Anda di halaman 1dari 13

PENGINJILAN DI TANAH BATAK

Disusun oleh :

Nama : 1. Liana Limbong

2. Sonita Panggabean

Grup/Sem : B/IV (Empat)

Mata Kuliah : SEJARAH GEREJA INDONESIA

Dosen Pengampu : Goklas Manalu, M.Th

INSTITUT AGAMA KRISTEN NEGERI TARUTUNG

FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN KRISTEN

PENDIDIKAN AGAMA KRISTEN

2021
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I

PENDAHULUAN
BAB II

PEMBAHASAN

A. Masyarakat dan adat-Istiadat orang batak

Masyarakat batak terdiri dari lima sub-suku bangsa yaitu: batak toba, simalungun
mandailig angkola,pakpak, dan karo. Kelima sub-suku bangsa ini tersebar luas di tanah batak
atau tapanuli, meluas hingga ke hampir pulau Sumatera, bahkan kemudian menyebar ke
berbagai penjuru Nusantara dan dunia. Masing-masing mempuyai bahasa penantar, budaya
dan adat-istiadat, namun mempuunyai kkedekatan satu sama lain.

Orang batak memiliki sistem kekerabatan dan adat-istiadat yang kuat untuk mengatur
kehidupan sehari-hari. Adat-istiadat itu mengatur hubungan kekerabatan, sehingga tercipta
hubungan sosial dan hukum yang diatur dalamm konsep dalihan na tolu (tungku nan tiga),
suatu konsep adat-istiadat yang mencakup aatau terdiri dari tiga unsur utama yaitu: Hula-hula
(keluarga dari pihak istri) dongan tubu (saudara semarga) dan Boru (keluarga/marga yang
telah menikahi saudariperempuan). Dalam sistem inilah diatur hubungan darah yaitu dongan
sabutuha/dongan tubu haruslah saling hati-hati, jangan sampai ada yang tersinggung
perasaannya, dan pihak boru haruslah dihargai di setiap pelaksanaan kegiatan adat jangan
diabaikan dan dilecehkan.

B. Kepercayaan Orang batak

Sebelum kekristenan memasuki tanha batak, orang batak menganut agama suku atau
agama asli, orang batak juga mempercayai kuasa kegelapan seperti mistik, sihir dan
kekuatan-kekuatan alam; percaya kkepada kekuatan datu (duukun) yang berfungsi sebagai
tabib untuk menyembuhkan orang-orang yang sakit, tetapi juga sebagai ahli ilmu gaib dan
ilmu hitam, yang berhubungan dengan mistik, sihir, dan animisme (pemujaan roh).

Kepercayaann lama orang batak berpusat pada pemujaan Debata Mulajadi na Bolon,.
Dewata ini dipahami dan diyakini sebagai dewata tertinggi, dialah dewata yang awal, yang
menciptakan, dan yang ada di atas segala sesuatu. Dewata ini kemudian menjelma menjadi
bbanyakk dewa yang lebih rendah, yang masing-masing menguasai benua atas, benua tengah,
dan benua bawah. Melalui puterinya, si boru deak parujar, dewata ini menciptakan bumi.

Orang batak percaya, setiap orang yang sudah meninggal, rohnya akan berubah dari begu
menjadi sumangot, jika orang itu mempunyai keturunan yang banyak (teruama laki-laki) dan
kaya-raya. Sumangot atau roh nenek-moyang ini dipercayai dapat memberikan berkat kepada
keturunannya. Itulah sebabnya ia perlu disembah (a.i. diberi sesajen, makamnya dibangun,
atau baginya didirikan tugu), supaya dia memberkati keturunannya.

C. Masuknya kekristenan di Tanah Batak

Injil dan kekristenan masuk ke tanah batak seccara bertahap:

