Anda di halaman 1dari 9

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur bagi Tuhan YME kita dapat menyelesaikan lappran ini dengan baik dan lancar.
Sholawat dan salam tetap kami haturkan kepada junjungan kita Nabi besar Muhammad saw dan untuk
para keluarga, sahabat dan pengikut-pengikutnya yang setia mendampingi beliau.

Dalam makalah ini, kami membahas tentang “Tradisi Pengayauan Kepala Manusia Suku Naulu” yang kami
buat berdasarkan tinjauan pustaka di internet dan buku refrensi. Makalah ini diharapkan bisa
menambah wawasan dan pengetahuan mengenai tradisi salah satu suku terpencil di Indonesia. Kami
berharap bisa dimafaatkan semaksimal dan sebaik mugkin.

Kami menyadari sepenuhnya bahwa dalam penulisan makalah ini jauh dari sempurna baik dari segi
teknik maupun isi. Atas segala kekurangan yang terdapat didalamnya kami mohon dibukakan pintu maaf,
kemudian disini kami juga mengharapkan kritik dan saran yang bersifat komunikatif untuk memperbaiki
karya kami di lain waktu.

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Indonesia adalah negara majemuk yang memiliki beragam corak, baik agama, suku bangsa, seni, budaya
maupun adat istiadat. Terlepas pada perbedaan kebudayaan di Indonesia, kata “Bhinneka Tunggal Ika”
cukup mewakili jiwa persatuan dan kesatuan rakyat Indonesia. Perbedaan kebudayaan, adat, dan tradisi
di Indonesia merupakan kekayaan yang patut dibanggakan oleh rakyat Indonesia.

Pada dasarnya tidak semua masyarakat Indonesia mengetahui dan memahami beragam kebudayaan
dan tradisi yang dimiliki tiap suku di Indonesia. Kurangnya pengetahuan masyarakat akan kebudayaan
dan tradisi dari berbagai suku yang ada di Indonesia dapat mengakibatkan pandangan yang berbeda atau
bahkan timbul salah paham diantara masyarakat yang berbeda suku. Sebagai contoh suku Batak yang
tidak mengenal budaya atau tradisi suku Jawa dan sebaliknya.

Pemahaman masyarakat mengenai kebudayaan, adat, dan tradisi dari berbagai suku di Indonesia
merupakan hal yang penting sehingga kesalahpahaman tidak terjadi diantara masyarakat dengan
kebudayaan yang majemuk. Mengetahui manfaat dan dampak dari tradisi yang dijalankan oleh suatu
suku juga merupakan hal yang harus dilakukan. Tradisi suatu suku yang terkesan berada pada garis keras
dapat berpengaruh negatif bagi masyarakat yang menjalankan tradisi atau adat itu sendiri.

Belakangan ini diketahuai telah terjadi pelanggaran hukum (HAM) akibat tradisi suatu suku yang
ternyata termasuk tindakan kriminal. Tradisi yang termasuk tindakan kriminal ini telah dilakukan secara
turun-temurun oleh suku Naulu yang tinggal di bagian utara Pulau Seram. Suku Naulu melakukan tradisi
penggal kepala atau dikenal dengan tradisi Pengayauan. Tradisi ini termasuk kasus pelanggaran hukum
yang berat karena termasuk dalam kasus pembunuhan. Pengetahuan yang tidak merata menyebabkan
masyarakat pedalam suku Naulu tidak mengerti bahwa tradisi yang dilakukan oleh suku mereka
merupakan suatu kriminalitas. Mengetahui, mempelajari dan memahami latar belakang kebudayaan,
adat dan tradisi yang beragam merupakan usaha agar tidak terjadi pelanggaran hukum dan
penyelewengan moral dalam masyarakat.

1.2 Rumusan Masalah

1) Bagaimana latar belakang tradisi Pengayauan suku Naulu?

2) Bagaimana pengaruhnya terhadap aspek sosial dan budaya?

3) Mengapa tradisi ini termasuk tradisi melanggar HAM?


