Anda di halaman 1dari 2

“Dengan membaca kalian mengenal dunia, dengan menulis kalian dikenal dunia”

Abi Zainur Muzakki – Pena Ananda Tulungagung

Buah dari litrasi, adalah kedamaian yang tidak terukur. Ketika orang benar-benar
memahami dan memaknai suatu keadaan dengan kualifikasi yang baik, karena Literasi adalah
nafas pendidikan yang akan menghidupkan segala peradaban, kebudayaan juga kekuatan jiwa.
Mengingat harapan penting dari sebuah pendidikan nasional, “Mencerdaskan kehidupan
bangsa dan mengembangkan manusia Indoensia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan
bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan
dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta
rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan.”. Namun, sepertinya komponen itu
sampai saat ini masih menjadi tugas besar. Bukan saja bagi pendidikan tetapi pemikiran
bersama. Pasalnya, jika melihat realita yang ada momok pendidikan masih begitu besar.
Karekater-karakter bangsa semakin lama semakin menurun sejalan perkembangan jaman,
budaya instan membuat daya saing lemah, perkembangan jaman membuat gerasi terombang-
ambing, serta kebudayaan yang semakin terlupakan. Semua itu dapat kita tangkis dengan
menumbuh kembalikan budaya literasi karena literasi merupakan suplemen utama bagi peserta
didik untuk mengembangkan daya nalar, pola pikir, dan kekritisannya. Literasi yang terus
dibudayakan mampu membuat produktivitas peserta didik meningkat. Selain itu, budaya
literasi yang telah mendarah daging dapat dijadikan pijakan kuat hingga terhindar dari seleksi
kehidupan yang semakin edan. Akan tetapi faktanya banyak kalangan elit pendidikan yang
mulai meninggalkan dunia literasi karena sibuk dengan pengkajian literasi yang sudah ada.

Data UNESCO menunjukkan bahwa dalam hal minat membaca, Indonesia mendapat
angka 0.001 saja. Data ini memberi tafsiran bahwa dari 1000 orang yang ada di Indonesia,
hanya 1 orang saja yang masih rutin membaca buku. Realita itu tentu terasa ironis jika
dibandingkan dengan total 266,927,71 individu yang hidup di berbagai pelosok nusantara yang
artinya hanya ada sekitar 266 ribu orang saja yang masih rajin membaca. Pencapaian tersebut
selanjutnya berkontribusi pada posisi negara Indonesia dalam urutan 60 dari 61 negara seperti
yang dikemukakan oleh The World Most Literate Nation Ranked. Kalau kita analisis
kebanyakan Negara yang menjajaki posisi teratas ternyata telah menjadikan budaya membaca
sebagai budaya nasional mereka di samping menyiapkan output yang berkompeten di masa
depan. Jika hanya mengukur hasil tes atau performa akademik, maka negara lainnya seperti
jepang atau china dapat lebih unggul dibandingkan negara Nordic seperti Finlandia. Tetapi
peneliti dalam studi tersebut (Miller) percaya bahwa literasi bukan hanya soal angka, namun
juga soal kualitas. Sehingga performa yang baik dalam ujian atau penelitian saja tidak cukup,
apabila masyarakatnya tidak menjiwai pentingnya membaca buku. Merujuk pada hasil
penelitian tersebut, tentu sudah sepatutnya kita mulai berbenah dan memperbaiki cara pandang
kita akan dunia literasi.

Dalam kisah RA Kartini kita dapat mengambil pelajaran yang sangat berpengaruh pada
perkembangan pola berfikir bahwa perempuan mempunyai hak yang sama dengan laki-laki di
dalam ruang hidup. Ternyata, setelah kita melihat lebih jauh bahwa apa yang membedakan
sosok Kartini dengan perempuan lainnya adalah soal kesempatan dalam belajar dan berliterasi,
karena dengan membaca Kartini dalam melihat dan membaca realitas secara lebih luas. Seperti
kata Premoedya dia adalah sosok perempuan yang penanya jauh melampaui batasan-batasan
waktu. Tubuhnya memang dikrangkeng dalam tembok tebal rumahnya sendiri, segala
aktivitasnya dibatasi oleh feodalisme Jawa yang mengekang Perempuan pribumi. Namun
melalui tulisan-tulisan nya yang diterbitkan dalam jurnal berbahasa Belanda, Kartini justru
membuat orang-orang Belanda mengubah semua pandangan dan stereotype atas perempuan
pribumi. Habis Gelap Terbitlah Terang, iya lewat kumpulan surat-surat Kartini kepada para
sahabatnya, Rosa Abendanon merupakan catatan harian seorang gadis muda yang ternyata
dapat membawa perubahan arus sejarah besar bagi perkembangan diskursus Bangsa yaitu
emansipasi. Iya, emansipasi.

Literasi mempunyai makna lebih luas, tidak hanya sekadar membaca, tetapi lebih
mengarah kepada kemampuan mengolah informasi untuk mengembangkan potensi diri,
sehingga menjadi pribadi yang lebih baik. Tanpa disadari literasi telah lekat dalam kegiatan
akademik selama bersekolah. Mulai dari membaca buku, berdiskusi tentang pelajaran atau
tugas dengan teman, serta membuat tulisan. Semua itu adalah bagian pokok dari literasi.

Akhir kata, saya berharap agar kegiatan literasi bukan hanya menjadi suatu keharusan,
Namun dapat menjadi budaya yang mengakar kuat dalam hidup bermasyarakat, meski
perlahan. Sehingga ke depannya, Indonesia dapat menciptakan rekor yang lebih baik dalam
dunia literasi.

Anda mungkin juga menyukai