a. Burton dan ward: penginjil pertama yang masuk ketanah batakk adalah Richard
Vurton dan Nathaniel Ward, utusan dari Baptist Missionary Society (Lembaga
Penginjilan Baptis) dari inggris. Semula mereka bermukim di padang, lalu memasuki
tanah batak tahun 1824. Merea tidak berhasil membuat orang batak menerima injil,
karena metode pendekatann yang kurang tepat. Tetapi mereka sudah mempelajari
bahasa batak dan mulai mempersilahkan terjemahan Alkitab ke bahasa batak.
b. Munson dan Lyman: sepuluh tahun kemudian, 1834, datang Samuel Munson dan
Henry Lyman, diutus oleh lembaga American of Commissioners for Foreign Mission,
sebuah lembaga penginjilan dari Buston, Amerika. Dalam perjalanannya menuju ke
Silindung untuk menyebarkan injilKristus, Lyman dan Munson dihadang di Lobu
Pining (antara Sibolga dan Tarutung), karena penduduk menyangka bahwa mereka
adalah serdadu penjajah dari Belanda yang waktu itu sedang masuk ke Minangkabau
dan Tanah Batak (dalam rangka perang Paderi). Dilubu Pining mereka berdua
dibunuh dan disana kita dapat menemukan makam mereka, di situ tertulis ucapan
Bapa gereja Tertullinaus: darah para martyr adalah benih pertumbuhan Gereja.
c. Van Aselt dkk:lebih dari duapuluh tahun kemudian,1857, ddatanglah beberapa
penginjil dari Ermelo, Belanda, yaitu Geritt van Asse dkk. Mereka berasal dari gereja
yang menganut aliran atau ajaran calvinis. Mereka menginjil didaerahh Mandailing
dan Angkola (Tapanuli Selatan) yang sudahh dikuasai Belanda, dann tidak diizinkan
menginjil di daerah ke pusat Tanah Batak (Silindung dan Toba) yang masih merdeka.
Mereka berhasil membaptis dua orang batak pada tanggal 31 Maret 1861, yaitu pagar
(Simon Petrus) Siregar dan Main (Jakobus) Tampubolon. Sementara iu Herman
Neubronner van der Tuuk, ahlli bahasa utusan Lembaga Alkitab Belanda
menerjemahkan sebagian Alkitab ke dalam bahasa batak, di samping itu menyusun
tata bahasa batak. Karya Van Tuu sangat mmenolong para penginjil untuk
memberitakan injil Kristus.
d. Nommensen dkk: Pada tahun terbunuhnya Munson dan Lyman (1834), lahirlah
Ingwer Ludwig Nommensen di Nordstrand, Jerman. Yang kemudian menjadi
penginjil di Tanah Batak Nommensen dkk. Menjadi penginjil utusan Rhenische
Missions-Gesellschaft (RMG) dari Jerman. Sebelum Nommensen tiba di Tanah
Batak, telah lebih dahulu tiba beberapa penginjil utusan RMG, yang sebelumnya
bekerja di Borneo (Kalimantan), yaitu Klammer dan Heine. Pada tanggal 7 Oktober
1861 Klammer, Heine, Van Asselt dan Betz berkumpul di Sipirok untuk mengatur
pekerjaan mereka. Tanggal ini kemudian dijadikan sebagai hari berdirinya gereja di
tanah Batak yaitu HKBP.

Nommensen baru tiba di Tanah Batak tahun 1862; semula bekerja di Barus, kemudian
di daerah Angkola, yang penduduknya sebagian besar sudah beragama Islam. Tetapi
ia rindu menyampaikan injil kepada orang Batak yang masih menganut agama suku.
Sebelum memasuki Silindung, Nommensen berjalan kaki melewati Sipirok dan tiba di
Dolok (bukit) Siatas Barita. Di atas Dolok Siatas Barita, Nommensen berdoa, “mati
atau hidup, biarlah aku tinggal di negeri orang Batak yang telah Kau tebus ini ya
Tuhan”. Melalui pelayanan dan penginjilan yang dilakukan Nommensen dkk, orang
Batak-baik secara sendiri-sendiri maupun berkelompok menjadi pengikut Kristus.
Nommensen memberitakan injil di Silindung dan tinggal di Huta Dame (Sait ni Huta),
Tarutung.
Pemberitaan injil di Tanah Batak berkembang dengan sangat ceat sehingga
masyarakat-masyarakat Batak beralih dari agama Batak yang animis menjadi
pengikut Kristus. Bersamaan dengan pemberitaan iinjil di tanha batak yang dilakukan
oleh Nommensen dkk. Diselenggarakan juga pelayanan di bidang Pendidikan
(memberikan sekolah) dan Kesehatan (mendirikan rumah sakit, poliklinik, dll).
Ratusan tenaga penginjil, guru, dokter dan ahli pertanian (termasuk sejumlah
perempuan) diutus RMG ke tanah batak selama periode 1861-1940. Selanjutnya
pelayanan mereka diperkuat oleh tenaga pribumi (guru, penginjil, pendeta) yang
dididik di berbagai tempat.