1.3 Tujuan

1) Untuk menjelaskan bagaimana pengaruh tradisi Pengayauan terhadap masyarakat suku Naulu.

2) Untuk menjelaskan pengaruh Sosial dan Budaya suatu tradisi.

3) Untuk mengetahui aspek-aspek Ham yang dilanggar dalam tradisi ini.

1.4 Manfaat

Agar pembaca makalah yaitu masyarakat pada umumnya dan para teman-teman sekalian dapat
mengetahui bahwasaja tidak semua tradisi di Indonesia memberikan manfaat yang besar bagi seluruh
penduduk Indonesia . Sebagai siswa yang memiliki intelegensi yang tinggi seharusnya dapat memiliki
wawasan dan pengetahuan secara luas.

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 KEBUDAYAAN
Kata “kebudayaan” berasal dari kata Sanskerta buddhayah, yaitu bentuk jamah dari buddhi yang
berarti “budi” atau “akal”. Dengan demikian ke-budaya-an dapat diartikan sebagai hal-hal yang
bersangkutan dengan akal. Beberapa ahli mengupas kata budaya sebagai suatu perkembangan majemuk
budi-daya, yang berarti “daya dari budi”. Karena itu mereka membedakan “budaya” dari “kebudayaan”.
Demikianlah “budaya” adalah “daya dari budi” yang berupa cipta, karsa dan rasa sedangkan
“kebudayaan” adalah hasil dari cipta, karsa dan rasa itu.

2.2 TRADISI

Tradisi dalam bahasa latin “traditio” memiliki arti “diteruskan”. Menutut pengertian paling
sederhana tradisi berarti kebiasaan yaitu sesuatu yang telah dilakukan sejak lama dan menjadi bagian
dari kehidupan suatu kelompok masyarakat biasanya dari suatu negara, kebudayaan, waktu atau agama
yang sama. Hal yang paling mendasar dari tradisi adalah adanya informasi yang diteuskan dari genarasi
ke genarasi baik tertulis maupun lisan, karena tanpa adanya ini, suatu tradisi dapat punah.

BAB III

PEMBAHASAN

3.1 SUKU NAULU

Suku Naulu (Noaulu), adalah suku yang bermukim di bagian utara pulau Seram di provinsi Maluku
Indonesia. Suku Naulu mendiami dua dusun, yaitu dusun Nuanea dan dusun Sepa. Pemukiman suku
Naulu di Nuanea hanya berada di satu pemukiman, sedangkan yang berada di Dusun Sepa terdiri dari
lima kampung, yaitu Bonara, Naulu Lama, Hauwalan, Yalahatan dan Rohua. Noaulu berasal dari kata Noa,
nama sungai, dan Ulu artinya kepala sungai. Noaulu artinya mereka yang mendiami hulu sungai Noa.

Pulau Seram selama ini lebih dikenal dengan suku Alifuru sebagai penduduk asli di pulau Seram
ini, tapi di bagian utara pulau ini, terdapat pemukiman suatu suku yang hidupnya masih terasing dan
sering dikategorikan sebagai suku primitif, yaitu suku Naulu. Walaupun sebenarnya suku Naulu ini
bukanlah suku primitif, karena sudah memiliki rumah, sudah mengenal pakaian, minyak tanah dan lain-
lain.Mereka sering disebut primitif, karena beberapa tradisi suku Naulu memang dianggap bertentangan
dengan hukum yang berlaku di Indonesia ini.

Ciri utama suku Naulu adalah ikat kepala berwarna merah yang digunakan laki-laki dewasa. Ikat
kepala yang disebut kain berang itu tidak boleh dilepaskan dalam kondisi apa pun, kecuali saat mandi.
Sedangkan para perempuan yang telah bersuami wajib mengenakan kain atau selendang di pinggangnya.

