Anda di halaman 1dari 5

Indonesia adalah Negara Kesatuan yang berasaskan Pancasila sebagai

ideologi Negara, dalam Pancasila terdapat lima sila yang menjadi dasar
Negara yang salah satunya sila pertama adalah Taqwa Kepada Tuhan Yang
Maha Esa. Sila pertama ini menjelaskan bahwa warga negara Indonesia
harus ber-Tuhan atau mempercayai adanya Tuhan, karena sejatinya
manusia hanyalah mahkluk biasa dan tidak sempurna, jika tidak adanya
Tuhan maka manusia beserta alam dunia ini tidak akan ada, karena
Tuhanlah yang menciptakan segalanya, jika manusia hidup tanpa Tuhan
atau tidak mempercayai ajaran agama bagaikan hidup tanpa aturan.

Di Indoneisa sendiri banyak sekali Agama yang dianut Oleh masyarakat


diberbagai wilayah, karena masyarakat memiliki hak pribadi untuk memilih
atau menganut ajaran Agama sesuai kepercayaannya masing-masing.
Tentunya agama yang harus dipilih atau dianut oleh masyarakat adalah
agama yang diakui oleh Negara sesuai Peraturan, diantaranya ada lima
agama yang diaku yaitu agama Islam, Kristen, Katolik, Hindu dan Budha.

Sebelum datangnya agama di Nusantara (sekarang Negara Kesatuan


Republik Indonesia) para masyarat dahulu memiliki suatu kepercayaan
dinanisme dan animisme. Masyarakat dahulu lebih erat dengan suatu
peraturan adat yang menjadi suatu kebudayaan dan ciri khas disuatu
lingkungan masyarakat tersebut. Bisa diketahui juga kelompok masyarakat
tersebut sering disebut Suku, dan di Indonesia sendiri banyak terdapat Suku
diberbagai wilayah ditiap pulau seperti suku sunda, baduy, bugis, Madura,
jawa dan lain-lain. Setiap Suku di Nusantara memiliki berbagai
keanekaragaman budaya yang berbeda-beda.

Dalam ajaran agama Islam yang diajarkan oleh Rasullullah Tuhan adalah
Allah SWT yang menciptakan langit dan bumi (Qs. Al-A’raf 7:54) dan
pedoman hidup umat muslim adalah Al-Qur’an, Hadist dan Ijtma (keputusan
para Ulama) yang mengajarkan dan menjelaskan tentang tauhid, aqidah,
akhlak dan syariat.

Pembahasan dalam artikel ini berkenaan tentang syariat, menurut (KBBI)


syariat adalah hukum agama yang menetapkan peraturan hidup manusia,
hubungan manusia dengan Allah SWT, hubungan manusia dengan manusia
dan alam sekitar berdasarkan Al-Qur’an dan Hadist. Dapat diartikan syariat
adalah suatu aturan hukum tata cara tentang peribadatan kepada Allah SWT
yang berpatok pada Al-Qur’an dan Hadist.

Kembali ke Indonesia yang dimana masyarakatnya mayoritas beragama


Islam dari berbagai Wilayah, suku dan bangsa. Ini menjadi pembahasan
dalam jurnal yang dimana keanekaragaman budaya disetiap suku dan
bangsa di Indonesia sering dipadukan atau dikoloborasikan dalam konteks
peribadatan, hal ini bisa disebut juga akulturasi budaya.

Pengertian Akulturasi menurut Dedi Mulyadi (2016: 162) adalah proses


sosial yang timbul, apabila suatu kelompok masyarakat manusia dengan
sesuatu kebudayaan tertentu dihadapkan dengan unsur-unsur kebudayaan
asing itu diterima dan diolah ke dalam kebudayaan sendiri, tanpa
menyebabkan hilangnya kepribadian dari kebudayaan itu sendiri. Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), akulturasi adalah percampuran dua
kebudayaan atau lebih yang saling bertemu dan saling memengaruhi.
Budaya dikaitkan dengan bagian dari budi dan akal manusia. Budaya
merupakan pola atau cara hidup yang terus berkembang oleh sekelompok
orang dan diturunkan pada generasi berikutnya. Beberapa ahli telah
mendefinisikan arti budaya menurut pemahaman dan ilmu mereka masing-
masing.

