/index.php/page/view/asean-
economic-community/view/670/newsid/759/competitive-
economic-region.html

The Official Investment Promotion Website of the ASEAN. (2012). Equitable


Economic Development. Retrieved 2014, from Invest in ASEAN:
http://investasean.asean.org/index.php/page/view/asean-
economic-community/view/670/newsid/760/equitable-economic-
development.html

The Official Investment Promotion Website of the ASEAN. (2012).


Integration into the Global Economy. Retrieved 2014, from Invest in
ASEAN:
http://investasean.asean.org/index.php/page/view/asean-
economic-community/view/670/newsid/761/integration-into-the-
global-economy.html

The Official Investment Promotion Website of the ASEAN. (2012, 2012).


Single Market and Production Base. Retrieved 2014, from Invest in
ASEAN:
http://investasean.asean.org/index.php/page/view/asean-
economic-community/view/670/newsid/758/single-market-and-
production-base.html

Jurnal DIPLOMASI Volume 6 No. 2, September 2014 105


Ina Hagniningtyas Krisnamurthi

ASEAN. (2013). Agreement on the Common Effective Preferential Tariff (CEPT)


Scheme for the ASEAN Free Trade Area (AFTA). Retrieved 2014, from
Associaton of Southeast Asian Nation:
http://www.asean.org/communities/asean-economic-
community/item/agreement-on-the-common-effective-preferential-
tariff-cept-scheme-for-the-asean-free-trade-area-afta

ASEAN. (2012, Juli 24). ASEAN Comperhensive Investment Agreement (ACIA)


enters into force creating a stable and predictable business investment
Enviroment. Retrieved from ASEAN Secretary:
http://www.asean.org/news/asean-secretariat-news/item/asean-
comprehensive-investment-agreement-acia-enters-into-force-
creating-a-stable-and-predictable-business-investment-environment

Bustami, G. (2010, September 15). ASEAN Melakukan Penjajakan Kerjasama


Dengan Rusia. Retrieved 2014, from Tabloid Diplomasi:
http://www.tabloiddiplomasi.org/previous-isuue/105-september-
2010/918-asean-melakukan-penjajakan-kerjasama-dengan-rusia.html

Kementrian Luar Negeri RI. (2012). Kementrian Luar Negeri RI. Retrieved
2014, from Kerjasama Ekonomi ASEAN:
https://www.google.com/webhp?sourceid=chrome-
instant&ion=1&espv=2&ie=UTF-
8#newwindow=1&q=CEPT%201992%20adalah

Pusat Kebijakan Pendapatan Negara. (2014). ASEAN FREE TRADE AREA


(AFTA). Retrieved 2014, from Pusat Kebijakan Pendapatan Negara:
http://www.tarif.depkeu.go.id/Others/?hi=AFTA

106 Jurnal DIPLOMASI Volume 6 No. 2, September 2014


Gearing Towards an ASEAN Political-Security Community 2015

Gearing Towards an ASEAN Political-Security


Community 2015
By: M. Chandra W. Yudha 1

INTRODUCTION

This year is undoubtedly a crucial time for ASEAN Member States


as they are preparing the final lap toward the establishment of the ASEAN
Community in 2015. Historically, during Indonesias chairmanship of
ASEAN in 2003, the signing of the Bali Concord II was a milestone and a
starting point toward the establishment of the ASEAN Community. The
Community is comprising of three pillars, namely political and security
cooperation, economic cooperation, and socio-cultural cooperation that are
closely intertwined and mutually reinforcing for the purpose of ensuring
durable peace, stability and shared prosperity in the region. Moreover, in
2007, it was agreed at the 12th ASEAN Summit in Cebu that the
establishment of an ASEAN Community will be accelerated from the year
2020 to year 2015.

The process of the establishment of the ASEAN Community was


further consolidated during Indonesias Chairmanship in 2011, giving rise
to the Bali Concord III, which advances the ASEAN Community building
process and maps out the interaction between ASEAN and global

1 The views expressed in this article are those of the authors

Jurnal DIPLOMASI Volume 6 No. 2, September 2014 107


M. Chandra W. Yudha

communities. This Concord is a reflection of ASEANs proactive


participation and contribution for a more peaceful, more prosperous and
more democratic world.

At the latest ASEAN Summit in Myanmar in May 2014, the ASEAN


Secretary-General reported that the overall implementation rate of ASEAN
Community-building had reached an average of over 80 percent across the
three pillars, with the ASEAN Political and Security Community (APSC)
pillar attaining 78 percent2, the ASEAN Economic Pillar reaching 79,5
percent, and the ASEAN Socio-Cultural pillar reaching 90 percent. These
numbers are not rigid as many of the ASEAN Community-building efforts
are qualitative rather than quantitative, and calculations were based on
how many Action Lines of the Blue Print had been achieved by ASEAN
Member States.

This assessment showed promising progress for ASEAN. It


demonstrated that ASEAN Member States exerted their best efforts
especially at the national level-- to implement the Blueprints and the Action
Lines. Today it is evident that the target to establish the ASEAN
Community by 2015 has brought about stronger and closer cooperation
among ASEAN Member States. In the area of politics and security, ASEAN
cooperation has expanded and now covers almost all areas of cooperation,
including in the issues that were once very sensitive to ASEAN such as

2At the 47th ASEAN Foreign Ministers Meeting on 8 August 2014, in Nay Pyi Taw,
Myanmar, the ASEAN Secretary-General reported that the implementation of the
ASEAN Political and Security Community pillar has reached 82%.

108 Jurnal DIPLOMASI Volume 6 No. 2, September 2014


Gearing Towards an ASEAN Political-Security Community 2015

human rights, trafficking in persons, joint exercise, maritime security,


counter-terrorism, transnational crimes, sea-piracy, and cybercrime.

Yet, the remaining 20 percent is still a big challenge, especially with


only about one more year left and with such delicate issues to address, such
as mutual trust, overlapping claims over parts or the whole of the South
China Sea, border disputes, and dispute management. To achieve a higher
level of regional integration, ASEAN Member States still have a lot of
homework. Realizing this urgent challenge, at the 24th ASEAN Summit in
Myanmar, the ASEAN leaders adopted the Declaration on Realization of
the ASEAN Community by 2015. This Declaration set key priorities to
enhance and accelerate ASEAN Communitys implementation, including
the APSC.

ASEAN COMMUNITY: A DYNAMIC COMMUNITY

When discussing the ASEAN Community, it is important to note


that the term Community in the ASEAN context refers to a very dynamic,
evolving and constructive concept, not a rigid one. Therefore, as ASEAN
Member States move forward with the Community building process, they
must exert their highest level of efforts in consolidating this process and
fine-tune their responses in accordance to the challenges and opportunities
that may arise.

Jurnal DIPLOMASI Volume 6 No. 2, September 2014 109


M. Chandra W. Yudha

In the area of politics and security, cooperation within ASEAN is


conducted through mechanisms such as the ASEAN Foreign Ministers
Meeting (AMM), the Commission on the Southeast Asia Nuclear Weapon-
Free Zone (SEANWFZ Commission), the ASEAN Law Ministers Meeting
(ALAWMM), the ASEAN Defense Ministers Meeting (ADMM), the
ASEAN Ministerial Meeting on Transnational Crime (AMMTC), and the
ASEAN Regional Forum (ARF). These mechanisms enable ASEAN and its
external partners to engage in a mutually reinforcing and beneficial
collaboration, while building trust and confidence.

The ASEAN Political Security Community will be built on three


main achievements: (a) a rules-based community with shared values and
norms; (ii) a cohesive, peaceful and resilient region with shared
responsibility for comprehensive security; (iii) a dynamic and outward
looking region. Unlike in economic cooperation where quantifiable targets
are set, success in political and security cooperation is usually measured by
the absence of conflict or minimum occurrence of conflicts. In this context,
successful cooperation in the area of politics and security is a determining
factor for the success of ASEAN closer integration through an ASEAN
Economic Community, considering that sustainable economic development
is only possible in a stable political and safe environment. A peaceful and
stable region is therefore crucial to the ASEAN Community as a whole.

