Anda di halaman 1dari 5

Peranan Walisongo Dalam Penyebaran Agama Islam di Indonesia

-oleh : Rizky Lanang Rangga Kumara/33/XIIMIPA1-

A. Walisongo
Jika kita melihat realitas sekarang, pola keberagaman Islam di Indonesia ini cukup
beragam. Hal ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, diantaranya adalah faktor pendakwah Islam
itu sendiri, yaitu ulama terdahulu atau biasa kita sebut dengan sebutan Walisongo. Walisongo
adalah sembilan tokoh Islam yang sangat dihormati masyarakat Jawa karena perannya dalam
menyebarkan Islam di Indonesia. Selain itu, Walisongo juga senantiasa berdakwah dengan
kesantunan, hal ini juga menjadi salah satu faktor, mengapa Walisongo dihormati oleh
masyarakat Indonesia.
Kondisi dakwah islam sebelum adanya Walisongo bisa dinilai masih sangat
konvensional. Pola Dakwah pra-Walisongo dilakukan dengan mengajak masyarakat dari
bermacam komunitas untuk memeluk Islam. Namun pada masa Walisongo, mereka
mengenalkan dan mengkomunikasikan budaya baru yang sebenarnya diadaptasi dari budaya
nenek moyang mereka, kepada masyarakat. Dari hal ini, akulturasi budaya telah terjadi.
Pola dakwah yang dilakukan Walisongo berorientasi pada budaya asli daerah tersebut,
namun tetap tidak melupakan unsur dan substansi keislaman. Pola dakwah ini disebut dengan
pola dakwah kewalian.
Walisongo telah melahirkan tradisi islam yang dialogis, inklusif, kultural, dan sufistik,
sehingga membentuk mindset, sikap, dan perilaku keagamaan yang fleksibel, namun tetap
memegang teguh nilai ketauhidan. Islam yang diajarkan oleh Walisongo adalah islam yang
damai dan membawa keselamatan. Pola komunikasi dakwah yang dibangun Walisongo bersifat
pendekatan psikosufistik, yang memahami ajaran tasawuf sehingga dapat dijadikan paradigma
untuk menentukan sikap beragama yang berpegang teguh pada nilai islamiyah dan tetap
bertoleransi tinggi.
Komunikasi dakwah adalah proses retoris yang bersifat persuasif yang dilakukan oleh
pendakwah untuk menyebarkan ajaran agama dalam bentuk verbal maupun nonverbal kepada
jama’ah. Walisongo ini memiliki kesamaan dalam karakter berdakwah dan memiliki silsilah ilmu
yang sama. Kesembilan wali itu adalah :
1. Syekh Maulana Malik Ibrahim,
2. Sunan Ampel,
3. Sunan Giri,
4. Sunan Bonang,
5. Sunan Kalijaga,
6. Sunan Drajat,
7. Sunan Muria,
8. Sunan Kudus,
9. dan Sunan Gunung Djati.
Seorang pendakwah (da’i) harus memiliki kompetensi yang baik dalam berdakwah.
Karena keberhasilan dakwah sendiri berasal dari kualitas pendakwah. Pendakwah harus kritis
dalam memahami sesuatu dan menentukan pola komunikasi yang efektif dan tepat guna.
Walisongo memiliki kemampuan ini. Mereka berhasil membaca fenomena masyarakat, yang
kala itu berorientasi pada hindu dan kejawen, dan mereka berhasil mewarnai perangkat
kehidupan masyarakat, sampai-sampai menjadikan Pulau Jawa mayoritas beragama Islam.
Dakwah yang dilakukan Walisongo tidak dilakukan secara lisan saja. Ada yang melalui
kebudayaan, misalnya pada tembang-tembang dan tradisi Jawa. Ada lagu lir-ilir, tradisi mitoni,
bancakan¸dan banyak lagi. Walisongo tidak menolak dan bersikap frontal terhadap budaya asli
masyarakat. Dengan metode ini, masyarakat akan menganggap bahwa Islam adalah agama yang
penuh akan ketentraman dan tidak ada pemaksaan.
Walisongo berhasil mengkomunikasikan Islam pada masyarakat yang secara psikologis
sedang tak nyaman sebagai seorang kelompok Sudra. Komunikasi Dakwah pendekatan
psikosufistik mentitikberatkan pada upaya mengkomunikasikan pesan dakwah dengan
pendekatan psikologis yang didasarkan pada hakekat pesan dakwah tersebut.
Hasil dari pola dakwah ini adalah diterimanya Islam sebagai sebuah agama di Pulau
Jawa. Dan malah menjadikan Islam sebagai agama mayoritas, seperti pada saat ini.
B. Pengislaman Tanah Jawa
Penyebaran Islam tidak terjadi secara serentak di semua daerah. Namun secara umum,
penyebaran Islam dimulai pada abad ke-12. Dan pada abad ke-15 sampai abad ke-16, terjadi
kebudayaan masa peralihan, yaitu akulturasi budaya Hindu-Buddha dan Islam. Hal ini
mengakibatkan, beberapa raja-raja dari kerajaan pun memeluk Agama Islam, yang berakhir
dengan rakyatnya yang memeluk Islam pula.
Masuknya Islam di Jawa dimulai dari daerah pesisir. Hal ini terjadi karena pelabuhan
adalah pusat perdagangan dan interaksi sosial. Proses pergeseran menuju pedalaman, ditengarai
oleh Kuntowijoyo sebagai pergeseran Islam kosmopolit menuju Islam agraris dan Islam yang
mistik (Kuntowijoyo, 1995: 132).
Menurut Graaf (Graaf, 1989: 2), ada tiga metode penyebaran Islam yang dilakukan, yaitu
melalui Da’i, perdagangan, dan wali. Walisongo mengawali penyebaran Islam dengan
mendirikan Masjid. Masjid ini selain sebagai tempat ibadah, juga berfungsi sebagai tempat
pengajian. Selain masjid, para wali juga mendirikan pesantren.