Makna Syariat menurut bahasa (KBBI) syariat adalah hukum agama yang
menetapkan peraturan hidup manusia, hubungan manusia dengan Allah
SWT, hubungan manusia dengan manusia dan alam sekitar berdasarkan Al-
Qur’an dan Hadist.

Akulturasi Keanekaragaman budaya dan syariat agama Islam di


Indonesia

Munculnya akulturasi budaya yang berkaitan erat dengan ajaran agama


islam berasal  dari ajaran para wali, para wali tersebut dikategorikan dalam
tiga kategori :

1. Waliyullah, orang-orang yang dekat dengan Allah dan terpelihara dari


perbuatan maksiat;
2. Waliyullah amri, orang-orang yang memegang kekuasaan atas hukum
kaum muslimin, memimpin rakyat, menentukan dan memutuskan
urusan umat, baik dibidang keduniawian maupun peribadatan.
3. Wali yang memegang kedua-duanya; dalam arti, selain sebagai
waliyulla, sekaligus juga sebagai waliyullah amri (Sofwan, dkk., 2000:
14)

Pandanagan hidup dan tradisi budaya masyarakat erat kaitannya dengan


dakwah Islam dan tradisi jawa kuno zaman wali yang diwarisi dari para
tokoh spiritual Cirebon dan mubaligh wali sanga: Ki Kuwu Cirebon, Sunan
Gunung Jati dan Sunan Kalijaga. Sedangkan tradisi budaya mereka
bercirikan Jawa Cerbonan yang merupakan akulturasi budaya Jawa – Hindu
– Islam dengan pusatnya keraton Pakungwati, Cirebon. Sehingga
pemahaman agama dan tradisi budaya oleh masyarakat Cirebon tergambar
bagaikan dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan, disatu sisi mereka
tetap teguh dalam keyakinan agama Islam yang dianut mereka, disisi lain
mereka juga setia mempertahankan tradisi budaya Cerbonan mereka yang
khas.

Tradisi budaya Cirebon yang tetap dilestarikan terungkap dalam upacara


tradisional panjang jimat dan grebeg yang dilakukan oleh kerabat keraton
Cirebon, maupun dalam berbagai upacara tradisional yang dilakukan
masyarakat Cirebon yang berkaitan dengan perayaan hari besar Islam
seperti riaya (lebaran), punggahan, muludan, dan sawalan. Tradisi budaya
tersebut juga dilestarikan dalam upacara tradisional yang berkaitan dengan
siklus pertanian dan perikanan seperti sedekah bumi (mapag sri dan bebarik
atawa baritan), sedekah laut (nadran), ngarot, jaringan dan seren taun,
dalam upacara ‘penyucian diri” seperti sedekah tamba (ruwatan), tirakatan,
nyepi (berkhalwat di tempat sunyi), kliwonan (tirakatan di Gunung Jati pada
hari jum’at Kliwon) dan ngirab (mandi “bersuci” di Kalijaga pada hari rebo
wekasan bulan ruwah), serta dalam berbagai upacara yang berkaitan
dengan kehidupan manusia seperti upacara perkawinan (hajat walimah),
ngunduh mantu, mitoni atau nebus weteng (upacara tujuh bulan
kandungan), jagongan bayi (muyen), njenengi, kekah (aqikah), mudun
lemah, cukuran dan sunatan. Maupun upacara yang berhubungan dengan
kematian (surtanah : pemberian shalawat dan tahlilan setelah jenazah
disembayangkan.

Upaya memadukan tradisi budaya Jawa -Hindu-Islam dilakukan oleh para


mubaligh yang tergabung dalam Wali Sanga dan kemudian dilembagakan
dan diterapkan kepada masyarakat Jawa dan Madura pada masa
Pemerintahan Sultan Agung dari Mataram serta diterima sepenuhnya oleh
masyarakat Cirebon pada masa pemerintahan Panembahan Ratu dengan
penyesuaian kecil disana sini. Puji-pujian syahadatain  diganti dengan
gamelan sekaten.