110 Jurnal DIPLOMASI Volume 6 No. 2, September 2014


Gearing Towards an ASEAN Political-Security Community 2015

BUILDING AN ASEAN POLITICAL AND SECURITY COMMUNITY

Despite the territorial disputes that still exist, it is undeniable that


ASEAN Member States and neighboring countries have relatively enjoyed
regional peace and stability for more than 47 years since the establishment
of ASEAN in 1967. The Treaty of Amity and Cooperation (TAC), signed in
1976, has been one of the main instruments that promote peace, friendship
and cooperation among the people of Southeast Asia. Through the TAC,
ASEAN Member States and High Contracting Parties commit themselves to
resolving all differences, disputes and conflicts peacefully. As of now, there
are 32 High Contracting Parties to the TAC, with the most recent accession
by Norway in July 2013. The increasing number of TAC contracting
partings shows a widening support for peace and stability in Southeast
Asia. It also indicates a growing interest of other countries in establishing
cooperation with ASEAN. It is not an exaggeration to say that the projected
establishment of the ASEAN Community is a magnet attracting other
countries to establish good relations and cooperation with ASEAN.

A very notable progress in the regions political cooperation is the


establishment of the ASEAN Inter-governmental Commission on Human
Rights (AICHR), considering that human rights issues were once seen as
too sensitive to even just appear in any of ASEANs formal discussions.
AICHR was established to strengthen the promotion and protection of
human rights in ASEAN and the ASEAN Human Rights Declaration in
2012 serves as its main reference. The Declaration not only affirms "all the
civil and political rights stated in the Universal Declaration of Human

Jurnal DIPLOMASI Volume 6 No. 2, September 2014 111


M. Chandra W. Yudha

Rights but also includes such specific rights as the right to safe drinking
water and sanitation" and "the right to a safe, clean and sustainable
environment.

Although ASEAN has yet to have a formal mechanism on the issue


of democracy due to the diversity of political systems that ASEAN Member
States adhere to, the principles of democracy and democratic process have
been cited by ASEAN in addressing relevant issues.

Another example of concrete cooperation on this issue is the


Regional Workshop on Elections as a Means to Promote Democracy and
Security in ASEAN, organized by Indonesia, which was convened on 9
July 2014 in Jakarta at the time when the Indonesian presidential election
was taking place. Apart from implementing the APSC Blueprint Action
Lines A.i.8.ii and A.i.8.iii, the workshop was aimed at sharing Indonesias
experience and best practices in democratic elections with other ASEAN
Member States. A half-day meeting of the research team was also convened
on the following day to discuss and brain storm topics for the annual
research regarding experiences and lessons-learned of democracy aimed at
enhancing the adherence to the principles of democracy.

The principles of democracy are also being discussed in the ASEAN


Inter-Parliamentary Assembly (AIPA), the forum of ASEAN parliamentary
members that was originally established in 1977 under the name of the
ASEAN Inter-Parliamentary Organization. Through AIPA, ASEAN
parliamentary members exchange views and share their experience in

112 Jurnal DIPLOMASI Volume 6 No. 2, September 2014


Gearing Towards an ASEAN Political-Security Community 2015

many issues such as poverty alleviation, sustainable development and


green growth, and the Millennium Development Goals (MDGs) 2015. One
important task being carried out by AIPA is to monitor and encourage the
implementation of all legal instruments and agreements produced by
ASEAN. AIPA is a very important element in the ASEAN Community
building process, as it comprises the representatives of the peoples of
ASEAN.

In the area of defense cooperation, ASEAN is now taking big steps


and becoming more pro-active and more direct in addressing internal
security problems. The ADMM now serves as an effective venue for
building confidence and trust among ASEAN Defense Ministers, officials,
as well as military officers, as they discuss regional security issues and
engage in military cooperation. Issues discussed under the ADMM
mechanism include Humanitarian Assistance and Disaster Response, Peace
Keeping Operations, Maritime Security, Maritime Medicine, Humanitarian
Mine Action and Counter-terrorism.

This year, under the Humanitarian Assistance and Disaster Relief


(HADR) cooperation, ASEAN carried out the Komodo Exercise, joint
activity involving warships from 18 countries, namely ASEAN and Plus
countries (Lao, India, Japan, Korea, New Zealand, the US, China, and
Russia), in Batam and the Natuna Sea, Indonesia. More than 3.000
Indonesian military personnel and about 1885 navy personnel from other
countries participated. The Komodo exercise is conducted biannually. This
exercise shows that naval cooperation has become increasingly vital and

Jurnal DIPLOMASI Volume 6 No. 2, September 2014 113


M. Chandra W. Yudha

has helped foster greater cooperation among the navies of ASEAN and Plus
countries. Dialogues among ASEAN navies and ASEANs dialogue
partners navies are also conducted through the ASEAN Navy Chiefs
Meeting (ANCM) and the ANCM Plus process.

ASEAN has also managed to advance its cooperation in maritime


security despite maritime boundary disputes among its members. The
ASEAN Maritime Forum (AMF) was inaugurated in 2010 after years of
consideration, followed by the Expanded ASEAN Maritime Forum in 2013.
The scope of discussions in AMF and Expanded AMF include the issue of
maritime security in the region and its challenges, sea piracy, marine
environment and eco-tourism, and fishery.

In response to a rise in non-traditional threats that demand regional


and multilateral cooperation, ASEAN has also expanded its cooperation to
touch upon the issues of transnational crimes under the mechanism of the
AMMTC, at the Ministerial- and Working Group-level. ASEAN
cooperation to address transnational crime is carried out in eight priority
areas, namely: terrorism, illicit drug trafficking, trafficking in persons, arms
smuggling, sea piracy, money laundering, international economic crime,
and cybercrime.

Another achievement by ASEAN Member States in this area of


cooperation is the ASEAN Convention on Counter-Terrorism (ACCT) that
was signed in January 2007. The ACCT provides a regional cooperation
framework to counter, prevent and suppress terrorism, in all its forms and

114 Jurnal DIPLOMASI Volume 6 No. 2, September 2014


Gearing Towards an ASEAN Political-Security Community 2015

manifestations. It also aims at deepening cooperation among law


enforcement agencies and relevant authorities in countering terrorism.
ASEAN has also developed and adopted the ASEAN Declaration on
Transnational Crime, the ASEAN Plan of Action to Combat Transnational
Crime, and the Work Program to Implement the ASEAN Plan of Action to
Combat Transnational Crime.

ASEAN is currently discussing the draft of a projected ASEAN


Convention on Trafficking in Persons (ACTIP) that will serve as a legally
binding instrument for cooperation among ASEAN Member States in
addressing this problem. The Convention is expected to be adopted by
2015. When that happens, ASEAN cooperation in dealing with this issue
will be much easier. As the focal point for ASEAN cooperation on
transnational crimes, police authorities of ASEAN countries have
established the ASEAN National Police, or ASEANAPOL, as an informal
venue for confidence and trust-building among themselves.

To support ASEAN Member States with studies and in-depth


researches in the area of conflict resolution and conflict management,
Indonesia has put forward the initiative for the creation of an ASEAN
Institute for Peace and Reconciliation (AIPR) that was launched at the 21st
ASEAN Summit in Phnom Penh in 2012. The AIPR is already functioning
and has convened several preliminary meetings.

Jurnal DIPLOMASI Volume 6 No. 2, September 2014 115


M. Chandra W. Yudha

ASEAN is also in the process of establishing the ASEAN Regional


Mine Action (ARMAC), which will serve as a center of excellence to
encourage efforts to address explosive remnants of war (ERW) for
interested ASEAN Member States.

In the effort to ensure that the region remains a peaceful and


nuclear weapons-free region, at the 45th ASEAN Foreign Ministers
Meeting, Bandar Seri Begawan, June 2013, ASEAN Foreign Ministers
adopted the new five-year Plan of Action to strengthen the implementation
of the Southeast Asia Nuclear Weapon-Free Zone (SEANWFZ) Treaty for
2013 2017. ASEAN is currently engaging the Nuclear Weapon States in
consultations toward their early signing of the Protocol to the Treaty,
although the issue of reservations/declarations by the Nuclear Weapon
States is perceived as a serious impediment to that purpose.

