Setelah itu, perjuangan bangsa Indonesia mengalir dalam satu saluran tertentu,
Setelah hari ini jugalah bangsa Indonesia bertindak ke luar atas nama negaranya
No. 1 – 11
ii
DAFTAR ISI
Cover ............................................................................................................................................................ i
iii
MENGANALISIS PERKEMBANGAN Dan
TANTANGAN AWAL KEMERDEKAAN
Secara politis keadaan Indonesia pada awal kemerdekaan belum begitu mapan. Ketegangan, kekacauan,
dan berbagai insiden masih terus terjadi. Hal ini tidak lain karena masih ada kekuatan asing yang tidak rela kalau
Indonesia merdeka. Sebagai contoh rakyat Indonesia masih harus bentrok dengan sisasisa kekuatan Jepang.
Jepang beralasan bahwa ia diminta oleh Sekutu agar tetap menjaga Indonesia dalam keadaan status quo. Di
samping menghadapi kekuatan Jepang, bangsa Indonesia harus berhadapan dengan tentara Inggris atas nama
Sekutu, dan juga NICA (Belanda) yang berhasil datang kembali ke Indonesia dengan membonceng Sekutu.
Pemerintahan memang telah terbentuk, beberapa alat kelengkapan negara juga sudah tersedia, tetapi karena baru
awal kemerdekaan tentu masih banyak kekurangan. PPKI yang keanggotaannya sudah disempurnakan berhasil
mengadakan sidang untuk mengesahkan UUD dan memilih Presiden-Wakil Presiden. Bahkan untuk menjaga
keamanan negara juga telah dibentuk TNI.
Kondisi perekonomian negara masih sangat memprihatinkan, sehingga terjadi inflasi yang cukup berat.
Hal ini dipicu karena peredaran mata uang rupiah Jepang yang tak terkendali, sementara nilai tukarnya sangat
rendah. Permerintah RI sendiri tidak bisa melarang beredarnya mata uang tersebut, mengingat Indonesia sendiri
belum memiliki mata uang sendiri. Sementara kas pemerintah kosong, waktu itu berlaku tiga jenis mata uang:
De Javaesche Bank, uang pemerintah Hindia Belanda, dan mata uang rupiah Jepang. Bahkan setelah NICA
datang ke Indonesia juga memberlakukan mata uang NICA. Kondisi perekonomian ini semakin parah karena
adanya blokade yang dilakukan Belanda (NICA). Belanda juga terus memberi tekanan dan teror terhadap
pemerintah Indonesia. Inilah yang menyebabkan Jakarta semakin kacau, sehingga pada tanggal 4 Januari 1946
Ibu Kota RI pindah ke Yogyakarta. Pada 1 Oktober 1946, Indonesia mengeluarkan uang RI yang disebut ORI,
uang NICA dinyatakan sebagai alat tukar yang tidak sah. Struktur kehidupan masyarakat mulai mengalami
perubahan, tidak ada lagi diskriminasi. Semua memiliki hak dan kewajiban yang sama. Sementara dalam hal
pendidikan, pemerintah mulai menyelenggarakan pendidikan yang diselaraskan dengan alam kemerdekaan.
Menteri Pendidikan dan Pengajaran juga sudah diangkat. Kamu tahu siapa Menteri Pendidikan dan Pengajaran
yang pertama di Indonesia?
Bagi Sekutu dan Belanda, Indonesia dalam masa vacuum of power atau kekosongan pemerintahan.
Karena itu, logika Belanda adalah kembali berkuasa atas Indonesia seperti sebelum Indonesia direbut Jepang.
Atau dengan kata lain, Belanda ingin menjajah kembali Indonesia. Bagi Sekutu, setelah selesai PD II, maka
negara-negara bekas jajahan Jepang merupakan tanggungjawab Sekutu. Sekutu memiliki tanggungjawab
pelucutan senjata tentara Jepang, memulangkan tentara Jepang, dan melakukan normalisasi kondisi bekas
jajahan Jepang? Bayangan Belanda tentang Indonesia jauh dari kenyataan. Faktanya, rakyat Indonesia telah
memproklamasikan kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945. Kondisi ini tentu bertolak belakang dengan
bayangan Belanda dan Sekutu. Karena itu, dapat diprediksi kejadian berikutnya, yakni pertentangan atau konflik
antara Indonesia dan Sekutu maupun Belanda.
Sekutu masuk ke Indonesia melalui beberapa pintu wilayah Indonesia terutama daerah yang merupakan
pusat pemerintahan pendudukan Jepang seperti Jakarta, Semarang, dan Surabaya. Setelah PD II, terjadi
perundingan Belanda dengan Inggris di London yang menghasilkan Civil Affairs Agreement. Isinya tentang
pengaturan penyerahan kembali Indonesia dari pihak Inggris kepada Belanda, khusus yang menyangkut daerah
Sumatra, sebagai daerah yang berada di bawah pengawasan SEAC (South East Asia Command). Di dalam
perundingan itu dijelaskan langkah-langkah yang ditempuh sebagai berikut.
1. Fase pertama, tentara Sekutu akan mengadakan operasi militer untuk memulihkan keamanan dan
ketertiban.
2. Fase kedua, setelah keadaan normal, pejabat-pejabat NICA akan mengambil alih tanggung jawab koloni
itu dari pihak Inggris yang mewakili Sekutu.
Setelah diketahui Jepang menyerah pada tanggal 15 Agustus1945, maka Belanda mendesak Inggris agar
segera mensahkan hasil perundingan tersebut. Pada tanggal 24 Agustus 1945, hasil perundingan tersebut
disahkan. Berdasarkan persetujuan Potsdam, isi Civil Affairs Agreement diperluas. Inggris bertanggung jawab
untuk seluruh Indonesia termasuk daerah yang berada di bawah pengawasan SWPAC (South West Pasific Areas
Command). Untuk melaksanakan isi Perjanjian Potsdam, maka pihak SWPAC di bawah Lord Louis
Mountbatten di Singapura segera mengatur pendaratan tentara Sekutu di Indonesia. Kemudian pada tanggal 16
September 1945, wakil Mountbatten, yakni Laksamana Muda WR Patterson dengan menumpang Kapal
Cumberland, mendarat di Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya. Dalam rombongan Patterson ikut serta Van Der
Plass seorang Belanda yang mewakili H.J. Van Mook (Pemimpin NICA).