Istilah Salat diganti sembahyang yang berasal dari kosa kata anembah
Hyang (memuja Tuhan), dan saum diganti puasa yang berasal dari kosa
kata Sansekerta upuwasa yang artinya “menguji kekuatan pribadi”. Para
pelajar yang berguru di pondok pengajaran agama Islam disebut santri yang
berasal dari bahasa Sansekerta shastri yang artinya siswa (bahasa Arabnya
al murid).

Suatu hal yang paradoks , bila istilah Sansekerta santri digunakan untuk
merujuk siswa lembaga pendidikan Islam, maka istilah Arab murid dipakai
untuk siswa pendidikan umum.Perkembangan budaya Islam tidak
menggantikan atau memusnahkan kebudayaan yang sudah ada di
Indonesia. Karena kebudayaan yang berkembang di nusantara sudah begitu
kuat di lingkungan masyarakat. Sehingga terjadi akulturasi antara
kebudayaan Islam dengan kebudayaan yang sudah ada.

Hasil proses akulturasi antara kebudayaan masa pra-Islam dengan masa


Islam masuk berbentuk fisik kebendaan (seni bangunan, seni ukir atau
pahat dan karya sastra) serta pola hidup dan kebudayaan non fisik. Bentuk
lain akulturasi kebudayaan pra-Islam dan kebudayaan Islam adalah upacara
kelahiran, perkawinan, kematian, selamatan pada waktu tertentu berbentuk
kenduri pada masyarakat Jawa.

Seperti halnya Sunan Kalijaga yang merupakan wali sanga pribumi asli
tanah jawa yang menjadi wali Allah yang menerapkan akulturasi budaya
dalam penyampaian dakwah nya kepada masyarakat dengan contohnya
dalam berpakaian Sunan Kalijaga mengenakan baju adat budaya setempat
berbeda dengan para wali yang lain yang mengenakan jubah dan sorban.
Dalam dakwah nya juga Sunan Kalijaga menggunakan media budaya
sebagai sarana untuk menarik masyarakat seperti seni budaya pagelaran
wayang, gamelan, kuda lumping dan lain-lain.

Pengaruh Akulturasi budaya tersebut terhadap agama Islam

Kehidupan yang dijumpai dalam suatu masyarakat, tidak terlepas dari


kebiasaan masyarakat itu sendiri. Keadaan ini kita sebut adat istiadat.
Namun, sebagai umat muslim harus pandai membedakan adat istiadat.
Apakah adat istiadat itu sesuai atau tidak dengan syariat Islam ? kalau adat
istiadat tersebut tidak bertentangan dengan syariat islam, maka
diperbolehkan. Akan tetapi, kalo bertentangan dengan syariat Islam, maka
harus dijauhi sekalipun sudah melekat di masyarakat.
Di antara yang dianggap adat istiadat yang paling populer dan tetap hidup
dalam masyarakat Islam terkhusus di Indonesia, adalah ziarah kubur dan
ngaji kubur. Masalah ini perlu dikaji ulang jangan sampai terjerumus ke
dalam kemusyrikan dan kesesatan. Ziarah kubur ini merupakan suatu tradisi
yang sangat melekat di masyarakat. Sehingga, tidak heran rombongan
peziarah setiap waktu selalu ramai, khususnya di makam para wali.

Supaya adat ini menjadi baik dan bermanfaat, maka sudah semestinya
diberikan penerangan dan penjelasan, mengenai ziarah kubur yang
sebenarnya. Karena banyak terjadi, justru menjerumuskan kepada
kemusyrikan dan kesesatan. Kebanyakan para kuncen (juru kunci – penjaga
kubur) menganjurkan kepada para peziarah (orang yang berziarah) untuk
minta kepada ahli kubur yang dianggap keramat. Padahal jelas-jelas
perbuatan seperti ini, termasuk syirik yang dilarang oleh agama Islam.

Di sini ada beberapa kepentingan, kuncen (juru kunci) ingin hidup layak
tanpa mau kerja keras dan penziarah ingin keberkahan tanpa mau susah
payah. Dan selalu dibohongi oleh para kuncen karena diyakini, doanya
dikabulkan sehingga semakin yakin, yang akhirnya disarankan oleh kuncen,
kalau berhasil nanti motong kambing dan sebagainya.Di Indonesia banyak
berbagai Organisasi Islam seperti Muhammadiyah, Nahdatlu Ulama, Persis
dan lain-lain. Dari berbagai organisasi tersebut ada sebagian yang menerima
Akulturasi budaya dengan ajaran Islam, ada pula yang tidak diterima
dengan beberapa alasan sesuai pemahamannya.