While attempting to fulfill the implementation of the APSC Blue


Print, ASEAN is at the same time preparing an ASEAN Communitys Post-
2015 Vision. The vision is expected to be strategic, visionary and reflect a
synergy of the three pillars. The ASEAN Coordinating Council Working
Group on ASEAN Communitys Post-2015 Vision is now working on
central elements of the vision and will submit their recommendations to the
25th ASEAN Summit in November 2014 through the ASEAN Coordinating
Council.

116 Jurnal DIPLOMASI Volume 6 No. 2, September 2014


Gearing Towards an ASEAN Political-Security Community 2015

CHALLENGES

It is unfortunate that territorial disputes in the South China Sea


involving claimant states which include ASEAN member states and China
at some point has overshadowed important political and security initiatives
that have been taken by ASEAN and China. It is also very unfortunate that
recent incidents in the South China Sea have coincided with the final
preparations toward the establishment of the ASEAN Community 2015.
These territorial disputes not only threatens peace, security and stability in
the region but also hampers regional economic integration that is meant to
lead to the establishment of the ASEAN Economic Community.

Recent developments, in which the parties involved continue to


take steps that could lead to an escalation of tension, and may even
resulted in conflict, has undermined the efforts, mechanisms, agreements
and processes that have been developed between ASEAN and China. This
has brought about a great deal of concern regionally and internationally. As
stated earlier, the success of ASEAN political and security cooperation will
be measured by the absence of conflict or minimum occurrence of conflict.
Undeniably, the latest incidents in the South China Sea constitute serious
challenge to ASEANs drive to establish the ASEAN Political and Security
Community by 2015 and demonstrate a gap between the diplomatic
process and the situation on the ground.

Hence, ASEAN and China need to work harder to fully and


effectively implement the Declaration on the Conduct of Parties in the

Jurnal DIPLOMASI Volume 6 No. 2, September 2014 117


M. Chandra W. Yudha

South China Sea (DOC) and to move forward with the negotiations.
Creative ways are needed to ensure that all claimant states fulfill their
commitments, including: the full respect of the universally recognized
principles of international law (1982 UNCLOS), the continued exercise of
self-restraint and non-use of force and the peaceful resolution of disputes as
stated in the ASEANs Six-Point Principles 3 on the South China Sea. On the
objectives of the COC, Indonesia has proposed the 3+1 Formula, namely:
promoting confidence, preventing incidents, managing incidents should
they occur, plus creating conditions conducive through early harvest
achievements. ASEAN also needs to emphasize that the issue of the South
China Sea will not affect economic cooperation between ASEAN and
China.

Apart from the South China Sea issue, ASEAN is also confronted
with other pertinent political and security challenges. Forty-seven years of
cooperation among ASEAN Member States have brought a lot of benefits
including peace and stability in the region, increased economic and

3
In 20 July 2012, ASEAN Foreign Ministers agreed on ASEANs Six-Point
Principles on the South China Sea:
The full implementation of the Declaration on the Conduct of Parties in the South
China Sea (2002);
The Guidelines for the Implementation of the Declaration on the Conduct of
Parties in the South China Sea (2011);
The early conclusion of a Regional Code of Conduct in the South China Sea;
The full respect of the universally recognized principles of International Law,
including the 1982 United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS);
The continued exercise of self-restraint and non-use of force by all parties; and
The peaceful resolution of disputes, in accordance with universally recognized
principles of lnternational Law, including the 1982 United Nations Convention on
the Law of the Sea (UNCLOS).

118 Jurnal DIPLOMASI Volume 6 No. 2, September 2014


Gearing Towards an ASEAN Political-Security Community 2015

commercial cooperation as well as increased socio-cultural cooperation.


However, in the political and security areas, ASEAN still needs to continue
building mutual trust. This is particularly challenging because sovereignty
remains one of the main issues. Each ASEAN Member State is engaged
with major powers at different levels in many sectors, which not only has
hampered cooperation, but also at some point created distrust. This is why
some cooperation in the political and security issues are mainly aimed at
building confidence and trust among ASEAN member states and between
ASEAN and its Dialogue Partners.

It is undeniable that overlapping claims, territorial and border


disputes, and the need to manage them remain the biggest challenges faced
by ASEAN. While the disputes over the South China Sea are not likely to be
resolved in the near future as they involve various parties including China,
ASEAN countries might focus on maritime and land border disputes with
other ASEAN states, by peaceful means and without the use of force. This
way, maritime and land border disputes among ASEAN Member States
will gradually be resolved. One excellent example is the maritime border
issue between Indonesia and the Philippines, which was finally resolved
after 20 years of negotiations. The two countries agreed in March 2014 on
the on the maritime borders of their respective Exclusive Economic Zones
in the Mindanao and Sulawesi Seas

On the Blueprint for the establishment of the ASEAN Political and


Security Community, there are different levels of how each ASEAN
member state can implement the Blueprint nationally. This creates an

Jurnal DIPLOMASI Volume 6 No. 2, September 2014 119


M. Chandra W. Yudha

impression that some ASEAN member states are not yet ready for the
establishment of the Community in 2015. There are also those who view
that the practice of reaching decisions by consensus is one of the factors
that are slowing down the progress of ASEAN.

As ASEAN keeps evolving, many forms of cooperation require


stronger commitment by ASEAN member states. ASEAN needs to work
harder on addressing some legal issues so that cooperation in such areas as
combating transnational crimes or counter terrorism can be effectively
pursued. ASEAN certainly needs to find a creative way to resolve those
challenges while at the same time responding to global changes and
challenges.

ROAD AHEAD: INDONESIAS ROLE

On the road ahead, Indonesia will be steadfast in upholding its


strong commitment and support for a succesful ASEAN Community
building process, including the political and security pillar. As asserted by
Foreign Minister, Dr. R.M. Marty M. Natalegawa on the occasion of the
ASEAN Day in commemoration of ASEANs 47th Anniversary on 18
August 2014, at the ASEAN Secretariat, Jakarta, ASEAN is very much of
Indonesias global outlook and its foreign policy has always been ASEAN-
centric. True to its commitment, Indonesia has been a pioneer in the work
for stronger integration of ASEAN in the political and security fields.
Indonesias robust advocacy for the establishment of the ASEAN Political

120 Jurnal DIPLOMASI Volume 6 No. 2, September 2014


Gearing Towards an ASEAN Political-Security Community 2015

and Security Community 2015 has been vindicated by the implementation


of about 82 percent of 147 action lines in the APSC Blueprint. Since 2013,
Indonesia has shepherded 13 action lines of the APSC Blueprint and has
implemented 4 of them.

ASEAN political cooperation has been greatly fostered by the


adoption of the Zone of Peace, Freedom and Neutrality (ZOPFAN) in 1971
and the TAC in 1976. These mechanisms have been a force for the
maintenance of a stable and peaceful Southeast-Asia until now. Looking at
the success of the TAC that has immensely contributed to ASEANs
evolution from a region marked by inter-state rivalry to one that is
becoming an integrated community, Indonesia has put forward a new
paradigm in the regional security architecture. This paradigm shift can be
brought about through a legally binding treaty and that is developed from
the spirit of the TAC and the Bali Principles on Mutually Beneficial
Relations. The so-called Indo-Pacific Treaty provides a new paradigm
that promotes a dynamic equilibrium, a situation that is marked by an
absence of preponderant power, not through the rigidity, rivalry and
tension, but through the promotion of a sense of common responsibility in
achieving common security, prosperity and stability.

On the issue of South China Sea, after ASEAN was unable to issue a
joint communiqu in 2012, Indonesias Foreign Minister sought to resolve
the impasse by travelling to Cambodia, Viet Nam, and the Philippines. This
shuttle diplomacy bore fruit to the ASEAN-Six Point Principles on the
South China Sea, in particular commitment to the DOC and an early

Jurnal DIPLOMASI Volume 6 No. 2, September 2014 121


M. Chandra W. Yudha

adoption of a Code of Conduct. While this outcome is not intended to


resolve the dispute, Indonesia was again pivotal in reducing tensions.

At the track 1,5 level, since 1990 Indonesia has organized a series of
workshops on Managing Potential Conflict in the South China Sea. The
workshop has become not only an annual event, but also a reflection of the
long-term commitment of Indonesia. The workshop provides a venue for
dialogue that builds mutual confidence and thus reduces tension among
parties concerned, while seeking ways and means of promoting mutually
beneficial cooperation in the South China Sea. By adhering to the primacy
of diplomacy, Indonesia is committed to facilitating and promoting the
maintenance of peace, security, and stability in the South China Sea and in
the wider region.