Sejak tahun 1925 Hereja Kristen di Tanha Batak yang didirikan oleh Nommensen dkk
dinamakan Huria Kristen Batak Protestan (HKBP). Nommensen menjadi ephorus
yang ppertama (1891-1918); beliau meninggal dunia dan dimakamkan di Sigumpar,
Porsea. Nommensen dihormati sebagai rasul Kristus untuk orang batak.
D. Kisah Hidup Nommensen
Pada 6 Februari 1834, Ingwer Ludwig Nommensen lahir di Nortdstrand, pulau kecil di
perbatasan Denmark dan Jerman. Ayahnya adalah Peter, dan ibunya adalah Anna. Keduanya
berasal dari keluarga yang sangat miskin dari desanya. Nomensen adalah anak paling besar
dan satu-satunya laki-laki dari 4 bersaudara. Nomensen sejak kecil sudah tertarik dengan
cerita-cerita para missionaris yang diceritakan oleh guru-guru di sekolahnya.
Namun malang, Nomensen muda mengalami kecelakaan pada 1846, ketika masih
berumur 12 tahun. Kedua kakinya sakit parah dan hampir diamputasi karena kecelakaan
kereta kuda. Di dalam kemalangan ini, Tuhan ternyata bekerja untuk pelayanan Nomensen
seumur hidupnya. Ketika mengalami sakit penyakit tersebut, maka Nomensen membaca
Yohanes 16:23-26 lalu bertanya kepada ibunya, “Ibu, apakah janji Tuhan ini masih berlaku?”
Ibunya berkata, “Masih berlaku, anak-ku.” Lalu Nomensen berdoa kepada Tuhan, “Tuhan
jikalau Tuhan menyembuhkan kaki ku ini maka aku akan menggunakan kaki ku ini untuk
menginjili/ memberitakan kabar sukacita Tuhan Yesus ke wilayah paling pedalaman
sekalipun.” Pada tahun 1847 kaki Nomensen sembuh secara ajaib, dia dapat berjalan seperti
sediakala. Karena orang tuanya miskin, maka Nomensen mengambil waktu-waktu luang
sekolahnya untuk bekerja sebagai seorang gembala domba kepada orang lain untuk
membantu keuangan orang tuanya. Selain menjadi penggembala domba, dia juga bekerja
sebagai buruh tani. Tuhan menggunakan semua pekerjaan ini untuk mempersiapkan
Nomensen menjadi seorang misionaris yang mengerti peternakan dan pertanian. Pengetahuan
tersebut akan digunakan untuk mengajari orang-orang Batak yang dilayani, dan juga sebagai
sarana pendekatan.
Setelah umur cukup untuk mendaftar menjadi seorang misionaris, dia mendaftar ke
RMG. Dia belajar teologia untuk mempersiapkan diri untuk menjadi seorang misionaris dan
pada tahun 1861, dia berlayar ke Sumatera. Dengan pelayanan yang begitu berat, akhirnya
pada 1864 Nomensen menetap di sebuah lembah di Silindung bersama orang-orang Batak
yang dibuang dari komunitas mereka karena mereka memegang iman Kristen. Lalu
Nommensen mendirikan “Huta Dame” yang menjadi tempat penampungan orang-orang
Batak yang dibuang dari komunitas karena iman Kristen mereka.
Sistem Pelayanan Nommensen.

Di dalam studi teologianya, Nommensen adalah orang yang dididik di dalam antropoloy
approach. Dengan semangat itu, dia menjadi seorang misionaris. Dia adalah orang yang
concern terhadap antropology sehingga meskipun pertama kali sampai di tanah batak, dia
menganggap kebiasaan orang-orang Batak adalah kebiasan yang sangat aneh, namun dia
tetap melihat orang-orang Batak memiliki dignity sebagai manusia yang Tuhan berikan
ketika menciptakan mereka sehingga dia tidak pernah menghina namun mengasihi mereka.
Dengan pendekatan teologia seperti itu, maka Nomensen tidak merombak seluruh adat dari
Batak tetapi dia memperbaharui dan mengasimilasi adat batak dengan Kekristenan. Dia
hanya membuang adat yang secara langsung berkontradiksi dengan Iman Kristen:

Nommensen’s theology saw Christianity as renewing rather than replacing traditional Batak
customs, except in cases where adat were in direct contradiction to the Christian faith.[9]

Dia tidak melakukan apa yang dilakukan oleh extrimis Kristen setelah Nommensen,
Pentakosta yang menolak secara total tradisi Batak. Mereka memerintahkan orang-orang
batak untuk membakar ulos mereka, yang merupakan salah satu keunikan suku Batak.

there is a more-recent anti-adat movement among Pentecostalists that perceives non-Christian


elements of Batak culture, such as ulos as satanic. [10]

Penguasaan bahasa daerah pelayanan, merupakan hal yang esensial bagi Nommensen. Ketika
menginjakkan kaki di tanah Batak, 70% bahasa Batak sudah dikuasai oleh Nommensen
sehingga ini memudahkan pelayanan Nommensen dengan cara dialog. Untuk menyebarkan
injil secara efektif, maka Nommensen mengadopsi metode dialog. Dia pernah mendatangi
Raja Panggalamei, yang menjadi pembunuh Hendry Leyman dan Samuel Munson untuk
melakukan dialog. Dia juga mengorganisir para penatua dan pemimpin suku Batak yang
sudah menjadi Kristen untuk menggunakan metode dialog dalam pelayanan mereka. Istilah
ini disebut oleh beberapa orang sebagai to gossip the Gospel:

He realized this way of life by commissioning local elders and chiefs to “gossip the Gospel”
in the village. This ministry of the laity reflected Nommensen’s emphasis on the congregation
as the gathered people of God under the Word of God.[11]

Nommensen dengan begitu pintar memanipulasi apa yang ditakuti oleh para mistik Kristen,
seperti Bernard Clearvaux. Bernard melihat bahwa dalam bagian langkah-langkah
kemunduran iman, tahapan paling pertama adalah sikap penolakan terhadap sesama kita atau
hilangnya kasih terhadap sesama. Dalam tahapan pertama tersebut ada memiliki enam proses
dan proses pertama adalah “keingintahuan”. Bagi Bernard, keingintahuan akan urusan orang
lain membawa orang kepada sikap menggosipkan orang lain tanpa masuk ke dalam
kehidupan dan pergumulan orang yang digossipkan. Gosip hanya digunakan sebagai
kepuasan keingintahuan akan urusan orang lain tanpa adanya andil di dalam kehidupan nya.
Sehingga Bagi Bernard, ini merupakan tahap paling awal kemunduran iman Kristen, mulai
kehilangan kasih kepada sesama. Sesama hanya diperlakukan sebagai objek gossip dan
keingintahuan.

Menurut Bernard, kemunduran mulai ketika jiwa kita merosot melalui tiga jenis penolakan.
Pertama, jiwa merosot ketika kita memelihara sikap penolakan terhadap sesama kita. Bernard
membagi proses ini ke dalam enam langkah: keingintahuan tentang urusan orang lain,…
Keingintahuan tentang urusan orang lain menyebabkan kita bergosip. Dengan kata lain, kita
tidak sungguh tertarik pada manusia karena ingin menolong mereka, tetapi hanya untuk
mendapatkan informasi untuk kita ceritakan kepada orang lain.[12]

Namun bagi Nommensen, keingintahuan itu bisa dimanipulasi kepada keingintahuan akan
Injil dan keingintahuan itu menyebabkan orang-orang menggosipkan, mempercakapkan Injil.
Dengan mempercakapkan Injil maka Firman diberitakan dan dengan kekuatan Firman
kehidupan orang yang ingin tahu senantiasa diubahkan. Keingintahuan seperti ini yang ingin
dijadikan oleh Nommensen di dalam komunitas Kristen Batak sebagai kebiasaan (way of
life).

Dalam perjalanan misinya, ia menyadari perlunya mengikutsertakan orang-orang Batak.


Maka dari itu, dibukalah sekolah penginjil yang menghasilkan penginjil-penginjil Batak
pribumi. Juga untuk kebutuhan guru-guru sekolah, dia membuka pendidikan guru:

To meet the desire for education, a seminary was established, along with elementary schools
in Christian villages.