Wali adalah orang yang senantiasa beriman dan bertaqwa kepada Allah, mereka
menyampaikan kebenaran dari Allah, dan dalam menyampaikan kebenaran itu karena mendapat
karomah dari Allah, tiada rasa kawatir dan sedih. Kata Wali di Jawa untuk menyebut orang yang
khusus, yang dalam pandangan orang Jawa, orang suci, dekat dengan Tuhan, berakhlak baik,
menyebarkan ajaran Islam dan dipandang memiliki kemampuan lebih dari pada orang-orang
biasa.
Walisongo ini dibagi menjadi rasio 5:3:1 dalam dakwahnya. Di daerah Jawa Timur,
ditempatkan lima wali dengan pembagian teritorial dakwah yang berbeda. Dari kelima wali
tersebut, semuanya mengambil posisi di pesisir, yaitu pantai atau pelabuhan. Para wali lebih
terlihat seperti seorang pedagang daripada pendakwah.
Sedangkan di Jawa Tengah, mendapat tiga wali. Masyarakat masih banyak yang
memercayai hal-hal berbau Hindu-Buddha. Dari sini, ketiga wali itu menyebarkan agama dengan
memodifikasi budaya-budaya, contohnya adalah memodifikasi cerita wayang dengan cerita
Islam.
Sedangkan di Jawa Barat, mendapatkan satu wali, yang bertempat di Cirebon.
Ajaran yang paling terkenal hingga sekarang adalah ajaran Sunan Bonang. Yaitu ajaran
Primbonnya. Primbon ini berisi tauhid dan melarang pembaca untuk berbuat syirik. Makam
Sunan Bonang sendiri ada empat. Hal ini tentu saja rancu dan tidak jelas, dikarenakan tidak ada
bedanya antara petilasan ataupun permakaman.
Ada juga Sunan Ngampel dari Surabaya. Sering disebut Raden Rahmat, dia adalah bagian
dari keluarga Cempa. Datangnya Sunan Ampel sudah disambut baik oleh ulama setempat dan
juga diprediksi akan mengakhri masa berhala. Raden Rahmat sendiri memiliki sifat yang berani,
tegas, dan tabah. Dalam mengembangkan Islam, beliau lebih mengedepankan akidah dan
pelaksanan syariah sesuai kondisi yang ada.
Yang ketiga ada Sunan Giri, atau Joko Samudro. Sunan Giri berperan menguatkan
pedagang Islam yang lemah keimanannya. Sunan Giri menyiarkan Islam dan menamakannya ke
dalam jiwa para penduduk. Beliau mendirikan masjid sebagai langkah pertama dan dasar untuk
mensyiarkan Islam. Sunan Giri mendirikan beberapa pesantren dan mengajarkan ilmu fiqih, ilmu
tasfir, ilmu hadist, serta nahwu dan sharaf kepada santrinya. Santrinya yang belajar di pesantren
bukan hanya dari sekitar Surabaya tetapi juga dari Madura, Lombok, Makasar dan Ternate.
26(Syamsu AS, 1999: 49). Selain itu, beliau juga berdagang dalam hidupnya. Beliau lalu
mengiriim santrinya ke pelosok-pelosok untuk menyebarkan Islam juga.
Yang keempat adalah Maulana Malik Ibrahim. Beliau meneteap di desa Leran, Gresik.
Beliau mengajarkan Islam dengan memberikan pelayanan kepada masyarakat dan mengajarkan
Islam kepada mereka secara tidak langsung.
Selanjutnya ada Sunan Kudus. Beliau menguasai Ilmu hadits, quran, sastra, matiq, dan
Fiqih. Sunan Kudus dikenal dalam akulturasi kesenian Jawa-Islamnya, yaitu gendhing Mijil dan
Maskumambang. Beliau juga hobi berdongenng tentang keislaman. Beliau jugalah yang menjadi
pelopor dari budaya sekaten, yang mana di gerbang sekaten terdapat kalimat syahadat yang harus
masyarakat ucapkann jika mau mengikuti sekaten.
Yang keenam ada Sunan Drajat. Beliau memiliki jiwa sosial yang tinggi, membantu
masyarakat, anak yatim, orang sakit, dan fakir miskin. Beliau juga menciptakan tembang
pangkur, dan menggalakkan budaya gotongroyong, hidup rukun, dan tolongmenologn.
Selanjutnya ada Sunana Gunung Jati. Beliau mempelajari ilmu hakikat, ilmu makrifat,
ilmu syareat, dan ilmu makrifat. Beliau memiliki sifat yang pantang menyerah.
Selanjutnya ada Sunan Kalijaga, beliau ini sangan dekat dengan umat Islam di Pulau
Jawa. Beliau berhasil memasukkan hikayat-hikayat Islam ke dalam Wayang. Beliaulah yang
menciptakan Wayang Kulit dan buku Wayang yang berjiwa Islam.
Terakhir ada Sunan Muria. Sunan Muria selalu mengajarkan untuk cinta pada Allah
ta’a’la. Beliau mewarnai tradisi-tradisi masyarakat dengan keislaman tanpa memusnahkan sifat
asli tradisi tersebut.
Peradaban Islam yang diturunkan oleh para Wali di Jawa memberikan tuntunan dan
panutan yang sangat bernilai dan juga sangat Islami, yakni dalah ukhuwah serta konsep imamah
dikalangan para pemimpin umat. Di antara Wali muncul hubungan antar personal dan kelompok
yang erat, yang ditandai saling menghargai, mufakat, menyesuaikan diri, dan menghormati
senioritas. Seperti ketika Sunan Ampel wafat, kepemimpinan beralih ke Sunan Giri dan Sunan
Bonang.
Kelemahan dari dakwah Walisongo ini adalah dimana praktik dan metode yang
dilakukan oleh Walisongo ini sudah tidak sesuai lagi dengan zaman sekarang. Tapi sebagai fakta
sejarah, terutama untuk ahli-ahli dakwah masih tetap ada harganya. Sayangnya selama ini sejarah
Walisongo hampir lenyap di balik legenda beraneka warna. Padahal banyak pelajaran dan
hikmah yang dapat dipetik dari kiprah dakwah mereka.

