Anda di halaman 1dari 3

Nama : Abi Zainur Muzakki

Delegasi : Rayon Al-Khawarizmi, Komisariat IAIN Tulungagung

Islam Nusantara Sebagai Karakter Aswaja An-Nahdliyah

Akhir-akhir ini terutama setelah Muktamar NU ke-33 pada tahun 2015 di Jombang Islam Nusantara
jadi wacana publik tak hanya di kalangan warga Nahdlatul Ulama, tetapi seluruh masyarakat Indonesia
juga ikut memperbincangkannya. Seolah-olah ada anggapan bahwa Islam Nusantara adalah hal baru.
Hal ini wajar karena Nahdlatul Ulama (NU) adalah ormas terbesar bangsa ini. Jika terjadi perubahan di
dalam organisasi ini, pengaruhnya segera dirasakan oleh seluruh negeri. Karena itu, bentuk apresiasi
publik seperti ini sangatlah positif, baik bagi NU maupun bagi negeri ini.

Menurut KH Said Aqil Sirad, istilah Islam Nusantara merujuk pada fakta sejarah penyebaran Islam di
wilayah Nusantara yang disebutnya dengan cara pendekatan budaya, tidak dengan doktrin yang kaku
dan keras. “Islam Nusantara ini didakwahkan merangkul budaya, melestarikan budaya, menghormati
budaya, tidak malah memberangus budaya," katanya usai acara kepada BBC Indonesia. Dari pijakan
sejarah itulah, menurutnya, NU akan terus mempertahankan karakter Islam Nusantara yaitu "Islam yang
ramah, anti radikal, inklusif dan toleran." KH. Said Aqil menegaskan, model seperti ini berbeda dengan
apa yang disebutnya sebagai Islam Arab yang selalu konflik dengan sesama Islam dan perang saudara."

Dalam pengertian hukum, kita sah dan wajar menambahkan pada ‘Islam’ kata deiksis, seperti Islam
Nusantara, Islam Amerika, Islam Mesir, dan seterusnya. Makna Islam Nusantara tak lain adalah
pemahaman, pengamalan, dan penerapan Islam dalam segmen fiqih mu’amalah sebagai hasil dialektika
antara nash, syari’at, dan ‘urf, budaya, dan realita di bumi Nusantara.

Pada hakikatnya Islam Nusantara itu adalah Islam di Nusantara yang empirik dan distingtif sebagai
hasil interaksi, kontekstualisasi, indigenisasi, penerjemahan, vernakularisasi Islam universal dengan
realitas sosial, budaya, dan sastra di Indonesia. Akan tetapi hal ini mengalami penolakan karena istilah
itu tidak sejalan dengan dengan keyakinan bahwa Islam itu satu dan merujuk pada yang satu (sama)
yaitu Al-Qur’an danAs-Sunah. Sebenarnya itu adalah salah satu kegagalan dalam memahami hakikat
islam nusantara itu sendiri, dan kegagalan itu diadikan nyinyiran seolah-olah warga NU itu anti segala
sesuatu yang berbau arab. Mereka yang menuduh juga menyindir kalau warga NU wafat akan
dikafankan dengan kain batik, bukan kain kafan putih. Ini tentu tuduhan ngawur yang merefleksikan
ketidakpahaman mereka mengenai gagasan Islam NUsantara.