Selain itu, Nommensen juga memiliki perhatian dalam hal mandat budaya. Ia juga berusaha
untuk memperbaiki pertanian, peternakan, meminjamkan modal, menebus hamba-hamba dari
tuan-tuannya, dan membuka balai-balai pengobatan. Balai kesehatan memiliki peranan yang
penting bagi pelayanan Nommensen, karena pada saat itu orang takut kepada penyakit cacar
dan tidak mengerti bagaimana solusinya. Cacar dianggap sebagai kutukan. Ketika
Nommensen melayani orang-orang Batak yang terkena cacar, itu dianggap suatu kesembuhan
ilahi, mereka melihat itu sebagai tanda dari Tuhan yang sesungguhnya dan akhirnya percaya
kepada pemberitaan Nommensen mengenai Yesus Kristus adalah Allah yang sesungguhnya,
harus bertobat, dan menyembah Yesus. Orang Kristen yang pertama itu bertobat karena
pelayanan kesehatan ini.

Dalam eklesiologinya, Nommensen menggunakan sistem asimilasi Iman Kristen dengan adat.
Bagi Nommensen tidak penting untuk mengubah tradisi jikalau itu tidak secara langsung
bertentangan dengan Injil. Hal ini menjadi sesuatu yang mengejutkan para scholar  di Eropa.
Asimilasi ini menjadi sebuah pelajaran dan penelitian yang penting bagi para scholar di
zamannya. Sehingga ketika Kekristenan sudah mulai stabil di dalam kehidupan orang-orang
Batak, jikalau menyebut adat batak berarti sama dengan menyebut kekristenan. Adat batak
tidak bisa dilepaskan dari Kekristenan. Tata cara pernikahan batak adalah tata cara
pernikahan Kristen, tata cara penguburan Batak adalah tata cara penguburan Kristen. Tanpa
doa dan tanpa kehadiran seorang Pendeta, seluruh tradisi/ seremonial dari orang Batak
dianggap tidak sah. Ini yang menjadi salah satu rahasia kesuksesan penginjilan Nommensen.
Nommensen bukanlah orang radikal yang ingin mengubah tradisi suku lain dan menganggap
tradisi “suku Eropa” merupakan tradisi Kristen. Dia sama sekali tidak merendahkan tradisi
suku Batak. Dengan semangat itulah maka Nommensen berusaha mengasimilasi budaya
Batak dan Iman Kristen (kontekstualisasi Injil).

He practiced a contextual ecclesiology by using the customary law and structural elements of
the people for the formation of a “people’s church,” as can be seen in the church constitutions
of 1866 and 1881. The strong growth and coherence of the church, especially after the
resistance of the traditionalists faded, tended to be accompanied by an uncritical allegiance to
the customary law; sometimes it became almost the pivot of Christian living. Nevertheless,
the indigenization of Batak Christianity has been regarded as “the secret of the growth and
the prosperity of the Christian religion in the Batak land.”[13]

Tentu saja, keputusan Nommensen ini sangat benar. Meskipun memiliki efek samping yang
tidak terhindarkan: melihat Iman Kristen menjadi sebuah tradisi yang baru yang sudah
disempurnakan dari tradisi yang lama. Namun kejadian Pentakosta (Kis. 2) membenarkan
keputusan Nommensen tersebut. Dalam kejadian Pentakosta, Tuhan tidak hanya berbicara
dalam bahasa Ibrani atau Aram yang biasa digunakan oleh orang-orang Yahudi. Tetapi Tuhan
juga berbicara kepada mereka dengan menggunakan bahasa Partia, Media, Elam,
Mesopotamia, Yudea, Kapadokia, Pontus, Asia, Frigia, Pamfilia, Mesir, Libia, Roma, Kreta,
dan Arab. Ternyata Tuhan tidak hanya bicara dengan budaya Ibrani, tidak juga berbicara
hanya dengan menggunakan budaya Barat tetapi Tuhan juga ternyata bicara dengan
menggunakan budaya-budaya yang lain, dan tentunya kali pelayanan Nommensen, Tuhan
berbicara melalui budaya Batak. Nommensen tidak sendirian, di China Hudson Taylor
melakukan hal yang sama: identifikasi diri terhadap budaya China. Meskipun efek sampaing
ada, Nommensen bukanlah orang yang dipersalahkan akan hal demikian. Nommensen
mengerjakan bagiannya, namun untuk pemurnian atas hal yang kurang merupakan tugas
komunal. Bersama Nommensen, para misionaris di tanah Batak yang lain, para pemimpin
Kristen lokal, dan orang Batak bertanggungjawab perihal penyempurnaan tersebut. Sama
halnya dengan Puritan, Nommensen, tidak bisa dipersalahkan atas Kapitalisme Modern.
Puritan memiliki jiwa bertanggungjawab dihadapan Tuhan akan uang yang Tuhan berikan.
Menggunakan apa secukupnya dan menginvestasikan sisanya. Dengan demikian kapitalisme
menjadi sebuah efek samping yang tidak terhindarkan. Kapitalisme Modern yang harus
dipersalahkan atas Kapitalisme Modern. Orang Batak Kristen yang harus dipersalahkan atas
apa yang belum mereka bereskan yang menjadi efek samping dari asimilasi adat-Injil
Nommensen.