Indonesia, as a country which has initiated the effort to establish an


ASEAN Political Security Community, is heartened with the progress of
the political and security pillar. However, community building is a process
and not an event. As expressed by the Indonesias Foreign Minister Dr.
R.M. Marty M. Natalegawa on many occasions, the sense of community
cannot be legislated and has to be nurtured, demonstrated and practiced.
Therefore, it must be underlined that the Community in 2015 marks a
beginning, not an end. This means that in spite of the challenges that
ASEAN is facing, the community building process of ASEAN will continue.
The ASEAN Political and Security Community will continue to be mutually
supportive of the ASEAN Economic and the Socio-Cultural Community.
The three pillars will continue to move forward together on a broad front,

122 Jurnal DIPLOMASI Volume 6 No. 2, September 2014


Gearing Towards an ASEAN Political-Security Community 2015

consolidating a community in which all members can build a sense of trust


in one anothers intention and demonstrate support to one anothers
challenges and difficulties that they face.

Jurnal DIPLOMASI Volume 6 No. 2, September 2014 123


Fatimah Alatas

Membumikan ASEAN: Pemanfaatan Media Televisi Dalam


Membangun Identitas Kolektif
ASEAN Menyongsong Komunitas ASEAN 2015
Oleh: Fatimah Alatas

Abstract
This study aims to explain the idea of the effectiveness of television in
promoting ASEAN awareness amongst ASEAN citizens. Recent surveys on
ASEAN Community building efforts point out the low awareness on ASEAN
amongst ASEAN member states and address traditional media as a key
communication channel. Using the context of Indonesia, this study seeks to
examine the effectiveness of the media as a socialization tool of ASEAN
Community 2015. Deploying interview method which was conducted towards
Indonesian media elites, finding suggests that first, media elites lack
understanding of ASEAN Community alongside a lack of interest. To date,
Indonesias editor in chiefs do not have a clear idea on the form and stages involved
towards the realizations of ASEAN Community 2015. Second, the way media
presents a news event in South-East Asia is influenced by old sentiments derived
from nationalism. Third, the Ministry of Foreign Affairs has a very poor
interaction with media while it aims to promote people awareness of ASEAN
Community 2015.

While the integration of South East Asia nations promisingly brings both
opportunities and challenges to ASEAN member states and direct impact to the
ASEAN society, Indonesias media elites understanding of ASEAN revolves

124 Jurnal DIPLOMASI Volume 6 No. 2, September 2014


Membumikan ASEAN:
Pemanfaatan Media Televisi dalam Membangun Identitas Kolektif
ASEAN Menyongsong Komunitas ASEAN 2015

around its effectiveness as intergovernmental organization. Despite the lack of


understanding about ASEAN Community 2015, finding points out that media are
willing to categorize news into the classification of National-ASEAN-
International, which will contribute to the promotion of ASEAN as a collective
identity. Therefore, it can be said that media has an important role in building
ASEAN collective identity.

Keywords: ASEAN Community, Role of Television,Collective Identity

Abstrak

Tulisan ini bertujuan untuk menjelaskan ide mengenai efektivitas


televisi dalam mempromosikan kepedulian mengenai ASEAN di antara
warga ASEAN. Beberapa survei terkini mengenai usaha pembangunan
Komunitas ASEAN menunjukkan bahwa kesadaran mengenai ASEAN di
antara negara-negara anggota ASEAN masih rendah dan menyebut media
tradisional sebagai saluran informasi utama. Dalam konteks negara
Indonesia, tulisan ini hendak menilai keefektifan media sebagai alat
sosialisai Komunitas ASEAN 2015. Dari beberapa wawancara terhadap
kalangan elit media Indonesia ditemukan bahwa pertama, elit media masih
memiliki pengertian yang minim mengenai ASEAN dikarenakan
kurangnya ketertarikan mereka terhadap isu terkait. Para pelaku media
senior di Indonesia masih tidak memiliki pengetahuan yang jelas mengenai
bentuk dan tahapan yang ada dalam realisasi Komunitas ASEAN 2015.
Kedua, cara media menampilkan suatu berita mengenai Asia Tenggara

Jurnal DIPLOMASI Volume 6 No. 2, September 2014 125


Fatimah Alatas

masih dipengaruhi sentimen masa lalu yang muncul dari rasa


nasionalisme. Ketiga, interaksi yang terbangun antara Kementerian Luar
Negeri dan media kurang begitu baik padahal di sisi lain Kementerian
Luar Negeri memiliki tugas penting untuk mempromosikan Komunitas
ASEAN 2015 kepada masyarakat Indonesia.

Di saat integrasi bangsa-bangsa di Asia Tenggara membawa


peluang dan tantangan bagi seluruh negara ASEAN dan juga dampak
langsung terhadap masyarakat ASEAN, pemahaman elit media di
Indonesia mengenai ASEAN masih berkisar pada keefektifannya sebagai
organisasi antarpemerintahan. Terlepas dari kurangnya pemahaman
mengenai Komunitas ASEAN 2015, fakta di lapangan menunjukkan bahwa
media memiliki kemauan untuk membuat kategorisasi berita Nasional-
ASEAN-Internasional, yang nantinya akan berkontribusi pada promosi
ASEAN sebagai identitas kolektif. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa
media memiliki peran yang signifikan dalam membangun identitas kolektif
di antara negara-negara ASEAN.

Kata Kunci: Komunitas ASEAN, Peran Televisi, Identitas Kolektif

Pendahuluan

Sejak pengesahan Piagam ASEAN tahun 2008, ASEAN telah


bertransformasi menjadi organisasi yang mengikat secara hukum dan
berorientasi kepada masyarakat. Dalam Piagam ASEAN disebutkan bahwa

126 Jurnal DIPLOMASI Volume 6 No. 2, September 2014


Membumikan ASEAN:
Pemanfaatan Media Televisi dalam Membangun Identitas Kolektif
ASEAN Menyongsong Komunitas ASEAN 2015

ASEAN bertujuan untuk membentuk kawasan dengan integrasi ekonomi,


kerjasama regional, perdamaian, keamanan, dan stabilitas kawasan,
sejahtera, dan memiliki identitas ASEAN. Menurut Perwita (2010), cara
mendukung terwujudnya identitas ASEAN adalah dengan pembentukan
identitas simbolik dan identitas nilai. Sementara proses pembentukan
identitas simbolik telah direalisasikan dengan logo, bendera dan lagu
ASEAN, identitas nilai adalah nilai bersama yang sulit untuk dibentuk
karena realitas keberagaman masyarakat ASEAN.

Meski identitas simbolik telah dibentuk dan marak disosialisasikan,


kesadaran masyarakat mengenai komunitas ASEAN masih rendah.
Fenomena ini lantas mengajak kita berpikir kembali apakah mewujudkan
ASEAN yang people-oriented harus melibatkan proses pembentukan suatu
identitas dalam pengertian nilai bersama (common norms) atau apakah
ASEAN itu sendiri sudah merefleksikan suatu identitas yang patut
disosialisasikan tanpa memerlukan suatu common norms? Hingga kini,
sedikit penelitian telah diberikan kepada proses pembentukan identitas
kolektif ASEAN yang menjadi salah satu tujuan ASEAN dan juga syarat
kesuksesan seluruh pilar komunitas ASEAN (Severino, 2009 dalam Quayle,
2010).