Kita ambil contoh dari Tahlilan yang dimana akulturasi budaya yang
berkaitan erat dengan ajaran agama islam berasal  dari ajaran para wali.
Terkhusus Organisasi Islam Muhammadiyah tidak mengamalkan ajaran
tersebut, karena majelis Tarjh dan Tasdid Muhammadiyah telah menetapkan
untuk tidak melaksankan amalan tersebut dengan alasan bahwasannya
muhammadiyah tidak melarang Tahlilan bahkan menganjurkan agar
memperbanyak membacanya jika yang dimaksud Tahlil adalah membaca “La
Ilaha Illahllah” (Tiada Tuhan selain Allah).

Membaca tahlil adalah termasuk amal ibadah yang sangat baik, sehingga
mereka yang memperbanyak tahlil dijamin masuk surga dan haram masuk
neraka. Tentulah tidak hanya cukup mengucapkannya, atau melafalkannya
saja, melainkan harus menghadirkan hati ketika membacanya, dan
merealisasikannya dalam kehidupan keseharian. Yaitu dengan
memperbanyak amal shalih dan meninggalkan segala macam syirik, baik
syirik besar maupun syirik kecil, yang dalam istilah Muhammadiyah
meninggalkan TBC : takhayyul, bid’ah dan khurafat.

1. Takhayyul adalah mempercayai adanya khayalan datangnya bala atau


musibah yang dibawa oleh mahkluk Allah, seperti burung, kucing, ular
dan sebagainya.
2. Bid’ah adalah melakukan ibadah yang tidak pernah diajarkan dan tidak
pernah diamalkan oleh Rasulullah ‫ ﷺ‬atau oleh para shabatnya.
3. Khurafat adalah mempercayai kisah-kisah yang batil, seperti kisah Nyi
Roro Kidul, yang katanya membawa manfaat dan madharat, sehingga
harus diberi sesaji, padahal laut adalah mahkluk Allah yang tidak
dapat membuat manfaat dan mudharat.
Jika masih berbuat syirik, dan tidak beramal shalih, sekalipun membaca
tahlil ribuan kali, tidak ada manfaatnya. Maka yang sangat penting
sebenarnya adalah bahwa tahlil itu harus benar – benar diyakini dan
diamalkan dengan berbuat amal shalih sebanyak-banyaknya.

Maka yang dilarang menurut Muhammadiyah adalah upacaranya yang


dikaitkan dengan tujuh hari kematian, atau empat puluh hari atawa seratus
hari dan sebagainnya, seagaimana dilakukan oleh pemeluk agama Hindu.
Apalagi harus mengeluarkan biaya besar, yang terkadang harus pinjam
kepada tetangga atau saudaranya, sehingga terkesan tabzir (berbuat
mubadzir).

Pada masa Rasulullah ‫ ﷺ‬pun perbuatan semacam itu dilarang. Pernah


beberapa muslim yang berasal yahudi, yaitu Abdullah bin Salam dan kawan-
kawannya, minta izin kepada Nabil ‫ ﷺ‬untuk memperingati dan beribadah
pada hari Sabtu, sebagaimana dilakukan mereka ketika masih beragama
yahudi, tetapi Nabi ‫ ﷺ‬tidak memberikan izin, dan kemudian turunlah Firman
Allah SWT, yang artinya “hai orang-orang yang beriman masuklah kamu
kedalam Islam secara keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-
langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu” (Qs.
Al-Baqarah 2: 208).

Contoh-contoh diatas seharusnya diubah dan diluruskan sesuai dengan


syariat Islam yang sebenarnya. Jangan sampai Umat Islam terperosok ke
jurang kesesatan dan kehinaan, karena perbuatan yang diada-adakan
dengan dalil bahwa ini adalah ajaran Islam. Padahal, Syariat Islam tidak
mengajarkan yang demikian. Yang diajarkan Islam adalah semata-mata
untuk keselamatan hidup masyarakat.

Anda mungkin juga menyukai