Setelah informasi dan persiapan dipandang cukup, maka Louis Mountbatten membentuk pasukan komando
khusus yang disebut AFNEI (Allied Forces Netherlands East Indiers) di bawah pimpinan Letnan Jenderal Sir
Philip Christison. Mereka tergabung di dalam pasukan tentara Inggris yang berkebangsaan India, yang sering
disebut sebagai tentara Gurkha. Tugas tentara AFNEI sebagai berikut.
4. Pertempuran di Surabaya
Kontak senjata yang terjadi di Surabaya antara pasukan Indonesia dan pasukan Sekutu berkaitan
dengan usaha perebutan kekuasaan dan senjata dari tangan Jepang dimulai tanggal 2 September 1945.
Salah satu tokoh dan pemimpin perjuangan rakyat Surabaya adalah Bung Tomo. Dalam
pertempuran yang tidak seimbang, Bung Tomo terus mengobarkan semangat rakyat supaya terus maju,
pantang mundur.
PERJANJIAN LINGGARJATI
Perjanjian Linggarjati merupakan langkah-langkah yang diambil oleh pemerintah Republik Indonesia
untuk memperoleh pengakuan kedaulatan dari pemerintah Belanda dengan jalan diplomatik. Perjanjian itu
melibatkan pihak Indonesia dan Belanda, serta Inggris sebagai penengah. Tokoh-tokoh dalam perundingan itu
adalah Letnan Jenderal Sir Philip Christison dari Inggris, seorang diplomat senior serta mantan duta besar
Inggris di Uni Soviet, yang kemudian diangkat sebagai duta istimewa Inggris untuk Indonesia. Wakil dari
Belanda adalah Dr. H.J. Van Mook. Indonesia diwakili Perdana Menteri Republik Indonesia Sutan Sjahrir.
Van Mook adalah kelompok orang Belanda yang lahir di Indonesia, yaitu di Semarang. Ia juga seorang
penganjur persekutuan sejak tahun 1930-an yang termasuk dalam kelompok pendorong, yaitu gerakan orang
Belanda di tanah jajahan Hindia Belanda yang bertujuan untuk menjadikan Hindia Belanda sebagai tanah air
mereka dalam bentuk persemakmuran. Atas pandangan itu suatu saat nanti Indonesia menjadi bagian sesuai
dengan makna politik dan sosialnya sendiri. Atas dasar pemikirannya itu Van Mook berkeinginan keras untuk
kembali ke Indonesia. Sebagai seorang Letnan Gubernur Jenderal Hindia Belanda, Van Mook lebih siap
menghadapi perubahan situasi daripada pemerintahan yang ada di Negeri Belanda. Namun ia mendapatkan
situasi yang jauh dari perkiraannya, proklamasi kemerdekaan Indonesia dengan segala konsekuensinya itu tidak
mungkin untuk ditarik kembali. Belanda hanya dapat menolak dan tidak mengakui negeri jajahannya sebagai
negara yang berdaulat.
Pada awal kehadirannya di Jakarta, Van Mook mendapat tekanan baik dari Sekutu maupun ancaman
perlawanan dari pihak revolusioner Indonesia. Pada awal itu Van Mook bersedia untuk melakukan perundingan,
meskipun pemerintah Belanda melarangnya untuk bertemu dengan Sukarno. Pada 14 Oktober 1945, Van Mook
bersedia bertemu dengan Sukarno dan “kelompok-kelompok Indonesia”. Ia tidak mau menyebut sebagai
Republik Indonesia, karena pemerintah Belanda belum mengakui pemerintahan Republik Indonesia. Dalam
pokok pikiran Van Mook menyatakan, bahwa NICA bersedia membangun hubungan ketatanegaraan yang baru
dan status Indonesia menjadi “negara dominion” dalam persekutuan “persemakmuran Uni-Belanda”.
Demikianlah karena tidak ada titik temu antara Indonesia dan Belanda, Cristison tetap berusaha
mempertemukan mereka. Pemerintah Belanda diwakili oleh Van Mook dan wakilnya, Charles O. Van der Plas.
Indonesia diwakili oleh Sukarno dan Moh. Hatta yang didampingi oleh H. Agus Salim dan Ahmad Subarjo.
Dalam pertemuan itu tidak ada hasil yang memuaskan bagi pihak Indonesia. pihak Belanda masih menginginkan
kebijakan politiknya yang lama. Pada minggu-minggu terakhir Oktober 1945, berbagai insiden dan konfrontasi
dengan semakin banyaknya tentara NICA yang datang ke Indonesia. Konfrontasi itu menyebabkan pihak sekutu
ingin segara mengakhiri tugasnya di Indonesia, terlebih ketika aksi-aksi kekerasan di kota besar di Indonesia,
terutama pertempuran sengit di Surabaya. Pihak sekutu ingin segera meninggalkan Indonesia, tetap tidak
mungkin melepaskan tanggungjawab internasionalnya. Untuk itulah satu-satunya jalan untuk menyelesaikan itu
dengan melakukan perundingan.
D. Konferensi Malino
Dalam situasi politik yang tidak menentu di Indonesia, Belanda melakukan tekan politik dan militer
di Indonesia. Tekanan politik dilakukan dengan menyelenggarakan Konferensi Malino, yang bertujuan
untuk membentuk negara-negara federal di daerah yang baru diserahterimakan oleh Inggris dan Australia
kepada Belanda. Disamping itu, di Pangkal Pinang, Bangka diselenggarakan konferensi untuk golongan
minoritas. Konferensi Malino diselenggarakan pada 15-26 juli 1946, sedangkan Konferensi Pangkal Pinang
pada 1 Oktober 1946. Diharapkan daerah-daerah ini akan mendukung Belanda dalam pembentukan negara
federasi. Di samping itu, Belanda juga terus mengirim pasukannya memasuki Indonesia. Dengan demikian
kadar permusuhan antara kedua belah pihak semakin meningkat. Namun usahausaha diplomasi terus
dilakukan. Sebagai contoh tanggal 14 Oktober 1946 tercapai persetujuan gencatan senjata. Usaha-usaha
perundingan pun terus diupayakan.
Agresi Militer Belanda I ternyata menimbulkan reaksi yang hebat dari dunia Internasional. Pada tanggal
30 Juli 1947. Permintaan resmi agar masalah Indonesia segera dimasukkan dalam daftar acara Dewan
Keamanan PBB. Pada tanggal 1 Agustus 1947, Dewan Keamanan PBB memerintah penghentian permusuhan
antara kedua belah pihak. Gencatan senjata mulai berlaku tanggal 4 Agustus 1947. Guna mengawasi
pelaksanaan gencatan senjata, dibentuk Komisi Konsuler yang anggotanya terdiri atas konsul jenderal yang
ada di Indonesia. Komisi Konsuler yang dikuasi oleh Konsuler Jenderal Amerika Serikat Dr. Walter Foote
dengan anggotanya Konsul Jenderal Cina, Prancis, Australia, Belgia dan Inggris.