Suku Naulu umumnya masih menganut agama tradisional yang mereka sebut agama suku Noaulu.
Kepercayaan ini diwariskan oleh para nenek moyang dan tokoh adat melalui tuturan. Masyarakat suku
Naulu ini masih hidup dengan cara memanfaatkan hasil hutan, seperti menjelajah hutan untuk berburu
dan mencari apa saja di dalam hutan untuk kebutuhan hidup mereka sehari-hari. Suku Naulu tidak bisa
berbahasa Indonesia yang menyebabkan mereka terisolasi dari informasi pembangunan. Sebutan
primitif juga melekat pada Suku Naulu karena beberapa tradisi suku ini memang dianggap bertentangan
dengan hukum yang berlaku di Indonesia.

3.11 Tradisi Suku Naulu

Suku Naulu memiliki beberapa tradisi yang bertentangan dengan hukum yang berlaku di
Indonesia. Salah satu tradisi kontroversialnya adalah tradisi “Pengayauan Kepala Manusia”. Tradisi ini
adalah tradisi memenggal kepala manusia untuk dijadikan persembahan rumah adat. Ritual
pemenggalan kepala ini dipercaya sebagai bukti rasa kepercayaan kepada roh leluhur karena telah
membantu menjaga rumah adat yang mereka buat. Rumah adat Suku Naulu disebut Baileo.

Masyarakat Suku Naulu meyakini tradisi mempersembahkan kepala manusia ini sebagai
kepercayaan yang mutlak dilakukan. Keyakinan itu mengalahkan akal sehat dan logika manusia, karena
diyakini jika tidak mendapat kepala manusia untuk persembahan maka bisa mendatangkan bala atau
musibah.

Tradisi tersebut sudah terjadi sejak jaman dulu, saat sering terjadi perang antar suku di
pedalaman Pulau Seram. Dalam kondisi seperti itu siapa yang kuat dialah yang menang. Bahkan dalam
tradisi dulu, seorang raja yang ingin mengangkat seorang menantu laki-laki, syarat yang ditetepkan harus
heroik. Calon menantu harus menunjukan kejantanannya dengan mempersembahkan kepala manusia
sebagai mas kawin.

Bagian tubuh kedua korban yang diambil selain kepala yang nantinya diasapi adalah jantung,
lidah, dan jari-jari. Sementara anggota tubuh yang tidak diambil dihanyutkan di aliran sungai Ruata, tidak
jauh dari perkampungan suku Naulu dari komunitas Nuane. Motivasi pembunuhan dengan mengambil
kepala manusia dilakukan karena keyakinannya untuk melakukan ritual adat yang dinilai sakral.

Belum diketahui pasti apakah korban yang dijadikan persembahan secara suka rela mengikuti
tradisi pemenggalan kepala atau mereka dijadikan korban dengan cara paksaan. Kepala yang sudah di
penggal lalu diletakkan di depan rumah adat yang baru di bangun atau di renovasi sebagai penjaga
rumah adat dari bencana alam.
Pengayauan kepala manusia yang dilakukan oleh Suku Naulu tersebut bukan hanya sebagai
penjaga rumah adat mereka. Di kalangan mereka juga ada sebuah tradisi yang termasuk dalam upacara
di lingkaran hidup individu, yaitu upacara yang berkenaan dengan masa peralihan, khususnya bagi laki-
laki, dari masa kanak-kanak menuju dewasa yaitu disebut dengan Upacara Rujena. Pada masa lampau
kedewasaan seorang anak laki-laki sangat erat kaitannya dengan pengayauan (pemenggalan kepala).

Artinya, seorang anak laki-laki dianggap sebagai dewasa jika ia telah melakukan pengayauan,
karena dengan berhasilnya memenggal kepala musuh berarti ia dianggap mampu melindungi warga
masyarakatnya, khususnya anak-anak dan kaum perempuan.

Tradisi Suku Naulu ini menjadi sangat kontroversial mengingat pemenggalan kepala manusia
merupakan salah satu kasus pelanggaran hukum. Raja Naulu dari suku Nuane, Sahune Matoke,
mengatakan tindakan yang dilakukan warganya disebabkan karena ketidaktahuannya akan hukum formal
yang berlaku di Indonesia.