Warga NU tahu ilmunya sehingga dalam soal budaya Nusantara mereka mengakomodasinya secara
proporsional. Islam NUsantara bukan menabrak Syari'at tapi mengisi aplikasi penerapan Syari'at
dengan mengkomodasi budaya. Dalam bahasa Ushul al-Fiqh ini disebut dengan: al-'Adah Muhakkamah
(adat kebiasaan dijadikan panduan menetapkan hukum). Begitu juga dengan kaidah: al-Ma'ruf 'urfan
ka al-Masyrut Syartan (hal baik yg sudah dikenal secara kebiasaan diterima seperti halnya syarat) atau
al-Tsabit bi al-dalalah al-'urf ka al-tsabit bi al-dalalah al-nash (yang ditetapkan dengan indikasi dari adat
sama statusnya dengan yang ditetapkan berdasarkan petunjuk nash). Dan juga kaidah lainnya: Ma raahu
al-muslimun hasanan fa huwa 'indallah hasan (apa yang dianggap baik oleh umat Islam maka di sisi
Allah pun dianggap baik). Semua kaidah ini sudah dipelajari bagaimana penerapannya di masyarakat
Indonesia oleh para kiai Nahdlatul Ulama (NU). Itu sebabnya NU itu lentur, fleksibel tapi juga lurus.
Dalam bahasa lain, NU itu tawazun, tasamuh, tawasuth dan i'tidal. Kalau cuma lurus saja, belum
komplet NU-nya. Kalau cuma lentur saja, juga belum komplet ke-NU-annya. Berikut beberapa alasan
pendukung :
1. Ajaran Islam Nusantara, baik dalam bidang fikih (hukum), tauhid (teologi), ataupun
tasawuf (sufism) sebagian telah diadaptasi dengan aksara dan bahasa lokal. Sekalipun untuk
beberapa kitab tertentu tetap menggunakan bahasa Arab, walaupun substansinya berbasis
lokalitas, seperti karya Kyai Jampers Kediri.
2. Praktik keislaman di Nusantara, seperti tahlilan, tujuh bulanan, muludan, bedug/kentongan,
sholawatan, ngunduh mantu, halal bi halal sesungguhnya dapat memberi kontribusi pada
harmoni, keseimbangan hidup di masyarakat. Keseimbangan ini menjadi salah satu karakter
Islam Nusantara, dari dulu dan saat ini atau ke depan.
3. Dalam hal berpakaian ada yang memakai sarung, kpyah, pakaian adat,dsb
4. Dalam hal toleransi pengamalan ada yang sholat id di lapangan, ada yang sholat tarawih 20, 8
rakaat, dalam pemisahan shalat tarawih ada yang memisahnya dengan taradhi bagi empat
khulafa’ ar-Rasyidin, dengan sholawat, dengan do’a, dsb. Dalam aqiqah ada yang diisi shlawatan,
tahlilan, dsb.
5. Dalam hal toleransi dengan budaya, ada yang melarang menyembelih sapi seperti di kudus, adat
pengantin yang menggunakan janur, dsb.
6. Dalam hal toleransi dengan agama lain, ada hari libur nasional karena hari raya islam, hindubudha
dsb.
7. Adat yang tetap berpegang dengan syari’at Islam itu dapat membuktikan praktik hidup
yang toleran, moderat, dan menghargai kebiasaan pribumi, sehingga ajaran Ahlus sunnah wal
jamaah dapat diterapkan. Tradisi yang baik tersebut perlu dipertahankan, dan boleh mengambil
tradisi baru lagi, jika benar-benar hal itu lebih baik dari tradisi sebelumnya.
8. Manuskrip (catatan tulisan tangan) tentang keagamaan Islam, baik babad, hikayat, primbon, dan
ajaran fikih, dst. sejak abad ke-18/20 merupakan bukti filologis bahwa Islam Nusantara itu telah
berkembang dan dipraktikkan pada masa lalu oleh para ulama dan masyarakat, terutama di
komunitas pesantren.
9. Karakter Islam Nusantara, seperti disebut sebelum ini, tidaklah berlebihan jika dapat menjadi
pedoman berfikir dan bertindak untuk memahami ajaran Islam saat ini, sehingga terhindar dari
pemikiran dan tindakan radikal yang berujung pada kekerasan fisik, dan kerusakan alam.
10. NU sebagai organisasi yang dilahirkan untuk mengawal tradisi para ulama Nusantara, terutama
saat keemasannya, Walisongo, penting kiranya untuk tetap mengawal dan menegaskan kembali
tentang Islam Nusantara, yang senantiasa mengedapkan toleransi

Dari kesemuanya di benak saya muncul istilah, nusantara ini di islamkan atau islam di nusantarakan.
Kalau nusantara ini diislamkan ya masuk akal, asalkan jangan sampai membuat indonesia menjadi
negara islam. Akan tetapi cara mengislamkan nusantara tidak seharusnya dengan cara yang radikal,
bahkan di nusantara ini terdiri dari berbagai macam ras, suku, etnis, agama, dsb. Maka dari itu kita akan
mengalami kesulitan jika mengislamkan nusantara. Nah apabila islam di nusantarakan, itulah yang
berusaha digalakkan oleh warga nahdliyin. Seperti halnya pada poin 1-10. Islam nusantara hanyalah
persoalan kemasan budaya yang dijadikan alat untuk membungkus ajaran islam yang dijalankan. Islam
Nusantara bolak balik dijelaskan bukan madzhab jg bukan produk hukum melainkan khosois (ciri
khas/kearifan lokal) muslim di Nusantara yg menekankan penyebaran dakwah Islam secara substantif
bukan sekedar simbolis. Ulama NUsantara menyerap Intisari ajaran Islam ke sendi-sendi kehidupan
masyarakat Nusantara sehingga mudah diterima. Para Waliyulloh dari Yaman, Persia, India, bahkan
dari China memberi corak pada perkembangan Islam di Nusantara. Islam kagetan ala Wahhabi yg baru
muncul di zaman akhir ini kemudian masuk ke Indonesia se akan-akan paling Islami mulai menyalah-
nyalahkan, mensyirikkan, membid’ahkan, bahkan mengkafirkan. Islam kagetan tersebut justru bukan
membangun peradaban tp malah memunculkan perpecahan di tengah2 bangsa Indonesia. Karena semua
alasan itulah kita mulai perlu memberi identitas keIslaman kita yang bersanding dengan kultur
keNUsantaraan kita. Entahlah, kenapa masalah yang terang benderang seperti ini saja masih banyak
pihak yang gagal paham (atau memang sengaja tidak mau paham) dan terus membenturkan Islam
NUsantara dengan model penafsiran dan aplikasi Islam lainnya. Atau memang ada pihak yang akan
bertepuk tangan melihat kita terus gontok-gontokkan? Na'udzubillah min dzalik.

Anda mungkin juga menyukai