Masalah Indonesia-Belanda telah dibawa dalam sidang-sidang PBB. Hal ini menunjukkan bahwa
masalah Indonesia telah menjadi perhatian bangsabangsa dunia. Kekuatan Indonesia di forum internasionalpun
semakin kuat dengan kecakapan para diplomator Indonesia yang meyakinkan negara-negara lain bahwa
kedaulatan Indonesia sudah sepantasnya dimiliki bangsa Indonesia. Tentu saja bahwa kepercayaan bukan
disebabkan oleh para diplomator saja. Perjuangan rakyat Indonesia adalah bukti bahwa kemerdekaan merupakan
kehendak seluruh rakyat Indonesia. PBB sebagai organisasi internasional berperan aktif menyelesaikan konflik
antara RI dengan Belanda. Berikut ini beberapa peran PBB dalam penyelesaian konflik Indonesia Belanda.
Atas usul Amerika Serikat DK PBB membentuk Komisi Tiga Negara (KTN) yang beranggotakan
Amerika Serikat, Australia, dan Belgia. KTN berperan aktif dalam penyelenggaraan Perjanjian Renville
Serangan Belanda pada Agresi Militer II dilancarkan di depan mata KTN sebagai wakil DK PBB di Indonesia.
KTN membuat laporan yang disampaikan kepada DK PBB, bahwa Belanda banyak melakukan pelanggaran. Hal
ini telah menempatkan Indonesia lebih banyak didukung negara-negara lain.
B. DELEGASI:
Delegasi Indonesia dipimpin oleh Perdana MenteriAmir Syarifuddin Harahap. DelegasiKerajaan
Belandadipimpin oleh KolonelKNILAbdulkadir Widjojoatmodjo. Delegasi Amerika Serikat dipimpin
olehFrank Porter Graham.
C. GENCATAN SENJATA
Pemerintah RI dan Belanda sebelumnya pada17 Agustus1947sepakat untuk melakukan gencatan senjata
hingga ditandatanganinya Persetujuan Renville, tapi pertempuran terus terjadi antara tentara Belanda
dengan berbagai laskar-laskar yang tidak termasuk TNI, dan sesekali unit pasukan TNI juga terlibat baku
tembak dengan tentara Belanda, seperti yang terjadi antaraKarawangdanBekasi
SOAL !
1. Apa penyebab Benda menginkari Perjanjian Renvill ?
2. Mengapa isi Perjanjian Renvill merugikan Indonesia ?
3. Kedudukan belanda berdasarkan hasil Perundingan Renvill !
4. Mngapa Perjanjian Renvill banyak dikecam oleh kalangan bangsa sendiri ?
5. Dampak Perundingan Renvill bagi Indonesia !
6. Mengapa Abdulkadir widjojoatmojo menjadi delegasi Belanda dalam Perjanjian Renvill ?
7. Terjadinya Perundingan Renvill menimbulkan perbedaan pendapat para tokoh bangsa Indonesia.
Jelaskan alasan tokoh menetang hasil Perundingan Renvill ?
Dimulai ketika pihak Belanda yang tetap bersikukuh menguasai Indonesia mencari dalih untuk dapat melanggar
perjanjian yang telah disepakati. Bahkan pihak Belanda menuduh jika pihak Indonesia tidak menjalankan
isi perundinganRenville. Oleh karena itu pihak TNI dan pemerintah Indonesia sudah memperhitungkan bahwa
sewaktu-waktu Belanda akan melakukan aksi militernva untuk menghancurkan republik dengan kekuatan
senjata. Untuk menghadapi kekuatan Belanda itu, didirikan Markas Besar Komando Djawa (NIBKD) vang
dipimpin oleh Kolonel Abdul Haris Nasution dan Markas Besar Komando Sumatra (MBKS) yang dipimpin oleh
Kolonel Hidayat.
Janji itu ditepati, pada saat Belanda menyerang Yogyakarta ia bangkit dari tempat tidurnya dan
mengajak presiden untuk memimpin gerilya, tetapi ajakan tersebut ditolak. Dengan diiringi ajudan dan
pasukan pengawalnya, Jenderal Sudirman naik gunung-turun gunung, serta keluar-masuk hutan
menembus teriknya matahari dan derasnya hujan untuk memimpin perlawanan rakyat semesta. Bahkan
beliau dan para pengawalnya sempat menetap selama 99 hari sejak tanggal 31 Maret 1949 hingga 7 Juli
1949 di desa Pakis, Sobo, Kecamatan Nawangan, Pacitan, Jawa Timur.
Dari rumah markas gerilya itulah Panglima Besar Jenderal Sudirman memimpin perang gerilya,
termasuk memberi perintah serangan umum. Pada masa yang paling gelap bagi Republik Indonesia,
Jenderal Sudirman memberikan pegangan dan kekuatan batin kepada rakyat dan prajurit yang berjuang
untuk kelangsungan hidup negaranya. Sementara itu MBKD dan MBKS kembali diaktifkan di bawah
komando panglimanya masing-masing. Pemerintah militer tetap melakukan kegiatarmya. Dengan
demilcian, Republik Indonesia masih berdiri tegak.
Belanda mengira dengan jatuhnya kota Yogyakarta, kekuatan TNI akan hancur berantakan.
Dengan demikian, berarti kampanye militer mereka telah selesai, tinggal melaksanakan operasi
pembersihan yang memerlukan waktu satu dua bulan. Ternyata dugaan Belanda itu keliru sama sekali.
Pada pukulan pertama ternyata pasukan TNI tidak hancur. Pasukan Belanda dibiarkan bergerak maju
untuk menguasai daerah perkotaan. Sedangkan pasukan mundur ke daerah pedalaman untuk
merencanakan pelaksanaan Wingate Operation dan menyusun daerah perlawanan (wehrkreis).
Editor : Abi Zainur Muzakki | AHMAD BANGKIT 15
B. TITIK BALIK AGRESI MILITER 2
Dalam waktu satu bulan, pasukan TNI telah berhasil melakukan konsolidasi dan mulai
memberikan pukulan secara teratur kepada musuh. Seluruh Jawa dan Sumatra menjadi satu daerah gerilya
yang menyeluruh. Tekanan terhadap pasukan Belanda ditingkatkan. Penghadangan terhadap konvoi
perbekalan tentara Belanda berhasil dilakukan. Serangan umum yang dilaksanakan terhadap kota-kota
yang diduduki Belanda mulai dilaksanakan oleh pasukan TNI. Serangan yang paling terkenal adalah
Serangan Umum 1 Maret 1949 terhadap kota Yogyakarta di bawah pimpinan Komandan Brigade X
Letnan Kolonel Soeharto.