Melalui artikel ini penulis berupaya meneliti proses pembentukan


identitas kolektif ASEAN melalui pemanfaatan media televisi yang
direkomendasikan sebagai alat komunikasi efektif untuk sosialisasi
ASEAN (ASEAN Secretariat, 2013). Untuk melihat perkembangan dan
hambatan dalam upaya sosialisasi, penulis melakukan wawancara

Jurnal DIPLOMASI Volume 6 No. 2, September 2014 127


Fatimah Alatas

terhadap para pejabat terkait dari Kementerian Luar Negeri dan


Kementerian Komunikasi dan Informatika selaku perwakilan pemerintah
yang melakukan sosialisasi ASEAN selama ini. Untuk membuktikan
apakah media merupakan medium komunikasi yang efektif untuk
sosialisasi ASEAN, penulis melakukan wawancara terhadap pemimpin
redaksi dan wakil pemimpin redaksi berbagai media televisi nasional dan
sebuah media cetak di Indonesia. Selain melakukan wawancara terhadap
media televisi, penulis juga melakukan wawancara terhadap media cetak
terbesar di Indonesia yakni Kompas yang menjadi salah satu acuan utama
agenda media televisi di Indonesia. Penulis juga mewawancarai jurnalis
penggagas program ASEAN Today, Dalton Tanonaka, untuk melihat
efektivitas dari program yang secara khusus mengusung tema ASEAN.

Dengan mewawancarai langsung pihak media, tulisan ini berupaya


untuk mengisi celah penelitian dan hambatan dalam upaya sosialiasi
ASEAN. Dalam tulisan ini, penulis membatasi cakupan bahasan dengan
menitikberatkan ASEAN sebagai suatu identitas kolektif. Tulisan ini tidak
berupaya mendefinisikan identitas ASEAN melainkan melihat ASEAN
sebagai suatu entitas yakni sebuah identitas kolektif masyarakat Asia
Tenggara yang perlu disosialisasikan ke masyarakat Indonesia khususnya
dan masyarakat Asia Tenggara pada umumnya untuk membentuk
kesadaran mereka sebagai bagian dari komunitas ASEAN.

Signifikansi sosialisasi ASEAN terletak pada pentingnya


membangun kesadaran masyarakat akan komunitas ASEAN 2015 sehingga
masyarakat dapat turut mempersiapkan diri dan meningkatkan

128 Jurnal DIPLOMASI Volume 6 No. 2, September 2014


Membumikan ASEAN:
Pemanfaatan Media Televisi dalam Membangun Identitas Kolektif
ASEAN Menyongsong Komunitas ASEAN 2015

kompetensi dalam menghadapi keterbukaan dalam Komunitas ASEAN


2015. Di Indonesia, upaya sosialisasi Komunitas ASEAN sendiri berjalan
secara berkesinambungan dan telah melibatkan berbagai pihak. Namun,
Surveys on ASEAN Community Building Efforts (ASEAN Secretariat, 2013)
menunjukkan bahwa 76 persen masyarakat di ibukota negara-negara
anggota ASEAN masih memiliki pemahaman yang rendah mengenai
ASEAN. Media televisi pun direkomendasikan sebagai alat komunikasi
yang efektif untuk masyarakat ASEAN.

Namun, jika media televisi dianggap sebagai medium komunikasi


yang efektif, Apakah media televisi di Indonesia telah memiliki
pemahaman mengenai ASEAN dan Komunitas ASEAN? Jika media telah
mengenal komunitas ASEAN, sejauh apa pemahaman media mengenai
perkembangan ASEAN dan komunitas ASEAN 2015? Apakah pemahaman
media sejalan dengan tujuan ASEAN dan prioritas Indonesia dalam
ASEAN? Jika media memiliki pemahaman mengenai ASEAN, apa langkah
yang telah dilakukan oleh media untuk mendukung komunitas ASEAN
2015? Jika media belum memahami Komunitas ASEAN, apa langkah yang
bisa dilakukan untuk mensosialisasikan Komunitas ASEAN melalui
televisi? Sejauh apa peran media televisi untuk membangun identitas
kolektif ASEAN jelang peresmian komunitas ASEAN 2015?

Jurnal DIPLOMASI Volume 6 No. 2, September 2014 129


Fatimah Alatas

Peran media dalam pembentukan identitas kolektif ASEAN

Dengan latar belakang sejarah dan realitas masyarakat di negara-


negara ASEAN yang tidak memiliki shared values ataupun kesamaan
budaya dan tradisi, media memiliki peran untuk menciptakan identitas
kolektif yaitu perasaan kepemilikan terhadap suatu kolektifitas. Dalam hal
ini, Simeunovic menjelaskan identitas kolektif terbentuk karena kesadaran
individu sebagai bagian dari suatu grup sosial dan keterikatan emosional
yang berasal dari ketergabungan dalam grup tersebut (Simeunovic, 2010).

Identitas kolektif dapat dibentuk melalui perasaan dan interaksi


yang dapat difasilitasi oleh media. Selain itu, media juga berperan
mentransformasi realita melalui mekanisme kerja media yang melibatkan
aksi framing yakni membingkai cara media yang memilih, menekankan
atau memisahkan sesuatu dalam menyajikan bagian dari realitas kepada
publik (Simeunovic, 2010). Dalam hal ini, media juga memiliki peran untuk
untuk mempengaruhi masyarakat melalui media culture yang
menciptakan persepsi akan apa yang dimaksud dengan cantik, keren,
sukses ataupun membentuk pandangan masyarakat mengenai kelas, etnis,
ras, klasifikasi sosial dan nasionalisme.

Dalam Banal Nationalism, Billig (1995) mengatakan bahwa media


memiliki peran untuk mengingatkan masyarakat mengenai identitas diri
mereka melalui penggolongan home and international news mengenai
siapa yang termasuk dalam komunitas (us) dan siapa yang berada di luar
komunitas (them). Dalam hal ini, kekuatan media televisi terletak tidak

130 Jurnal DIPLOMASI Volume 6 No. 2, September 2014


Membumikan ASEAN:
Pemanfaatan Media Televisi dalam Membangun Identitas Kolektif
ASEAN Menyongsong Komunitas ASEAN 2015

hanya pada cakupan penyebaran yang menjangkau seluruh wilayah


Indonesia tetapi juga peran media untuk memperkenalkan, mereproduksi
suatu identitas serta mengajak masyarakat untuk mengidentifikasi dirinya
sebagai bagian dari suatu identitas kolektif (Billig, 1995). Dengan demikian,
media memilki peran menyajikan identitas tertentu kepada pengkonsumi
media sekaligus mengajak masyarakat untuk mengidentifikasi diri mereka
sebagai bagian dari komunitas ASEAN.

Mengapa Indonesia perlu mensosialisasikan Komunitas ASEAN?

kami menolak segala bentuk eksploitasi, baik dalam aspek


sosial, ekonomi, politik, dan budaya, termasuk rezim perdagangan bebas
yang kini menjadi jiwa kebijakan ASEAN dan sejumlah lembaga dunia.
Kami menolak regionalisme yang tidak berdasarkan kedaulatan rakyat,
serta pengintegrasian pasar tunggal yang inkonstitusional (bertentangan
dengan Undang-Undang Dasar 1945), sebagaimana yang kami tuntut
dalam judicial review UU No. 38/2008 tentang Ratifikasi Piagam ASEAN.

-Aliansi Keadilan Global, Jakarta 5 Mei 2011-

Dalam Bedah buku di Universitas Indonesia, 28 Februari 2012,


Dubes Ngurah Swajaya Wakil Tetap RI untuk ASEAN mengatakan bahwa
tantangan ASEAN masa depan adalah pada pentingnya pemahaman dan
dukungan masyarakat luas terhadap ASEAN. Melangkah memasuki

Jurnal DIPLOMASI Volume 6 No. 2, September 2014 131


Fatimah Alatas

Komunitas ASEAN adalah suatu realitas yang akan dihadapi Indonesia


tahun 2015, namun hingga kini masyarakat tidak hanya memiliki
pemahaman yang minim namun juga menunjukkan penolakan terhadap
komunitas ASEAN 2015. Pada 5 Mei 2011, sejumlah lembaga yang
tergabung dalam Aliansi Keadilan Global mendaftarkan permohonan uji
materi UU No 38 Tahun 2008 tentang Pengesahan Piagam ASEAN ke
Mahkamah Konstitusi dan mendesak Mahkamah Konstitusi untuk
membatalkan pasal 1 ayat 5 dan pasal 2 ayat 2 huruf (n) UU No.38 Tahun
2008 tentang Ratifikasi Piagam ASEAN karena menilai bertentangan
dengan konstitusi UUD 1945.