Ujian-Ujian Dalam Pelayanan Nommensen.

Seperti para misionaris lain yang setia kepada Tuhan, maka Nommensen adalah orang
yang tidak lepas dari ujian yang Tuhan izinkan untuk membentuk iman dan pelayanannya.
Anak Pertama Nommensen, dari istrinya Karoline (menikah di Sibolga), yang bernama
Benoni, hanya dalam beberapa meninggal dunia setelah lahir ke dunia.

Pada 25 September 1864, Nommensen berhasil ditangkap oleh para militan Batak, pro-
adat dan ingin dipersembahkan kepada Sombaon Siatas Barita dionan Sitahuru, yang
merupakan nenek moyang sembahan orang-orang batak. Namun, Tuhan memperlihatkan
belaskasihannya kepada Nommensen, sehingga ketika upacara berjalan, badai tiba-tiba
datang dan semua orang yang menghadiri upacara tersebut ketakutan karena dianggap bahwa
nenek moyang mereka marah atas perilaku mereka untuk mempersembahkan Nommensen.

Setelah anak laki-laki pertama meninggal, pada tahun 1872, Putri pertama Nommensen
yang bernama Anna meninggal dunia.

Tahun 1877/8, Raja Sisingamangaraja XII melakukan aksi perlawanan terhadap Belanda.
Dia bekerja sama dengan pihak otoritas lokal Aceh untuk melawan Belanda. Bagi
Sisingamangaraja, misi Kristen juga merupakan ancaman besar bagi otoritas dan adat Batak
sehingga Singingamangaraja mengancam akan membumihanguskan kegiatan missioner.
Alasan kesehatan dan pendidikan, anak istrinya, pada tahun 1880, Nommensen
memutuskan untuk mengantarkan keluarganya pulang ke Jerman. Mereka diantar oleh
banyak orang sampai ke tengah hutan. Mereka berjalan kaki selama dua hari dari Silindung
ke Sibolga, menjalani jalan setapak yang sangat sulit. Mereka menungu keberangkatan dari
Sibolga ke Padang selama dua minggu. Lalu pada tahun 1881 menjelang Natal, Nommensen
kembali ke Pearaja. Dia kembali sendirian, isterinya tinggal di Jerman karena masih perlu
perawatan. Anak-anaknya juga tinggal di sana agar bisa sekolah dengan baik. Pada 1887,
Karoline, isteriNommensen, meninggal di Jerman. Yang menjadi ironisnya, sebulan
kemudian baru Nommensen mengetahuinya karena informasi tersebut harus dibawa dari
jarak tempuh yang sangat jauh.

Di dalam pelayanannya, Nommensen diizinkan oleh Tuhan melihat kematian anak-


anaknya. Mei 1891, Christian, anak Nommensen, mati terbunuh di Pinang Sori oleh lima
orang kuli China di areal perkebunan. Dn pada 1916, Nathanael anak Nomensen (24 tahun)
dari istri kedua (menikah pada 1892) mati tertembak di arena Perang Dunia I di Perancis.

Rekan Pelayanan Nommensen.

Nommensen bukan seorang superhero versi Holywood yang berjuang sendirian.


Kesuksesan pelayanan Nommensen tidak lepas dari dukungan dari teman-teman
Nommensen. Bersama Peter Johannsen, yang mendarat di tanah batak pada 1866,
Nommensen melayani Tuhan. Melalui bantuan Johannsen, Nommensen menerjemahkan
Perjanjian Baru ke dalam bahasa Batak. Kemampuan Johannsen membuat terjemahan
Alkitab tersebut dipuji oleh Raja Pontas Lumbantobing, seorang pemimpin muda yang
berkarisma, yang menjadi generasi pertama buah pelayanan Nommensen.