3.2 PANDANGAN SOSIAL-BUDAYA TERHADAP TRADISI SUKU NAULU

Budaya merupakan salah satu unsur dalam kehidupan sosial yang memiliki peranan penting dalam
membentuk pola pikir dan pola pergaulan dalam masyarakat, yang berarti juga membentuk kepribadian
dan pola pikir masyarakat tertentu. Budaya masyarakat Suku Naulu yang cenderung tertutup dari
pengaruh luar menyebabkan tidak berkembangnya kehidupan sosial masayarakat Suku Naulu.

Tradisi Pengayauan Kepala Manusia yang sudah dilakukan oleh Suku Naulu secara turun-temurun
mencerminkan bahwa pada dasarnya masyarakat Suku Naulu merupakan masayarakat yang taat pada
adat dan budaya yang diwariskan oleh para leluhur mereka. Tanpa memikirkan resiko yang terjadi,
masayarakat tetap melakukan tradisi yang dianjurkan karena merasa tradisi yang dilakukan membawa
dampak baik yaitu terjauhkan dari marabahaya dan dilindungi oleh para leluhur.

Secara sosial kehidupan masyarakat Suku Naulu memang sangat primitif. Berdasarkan fakta
hampir semua masyarakat Suku Naulu tidak mendapatkan pendidikan sehingga kurangnya pengetahuan
tentang norma dan agama sangatlah minim. Interaksi antar masyarakat dijalankan berdasarkan hukum
adat yang berlaku.

Pengayauan Kepala Manusia atau pemenggalan kepala manusia sebagai persembahan merupakan
tindakan yang sadis dan masuk dalam kasus pelanggaran hukum. Berdasarkan pasal 340 KHUP yang
berbunyi : “barang siapa dengan sengaja dan dengan rencana terlebih dahulu merampas nyawa orang
lain, diancam karena pembunuhan dengan rencana, dengan pidana mati atau pidana penjara seumur
hidup atau selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun”. Hal ini menunujukkan bahwa pelaku
pemenggalan kepala utnuk tradisi adat ini secara hukum akan mendapatkan sanksi yang cukup berat.
Terlepas daripada sistem hukum positif yang terulis diatas ada sistem hukum lain yang dianggap
tetap berlaku adalah sistem hukum adat. Hukum adat adalah hukum yang hidup dan berkembang
didalam masyarakat. Namun apabila hukum adat tersebut tidak bertentangan dengan kepentingan
hukum nasional maka dianggap tetap berlaku, namun demikian sebaliknya jika hukum adat itu dianggap
bertentangan dengan hukum positif atau hukum nasional, maka ketentuan hukum tertulislah yang
berlaku. Seperti halnya masyarakat Suku Naulu yang mereka ketahui hanyalah hukum adat yang berlaku
secara turun-temurun sehingga terjadilah pelanggaran hukum seperti tradisi pemenggalan kepala
manusia.

3.2.1 Kontroversi Tradisi Pengayauan Kepala oleh Masyarakat Suku Naulu

Tradisi Pengayauan Kepala Manusia yang dilakukan oleh masayarakat Suku Naulu menjadi sangat
kontroversi mengingat membunuh merupakan pelanggaran hukum yang cukup berat. Tradisi ekstrem
tersebut ternyata tidak banyak diketahui oleh masyarakat Pulau Seram, barulah pada Juli 2005 kebiasaan
sadis ini muncul ke permukaan. Warga di Kecamatan Amahai, Kabupaten Maluku Tengah, digegerkan
dengan penemuan dua sosok mayat manusia yang sudah terpotong-potong bagian tubuhnya.