Pasukan I N I berhasil menduduki kota Yogyakarta selama 6 jam. Sementara itu, Sri Sultan
Hamengku Buwono IX menolak kerja sama dari Belanda. Sultan mendukung segala tindakan para
pemimpin gerilya. Di samping itu, perjuangan dalam rangka menegakkan kedaulatan Republik Indonesia
juga dilakukan di luar negeri. Dengan modal sumbangan pesawat rakyat Aceh, W. Supomo membentuk
armada udara komersial vang berpangkalan di Myanmar (Burma). Hasil penerbangan komersial itu
dijadikan modal untuk membiayai pemakilan Republik Indonesia di luar negeri. Selain itu, dibuka
komunikasi radio antara Wonosari, Bukittinggi, Rangoon (sekarang Yangoon), dan New Delhi.
Agresi Militer Belanda 2 ternyata menarik perhatian PBB, karena Belanda secara terang-
terangan tidak mengakui lagi Perjanjian Renville di depan Komisi Tiga Negara yang ditugaskan oleh PBB.
Pada tanggal 24 Januari 1949 Dewan keamanan PBB mengeluarkan resolusi agar Republik Indonesia dan
Belanda segera menghentikan permusuhan. Kegagalan Belanda di medan tempur dan tekanan Amerika
Serikat yang mengancam akan memutuskan bantuan ekonomi dan keuangan memaksa Belanda untuk
kembali ke meja perundingan.
SOAL !
1. Kapan pejabat Belanda Dr. Beel menyatakan tidak lagi mengakui isi perjanjian Renville ?
2. Pada tanggal berapa dan dimana Belanda melancarkan Agresi Militer II
3. Siapa yang ditugasi membuat PDRI di Bukit Tinggi ?
4. Apa kepanjangan PDRI ?
5. Selain di Bukit Tinggi dimanakah PDRI di buat bila Mr. Syarifudin Prawiranegara tidak berhasil membuat
PDRI di Bukit Tinggi ?
6. Siapa saja tokoh Indonesia yang sedang berada di India, untuk membentuk pemerintahan r disana ?
7. Dimanakah presiden Soekarno dan wakil presiden Moh. Hatta diasingkan pada waktu agresi Militer II ?
8. Siapakah tokoh militer yang menyertai jendral sudirman dalam bergerilya ?
9. Apa yang diperintahkan Jendral Sudirman saat perang Gerilya ?
Apa yang dilakukan Belanda ketika Belanda kebingungan menghadapi perang Gerilya ?
Pada saat terjadi agresi militer Belanda II, Presiden Sukarno telah membuat mandat kepada Syafruddin
Prawiranegara yang ketika itu berada di Bukittinggi untuk membentuk pemerintah darurat. Sukarno
mengirimkan mandat serupa kepada Mr. Maramis dan Dr. Sudarsono yang sedang berada di New Delhi, India
apabila pembentukan PDRI di Sumatra mengalami kegagalan. Namun, Syafruddin berhasil mendeklarasi
berdirinya Pemerintah Darurat Republik Indonesia ini dilakukan di Kabupaten Lima Puluh Kota pada tanggal 19
Desember 1948.
Susunan pemerintahannya antara lain sebagai berikut.
a. Mr. Syafruddin Prawiranegara sebagai ketua merangkap Perdana Menteri, Menteri Pertahanan
dan Menteri Penerangan.
b. Mr. T.M. Hassan sebagai wakil ketua merangkap Menteri Dalam Negeri, Menteri Pendidikan,
dan Menteri Agama.
c. Ir. S.M. Rasyid sebagai Menteri Keamanan merangkap Menteri Sosial, Pembangunan dan
Pemuda.
d. Mr. Lukman Hakim sebagai Menteri Keuangan merangkap Menteri Kehakiman.
e. Ir. Sitompul sebagai Menteri Pekerjaan Umum merangkap Menteri Kesehatan.
f. Maryono Danubroto sebagai Sekretaris PDRI.
g. Jenderal Sudirman sebagai Panglima Besar.
h. Kolonel A.H. Nasution sebagai Panglima Tentara Teritorial Jawa.
i. Kolonel Hidayat sebagai Panglima Tentara Teritorial Sumatra.
Peranan PDRI antara lain sebagai berikut. PDRI dapat berfungsi sebagai mandataris kekuasaan
pemerintah RI dan berperan sebagai pemerintah pusat. PDRI juga berperan sebagai kunci dalam mengatur arus
informasi, sehingga mata rantai komunikasi tidak terputus dari daerah yang satu ke daerah yang lain. Radiogram
mengenai masih berdirinya PDRI dikirimkan kepada Ketua Konferensi Asia, Pandit Jawaharlal Nehru oleh
Radio Rimba Raya yang berada di Aceh Tengah pada tanggal 23 Januari 1948. PDRI juga berhasil menjalin
hubungan dan berbagi tugas dengan perwakilan RI di India. Dari India informasiinformasi tentang keberadaan
dan perjuangan bangsa dan negara RI dapat disebarluaskan ke berbagai penjuru. Terbukalah mata dunia
mengenai keadaan RI yang sesungguhnya.
Konflik antara Indonesia dengan Belanda masih terus berlanjut. Namun semakin terbukanya mata dunia
terkait dengan konflik itu, menempatkan posisi Indonesia semakin menguntungkan. Untuk mempercepat
penyelesaikan konflik ini maka oleh DK PBB dibentuklah UNCI (United Nations Commission for Indonesia)
atau Komisi PBB untuk Sumber: 30 Tahun Indonesia Merdeka 1945-1960, 1995. Gambar 6.17 Syafruddin
Prawiranegara. Sejarah Indonesia 173 Indonesia sebagai pengganti KTN. UNCI ini memiliki kekuasaan yang
lebih besar dibanding KTN. UNCI berhak mengambil keputusan yang mengikat atas dasar suara mayoritas.