Selain Johannsen, raja Pontas Lumbantobing menjadi teman setia Nommensen. Raja
Pontas senantiasa menjadi pelindung pelayanan Nommensen untuk menghadapi militan
group dari orang-orang Batak.

Pontas Lumbantobing (1830-1900): A local chief protected him and mediated between
him and a militant group of hostile chiefs and priests.[14]

Raja Pontas bertobat, 2 tahun setelah Nommensen melayani di Toba. Dia selalu membela
Nommensen. Raja Pontas merupakan menjadi penghiburan dari Tuhan kepada Nommensen
yang berlelah-lelah di dalam pelayanan. Orang yang tidak diduga disiapkan TUHAN untuk
menjadi rekan Nommensen. Sebagaimana Priskila dan Aquila yang tidak diduga oleh Paulus
menjadi seorang pengajar bagi Apolos, seorang rabi terpelajar dari Alexandria yang menjadi
seorang Kristen dan menjadi salah satu pengajar terbesar di dalam wilayah Kristen, selain
para rasul.

Di dalam pelayanan, seorang pelayanan seharusnya memiliki rekan pelayanan untuk


mendukung pelayanannya. Yesus Kristus, meskipun bisa melayani sendirikan dengan kuasa
Ilahinya, dia memberikan contoh apa yang disebut membutuhkan bantuan orang lain. Para
Rasul memberikan contoh yang sama, meskipun akhirnya tersebut karena tuntutan pelayanan,
mereka memiliki pengikut, rekan, dan murid yang senantiasa membantu mereka.
Membiarkan orang lain untuk masuk ke dalam pelayanan dan membantu merupakan esensial
di dalam pelayanan. Komunitas merupakan anugerah Tuhan di dalam melayani.

Pandangan Dunia Terhadap Nommensen.


Pelayanan Nommensen yang begitu setia dan menyulitkan membuat namanya dikenal di
seluruh dunia. Dunia mengkonfirmasi Nommensen adalah hamba Tuhan yang setia dan
menjalankan panggilan Tuhan.

Pada tahun 1881, Kongsi Barmen menetapkan Ingwer Ludwig Nommensen menjadi
Ephorus pertama HKBP, dia digelari ‘Ompu i’.

Selain itu, Stephen Neill, seorang sejarahwan misiologi, melihat bahwa Nommensen
merupakan salah satu missionaris terbaik sepanjang zaman.

Di dalam kalangan Lutheran sendiri, Dia menjadi salah satu dari orang Kudus Lutheran
yang diperingati setiap 7 November di dalam The Calender of Saints, bersama dua orang
yang lain yaitu John Christian Frederick Heyer dan Bartholomaus Ziengebalg. Hanya tiga
orang yang masuk di the Calender of Saints, dan salah satunya adalah Nommensen.

Tidak hanya di dalam dunia misi, dunia akademis juga melihat bahwa Nommensen
merupakan orang yang besar dan intelektual. Asimilasi adat Batak dan Iman Kristen
mengejutkan dunia barat. Pada tahun 1904, Fakultas Theologi Universitas Bonn, Jerman,
menganugerahkan gelar Doktor Honouris-Causa di bidang Theologi kepada Ingwer Ludwig
Nommensen. Dalam pengukuhan tersebut, Ratu Wilhelmina dari Belanda ikut diundang
sebagai tamu. Tidak hanya Jerman, selanjutnya, Belanda tidak ingin rugi dan ingin menjadi
pengagum pelayanan Nommensen selanjutnya: Pada tahun 1911, Ratu Wilhelmina dari
belanda menganugerahkan Bintang Jasa ‘Order Of Orange Nassau’ kepada DR. Ingwer
Ludwig Nommensen, sebuah bintang jasa yang hanya diberikan kepada orang yang dianggap
luar biasa jasanya di bidang kemanusiaan.

Ternyata, menurut penelitian dari seorang Jepang, Masashi Hirosue, di dalam kalangan
yang membenci pelayanan Nommensen, mereka diam-diam memendam kekaguman yang
besar akan Nommensen. Mereka sebenarnya melihat bahwa Nommensen adalah orang yang
sangat berjasa untuk kebudayaan Batak. Para pendeta agama tradisi melihat bahwa
Nommensen adalah seorang batak, nenek moyang mereka yang terkenal, berinkarnasi di
tanah Eropa untuk belajar tentang kemajuan Eropa yang akan dibawa ke tanah Batak demi
kemajuan orang-orang Batak.