Raja Naulu dari suku Nuane, Sahune Matoke, mengatakan tindakan yang dilakukan warganya
disebabkan karena ketidaktahuannya akan hukum formal yang berlaku di Indonesia. Motivasi
pembunuhan dengan mengambil kepala manusia dilakukan karena keyakinan dikalangan warganya
bahwa potong kepala merupakan suatu kewajiban yang harus dilakukan saat akan melakukan ritual adat
seperti perbaikan atau pergantian rumah adat. Bagi masyarakat suku Naulu perbuatan mereka tersebut
dikarenakan mereka tidak tahu tentang hukum dan keyakinan mereka jika mereka tidak melakukan
pemotongan kepala maka mereka bisa sakit bahkan mati.

Kurangnya perhatian pemerintah akan pendidikan di daerah terpencil merupakan salah satu hal
fatal. Tidak adanya pendekatan dan penyuluhan oleh pemerintah kepada masyarakat Suku Naulu
menyebabkan tradisi ini sempat berlanjut selama bertahun-tahun. Masyarakat Suku Naulu sendiri tidak
mengetahui apa konsekuensi hukum jika mereka membunuh orang lain.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Tradisi masyarakat Suku Naulu merupakan salah satu tradisi ekstrem yang ada di Indonesia.
Beragamnya suku bangsa di Indonesia merupakan tanggung jawab besar bagi kita sebagai rakyat
Indonesia yang mengerti dan mempu memiliah bagaimana tradisi yang membawa manfaat dan
bagaimana tradisi yang membawa dampak negatif.

Suku Naulu yang masih memiliki hukum adat tinggi memicu masyarakatnya untuk tetap bertahan
pada tradisi garis keras yang berlaku dalam masyarakatnya. Tidak adanya pengetahuan mengenai
kriminalitas menjadi sebab utama kasus pembunuhan terjadi di balik tradisi yang telah mereka jalankan
selama turun-temurun.

Keterbelakangan sosial budaya juga menjadi sebab utama terjadinya pemenggalan kepala sebagai
kebiasaan dalam masyarakat Suku Naulu. Pelanggaran hukum yang terjadi bukanlah kesalahan
masayarakat Suku Naulu melainkan kesalahan pemerintah dalam meratakan pendidikan. Kehidupan
sosial yang terbelakang ini juga diakui Raja Sahune Matoke. Perkampungan Nuane yang didiami 525
keluarga atau sekitar 900 jiwa itu belum tersentuh pembangunan sama sekali.

B. Solusi

Pendidikan merupakan hal utama bagi setiap individu untuk mengembangkan potensi yang ada
dalam dirinya. Begitu juga pentingnya pendidikan yang merata bagi negara Indonesia agar setiap
masyarakatnya mampu mengembangkan potensi mereka ke arah yang positif. Beragam budaya dan
tradisi yang berkembang di masyarakat Indonesia seharusnya merupakan sebuah keuntungan dan aset
negara. Namun apabila pemerintah masih bersifat dikriiminatif teradap pendidikan, maka akan sangat
berdampak buruk bagi masyarakat yang tinggal di daerah terpencil karena mereka sulit mendaptkan
informasi dari luar daerah.

Pelanggaran masayrakat Suku Naulu tidak akan terjadi apabila pemerintah lebih peka dalam
membina setiap suku pedalaman di Indonesia dengan porsi yang sama. Akibat dari ketidaktahuan
masyarakat Suku Naulu tidak menyadari bahwa tradisi yang mereka jalani selama ini merupakan
pelanggaran hukum dan termasuk kasus kriminal.

Pemerintah harus lebih rajin memberikan pendekatan dan penyuluhan kepada masyarakat
terpencil guna memilah mana tradisi yang berdampak positif dan mana tradisi yang dapat membawa
dampak negatif. Sebagai mahasiswa kita hendaknya mengetahu banyak hal berkaitan dengan
kebudayaan di Indonesia karena sebagai kaum yang memiliki inteligen yang tinggi kita mampu
memberikan contoh yang baik sekaligus turut mengembangkan dan melestarikan kebudayaan dan tradisi
masyarakat Indonesia yang membawa dampak positif secara sosial dan ekonomi.

Anda mungkin juga menyukai