Serangan Umum 1 Maret 1949 adalah serangan yang dilaksanakan pada tanggal 1
Maret 1949 terhadap kota Yogyakartasecara besar-besaran yang direncanakan dan dipersiapkan oleh jajaran
tertinggi militer di wilayah Divisi III/GM III dengan mengikutsertakan beberapa pucuk pimpinan pemerintah
sipil setempat berdasarkan instruksi dari Panglima Divisi III, Kol.Bambang Sugeng,[butuh rujukan]
untuk
membuktikan kepada dunia internasional bahwa TNI - berarti juga Republik Indonesia - masih ada dan cukup
kuat, sehingga dengan demikian dapat memperkuat posisi Indonesia dalam perundingan yang sedang
berlangsung di Dewan Keamanan PBB dengan tujuan utama untuk mematahkan moral pasukan Belanda serta
membuktikan pada dunia internasional bahwa Tentara Nasional Indonesia (TNI) masih mempunyai kekuatan
untuk mengadakan perlawanan. Soeharto pada waktu itu sebagai komandan brigade X/Wehrkreis III turut serta
sebagai pelaksana lapangan di wilayah Yogyakarta.
A. LATAR BELAKANG
Kurang lebih satu bulan setelah Agresi Militer Belanda II yang dilancarkan pada
bulan Desember 1948, TNI mulai menyusun strategi guna melakukan pukulan balik terhadap tentara
Belanda yang dimulai dengan memutuskan telepon, merusak jalankereta api, menyerang konvoi Belanda,
serta tindakan sabotase lainnya.
Belanda terpaksa memperbanyak pos-pos disepanjang jalan-jalan besar yang menghubungkan kota-
kota yang telah diduduki. Hal ini berarti kekuatan pasukan Belanda tersebar pada pos-pos kecil diseluruh
daerah republik yang kini merupakan medan gerilya. Dalam keadaaan pasukan Belanda yang sudah
terpencar-pencar, mulailah TNI melakukan serangan terhadap Belanda.
Sekitar awal Februari 1948 di perbatasan Jawa Timur, Letkol. dr. Wiliater Hutagalung - yang
sejak September 1948 diangkat menjadi Perwira Teritorial dan ditugaskan untuk membentuk jaringan
pesiapan gerilya di wilayah Divisi II dan III - bertemu dengan Panglima Besar Sudirman guna melaporkan
mengenai resolusi Dewan Keamanan PBB dan penolakan Belanda terhadap resolusi tersebut dan
melancarkan propaganda yang menyatakan bahwa Republik Indonesia sudah tidak ada lagi. Melalui Radio
Rimba Raya, Panglima Besar Sudirman juga telah mendengar berita tersebut. Panglima
Besar Sudirman menginstruksikan untuk memikirkan langkah-langkah yang harus diambil guna
memutarbalikkan propaganda Belanda.
Hutagalung yang membentuk jaringan di wilayah Divisi II dan III, dapat selalu berhubungan
dengan Panglima Besar Sudirman, dan menjadi penghubung antara Panglima BesarSudirman dengan
Panglima Divisi II, Kolonel Gatot Subroto dan Panglima Divisi III, Kol. Bambang Sugeng. Selain itu,
sebagai dokter spesialis paru, setiap ada kesempatan, ia juga ikut merawat Panglima Besar Sudirman yang
saat itu menderita penyakit paru-paru. Setelah turun gunung pada bulan September dan Oktober 1949,
Hutagalung dan keluarganya tinggal di Paviliun rumah Panglima Besar Sudirman di (dahulu) Jl. Widoro
No. 10, Yogyakarta.
Letkol Wiliater Hutagalung yang pada waktu itu juga menjabat sebagai penasihat Gubernur Militer
III menyampaikan gagasan yang telah disetujui oleh Panglima Besar Sudirman, dan kemudian dibahas
bersama-sama yaitu:
Serangan Umum 1Maret 1949 yang dilancarkan oleh para pejuang Indonesia, telah membuka mata dunia
bahwa propaganda Belanda itu tidak benar. RI dan TNI masih tetap ada. Namun Belanda tetap membandel dan
tidak mau melaksanakan resolusi DK PBB 28 Januari. Perundingan pun menjadi macet.
Melihat kenyataan itu, Amerika Serikat bersikap tegas dan terus mendesak agar Belanda mau
melaksanakan resolusi tanggal 28 Januari. Amerika Serikat berhasil mendesak Belanda, untuk mengadakan
perundingan dengan Indonesia.
Ketika terlihat titik terang bahwa RI dan Belanda bersedia maju ke meja perundingan, maka atas inisiatif
Komisi PBB untuk Indonesia pada tanggal 14 April 1949 diselenggarakan perundingan di Jakarta di bawah
pimpinan Merle Cochran, anggota Komisi dari AS. Delegasi Indonesia dipimpin oleh Moh. Roem dan delegasi
Belanda dipimpin oleh H.J. Van Royen. Dalam perundingan itu, RI tetap berpendirian bahwa pengembalian
pemerintahan RI ke Yogyakarta merupakan kunci pembuka perundingan-perundingan selanjutnya. Sebaliknya
pihak Belanda menuntut agar lebih dulu dicapai persetujuan tentang perintah penghentian perang gerilya oleh
pihak RI.
Merle Cochran, wakil dari AS di UNCI mendesak agar Indonesia mau melanjutkan perundingan. Waktu
itu Amerika Serikat menekan Indonesia, kalau Indonesia menolak, Amerika tidak akan memberikan bantuan
dalam bentuk apa pun. Perundingan segera dilanjutkan pada tanggal 1 Mei 1949. Kemudian pada tanggal 7 Mei
1949 tercapai Persetujuan Roem-Royen. Isi Persetujuan Roem-Royen antara lain sebagai berikut.
a. Pihak Indonesia bersedia mengeluarkan perintah kepada pengikut RI yang bersenjata untuk
menghentikan perang gerilya. RI juga akan Ikut serta dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) di
Den Haag, guna mempercepat penyerahan kedaulatan kepada Negara Indonesia Serikat (NIS), tanpa
syarat.
b. Pihak Belanda menyetujui kembalinya RI ke Yogyakarta dan menjamin penghentian gerakan-
gerakan militer dan membebaskan semua tahanan politik. Belanda juga berjanji tidak akan
mendirikan dan mengakui negara-negara yang ada di wilayah kekuasaan RI sebelum Desember
1948, serta menyetujui RI sebagai bagian dari NIS.
Pemerintahan Darurat Republik Indonesia di Sumatera memerintahkan Sri Sultan Hamengkubowono IX
untuk mengambil alih pemerintahan Yogyakarta dari pihak Belanda. Pihak tentara dengan penuh kecurigaan
menyambut hasil persetujuan itu, namun Panglima Jenderal Sudirman memperingatkan seluruh komando
kesatuan agar tidak memikirkan masalah-masalah perundingan.