Terlepas dari putusan Majelis MK yang menolak permohonan uji


materi pengesahan Piagam ASEAN, peristiwa ini menunjukkan adanya
benih resistensi masyarakat terhadap Komunitas ASEAN yang segera
diresmikan pada tahun 2015. Adanya resistensi terhadap komunitas
ASEAN tidak hanya bentuk reaksi masyarakat terhadap kekhawatiran
akan kesiapan Indonesia dalam memanfaatkan peluang atau dalam
bersaing dengan negara lain di ASEAN, namun juga dipengaruhi oleh cara
berpikir masyarakat yang terbiasa mengesampingkan ASEAN.

Masih adanya sentimen anti-ASEAN ataupun anti-Malaysia di


tengah masyarakat Indonesia, membuat penulis melihat bahwa media
sebagai pihak yang berinteraksi langsung dengan masyarakat memiliki
peran vital. Media dengan mekanisme framingnya dapat memainkan
peran untuk mengajak masyarakat melihat realita secara berbeda dari apa
yang selama ini telah diterima di sekolah yang mempengaruhi cara

132 Jurnal DIPLOMASI Volume 6 No. 2, September 2014


Membumikan ASEAN:
Pemanfaatan Media Televisi dalam Membangun Identitas Kolektif
ASEAN Menyongsong Komunitas ASEAN 2015

berpikir. Dengan demikian, media dapat mengajak masyarakat Indonesia


untuk memandang ASEAN dengan positif, memperkenalkan masyarakat
Indonesia sebagai bagian dari Komunitas ASEAN, dan melihat masyarakat
Asia Tenggara sebagai saudara se-ASEAN.

Contoh interaksi positif publik Asia Tenggara yang terjembatani


oleh media terlihat dalam program ASEAN Today yang dipandu oleh
Dalton Tanonaka. Program yang menampilkan berbagai tempat dan tokoh
di ASEAN ini bertujuan untuk menghubungkan masyarakat di Asia
Tenggara, melihat ASEAN dekat dengan masyarakat, dan merasa menjadi
dari komunitas ASEAN. Dalam facebook page ASEAN Today dan twitter
@ASEANTodayTV, para penonton program yang berasal dari seluruh
dunia secara aktif menunjukkan ketertarikan terhadap ASEAN. Sementara
ASEAN selama ini erat dengan kerja sama pemerintah, pertemuan elit,
para penonton program ASEAN Today mengkaitkan ASEAN dengan
keseharian mereka, seperti kegiatan kampus, pertemanan, pendidikan
anak, dan sebagainya. Sebagai contoh:

Cyndi Rum

I have many friends in ASEAN

Like February 17 at 11:38am

Jurnal DIPLOMASI Volume 6 No. 2, September 2014 133


Fatimah Alatas

Mohd. Nazz Najmudin @MohNazz26 Nov 11

@aseantodaytv is really good stuff. Hope you can report abt campus
activities in ASEAN too. it should be there is #aseantodaytv teenager :)

Janice Lim

I Love This TV progam is Good for chidren knowledge

Like February 16 at 2:29pm

Khairuel Josuaddicted Smashblast

I Hope The Asean can Be Organism In The Best Of The World ('[]')

Like February 16 at 2:33pm

Pemahaman Media Mengenai ASEAN dan Komunitas ASEAN

Medianya aja ga ngerti kok!, tanya aja sadar ga?

-Sulaiman Syakieb, Wakil Pemimpin Redaksi TVOne,


Jakarta, 25 Agustus 2013-

134 Jurnal DIPLOMASI Volume 6 No. 2, September 2014


Membumikan ASEAN:
Pemanfaatan Media Televisi dalam Membangun Identitas Kolektif
ASEAN Menyongsong Komunitas ASEAN 2015

Wartawan berapa sih yang ngerti ASEAN? Produser berapa sih


yang ngerti ASEAN? Dia tahu, tapi belum tentu paham. Pemimpin redaksi
berapa sih yang ngerti? Tahu, saya juga tahu tapi belum tentu paham.

-Don Bosco Selamun, Pemimpin Redaksi Berita Satu TV,


Jakarta 22 Agustus 2013-

Apa sih sebenarnya ASEAN community itu? Apa ASEAN punya


mata uang seperti Uni Eropa? Atau apa? Itu yang perlu menjadi lebih jelas
lagi.

-Trias Kuncahyono, Wakil Pemimpin Redaksi Kompas,


Jakarta 21 Agustus 2013-

Menjelang peresmian Komunitas ASEAN 2015, media masih


memiliki kesenjangan pengetahuan dengan pemerintah ataupun berabagai
pemangku kepentingan ASEAN mengenai rencana realisasi komunitas
ASEAN 2015. Hasil wawancara penulis terhadap tujuh elit media yakni
Metro TV, TV One, RCTI, Kompas TV, Trans 7, Berita Satu TV, dan Harian
Kompas menunjukkan pemahaman media terhadap Komunitas ASEAN
adalah sebatas pernah mendengar wacana integrasi tanpa memahami
bentuk, tahapan dan proses yang dilibatkan.

Menurut Pemimpin redaksi Berita Satu TV, Don Bosco Selamun,


visi Indonesia dalam ASEAN belum tersampaikan ke media yang
membuat media enggan memberitakan karena tidak memahami

Jurnal DIPLOMASI Volume 6 No. 2, September 2014 135


Fatimah Alatas

kepentingan negara dalam ASEAN ataupun kepentingan masyarakat


Indonesia dalam komunitas ASEAN. Singkatnya, komitmen negara untuk
melangkah ke komunitas ASEAN hingga kini belum dipahami media yang
berperan dalam mengedukasi publik sehingga menghambat media dalam
melihat isu komunitas ASEAN sebagai sesuatu yang penting dan layak
diberitakan.

Pengaruh sentimen nasionalisme sebagai pendekatan pemberitaan


peristiwa di Asia Tenggara

Ketika kita mengalami krisis, kita cenderung untuk melihat apa


yang baik bagi Negara bukan apa yang baik bagi regional

-Putra Nababan, pemimpin redaksi, Metro TV, Jakarta 23


Agustus 2013-

Kalau saat ini, saya khawatir pekerja media bahkan tidak sadar dia
bagian dari ASEAN. Ketika ada peristiwa dia melihatnya peristiwa
nasional, sebut saja ada peristiwa penganiaayan TKI Melihat peristiwa
dengan sentimen. Ketika ada Singapore, Asap. Tidak ada yang melihat
bahwa itu adalah keluarga kita, padahal mestinya kepentingan yang sama
dibangun, ini merupakan sumbernya adalah komunikasi intensif antara
pekerja media dengan pemerintah.

136 Jurnal DIPLOMASI Volume 6 No. 2, September 2014


Membumikan ASEAN:
Pemanfaatan Media Televisi dalam Membangun Identitas Kolektif
ASEAN Menyongsong Komunitas ASEAN 2015

- Sulaiman Syakieb, Wakil Pemimpin Redaksi TVOne,


Jakarta, 25 Agustus 2013-

Semangat sebagai satu komunitas ASEAN tidak hanya belum


terbentuk dalam masyarakat ASEAN, melainkan belum terbentuk antar
pekerja media yang berperan menentukan framing pemberitaan yang
disampaikan kepada publik. Dalam melakukan pemberitaan, media
melakukan framing yang melibatkan proses memilih, memberi penekanan,
ataupun memisahkan aspek tertentu dalam menyajikan realitas kepada
public (Simeunovic, 2010).

Pada prakteknya, dalam pemberitaan, Syakieb (2013) menjelaskan


bahwa wartawan cenderung mengedepankan nasionalisme yang bisa
berujung pada nasionalisme sempit ketika tidak mampu memisahkan
antara kejahatan indvidu dan negara. Dalam hal ini, proses pemberitaan
dan penyampaian informasi ke publik yang terbingkai dalam
penyampaian dengan pengaruh sentimen nasionalisme sempit.yang
menghambat proses pembentukan identitas kolektif masyarakat ASEAN,
perasaan kepemilikan terhadap ASEAN yang vital bagi kesuksesan
ASEAN (Severino, 2009 dalam Quayle, 2010).