Indigenous movements of protest have been carefully investigated by Masashi Hirosue of


Japan. Hirosue gives an illuminating account of Nommensen’s connections with
millenarian groups. They regarded Nommensen as a true Batak, the incarnation of a legendar
y ancestor in the disguise of a European. They believed that this incarnated ancestor had been
sent to his people in order to teach and to build churches and schools. The veneration of
Nommensen, along with two other missionaries believed to have been sent as helpers by the
ancestral God, reveals that in Batakland millenarian movements were significant factors in
the Christian movement.[15]

Ketika Nommensen meninggal dunia, pada tahun 1918, jumlah jemaat gerejanya adalah
180.000 orang, dengan 34 pendeta, dan 788 pengkotbah/ pengajar. Salah satu anggota gereja
dari HKBP adalah Amir Sjarifuddin, yang merupakan satu-satunya, perdana Mentri Indonesia
yang beragama Kristen; selain itu juga ada Todung Sutan Gunung Mulia (Mentri Pendidikan
Indonesia kedua); dan juga Jendral Tahi Bonar (TB) Simatupang.
Suku batak adalah suku yang memiliki banyak sekali sub-suku. Sub-Suku diantaranya:
Angkola-Sipirok, Dairi-Pakpak, Karo, Mandailing, Simelungun, and Toba[1].  Mereka
memiliki budaya: cara berpakaian, bahasa; agama, dan wilayah tempat tinggal yang berbeda
dengan satu yang lain. Beberapa sub-suku batak, khususnya Karo dan Mandailing (karena
Mandailing berasimilasi dengan orang-orang Minangkabau sebagai konsekuensi kekalahan
mereka ketika berperang), tidak suka disebut sebagai suku batak:

Some of the groups along the borders of the Batak regions (e.g., Karo, Mandailing)
eschew the label “Batak” in favor of their subsociety designations [2]

Istilah batak merupakan istilah yang memiliki nuansa negatif kepada suku-suku Sumatera
Utara yang menyembah nenek moyang dan kanibal: The ‘Bataks’ were regarded by outsiders
as a race of pagan cannibals [3] Kemungkinan istilah “batak” diberikan oleh orang-orang
Islam dari dataran rendah (kemungkinan besar orang-orang Melayu yang memiliki Kerajaan
di Deli):

The word “Batak” may have originally been an epithet used by Muslim lowlanders to refer
to the mountain peoples in a derogatory way, as “primitives.”[4]

Sehingga sub-suku Karo, yang domisilinya sangat berkedekatan dengan pesisir dan suku
melayu yang memiliki kerajaan tidak suka disebut sebagai suku Batak, meskipun mereka
masih menyembah berhala, mereka bukanlah kanibal. Suku batak merupakan suku yang
kebudayaannya sangat sulit untuk “diinvasi”. Mereka hidup berdasarkan komunitas[5]
sehingga berbagai macam agama misionaris kesulitan untuk menggati agama suku
(Parmalim) mereka. Namun pada abad 19, wilayah paling selatan, yang merupakan wilayah
dari Mandailing, kalah perang dan dikuasai oleh para Padri dari Sumatera Barat (suku
Minangkabao). Mereka dipaksa untuk memeluk agama Islam dan meninggalkan seluruh
identitas suku batak mereka.

Batak people, the Mandailing came, through their subjection in the Padri War, to follow
Islam, rejecting traditional beliefs and, frequently, their identity as ‘Bataks’.[6]

Pra Nomensen.

Sebelum kedatangan Nomensen, ada dua orang misionaris, dari Amerikan Board of
Commissioners for Foreign Missions, yaitu Hendry Lyman dan Samuel Munson, yang diutus
untuk melayani orang-orang batak. Pada tahun 1834, mereka mengalami kesulitan yang
besar. Mereka akhirnya ditangkap, dibunuh, dan dimakan oleh orang-orang Batak, yang
dipimpin oleh Raja Panggalamei karena mereka dianggap mengganggu tradisi suku dan
agama Batak.

Anda mungkin juga menyukai