Setelah pemerintah RI kembali ke Yogyakarta, pada tanggal 13 Juli 1949 diselenggarakan sidang
Kabinet RI yang pertama. Pada kesempatan itu, Syafruddin Prawiranegara mengembalikan mandatnya kepada
wakil presiden Sejarah Indonesia 177 Moh. Hatta. Dalam sidang kabinet juga diputuskan untuk mengangkat Sri
Sultan Hamengkobuwono IX menjadi Menteri Pertahanan merangkap Ketua Koordinator Keamanan.
Bagaimana setelah disetujuinya Perjanjian Roem Royen? Bagaimana proses kembalinya RI dan nasib
pasukan gerilya yang dipimpin Jenderal Sudirman? Sebagai pelaksanaan dari kesepakatan itu, maka pada tanggal
29 Juni 1949, pasukan Belanda ditarik mundur ke luar Yogyakarta. Setelah itu TNI masuk ke Yogyakarta.
Peristiwa keluarnya tentara Belanda dan masuknya TNI ke Yogyakarta dikenal dengan Peristiwa Yogya
Kembali. Presiden Sukarno dan Wakil Presiden Moh. Hatta ke Yogyakarta pada tanggal 6 Juli 1949.
Sejak awal 1949, ada tiga kelompok pimpinan RI yang ditunggu untuk kembali ke Yogyakarta.
kelompok pertama adalah Kelompok Bangka. Kedua adalah kelompok PDRI dibawah pimpinan Mr. Syafruddin
Prawiranegara. Kelompok ketiga adalah angkatan perang dibawah pimpinan Panglima Besar Jenderal Sudirman.
Sultan Hamangkubuwono IX bertindak sebagai wakil Republik Indonesia, karena Keraton Yogyakarta bebas
dari intervensi Belanda, mempermudah untuk mengatasi masalah-masalah yang terkait dengan kembalinya
Yogya ke Republik Indonesia. Kelompok Bangka yang terdiri dari Sukarno, Hatta, dan rombongan kembali ke
Yogyakarta pada tanggal 6 Juli 1949, kecuali Mr. Roem yang harus menyelesaikan urusannya sebagai ketua
delegasi di UNCI, masih tetap tinggal di Jakarta.
Rombongan PDRI mendarat di Maguwo pada 10 Juli 1949. Mereka disambut oleh Sultan
Hamangkubuwono IX, Moh. Hatta, Mr.Roem, Ki Hajar Dewantara, Mr. Tadjuddin serta pembesar RI lainnya.
Pada tanggal itu pula rombongan Panglima Besar Jenderal Sudirman memasuki Desa Wonosari. Rombongan
Jenderal Sudirman disambut kedatangannya oleh Sultan Hamengkubuwono IX dibawah pimpinan Letkol
Soeharto, Panglima Yogya, dan dua orang wartawan, yaitu Rosihan Anwar dari Pedoman dan Frans Sumardjo
dari Ipphos. Saat menerima rombongan penjemput itu Panglima Besar Jenderal Sudirman berada di rumah lurah
Wonosari. Saat itu beliau sedang mengenakan pakaian gerilya dengan ikat kepala hitam. Pada esok harinya
rombongan Pangeran Besar Jenderal Sudirman dibawa kembali ke Yogyakarta. Saat itu beliau sedang menderita
sakit dengan ditandu dan diiringi oleh utusan dan pasukan beliau dibawa kembali ke Yogyakarta. Dalam kondisi
letih dan sakit beliau mengikuti upacara penyambutan resmi dengan mengenakan baju khasnya yaitu pakaian
gerilya. dengan ditandu memasuki kota Yogyakarta setelah melakukan perang gerilya
Upacara penyambutan resmi para pemimpin RI di Ibukota dilaksanakan dengan penuh khidmat pada 10
Juli. Sebagai pimpinan inspektur upacara adalah Syafruddin Prawiranegara, didampingi oleh Panglima Besar
Jenderal Sudirman dan para pimpin RI yang baru saja kembali dari pengasingan Belanda. Pada 15 Juli 1949,
untuk pertama kalinya diadakan sidang kabinet pertama yang dipimpin oleh Moh. Hatta. Pada kesempatan itu
Syafruddin Prawiranegara menyampaikan kepada Presiden Sukarno tentang tindakantindakan yang dilakukan
oleh PDRI selama delapan bulan di Sumatera Barat. Pada kesempatan itu pula Syafruddin Prawiranegara secara
resmi menyerahkan kembali mandatnya kepada Presiden RI Sukarno. Dengan demikian maka berakhirlah PDRI
yang selama delapan bulan memperjuangkan dan mempertahankan eksistensi RI.
Konferensi Meja Bundar adalah sebuah pertemuan yang dilaksanakan di Den Haag, Belanda, dari 23
Agustus hingga 2 November 1949 antara perwakilan Republik Indonesia, Belanda, dan BFO (Bijeenkomst voor
Federaal Overleg), yang mewakili berbagai negara yang diciptakan Belanda di kepulauan Indonesia. Sebelum
konferensi ini, berlangsung tiga pertemuan tingkat tinggi antara Belanda dan Indonesia, yaitu Perjanjian
Linggarjati (1947), Perjanjian Renville (1948), dan Perjanjian Roem-Royen (1949). Konferensi ini berakhir
dengan kesediaan Belanda untuk menyerahkan kedaulatan kepada Republik Indonesia Serikat.
A. LATAR BELAKANG
Usaha untuk meredam kemerdekaan Indonesia dengan jalan kekerasan berakhir dengan kegagalan.
Belanda mendapat kecaman keras dari dunia internasional. Belanda dan Indonesia kemudian mengadakan
beberapa pertemuan untuk menyelesaikan masalah ini secara diplomasi, lewat perundingan Linggarjati
dan perjanjian Renville. Pada 28 Januari 1949, Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa
meloloskan resolusi yang mengecam serangan militer Belanda terhadap tentara Republik di Indonesia dan
menuntut dipulihkannya pemerintah Republik. Diserukan pula kelanjutan perundingan untuk menemukan
penyelesaian damai antara dua pihak.
Menyusul Perjanjian Roem-Royen pada 6 Juli, yang secara efektif ditetapkan oleh resolusi Dewan
Keamanan, Mohammad Roem mengatakan bahwa Republik Indonesia, yang para pemimpinnya masih
diasingkan di Bangka, bersedia ikut serta dalam Konferensi Meja Bundar untuk mempercepat penyerahan
kedaulatan.