Jurnal DIPLOMASI Volume 6 No. 2, September 2014 137


Fatimah Alatas

Interaksi pemangku kepentingan ASEAN dengan media dalam


sosialisasi Komunitas ASEAN 2015

Saya tidak tahu tapi, ke RCTI, tidak pernah. Sepanjang saya jadi
pemimpin redaksi sejak tahun 2005, saya belum pernah terima terkait
apapun yang terjadi setelah 2015.

-Arief Suditomo, Pemimpin Redaksi RCTI, Jakarta 26


Agustus 2013-

Temuan penulis dalam wawancara terhadap tujuh elit media


menunjukkan bahwa tidak pernah ada langkah sosialisasi Komunitas
ASEAN 2015 terhadap televisi. Menurut keterangan Sesditjen Kerjasama
ASEAN Kemlu, sosialisasi ASEAN tidak melibatkan televisi karena
kendala anggaran. Sementara pemberitaan ASEAN di televisi tidaklah
dikenakan biaya, kecuali pemangku kepentingan ASEAN meminta blocking
time terhadap air time televisi (Mihardja, Nababan, Rosmasari, Selamun,
Syakieb, 2013). Dalam hal ini, pandangan bahwa sosialisasi ASEAN di
televisi memerlukan biaya terjadi karena adanya kesenjangan pemahaman
mengenai nilai berita ataupun apa-apa saya yang bisa ditayangkan di
media secara gratis. Akibatnya, sosialisasi yang dilakukan pemangku
kepentingan ASEAN berjalan tanpa melibatkan ataupun mendapat
perhatian dari media.

138 Jurnal DIPLOMASI Volume 6 No. 2, September 2014


Membumikan ASEAN:
Pemanfaatan Media Televisi dalam Membangun Identitas Kolektif
ASEAN Menyongsong Komunitas ASEAN 2015

Kategorisasi ASEAN dalam Media

Mungkin saja dilakukan penggolongan seperti itu (Nasional-


ASEAN-Internasional) jika pemimpin redaksinya concern dan aware.
Melalui wawancara ini saya seperti diingatkan kembali, saya juga lupa
kalau ada 2015 ada apa, jadi kita akan memikirkan lagi bagaimana caranya
supaya bikin program atau acara atau apa yang mendukung itu

-Taufik H Mihardja, Pemimpin Redaksi Kompas, Jakarta, 20


Agustus 2013-

Sangat mungkin sekali, setiap media punya masing -masing gaya


pemberitaan, kemasan. Sekarang sudah ada tapi bukan spesifik ke rencana
besar di 2015. Aduh, menarik banget kalau memang ada tahapan, segmen
tentang ASEAN. Oya ya? Saya jadi mikir, ini bisa menjadi salah satu fokus
yang kita garap.

-Titin Rosmasari, Pemimpin Redaksi Trans 7, Jakarta 25


Agustus 2013-

Hasil wawancara terhadap perwakilan media menunjukkan bahwa


penggolongan berita menjadi Nasional- ASEAN- Internasional adalah
suatu langkah yang bisa dilakukan oleh media. Hingga kini, belum ada
televisi yang melakukan pengkategorian dengan menempatkan ASEAN

Jurnal DIPLOMASI Volume 6 No. 2, September 2014 139


Fatimah Alatas

sebagai suatu segmentasi tersendiri. Langkah media melakukan


pengkategorian akan menginformasikan dan secara berkelanjutan
mengingatkan masyarakat akan identitas diri mereka sebagai bagian dari
suatu Komunitas ASEAN. Identitas kolektif ASEAN ini secara melekat
akan diingat oleh masyarakat karena diingatkan setiap hari melalui
penggolongan berita di televisi yg menunjukkan tulisan ASEAN ataupun
narasi berita yang menyebutkan ASEAN. Dengan demikian,
pengkategorian Nasional-ASEAN-Internasional tidak hanya
memperkenalkan ASEAN setiap hari, mengajak masyarakat
mengidentifikasi diri mereka, juga mau tidak mau mengingat akan
identitas lain, yaitu identitas kolektif bersama sebagai bagian dari
Komunitas ASEAN.

Kesimpulan

Dalam menindaklanjuti rendahnya kesadaran akan ASEAN jelang


Komunitas ASEAN 2015, temuan penulis menginformasikan rendahnya
pemahaman elit media mengenai komunitas ASEAN, pengaruh sentimen
nasionalisme sebagai pendekatan media terhadap peristiwa di Asia
Tenggara, rendahnya interaksi pemangku kepentingan ASEAN dengan
media dalam sosialisasi Komunitas ASEAN 2015, dan kebersediaan media
televisi untuk menciptakan segmen ASEAN yang bisa dilakukan media
untuk mensosialisasikan suatu identitas kolektif ASEAN ke masyarakat
Indonesia.

140 Jurnal DIPLOMASI Volume 6 No. 2, September 2014


Membumikan ASEAN:
Pemanfaatan Media Televisi dalam Membangun Identitas Kolektif
ASEAN Menyongsong Komunitas ASEAN 2015

Untuk mendukung peran media dalam menciptakan identitas


kolektif ASEAN, penulis merekomendasikan pelaksanaan kampanye
komunitas ASEAN 2015 terhadap seluruh elit media, pembentukan tim
media relations, dan pembentukan forum jurnalis ASEAN. Dengan adanya
diskusi antara media dan pemerintah, media tidaklah berperan menjadi
sebuah alat perpanjangan dari sebuah komitmen negara terhadap ASEAN,
melainkan menjadi suatu bagian langsung dari proses persiapan menuju
Komunitas ASEAN. Pemahaman media yang menyeluruh mengenai
Komunitas ASEAN dapat menempatkan nilai penting ASEAN sebagai
entitas yang melibatkan seluruh masyarakat Indonesia juga menstimulasi
kreatifitas media untuk menciptakan program-program baru yang bisa
menginformasikan, mengedukasi dan melibatkan publik dalam Komunitas
ASEAN yang segera diresmikan tahun 2015.

Jurnal DIPLOMASI Volume 6 No. 2, September 2014 141


Fatimah Alatas

DAFTAR PUSTAKA

JURNAL

BA, A. D. (2009) [Re]Negotiating East and Southeast Asia: Region, Regionalism and
the Association of Southeast Asian Nations, Stanford,California, Stanford
University Press.

BENNY, R. M. A. G. (2012) Is an ASEAN Community Achievable? A Public


Perception Analysis in Indonesia, Malaysia, and Singapore on the Perceived
Obstacles to Regional Community Asian Survey 52, 1043-1066.

BULUT, E. A. (2012) Community-Building in ASEAN?: A Theoretical


Approach to Regional Institutionalisation in Southeast Asia. Turkish
Journal of Politics, 3, 53- 66.

DWI ARDHANARISWARI SUNDRIJO, P. M. (2010) Potensi Pengembangan


Komunitas Sosial Budaya ASEAN dan Kemungkinan Peran Konstruktif
ASEAN: Sebuah Kajian Kualitatif. Global Jurnal Politik Internasional, 10,
75-89.

HUONG, D. T. T. (2011) REGIONAL IDENTITY BUILDING WITHOUT LIBERAL


DEMOCRACY The case of the ASEAN Community. Department of
History and Political Science. Rome, LIBERA
UNIVERSITAINTERNAZIONALEDEGLI STUDI SOCIALIGUIDO CARLI.

HUONG, L. T. (2010) Many Faces and One Identity? ASEAN in the Case of
Human Rights Regime. Asia-Pacific Journal of Social Sciences, 1, 56-70.

KELLNER, D. (1995) Media Culture: Cultural Studies, Identity Politics Between


the Modern and Postmodern, London, Routledge.

142 Jurnal DIPLOMASI Volume 6 No. 2, September 2014


Membumikan ASEAN:
Pemanfaatan Media Televisi dalam Membangun Identitas Kolektif
ASEAN Menyongsong Komunitas ASEAN 2015

LEE, HOCK GUAN (2004) Civil Society in Southeast Asia, Singapore, ISEAS
Publications.

MURPHY, A. M. (2013) Indonesia in Asias Changing Balance of Power. World


Politics Review.

NOOR, F. A. (2012) How Indonesia Sees ASEAN and the World: A Cursory
Survey of the Social Studies and History textbooks of Indonesia, from
Primary to Secondary Level. . RSIS Working Paper.