C. Perkembagan Islam di Pulau Jawa


Islam sendiri mulai masuk ke Indonesia pada Abad 8 Masehi. Ada dua jalur yang
ditempuh, yaitu jalur Utara (Arab-Damaskus-Bagdhad-Gujarat-Srilanka-Indonesia), dan jalur
Selatan (Arab-Yaman-Gujarat-Srilanka-Indonesia).
Islam mulai masuk setelah dibukanya jalur pelayaran pada abad ke-13 di Selat Malaka. J.
C. Van Leur juga menyatakan bahwa di Pantai Barat sudah ada pemukima Islam.
Penyebaran Islam melalui beberapa metode, diantaranya adalah perdagangan, pernikahan
politik, pendidikan, dan kebudayaan. Islam bisa berkembang karena beberapa sebab,
diantaranya:
1. Dorongan dari diri sendiri,
2. Kesungguhan hati para pendakwah,
3. Persyaratan memeluk Islam yang mudah,
4. Ajaran tanpa sistem kasta, dan
5. Banyak raja yang memeluk Islam.
Masuknya Islam diawali di daerah Sumatera. Yang puncaknya adalah kerajan Samudra
Pasai pada 1261 M. Di Jawa, ditemukan makam Siti Fatimah bin Maimun di Leran, yang wafat
pada 1101 M. Di Kalimantan, 1550M, pangeran Samudera masuk Islam. Di Sulawesi, sudah
kedatangan muslim dari sumatera sejak abad 15, dan berdirilah kerajaan Gowa Tallo. Untuk
daerah Maluku dan sekitarnya, dimulai dari abad ke 15 juga.
Islam juga menyebar pada masa penjajahan. Penjajah ada yang menyesatkan
penerjemahan Al-Qur’an. Pada masa kemerdekaan, juga banyak organisasi keislaman,
diantaranya adalah SDI dan Nadhatul Ulama. Juga ada beberapa pondok pesantren yang
didirikan.
Sedangkan Islam di zaman milenial sekarang terlihat sebagai Islam moderat. Yang lebih
memilih untuk mengambil jalan tengah yang menguntungkan kedua belah pihak, dengan tetap
mengindahkan keislaman dan ketauhidan. Namun, muncul stigma negatif dari beberapa
masyarakat tentang Islam. Mulai dari radikal, terorisme, dan lain lain, yang mana perspektif dan
pola pikir ini harus diberantas.

SUMBER
https://journal.iainkudus.ac.id/index.php/Addin/article/download/602/615
https://www.journal.walisongo.ac.id/index.php/wahana/article/download/815/723
https://jurnal.isi-ska.ac.id/index.php/keteg/article/download/665/663

Anda mungkin juga menyukai