Pemerintah Indonesia, yang telah diasingkan selama enam bulan, kembali ke ibukota sementara di
Yogyakarta pada 6 Juli 1949. Demi memastikan kesamaan posisi perunndingan antara delegasi Republik
dan federal, dalam paruh kedua Juli 1949 dan sejak 31 Juli–2 Agustus, Konferensi Inter-Indonesia
diselenggarakan di Yogyakarta antara semua otoritas bagian dari Republik Indonesia Serikat yang akan
dibentuk. Para partisipan setuju mengenai prinsip dan kerangka dasar untuk konstitusinya. Menyusul
diskusi pendahuluan yang disponsori oleh Komisi PBB untuk Indonesia di Jakarta, ditetapkan bahwa
Konferensi Meja Bundar akan digelar di Den Haag.
B. NEGOSIASI
Mereka menyepakati penarikan mundur tentara Belanda "dalam waktu sesingkat-singkatnya", serta
Republik Indonesia Serikat memberikan status bangsa paling disukai kepada Belanda. Selain itu, tidak
akan ada diskriminasi terhadap warga negara dan perusahaan Belanda, serta Republik bersedia mengambil
alih kesepakatan dagang yang sebelumnya dirundingkan oleh Hindia Belanda. Akan tetapi, ada perdebatan
dalam hal utang pemerintah kolonial Belanda dan status Papua Barat.
J.H. Maarseveen, Sultan Hamid II dan Mohammad Hatta menandatangani Perjanjian Meja Bundar, 2 November 1949
C. HASIL
Konferensi secara resmi ditutup di gedung parlemen Belanda pada 2 November 1949. Kedaulatan
diserahkan kepada Republik Indonesia Serikat pada 27 December 1949. Isi perjanjian konferensi adalah
sebagai berikut:
SOAL !
1. Apa itu KMB (Konferensi Meja Bundar) ?
2. Dimana KMB dilaksanakan ?
3. Jelaskan Latar Belakang KMB !
4. Sebelum konferensi KMB, berlangsung tiga pertemuan tingkat tinggi antara Belanda dan Indonesia.
Sebutkan !
5. Dampak yang terjadi dari KMB
Republik Indonesia Serikat, (RIS), adalah negara federasi yang berdiri pada tanggal 27
Desember 1949 sebagai hasil kesepakatan tiga pihak dalam Konferensi Meja Bundar: Republik
Indonesia, Bijeenkomst voor Federaal Overleg (BFO), dan Belanda. Kesepakatan ini disaksikan juga
oleh United Nations Commission for Indonesia (UNCI) sebagai perwakilan PBB.RIS dikepalai oleh
Presiden Soekarno dan Perdana Menteri Mohammad Hatta.
Awal Republik Indonesia Serikat diawali dengan adanya Agresi Militer II yang terjadi pada 19
Desember 1948 yang diawali dengan serangan terhadap Yogyakarta, ibu kota Indonesia saat itu, serta
penangkapan Soekarno, Mohammad Hatta, Sjahrir dan beberapa tokoh lainnya. Jatuhnya ibu kota negara ini
menyebabkan dibentuknya Pemerintah Darurat Republik Indonesia di Sumatra yang dipimpin oleh Sjafruddin
Prawiranegara.
Akibat dari Agresi Militer tersebut, pihak internasional melakukan tekanan kepada Belanda, terutama
dari pihak Amerika Serikat yang mengancam akan menghentikan bantuannya kepada Belanda, akhirnya dengan
terpaksa Belanda bersedia untuk kembali berunding dengan RI. Pada tanggal 7 Mei 1949, Republik
Indonesia dan Belanda menyepakati Perjanjian Roem Royen.
Lalu pada 23 Agustus hingga 2 November 1949, diadakanlah Konferensi Meja Bundar, yaitu sebuah
pertemuan antara pemerintah Republik Indonesia dan Belanda yang dilaksanakan di Den Haag, Belanda. Hasil
dari pertemuan tersebut adalah: Belanda mengakui kedaulatan Republik Indonesia Serikat; Irian Barat akan
diselesaikan setahun setelah pengakuan kedaulatan.
Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia pada 27 Desember 1949, selang empat tahun
setelah proklamasi kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945. Pengakuan ini dilakukan
ketika soevereiniteitsoverdracht (penyerahan kedaulatan) ditandatangani di Istana
Dam, Amsterdam. Belanda selama ini juga ada kekhawatiran bahwa mengakui Indonesia merdeka pada
tahun 1945 sama saja mengakui tindakan politionele acties (Aksi Polisionil) pada 1945-1949 adalah ilegal.
Republik Indonesia Serikat dibubarkan pada 17 Agustus 1950.
Di samping itu, ada juga wilayah yang berdiri sendiri (otonom) dan tak tergabung dalam federasi, yaitu:
1. Jawa Tengah
2. Kalimantan Barat (Daerah Istimewa)
3. Dayak Besar
4. Daerah Banjar
5. Kalimantan Tenggara
6. Kalimantan Timur (tidak temasuk bekas wilayah Kesultanan Pasir)
7. Bangka
8. Belitung
9. Riau
SOAL !
Bung Hatta (kedua dari kiri) di Istana Dam, Amsterdam, dan Ratu Juliana (kedua dari kanan) pada saat penyerahan kedaulatan
Pengakuan tanggal kemerdekaan Indonesia oleh Belanda adalah peristiwa di mana Belanda akhirnya
mengakui bahwa kemerdekaan Indonesia adalah tanggal 17 Agustus 1945 sesuai dengan proklamasi
kemerdekaan Indonesia, bukan tanggal 27 Desember 1949 saat soevereiniteitsoverdracht (penyerahan
kedaulatan) ditandatangani di Istana Dam, Amsterdam.
Pengakuan ini baru dilakukan pada 16 Agustus 2005, sehari sebelum peringatan 60 tahun proklamasi
kemerdekaan Indonesia, olehMenlu Belanda Bernard Rudolf Bot dalam pidato resminya di Gedung Deplu. Pada
kesempatan itu, Pemerintah Indonesia diwakili oleh Menlu Hassan Wirajuda. Keesokan harinya, Bot juga
menghadiri Upacara Kenegaraan Peringatan Hari Ulang Tahun ke-60 Kemerdekaan RI di Istana Negara, Jakarta.
Langkah Bot ini mendobrak tabu dan merupakan yang pertama kali dalam sejarah.
Pada 4 September 2008, juga untuk pertama kalinya dalam sejarah, seorang Perdana Menteri
Belanda, Jan Peter Balkenende, menghadiri Peringatan HUT Kemerdekaan RI. Balkenende menghadiri resepsi
diplomatik HUT Kemerdekaan RI ke-63 yang digelar oleh KBRI Belanda di Wisma Duta, Den Haag.