PERWITA, A. A. B. (2010) ASEAN Yang Lebih Merakyat IN PRIATNA, P. L.


E. (Ed.) Indonesia dan Ketua ASEAN 2011. Jakarta, MataElang
Enterprise.

QUAYLE, L. (2010) ASEANS COMMUNITY-BUILDING GOALS: THE STRENGTHS


AND WEAKNESSES OF AN ENGLISH SCHOOL PERSPECTIVE.
School of Social and Political Sciences,. Melbourne, University of
Melbourne.

QUAYLE, L. (2013) Promoting "Diplomatic" or "Cosmopolitan" Culture?:


Interrogating ASEAN-Focused Communication Initiatives Contemporary
Southeast Asia 35, 104-128.

SIMEUNOVIC, N. (2010) The Role of Media in European Identity Formation:


Understanding the Complexity of Today's European Media Landscape.
CEU Political Science Journal, 4, 501-519.

SIMON, S. (2008) ASEAN and Multilateralism: the Long Bumpy Road to


Community. Contemporary Southeast Asia, 30, 264-92.

Jurnal DIPLOMASI Volume 6 No. 2, September 2014 143


Fatimah Alatas

LAPORAN

(2012) Kumpulan Laporan Permasyarakatan ASEAN Tahun Anggaran 2012.


Buku I. Jakarta, Direktorat Jenderal Kerja Sama ASEAN Kementerian
Luar Negeri.

(2012) Kumpulan Laporan Permasyarakatan ASEAN Tahun Anggaran 2012.


Buku II. Jakarta, Direktorat Jenderal Kerja Sama ASEAN Kementerian
Luar Negeri.

(2013) Penetapan Kinerja Tahun 2013. Jakarta, Direktorat Jenderal Kerja Sama
ASEAN Kementerian Luar Negeri.

(2013) Surveys on ASEAN Community Building Efforts 2012. Jakarta, ASEA N


SECRETARIAT.

B U KU

BILLIG, M. (1995) Banal Nationalism, London, Sage.

(2012) ASEAN Selayang Pandang, Jakarta, Sekretariat Direktorat Jenderal Kerja


Sama ASEAN Kementerian Luar Negeri.

(2012) Indonesia dan Ketua ASEAN 2011, Jakarta, mataElang enterprise.

ARTIKEL

(2011) Piagam ASEAN Dinilai Hambat Negara Berkembang.


HukumOnline.com

144 Jurnal DIPLOMASI Volume 6 No. 2, September 2014


Membumikan ASEAN:
Pemanfaatan Media Televisi dalam Membangun Identitas Kolektif
ASEAN Menyongsong Komunitas ASEAN 2015

(2011) UU Ratifikasi Piagam ASEAN Diuji ke MK. HukumOnline.com

(2011) Indonesia Tak Bisa Hindari AFTA. HukumOnline.com.

(2012) Thailand: MCOT to end joint talk shows with NBC. Asia News Monitor.
Bangkok, Thai News Service Group.

(2012) Thailand: MCOT banking on revamp. Asia News Monitor. Bangkok, Thai
News Service Group.

(2012) Thailand: Nation, Eleven Media launch bimonthly tabloid. Asia News
Monitor. Thai News Service Group.

(2012) Thailand: All sectors of Thai society are encouraged to participate in and
benefit from the process of ASEAN integration and community-
building. Asia News Monitor. Bangkok, Thai News Service Group.

(2012) Thailand: Thailand taking steps to promote ASEAN awareness and


understanding. Asia News Monitor. Bangkok, Thai News Service Group.

(2012) Vietnam: Vietnam attends ASEAN Information Ministers conference.


Asia News Monitor. Bangkok, Thai News Service Group.

(2013) Thailand: Government Public Relations Department Stepping Up


Campaign for ASEAN Awareness. Asia News Monitor. Bangkok, Thai
News Service Group.

(2013) Thailand: AEC to boost media firms. Asia News Monitor. Bangkok, Thai
News Service Group.

(2013) Asia: Former Asean secretary-general urges achieving regional strategic


equilibrium. Asia News Monitor. Bangkok, Thai News Service Group.

Jurnal DIPLOMASI Volume 6 No. 2, September 2014 145


Fatimah Alatas

(2013) Indonesias role in ASEAN and the EAS. East Asia Forum.

(2013) Pengujian UU Ratifikasi Piagam ASEAN Kandas. 26 Februari 2013 ed.,


H u ku mOn li ne.com.

PRASAJA, H. (2011) Pertanian ASEAN Harus Berdaulat dan Saling


Bekerjasama.

PRASAJA, H. (2011) Aksi SPI Tuntut ASEAN Lebih Berdaulat.

PRASAJA, H. (2011) SPI Lakukan Judicial Review, Gugat Piagam ASEAN.

PRASAJA, H. (2011) Deklarasi Rakyat: Membangun Regionalisme yang


Berdaulat, Bongkar dan Lawan Dominasi Kapitalisme Global.

146 Jurnal DIPLOMASI Volume 6 No. 2, September 2014


TENTANG PENULIS

Tentang Penulis

Ahmad Rizky Mardhatillah Umar adalah Staf Peneliti di Pusat Studi


ASEAN, Universitas Gadjah Mada. Sebagai seorang peneliti muda, penulis
aktif mempublikasikan tulisannya di media massa dan juga jurnal ilmiah.
Sebelumnya, penulis juga mempunyai pengalaman menjadi Peneliti Area
di Pol-Tracking Institute. Penulis merupakan lulusan Jurusan Ilmu
Hubungan Internasional, Universitas Gadjah Mada.

Agung Setiyo Wibowo adalah mahasiswa S2 Hubungan Internasional,


Universitas Indonesia. Sebagai penulis muda yang aktif, ia menghasilkan
berbagai tulisan yang dimuat di media massa dan jurnal ilmiah. Penulis
juga tercatat memiliki berbagai prestasi, salah satunya adalah menjadi
pemenang pertama KOHESI National Journal Competition yang diadakan
oleh Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Indonesia. Saat ini Penulis bekerja
sebagai Corporate and Marketing Communications Manager di SWA
Media Group.

Endy M. Bayuni adalah seorang jurnalis senior yang memulai karirnya di


media cetak pada tahun 1983 sebagai wartawan muda. Penulis memiliki
ketertarikan pada perkembangan politik/budaya politik di Indonesia,
politik luar negeri Indonesia, pembangunan ekonomi Indonesia. Puncak
karir penulis adalah ketika menjabat sebagai Pemimpin Redaksi The Jakarta
Post periode 2004-2010. Saat ini penulis memimpin Pusdiklat The Jakarta

Jurnal DIPLOMASI Volume 6 No. 2, September 2014 147


TENTANG PENULIS

Post. Penulis merupakan lulusan Kingston University, Surrey, United


Kingdom dalam bidang ekonomi.

Ina Hagniningtyas Krisnamurthi adalah seorang diplomat wanita senior


yang saat ini menjabat sebagai Direktur Kerjasama Ekonomi ASEAN
Kementerian Luar Negeri. Sebelumnya, penulis pernah ditempatkan di
Konsulat Jenderal Republik Indonesia di Vancouver dan Kedutaan Besar
Republik Indonesia di Brussels. Penulis menamatkan pendidikan Master di
Griffith University, Australia.

M. Chandra W. Yudha adalah seorang diplomat senior di Kementerian


Luar Negeri yang saat ini menjabat sebagai Plt. Direktur Kerjasama Politik
dan Keamanan ASEAN. Sebelumnya, penulis pernah ditempatkan di
Perwakilan Tetap Republik Indonesia di New York dan Kedutaan Besar
Republik Indonesia di London. Penulis mulai bergabung dengan
Kementerian Luar Negeri sejak tahun 1991.

Fatimah Alatas adalah diplomat muda yang baru saja menyelesaikan


pendidikan berjenjang diplomat Sekdilu (Sekolah Dinas Luar Negeri)
Angkatan 37 pada tahun 2013. Saat ini penulis merupakan staf di
Direktorat Kerjasama Fungsional ASEAN. Penulis merupakan lulusan
University of Melbourne dengan gelar Master of Global Media
Communication.

148 Jurnal DIPLOMASI Volume 6 No. 2, September 2014

Anda mungkin juga menyukai