Kehadirannya didampingi oleh para menteri utama Kabinet Balkenende IV, antara lain Menteri Luar
Negeri Maxime Jacques Marcel Verhagen, Menteri Hukum Ernst Hirsch Ballin, Menteri Pertahanan Eimert van
Middelkoop, dan para pejabat tinggi kementerian luar negeri, parlemen, serta para mantan Duta Besar Belanda
untuk Indonesia.[1]
Selama hampir 60 tahun, Belanda tidak bersedia mengakui kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17
Agustus 1945. Belanda menganggap kemerdekaan Indonesia baru terjadi pada 27 Desember 1949, yaitu
ketika soevereiniteitsoverdracht (penyerahan kedaulatan) ditandatangani di Istana Dam, Amsterdam.
Di Belanda selama ini juga ada kekhawatiran bahwa mengakui Indonesia merdeka pada tahun 1945 sama saja
mengakui tindakan politionele acties (agresi militer) pada 1945-1949 adalah ilegal.
Sebelumnya, pada tahun 1995, Ratu Beatrix sempat ingin menghadiri Peringatan Hari Ulang Tahun RI
ke-50. Tapi keinginan ini ditentang PM Wim Kok. Akhirnya Beatrix terpaksa mampir di Singapura dan baru
memasuki Indonesia beberapa hari setelah peringatan proklamasi.
Teks Proklamasi Republik Indonesia (gambar teks diatas adalah fotokopi) yang ditandatangani oleh Soekarno danHatta
Selain itu Belanda sesalkan siksa Rakyat Indonesia pasca 17-8-1945, akhirnya mengakui Indonesia
merdeka pada 17 Agustus 1945. Belanda pun mengakui tentaranya telah melakukan penyiksaan terhadap
rakyat Indonesia melalui agresi militernya pasca proklamasi.
Belum lama sesudah pelantikan presiden dan berdirinya Republik Indonesia Serikat {RIS}, muncul suatu
peristiwa politik baru, yaitu mulai terdengar suara-suara dari rakyat di berbagai pelosok tanah air yang
menyatakan ketidakpuasannya denga pemerintah RIS. Sebagian besar dari seluruh rakyat menentang negara-
negara boneka dan daerah-daerah otonom yang diciptakan oleh gubernur jenderal Van Mook dan Van de Plas
sebagai pemimpin NICA {Netherland Indies Civil Administration} yang sekaligus sebagai otak dari politik
devide et impera. Alasan rakyat Indonesia yang menghendaki pembubaran negara Republik Indonesia Serikat
{RIS} dan pengembalian ke dalam bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia {NKRI} sesuai dengan
Proklamasi 17 Agustus 1945, antara lain :
1. Konstitusi RIS yang membentuk negara federal menimbulkan perpecahan bangsa.
2. Beberapa negara bagian dan rakyat menghendaki Indonesia kembali ke bentuk negara kesatuan
3. Sebagian besar para pemimpin negara federal tidak memperjuangkan rakyat, tetapi lebih memihak
kepada Belanda
4. Rakyat Indonesia merasa tidak puas dengan hasil perundingan KMB {Konferensi Meja Bundar} yang
masih memberi peluang pada pihak Belanda atas Indonesia
5. Bentuk negara federal di Indonesia adalah bentukan kolonial Belanda yang tidak sesuai dengan cita-cita
Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945
6. Anggota kabinet sebagian besar adalah pendukung unitarisme sehingga gerakan untuk membubarkan
negara federal dan mengembalikan bentuk negara Indonesia ke Negara Kesatuan Republik Indonesia
{NKRI}
7. Pembentukan negara-negara bagian {federal} di Indonesia tidak berdasarkan konsepsional, tetapi lebih
berdasarkan kepada usaha Belanda untuk menghancurkan negara Republik Indonesia
8. Beberapa negara boneka bentukan Belanda yang semula ditujukan untuk melemahkan persatuan dan
kesatuan Indonesia, tetapi pada perkembangannya, justru memiliki keinginan yang sama, yaitu
menegakkan kembali Negara Kesatuan Republik Indonesia {NKRI}
Bentuk negara Republik Indonesia Serikat {RIS} yang diterapkan di Indonesia ternyata tidak sesuai dengan
cita-cita kesatuan dan persatuan bangsa Indonesia yang tertuang dalam Proklamasi Kemerdekaan 17 agustus
1945. Oleh karena itu, pada bulan Januari 1950, mulai muncul gerakan untuk mengubah bentuk negara RIS
menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia {NKRI}. Gerakan itu untuk memperjuangkan kembalinya NKRI
itu disikapi positif oleh negara bagian dan satuan kenegaraan RIS, yakni ditandai dengan pernyataan sikap akan
bergaungnya RIS dengan Republik Indonesia di Yogyakarta. Akan tetapi, pemerintah RIS dan Parlemen RIS
secara konstitusional tidak memilliki wewenang untuk membubarkan negara-negara bagian {karna untuk
membubarkan negara-negara bagian perlu adanya undang-undang yang sah dan tidak bertentangan dengan
konstitusi RIS}
Pada tanggal 20 Februari 1950, pemerintah mengusulkan undang-undang {RUU} tentang tata cara
perubahan susunan kenegaraan RIS kepada DPR_RIS. Usulan Rancangan Undang-Undang {RUU} tersebut
kemudian disahkan oleh DPR_RIS menjadi Undang-Undang Darurat nomoe 11 tahun 1950 tanggal 8 Maret
1950. Undang-undang inilah yang kemudian digunakan sebagai dasar hukum penggabungan negara-negara
bagian dan satuan kenegaraan RIS.
SOAL !
1. Alasan rakyat Indonesia yang menghendaki pembubaran negara Republik Indonesia Serikat {RIS}
dan pengembalian ke dalam bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia {NKRI} sesuai dengan
Proklamasi 17 Agustus 1945 antara lain adalah ?
2. Mengapa muncul gerakan mengubah bentuk negara RIS menjadi Negara Kesatuan Republik
Indonesia {NKRI} ?
3. Apa yang dilakukan pemerintah Pada tanggal 20 Februari 1950 ?
4. Konferensi bersama yang pertama dilaksanakan pada tanggal 13 Mei 1950 antara pemerintah RIS,
RI, dan NIT sedangkan konferensi kedua dilaksanakan pada tanggal 19 Mei 1950 antara RIS dan RI.
Hasil konferensi ini kemudian dituangkan dalam ?
5. Kembalinya NKRI, sebagaimana bunyi Bab 1 Pasal 1 UUDS 1950, menyatakan bahwa ?